PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1996, pemerintah orde baru (Orba) telah membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik sebagai panglima telah diganti dengan ekonomi sebagai panglima dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Dalam konstelasi politik yang bam ini, militer telah menempati posisi yang paling atas dalam hierarki kekuasaan.
Kenyataan menunjukkan, pemerintahan orde baru telah berhasil dalam melenyapkan hiperinflasi (inflasi beratus-ratus persen), mengubah modal yang hengkang ke luar negeri menjadi arus masuk modal swasta yang substansial, mengubah deficit cadangan devisa menjadi selalu positif, mempertahankan harga beras dan meningkatkan produksi beras hingga mencapai tingkat swasembada, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menurunkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Prestasi politik dan ekonomi yang mengesankan itu, tak pelak lagi telah ditopang dengan control dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara, Republik Indonesia terbagi atas beberapa daerah propinsi. Daerah propinsi tersebut terdiri dari daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban mengatur sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, Undang-undang No. 5 tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dibentuk. Undang-undang No. 5/1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam 3 (tiga) prinsip, yang dijelaskan sebagai berikut : Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti bahwa pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti bahwa pengkoordinasian prinsip tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif.
Ditekankan juga bahwa titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II (Dati II), dengan dasar pertimbangan, yaitu : Pertama, dimensi politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif. Ketiga, Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan akan dan potensi rakyat di daerahnya. Yang pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan local accountability Pemda terhadap rakyatnya. Atas dasar itulah prinsip otonomi yang dianut, yaitu otonomi yang nyata, bertanggung jawab, dan dinamis, yang diharapkan dapat dengan mudah direalisasikan. "Nyata" berarti otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah. "Bertanggung jawab" mengandung arti pemberian otonomi diselaraskan atau diupayakan untuk memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air. "Dinamis" berarti pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.
Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya mengacu pada dasar otonomi daerah itu sendiri yang telah di tuangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka akan terlihat bahwa perubahan mendasar yang telah dilakukan melalui UU No. 33 tahun 2004, yaitu peraturan tentang 2 sumber penerimaan daerah yang baru, yaitu dana perimbangan dan pinjaman daerah.
Pemberian hak otonomi didasarkan pada kemampuan fisik suatu daerah untuk membiayai dirinya sendiri dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004, bahwa prinsip otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Otonomi yang seluas-luasnya adalah daerah yang diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam UU. Daerah tersebut memiliki kewenangan membuat kebijakan daerahnya demi memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan hidup serta berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah tersebut.
3. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan maksud pemberian otonomi yang ada yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Dengan pemberian otonomi ini diharapkan pada pemerintah daerah untuk lebih memanfaatkan dan mengolah peluang dan potensi yang dimiliki daerah tersebut demi kesejahteraan masyarakatnya melalui pembangunan di daerahnya dengan melibatkan aspirasi dan partisipasi masyarakat setempat/daerah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah merupakan wujud dari pembangunan nasional didaerah.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sector swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pembangunan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan, baik antar daerah maupun antar sektor. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan serta hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut dapat pula dinikmati oleh masyarakat diberbagai lapisan, mulai dari lapisan atas hingga pada lapisan yang paling bawah baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan di berbagai sektor.
Dengan demikian daerah yang miskin, tertinggal, tidak produktif nantinya akan menjadi lebih produktif dan mempercepat pertumbuhan daerah itu sendiri. Menurut pandangan para ekonom klasik (Adam Smith) maupun para ekonom non klasik (Robert Solow & Trevor Swan), menyatakan bahwa pada dasarnya ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa yang sebelumnya. Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Dalam konteks ini, Siagian (1995), mengemukakan pendapatnya bahwa desentralisasi merupakan suatu konsep yang dianggap mampu untuk mengatasi masalah pelayanan sosial diberbagai sektor publik. Dengan konsep ini diharapkan terjadi efisiensi dan efektifitas serta pemerataan yang diharapkan akan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Hal senada juga dikemukakan oleh Wahyono (1993), yang menyatakan bahwa pengotonomian justru untuk membangun daerah tersebut agar masyarakatnya sejahtera, dengan tujuan sebagai berikut :
1. Menghilangkan berbagai perasaan ketidak adilan pada masyarakat.
2. Menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah
3. Meningkatkan demokrasi diseluruh strata masyarakat didaerah
4. Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba menganalisa sejauh mana pelaksanaan otonomi diterapkan di Kota X melalui pembangunan sarana dan prasarana fisik yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Penulis mencoba menuangkannya Dalam penulisan skripsi yang berjudul "PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KOTA X".
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk lebih mempermudah dan membuat lebih sistematik penulisan skripsi ini. Selain dari pada itu, rumusan masalah ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan skripsi ini. Adapun perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Kondisi Ekonomi Kota X setelah Otonomi Daerah ?
2. Apakah Otonomi Daerah Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kota X ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini dilakukan adalah :
1. Untuk mengetahui kondisi perekonomian kota X setelah adanya otonomi daerah.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh otonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat kota X.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah :
1. Sebagai bahan studi atau literatur tambahan terhadap penelitian yang sudah ada sebelumnya.
2. Sebagai bahan studi dan literatur bagi mahasiswa/mahasiswi ataupun peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis selanjutnya.
3. Sebagai bahan masukan yang berguna bagi pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
4. Sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pemerintah atau instansi-instansi yang terkait.