Home » Posts filed under skripsi kebidanan
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PIJAT BAYI TERHADAP PRAKTIK PIJAT BAYI DI POLINDES
PENGARUH ANEMIA TERHADAP MOTIVASI BELAJAR SISWA
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG ANEMIA DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA IBU HAMIL
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU MENYUSUI TENTANG KOLOSTRUM DENGAN PEMBERIANNYA
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG ASI DENGAN PEMBERIAN KOLOSTRUM PADA IBU MENYUSUI
Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause
Pengaruh Masa Trotzalter Terhadap Status Gizi Balita Di Posyandu
PERUBAHAN POLA MENSTRUASI PADA 9 BULAN PERTAMA KB SUNTIK DMPA DI KLINIK
Keluarga berencana merupakan tindakan untuk membantu individu atau pasangan suami istri mendapat objek tertentu, menghindari kelahiran yang diinginkan, menghindari interval di antara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dan hubungan dengan suami istri, serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hanafi H. 2004).
HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI MENJADI BIDAN DENGAN PRESTASI BELAJAR ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN
Motivasi mendorong seseorang untuk bertingkah laku (Uno, 2007). Seseorang yang memiliki motivasi untuk sukses akan berusaha untuk mencapai keinginannya tersebut. Tanpa motivasi seseorang akan melakukan kegiatan tanpa terarah dan sungguh-sungguh dan kemungkinan besar tidak akan membawa hasil (Sukmadinata, 2004).
MOTIVASI MAHASISWA MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN D-IV BIDAN PENDIDIK
Tujuan pendidikan program studi D-IV kebidanan adalah untuk menghasilkan Sarjana Saint Terapan (SST) kebidanan professional yang mampu melaksanakan tugas-tugas dan kompetensi, seperti : mengembangkan dirinya sebagai bidan profesional yang berkepribadian Indonesia, menerapkan konsep keilmuan dan keterampilan profesinya dalam pelayanan kebidanan, memberikan pelayanan kebidanan di masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kultur budaya, mampu mengembangkan dirinya sebagai seorang pendidik secara profesional dibidang ilmu kebidanan, meningkatkan penguasaan ilmu kebidanan untuk kepentingan dirinya baik sebagai bidan maupun pendidik (Brodjonegoro, 2007).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA DALAM MATAKULIAH PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III DALAM MATAKULIAH PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN DI AKADEMI KEBIDANAN X
1.1 Latar Belakang
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pada tahun 1902 bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi dan lulusan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang kurang mampu secara cuma-cuma.
Pada tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun. Pada tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada tahun 1975-984 institusi pendidikan ditutup, sehingga 10 tahun tidak menghasilkan bidan.
Pada tahun 1989 dibuka kursus program pendidikan bidan secara nasional, program ini dikenal sebagai program Pendidikan Kebidanan Bidan A (PPB/A). Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B dan C.
Selain program pendidikan bidan diatas, sejak tahun 1994-995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning), kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan mutu tenga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal Health yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Kebidanan di seluruh Indonesia pada tahun ini telah meluluskan peserta didik sebanyak 1196 orang. Harapan yang tinggi terhadap lulusan yang dihasilkan oleh pendidikan ini ialah mampu menganalisis, mengantisipasi, dan lebih cepat dan tepat mengambil keputusan untuk menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi, yang berdampak pada kesejahteraan keluarga.
Pengembangan pendidikan kebidanan seyogianya dirancang secara berkesinambungan, berlanjut sesuai dengan prinsip belajar seumur hidup bagi bidan yang mengabdi ditengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan yang berkelanjutan ini bertujuan untuk mempertahankan profesionalisme bidan baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan formal. Dikatakan professional apabila memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dihasilkan pendidikan yang cukup untuk memenuhi kompetensi profesionalnya.
Bidan dalam melakanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan, dimana wewenang yang diberikan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Permenkes 900, 2002).
Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa, dimana dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kwewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian yaitu dengan cara menyediakan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dan dekat dengan masyarakat difokuskan pada tiga pesan kunci Making Pregnency Safer (MPS), yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat dan setiap wanita subur mempunyai akses terhadap pncegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dibutuhkan tenaga kesehatan yang terampil dan didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan standar kebidanan (Azwar, 2002).Kurikulum Pendidikan Diploma III Kebidanan disusun melalui proses pemahaman dasar kesehatan reproduksi, analisa, asuhan, dan pelayanan kebidanan, penetapan peran, fungsi dan kompetensi bidan. Berdasarkan kompetensi tersebut ditentukan mata kuliah yang diperlukan dalam memenuhi kualifikasi bidan professional, salah satunya adalah mata kuliah praktek klinik kebidanan.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa yaitu faktor internal yang meliputi intelegensia, sikap, bakat, minat dan motivasi. Faktor eksternal yang meliputi keluarga, akademik, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Pada penelitian juga akan dibahas kemampuan dosen, serta kegiatan pembelajaran (Djaali, 2007).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rospita Lubis, di AKBID X pada mahasiswa tingkat II semester IV tahun 2005, didapati kesimpulan bahwa faktor motivasi mempunyai pengaruh terhadap pencapaian kemampuan dari matakuliah asuhan kebidanan pada ibu, dimana didapati dari 69 responden didapatkan bahwa75.3% memiliki motivasi yang tinggi sehingga mendapat nilai yang baik, 71,0% responden berpendapat tingkat kemampuan dosen yang paling tinggi adalah berada pada kategori mampu, 74% responden berpendapat bahwa kegiatan pembelajaran yang paling sering dilakukan di AKBID X adalah kegiatan pembelajaran dengan metode diskusi.
Nilai mahasiswa X angkatan pertama dari matakuliah praktek klinik kebidanan untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik 6 orang, baik sebanyak 59 orang, cukup sebanyak 4 orang. Nilai semester VI yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 10 orang, baik sebanyak 35 orang, dan yang mendapat nilai cukup 24 orang. Nilai mahasiswa angkatan kedua untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik 17 orang, baik sebanyak 40 orang, cukup sebanyak 12 orang. Nilai semester VI yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 8 orang, baik sebanyak 37 orang, cukup sebanyak 24 orang. Nilai angkatan ketiga untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 6 baik, baik sebanyak 49 orang, dan yang mendapat nilai cukup 4 orang.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan di Akademi Kebidanan X.
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan di Akademi Kebidanan X.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan DI Akademi Kebidanan X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi faktor internal (faktor dari dalam) terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
2. Mengidentifikasi faktor eksternal (faktor dari luar) terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
3. Mengidentifikasi kemampuan dosen terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
4. Mengidentifikasi kegiatan pembelajaran terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek kilnik kebidanan.
5. Mengidentifikasi lahan praktek klinik terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang pentingnya mata kuliah praktek klinik kebidanan dalam melakukan penelitian.
1.4.2. Bagi Institusi Tempat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi staf pengajar AKBID X sebagai bahan pertimbangan dalam hal pemberian mata kuliah praktek klinik kebidanan.
1.4.3. Bagi Institusi
Sebagai bahan masukan bagi program pendidikan D-IV Bidan Pendidik untuk penelitian selanjutnya.
HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT I PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN STIKES X
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini peradaban manusia semakin berkembang dengan pesat. Pola kehidupan manusia akan selalu berubah, disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sistem perekonomian yang semakin tertata, peralatan elektronik dan telekomunikasi yang semakin canggih serta pemberdayaan dalam semua bidang kehidupan yang semakin optimal. Kesemuanya tidak terlepas dari campur tangan pendidikan. Bisa dikatakan pendidikan memegang pengaruh penting dalam menciptakan kualitas suatu bangsa. Mulai dari bagaimana cara manusia memngenali sesuatu, sampai bagaimana melatih manusia agar mampu memunculkan suatu inovasi yang luar biasa. Oleh karena itu, untuk memajukan suatu bangsa, pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 th 2003 dalam Hasbulloh, 2005 : 4). Dalam pendidikan tentunya mencakup peserta didik, pengajar dan keluarga, dimana ketiganya saling berkaitan erat. Pada pelaksanaannya, proses belajar-mengajar akan menghasilkan suatu output berupa prestasi belajar (Rahayu, 2004 : 2).
Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan melalui mata (Kamus Besar bahasa Indonesia, 2001 : 895). Menurut Rahayu (2004 : 48) prestasi belajar merupakan perwujudan keberhasilan belajar peserta didik yang menunjukkan keuletan dan kesungguhannya dalam belajar.
