Cari Kategori

TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW DAN STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENTS DIVISION) TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPA

(KODE : PASCSARJ-0065) : TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW DAN STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENTS DIVISION) TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPA (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)


BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang Masalah
Salah satu cita-cita nasional yang harus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional. Masa depan bangsa Indonesia selain ditentukan oleh sumber alam juga ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Upaya untuk membentuk manusia yang cerdas/berilmu dan berkualitas serta berkepribadian baik adalah bagian dari misi pendidikan yang menjadi tanggung jawab profesional setiap guru. Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyebut bahwa tujuan pendidikan nasional adalah : "Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Berdasarkan amanat Undang-undang di atas jelaslah bahwa tugas seorang guru tidak hanya menyampaikan ilmu saja tetapi masih banyak yang harus dilakukan guru yaitu mendidik siswa agar menjadi manusia yang utuh, dengan demikian dapat dikatakan bahwa tugas guru adalah lebih berat: "Seorang guru dituntut penguasaan berbagai kemampuan sebagai guru yang professional dalam bidangnya". Kemampuan yang dimaksud adalah mulai dari cara mengajar, penguasaan materi, pemilihan berbagai metode mengajar, kemampuan membuat perangkat mengajar, sikap, tauladan dan lain sebagainya.
Dalam penyelenggaraan pendidikan disekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik terjadi interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam proses pemeblajaran ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pembelajaran secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan rencana tentang pendidikan yang disebut sebagai kurikulum.
Secara bertahap kurikulum mengalami penyempurnaan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional. Namun demikian penyempurnaan kurikulum tersebut tidak diimbangi dengan pelaksanaan kurikulum disekolah sekolah yang berupa proses pembelajaran. Berdasarkan pengamatan secara nyata di lapangan,proses pembelajaran di sekolah masih banyak yang tidak melibatkan siswa, sehingga siswa kurang kreatif. Masih banyak para guru yang menggunakan model pembelajaran yang konvensional dengan menggunakan metode ceramah dimana guru sebagai pusat informasi menerangkan materi dan siswa duduk dengan manis mendengarkan dan mencatat materi yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa menjadi pasif dan tidak kreatif, karena tidak ada kesempatan bertanya, berdiskusi baik dengan guru maupun sesama siswa. Di SMP Negeri di wilayah X, banyak guru yang masih menggunakan model konvensional, sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar yang menyebabkan prestasi belajarnya rendah, hal ini terbukti dari banyaknya siswa yang remidi pada setiap ulangan harian.
Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa salah satunya diperlukan guru yang kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Menurut Gage dan Berliner dalam Akhmad Sudrajat (http: //akhmadsudraj at. wordpress. com) guru berperan sebagai perancang pembelajaran,pengelola pembelajaran,penilai hasil pembelajaran peserta didik,pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Dalam hal ini seorang guru harus kreatif dalam merencanakan pembelajaran agar siswa menjadi aktif dan kreatif yang pada akhirnya adalah suatu pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajarainya. Proses pembelajaran akan berhasil dengan baik jika mengikutsertakan siswa untuk memilih, menyusun dan ikut terjun pada situasi pembelajaran.Dengan melibatkan siswa dalam pembelajaran mereka akan bertanggungjawab untuk melakukan rencana yang telah mereka susun,Lindy Peters en (2004:11)
Model pembelajaran kooperatif merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang interaksi antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru. Kondisi seperti inilah yang sangat diharapkan agar interaksi berjalan dengan baik demi kelancaran pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif ada beberapa, diantaranya adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe STAD (Student Teams Achievment Division). Mendasar dari uraian uaraian di atas dan permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran maka penulis akan mengadakan kegiatan penelitian dengan melakukan pengembangan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan STAD (Student Teams Achievement Division).Kedua model pembelajaran ini cocok untuk mengatasi permasalahan pembelajaran yang siswanya mempunyai latar belakang yang berbeda .
Model pembelajaran tipe Jigsaw ini merupakan model pembelajaran kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang dengan memperhatikan keheterogenan, bekerjasama positif dan setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Keunggulan kooperatif Jigsaw meningkatkan rasa tanggungjawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain,siswa tidak hanya mempelajari materi yang dibeikan, tetapi juga harus memberikan dan mengajarkan materi tertsebut kepada orang lain yaitu anggota kelompoknya yang lain.(http://ipotes wordpress.com) .Sedangkan model pembelajaran tipe STAD ini merupakan model pembelajaran kooperatif, siswa belajar dengan cara memebentuk kelompok yang anggotanya 4 anak secara heterogen,setelah guru memberikan tugas kepada kelompok setiap anggota kelompok akan berusaha mempelajarinya dan yang sudah bisa memahami materi membantu anggota yang lain. Keunggulan pembelajaran tipe STAD ini adalah adanya kerjasama dalam kelompok dan dalam menetukan keberhasilan kelompok tergantung keberhasilan individu.Pembelajaran kooperatif tipe STAD menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ditulis diatas maka masalah yang masalah yang timbul dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Adanya prestasi siswa yang rendah.
2. Kreativitas guru dalam mengajar masih kurang.
3. Motivasi siswa terhadap mata pelajaran IPA kurang
4. Rendahnya partisipasi siswa dalam pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah
Dalam kegiatan belajar mengajar,banyak usaha yang dilakukan seorang guru yang bekerjasama dengan siswanya untuk meningkatkan prestasi atau hasil belajar siswa. Salah satunya adalah dengan menggunakan model pembelajaran Jigsaw dan STAD. Model pembelajaran ini diharapkan dapat menarik perhatian siswa yang pada akhirnya dapat memberikan motivasi belajarnya terhadap pelajaran IPA. Motivasi yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan prestasi hasil belajar yang tinggi.
Jika kita menganalisis proses pembelajaran, maka aspek yang diteliti ruang lingkupnya cukup luas. Oleh karena itu,penelitian ini akan dibatasi hanya pada aspek yang berkenaan dengan model pembelajaran Jigsaw, STAD (Students Teams Achievement Division) dan motivasi serta pengaruhnya terhadap prestasi belajar IPA di wilayah X.

D. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dikaji dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.Adakah perbedaan pengaruh antara penggunaan model pembelajaran Jigsaw dan STAD terhadap prestasi belajar IPA?
2.Adakah perbedaan pengaruh antara motivasi belajar tinggi dan motivasi belajar rendah siswa terhadap prestasi belajar IPA?
3.Adakah interaksi pengaruh antara penggunaan model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar IPA?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui perbedaan pengaruh antara model pembelajaran Jigsaw dan STAD terhadap prestasi belajar IPA.
2.Mengetahui perbedaan pengaruh motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar IPA. 3.Mengetahui interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar IPA

F. Manfaat Penelitian
Dari tujuan yang telah dirumuskan diatas, maka hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pada dunia pendidikan dan bermanfaat. Manfaat penelitian ini ada 2 yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam penggunaan model pembelajaran Jigsaw pada matapelajaran IPA. Manfaat lainnya adalah agar para pengajar IPA dapat mengkaji kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Jigsaw ini.
2. Manfaat praktis
a. Bagi guru:
1) Guru dapat mengetahui pembelajaran yang bervariasi, efektif dan efisien sehingga dapat memperbaiki sistem pembelajaran di kelas.
2) Guru akan terbiasa menggunakan model pembelajaran dalam pembelajarannya.
b. Bagi siswa.
1) Memberi suasana yang menyenangkan
2) Meningkatkan motivasi siswa.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:09:00

TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) DAN TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI KREATIVITAS SISWA

(KODE : PASCSARJ-0064) : TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) DAN TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI KREATIVITAS SISWA (PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusia-manuasia berkualitas. Pendidikan memerlukan inovasi-inovasi yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan juga dipandang sebagai sarana untuk melahirkan insan-insan yang cerdas, kreatif, terampil, bertanggung jawab, produktif dan berbudi pekerti luhur.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk melakukan inovasi dalam dunia pendidikan. Inovasi yang dilakukan biasanya dilakukan dengan memperhatikan tiga alasan penting, yaitu efisien, efektif dan kenyamanan. Efisien maksudnya waktu yang tersedia bagi guru harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Efektif maksudnya pelajaran yang diberikan harus menghasilkan hasil yang bermanfaat bagi siswa atau masyarakat, sedangkan kenyamanan berarti sumber belajar, media alat bantu belajar, metode yang ditentukan sedemikian rupa sehingga memberikan gairah belajar mengajar bagi siswa dan guru.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan pemerintah, guru, dan orang tua selalu berupaya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Usaha-usaha yang telah dilakukan belum menunjukkan hasil yang memuaskan, khususnya mata pelajaran matematika. Menurut catatan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2007, lembaga yang mengukur pendidikan dunia bahwa penguasaan matematika siswa grade 8 negara Indonesia di peringkat ke-36 dari 48 negara. Skor rata-rata yang diperoleh siswa-siswa Indonesia adalah 397. Skor ini masih jauh di bawah skor rata-rata internasional yaitu 500. Selain itu, bila dibandingkan dengan tiga negara tetangga, yaitu Singapora, Malayasia dan Thailand, posisi peringkat siswa kita jauh tertinggal. Singapora berada pada peringkat ke-3 dengan skor rata-rata 593 , Malaysia berada pada peringkat ke-20 dengan skor rata-rata 474 dan Thailand berada pada peringkat ke-29 dengan skor rata-rata 441 (http://nces.ed.gov/timss/results07_math07.asp.).
Menurut Program for International Assessment (PISA) tahun 2003, skor rata-rata siswa Indonesia usia 15 tahun mengenai litaerasi matematika (mathematics literacy) adalah 360 dan berada pada peringkat ke-38 dari 39 negara. yang berpartisipasi dengan skor rata-rata 500 OECD (Organisation for Economic Co-operationan Development). (http://www.nces.ed.gov/programs/ /index.asp).
Rendahnya prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran matematika, mungkin saja disebabkan usaha yang dilakukan guru untuk meningkatkan prestasi belajar siswa belum berjalan seperti yang diharapkan.
Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan, diantaranya pembaharuan kurikulum, proses belajar mengajar, peningkatan kualitas guru, pengadaan buku pelajaran, sarana belajar mengajar, penyempurnaan sistem penilaian dan sebagainya. Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam meningkatkan hasil pendidikan satu diantaranya yang harus dikembangkan terletak pada proses belajar mengajar yang merupakan kegiatan yang paling pokok dalam proses pendidikan. Dengan demikian berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan dipengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar.
Pada dasarnya tingkat keberhasilan belajar mengajar dipengaruhi banyak faktor diantaranya kemampuan guru, kemampuan dasar siswa, model pembelajaran, materi, sarana prasarana, motivasi, kreativitas, alat evaluasi serta lingkungan yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang paling berkaitan yang bekerja secara terpadu untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Meskipun tujuan dirumuskan dengan baik, materi yang dipilih sudah tepat, jika model pembelajaran yang dipergunakan kurang memadai mungkin tujuan yang diharapkan tidak tercapai dengan baik. Jadi model pembelajaran merupakan salah satu komponen yang penting dan sangat menguntungkan dalam keberhasilan proses pendidikan.
Sejumlah model pembelajaran telah diterapkan di sekolah-sekolah untuk mencapai tingkat keberhasilan dalam proses pendidikan. Namun, mengingat adanya variasi tujuan yang ingin dicapai, adanya lingkungan belajar yang berlainan, keadaan siswa yang berbeda, karakteristik materi yang berbeda, dan lain-lain, maka tidak dapat disusun suatu model yang baik untuk semua jenis kegiatan belajar mengajar. Di dalam proses belajar mengajar, guru harus memiliki strategi agar siswa bekerja secara efektif dan efisien, tepat pada tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu adalah harus menguasai teknik-teknik penyajian materi, atau biasa disebut model pembelajaran. Sebenarnya banyak model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika. Tetapi tidak setiap model pembelajaran dapat diterapkan dalam setiap materi, sehingga pemilihan model pembelajaran sangatlah penting guna mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu sebelum pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diperlukan pemikiran yang matang dalam pemilihan model pembelajaran yang tepat untuk suatu kompetensi dasar yang akan disajikan.
Dewasa ini sudah banyak penelitian di bidang pendidikan yang menyatakan model-model pembelajaran baru secara signifikan dapat memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik dari pada model pembelajaran tradisional (konvensional). Namun hingga saat ini kebanyakan guru belum menerapkan model-model pembelajaran yang baru tersebut. Bahkan para peneliti belum membandingkan antara model-model pembelajaran yang baru itu, melainkan hanya membandingkan model pembelajaran yang baru dengan model pembelajaran tradisional, sehingga para guru belum mengetahui model pembelajaran yang baru tersebut yang lebih baik dan sesuai dengan materi pelajaran dan kemampuan siswa.
Selain dari faktor model pembelajaran, kreativitas juga menentukan hasil belajar. Kreativitas pada intinya merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk ciri-ciri aptitude maupun non aptitude, baik dalam karya yang baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. (Reni Akbar Hawadi dkk, 2001:5).
Mengingat pentingnya kreativitas belajar siswa, maka dalam kegiatan belajar mengajar lebih banyak melibatkan kreativitas belajar siswa. Sedangkan siswa itu sendiri hendaknya dapat memotivasi dirinya sendiri untuk ikut kreatif dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya kreativitas belajar ini kemungkinan besar prestasi belajar yang dicapai akan memuaskan.

