Cari Kategori

Showing posts with label contoh tesis kesehatan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis kesehatan masyarakat. Show all posts

PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT

TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan, sehingga pengembangan rumah sakit tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan kesehatan, saling keterkaitan ini terlihat jelas dari visi pembangunan kesehatan yakni Indonesia sehat 2010 yang terwujud dalam undang-undang bidang kesehatan no 23/1992.
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI. No. 983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit adalah tempat yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar spesialistik dan subspesialistik serta memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sebagai salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting rumah sakit merupakan salah satu industri jasa. Bentuk pelayanan ini bersifat sosio ekonomi yaitu suatu usaha yang walau bersifat sosial namun diusahakan agar bisa mendapat surplus keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsip ekonomi (Djododibroto, 1997).
Pelayanan kesehatan yang kini berkembang di rumah sakit bukan saja menyangkut masalah bangunannya (seperti ukuran kompleksitas, jumlah unit, jumlah kualifikasi staf medis dan non medis, si stem keuangan serta si stem informasi) tetapi menyangkut pula pada kwalitas pekerja kesehatan dalam memberikan pelayanan.
Dalam bidang pelayanan kesehatan, pemerintah telah merencanakan visi “Indonesia Sehat 2010". Dimana dalam visi tersebut pemerintah bertekad untuk dapat meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh (Bambang, 2002). Dalam mencapai visi tersebut, salah satu strategi yang harus di lakukan adalah meningkatkan profesionalisme termasuk profesionalisme masyarakat pekerja rumah sakit. Pekerja di rumah sakit termasuk kelompok masyarakat yang turut berperan dalam mencapai" Indonesia Sehat 2010. Oleh karena itu pekerja rumah sakit merupakan sumber daya manusia yang harus dibina agar menjadi produktif dan berkualitas (Depkes RI, 2003).
Rumah sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang bersifat dasar sampai yang spesialistik dan mempunyai karakteristik pelayanan yang berbeda dengan industri jasa lainnya.
Menurut Yanuar Hamid (2004) Rumah Sakit mempunyai karakteristik sebagai berikut : 
1. Diberikan selama 24 jam terus menerus selama 365 hari dalam setahun
2. Pelayanan bersifat individual
3. Setiap saat bisa terjadi kedaruratan medik
4. Setiap saat bisa menghadapi kejadian luar biasa
5. Padat teknologi, modal dan tenaga.
Di Rumah Sakit, sumber daya manusia terbanyak yang berinteraksi secara langsung dengan pasien adalah perawat, sehingga kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat dapat dinilai sebagai salah satu indikator baik buruk nya kwalitas pelayanan di Rumah Sakit.
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Rumah sakit membuat pemisahan terhadap pelayanan perawatan pasien yaitu pelayanan pasien yang memerlukan penanganan emergensi, tidak emergensi dan yang diopname. Penanganan pada pelayanan tersebut dilaksanakan oleh pekerja kesehatan rumah sakit. Pekerja kesehatan rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang berjumlah sekitar 60% dari tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Perawat merupakan salah satu pekerja kesehatan yang selalu ada di setiap rumah sakit dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah sakit. Perawat di rumah sakit bertugas pada pelayanan rawat inap, rawat jalan atau poliklinik dan pelayanan gawat darurat.(Hamid, 2001).
Peran perawat sangat penting karena sebagai ujung tombak dirawat inap dan merupakan tenaga yang paling lama kontak dengan pasien yaitu selama 24 jam. Hal ini akan menyebabkan stressor yang kuat pada perawat di lingkungan pekerjaan nya (Anna Keliat, 1999)
Gibson dalam Heater Marr (1987) mengatakan, salah satu unsur yang sangat menentukan dan saling mempengaruhi dalam mutu pelayanan keperawatan adalah unsur proses yang dilakukan perawat, tindakan yang tidak sesuai dengan standard keperawatan akan sulit untuk mencapai kualitas mutu pelayanan keperawatan.
Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan perawatan pasien atau asuhan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang bervariasi, tergantung pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik tersebut meliputi karakteristik tugas (yang membutuhkan kecepatan, kesiagaan serta kerja shift), karakteristik organisasi, serta karakteristik lingkungan kerja baik lingkungan fisik dan sosial. Selain itu perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan kegiatan yang bukan fungsinya.
Menurut Schroder dalam Heater Marr (1991), perawat yang terlibat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan harus dapat melaksanakan pengkajian yang mendalam di area praktek nya dan dapat melaksanakan riset, memperlihatkan rasa tanggungjawab dalam menentukan aspek keperawatan sesuai dengan keahliannya, dapat berkomunikasi dengan rekan sejawat serta dapat menerapkan disiplin ilmu.