Dalam penyelenggaraan pendidikan tentunya hasil yang ingin dicapai adalah predikat baik, namun kenyataannya dalam setiap proses belajar mengajar menunjukkan tidak semua peserta didik memperoleh prestasi belajar yang memuaskan. Ada sebagian peserta didik yang memperoleh hasil kurang meskipun penyampaian materi sama. Hal ini dapat dimaklumi karena kemampuan dan kecakapan yang dimiliki setiap peserta didik tidak sama (Rahayu, 2004 : 3).
Belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif (Skinner dalam Syah, 2005 : 64). Menurut Gerungan (2000 : 54) salah satu usaha seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya adalah dengan interaksi sosial. Sehingga bisa dikatakan bahwa interaksi sosial peserta didik terhadap lingkungannya dapat memberikan pengaruh terhadap proses penyesuaian diri (belajar).
Menurut Rahayu (2004 : 51) pada prinsipnya faktor yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik berasal dari internal maupun eksternal. Faktor internal mencakup keadaan fisiologis dan psikologis.. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan yang meliputi faktor sosial dan non sosial. Interaksi sosial adalah pengaruh timbal balik antara dua belah pihak, yaitu antara individu satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Syani, 2002 : 151). Dalam hal ini interaksi merupakan perpaduan antara faktor psikologis peserta didik (internal) dengan faktor lingkungan khususnya lingkungan sosial (eksternal) untuk mencapai suatu hasil belajar yang optimal.
Salah satu faktor lingkungan sosial yang turut berperan dalam proses belajar peserta didik adalah lingkungan institusi pendidikan. Lingkungan institusi pendidikan adalah lingkungan yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik selain lingkungan keluarga (Syah, 2005 : 152-153). Dikatakan oleh Sukmadinata (2003 : 28) bahwa lingkungan institusi pendidikan adalah faktor utama yang mempengaruhi pendidikan. Sehingga faktor lingkungan institusi pendidikan yang mencakup interaksi sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap tingkat pencapaian belajar.Interaksi sosial peserta didik dalam lingkungan institusi pendidikan di bedakan menjadi beberapa macam, dapat terjadi antara peserta didik dengan peserta didik yang lainnya, dengan pengajar atau karyawan. Khusus dalam lingkup kelas interaksi sosial antara peserta didik dengan temannya, dinilai sangat penting karena dapat memberikan motivasi belajar yang baik bagi peserta didik tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Slameto (2003 : 68) yaitu relasi peserta didik dengan peserta didik yang lain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan X Klaten berdiri pada tahun 2005 dengan membuka dua Program Studi, yaitu S1 Keperawatan dan Diploma III Kebidanan. Sebagai salah satu institusi pendidikan yang bergerak dibidang kesehatan, tentunya Stikes X memiliki tujuan yang sama dengan institusi pendidikan yang lain, yaitu menghasilkan output mahasiswa yang kompeten baik dari segi teori maupun praktek. Untuk mencapai tujuan tersebut, hendaknya segala faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar harus diperhatikan. Yang sudah baik dipertahankan dan yang masih kurang memadai harus segera ditingkatkan, mengingat Stikes X merupakan institusi pendidikan yang tergolong masih muda berkecimpung di kancah pendidikan kesehatan. Kualitas harus ditingkatkan, agar dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat.
Telah dijelaskan di depan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar mahasiswa, salah satunya adalah interaksi sosial. Dalam penelitian ini, penulis hanya mengambil responden mahasiswa tingkat I, harapannya adalah memperoleh perbedaan interaksi sosial yang lebih signifikan antara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain, mengingat mahasiswa tersebut berada pada tahun pertama yang merupakan masa adaptasi dengan lingkungan sekolah, baik dengan dosen, karyawan atau sesama teman.
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud membahas mengenai hubungan antara interaksi sosial (khususnya interaksi sosial mahasiswa dengan mahasiswa yang lain) dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :
Apakah ada hubungan antara interaksi sosial dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui : Hubungan antara interaksi sosial dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi institusi pendidikan Stikes X
Sebagai masukan positif bagi pihak institusi pendidikan, untuk lebih memperhatikan mahasiswa dengan prestasi belajar rendah. Apabila interaksi sosial terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar, segenap anggota institusi pendidikan harus berupaya untuk dapat memaksimalkan interaksi sosial yang positif di dalam lingkungan institusi pendidikan tersebut.
2. Bagi mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X
Memberikan motivasi positif bagi mahasiswa agar dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan institusi pendidikan yang memiliki peran penting dalam proses pembelajaran mahasiswa.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian yang relevan dan mendalam pada masa yang akan datang.
