PENINGKATAN HASIL BELAJAR PKN MATERI BERPERILAKU MULIA SESUAI PANCASILA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN VCT PERCONTOHAN (PKN KELAS II)-L
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Pengertian pendidikan, pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional dapat dijumpai dalam Undang-undang Nomor. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional didefinisikan sebagai "pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan pendidikan nasional adalah "keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam pandangan Demokratis, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu pendidikan yang bertujuan untuk mendidik para generasi muda dan mahasiswa agar mampu menjadi warga negara yang demokratis dan partisipatif dalam pembelaan negara. Dalam hal ini pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu alat pasif untuk membangun dan memajukan sistem demokrasi suatu bangsa. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Berdasarkan Keputusan. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, mencakup Tujuan Umum, untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada siswa mengenai hubungan antara warga negara agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara. Tujuan Khusus, Agar siswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagai warga Negara Indonesia yang terdidik dan bertanggung jawab, Agar siswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional, Agar siswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa (Born : 2008).
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu pendidikan yang penting dan dibutuhkan siswa untuk membentuk watak dan tingkah laku manusia sebagai warga negara Indonesia. Tujuan PKn pada dasarnya adalah menjadikan warga negara yang cerdas dan baik serta mampu mendukung keberlangsungan bangsa dan negara (Hidayat dan Azra dalam Ubaidillah, 2008 : 4).
Dalam perkembangannya, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami perubahan-perubahan yang bertujuan untuk memperbaiki isi dan tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri. Pada awalnya Pendidikan Kewarganegaraan muncul dengan istilah Pendidikan Kewiraan yang mulai berlaku pada tahun ajaran 1973/1974. Kemudian terus mengalami perubahan hingga berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan juga memiliki keterkaitan kurikulum dengan Pendidikan Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila dan cabang Pendidikan lainnya. Pendidikan Kewarganegaraan sudah diajarkan pada tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas sejak tahun 1969 dengan sebutan kewargaan negara. Kemudian pada tahun 1975 sampai 1984 mengalami perubahan dengan nama Pendidikan Moral Pancasila. Pada tingkat Perguruan Tinggi berganti nama dengan istilah Pendidikan Kewiraan. Pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah berganti nama dengan nama PPKN (Born, 2008).
Pada tahun 2000, setelah Indonesia masuk dalam era reformasi maka bidang pendidikan pun mengalami perubahan. Adanya tuntutan bahwa pengetahuan yang didapatkan di sekolah harus bisa menopang kebutuhan skill yang terus bertambah maka lahirlah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tahun 2000 ini mengalami perubahan menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Tahun 2004 kurikulum PKn SD diintegrasikan dengan mata pelajaran IPS menjadi PKPS (Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial) Dalam KBK, sementara di tingkat SMP dan SMA merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri. KBK Kewarganegaraan tampak telah mengarah pada tiga komponen PKn yang bermutu, seperti yang diajukan oleh Centre for Civic Education pada tahun 1999 dalam National Standard for Civics and Government. Ketiga komponen tersebut yaitu civic knowledge (Pengetahuan kewarganegaraan), civic skills (ketrampilan kewarganegaraan) dan civic disposition (karakter kewarganegaraan). Tahun 2006, perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, PKn tidak lagi terintegrasi dengan mata pelajaran IPS, melainkan berdiri sendiri menjadi mata pelajaran PKn (Fathurochman dan Wuryandari, 2011 : 7).
Paradigma baru PKn adalah suatu model atau kerangka berpikir yang digunakan dalam proses Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Sejalan dengan dinamika perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditandai oleh semakin terbukanya persaingan antar bangsa yang semakin ketat, maka bangsa Indonesia mulai memasuki era reformasi di berbagai bidang menuju kehidupan masyarakat yang lebih demokratis (Fathurrohman, 2011 : 9). Tugas PKn sebagai paradigma baru yaitu mengembangkan tiga fungsi pokok, yakni mengembang civic intelligence(mengembangkan kecerdasan warga negara), civic responsibility (membina tanggung jawab warga Negara), civic participation (mendorong partisipasi warga Negara) (Fathurrohman, 2011 : 10). Model pembelajaran PKn dengan paradigma baru memiliki karakteristik yaitu membelajarkan dan melatih siswa berpikir kritis dan membawa siswa mengenal, memilih dan memecahkan masalah (Fathurrohman 2011 : 11).
Menurut Winataputra, (2006 : 5.44), bahwa Ciri utama PKn adalah tidak lagi menekankan pada mengajar tentang PKn, tetapi lebih berorientasi pada membelajarkan PKn atau pada upaya-upaya guru untuk melaksanakan PKn. Oleh karena itu, dalam pembelajaran PKn siswa dibina/dibimbing untuk membiasakan atau melakoni isi pesan materi PKn. Jadi, sekali lagi dalam proses pembelajaran tekanannya diarahkan pada bagaimana belajar. Dengan demikian, alangkah baiknya apabila guru memahami tipe-tipe belajar.
Jacwues Delors dalam Winataputra, (2006 : 44), mengemukakan empat tipe dasar belajar yaitu Learning to know, Learning to do, Learning to live together, dan Learning to be. Pembelajaran PKn akan berjalan dengan baik jika seorang guru PKn menjadi teladan dalam meningkatkan aspek afektif dan aspek psikomotor dengan menunjukkan contoh-contoh perilaku yang diharapkan ditiru dan dilaksanakan siswa dalam kehidupan di sekolah dan kehidupan sehari-hari di masyarakat.