Hal ini sejalan dengan penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (2005) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas kebersihan, 63,6% melakukan tugas administratif dan lebih dari 90% melakukan tugas non keperawatan (misalnya menetapkan diagnosa penyakit, membuat resep dan melakukan tindakan pengobatan) dan hanya 50% yang melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsinya.
Seorang perawat diharapkan bersikap penuh perhatian dan kasih sayang terhadap pasien maupun keluarga pasien dalam melaksanakan tugasnya, namun pada kenyataannya di masa sekarang ini masih banyak dijumpai keluhan masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang ditulis di berbagai media masa.
Menurut Kariyoso (1994) di masa sekarang ini masih saja ada stigma yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa perawat merupakan sosok yang tidak ramah dan tidak bersikap hangat terhadap pasiennya.
Tugas dan tanggung jawab perawat bukan hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah yang bisa menimbulkan stres kerja pada perawat. Stres yang dihadapi oleh perawat di dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat (Robbins, 1998).
Sebuah survei di Prancis menyebutkan persentase kejadian stres sekitar 74% di alami perawat, mereka mengeluh dan kesal terhadap lingkungan yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan, hal ini merupakan penyebab stres Perawat (Frasser, 1997).
Tingkah laku negatif pekerja yang mengalami stres berkorelasi dengan hasil kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, tendensi mengalami kecelakaan kerja, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan merupakan hambatan baik dalam management maupun oprasional kerja serta dapat menurunkan produktivitas kerja terutama mutu pelayanan (Scholler, 1980).
Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya.
Hasil penelitian Plaut dan Friedman (1981), Baker, (1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting disease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama karena produksi sel-sel kekebalan menurun.
Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi perusahaan tempat bekerja, dimana perusahaan akan mengalami kerugian finansial karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak pekerja yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena kelambanan atau kesalahan yang berulang (Rini, 2002).
Kondisi kerja mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman sekerja, hubungan atasan dengan bawahan dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri saat melakukan pekerjaan (Anoraga, 2006).
Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu, kebisingan juga mengambil andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).
Beban kerja sebagai sumber stres disebabkan karena kelebihan beban kerja baik beban kerja kualitatif maupun beban kerja kuantitatif (French dan Kaplan, 1973). Beban kerja perawat di rumah sakit meliputi beban kerja fisik dan mental. Beban kerja bersifat fisik meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien, membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur, mendorong brankas pasien. Sedangkan beban kerja yang bersifat mental dapat berupa bekerja dengan shift atau bergiliran, kompleksitas pekerjaan (mempersiapkan mental dan rohani pasien dan keluarga terutama yang akan memerlukan operasi atau dalam keadaan kritis), bekerja dengan keterampilan khusus dalam merawat pasien, tanggung jawab terhadap kesembuhan serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.
Beban kerja yang terbagi atau mendadak tidaknya suatu tugas, kesulitan tugas, ketercukupan waktu penyelesaian, teman kerja yang bisa membantu dan kelelahan menyelesaikan tugas.
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka di katakan individu itu mengalami stres kerja. Stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq, 2008).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956). Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
Rumah sakit Umum X adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah sekitar lokasi Rumah Sakit tersebut. Unit perawatan rawat inap yang ada di Rumah Sakit Umum X, terdiri dari Ruang Perawatan Bedah, Ruang Perawatan Anak, Ruang Perawatan Kebidanan dan Perawatan Dewasa. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum X Kabupaten X terdapat 58 perawat di ruang Rawat Inap yang tersebar di ruang rawat bedah 9 orang, di ruang perawatan kebidanan 10 orang, di ruang perawatan anak 10 orang, dan di ruang perawatan dewasa 29 orang. Perawat jaga dibagi dalam 3 shift kerja yaitu pagi dari jam 08.00 WIB-14.00 WIB, siang dari 14.00 WIB-21.00 WIB, malam dari jam 21.00 WIB-08.00 WIB.
Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada perawat ruang rawat inap di rumah sakit tersebut yang mengalami stres kerja. Hal ini terlihat dengan banyaknya keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah, dan nafsu makan menurun. Menurut Anoraga (2001), hal ini merupakan gejala-gejala stres kerja. Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya suatu penelitian yang berkaitan dengan hubungan beban kerja dan kondisi kerja dengan stres kerja perawat di ruang rawat inap rumah sakit umum X Kabupaten X.