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang tersebut terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu :
1. Masih rendahnya prestasi belajar matematika, mungkin karena kurang tepatnya penggunaan model pembelajaran. Dari dugaan ini muncul sebuah permasalahan yang menarik untuk dilakukan penelitian, yaitu apakah pemilihan dan penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan prestasi belajar matematika. Dapat diteliti pula apakah pemilihan model pembelajaran yang tepat tersebut cocok untuk berbagai kategori kreativitas siswa.
2. Terdapat kemungkinan penyebab lain rendahnya prestasi belajar matematika adalah kurangnya keterlibatan kreativitas siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dari hal ini juga menarik untuk dilakukan penelitian, yaitu untuk melihat apakah dengan pemilihan model pembelajaran yang tepat dan yang dapat meningkatkan keterlibatan dan kreativitas siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat meningkatkan prestasi belajar matematika.
3. Ada kemungkinan rendahnya prestasi belajar siswa karena diajar oleh guru-guru yang kurang kompeten dalam mengajar, karena mereka memiliki kualifikasi pendidikan yang tidak releven. Penelitian untuk melihat apakah siswa yang diajar oleh guru dengan kualifikasi pendidikan yang tidak relevan menyebabkan hasil belajar yang berbeda dibanding dengan diajar guru yang mempunyai kualifikasi yang relevan, menarik untuk dilakukan.
4. Salah satu kemungkinan lain yang menyebabkan rendahnya prestasi belajar matematika adalah latar belakang pendidikan orang tua siswa. Dari kemungkinan ini dapat dilakukan penelitian untuk melihat apakah latar belakang pendidikan orang tua siswa menyebabkan rendahnya prestasi belajar matematika.
5. Faktor kreativitas siswa juga dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya prestasi belajar matematika. Kreativitas siswa yang rendah memungkinkan menyebabkan rendahnya prestasi belajar matematika. Penelitian untuk melihat pengaruh tinggi rendahnya kreativitas belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika ini juga menarik untuk dilakukan.
6. Penggunaan model pembelajaran yang baru selalu memberikan prestasi belajar matematika lebih baik daripada model pembelajaran konvensional yang monoton tanpa variasi. Oleh karena itu, cukup menarik dilakukan penelitian untuk melihat manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan model pembelajaran kooperatif tipe GI untuk materi persamaan dan pertidaksamaan eksponen dan logaritma. Dapat juga dilihat apakah penggunaan model-model tersebut cocok untuk berbagai kategori kreativitas siswa.

C. Pemilihan Masalah
Suatu penelitian yang dilakukan dengan banyak pertanyaan dalam waktu yang sama bisa kurang cermat dalam mengamati perubahan perilaku subyek penelitian, sehingga hasil penelitian yang diperoleh juga mungkin kurang akurat. Untuk menghindari kekurangakuratan dan kekurangcermatan tersebut, maka dalam penelitian ini akan diteliti masalah yang menyangkut penggunaan model pembelajaran dihubungkan dengan kreativitas belajar siswa.
Dari beberapa identifikasi masalah di atas, peneliti hanya ingin melakukan penelitian yang terkait dengan permasalahan terakhir, yaitu manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik antara penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan model pembelajaran kooperatif tipe GI. Juga akan dilihat, apakah pemberian perlakuan tersebut berlaku sama pada berbagai kategori kreativitas siswa. Pemberian variasi pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif akan membangkitkan minat dan keterkaitan yang besar dalam diri siswa terhadap pelajaran, sehingga mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Pemilihan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan tipe GI dikarenakan dalam tipe-tipe model pembelajaran ini terdapat faktor kerjasama dan diskusi yang mampu memberikan pengalaman eksplorasi potensi diri siswa untuk mengkonstruk pengetahuannya sendiri sehingga pembelajaran matematika khususnya pada materi persamaan dan pertidaksamaan eksponen dan logaritma menjadi lebih bermakna. Di sisi lain, karena keterbatasan untuk dilakukan penelitian terhadap semua permasalahan penyebab rendahnya prestasi belajar siswa, baik dalam hal biaya, waktu maupun tenaga, sehingga secara subjektif tidak mungkin diungkap semua permasalahan rendahnya prestasi belajar matematika tersebut.

D. Pembatasan Masalah
Dari permasalahan di atas, terdapat dua hal yang dikaji. Permasalahan pertama adalah model pembelajaran dan yang kedua adalah kreativitas siswa. Pada penelitian ini diteliti pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan tipe GI serta kreativitas siswa terhadap prestasi belajar matematika pada materi persamaan dan pertidaksamaan eksponen dan logaritma.
Agar penelitian ini dapat dilakukan dengan baik, maka perlu diberikan batasan-batasan sebagai berikut:
1. Penelitian dilakukan di SMA Negeri se Kabupaten X semester genap pada tahun pelajaran XXXX/XXXX
2. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan model pembelajaran kooperatif tipe GI.
3. Kreativitas pada penelitian ini dibatasi kreativitas belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika.
4. Materi pelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah persamaan dan pertidaksamaan eksponen dan logaritma.
5. Prestasi belajar matematika pada penelitian ini dibatasi pada hasil belajar siswa yang dicapai melalui proses belajar mengajar pada kompetensi dasar persamaan dan pertidaksamaan eksponen dan logaritma.

E. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, pemilihan masalah dan pembatasan masalah tersebut di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Di antara model pembelajaran kooperatif, manakah yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau tipe GI?
2. Di antara kategori kreativitas siswa, manakah yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, kreativitas tinggi, kreativitas sedang atau kreativitas rendah?
3. Pada masing-masing model pembelajaran (STAD dan GI), manakah yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, siswa yang mempunyai kreativitas tinggi, kreativitas sedang atau kreativitas rendah?
4. Pada masing-masing kategori kreativitas siswa (tinggi, sedang, dan rendah), manakah yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau tipe GI?

F. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui di antara model pembelajaran kooperatif, manakah yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, model pembelajaran kooperatif tipe STAD atau tipe GI.
2. Untuk mengetahui manakah di antara kategori kreativitas siswa, yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, kreativitas tinggi, kreativitas sedang atau kreativitas rendah.
3. Untuk mengetahui pada masing-masing model pembelajaran (STAD dan GI), manakah di antara kategori kreativitas siswa yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, kreativitas tinggi, kreativitas sedang atau kreativitas rendah.
4. Untuk mengetahui pada masing-masing kategori kreativitas siswa (tinggi, sedang, dan rendah), manakah di antara model pembelajaran kooperatif yang dapat memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, tipe STAD atau tipe GI.

G. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan bagi guru matematika dalam memilih model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan prestasi belajar matematika.
2. Sebagai bahan masukan bagi guru matematika tentang pentingnya kreativitas siswa terhadap prestasi belajar matematika.
3. Sebagai bahan masukan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan dan pembelajaran matematika.
4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:07:00

TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR BARISAN DAN DERET DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL

(KODE : PASCSARJ-0063) : TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR BARISAN DAN DERET DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL (PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Matematika adalah salah satu materi pelajaran yang diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Matematika merupakan ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu dan teknologi. Hampir semua bidang studi menggunakan materi pelajaran matematika, contohnya persamaan phytagoras dan trigonometri digunakan untuk mengukur tinggi sebuah benda yang tidak bisa diukur secara langsung seperti gunung,pohon dll, matriks digunakan pada teknik sipil yakni untuk mengkonturksi jembatan, barisan dan deret digunakan pada pelajaran menejemen perbangkan yakni untuk menghitung bunga tunggal dan bunga majemuk, serta masih banyak langi peranan matematika yang sangat bermanfaat di bidang yang lain. Disisi lain, matematika selama ini dianggap pelajaran yang sulit oleh sebagian siswa, bahkan ada siswa yang merasa takut, bosan dan tidak tertarik pada mata pelajaran ini. Hal ini dapat dibuktian dari angket yang saya sebarkan pada siswa kelas XII.IS. Dari 220 Responden diperoleh informasi bahwa 60 % mengatakan sulit dengan alasan terlalu banyak rumusnya dan banyak hitungannya, 27 % mengatakan kadang sulit dan kadang-kandang mudah, tergantung pengajarnya artinya jika gurunya pandai dalam menerangkan dan mudah dipahami siswa, maka matematika menjadi mudah dan sebaliknya jika guru kurang bisa mengajarkan materi dan sulit dipahami siswa, maka matematika menjadi sulit. Sisanya 13% mengatakan mudah, karena bisa memahami materi pelajarannya dan sering berlatih menyelesaikan soal-soal matematika. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pelajaran matematika adalah pelajaran yang cukup sulit.
Hasil belajar matematika yang telah dicapai siswa selama ini masil jauh dari harapan, walaupun usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan atau memperbaiki prestasi belajar matematika dalam setiap jenjang pendidikan telah banyak dilakukan, antara lain : revisi kurikulum matematika, penataran guru matematika, penyediaan sarana-prasarana pembelajaran, dan sebagainya, namun kenyataan menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika masih rendah. Hal ini sesuai dengan kenyataan misalnya : nilai rata-rata nilai Ujian Nasional bidang studi matematika SMA Negeri Se Kabupaten X tahun 2005 /2006 adalah 5,13 dan tahun 2006/2007 adalah 5,21.
Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa rendah diantaranya; Masih banyak guru yang menggunakan pola pembelajaran dimana cenderung "text book oriented" dalam arti menyampaikan materi sesuai dengan apa yang tertulis didalam buku dan tidak terkait kehidupan sehari-hari siswa. Cara pembelajaran cenderung monoton dan hanya menggunakan metode ceramah sehingga materi yang disampaikan menjadi sulit dipahami siswa. kecuali itu banyak guru mengajar dengan tidak memperhitungkan kemampuan berfikir siswa atau dengan kata lain tidak menggunakan pengajaran yang bermakna. Sebagai akibatnya motivasi belajar siswa menjadi sulit ditumbuhkan dan pola belajar siswa cenderung menghafal dan mekanistik.
Informasi yang kami peroleh dari angket yang kami ambil dari 220 responden menyebutkan bahwa prestasi belajar matematika rendah selain disebabkan oleh pelajaran matematika yang sulit juga disebabkan oleh gurunya. Guru tersebut dalam mengajarnya terlalu berbelit-belit, kadang-kadang menyimpang dari materi serta monoton. Guru tersebut dianggap kurang bisa menyampaikan materi pelajaran sehingga siswa kesulitan mentransfer pelajaran matematika. Sebaliknya ada sebagian yang mengatakan bahwa pelajaran matematika itu mudah dan mengasikkan, itu disebabkan pengajaran yang disampaikan guru terurut dan terencana, memperhatikan kondisi dan kemampuan siswa serta mampu membangkitkan semangat belajar siswa. hasil belajar yang dicapai siswa menjadi lebih baik.
Harapan yang ingin dicapai dalam tujuan pendidikan matematika seperti yang diamanatkan kurikulum adalah pengelolaan pembelajaran matematika di sekolah dapat bermakna dan dapat membuat siswa mampu menerapkan pengetahuan matematikanya dalam kehidupan sehari-hari dan bidang lain. Kegiatan pembelajaran matematikan juga diharapkan mampu membuat siswa terampil menyelesaikan masalah yang dihadapinya, baik dalam bidang metematika maupun dalam bidang yang lain. Kegiatan pembelajaran matematika juga diharapkan mampu membuat siswa berkembang daya nalarnya sehingga mampu berfikir kritis, logis, sistematis, dan pada akhirnya siswa diharapkan mampu bersikap obyektif, jujur, dan disiplin.
Menurut Pao-Nan Chou dan Ho-Huan Chen (2008: 8) dalam pembelajaran seorang guru harus mampu menciptakan kondisi pembelajaran yang dapat membangkitkan semangat belajar siswa, sehingga siswa mempunyai ketrampilan, keberanian serta mempunyai kemampuan akademik (http://www.westga.edu/~dis). Penekanan pembelajaran matematika disekolah harus relevan dengan kehidupan sehari hari, supaya pelajaran matematika yang diperoleh akan bermanfaat. Dengan demikian matematika akan mempunyai peran yang penting bagi peserta didik untuk mengaplikasikan dalam kehidupan sehari hari. Selanjutnya hal ini akan berdampak dalam menciptakan sumber daya manusia yang bermutu.
Dari beberapa karakter diatas pembelajaran yang dirasa cocok adalah model pembelajaran kontekstual. Model Pembelajaran kontekstual adalah suatu srategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. ( Wina Sanjaya, 2005 : 255)
Model Pembelajaran kontekstual adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka.
Dari hasil angket yang Peneliti berikan kepada 220 responden yakni membandingkan model pembelajaran kontekstual dengan model pembelajaran langsung, didapatkan informasi bahwa 130 responden mengatakan lebih mudah memahami materi pelajaran matematika jika guru menyampaikan dengan model pembelajaran kontekstual, 50 responden lebih mudah dengan model pembelajaran langsung dan 40 responden mengatakan sama saja. Dari informasi ini dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar siswa lebih mudah memahami materi pelajaran matematika dengan model pembelajaran kontekstual dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.
Kemampuan awal merupakan kemampuan yang dipandang sebagai masukan (input) yang harus dimiliki siswa sebelum mendapat kemampuan dan pengetahuan baru yang lebih tinggi. Seorang siswa akan lebih mudah memahami dan mempelajari materi pelajaran baru, apabila proses belajar-mengajar didasarkan pada materi yang telah diketahui sebelumnya sehingga siswa tinggal mengembangkan kemampuan awal yang sudah dimilikinya menjadi kemampuan baru yang lebih tinggi.
Prestasi belajar siswa juga dipengaruhi oleh kemampuan awal. Kemampuan awal merupakan bekal siswa dalam menerima materi pelajaran selanjutnya. Kesiapan dan kesanggupan dalam mengikuti pelajaran banyak ditentukan oleh kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa sehingga kemampuan awal merupakan pendukung keberhasilan belajar. Pelajaran matematika yang diberikan di sekolah telah disusun secara sistematis sehingga untuk masuk pada pokok bahasan lain, kemampuan awal siswa pada pokok bahasan sebelumnya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Dalam kegiatan belajar-mengajar, setiap materi yang disampaikan hendaknya bisa diserap oleh siswa yang berkemampuan awal rendah maupun yang berkemampuan awal tinggi
Permasalahan rendahnya prestasi belajar matematika yang sering dihadapi dalam pembelajaran di SMA adalah pada siswa -siswa jurusan Ilmu Sosial ( IS). Nilai rata-rata pelajaran matematika siswa jurusan Ilmu Sosial (IS) masih jauh dibawah dari nilai rata-rata siswa jurusan Ilmu Alam (IA). Ini terbukti pada nilai rata-rata Ujian semester ganjil tahun ajaran 2006/2007 di Kabupaten X. Nilai rata-rata siswa jurusan Ilmu Sosial (IS) adalah 6,02 sedangkan nilai rata-rata matematika jurusan Ilmu Alam (IA) adalah 6,85. Apakah rendahnya prestasi belajar matematika pada siswa jurusan ilmu sosial disebabkan oleh kemampuan awal yang tendah. Hal ini dapat dilihat dari angket yang peroleh dari 220 responden siswa jurusan ilmu sosial. 83 responden mengatakan bahwa mereka masuk program jurusan ilmu sosial karena tidak lolos pada seleksi jurusan ilmu alam. Ini disebabkan karena nilai-nilai mata pelajaran program ilmu alam yang didalamnya termasuk matematika tidak memenuhi syarat. Ini berati kemampuan awal siswa jurusan ilmu sosial lebih rendah dibanding dengan siswa jurusan ilmu alam.
Materi pelajaran matematika yang diajarkan di kelas XII ilmu sosial diantaranya; integral, program linier, matriks serta barisan dan deret. Dari keempat pokok bahasan tersebut yang paling mendukung dalam program ilmu sosial adalah barisan dan deret , alasanya adalah barisan dan deret digunakan sebagai dasar dalam menghitung buga tunggal maupun bunga majemuk pada dunia perbangkan. Pemahaman siswa pada pokok bahasan ini perlu ditingkatkan karena sangat mendukung peningkatan prestasi materi pelajaran ilmu- ilmu sosial.

B. Identifikasi Masalah
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka untuk memperoleh sebuah informasi dalam meningkatkan prestasi pembelajaran barisan dan deret dengan mempertimbangkan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kontekstual dan kemampuan awal siswa. Berdasarkan latar belakang maka masalah penelitian dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Ada kemungkinan pretasi belajar matematika rendah karena pelajaran matematika dianggap pelajaran yang sulit, sehingga banyak siswa yang tidak tertarik pada pelajaran matematika, sehingga muncul pertanyaan apakah kalau pelajaran matematika disampaikan dengan konsep pembelajaran yang menarik maka dapat meningkatkan prestasi belajar matematika. Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan penelitian yang membandingkan pembelajaran matematika yang menggukakan media pembelajara (LCD) dengan pembelajaran matematika yang tidak menggunakan media pembelajaran
2. Ada kemungkinan prestasi belajar matematika rendah karena masih banyaknyaguru yang menggunakan model pembelajaran yang tidak mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa sulit menerima dan memahami materi yang disampaikan guru, sehingga muncul pertanyaan apakah kalau pembelajaran yang digunakan oleh guru dengan mengaitkan dalam kehidupan sehari-hari atau kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan penelitian yang membandingkan pembelajaran dengan model pembelajaran langsung dengan pembelajaran yang mengaitkan dalam kehidupan sehari-hari (model pembelajaran Kontekstual).
3. Ada kemungkinan prestasi belajar matematika masih jauh dengan apa yang diharapkan, nilai rata-rata matematika masih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata pelajaran yang lain dikarenakan kemampuan awal yang dimiliki siswa dirasa masih rendah sehingga, sehingga muncul pertanyaan apakah jika kemampuan awal yang tinggi maka prestasi belajar matematika menjadi tinggi.
Untuk menjawab pertanyaan ini maka dilakukan penelitian yang membandingkan siswa yang berkemampuan awal tinggi dengan siswa yang berkemampuan awal rendah.

C. Pemilihan Masalah
Dari masalah-masalah yang diidentifikasi diatas, peneliti ingin melakukan penelitian yang terkait dengan permasalahan-permasalahan yang dua,dan ketiga yakni terkait dengan pembelajaran yang mengaitkan pada kehidupan sehari-hari (model pembelajaran kontekstual) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa serta pengaruh kemampuan awal siswa terhadap prestasi belajar pada pokok bahasan barisan dan deret.
Penulis mengambil permasalahan ini mempunyai alasan bahwa keberhasilan proses belajar mengajar yang ditunjukkan dengan prestasi belajar siswa, sangat dipengaruhi oleh model pembelajaran. Model pembelajaran merupakan sarana untuk mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Jika sarana untuk mentransfer pengetahuan baik dan lancer maka pengetahuan yang ditransfer akan maksimal.
Prestasi belajar siswa juga dipenagaruhi oleh kemampuan awal. Kemampuan awal merupakan bekal siswa dalam menerima materi pelajaran selanjutnya. Kesiapan dan kesanggupan dalam mengikuti pelajaran banyak ditentukan oleh kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa sehingga kemampuan awal merupakan pendukung keberhasilan belajar. Pelajaran matematika yang diberikan di sekolah telah disusun secara sistematis sehingga untuk masuk pada pokok bahasan lain, kemampuan awal siswa pada pokok bahasan sebelumnya akan dijadikan sebagai bahan pendukung.

D. Pembatasan Masalah
Untuk mempertegas ruang lingkup masalah yang akan diteliti diadakan pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Permasalahan yang diteliti adalah prestasi belajar matematika siswa pada pokok bahasan barisan dan deret aritmatika maupun geometri
2. Pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian adalah model pembelajaran kontekstual dan model pembelajaran langsung.
3. Kemampuan awal yang akan diambil adalah kemampuan yang dibutuhkan dalam pembelajaran barisan dan deret. Kemampuan tersebut adalah kemampuan dalam menyelesaikan system persamaan linier dengan subtitusi dan eliminasi, kemampuan pola bilangan berpangkat, kemampuan memfaktorkan .
4. Siswa yang diteliti adalah siswa kelas XII jurusan Sosial SMA Negeri se-Kabupaten X.

E. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah diatas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah prestasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran langsung ?
2. Apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang atau rendah dan apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal rendah ?
3. Pada masing-masing klasifikasi kemampuan awal, apakah prestasi belajar siswa pada model pembelajaran kontekstual lebih dari pada model pembelajaran langsung?
4. Pada model pembelajaran kontekstual, apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang atau rendah?, dan apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal rendah ?
5. Pada model pembelajaran langsung, apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang atau rendah?, dan apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal rendah?

F. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai peneliti yang membandingkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual dan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan langsung dengan kemampuan awal siswa terhadap prestasi belajar barisan dan deret adalah:
1. Ingin mengetahui apakah prestasi belajar siswa dengan model pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada prestasi belajar siswa dengan model pembelajaran langsung.
2. Ingin mengetahui apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang atau rendah dan apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal rendah.
3. Ingin mengetahui apakah prestasi belajar siswa pada model pembelajaran kontekstual lebih dari pada model pembelajaran langsung, pada masing-masing klasifikasi kemampuan awal
4. Ingin mengetahui apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang atau rendah, dan apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal rendah pada model pembelajaran kontekstual.
5. Ingin mengetahui apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal tinggi lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang atau rendah, dan apakah prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal sedang lebih baik dari pada prestasi belajar siswa yang mempunyai kemampuan awal rendah pada model pembelajaran langsung.

G. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1. Menambah pengetahuan tentang pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual apa kelebihannya dan kapan model pembelajaran kontekstual digunakan
2. Memberikan masukan kepada guru matematika dalam memilih model pembelajaran yang harus digunakan dalam pembelajaran matematika
3. Diharapkan siswa dapat memperoleh manfaat yang baik hubungannya dengan peningkatan prestasi belajar.
4. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian yang lain yang prosedur penelitianya hamper sama.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:05:00

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERMAIN DRAMA DENGAN PENGGUNAAN MEDIA VIDEO DRAMA

(KODE PTK-0011) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERMAIN DRAMA DENGAN PENGGUNAAN MEDIA VIDEO DRAMA (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan di Indonesia berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti dinyatakan pada alinea keempat pembukaan UUD 1945. Ol eh sebab itu, upaya meningkatan kualitas pembelajaran di kelas merupakan amalan mulia karena memberikan kontribusi dalam mengisi kemerdekaan yang telah direbut melalui pengorbanan yang tidak sedikit. Hal tersebut didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengalami kemajuan sangat pesat. Teknologi komunikasi antara lain internet, telepon, radio, televisi, video dan komputer yang memberikan arti penting bagi proses komunikasi. Tuntutan masyarakat yang sangat besar terhadap pendidikan didukung kemajuan IPTEK sehingga pendidikan tidak mungkin lagi dikelola dengan pembelajaran yang konvensional tetapi perlu dilakukan pembelajaran yang lebih inovatif. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya menuntut penggunaan IPTEK sebagai media pembelajaran.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Suasana pembelajaran yang didominasi guru dan keterampilan berbahasa siswa rendah. Siti Mariyah (2005:160) berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti sebagai guru di sekolah dasar, ternyata dalam penyajiannya guru belum menggunakan metode yang bervariasi, proses pembelajaran didominasi oleh guru, kurang memanfaatkan atau menggunakan media pembelajaran, yang pada akhirnya pembelajaran kurang menarik, dan siswa menjadi pasif. Dengan kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang memprihatinkan, mengharuskan kita untuk melakukan pembenahan. Misalnya dengan pembelajaran yang lebih inovatif, penggunaan metode, serta media pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan siswa.
Pembelajaran yang inovatif menuntut penggunaan media pembelajaran untuk menumbuhkan minat dan keterampilan siswa. Arief S. Sadiman (2008:7) mengungkapkan media adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa terjadinya proses belajar. Media pembelajaran yang digunakan guru masih terbatas pada buku. Sedangkan metode yang digunakan guru masih cenderung ceramah dan penugasan. Apabila pembelajaran tersebut dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan minat dan keterampilan yang dimiliki siswa berkurang. Dengan penggunaan media pembelajaran yang sesuai, diharapkan minat dan keterampilan siswa akan meningkat. Suasana belajar dikelas akan menjadi lebih menarik. Contoh media yang dapat digunakan dalam pembelajaran misalnya gambar, foto, papan flannel, poster, radio, tape recorder, televisi, video dan sebagainya.
Ketepatan penggunaan media sangat menunjang keberhasilan pembelajaran. Sehingga pemilihan dan penggunaan media dapat meningkatkan keterampilan yang dimiliki siswa. Demikian pula halnya dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa kelas V SDN X, penggunaan media yang terbatas pada buku. Padahal dalam meteri pembelajaran bahasa Indonesia kelas V banyak dibutuhkan penggunaan media pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk menggali dan meningkatkan keterampilan yang dimiliki siswa.
Adapun materi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V salah satunya adalah bermain drama. Drama adalah sebuah lakon atau cerita berupa kisah kehidupan dalam dialog dan lakuan tokoh berisi konflik manusia (http://skripsi. dagdigdug. com). Ozdemir (2008:14) drama activities provide lots of opportunities for revealing, supporting and developing creativity. Dengan bermain drama sikap yang dapat menumbuhkan kreativitas, sikap budi pekerti, percaya diri, keberanian menghadapi banyak orang, bertanggung jawab, dan memiliki jiwa seni. Sedangkan keterampilan yang dapat dikembangkan, antara lain memahami, menghayati, menghafal, berkomunikasi, berperan, kemampuan mengaktualisasikan diri kedalam situasi sosial yang dihadapi.
Drama dapat digunakan sebagai sarana dalam menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan dalam berbahasa. Dalam kehidupan sehari - hari siswa sekolah dasar sudah mengaktualisasikan diri dengan teman sebaya. Hal yang sering terlihat pada siswa sekolah dasar, misalnya bermain dengan teman sebaya, bekerjasama, bercakap-cakap dan menirukan adegan di televisi. Dengan demikian pembelajaran drama merupakan wadah mengekspresikan dan menanamkan rasa sosial di diri siswa. Melalui pembelajaran drama diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasi, kepekaan sosial yang tinggi dan dapat memerankan tokoh drama sesui dengan perwatakannya. Keterampilan bermain drama siswa dapat dikuasai setelah mendapatkan bimbingan. Adanya latihan yang terarah, berencana, berkesinambungan siswa serta pengalaman yang nyata, maka keterampilan bermain drama siswa akan lebih baik. Tetapi guru tidak mengajarkan pengalaman yang nyata pada siswa, sehingga keterampilan bermain drama siswa sangat rendah.
Melalui penggunakan media dapat merangsang ide dan ekspresi siswa bermain drama sesuai dengan karakter yang dimainkan siswa. Melalui pemahaman intonasi, pelafalan, ekspresi, blocking, maupun teknik-teknik lain yang harus diterapkan saat memerankan tokoh yang ada dalam drama. Sehingga media yang dianggap tepat untuk pembelajaran drama adalah media video drama. Ketepatan pemilihan dan penggunaan media video drama dapat meningkatkan kemampuan bermain drama. Hal ini ditegaskan oleh Wibawa Basuki (2001:73) menyatakan pendapatnya bahwa media ini dapat menyampaikan pesan audio-visual-gerak. Kegiatan bermain drama siswa akan lebih terarah dan sesuai dengan karakter siswa. Media audio visual berupa video drama yang berisi contoh memerankan tokoh drama yang dapat diterapkan dalam pembelajaran. Diharapkan dengan adanya video drama, mampu memberikan inspirasi serta gambaran yang nyata bagi siswa untuk memerankan watak dan tokoh drama secara baik, sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Dengan kata lain upaya untuk meningkatkan keterampilan bermain drama siswa melalui penggunakan media video drama sebagai media pembelajaran.

B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Kurang tepatnya media yang digunakan guru dalam menyampaikan materi bermain drama sehingga kemungkinan akan dapat mempengaruhi keterampilan beramin drama siswa.
2. Terbatasnya Kompetensi yang dimiliki guru menyebabkan proses penyampaian materi bermain drama terhadap siswa tidak tepat sasaran.
3. Kurang keprofesionalan Guru Kelas V SDN X belum menggunakan media video drama sehingga membawa dampak rendahnya keterampilan drama siswa.


C. Pembatasan Masalah
Pembatasan Masalah dalam penelitian ini bertujuan untuk memfokuskan suatu permasalahan yang akan diteliti. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Keterampilan bermain drama yang dimaksud meliputi: lafal, intonasi, ekspresi, pantomimic, dan blocking.
2. Media video drama yang dimaksud adalah media berbentuk audio visual yang memberi gambaran nyata anak untuk memerankan dialog drama.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah penggunaan media video drama dapat meningkatkan keterampilan bermain drama pada siswa kelas V SDN X ?


E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : Untuk meningkatan keterampilan bermain drama dengan menggunakan media video drama pada siswa kelas V SDN X.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik bersifat praktis maupun teoretis.
1. Manfaat Teoretis
a. Sebagai bahan kajian untuk meningkatnya keterampilan bermain drama siswa.
b. Sebagai solusi alternatif bagi guru untuk mengatasi berbagai kesulitan dalam mengajar terkait dengan media pembelajaran.
c. Sebagai acuan penelitian yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi siswa adalah dapat meningkatnya keterampilan bermain drama.
b. Manfaat bagi guru adalah dapat meningkatnya wawasan pengajaran drama.
c. Bagi sekolah adalah penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi sekolah dan instansi terkait dalam menyusun dan melaksanakan program pembinaan kepada guru.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:09:00

TESIS PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN MEDIA GAMBAR

(KODE PTK-0010X) : TESIS PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA DENGAN MEDIA GAMBAR (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam setiap proses pendidikan selalu melibatkan pendidik dan siswa. Maka diperlukan hubungan timbal balik yang baik antara guru dan siswa, sehingga siswa dapat aktif dalam proses pembelajaran. Suatu aktivitas pembelajaran melibatkan kemampuan fisik, kemampuan mental, dan kemampuan sosial. Cara guru mengajar melibatkan peranan, inisiatif, dan keikutsertaan siswa yang tinggi dalam menetapkan masalah, mencari informasi, dan menentukan cara pemecahan masalah.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada salah satu Standar Kompetensi (SK) untuk siswa kelas V Semester satu khususnya aspek berbicara adalah sebagai berikut; mengungkapkan pikiran, pendapat, perasaan, fakta secara lisan dengan menanggapi suatu persoalan, menceritakan hasil pengamatan, atau berwawancara. Dalam hal ini dijabarkan ke dalam Kompetensi Dasar (KD) yaitu "menceritakan hasil pengamatan dengan bahasa yang runtut, baik, dan benar" (Depdiknas, 2006: 327).
Berdasarkan aspek-aspek keterampilan berbahasa, berbicara merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting dimiliki dan dikuasasi oleh seseorang. Bahkan keberhasilan seseorang dalam meniti karir misalnya, dapat juga ditentukan oleh terampil tidaknya ia berbicara. Untuk itulah, sudah seharusnya di sekolah-sekolah, terutama Sekolah Dasar, membekali peserta didiknya dengan memperbanyak latihan-latihan keterampilan berbicara. Bloomfield (1977:42) mengatakan bahwa semua aktivitas manusia yang terencana didasarkan pada bahasa. Bahasa sendiri mempunyai bentuk dasar berupa ucapan atau lisan jadi jelas bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi, dan komunikasi itu adalah berbicara.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bygate (1987:26) bahwa dalam berbicara seseorang harus mempunyai pengetahuan keterampilan perspektif motorik, dan keterampilan interaktif, maka agar dapat bercerita dengan baik, seseorang harus mempunyai kompetensi kebahasaan yang memadai serta unsur-unsur yang menjadi syarat agar proses berbicaranya dapat lancar, baik dan benar. Diantaranya adalah lafal, intonasi, ejaan, kosa kata, dan sebagainya.
Namun, pencapaian kompetensi keterampilan berbicara pada umumnya belum maksimal, karena beberapa faktor yang menjadi penyebab, salah satunya adalah metode pembelajaran dan media pembelajaran. Penerapan metode yang tepat dalam kegiatan belajar mengajar, diharapkan akan mampu meningkatkan daya keaktifan siswa dalam pembelajaran. Melihat faktor tersebut, maka dengan pemanfaatan metode dan media yang tepat siswa akan dapat mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga dapat berkembang secara mandiri.
Namun, pada umumnya pembelajaran keterampilan berbicara di Sekolah Dasar (SD) Negeri X kurang maksimal, guru cenderung lebih dominan pada pembelajaran teori kebahasaan. Maka keterampilan berbicara belum tercapai secara optimal, terbukti siswa masih takut untuk mengemukakan pendapat, malu bertanya, kurang percaya diri dalam berkomunikasi, sulit untuk mengungkapkan kembali isi cerita dan sebagainya.
Kekurangmampuan siswa dalam mengungkapkan kembali isi cerita umumnya disebabkan karena daya imajinasi siswa untuk menangkap penjelasan guru secara menyeluruh masih rendah. Sehingga cerita yang disampaikan guru tidak dapat diceritakan kembali sepenuhnya oleh siswa. Oleh karena itu, guru mengembangkan media pembelajaran melalui penggunaan media gambar cerita dengan maksud agar siswa dapat menginterpretasikan isi cerita sesuai dengan imajinasinya yang akhirnya siswa dapat mengungkapkan kembali isi cerita, mengungkapkan hasil pengamatan dengan bahasa yang runtut, sehingga bermakna.
Penggunaan gambar cerita merupakan alat bantu (media) agar pembelajaran tidak terkesan monoton dan terjadi bina suasana kelas. Dengan media ini diharapkan anak terangsang untuk menggunakan daya indera pendengarannya secara maksimal untuk menyimak cerita guru. Setelah anak menyimak cerita guru, daya imajinasi anak akan muncul selaras dengan alur dan tokoh cerita guru, dan akhirnya anak diharap mempunyai kemampuan menceritakan kembali apa yang telah diceritakan oleh gurunya dan juga dapat mengadopsi perilaku positif dari tokoh cerita. Kemampuan anak untuk menceritakan kembali isi cerita merupakan modal dasar anak dalam melatih aspek keterampilan berbicara.
Siswa kurang berminat terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya keterampilan berbicara, karena tidak dipergunakannya alat peraga atau gambar yang membuat siswa tertarik untuk mempelajarinya. Siswa juga kurang menguasai keterampilan berbicara dalarn Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu, penelitian tentang peningkatan keterampilan berbicara melalui media gambar perlu dilaksanakan untuk mengetahui seberapa jauh siswa dapat meningkatkan keterampilan berbicara.
Mengacu pada latar belakang masalah di atas, ada beberapa permasalahan yang dapat teridentifikasi, antara lain:
1. Penerapan media yang tepat dalam kegiatan belajar mengajar akan mampu meningkatkan daya keaktifan siswa dalam belajar dan dapat mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sehingga dapat berkembang secara mandiri.
2. Keterampilan berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa Indonesia yang harus dikuasai oleh anak didik karena merupakan bagian yang turut menentukan prestasi belajar anak didik.
3. Penguasaan keterampilan berbicara tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi diperlukan latihan dan kerja keras.
4. Agar siswa terampil berbicara, guru dituntut memiliki inovasi-inovasi yang diimplementasikan dalam pernbelajaran. Salah satu bentuk inovasi tersebut antara lain penggunaan media gambar.
Agar pembahasan tidak terlalu meluas dan lebih terfokus pada pokok masalah perlu dilakukan pembatasan masalah. Laporan Penelitian Tindakan Kelas ini hanya dibatasi pada pembahasan upaya untuk meningkatkan kemampuan bercerita atau berbicara melalui penggunaan media gambar cerita. Gambar cerita yang dimaksudkan di sini adalah terdiri dari beberapa gambar seri yang apabila dirangkai akan mempunyai sebuah makna cerita.

B. Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan penggunaan media gambar agar dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X?
2. Apakah dengan menggunakan media gambar, keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X dapat ditingkatkan?
3. Apakah dengan menggunakan media gambar sikap keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X dapat ditingkatkan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui penggunaan atau peran media gambar dalam hal meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X.
2. Meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X.
3. Meningkatkan sikap keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup aspek teoretis maupun praktis.
1. Manfaat teoretis dimaksudkan bahwa hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pengembangan salah satu teori belajar sehingga dapat dipakai sebagai referensi dalam upaya pelaksanaan penelitian lebih lanjut dalam aspek pengembangan teori yang sama namun dalam kelas yang berbeda.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi :
a. Manfaat bagi siswa
1) Penguasaan bahan pelajaran akan lebih baik.
2) Siswa akan lebih fokus dalam mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia khususnya keterampilan berbicra dengan menggunakan media pembelajaran yang menarik.
3) Siswa akan lebih bersemangat dalam belajar dengan adanya media gambar sebagai alat bantu pembelajaran. Dengan media gambar itulah siswa dapat ditumbuhkan kreativitas dan imajinasi berpikirnya dengan cara mendeskripsikan sesuatu melalui gambar tersebut menurut cara pandang sendiri.
4) Hasil pembelajaran lebih efektif bagi siswa karena siswa diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran, gagasan sehingga dapat menceritakan hasil pengamatan melalui media gambar dengan bahasa yang runtut, baik dan benar.
b. Manfaat bagi guru
1) Guru mendapatkan pengetahuan yang lebih konkrit mengenai penggunaan media gambar dalam meningkatkan kemampuan keterampilan berbicara siswa.
2) Guru dapat mengefektifkan proses belajar mengajar dalam rangka meningkatkan keterampilan berbicara siswa, khususnya dengan penggunaan media gambar.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:08:00

TESIS PTK USAHA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA MENULIS PERMULAAN MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL

(KODE PTK-0009X) : TESIS PTK USAHA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA MENULIS PERMULAAN MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Aktivitas membaca dan menulis merupakan bentuk manifestasi kemampuan berbahasa yang dikuasai setelah kemampuan menyimak dan berbicara. Dibandingkan dengan kemampuan menyimak dan berbicara, ketrampilan membaca dan menulis jauh lebih sulit menguasainya. Hal ini disebabkan kemampuan membaca dan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan nonkebahasaan.
Di kelas 1 sekolah dasar, pengajaran membaca dan menulis diberikan dengan sederhana. Pengajaran ini dikenal dengan MMP (Membaca Menulis Permulaan) dengan tujuan memperkenalkan cara membaca dan menulis dengan teknik-teknik tertentu sampai dengan anak mampu mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan dengan kalimat sederhana (Tarigan, 1997 : 20).
Sering guru yang mengajar membaca dan menulis permulaan pada kelas I Sekolah Dasar belum mempunyai strategi belajar mengajar secara efektif dan efisien. Nana Sudjana (1989 : 24) mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan prestasi belajar yang dikehendaki dalam kegiatan belajar mengajar, guru dapat memilih strategi yang disesuaikan dengan kondisi siswa kelas I SD yang tentunya berbeda dengan kondisi siswa pada kelas yang lebih tinggi.
Salah satu cara untuk mengatasi hal itu guru dapat melakukan terapi dengan penelitian tindakan kelas. Dengan penelitian tindakan kelas guru akan memperoleh manfaat praktis yaitu ia dapat mengetahui secara jelas masalah-masalah yang ada di kelasnya, dan bagaimana cara mengatasi masalah itu (Modul Pelatihan Terintegrasi PTK, 2004 : 6).
Dalam penelitian ini peneliti menawarkan salah satu alternatit tindakan yang perlu diterapkan dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan di kelas I SD dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Pendekatan ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002 : 1). Guru merancang kegiatan agar siswa mengalami dan menemukan sendiri pengetahuan baru sehingga hasil pembelajaran lebih bermakna dan bermanfaat bagi siswa.
Berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pembelajaran membaca menulis permulaan unik dan rumit, sehingga seseorang tidak dapat melakukan tanpa mempelajarinya.
2. Kesulitan-kesulitan dalam membaca menulis permulaan yang dialami siswa akan berakibat rendahnya hasil belajar siswa.
3. Guru hendaknya melakukan tindakan dalam pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
4. Kemampuan membaca menulis permulaan siswa kelas 1 sekolah dasar dapat ditingkatkan dengan menerapkan pendekatan yang sesuai.
5. Pendekatan kontekstual merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan siswa kelas 1 sekolah dasar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran membaca menulis permulaan dapat meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar Negeri X?
2. Bagaimanakah penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran membaca menulis permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar Negeri X?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah :
1. Meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar Negeri X melalui pendekatan kontekstual.
2. Menjelaskan penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran membaca menulis permulaan siswa kelas 1 Sekolah Dasar Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Setelah penelitian ini dilaksanakan, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat secara praktis dan teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pengembangan salah satu teori belajar. Teori ini berisi bagaimana usaha agar kemampuan membaca dan menulis permulaan siswa kelas 1 sekolah dasar dapat ditingkatkan. Dengan demikian pembelajaran lebih efektif dan efisien.
b. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi peneliti lain dalam upaya melaksanakan penelitian yang lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, khususnya guru kelas permulaan Sekolah Dasar. Dengan pertimbangan itu guru mengetahui pentingnya melakukan tindakan kelas dengan pendekatan kontekstual agar dapat mengubah dan meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca dan menulis permulaan.
b. Bagi siswa, dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan dapat dirasakan manfaatnya. Siswa akan cepat bisa membaca dan menulis kata atau kalimat sederhana dengan berbagai variasi karena mengalami dan menemukan sendiri dan bukan menghafal huruf atau kata.
c. Bagi sekolah, digunakan sebagai dasar dalam menyusun dan melaksanakan program pembinaan kepada guru khususnya guru bahasa Indonesia.
d. Bagi lembaga terkait (Cabang Dinas Pendidikan), sebagai bahan evaluasi dan pengembangan profesi bagi para pengawas atau kepala cabang dinas yang membawahi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:07:00

TESIS PTK UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE KOOPERATIF INTEGRASI MEMBACA DAN KOMPOSISI (CIRC)

(KODE PTK-0008X) : TESIS PTK UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE KOOPERATIF INTEGRASI MEMBACA DAN KOMPOSISI (CIRC) (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Membaca adalah modal bagi seseorang untuk mempelajari buku dan mencari informasi tertulis. Membaca bagi seorang siswa juga menjadi modal agar dapat mengikuti kegiatan pembelajaran. Selain membaca, menulis juga harus dikuasai oleh siswa agar siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan lancar. Karena itu, kemampuan membaca dan menulis bagi siswa menjadi modal utama untuk dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar atau kegiatan pembelajaran.
Membaca dan menulis merupakan dasar bagi seseorang untuk dapat melakukan komunikasi secara tertulis. Komunikasi merupakan satu hal yang penting bagi manusia untuk dapat tetap bertahan hidup dan bermasyarakat. Tanpa komunikasi, maka manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Karena itulah maka komunikasi sangat penting bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia ini. Salah satu bekal untuk dapat berkomunikasi tersebut manusia harus dapat membaca dan menulis.
Kemampuan membaca dan menulis tersebut dimaksudkan untuk dapat memahami bahasa komunikasi. Bahasa merupakan salah satu alat untuk berkomunikasi dan sangat besar fungsinya. Karena pentingnya membaca dan menulis, maka hal tersebut diajarkan kepada siswa di sekolah. Dengan belajar dan menulis, maka siswa akan dapat melakukan komunikasi dalam kehidupan sosialnya sehari-hari.
Pentingnya kemampuan membaca dan menulis bagi siswa menjadikan pembelajaran membaca dan menulis menjadi pelajaran paling awal yang harus diikuti oleh siswa. Karena itu, pelajaran membaca dan menulis permulaan dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar pada kelas I. Namun demikian, adanya tuntutan jaman yang semakin canggih dan cepat, pelajaran membaca dan menulis telah dikenalkan kepada para peserta didik di TK. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis permulaan siswa ketika masuk ke sekolah tingkat dasar.
Pembelajaran membaca dan menulis permulaan merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Bahasa merupakan alat penting bagi manusia untuk komunikasi (Gorys Keraf, 980: 1). Selain itu, bahasa merupakan sarana berpikir keilmuan (Herman J Waluyo, 2006: 30). Sebagai sarana komunikasi dan juga sebagai sarana berpikir keilmuan, maka bahasa menjadi vital dan penting untuk dipelajari. Pembelajaran bahasa dimulai dari pembelajaran membaca dan menulis.
Kurikulum sekolah di Indonesia saat ini, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006: 22) di dalamnya mencantumkan pelajaran bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran wajib. Sebagai pelajaran wajib, maka semua siswa mendapatkan pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tertulis.
Pembelajaran di sekolah memerlukan pengelolaan yang baik agar dapat diperoleh pembelajaran yang efektif. Pembelajaran yang efektif adalah suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar keterampilan spesifik, ilmu pengetahuan, dan sikap serta membuat siswa senang (Dick E Reiser, 1998). Sementara itu Dunne & Wragg (1996) menjelaskan bahwa pembelajaran efektif memudahkan siswa belajar sesuatu yang bemanfaat seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, cara hidup serasi dengan sesama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan. Karena itulah untuk dapat memperoleh pembelajaran yang efektif guru harus dapat mengelola kegiatan belajar mengajar dengan sebaik-baiknya, yaitu kegiatan belajar yang aktif, kreatif, dan menyenangkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh A Malik Fajar bahwa secara umum KBM di sekolah harus menyenangkan, mengasikkan, mencerdaskan, dan menguatkan daya pikir siswa, yang berpedoman pada tujuan, sehingga KBM akan lebih efektif (pengelolaan KBM, 2003. 1).
Pembelajaran yang efekti merupakan pembelajaran yang dilakukan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan saat ini merupakan suatu hal yang segera harus dilakukan. Mengingat mutu pendidikan saat ini mulai menurun, terutama pendidikan moral yang dapat dilihat dari hasil pendidikan yang saat ini banyak yang tidak memiliki moral. Banyaknya pejabat yang melakukan tindakan amoral merupakan salah satu petunjuk bahwa pendidikan di Indonesia belum memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan. Rendahnya mutu pendidikan dikarenakan oleh kegiatan pendidikan yang tidak berkualitas. Untuk dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, maka hal tersebut hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang berkualitas juga (Umaedi, 1999: 1).
Pembelajaran bahasa Indonesia hingga saat ini belum menampakkan hasil yang maksimal. Banyak siswa yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dapat dilihat di beberapa jenjang pendidikan termasuk pendidikan tinggi, bahkan para lulusan perguruan tinggi sering melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesalahan penggunaan bahasa Indonesia sering terlihat pada kegiatan menulis. Rendahnya kemampuan lulusan sekolah dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dikarenakan pembelajaran bahasa Indonesia yang kurang berhasil.
Kurangnya keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia dikarenakan guru tidak melakukan pengelolaan kegiatan pembelajar mengajar sebagaimana mestinya. Perlu diketahui bahwa dalam kegiatan pembelajaran, terdapat tiga aspek dalam pembelajaran (Lindgren, 1976). Ketiga aspek tersebut, pertama, siswa yang merupakan faktor yang paling penting karena tanpa siswa tidak akan ada proses belajar. Kedua, proses belajar yaitu apa saja yang dihayati siswa apabila mereka belajar, bukan apa yang harus dilakukan pendidik untuk mengajarkan materi pelajaran melainkan apa yang dilakukan siswa untuk mempelajarinya. Ketiga, situasi belajar, yaitu lingkungan temapt terjadinya proses belajar dan semua factor yang mempengaruhi siswa atau proses belajar seperti pendidik, kelas dan interaksi di dalamnya.
Pembelajaran bahasa dimulai dari membaca dan menulis. Pembelajaran membaca dan menulis dimulai sejak anak masuk di kelas I sekolah dasar. Dalam hal ini, siswa belajar membaca dan menulis permulaan. Belajar membaca dan menulis permulaan yaitu belajar mengenal huruf, bunyi huruf, merangkai huruf menjadi suku kata, merangkai suku kata menjadi kata, dan akhirnya merangkai kata menjadi kalimat. Pembelajaran membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I dimaksudkan agar siswa dapat memiliki keterampilan membaca dan menulis. Keterampilan membaca dan menulis dalam hal ini merupakan keterampilan dalam tingkat dasar, yaitu siswa dapat membaca dan menulis dengan lancar.
Agar keterampilan membaca dan menulis permulaan pada siswa SD dapat dilakukan dengan baik serta diperoleh hasil yang maksimal, diperlukan suatu strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. Mengingat pentingnya pelajaran membaca dan menulis permulaan sebagai dasar untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka perlu diupayakan suatu alternatif strategi pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan di SD yang tepat. Keluhan tentang kekurang terampilan siswa dalam membaca dan menulis di SD pada pelajaran bahasa Indonesia sampai saat ini masih dirasakan, bahkan dalam kenyataan ada keluhan guru yang mengajar di kelas II dan III SD masih ada siswa yang belum dapat membaca dan menulis. Banyak faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut, namun utamanya adalah dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan. Keberhasilan pembelajaran membaca dan menulis permulaan memerlukan dukungan dari beberapa faktor, antara lain adalah faktor keluarga, fasilitas, motivasi, dan terutama adalah metode pembelajaran yang sesuai.
Kemampuan membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I yang berada di daerah perkotaan dan pedesaan tentunya juga memiliki perbedaan. Kasus yang sama juga dapat terjadi antara sekolah dengan tingkatan menengah atas dengan sekolah pada tingkatan menengah bawah. Hal ini tentunya dapat menjadi perhatian tersendiri bagi pada praktisi pendidikan. Karena itu, sangat perlu dilakukan penelitian agar gap atau jarak antara sekolah dengan kategori menengah atas dengan menengah bawah tidak telalu jauh.
Berbagai metode dan pendekatan pembelajaran membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I cukup banyak. Banyaknya metode tersebut tentunya memerlukan kemampuan guru untuk memilih metode yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan yang berbeda-beda. Karena itulah maka guru harus dapat memahami kelasnya masing-masing agar dapat memilih metode yang tepat untuk kelasnya.
Siswa kelas I di Sekolah Dasar Negeri X selama ini masih memiliki kemampuan menulis dan membaca yang rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi rendahnya kemampuan siswa tersebut adalah pada metode pembelajaran yang digunakan guru selama ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksperimen atau tindakan pembelajaran dengan metode yang berbeda. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan adalah dengan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC). Karena itulah maka penelitian ini dilakukan untuk mencoba menggunakan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan bagi siswa kelas I Sekolah Dasar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I SD Negeri X?
2. Apakah penerapan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) dapat meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I SD Negeri X?