Pengaruh Anemia Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas Satu Dan Dua SMP
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Anemia Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas Satu Dan Dua SMP X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi yang semakin pesat memacu perkembangan dunia ke arah globalisasi yang akan berakibat secara langsung terhadap terjadinya persaingan yang semakin ketat di berbagai bidang kehidupan. Kualitas sumber daya manusia yang baik diperlukan untuk menyongsong era globalisasi tersebut sehingga masyarakat mampu berperan secara aktif dan produktif (Priyo Sudibyo dalam Jurnal Dinamika, XXXX).
Sektor pendidikan dan sektor kesehatan merupakan sektor utama dan berada pada posisi yang penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia ini. Pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar di bidang pendidikan sedangkan di bidang kesehatan, pemerintah meningkatkan berbagai upaya kesehatan masyarakat melalui perbaikan gizi, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan ibu dan anak (Nasrin dan Rahmat, 1994). Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang masih banyak terjadi di seluruh dunia terutama di Negara-negara berkembang.
Berdasarkan laporan WHO, jumlah orang di seluruh dunia yang mengalami anemia masih cukup tinggi, yaitu sekitar 2 milyar dari total jumlah penduduk dunia (5,5 milyar). Di Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 100 juta orang yang mengalami anemia. Sedangkan survei kesehatan yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota X diperoleh jumlah remaja wanita yang menderita anemia sebesar 49,3% dari 300 responden yang diperiksa di seluruh puskesmas wilayah X (Sudoyo dalam Portal PT Combiphar, XXXX).
Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah sehingga mengakibatkan fungsi dari Hb untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik. Kasus anemia yang terjadi di Indonesia pada umumnya karena kekurangan zat besi. Jenis dan besaran masalah gizi di Indonesia tahun 2001-2003 menunjukkan 3,5 juta remaja dan wanita usia subur menderita anemia gizi besi. Persoalan zat besi masih menjadi persoalan serius bagi Indonesia karena kekurangan zat besi memainkan andil besar terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia (Sutaryo dalam Republika, XXXX).
Anemia bisa menyerang laki-laki dan wanita dari berbagai kelompok umur tetapi anemia lebih banyak diderita kaum wanita. Wanita rentan mengalami defisiensi zat besi disebabkan oleh menstruasi yang terjadi setiap bulan serta pola makan yang tidak baik seperti melakukan diit agar tetap langsing. Pola makan yang tidak baik itu mengakibatkan asupan zat besi dari makanan sangat kurang sehingga dapat menimbulkan anemia gizi besi (Samuel dalam Republika, XXXX).
Dampak yang ditimbulkan anemia gizi besi ini, terutama pada anak sekolah antara lain adalah kesakitan dan kematian meningkat, pertumbuhan fisik, perkembangan otak, motorik, mental dan kecerdasan terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun serta interaksi sosial kurang. Bahkan anemia dapat menurunkan produktivitas kerja hingga 20%. Keadaan ini tentu memprihatinkan bila menimpa anak-anak Indonesia yang akan menjadi penerus pembangunan (Depkes RI, XXXX).
Banyak sekolah yang telah didirikan di daerah X sebagai tempat untuk belajar anak-anak bangsa. SMP X merupakan sekolah menengah pertama yang terletak di pinggiran kota. Berdasarkan data di SMP X, sebagian besar siswa di sekolah ini berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi menengah ke bawah sehingga masih banyak siswa yang mengkonsumsi makanan rendah gizi. Konsumsi makanan yang rendah gizi tersebut dapat menyebabkan siswa mudah menderita anemia.
Beberapa uraian di atas sangat menarik perhatian penulis sehingga penulis ingin meneliti lebih mendalam tentang pengaruh anemia terhadap prestasi belajar siswa putri kelas I dan II SMP X.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah yang diajukan adalah apakah ada pengaruh anemia terhadap prestasi belajar siswa putri kelas I dan II SMP X?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui tentang pengaruh anemia terhadap prestasi belajar siswa putri kelas I dan II SMP X.
2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui prestasi belajar siswa kelas I dan II yang menderita anemia maupun yang tidak menderita anemia.
2. Untuk mengetahui karakteristik siswa kelas I dan II yang menderita anemia.
D. Manfaat Penelitian
1. Dapat meningkatkan pengetahuan siswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang pentingnya pengaruh anemia terhadap prestasi belajar.