PKn adalah mata pelajaran yang menekankan pada sikap dan mental Siswa. Karakteristik siswa SD berada pada tahap operasional konkrit, atau siswa masih kesulitan memahami hal-hal yang bersifat abstrak. Oleh sebab itu materi yang bersifat abstrak dapat menggunakan contoh dalam bentuk gambar dan foto.
Model pembelajaran afektif atau biasa disebut model Value Clarification Technique (VCT) adalah strategi pendidikan afektif yang memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan psikomotor. Pembelajaran Afektif berhubungan dengan nilai yang sulit di ukur dikarenakan berkaitan erat dengan kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam dirinya.
Pola pembelajaran VCT menurut A. Kosasih Djahri dalam Udin, S. dkk, (2006 : 5.45) dianggap unggul untuk pembelajaran afektif (sikap) karena : Pertama, mampu membina dan mempribadikan nilai moral, Kedua, mampu mengklarifikasikan dan mengungkapkan isi pesan nilai moral yang disampaikan. Ketiga, mampu mengklarifikasikan dan menilai kualitas nilai-nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata. Keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya. Kelima, memberikan pengalaman belajar bagi kehidupan. Keenam, mampu menangkal, meniadakan, berbagai nilai moral yang tidak baik dalam nilai moral diri siswa. Model pembelajaran VCT meliputi : (1) Percontohan, (2) Analisis nilai, (3) VCT daftar, (4) VCT kartu keyakinan, (5) VCT teknik wawancara (6) VCT yurisprudensi, (7) VCT inquiry dan (8) VCT role playing. Untuk VCT Percontohan yaitu model pembelajaran khusus yang diterapkan untuk kelas I sampai dengan kelas III karena disesuaikan dengan karakteristik siswa yang masih perlu menggunakan contoh-contoh dalam bentuk nyata seperti gambar atau foto untuk memahami hal-hal yang bersifat tidak nyata.
Dalam pembelajaran PKn, penggunaan model pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik tujuan pembelajaran, materi, perkembangan belajar siswa dan lingkungan belajarnya. Ketidakmampuan dalam menggunakan model pembelajaran akan mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Selama ini model pembelajaran PKn yang sering digunakan adalah model pembelajaran yang hanya menggunakan metode ceramah, sehingga guru lebih dominan. Hal ini dapat berakibat siswa tidak semangat atau pasif dalam mengikuti pembelajaran, pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran kurang dan hasil belajar siswa menjadi rendah.
Terbukti pada tema Berperilaku Mulia Sesuai Pancasila kelas II SDN X yang hasil belajar siswanya masih rendah. Dari keseluruhan siswa kelas II yang berjumlah 43 siswa, hanya 13 siswa atau 30,23% yang memperoleh nilai baik dan 30 siswa atau 69,76% yang memperoleh nilai dibawah nilai KKM 64.
Berdasarkan hasil belajar siswa dan pengamatan di SDN X maka guru dituntut memiliki kemampuan untuk mengembangkan model pembelajaran yang tepat, sehingga kualitas hasil belajar siswa meningkat, baik aspek afektif, kognitif dan psikomotor. Melihat kelebihan yang ada pada pola pembelajaran VCT maka peneliti mengadakan penelitian dengan judul "PENINGKATAN HASIL BELAJAR PKN MELALUI PEMBELAJARAN VCT PERCONTOHAN PADA MATERI BERPERILAKU MULIA SESUAI PANCASILA PADA SISWA KELAS II SDN X".
B. Perumusan Masalah dan Pemecahan Masalah
1. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada pengamatan di SDN X, masalah utama pembelajaran PKn adalah masih rendahnya kemampuan guru dalam menggunakan model pembelajaran, model VCT akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa, maupun keberhasilan belajar siswa dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotornya. Pemilihan model pembelajaran juga harus disesuaikan dengan karakteristik siswa. Dikarenakan siswa kelas rendah, khususnya kelas II masih sangat memerlukan contoh-contoh yang divisualisasikan dalam bentuk gambar dan foto untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak atau tidak nyata.
Dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan adalah "Bagaimanakah meningkatkan hasil belajar PKn siswa kelas II SDN X melalui model pembelajaran VCT percontohan ?"
2. Pemecahan Masalah
Untuk dapat memecahkan masalah yang terjadi, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah "Meningkatkan hasil belajar PKn siswa kelas II SDN X melalui model pembelajaran VCT Percontohan".
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan kualitas belajar siswa pada mata pelajaran PKn baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor agar dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
b. Membantu guru dalam menganalisis kinerjanya supaya mampu memperbaiki model pembelajaran di kelas, sehingga pembelajaran dapat lebih berkualitas.
2. Tujuan Umum
a. Meningkatkan aktivitas siswa.
b. Meningkatkan hasil belajar siswa dan meningkatkan performansi guru.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan memberikan manfaat baik bagi siswa, guru dan sekolah
1. Bagi Siswa
Dapat meningkatkan kualitas belajar dalam pembelajaran PKn, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi Guru
Dapat meningkatkan profesionalisme guru dan juga dapat mengoptimalkan dalam pembelajaran PKn.
3. Bagi Sekolah
Meningkatkan mutu sekolah di mata masyarakat dengan meningkatnya kualitas belajar siswa.