C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan penerapan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I SD Negeri X.
2. Meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) pada siswa kelas I SD Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Bagi siswa
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan keaktifan, motivasi, minat, dan partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran.
2. Bagi guru
a. Hasil penelitian dapat menjadi wawasan bagi guru dalam menggunakan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC).
b. Hasil penelitian dapat menjadi bahan inspirasi untuk menentukan metode lain dalam melakukan kegiatan belajar mengajar.
3. Bagi sekolah
Bagi sekolah diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi sekolah secara keseluruhan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:06:00

TESIS PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME ASSISTED LEARNING DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS SURAT RESMI

(KODE PTK-0006X) : TESIS PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME ASSISTED LEARNING DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS SURAT RESMI (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan komunikasi tertulis saat ini secara umum dapat dikatakan mengalami gejala penurunan. Hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi komunikasi seperti teknologi telepon seluler dan semakin berkembangnya internet hingga ke daerah-daerah pedesaan. Karena itu pulalah perusahaan jasa seperti kantor pos juga mulai mengalami penurunan pendapatan. Kemudahan komunikasi dengan adanya teknologi komunikasi yang modern menyebabkan orang lebih memilih untuk berkomunikasi secara langsung melalui sarana telepon. Selain dapat dikatakan secara lebih jelas, pembicaraan secara langsung melalui pesawat telepon dapat dilakukan secara timbal balik. Pembicaraan yang dilakukan secara langsung memungkinkan bila ada keinginan dari komunikator yang belum dapat dipahami oleh komunikan, akan dapat ditanyakan secara langsung. Dengan demikian, komunikasi melalui telepon dilakukan secara dialog.
Perkembangan teknologi komunikasi ternyata masih belum mampu menggeser penuh kegiatan komunikasi secara tertulis. Salah satunya adalah di lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintah merupakan lembaga resmi atau sering disebut dengan lembaga formal, dalam kegiatannya masih menggunakan sarana komunikasi yang memiliki kekuatan hukum. Hal ini tentu sangat logis karena kegiatan lembaga pemerintah harus memiliki landasan yang kuat. Perlunya landasan yang kuat tersebut karena adanya tuntutan laporan pertanggung jawaban terhadap segala apa yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Termasuk pula dalam kegiatan komunikasi, baik antara individu dengan lembaga atau sebaliknya. Karena itulah maka kegiatan komunikasi secara tertulis tidak dapat ditinggalkan di lembaga pemerintahan.
Kegiatan komunikasi secara tertulis, apalagi komunikasi secara formal, memiliki etika dan aturan tersendiri. Karena itu, para pelaku komunikasi dalam kegiatan di lembaga pemerintah secara formal harus dapat mengikuti aturan yang ada. Kegiatan komunikasi secara formal di lembaga pemerintahan tidak dapat dilakukan sekehendak para pelaku komunikasi. Karena itu, para pelaku komunikasi dalam kegiatan komunikasi secara formal harus mempelajari aturan-aturan yang berlaku dalam komunikasi secara tertulis.
Salah satu pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan komunikasi adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa sebagai alat komunikasi perlu dipelajari sejak dini agar dalam kehidupannya, seseorang dapat mengkomunikasikan gagasannya kepada orang lain dengan benar. Mengkomunikasikan gagasan dengan benar dapat menghindari salah pengertian yang dapat menyebabkan kesenjangan antar individu. Karena itulah, di sekolah dasar sudah diajarkan tentang komunikasi secara tertulis yang merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia. Pada jenjang sekolah dasar, materi komunikasi secara tertulis termasuk bagian dari kurikulum sekolah dasar kelas VI pada pelajaran Bahasa Indonesia. Masuknya materi komunikasi pada jenjang sekolah dasar dimaksudkan agar siswa sejak dini mengenal cara komunikasi tertulis. Dengan pembekalan komunikasi sejak dini diharapkan siswa sudah mahir berkomunikasi ketika memasuki masa usia kerja.
Penggunaan komunikasi tertulis, terutama secara resmi masih dilakukan oleh lembaga-lembaga atau organisasi. Komunikasi tertulis tersebut dalam bentuk surat menyurat atau koresmpondensi. Selain fungsinya sebagai alat komunikasi, lembaga-atau organisasi menggunakan surat sebagai alat komunikasi juga digunakan sebagai alat dokumentasi. Dengan adanya surat yang dikomuntasikan, maka kegiatan organisasi dapat terpantau dengan baik. Apalagi bila berhubungan dengan organisasi lain, maka dokumentasi surat dapat dipergunakan sebagai alat bukti bahwa telah melakukan kegiatan komunikasi seperti transaksi, janji, atau penyerahan wewenang atau kekuasaan. Dengan demikian, urgensi surat resmi saat ini masih sangat penting dan diperlukan, meskipun perkembangan teknologi komunikasi sudah jauh lebih maju dan cepat.
Pembelajaran surat resmi di sekolah dasar termasuk bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran surat resmi tersebut dimaksudkan agar sejak dini siswa sudah mengenal surat resmi. Pembelajaran surat menyurat bertujuan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis surat resmi. Dengan keterampilan menulis surat resmi, maka siswa dapat melakukan komunikasi tertulis dengan sebuah lembaga atau instansi baik negeri maupun swasta.
Sekolah Dasar Negeri X merupakan salah satu sekolah dasar yang telah membelajarkan tentang surat menyurat pada pelajaran Bahasa Indonesia pada siswanya yang duduk di kelas VI. Selain untuk memenuhi tuntutan kurikulum, Sekolah Dasar Negeri X ingin membekali siswanya tentang komunikasi, baik komunikasi tertulis maupun lisan. Namun pada kelas VI tahun pelajaran XXXX/XXXX hasil pembelajaran menulis surat belum menunjukkan keberhasilan.
Banyak siswa yang masih belum mampu mencapai nilai batas minimal yang telah ditetapkan, yaitu sebesar 70. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes terhadap siswa Adanya fenomena tersebut tentunya perlu sekali diambil tindakan perbaikan agar siswa mampu menguasai pemahaman pada materi komunikasi tertulis dalam bentuk surat resmi. Kemampuan menulis surat resmi sangat diperlukan oleh siswa karena hampir semua orang akan berhubungan dengan pemerintah. Sehingga bila sewaktu-waktu memiliki keperluan dengan pemerintah dalam bentuk surat, maka ia akan dapat menulis surat secara resmi.
Sehubungan dengan hasil belajar menulis surat resmi yang belum mencapai batas minimal tersebut, maka diperlukan tindakan perbaikan agar hasil belajar siswa dapat meningkat dan memenuhi batas minimal yang telah ditentukan. Untuk itu diperlukan tindakan kelas dengan pembelajaran yang berbeda. Sesuai dengan hasil pengamatan, maka tindakan kelas dilakukan melalui tindakan kelas dengan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan konstruktivisme pada penelitian tindakan kelas ini menggunakan jenis konstruktivisme assisted learning. Dengan pendekatan konstruktivisme assisted learning diharapkan siswa dapat memperoleh pengalaman dari teman-temannya, orang yang lebih dewasa dan berpengalaman, serta lingkungannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah penerapan pendekatan konstruktivisme assisted learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran menulis surat resmi siswa kelas VI SD Negeri X?
2. Apakah penerapan pendekatan konstruktivisme assisted learning dapat meningkatkan keterampilan menulis surat resmi pada siswa kelas VI SD Negeri X?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Meningkatkan keaktifan dalam pembelajaran menulis surat resmi melalui pendekatan konstruktivisme assisted learning siswa kelas VI SD Negeri X.
2. Meningkatkan keterampilan menulis surat resmi dengan pendekatan konstruktivisme assisted learning pada siswa kelas VI SD Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan memiliki
manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan bagi pembaca, terutama bagi guru sehingga dapat meningkatkan kreativitas guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi peneliti yang akan datang dengan melakukan penelitian tindakan kelas dengan pendekatan yang sama pada mata pelajaran yang berbeda.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa, yaitu:
1) partisipasi dan keaktifan siswa dalam kegiatan belajar meningkat.
2) Keterampilan menulis surat resmi siswa meningkat.
b. Bagi guru
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru sehingga dapat menerapkan pendekatan konstruktivisme assisted learning, meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, meningkatkan kemampuan guru dalam memberi penguatan, meningkatkan kemampuan guru dalam menggunakan metode pembelajaran, dan meningkatkan guru dalam mengadakan penelitian tindakan kelas.
c. Bagi sekolah
Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan prestasi sekolah melalui peningkatan hasil belajar siswa.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:04:00