2. Sebagai bahan pertimbangan agar pihak yang terkait lebih memperhatikan keadaan siswa, khususnya penderita anemia karena generasi muda ini akan menjadi generasi penerus bangsa.
3. Dapat menyadarkan pihak yang terkait terhadap tanggung jawab mereka untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan pertama yang terbaik bagi bayi hingga usia 4-6 bulan. Setelah itu bayi harus diperkenalkan dengan ragam makanan padat, meski ASI masih tetap diberikan hingga anak berumur dua tahun bahkan lebih. Pemenuhan kebutuhan gizi terutama diperlukan sejak masa janin sampai anak berusia lima tahun. Pemenuhan gizi pada masa rawan ini sangat menentukan kualitas seseorang ketika mencapai usia reproduksi (Krisnatuti, 2000).
Agar pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) berjalan baik maka diperlukan pengetahuan dan perilaku yang baik pula mengenai MP-ASI. Dan salah satu faktor intern yang mempengaruhi terbentuknya perilaku manusia adalah pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan pada dasarnya adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Perilaku kesehatan dipengaruhi pula oleh pengetahuan sebagai faktor predisposisi. Jika pengetahuan tentang MP-ASI baik diharapkan pula pada akhirnya perilaku terhadap pemberian MP-ASI juga baik (Notoatmodjo, 2007).
Pemberian MP-ASI meliputi terutama mengenai kapan MP-ASI harus diberikan, jenis bentuk dan jumlahnya (Krisnatuti, 2000). Waktu yang tepat untuk pemberian MP-ASI adalah usia 4-6 bulan (Lawson, 2003). Cara pemberian pertama kali berbentuk cair menjadi lebih kental secara bertahap (Octopus, 2006). Jadi pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas ataupun kuantitas, penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak (Graimes, 2008).
Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005, menyebutkan bahwa kurang lebih 40% bayi usia kurang dari dua bulan sudah diberi MP-ASI. Disebutkan juga bahwa bayi usia nol sampai dua bulan mulai diberikan makanan pendamping cair (21,25%), makanan lunak/lembek (20,1%), dan makanan padat (13,7%). Pada bayi tiga sampai lima bulan yang mulai diberi makanan pendamping cair (60,2%), lumat atau lembik (66,25%), dan padat (45,5%) (anonim2, 2009). Dan dari beberapa penelitian dinyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat dan ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar sehingga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, masalah pemberian MP-ASI yang tidak tepat juga terjadi di Desa X Kecamatan X. Berdasarkan data primer yang diperoleh dari Puskesmas Kecamatan terdapat ± 52% bayi kurang dari dua bulan sudah diberi makanan selain ASI. Salah satu penyebabnya, mungkin karena Ibu tidak mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga mereka memberikan MP-ASI terlalu dini dan tidak bervariasi. Bahkan terdapat beberapa balita dengan kasus berat badan kurang berdasarkan umur. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI di Desa X Kecamatan X.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat adalah "Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) di Desa X Kecamatan X?".
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum.
Menganalisa hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI di Desa X Kecamatan X.
2. Tujuan Khusus.
a. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu di Desa X Kecamatan X.
b. Mengetahui bagaimana waktu, cara, syarat, tujuan, manfaat dan jenis serta macam pemberian makanan pendamping ASI di Desa X Kecamatan X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis.
a. Bagi Tenaga Kesehatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada tenaga kesehatan khususnya bidan untuk meningkatkan penyuluhan tentang makanan pendamping ASI di masyarakat.
b. Bagi Kader Kesehatan dan Masyarakat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi kader kesehatan dan masyarakat tentang manfaat pemberian makanan pendamping ASI yang baik dan benar.
E. Keaslian Penelitian
Di Instansi D IV Kebidanan Universitas X, Karya Tulis tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian makanan pendamping ASI pernah dilakukan yaitu, Hubungan Pendidikan Ibu dengan Pemberian Makanan Pendampimg ASI di Desa Trosemi Kecamatan Gatak Kabupaten X, oleh Susilowati, 2007. Di instansi lain juga pernah melakukan studi kasus serupa yaitu Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Makanan Tambahan dengan Pertumbuhan Anak Balita di Desa Jetis Klaten Selatan, oleh Indarwati Budiastuti, Fakultas kedokteran X, 1999.
