BAB I
PENDAHULUAN
Dengan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Memasuki awal milenium baru terjadi berbagai perubahan yang cepat, dinamis, dan mendasar dalam tata pergaulan dan kehidupan antarbangsa dan masyarakat.
Pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi di Indonesia membawa kabar baik sekaligus potensi ancaman dari menguatnya politik identitas dengan ekspresi kekerasan yang menyertainya. Betapa tidak, pintu masuk menuju demokratisasi ini dimulai dengan aksi kekerasan terhadap keturunan Tionghoa (1998/1999). Kekerasan ini tidak berdiri sendiri, karena segera disusul oleh serangkaian kekerasan negara dan masyarakat terutama di Papua, Timor-Timur, Kalimantan Barat, Maluku dan Jawa Timur.
Era Reformasi telah menghadirkan jejak raksasa terhadap proses integrasi keturunan Tionghoa dalam rumah kebangsaan Indonesia. Hal itu ditandai oleh dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No. 12/2006. Undang-udang ini sangat monumental karena secara legal formal, seperti tertuang dalam pasal 4, mengakui hak kewarganegaraan bagi siapa saja yang lahir di Indonesia tanpa perlu surat bukti kewarganegaraan.
Dengan Undang-undang ini, orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa secara legal formal bukan lagi warga negara kelas dua, yang diperlakukan sebagai tamu yang dicurigai di rumah kebangsaan. Tinggal masalahnya, bagaimana mendekatkan pengakuan legal ini dengan pengakuan aktual dalam realitas kehidupan sehari hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Tionghoa di Indonesia
Untuk dapat menganalisa prospek penyelesaian ‘masalah’ Tionghoa di Indonesia, sangat perlu adanya pemahaman yang dalam dan luas tentang sejarah orang Tionghoa di Indonesia.
Akan disampaikan tentang tahap-tahap perjalanan sejarah orang Tionghoa di Indonesia yaitu :
a. Masa sebelum datangnya kekuatan Kolonialisme Barat (Belanda) ke Nusantara
Pada periode ini, ada 2 (dua) hal penting yang dapat dicatat, yaitu :
1. Membawa dan memperkenalkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Diperkenalkan dan disebarluaskannya agama Islam di Pulau Jawa.
b. Jaman Kolonial Belanda
Melalui politik Devide et Impera, yang dimantapkan dengan Peraturan Pemerintah yang membeda-bedakan penggolongan masyarakat Hindia Belanda, menjadikan hubungan antara etnis Tionghoa dengan penduduk setempat semakin memburuk (mengadu domba kedua golongan tersebut). Sadar atau tidak sadar, politik kolonial ini diambil alih dan diteruskan pada kebijakan-kebijakan pemerintah kita selanjutnya.
c. Jaman Pendudukan Jepang 1941 - 1945
Setelah satu tahun sejak masa pendudukan Jepang, Jepang menyadari bahwa :
1. Perlu melalui orang Tionghoa, dengan menggunakan bahasa kanji, untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat umum.
2. Perlu orang-orang Tionghoa untuk menggerakkan kembali ekonomi perang Jepang di Indonesia. Penguasa Jepang membuat politik reunifikasi seluruh orang Tionghoa, antara lain dengan jalan mewajibkan semua orang Tionghoa, yang dulunya berpendidikan barat, harus kembali belajar bahasa Mandarin.
3. Jepang membentuk organisasi tunggal di kalangan orang-orang Tionghoa, dengan nama ‘Hwa Chiao Chung Hui’.
d. Jaman Revolusi s/d Indonesia Merdeka
Dibagi menjadi 4 (empat) sub periode, yaitu :
1. Jaman Revolusi Pertahankan Kemerdekaan 1945-1949.
Banyak orang Tionghoa yang mendukung Revolusi Indonesia dan aktif terjun di dalam gerakan perjuangan, disamping ada juga yang memihak kepada Kolonial Belanda.
Banyak terjadi kerusuhan anti Tionghoa, berupa perampokan, pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan oleh Extreemist diberbagai tempat, terutama di Jawa dan Sumatera.
2. Jaman Kepemimpinan Presiden Soekarno 1950-1965
Dalam bidang Politik, orang Tionghoa mempunyai kedudukan yang sama dengan orang Indonesia pada umumnya, sehingga banyak orang Tionghoa duduk dalam Parpol, DPR, bahkan dalam pemerintahan sebagai Menteri. Tetapi, dalam bidang ekonomi banyak terjadi usaha-usaha diskriminasi, misalnya dibentuknya : Group Benteng, Gerakan Asa’ad, PP10, Kerusuhan Mei di Bandung (Jawa Barat), dll.