B. Permasalahan
Bagaimana pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

C. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stress kerja pada perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan pada Rumah Sakit Umum X tentang pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja pada perawat di ruang rawat inap.
2. Menambah wawasan bagi peneliti lain guna pengembangan ilmu pengetahuan tentang stres dalam lingkungan pekerjaan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:49:00

STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI

STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI (KADARZI) DI KELURAHAN X (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memiliki anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua. Untuk mewujudkannya tentu saja orangtua harus selalu memperhatikan, mengawasi, dan merawat anak secara seksama, khususnya memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah, proses tersebut sangat bergantung kepada orang dewasa atau orangtua. Masa lima tahun pertama (masa balita) adalah periode penting dalam tumbuh kembang anak dan merupakan masa yang akan menentukan pertumbuhan fisik, psikis maupun intelengensinya (Sulistijadi dkk, 2001).
Menurut Depkes (2005) dapat disimpulkan bahwa balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya kekurangan gizi. Kurang gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Kekurangan gizi juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, keterlambatan perkembangan otak, dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan terhadap penyakit infeksi.
Berdasarkan pendapat Berg A (1986) dapat disimpulkan gizi kurang dapat mengakibatkan terpengaruhnya perkembangan mental, perkembangan jasmani, produktivitas. Anak-anak yang gizi buruk memiliki otak yang lebih kecil dari ukuran rata-rata otak. Jumlah sel-sel otak anak-anak yang gizi buruk 15-20 persen lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak yang cukup makan. Anak yang pernah satu kali terkena gizi kurang, akan kurang berkemampuan dalam tes mental di belakang hari dibandingkan dengan anak yang gizi baik, dan anak yang gizi kurang menjadi terbelakang, sampai ia tidak sanggup lagi menyesuaikan diri dengan situasi sekolah.
Menurut laporan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) tahun 2006 jumlah balita gizi buruk di Indonesia berjumlah 2,3 juta jiwa, kasus gizi buruk meningkat sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data tahun 2004/2005 sejumlah 1,8 juta jiwa. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke 111 untuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) dari 177 negara yang dinilai. Angka ini jauh lebih rendah dari pada Malaysia (59), Thailand (76), atau Filipina (73). Rendahnya HDI mencerminkan bahwa tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per Kapita penduduk Indonesia masih rendah, Masalah ini sangat erat kaitannya dengan keadaan gizi penduduk.
Menurut pendapat (Panji; 2004, UNICEF; 2006 dan Ikayana; 2008) dapat disimpulkan pada tahun 2000 diperkirakan ada 25% anak Indonesia mengalami gizi kurang, 7% diantaranya gizi buruk, sekitar 50% ibu hamil menderita anemia gizi, sementara itu masih terdapat kecamatan endemik berat meskipun prevalensinya sudah dapat diturunkan menjadi 9,8%. Pada tahun 2003 lima juta balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2%) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3%) sisanya mengalami gizi buruk. Pada tahun 2004 dari 17.983.244 balita di Indonesia 5.119.935 (28,47%) balita termasuk gizi kurang dan buruk. Pada tahun 2006 kasus gizi kurang menjadi 4,2 juta (944.246 diantaranya kasus gizi buruk) dan pada tahun 2007 kasus gizi buruk berkurang menjadi 4,1 juta (755.397 diantaranya kasus gizi buruk).
Wilayah kerja Puskesmas X meliputi lima kelurahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari operasi timbang Puskesmas (Desember 2008) diketahui Kelurahan Y merupakan kelurahan yang banyak terdapat kasus gizi buruk yaitu dari 1.742 balita yang ditimbang terdapat 36 balita gizi buruk dan 187 balita gizi kurang, di kelurahan Paya Pasir dari 708 balita di timbang terdapat 56 balita gizi kurang dan 11 balita gizi buruk, di kelurahan Rengas Pulau dari 1.240 balita yang ditimbang terdapat 37 balita gizi kurang dan 7 balita gizi buruk, di kelurahan X dari 738 balita yang ditimbang terdapat 54 balita gizi kurang dan 6 balita gizi buruk (Puskesmas X, 2008).
Masalah gizi berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan dalam pembangunan, maka tujuan jangka panjang program perbaikan gizi diarahkan untuk tercapainya keadaan gizi yang optimal bagi seluruh penduduk yang dicerminkan dengan semakin meningkatnya jumlah keluarga yang berperilaku gizi seimbang. Keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalah cerminan keluarga gizi yang mendukung terciptanya keadaan gizi yang optimal anggota keluarganya (Panji, 2004)
Tahun 1998 telah dicanangkan Program Kadarzi yang dimotori oleh Depkes. Kadarzi merupakan sasaran program perbaikan gizi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah gizi. Dengan adanya program keluarga sadar gizi diharapkan dapat menurunkan prevalensi gizi kurang setinggi-tingginya 20% (Dinkes, 2005)
Menurut Depkes (2007) untuk mengatasi masalah gizi salah satunya adalah melalui keluarga sadar gizi (Kadarzi). Keluarga sadar gizi merupakan keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi di tingkat kelurahan atau rumah tangga melalui : Memantau berat badan secara teratur, makan beraneka ragam, mengkonsumsi garam beryodium dalam masakan, hanya memberikan ASI saja sampai bayi berusia enam bulan dan memberikan kapsul vitamin A kepada balita.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Kesehatan 2005-2009 menetapkan 4 (empat) sasaran pembangunan kesehatan, satu diantaranya adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20%. Guna mempercepat pencapaian sasaran tersebut, di dalam Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009 telah ditetapkan 4 strategi utama, yaitu Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, dan meningkatkan pembiayaan kesehatan. Selanjutnya dari empat strategi utama tersebut telah ditetapkan 17 sasaran prioritas, satu diantaranya adalah seluruh keluarga menjadi Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) (Depkes, 2007)
Program Kadarzi bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan ibu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga dan di dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan di dalam visi Indonesia Sehat 2010, ditetapkan bahwa 80% keluarga menjadi Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi), karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (Panji, 2004).
Kelurahan Y merupakan salah satu dari lima kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja puskesmas X. Berdasarkan survei awal yang di lakukan pada tahun 2007 telah berjalan program Kadarzi. Kegiatan pelaksanaan program Kadarzi ini meliputi pemetaan Kadarzi dan konseling Kadarzi yang di lakukan setiap enam bulan sekali. Meskipun program Kadarzi sudah berjalan selama satu tahun namun berdasarkan hasil penimbangan balita (BB/U) bulan Desember 2008 di kelurahan Y masih banyak terdapat kasus gizi buruk yaitu dari 1.742 balita yang ditimbang terdapat 187 balita gizi kurang dan 36 balita gizi buruk.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merasa perlu mengetahui hubungan tingkat Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan status gizi balita di kelurahan Y, sehingga di peroleh suatu strategi penanggulangan gizi buruk yang tepat berdasarkan keadaan yang sesungguhnya di lapangan dan diharapkan dapat menjadi masukan untuk membuat prioritas program yang tepat dan efektif sesuai kemampuan daerah.

B. Permasalahan
Apakah tingkat Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Y.

C. Tujuan penelitian
Mengetahui status gizi balita berdasarkan indikator keluarga sadar gizi (Kadarzi) di Kelurahan Y.

D. Hipotesis
Ada hubungan signifikan status gizi balita dengan indikator keluarga sadar gizi (memantau berat badan, makan makanan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan ASI eksklusif, memberikan kapsul vitamin A pada balita)

E. Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan kepada Dinas Kesehatan dalam membuat suatu rencana strategi penanggulangan gizi buruk menuju keluarga sadar gizi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak Puskesmas untuk membuat prioritas dan lebih intensif dalam pembinaan keluarga dalam meningkatkan kesadaran gizi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:36:00