Karya tulis ini berbeda dengan karya tulis sebelumnya, yaitu dalam hal tempat dan waktu penelitian, subyek penelitian dan analisa data yang digunakan.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 Tahun Di Desa X
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes X
PENGARUH MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL KEBIDANAN PADA BADAN RSUD X
(Kode KEBIDANN-0026) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL KEBIDANAN PADA BADAN RSUD X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mutu Pelayanan kesehatan adalah Penampilan yang pantas dan sesuai (yang sesuai dengan standar-standar) dari suatu intervensi yang diketahui aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang bersangkutan dan yang telah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dampak pada kematian, kesakitan, ketidakmampuan dan kekurangan gizi. (Roemer dan Aguilar, 1988)
Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang memuaskan harapan dan kebutuhan masyarakat melalui pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan dan kebutuhan pemberi pelayanan, pada institusi pelayanan yang diselenggarakan secara efisien. Interaksi ketiga pilar utama pelayanan kesehatan yang serasi, selaras dan seimbang, merupakan panduan dari kepuasan tiga pihak, dan ini merupakan pelayanan kesehatan yang memuaskan (satisfactory healty care). (Sugito, 2001)
Indikator utama untuk mengetahui standar rumah sakit adalah kepuasan pasien terhadap pelayanan dari rumah sakit. Pelayanan yang baik dari suatu rumah sakit akan membuktikan rumah sakit tersebut bermutu baik. Ini dapat dilihat dari penanganan pasien yang cepat, tepat, dan ramah tamah dari petugas kesehatan. ( Eravianti, 2009)
Pada evaluasi mutu pelayanan rawat inap di Bangsal Anggrek RSUD Karanganyar yang dilakukan oleh Purwoko tahun 2009terdapat 52,94% pasien tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Salah satu cara untuk menarik pasien dan memenangkan persaingan adalah dengan cara memberikan jasa pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan yang dapat memberikan kepuasan. Kepuasan memberikan pengaruh terhadap pasien untuk mengulang untuk menggunakan jasa Rumah Sakit kembali. ( Kotler, 2005)
Peran Petugas Kesehatan adalah salah satu penyedia pelayanan kesehatan khususnya di bidang keperawatan, dituntut mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat memberi kepuasan pasien serta keluarganya dalam batas standar pelayanan profesional. ( Purwoko, 2009)
Pada penelitian yang sama dilakukan oleh Kastanto pada tahun 2005 tentang pengaruh pelayanan medis dan pelayanan non medis terhadap kepuasan pasien di Bangsal Dahlia pada Badan Rumah Sakit Umum Daerah X didapatkan hasil 46,5% pasien tidak puas. Salah satu yang mempengaruhi ketidak puasan pasien adalah segi pelayanan medis.
Rumah Sakit Umum Daerah X merupakan Rumah Sakit pemerintah tipe C. Karena letak yang strategis Rumah Sakit ini mudah dijangkau oleh masyarakat. Selain itu Rumah Sakit X juga sebagai Rumah Sakit rujukan terdekat.
Dari tahun ke tahun Rumah Sakit X sudah mengalami peningkatan pelayanan kesehatan dengan menambah fasilitas serta jumlah tenaga kesehatan. Tetapi semua ini tidak cukup jika masih banyak aspek penting yang belum ditingkatkan, seperti keramahan petugas, perawat dan dokter yang kurang komunikatif terhadap pasien dan lambannya penanganan kegawat daruratan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan mengenai pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan di Rumah Sakit Umum Daerah X.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien di Bangsal Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah X?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui mutu pelayanan kesehatan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan kepuasan pasien.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan.
d. Untuk mengetahui kualitas pelayanan yang bermutu yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
D. Manfaat
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Teoritik
Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang mutu pelayanan serta kepuasan pasien di Rumah Sakit.
2. Aplikatif
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan dalam menentukan mutu pelayanan bagi Rumah Sakit Umum Daerah X di masa mendatang.
b.Bagi Pasien
Untuk memberikan masukan pada pasien bagaimana memilih Rumah Sakit yang bermutu/berkualitas.
c.Bagi Pihak Lain
Sebagai penambah pengetahuan dan bahan bacaan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sebagai bahan rujukan dalam penelitian selanjutnya.
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KONTRASEPSI SUNTIK DENGAN KEPATUHAN JADWAL PENYUNTIKAN ULANG DI RUMAH BERSALIN X
(Kode KEBIDANN-0025) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KONTRASEPSI SUNTIK DENGAN KEPATUHAN JADWAL PENYUNTIKAN ULANG DI RUMAH BERSALIN X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan "Keluarga Berkualitas Tahun 2015". Keluarga yang berkualitas adalah yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Saifuddin, 2003).