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN

(KODE PTK-0005) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN METODE BERMAIN PERAN (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, artinya suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menyampaikan gagasan, pikiran atau perasaan sehingga gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran pembicara dapat dipahami orang lain. Berbicara berarti mengemukakan ide atau pesan lisan secara aktif melalui lambang-lambang bunyi agar terjadi kegiatan komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Memang setiap orang dikodratkan untuk bisa berbicara atau berkomunikasi secara lisan, tetapi tidak semua memiliki keterampilan untuk berbicara secara baik dan benar. Oleh karena itu, pelajaran berbicara seharusnya mendapat perhatian dalam pengajaran keterampilan berbahasa di sekolah dasar.
Seperti yang diungkapkan Galda (dalam Supriyadi, 2005: 178) keterampilan berbicara di SD merupakan inti dari proses pembelajaran bahasa di sekolah, karena dengan pembelajaran berbicara siswa dapat berkomunikasi di dalam maupun di luar kelas sesuai dengan perkembangan jiwanya. Pendapat tersebut juga didukung oleh Farris (dalam Supriyadi, 2005: 179) yang menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara penting diajarkan karena dengan keterampilan itu seorang siswa akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir, membaca, menulis, dan menyimak. Kemampuan berpikir tersebut akan terlatih ketika mereka mengorganisasikan, mengonsepkan, dan menyederhanakan pikiran, perasaan, dan ide kepada orang lain secara lisan.
Dengan kata lain, dalam kehidupan sehari-hari siswa selalu melakukan dan dihadapkan pada kegiatan berbicara. Namun pada kenyataannya pembelajaran berbicara di sekolah-sekolah belum bisa dikatakan maksimal, sehingga keterampilan siswa dalam berbicara pun masih rendah. Permasalahan dalam kemampuan berbicara juga terjadi pada siswa kelas V SD Negeri X. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas yang menyatakan bahwa rendahnya keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X, tampak dari dua kali tugas berbicara siswa pada semester 1. Dari data yang ada menunjukkan bahwa pada tes tersebut hanya sebagian kecil siswa (11 siswa) atau sekitar 46% yang mendapat nilai 60 ke atas (batas ketuntasan dari guru), sedangkan sisanya (54%) atau sebanyak 13 siswa mendapat nilai di bawah 60. Selain itu, dari tugas pertama dan kedua tidak menampakkan adanya peningkatan kemampuan berbicara siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas dan hasil observasi awal, dapat diidentifikasi penyebab rendahnya kemampuan berbicara siswa, yakni sebagai berikut: (1) Sikap dan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara rendah. Pada umumnya siswa merasa takut dan malu saat ditugasi untuk tampil berbicara di depan teman-temannya. (2) Siswa kurang terampil sebagai akibat dari kurangnya latihan berbicara. Menurut guru, kegiatan berbicara selama ini masih kurang mendapat perhatian. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya waktu pembelajaran Bahasa Indonesia jika digunakan untuk melakukan praktik berbicara siswa yang pada umumnya dipraktikkan secara individu. (3) Pembelajaran berbicara yang dilakukan guru dapat dikatakan masih sederhana atau konvensional karena masih bertumpu pada buku pelajaran. Ketergantungan pada buku pelajaran tersebut menyebabkan guru enggan untuk mengubah metode pembelajaran. Metode pembelajaran berbicara yang sering digunakan guru adalah metode penugasan secara individu sehingga banyak menyita waktu pembelajaran Bahasa Indonesia yang hanya 5 jam pelajaran dalam satu minggu.
Untuk mengoptimalkan hasil belajar, terutama keterampilan berbicara, diperlukan metode pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas belajar aktif dan kreativitas para siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini diperkuat oleh pendapat Nurhatim (2009) yang mengatakan bahwa penggunaan suatu metode memiliki arti penting sebagai variasi pembelajaran dengan tujuan siswa dapat mengikuti aktivitas pembelajaran di kelas yang menyenangkan dan tidak membosankan. Untuk itu guru perlu mengubah metode mengajar konvensional dengan penerapan metode bermain peran. Bermain peran merupakan teknik bermain peran secara sederhana. Dalam bermain peran, siswa dibagi untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu sesuai dengan tema pelajaran saat itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menerapkan metode bermain peran dalam bentuk penelitian tindakan kelas. Adapun alasan pemilihan metode tersebut adalah dengan pertimbangan bahwa metode ini dirasa lebih efektif dan lebih efisien untuk diterapkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Dikatakan efektif karena penerapan metode bermain peran akan lebih menghemat waktu, hal ini disebabkan karena siswa dapat tampil praktik berbicara secara berkelompok. Selain itu siswa dapat menghilangkan perasaan takut dan malu karena mereka dapat tampil dan bekerja sama dengan anggota kelompoknya. Sedangkan dikatakan efisien, dimungkinkan karena proses belajar di SD lebih banyak dilakukan dengan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Permainan adalah hal paling menarik untuk anak-anak usia sekolah dasar.

B. Rumusan Masalah
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai arah penelitian, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X tahun ajaran XXXX/XXXX?
b. Apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X tahun ajaran XXXX/XXXX?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X tahun ajaran XXXX/XXXX.
b. Mengetahui apakah penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V SD Negeri X tahun ajaran XXXX/XXXX.

D. Manfaat Hasil Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Mengetahui peningkatan keterampilan berbicara siswa dengan penerapan metode bermain peran.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Bagi siswa:
Penerapan metode bermain peran dalam pengajaran keterampilan berbicara dapat meningkatkan minat dan keaktifan siswa sehingga kemampuan berbicaranya dapat meningkat.
b. Bagi guru/kolaborator:
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman langsung pada guru-guru untuk dapat mengembangkan pembelajaran dengan metode yang lebih inovatif dan lebih berorientasi pada proses sehingga kualitas pembelajarannya dapat meningkat.
c. Bagi sekolah:
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam upaya pengadaan inovasi pembelajaran bagi guru-guru lain dan juga memotivasi mereka untuk selalu melakukan inovasi untuk menemukan metode pembelajaran yang paling tepat dan efektif.
d. Bagi peneliti:
Dengan melakukan penelitian ini, peneliti memperoleh wawasan dan pengalaman mengenai penerapan metode pembelajaran yang inovatif.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:02:00