INISIASI MENYUSUI DINI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF

TESIS INISIASI MENYUSUI DINI DAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF (PROGRAM STUDI : ILMU KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang alami yang disediakan untuk bayi. Pemberian ASI secara eksklusif serta proses menyusui yang benar merupakan sarana yang dapat diandalkan untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, karena ASI adalah makanan satu-satunya yang paling sempurna untuk menjamin tumbuh kembang bayi pada enam bulan pertama. Selain itu dalam proses menyusui yang benar, bayi akan mendapatkan perkembangan jasmani, emosi maupun spiritual yang baik dalam kehidupannya.
Namun demikian masih banyak ibu-ibu yang mengalami kesulitan untuk menyusui bayinya. Hal ini disebabkan antara lain karena kemampuan bayi untuk menghisap ASI kurang sempurna sehingga secara keseluruhan proses menyusu terganggu. Di samping itu selama ini penolong persalinan selalu memisahkan bayi dari ibunya segera setelah lahir, untuk dibersihkan, ditimbang, ditandai, dan diberi pakaian sehingga proses menyusu dalam satu jam pertama setelah kelahiran tidak terlaksana.
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses alami mengembalikan bayi manusia untuk menyusu, yaitu dengan memberi kesempatan kepada bayi untuk mencari dan menghisap ASI sendiri, dalam satu jam pertama pada awal kehidupannya, untuk menjamin berlangsungnya proses menyusui yang benar, dengan menyusu secara baik dan benar maka kematian bayi serta gangguan perkembangan bayi dapat dihindari (Roesli, 2008).
Pelaksanaan IMD pada saat setelah bayi lahir yang diterapkan pada setiap ibu yang akan melahirkan sangat bermanfaat bagi ibu dan bayi karena proses alami mengembalikan bayi manusia untuk menyusu, yaitu dengan memberi kesempatan pada bayi untuk mencari dan mengisap ASI sendiri dalam satu jam pertama pada awal kehidupannya. Menurut Karen dan Edmon (2006) dengan pelaksanaan IMD 22% dapat menyelamatkan nyawa bayi umur di bawah 28 hari dan ternyata bayi yang diberi kesempatan untuk menyusu dini delapan kali lebih berhasil diberi ASI eksklusif (Fika dan Syafiq, 2003).
Manfaat dari IMD yaitu apabila terjadi kontak kulit dan hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di puting susu ibu dan sekitarnya, emutan, jilatan bayi pada puting ibu, merangsang pengeluaran hormon oksitosin, hormon oksitosin ini sangat membantu rahim ibu untuk berkontraksi sehingga merangsang pengeluaran plasenta dan mengurangi perdarahan setelah melahirkan.
Pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berumur enam bulan pada setiap ibu yang mempunyai bayi sangat diharapkan, karena mempunyai manfaat baik untuk ibu maupun untuk bayi itu sendiri. Apabila bayi diberikan ASI secara eksklusif maka bayi akan memperoleh nutrisi yang mengandung zat yang sangat sempurna, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kecerdasan. Juga dirasakan manfaatnya oleh sang ibu apabila menyusui secara eksklusif, dapat mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, lebih cepat langsing, mengurangi kemungkinan menderita kanker payudara, lebih ekonomis, tidak merepotkan dan menghemat waktu, serta memberi kepuasan bagi sang ibu.
Karena kurang pemahaman tentang inisiasi menyusu dini dan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif tidak dihiraukan : bayi tidak dilakukan IMD, pemberian pisang sebagai makanan utama, memberi susu formula, memberikan makanan siap saji, padahal penyuluhan tentang IMD dan ASI eksklusif semakin gencar, petugas kesehatan sudah banyak dilatih baik itu pelatihan IMD maupun ASI eksklusif, posyandu semakin aktif, promosi bidan delima dan lain-lain.
Pemahaman tentang IMD dan pemberian ASI secara eksklusif merupakan persoalan yang sangat penting. Yang memungkinkan terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif apabila individu, keluarga, petugas kesehatan serta masyarakat sudah memahami tentang pengertian, manfaat, serta tujuan dari IMD dan pemberian ASI secara eksklusif. Anggapan ini sejalan dengan pendapat Roesli (2008), bahwa ketidak keberhasilan ibu menyusui bayinya sampai usia enam bulan, sebenarnya hanya satu masalah, yaitu ibu belum memahami sepenuhnya cara menyusui yang benar termasuk teknik dan cara memperoleh ASI terutama saat mereka harus bekerja.
Tidak terlaksana IMD sering terjadi pada ibu yang melahirkan secara operasi disebabkan karena ibu dilakukan anestesi yang menyebabkan ibu mengantuk sehingga kurang respon terhadap bayi, petugas di kamar operasi terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk melakukan IMD. Padahal menunda permulaan menyusu lebih dari satu jam menyebabkan kesukaran menyusui (Lennart, 1999).
Pemberian ASI tidak secara eksklusif sering terjadi karena ibu dan keluarga menganggap bahwa ASI saja tidak mencukupi untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi sehingga diperlukan makanan tambahan, hal ini dapat mengganggu kehidupan bayi, Karena pada umur 0-6 bulan bayi hanya memerlukan ASI sebagai makanan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan otak sehingga tidak menyebabkan "otak kosong". Otak kosong dapat menimbulkan "lost generation”, yaitu generasi yang tidak mampu bersaing atau berkompetisi secara sehat di masyarakat (Nency, 2005).
Menurut Nency (2005), bahwa otak merupakan suatu aset yang vital bagi anak untuk dapat menjadi manusia yang berkualitas di kemudian hari. otak kosong adalah rendahnya tingkat kecerdasan anak yang menyebabkan rendahnya kemampuan untuk mengikuti pendidikan dan tidak memiliki daya saing. Tingkat kecerdasan yang rendah diakibatkan rendahnya asupan protein, zat besi, vitamin dan asam lemak omega 3 pada masa pembentukan otak yaitu usia 0-2 tahun (Soesilawati dalam Seminar harapan, 25 januari 2002).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas X, jumlah bayi dari mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2009 sebanyak 262 orang, bidan yang melakukan IMD pada bayi yang baru lahir sebanyak 30% dari persalinan yang ditolong oleh bidan. Sedangkan bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif hanya 35% diberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia sampai 6 bulan.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan X. Karena dari 12 Kecamatan yang ada, Kecamatan X yang banyak penduduknya serta tenaga bidan yang bertugas di Puskesmas X juga cukup memadai yaitu sebanyak 25 orang, baik yang bertugas di Puskesmas maupun yang membina Desa. Persalinan pada umumnya ditangani oleh tenaga kesehatan, hanya sebagian kecil yang masih ditangani oleh dukun kampung. Bidan yang bertugas di Puskesmas maupun yang membina desa sebagian besar sudah mengikuti pelatihan baik itu pelatihan asuhan persalinan normal (APN), inisiasi menyusu dini (IMD), dan konselor air susu ibu (ASI). Namun pada kenyataannya masih ada ibu-ibu yang mempunyai bayi pada saat melahirkan tidak dilakukan IMD, dan pemberian ASI secara eksklusif.
Dengan berbagai alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian untuk dapat mengangkat penyebab-penyebab tidak terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta penyebab-penyebab terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Pengkajian dalam penelitian ini adalah penyebab tidak terlaksananya IMD dan pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan, serta penyebab terlaksana IMD dan pemberian ASI secara eksklusif.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis alasan/penyebab mengapa sebagian masyarakat kecamatan X tidak melaksanakan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta alasan/penyebab melakukan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten X sebagai bahan masukan evaluasi keberhasilan program pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga dapat membuat suatu kebijakan untuk menanggulangi permasalahan tersebut.
2. Sebagai bahan masukan kepada Puskesmas X untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pelaksanaan IMD dan pemberian ASI secara eksklusif, serta bahaya pemberian makanan terlalu dini pada bayi yang baru lahir juga dapat meningkatkan peran kader posyandu di masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:34:00