Program pelayanan keluarga berencana (KB) mempunyai arti penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang sejahtera, disamping program pendidikan dan kesehatan. Kesadaran mengenai pentingnya kontrasepsi di Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya peningkatan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2015 (BKKBN, 2008).
Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, di samping isu tentang global warming, keterpurukan ekonomi, masalah pangan serta menurunnya tingkat kesehatan penduduk. Jumlah penduduk yang besar tanpa disertai dengan kualitas yang memadai, justru menjadi beban pembangunan dan menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional (BKKBN, 2008).
Fakta yang perlu diperhatikan adalah pola kecenderungan pemakaian kontrasepsi di Indonesia. Pemakaian metode kontrasepsi suntik memperlihatkan kecenderungan peningkatan pada beberapa kurun waktu terakhir ini. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007, pola pemakaian kontrasepsi terbesar yaitu suntik sebesar 31,6 %, pil sebesar 13,2 %, IUD sebesar 4,8 %, implant 2,8 %, kondom sebesar 1,3 %, kontap wanita (Medis Operasi Wanita-MOW) sebesar 3,1 % dan kontap pria (Medis Operasi Pria-MOP) sebesar 0,2 %, pantang berkala 1,5 %, senggama terputus 2,2 % dan metode lainnya 0,4 %. Terjadi kenaikan pemakaian metode kontrasepsi suntik dari tahun 1991 sampai 2007. Pada tahun 1991 terdapat 11,7 %, 1994 menjadi 15,2 %, 1997 menjadi 21,1 %, 2003 menjadi 27,8 % dan 2007 mencapai 31,6 % (BKKBN, 2008).
Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2005 di X terdapat 37.838 peserta aktif KB yang terdiri dari akseptor KB IUD (10.225), akseptor KB MOP (93), akseptor KB MOW (169), akseptor KB implan (574), akseptor KB suntik (18.016), akseptor KB pil (4.628), dan akseptor KB kondom (2.633).
Saifuddin (2003) menyatakan bahwa pada umumnya akseptor lebih memilih metode kontrasepsi suntik karena alasan praktis yaitu sederhana dan tidak perlu takut lupa. Kontrasepsi suntik memiliki efektifitas yang tinggi bila penyuntikannya dilakukan secara teratur dan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Ketepatan waktu untuk suntik kembali merupakan kepatuhan akseptor karena bila tidak tepat dapat mengurangi efektifitas kontrasepsi tersebut. Kegagalan dari metode kontrasepsi suntik disebabkan karena keterlambatan akseptor untuk melakukan penyuntikan ulang. Dalam penelitian ini penulis hanya akan meneliti tentang kontrasepsi suntik Depo Medroksi Progesteron Acetate (DMPA).
Jumlah akseptor kontrasepsi suntik di Rumah Bersalin (RB) X pada bulan Januari sampai Mei 2009 sebanyak 1.223 akseptor, sedangkan akseptor yang melakukan kunjungan ulang untuk kontrasepsi DMPA 594 akseptor. Rata-rata jumlah akseptor yang melakukan kunjungan ulang untuk kontrasepsi suntik DMPA setiap bulan adalah 112 akseptor. Dari 594 akseptor kontrasepsi suntik DMPA terdapat 62 akseptor (10,44%) yang melakukan kunjungan ulang tidak sesuai pada jadwal yang telah ditentukan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut peneliti ingin mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Kontrasepsi Suntik DMPA dengan Kepatuhan Jadwal Penyuntikan Ulang di Rumah Bersalin (RB) X.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang di RB X tahun 2009?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang di RB X.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan akseptor tentang kontrasepsi suntik DMPA.
b. Untuk mengetahui kepatuhan jadwal penyuntikan ulang pada akseptor kontrasepsi suntik DMPA.
c. Untuk menganalisa hubungan tingkat pengetahuan akseptor tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Menambah wawasan pengetahuan yang berhubungan dengan kontrasepsi suntik Depo Medroksi Progesteron Asetat (DMPA).