3. Jaman Kepemimpinan Presiden Suharto 1965-1998
Dalam bidang politik, orang Tionghoa disingkirkan sama sekali dari kemungkinan bergiat dalam bidang politik. Sebaliknya dalam bidang Ekonomi, karena keperluan menggerakkan investasi umumnya, orang-orang Tionghoa digunakan dan dimanfaatkan yang berakhir terwujudnya Konglomerasi.
4. Era Reformasi
Sejak kekuasaan Suharto tumbang di tahun 1998, dalam jangka waktu 7 (tujuh) tahun era reformasi ini, terjadi banyak perubahan- menuju kemajuan-kemajuan. 3 (tiga) pilar utama untuk menyangga eksistensi orang-orang Tionghoa di Indonesia yaitu :
a) Organisasi-Organisasi ke-Tionghoa-an.
b) Koran-Koran berbahasa Mandarin.
c) Sekolah-sekolah yang juga mengajarkan bahasa Mandarin, mulai tumbuh kembali.
B. Prospek Penyelesaian Masalah Tionghoa di Indonesia
Menghadapi warisan panjang sejarah marjinalisasi politik dan dekulturisasi etnis Tionghoa, Pemerintah Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Canada. Pertama, model pluralis bisa diadopsi, setidaknya untuk sementara waktu, yang memberi kemungkinan bagi etnis Tionghoa untuk mengekspresikan identitas kulturalnya di ruang publik. Ruang publik harus terbuka bagi partisipasi keturunan Tionghoa dalam pendidikan, politik dan jabatan publik. Dengan prakondisi seperti itu, model kosmopolitan bisa didorong bersamaan dengan mencairnya sekat-sekat etno-kultural.
Dalam pada itu, upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, budaya dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.
Dalam kaitan dengan itu, masing-masing komunitas bangsa, khususnya etnis Tionghoa, dituntut untuk melakukan mawas diri seraya berjuang berpartisipasi aktif dalam urusan-urusan bersama kebangsaan. Partisipasi ini tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi, melainkan juga pada segi-segi budaya, pendidikan, politik, hukum dan pergaulan lintas-kultural; bergotong-royong bersama berbagai komponen bangsa lainnya dalam rangka membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.
Seiring dengan itu, kesenjangan ekonomi yang kerap menyimpan benih sentimen etnis harus diatasi oleh negara dengan mengembangkan negara kesejahteraan yang berkhidmat bagi kepentingan rakyat banyak. Affirmative action bisa saja diberlakukan dengan catatan tidak berlandaskan pada perbedaan kelompok etnis atau agama, melainkan bagi siapa saja yang mengalami nasib kurang beruntung.
BAB III
PENUTUP
Dari analisa tentang sejarah masa lalu itu, dikembangkan konsep penyelesaian ‘masalah’ Tionghoa di Indonesia untuk masa-masa datang. Untuk itu perlu disampaikan Visi, Misi dan Program dasar dari sebuah organisasi Indonesia Tionghoa yang bersifat ‘Nation Wide’, menyangkut masalah-masalah ini.
Demi keberhasilan pembangunan kembali sebuah Indonesia baru, sangatlah perlu orang-orang Indonesia Tionghoa ini di-ikutsertakan dengan prinsip-prinsip yang adil dan bijaksana, baik dalam bidang pembangunan ekonomi maupun dalam bidang pembangunan politik Indonesia. Khususnya dalam bidang Ekonomi, kami berpesan kepada orang-orang Indonesia Tionghoa, bahwa adalah kepentingan kita sendiri dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, kita harus ikhlas membantu dan mengikutsertakan semua komponen bangsa yang lain, yang ingin berkiprah di dalam bidang Ekonomi.
Dan kepada pihak Pemerintah, kami serukan agar supaya ada 1 (satu) sistem Ekonomi Nasional yang kondusif, untuk lebih membuka pemerataan peluang berusaha bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini adalah dalam rangka memperkokoh kekompakan seluruh komponen bangsa.
Demikian pula di dalam bidang Politik, kami serukan kepada orang Indonesia Tionghoa untuk tidak ragu-ragu mengambil peranan dalam peri kehidupan berpolitik sesuai dengan tingkat kesadaran dan kesiapan masing-masing. Memahami Politik dan menaruh minat serta concern tentang kehidupan Politik, tidak usah berarti turut menyelenggarakan kegiatan Politik Praktis. Memahami Politik adalah kewajiban setiap warga negara untuk dapat turut memberikan kontribusi kepada pembangunan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Eddie Lembong, Seminar Reposisi Peranan Tionghoa Indonesia Bagi Pembangunan Negara Dalam Era Reformasi Dan Otonomi Daerah, Jakarta. 2002.
Kymlicka, W. Three Forms of Group-Differentiated Citizenship in Canada, dalam Democracy and Difference: Contesting the Boundaries of the Political, ed. S. Benhabib, Princeton University Press, New Jersey. 1996.
Post a Comment