PENGARUH KARAKTERISTIK KADER DAN STRATEGI REVITALISASI POSYANDU TERHADAP KEAKTIFAN KADER

 TESIS PENGARUH KARAKTERISTIK KADER DAN STRATEGI REVITALISASI POSYANDU TERHADAP KEAKTIFAN KADER (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan gizi pada anak dibawah usia lima tahun (balita) pada umumnya secara kuantitas kasusnya tidak pernah berkurang, demikian pula halnya terjadi di Indonesia selama ini, cenderung meningkat akibat krisis ekonomi tahun 1997. Akibat kurang gizi dikhawatirkan dapat mengancam kualitas sumberdaya manusia generasi penerus, sesungguhnya kita memiliki sarana untuk mengatasinya. Apabila posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit pemantau tumbuh kembang anak, melaksanakan imunisasi, memberi makanan tambahan (PMT) dan penyuluhan kesehatan kepada ibu dan anak (Depdagri, 2001).
Pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak-anak sejak usia dini, merupakan strategi dalam upaya pemenuhan pelayanan dasar yang meliputi peningkatan derajat kesehatan dan gizi yang baik, lingkungan yang sehat, aman, pengembangan daya pikir dan daya cipta serta perlindungan terhadap anak. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar masyarakat dengan fokus pada ibu dan anak dapat dilakukan di posyandu. Karena posyandu merupakan wadah peran serta masyarakat untuk menyampaikan dan memperoleh pelayanan kesehatan dasarnya, maka diharapkan pula strategi operasional secara dini dapat dilakukan di setiap posyandu (Depkes RI, 2001).
Posyandu merupakan sarana kesehatan berbasis masyarakat yang paling memasyarakat dewasa ini. Posyandu yang meliputi 5 program prioritas (KB, KIA, Gizi, Imunisasi dan penanggulangan diare) terbukti mempunyai manfaat besar terhadap penurunan angka kematian bayi. Sejak dicanangkan pada tahun 1984 oleh presiden Soeharto, pertumbuhan jumlah posyandu bertambah besar dan ternyata juga dibarengi dengan peranannya yang menonjol, khususnya dalam meningkatkan cakupan program. Dapat kita lihat bahwa posyandu membawa kontribusi yang besar pada peningkatan cakupan program, khususnya pada sasaran populasi bayi bawah lima tahun (Balita) dan ibu (Depdagri, 2001).
Selama ini banyak ditemukan kasus gizi buruk yang disebabkan kurang berfungsinya posyandu, rendahnya kemampuan kader, banyak kader yang tidak aktif dari pada yang aktif, kurang pembinaan dan perhatian dari unsur Pemerintah desa dan dinas/instansi/lembaga terkait, yang mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan posyandu. Akibat lebih lanjut adalah banyak hal yang sesungguhnya dapat bermanfaat bagi ibu-ibu untuk memahami cara merawat anak secara baik sejak dalam kandungan, dapat meningkatkan keselamatan ibu saat melahirkan. Oleh karena itu perlu diupayakan langkah dalam memberdayakan kader agar lebih profesional dalam melayani masyarakat di posyandu (Depdagri, 2001).
Upaya yang perlu dilakukan agar posyandu aktif khusus di daerah penelitian ini adalah : pada masyarakat nelayan pembina harus mempunyai pengalaman lebih dari 24 bulan dan jumlah posyandu yang dibina tidak lebih dari 15 posyandu. Kader posyandu sebaiknya tidak mempunyai pekerjaan tetap dan kader mempunyai pengalaman menjadi kader sekurangnya 60 bulan. Tidak boleh pergantian kader sedikitnya dalam setahun dan jumlah kader sedikitnya 5 orang. Layanan yang diharapkan oleh pengguna posyandu agar mendapatkan PMT untuk balita dan kesediaan pengguna memberi imbalan untuk kader. Pada masyarakat tani Pembina posyandu harus mempunyai pendidikan SLTA ke atas. Layanan yang diharapkan berupa penyuluhan gizi dan kesehatan serta layanan KB, kesediaan pengguna posyandu memberi imbalan berupa uang untuk kader diterapkan (Depkes RI, 2000).
Menurut keterangan dari beberapa tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat yang di wawancarai saat survey pendahuluan di posyandu-posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas X mengatakan bahwa, di kecamatan X terdapat 27 buah desa dan 29 buah posyandu, jumlah kader seluruhnya 145 orang, yang aktif 77 (53, 10%) kader. Tahun berikutnya jumlah kader seluruhnya 145 orang, aktif 87 (60%) kader, tahun 2007 jumlah kader 145 orang, aktif 87 (60%) kader, pencapaian target yang diharapkan masing-masing setiap tahunnya 95%. hasil pengamatan penulis banyak posyandu tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, banyak kader yang tidak aktif dari pada kader yang aktif pada kegiatan posyandu, fasilitas kerja tidak memadai, tugas dan fungsi kader tidak sesuai sebagaimana yang diharapkan, disamping strategi pelaksanaan kegiatan Posyandu tidak jelas jadwal, struktur, fungsi dan tugas masing-masing kader yang tidak tertata secara rapi sebagaimana yang diharapkan (Dinkes, 2007).
Tempat pelaksanaan kegiatan posyandu tidak tepat/layak, begitu juga dengan gaya pimpinan posyandu terhadap pelaksanaan strategi tidak berperan secara aktif. Seharusnya jumlah kader yang aktif setiap bulan untuk kegiatan posyandu sebanyak 5 orang, mempunyai 5 meja kegiatan, adanya makanan tambahan (PMT), ada tempat khusus yang sesuai dan layak untuk pelaksanaan kegiatan posyandu, ada jadwal, struktur yang tertata dengan jelas, ada laporan bulanan, dan ada salah seorang ditunjuk sebagai pemimpin kader. Umur kader yang banyak dijumpai berkisar 30-40 tahun, pendidikan rata-rata SLTP sederajat yang diharapkan SLTA ke atas. Kader sudah menikah, mempunyai anak balita, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, kader kurang termotivasi dalam melaksanakan kegiatan posyandu alasannya karena tidak pernah mendapatkan insentif dari pemerintah daerah maupun pihak lainnya.
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka Pelaksanaan revitalisasi posyandu untuk menunjang keaktifan kader di Kabupaten X perlu dilakukan penelitian, agar ke depan dapat terselenggaranya posyandu dengan baik juga tercipta alur pelaporan yang jelas, dengan sinkronisasi kerja yang baik antara kader dengan petugas kesehatan secara berkesinambungan, maka laporan hasil kegiatan posyandu maupun di lapangan dapat mengalir dari tingkat desa secara berjenjang sampai pada Dinas Kesehatan Kabupaten dan untuk seterusnya melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkes, 2007).