2. Manfaat aplikatif
a. Bagi profesi kesehatan
Sebagai masukan bagi profesi kesehatan umtuk memberikan konseling pada akseptor yang menggunakan kontrasepsi suntik DMPA agar melakukan penyuntikan ulang sesuai jadwal yang telah ditentukan.
b. Bagi Pemerintah
Sebagai masukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan akseptor kontrasepsi suntik DMPA terhadap jadwal penyuntikan ulang.
c. Bagi masyarakat
Meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya akseptor kontasepsi suntik DMPA untuk melakukan penyuntikan ulang sesuai jadwal.
HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT GIZI DENGAN KEJADIAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)
(Kode KEBIDANN-0023) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT GIZI DENGAN KEJADIAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa saat sebelum mulai menstruasi, sejumlah wanita biasanya mengalami rasa tidak enak. Mereka biasanya merasakan satu atau beberapa gejala yang disebut sebagai kumpulan gejala sebelum menstruasi atau istilah populernya Premenstrual Syndrome (PMS) (Burns, 2000). PMS merupakan masalah kesehatan umum yang paling banyak dilaporkan oleh wanita usia reproduktif (Freeman, 2007).
Perkiraan untuk prevalensi PMS adalah sekitar 5% (Glasier, 2006). Tingginya masalah PMS pada wanita akan berdampak pada produktivitas kerja. Gejala-gejala tersebut ada yang bersifat cukup berat sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari (Mason, 2008). Gejala fisik dan psikologis yang sering dilaporkan adalah rasa kembung, pembengkakan dan nyeri payudara, ketegangan, depresi, mood yang berubah-ubah dan perasaan lepas kendali (Glasier, 2006).
Penyebab PMS belum dapat diketahui secara pasti. Namun ada beberapa teori yang menyebutkan bahwa PMS disebabkan antara lain karena faktor hormonal yakni ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron. Penyebab lain yang kemungkinan terjadi yaitu berhubungan dengan faktor kejiwaan, masalah sosial, atau fungsi serotonin yang dialami penderita serta kekurangan zat-zat gizi (Karyadi, 2008).
Dalam suatu penelitian pada tahun 2005 yang berjudul Calcium and Vitamin D Intake and Risk of Incident Premenstrual Syndrome yang melibatkan 1057 wanita, setelah dikelompokkan sesuai usia, paritas, status merokok, dan faktor resiko lain, menunjukkan tingkat konsumsi tinggi kalsium (p=0,02, OR=0,703) dan vitamin D yang relatif tinggi dapat mengurangi terjadinya PMS (p=0,01, OR= 0,597) (Hankinson, 2005).
Menurut Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN (2005), wanita usia subur (wanita usia reproduktif) adalah wanita yang berumur 18-49 tahun yang berstatus belum kawin, kawin ataupun janda. Terdapat fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gelaja yang sama dan kekuatan PMS yang sama sebagaimana yang dialami oleh wanita yang lebih tua (Freeman, 2007).
Perempuan dengan pendidikan formal yang lebih tinggi, misalnya mahasiswi, cenderung akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, sehingga akan lebih mampu serta mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan dan gangguan-gangguan kesehatan yang mungkin terjadi (Anne, 1999).
Seorang mahasiswi kadang kala mengalami stres dalam menjalankan kegiatan perkuliahan, yang dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya (Mulyono, 2001). Faktor stres dapat memperberat gangguan PMS (Wikipedia, 2009). Di samping itu, kondisi sosial ekonomi yang berbeda antara masing-masing individu dapat mencerminkan keteraturan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari yang pada akhirnya akan menunjukkan asupan zat gizi secara spesifik.
Karena latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara asupan zat gizi dengan PMS.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan yang bermakna antara asupan zat gizi meliputi asupan karbohidrat, vitamin B6, vitamin E, lemak, magnesium, dan kalsium dengan PMS?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara asupan zat gizi dengan PMS.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi asupan zat gizi wanita usia subur pada mahasiswi X.
b. Mengidentifikasi kejadian PMS wanita usia subur pada mahasiswi X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
a. Bagi peneliti sendiri, dapat memperdalam pengetahuan tentang asupan zat gizi dan PMS.
b. Bagi institusi pendidikan, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang PMS terutama dalam hubungannya dengan status gizi.
c. Bagi profesi kebidanan, sebagai bahan kajian/informasi dalam mengkaji, menganalisa, mendiagnosa dan memberikan perawatan pada wanita yang mengalami PMS.
2. Manfaat Aplikatif
Dapat memberikan masukan bagi wanita usia reproduktif untuk mengatur kebutuhan gizi sehingga dapat meminimalkan gejala-gejala PMS.