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS NARASI DENGAN TEKNIK PARAFRASE WACANA DIALOG

(KODE PTK-0004) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS NARASI DENGAN TEKNIK PARAFRASE WACANA DIALOG (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Menulis merupakan aspek berbahasa yang tidak dapat dipisahkan dari aspek lain dalam proses belajar yang dialami siswa selama menuntut ilmu di sekolah. Dalam kegiatan ini, seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Dari pernyataan itu, dapat diketahui bahwa menulis merupakan suatu kemampuan berbahasa yang melibatkan berbagai keterampilan. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena menulis memerlukan keterampilan yang memerlukan latihan-latihan yang berkelanjutan dan terus menerus (Nurchasanah, 1997: 68).
Keterampilan menulis juga digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan dari semua itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang mampu menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif (Syarkawi, 2008: 2). Keterampilan ini meliputi keterampilan menyusun pikiran tentang gagasan atau ide yang akan disampaikan kepada pembaca dengan menggunakan kata-kata dalam susunan yang tepat berdasarkan pikiran, organisasi, pemakaian kata, pemilihan kata, dan struktur kalimat. Di samping itu, diperlukan juga keterampilan menyusun kalimat yang merupakan prasyarat untuk membentuk kesatuan isi dalam paragraf. Paragraf yang baik bukan hanya ditentukan oleh kaidah-kaidah sintaksis, kosa kata, dan penguasaan diksi yang tepat, melainkan juga bagaimana cara seseorang dalam menuliskan kalimat yang saling bertalian atau tersusun dengan baik sebagai ungkapan gagasan atau ide yang mereka ciptakan secara unik yang mewakili daya kreasi dan imajinasi orang tersebut.
Tujuan yang diharapkan dari kegiatan menulis adalah agar siswa mampu mengungkapkan ide atau gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara tertulis serta mempunyai hobi menulis. Melalui keterampilan menulis yang dimiliki, siswa dapat mengembangkan kreativitas dan dapat mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi. Akan tetapi, tidak semua orang mampu melaksanakan tugas menulis dengan baik. Itu bukan pekerjaan yang mudah karena merupakan kemampuan yang kompleks, yang menuntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan.
Pembelajaran keterampilan menulis pada jenjang sekolah dasar merupakan langkah awal menuju tingkat lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kemampuan menulis ini diajarkan di SD kelas I sampai dengan kelas VI. Kemampuan menulis yang diajarkan di kelas I dan kelas II merupakan kemampuan tahap permulaan, sedangkan yang diajarkan di kelas III, IV, V, dan VI disebut tahap lanjut (Darmiyati Zuchdi dan Budiasih, 2001: 71). Melalui latihan menulis secara bertahap, siswa diharapkan mampu membangun keterampilan menulis lebih meningkat lagi. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan menulis siswa masih rendah bila dibandingkan dengan kegiatan berbahasa lainnya.
Fenomena rendahnya pembelajaran kemampuan menulis terutama pembelajaran menulis narasi juga terjadi di kelas V SD Negeri X. Hal ini dapat dilihat dari data pendukung yang diperoleh pada saat guru memberikan tugas mengarang pada awal semester. Rata-rata siswa mendapat nilai yang kurang menggembirakan, yakni memperoleh nilai 60, bahkan nilai terendah yang diperoleh siswa adalah nilai 40.
Melihat kondisi demikian, kemudian peneliti melakukan wawancara terhadap guru kelas V SD Negeri X (Sri Sulastri, S. Pd) pada tanggal 8 September 2008. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa kegiatan pembelajaran menulis yang terjadi di SD Negeri X selama ini kurang berjalan dengan lancar dan menemui berbagai hambatan. Secara umum hal ini disebabkan aktivitas menulis merupakan suatu bentuk manifestasi kemampuan dan keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai setelah kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca. Selanjutnya, guru yang bersangkutan bersama peneliti kemudian mengidentifikasi penyebab kegagalan siswa dalam kegiatan menulis.
Untuk identifikasi lebih lanjut, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa siswa SD tersebut mengenai pembelajaran menulis yang diajarkan guru selama ini. Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa para siswa kurang termotivasi mengikuti pembelajaran menulis karena pembelajaran yang diberikan guru selama ini masih bersifat konvensional (hanya berkutat pada teori) dan berjalan secara monoton tanpa ada variasi metode atau teknik pembelajaran yang diberikan. Menurut mereka, metode atau teknik pembelajaran yang dilakukan guru selama ini kurang inovatif karena dalam kegiatan pembelajaran menulis di kelas, siswa hanya dijejali dengan materi melalui ceramah saja kemudian siswa diminta mengerjakan latihan menulis yang terdapat dalam buku teks yang dimiliki guru atau lembar kerja siswa (LKS). Oleh sebab itulah, pembelajaran menulis di kelas selama ini dirasakan membosankan/menjenuhkan.
Dalam pelaksanaan pengajaran menulis, umumnya guru hanya menyampaikan teori menulis dan kurang memberi kesempatan siswa berlatih menulis. Fenomena tersebut menjadikan siswa kurang berminat dan termotivasi untuk menulis. Kurangnya minat dan motivasi siswa dalam kegiatan menulis menjadi salah satu alasan rendahnya kemampuan menulis. Akibatnya, siswa pun mengalami kesulitan dalam mengolah kosa kata dan menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan yang utuh.
Sebagian besar siswa mengaku masih belum terbiasa memanfaatkan media tulis sebagai ruang untuk mengungkapkan ide atau gagasan mereka. Dengan kata lain, kurangnya latihan menulis serta tidak optimalnya aktivitas siswa dalam menulis itu mengakibatkan siswa kurang terbiasa dalam menyusun kata-kata menjadi kalimat-kalimat atau paragraf-paragraf sehingga kemampuan menulisnya pun tidak memadai.
Guna memastikan kebenaran informasi yang diberikan guru dan siswa saat prasurvei sebelumnya (tanggal 8 September 2008), peneliti melakukan observasi atau pengamatan terhadap pembelajaran menulis yang dilakukan guru tanggal 20 Oktober 2008 dengan mengikuti jalannya proses kegiatan belajar-mengajar. Prosedur atau langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan guru pada saat itu meliputi: (1) guru memberikan apersepsi pada siswa terkait materi yang disampaikan; (2) siswa disuruh membaca sekilas tentang contoh karangan dalam buku lembar kerja siswa (LKS); (3) guru menyampaikan materi pelajaran tentang menulis; (4) guru menugaskan kepada siswa untuk menghasilkan sebuah tulisan dengan tema yang telah ditentukan oleh guru; (5) guru mengulas pokok-pokok materi pelajaran yang telah disampaikan kemudian dilanjutkan dengan penyampaian kesimpulan.
Dari hasil pretes dapat diketahui bahwa siswa yang mendapat nilai 65 ke atas hanya berjumlah 5 orang, sedangkan sisanya sebanyak 14 siswa mendapat nilai 50 ke bawah. Nilai terendah yang diperoleh siswa pada pretes tersebut adalah nilai 30. Berdasarkan pretes ini dapat diketahui bahwa siswa yang telah mencapai ketuntasan belajar hanya lima siswa sedangkan yang lain (sebanyak 14 siswa) belum mencapai ketuntasan belajar. Dari hasil pretes yang telah dilakukan, maka memperkuat bukti bahwa kemampuan menulis narasi para siswa masih rendah.
Dari observasi atau pengamatan yang telah dilakukan, peneliti dapat mengidentifikasi faktor penyebab atau permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran menulis di SD Negeri X. Pada umumnya rendahnya kualitas pembelajaran kemampuan menulis narasi di kelas tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) siswa kesulitan dalam menemukan ide atau gagasan, (2) kurangnya kemampuan siswa dalam menentukan topik tulisan narasi, (3) siswa belum mampu mengembangkan paragraf dengan baik, (4) siswa belum mampu menceritakan rangkaian peristiwa yang terjadi secara runtut dalam bentuk bahasa tulis, (5) guru kesulitan membuat siswa aktif di kelas, (6) guru kesulitan menemukan metode atau teknik pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi menulis narasi.
Berdasarkan berbagai permasalahan yang telah diungkapkan di atas terkait dengan rendahnya kemampuan menulis siswa, peneliti bersama guru mendiskusikan strategi untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran menulis narasi pada siswa kelas V SD Negeri X. Dari diskusi tersebut dihasilkan solusi yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pembelajaran menulis, yakni guru harus menerapkan teknik pembelajaran yang berbeda dari teknik sebelumnya. Faktor metode/teknik yang digunakan dalam pembelajaran merupakan faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan pembelajaran menulis, khususnya di sekolah dasar (Suhartono, 2007: 148). Teknik pembelajaran yang dimaksud adalah teknik yang mampu menjadikan siswa aktif dan antusias di dalam kelas. Akhmad Sudrajat (2008: 2) menyatakan bahwa guru seharusnya dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama. Diterapkannya teknik yang berpengaruh di kelas tersebut membantu guru dalam mencapai tujuan yang dapat membantu siswa berkonsentrasi pada apa yang diajarkan melalui kegiatan yang dapat dilakukan dengan cara sederhana dan mudah (Baeulieu, 2008: 13).
Lebih lanjut, guru dan peneliti menemukan satu tindakan dari penjabaran teknik pembelajaran yang sebelumnya telah dibicarakan. Penerapan tindakan ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pembelajaran menulis, khususnya menulis narasi. Tindakan yang dimaksud adalah dengan penerapan teknik parafrase wacana dialog. Dengan teknik parafrase wacana dialog ini diharapkan dapat membantu siswa dalam mengembangkan dan mengurutkan ide secara runtut, logis, dan sesuai dengan logika bahasa sehingga alur pemikiran siswa tidak melompat-lompat lagi. Selain itu, guru diharapkan mampu memotivasi dan membangkitkan minat siswa agar mereka aktif selama proses pembelajaran dan pada akhirnya mampu menulis narasi dengan baik. Dengan demikian, teknik pembelajaran ini dapat digunakan sebagai alternatif guna meningkatkan kemampuan menulis narasi, khususnya pada siswa kelas V SD Negeri X.
Pemilihan tindakan ini atas dasar bahwa dengan teknik parafrase wacana dialog, seseorang bisa tepat mengatakan maksud atas tuturan tertentu dengan bahasanya sendiri dalam bentuk bahasa yang lebih sederhana, bebas, dan prosais (Situmorang, 1983: 34). Dengan kata lain, parafrase adalah mengulang apa yang dikatakan orang lain menggunakan kata-kata sendiri. Parafrase ini selalu diikuti dengan penafsiran. Karena tanpa adanya penafsiran dan parafrase, seseorang merasa sukar untuk mengerti maksud tuturan tertentu. Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dengan teknik parafrase wacana dialog dapat meningkatkan kemampuan menulis narasi para siswa.
Sabarti Akhadiah, Maidar G. Arsjad, dan Sakura H. Ridwan (1996: 66) mengemukakan bahwa parafrase yaitu ungkapan kembali maksud atau isi tulisan dengan menggunakan kata-kata sendiri. Dalam penulisan, parafrase ini sering kali disebut kutipan tidak langsung. Lebih lanjut, diungkapkan bahwa parafrase merupakan ungkapan gagasan yang ditulis orang lain dengan bahasa kita sendiri. Dalam hal ini seseorang membaca atau menyimak ucapan kemudian kita mengungkapkan gagasan tersebut dengan kata-kata/kalimat kita sendiri.
Lebih jelas, pemilihan tindakan guna meningkatkan kemampuan menulis narasi ini juga mengacu pada pendapat Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, dan Sekar Ayu Aryani (2007: 195) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan dari pembelajaran dengan parafrase terarah adalah mengembangkan kecakapan menulis. Berdasarkan tujuan inilah, akhirnya peneliti dan guru memutuskan untuk menerapkan teknik parafrase wacana dialog guna meningkatkan kemampuan menulis narasi siswa kelas V SD Negeri X.
Dalam penelitian ini, yang menjadi objek parafrase adalah wacana dialog. Wacana dialog menjadi media yang tepat digunakan untuk menerapkan teknik parafrase yang dapat membantu siswa dalam mengatasi kesulitan memunculkan ide tulisan. Gambaran nyata tentang wacana dialog adalah wacana yang berbentuk percakapan, biasanya melibatkan pembicara dan pendengar dan mereka berbicara secara bergantian.
Dengan memparafrasekan wacana dialog dalam bentuk sajian yang sederhana, yakni berupa rekaman percakapan sehari-hari diharapkan dapat menarik antusiasme dan membuat siswa aktif dalam pembelajaran, serta membangkitkan motivasi mereka dalam kegiatan pembelajaran menulis narasi. Dalam hal ini, siswa diharapkan lebih terpacu dalam mengikuti proses kegiatan belajar menulis narasi dan keaktifan siswa selama proses pembelajaran pun selalu bertambah. Selain itu, dengan adanya penerapan teknik parafrase wacana dialog dalam proses kegiatan belajar-mengajar ini juga diharapkan siswa mampu memunculkan ide yang sebelumnya dibuat dalam kerangka karangan dan mampu mengembangkannya ke dalam bentuk tulisan narasi utuh. Hal tersebut dilakukan guna meningkatkan kemampuan menulis narasi para siswa agar mereka memperoleh hasil yang lebih baik.
Pembelajaran menggunakan teks wacana dialog ini pun telah diterapkan oleh Asep Aminuddin (2006: 1) pada siswa kelas VII MTs PUI Kancana Kabupaten Majalengka. Dalam hal ini, teks wacana dialog digunakan sebagai media untuk membantu penjelasan materi tentang menulis narasi. Melalui pemanfatan media teks wacana dialog, terbukti bahwa kekurangan dan kesalahan siswa dapat dikurangi serta mampu membuat siswa menjadi lebih mudah dalam mengembangkan karangan. Dalam penelitian tentang pembelajaran menulis narasi di kelas V SDN X ini, wacana dialog bukan digunakan sebagai media pembelajaran melainkan sebagai sumber pembelajaran yang digunakan untuk menerapkan teknik parafrase yang dapat membantu siswa memunculkan ide dalam bentuk kerangka karangan dan mengembangkannya menjadi bentuk karangan narasi utuh.
Secara umum alasan pemilihan penerapan teknik parafrase wacana dialog tersebut adalah sebagai respon awal agar siswa mempunyai skemata cerita yang nanti akan mereka tuangkan ke dalam tulisan narasi. Adapun secara rinci, alasan pemilihan penerapan teknik ini adalah sebagai berikut. Pertama, teknik ini dirasa mampu menumbuhkan minat dan motivasi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, karena cerita dalam wacana dialog diperdengarkan dalam bentuk rekaman. Kedua, wacana dialog ini digunakan sebagai rangsangan awal pada siswa agar mampu menulis narasi dengan baik dan runtut sesuai dengan logika bahasa yang logis. Ketiga, kegiatan pembelajaran menulis terkesan tidak monoton lagi karena para siswa diperdengarkan rekaman wacana dialog sehingga mereka merasa antusias dan tidak cepat merasa bosan. Keempat, jalan cerita dalam wacana dialog yang diperdengarkan melalui rekaman akan menumbuhkan keaktifan, keantusiasan, dan motivasi siswa terhadap kegiatan menulis cerita, khususnya menulis narasi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
a. Apakah penerapan teknik parafrase wacana dialog dalam pembelajaran menulis narasi dapat meningkatkan keaktifan siswa kelas V SD Negeri X?
b. Apakah penerapan teknik parafrase wacana dialog dalam pembelajaran menulis narasi dapat meningkatkan kemampuan menulis narasi siswa kelas V SD Negeri X?
Menulis narasi di sekolah dasar merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya aspek keterampilan berbahasa (aspek menulis) yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan minat, motivasi, keaktifan siswa selama proses pembelajaran, dan meningkatkan kemampuan menulis pada siswa. Dalam menulis narasi ini diperlukan pengembangan ide dalam bentuk kerangka karangan berdasarkan kronologis peristiwa dan waktu serta penguasaan kosa kata yang memadai.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah:
a. untuk meningkatkan keaktifan siswa kelas V SD Negeri X dalam pembelajaran menulis narasi dengan penerapan teknik parafrase wacana dialog.
b. untuk meningkatkan kemampuan menulis narasi siswa kelas V SD Negeri X dalam pembelajaran menulis narasi dengan penerapan teknik parafrase wacana dialog.

D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
a. memperluas wawasan dalam khasanah keilmuan pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya pembelajaran menulis narasi;
b. sebagai acuan pembelajaran menulis dengan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif,dan menyenangkan (PAIKEM);
c. sebagai acuan pembelajaran menulis dengan penggunaan teknik parafrase wacana dialog.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
1. memberikan kemudahan siswa dalam menemukan ide tulisan;
2. meningkatnya kemampuan menulis narasi siswa;
3. menjadikan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa termotivasi dan merasa antusias dalam mengikuti pembelajaran.
b. Bagi guru
1. meningkatnya kemampuan guru dalam mengatasi kendala pembelajaran menulis narasi dan mengelola kelas;
2. dapat mengembangkan pembelajaran menulis dengan penggunaan teknik pembelajaran yang inovatif.
c. Bagi sekolah
1. hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam upaya pengadaan inovasi pembelajaran bagi para guru lain dalam mengajarkan materi menulis;
2. kualitas hasil pembelajaran meningkat, terutama hasil pembelajaran menulis narasi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:01:00