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana pengaruh karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi terhadap perilaku kader dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Bagaimana pengaruh strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis pengaruh karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Untuk menganalisis pengaruh strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

D. Hipotesis Penelitian
1. Karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur mempunyai pengaruh terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan pelayanan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintahan daerah khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam merumuskan kebijakan-kebijakan guna mendukung strategi peningkatan keaktifan kader sebagai tumpuan upaya optimalisasi revitalisasi posyandu.
2. Bagi program studi administrasi dan kebijakan kesehatan Universitas merupakan tambahan kekayaan penelitian kasus untuk dapat dipergunakan dan dikembangkan khususnya yang menyangkut dengan pemberdayaan tenaga kesehatan dan keaktifan kader posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
3. Menambah dan memperluas wawasan serta pengalaman bagi peneliti dalam mengaplikasikan keilmuan di bidang administrasi kebijakan kesehatan yang berhubungan dengan Keaktifan kader posyandu.
4. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan perbandingan dan acuan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan kebijakan pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar di posyandu.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:41:00

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini nyaris di temukan diseluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan.
Menurut Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2, 5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010).
Di Asia Tenggara termasuk Indonesia epidemik DBD merupakan problem abadi dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai pada anak-anak di bawah usia 15 tahun, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan proporsi penderita DBD pada golongan dewasa dan tidak dikemukakan perbedaan signifikan dalam kerentanan terhadap serangan DBD antar gender (Djunaedi, 2006).
Penyakit DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim penghujan atau beberapa minggu setelah hujan. Pada awalnya kasus DBD memperlihatkan siklus lima tahun sekali selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan perubahan iklim dan kelembaban, terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis penyakit virus dengue atau dari pedesaan ke perkotaan terutama pada daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu (Soegijanto, 2008).
Kota X merupakan salah satu wilayah endemis DBD yang mempunyai mobilitas penduduk cukup tinggi yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya KLB penyakit DBD. Berdasarkan data dari Bidang PMK Dinas Kesehatan Kota X pada tahun 2007 angka kesakitan DBD di Kota X adalah sebesar 132, 12 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan kenaikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tahun 2008 angka kesakitan DBD di kota X sebesar 101.72 per 100.000 penduduk, dimana dari angka tersebut terjadi penurunan bila dibandingkan tahun 2007. Pada tahun 2009, angka kesakitan DBD di kota X sebesar 61, 4 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi mengalami peningkatan yang sangat berarti bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 243, 7 per 100.000 penduduk, kasus tertinggi ditemukan di kecamatan X dengan 216 kasus, sedangkan pada tahun 2011 angka kesakitan DBD sebesar 60, 16 per 100.000 penduduk (142 kasus) mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya (Profil Kesehatan Kota X, 2011).
Berdasarkan hasil pencatatan Penyakit Menular Kesehatan (PMK) Dinkes Kota X (2011) seluruh kecamatan di Kota X berstatus endemis DBD. Kecamatan yang paling sering mengalami peningkatan kasus DBD adalah Kecamatan X, dimana rata-rata angka IR demam berdarah dengue lima tahun terakhir jauh diatas target IR nasional yaitu < 55/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD di Kecamatan X tahun 2007 sebesar 198, 4 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebesar 163, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2009 sebesar 50, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 400, 5 per 100.000 penduduk, dan tahun 2011 sebesar 100, 1 per 100.000 penduduk.
Diduga tingginya angka kejadian DBD ini disebabkan masih banyaknya tempat perindukan nyamuk yang berupa bak mandi, ember, gentong, TPA yang bukan untuk keperluan sehari-hari misalnya vas bunga, ban bekas, tempat sampah, tempat minum burung, dan Iain-lain, serta tempat penampungan air alamiah yaitu lubang pohon, pelepah daun keladi, lubang batu, dan Iain-lain (Depkes, 2005).
Meningkatnya jumlah kasus DBD serta bertambah luasnya wilayah yang terjangkit dari waktu ke waktu di Indonesia disebabkan multi faktorial antara lain semakin majunya sarana transportasi masyarakat; kian padatnya pemukiman penduduk; perilaku manusia seperti kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk; kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air yang tertampung di dalam wadah-wadah dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3M Plus; dan terdapatnya nyamuk Aedes Aegipty sebagai vektor utama penyakit DBD hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus Dengue yang bersirkulasi setiap sepanjang tahun (Ginanjar, 2008 & Kemenkes RI, 2004).
Demikian juga menurut Soegijanto (2006) banyak faktor yang memengaruhi kejadian penyakit DBD di Indonesia antara lain faktor hospes, lingkungan (environment), dan respon imun. Faktor hospes yaitu kerentanan (susceptibility), dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, kebiasaan, sosial ekonomi penduduk, jenis dan kepadatan nyamuk sebagai vektor penular penyakit. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue yang hingga saat ini diketahui ada 4 jenis seroptipe vims Dengue yaitu Dengue 1, 2, 3, 4.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka kejadian DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penelitian Rose (2008) tentang hubungan sosio demografi dan lingkungan fisik dengan kejadian DBD di Kota Pekan Baru, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan fisik seperti jarak rumah, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dengan kejadian DBD (OR= 1, 79. dan OR= 0, 34). Demikian juga halnya dengan penelitian Marsaulina (2005) menyatakan penampungan air terhadap kejadian DBD (dengan OR 5, 8 dan 4, 6). Penelitian Fathi, et.al, (2005) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan antara keberadaan kontainer dengan kejadian KLB penyakit DBD, dan penelitian Nugrahaningsih (2010) menunjukkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk penular DBD adalah keberadaan kontainer.
Faktor kebiasaan masyarakat seperti kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari, dan kebiasaan menggantung pakaian juga berpotensi menimbulkan tingginya kejadian DBD. Sebagaimana hasil penelitian Sitio (2008) tentang hubungan prilaku PSN dan kebiasaan keluarga dengan kejadian DBD tahun 2008 mengungkapkan bahwa ada hubungan signifikan antara kebiasaan keluarga memakai anti nyamuk di siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian siap pakai dengan kejadian DBD (p = 0, 026 ; OR = 4, 34 dan p = 0, 018; OR = 5, 50).
Departemen Kesehatan telah mengupayakan pelbagai strategi untuk mengatasi peningkatan kejadian DBD ini. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD menurut Depkes adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larva sida yang ditaburkan ke tempat penampungan air. Namun kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambah jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan virus vaksin untuk membunuh virus Dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah DBD ialah dengan PSN melalui gerakan 3M Plus yaitu menguras, menutup dan mengubur, ikanisasi di kolam/bak-bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, menggunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, yang dilaksanakan oleh masyarakat secara teratur setiap minggunya.
Berdasarkan kajian tersebut diduga kuat ada pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Kecamatan X merupakan wilayah berstatus endemis DBD dimana angka kejadian DBD terus menerus meningkat dan berfluktuasi setiap tahunnya dan sampai saat ini belum diketahui faktor risiko yang memengaruhi kejadian DBD serta keeratan hubungannya. 

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut : 
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kota X melalui Dinas Kesehatan Kota X dalam merencanakan strategi yang tepat dalam pengendalian dan pencegahan penyakit DBD di Kota X.
2. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue.
3. Menambah referensi ilmiah tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:45:00

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN RUMAH TANGGA SEHAT

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN RUMAH TANGGA SEHAT(PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai visi Indonesia sehat 2010 yaitu masa depan dimana bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan sehat, penduduknya berperilaku hidup bersih dan sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, sehingga memiliki derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan dilandaskan kepada paradigma sehat. Paradigma sehat yang akan mengarahkan pembangunan kesehatan untuk lebih mengutamakan upaya-upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif), tanpa mengenyampingkan upaya-upaya penanggulangan atau penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) (Depkes RI, 2004).
Sehat adalah hak azasi manusia, dan sekaligus memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM). Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia (Depkes RI, 2004).
Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan yang optimal. Dalam mencapai tujuan tersebut telah ditetapkan kebijakan dan visi Indonesia Sehat 2010. Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ditandai oleh penduduk hidup dalam lingkungan yang sehat, produktif, memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia. Promosi kesehatan merupakan pilar utama dari visi Indonesia sehat 2010, bahkan dapat dikatakan sebagai pilar terpenting karena dengan perilaku hidup bersih dan sehat, akan tercipta pilar-pilar yang lain yaitu pilar lingkungan sehat dan pilar pelayanan kesehatan yang bermutu (Depkes RI, 2004).
Untuk mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, ditetapkan 4 misi pembangunan kesehatan yaitu : 1) menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, 2) mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, 3) memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau, 4) memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya (Depkes RI, 2004).
Guna mendukung pencapaian visi Indonesia Sehat telah dilakukan revisi terhadap Sistem Kesehatan Nasional. Dengan keputusan menteri kesehatan nomor 131/menkes/sk/II/2004 tahun 2004 telah ditetapkan sistem kesehatan nasional yang baru sebagai pengganti sistem kesehatan nasional yang ditetapkan pada tahun 1984 salah satu subsistem yang baru adalah subsistem pemberdayaan masyarakat. Subsistem yang baru dapat menghasilkan keluaran berupa perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat sebagai salah satu pilar atau sokoguru utama dari visi Indonesia sehat 2010 (Depkes RI, 2005).
Dengan memperhatikan dasar-dasar pembangunan kesehatan dan untuk mencapai sasaran pembangunan kesehatan tersebut, departemen kesehatan menetapkan visi yaitu masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan mi si Depkes yaitu : membuat rakyat sehat dengan menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai : 1) Berpihak pada rakyat, 2) Bertindak cepat dan tepat, 3) Kerjasama tim, 4) Integritas yang tinggi, 5) Transparan dan akuntabel. Visi dan misi Depkes dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut : 1) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, 2) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, 3) Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, 4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan (Depkes RI, 2006).
Dalam keputusan SK Menkes No. 128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat disebut bahwa salah satu fungsi Puskesmas adalah sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian maka dapat dimengerti bila disebutkan pula bahwa promosi kesehatan merupakan salah satu upaya wajib dilaksanakan di Puskesmas yaitu : promosi kesehatan, KIA dan KB, perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan dan pengobatan, ini berarti bahwa setiap petugas kesehatan di Puskesmas memiliki kewajiban untuk melaksanakan salah satu dari strategi promosi kesehatan yaitu pemberdayaan masyarakat terutama terhadap individu (pasien/klien) dan masyarakat.
Program promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran diri, oleh, untuk dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber dari masyarakat, sesuai dengan budaya dan didukung oleh kebijakan public yang berwawasan kesehatan. Menolong diri sendiri artinya masyarakat mampu berperilaku mencegah timbulnya masalah-masalah dan gangguan kesehatan, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya, serta mampu berperilaku mengatasi apabila masalah dan gangguan kesehatan tersebut terlanjur datang (Depkes RI, 2005).
Program promosi kesehatan mempunyai visi perilaku hidup bersih dan sehat 2010, dan didukung oleh misi promosi kesehatan yaitu 1) memberdayakan individu, keluarga dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik melalui pendekatan individu, keluarga maupun melalui pengorganisasian dan penggerakan masyarakat, 2) membina suasana atau lingkungan yang kondusif bagi terciptanya perilaku hidup bersih dan masyarakat yang sehat, 3) mengadvokasikan para pengambil keputusan dan penentu kebijakan serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Untuk mencapai visi dan misi program promosi menggunakan strategi 1) advokasi, 2) bina suasana, 3) pemberdayaan. Pada hakekatnya program promosi kesehatan adalah penopang utama bagi setiap program kesehatan. Dengan kata lain promosi kesehatan, walaupun berdiri sendiri sebagai salah satu program kesehatan, tetapi tidak berjalan sendiri. 
Promosi kesehatan harus selalu bergandengan tangan dengan setiap program kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya masalah baru, dan mengatasi masalah yang sudah terlanjur ada, serta memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2005).
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan program prioritas dari promosi kesehatan. Dan mempunyai 5 tatanan yaitu : 1) Tatanan rumah tangga sehat, 2) Tatanan institusi pendidikan, 3) Tatanan instansi kesehatan, 4) Tatanan tempat-tempat umum 5) Tatanan tempat kerja (Depkes RI, 2005).
Perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu mau dan mampu mempraktekkan hidup bersih dan sehat, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Menurut Depkes RI tahun 2007 indikator dari tatanan rumah tangga sehat terdiri dari : 1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 2) memberi bayi asi eksklusif, 3) menimbang bayi dan balita setiap bulan, 4) menggunakan air bersih 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, 6) menggunakan jamban sehat, 7) makan sayur dan buah setiap hari, 8) melakukan memberantas jentik nyamuk, 9) melakukan aktifitas fisik setiap hari, 10) tidak merokok di dalam rumah. Perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan anggota keluarga, mencegah risiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit. PHBS di rumah tangga merupakan proses pemberdayaan keluarga untuk terwujudnya rumah tangga sehat. PHBS di rumah tangga merupakan salah satu kewenangan wajib standar pelayanan minimal bidang kesehatan bagi pemerintah kabupaten/kota sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005. PHBS di rumah tangga merupakan langkah strategis untuk mempercepat tercapainya rumah tangga sehat, desa sehat, kecamatan sehat, kabupaten/kota sehat, provinsi sehat dan Indonesia sehat (Depkes RI, 2008).
Sesuai dengan strategi Indonesia sehat 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi, Depkes pusat telah menetapkan visi dan misi puskesmas. Visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas adalah terwujudnya kecamatan sehat tahun 2010. Puskesmas berfungsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan, dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama program. Puskesmas tercakup dalam program kesehatan dasar atau program ini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan sebagian besar masyarakat dan masalah kesehatan masyarakat yang berpotensi berkembang di wilayah kerjanya serta untuk mendukung tercapainya kecamatan sehat 2010 (Muninjaya, 2004).
Tugas pokok tenaga promosi kesehatan adalah : 1) melaksanakan pengkajian, 2) perencanaan yaitu rumusan masalah dengan tujuan peningkatan perilaku yang diinginkan meliputi kegiatan intervensi terhadap faktor penyebab penyakit, 3) penggerak pelaksanaan adalah kesiapan kegiatan pra pelaksanaan yaitu sarana dan pelaksanaan kegiatan sesuai rencana, 4) pemanfaatan fokus yang pemantauan pra pelaksanaan dan apabila ada penyimpangan segera dilakukan perbaikan, 5) penilaian fokusnya pada perbaikan rencana yang perlu dilihat keseluruhan komponen rumusan tujuan, jenis kegiatan intervensi dan lain-lain, 6) pelaporan keseluruhan proses dan komponen termasuk tujuan yang dicapai, sumber daya yang digunakan, dan lain-lain (Depkes RI, 2005).
Promosi kesehatan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan kesehatan masyarakat, yaitu bersama masyarakat, sesuai dengan lingkungan sosial budaya setempat, agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan. Promosi kesehatan juga berperan dalam proses peningkatan kualitas tenaga kesehatan agar lebih responsif dan mampu memberdayakan masyarakat, sehingga akan tercapai pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa promosi kesehatan merupakan pembangunan pilar utama dari visi Indonesia Sehat 2010, yaitu pilar perilaku sehat. Dan pilar ketiga pelayanan kesehatan akan ikut berkembang menuju tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2004).
Namun dalam melaksanakan tugasnya ada hambatan-hambatan yang di jumpai yaitu : 1) Puskesmas X hanya mempunyai satu petugas promosi kesehatan, 2) Terbatasnya jangkauan untuk membina wilayah kerja Puskesmas X seperti sarana transportasi dan alat peraga, 3) Terbatasnya dana untuk membina masyarakat dan melaksanakan kegiatan promosi kesehatan.
Berdasarkan pada kenyataan di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian di Puskesmas X mengenai program promosi kesehatan yaitu faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah penelitian ini adalah ada faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat.

E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka manfaat penelitian ini sebagai berikut : 
1. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas X tentang rumah tangga yang sehat agar dapat terhindar dari penyakit.
2. Sebagai bahan kajian dan masukan bagi petugas pelaksana program kesehatan di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 05:51:00