Cari Kategori

TESIS PENDEKATAN PEMBELAJARAN TERPADU CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DAN KONVENSIONAL SERTA MINAT BELAJAR SISWA TERHADAP PENGUASAAN KOMPETENSI DASAR

(Kode : PASCSARJ-0014) : TESIS PENDEKATAN PEMBELAJARAN TERPADU CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DAN KONVENSIONAL SERTA MINAT BELAJAR SISWA TERHADAP PENGUASAAN KOMPETENSI DASAR MATA PELAJARAN SAINS PADA SISWA SD DI KECAMATAN X KABUPATEN X (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi menyebabkan arus komunikasi menjadi cepat dan tanpa batas. Hal ini berdampak langsung pada bidang norma kehidupan dan ekonomi, seperti tersingkirnya tenaga kerja yang kurang berpendidikan dan kurang terampil, terkikisnya budaya lokal karena cepatnya arus informasi dan budaya global serta menurunnya norma-norma masyarakat yang bersifat pluralistik, sehingga rawan terhadap timbulnya gejolak sosial dan disintegrasi bangsa. Adanya pasar bebas, kemampuan bersaing dalam penguasaan pengetahuan dan teknologi menjadi semakin penting untuk kemajuan suatu bangsa.
Ukuran kesejahteraan suatu bangsa telah tergeser dari modal fisik atau sumber daya alam ke modal intelektual, pengetahuan, sosial dan kepercayaan. Oleh karena itu, maka dibutuhkan pendidikan yang memberikan kecakapan hidup (life skill) yaitu yang dapat memberikan ketrampilan, kemahiran, dan keahlian dengan kompetensi tinggi kepada peserta didik sehingga mampu bertahan dalam suasana yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif dalam kehidupannya. Kecakapan ini sebenarnya telah diperoleh siswa sejak dini melalui pendidikan formal di sekolah maupun yang bersifat informal, yang akan membuatnya menjadi masyarakat berpengetahuan yang belajar sepanjang hayat (life long learning).
Pada era globalisasi ini pengetahuan manusia semakin banyak dan maju dengan pesat. Akibatnya, pengetahuan seseorang akan cepat usang, tidak relevan lagi dan kehilangan nilai utilitas. Agar pengetahuan selalu mutahkir, maka harus dikembangkan cara-cara belajar yang baru misalnya bagaimana mencari, mengolah, memilih informasi yang demikian banyak sesuai dengan kebutuhannya pemilihan materi kurikulum tidak dapat lagi hanya berbasis isi (contect) tetapi lebih kepada peningkatan kecakapan hidup siswa yang memiliki kompetensi-kompetensi berbagaimana memutahirkan pengetahuan-pengetahuan tersebut dan memanfaatkannya agar berhasil dalam kehidupan.
Selain globalisasi, penyempurnaan kurikulum juga dilakukan dalam konteks reformasi yang bertujuan untuk menegakan demokrasi, menerapakan dan menghargai hak asasi manusia, dalam konteks otonomi daerah : daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola daerahnya secara mandiri.menurut peraturan pemerintah (PP) No. 25 Th 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonomi dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, dinyatakan perlunya:
1. Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar
2. Pengaturan kurikulum nasional
3. Penilaian hasil belajar secara nasional
4. Penyusunan pedoman pelaksanaan
5. Penetapan standar materi pelajaran pokok
6. Penetapan kalender pendidikan dan jumlah belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar menengah dan luar sekolah.
Salah satu konsekuensi dari ketentuan ini adalah kewenangan yang lebih besar bagi daerah untuk mengatur manajemen, pengembangan silabus (perencanaan pembelajaran) dan pelaksanaan kurikulum nasional. Dengan demikian adalah wajar apabila kurikulum perlu dikembangkan dengan berbasis kompetensi yang memberikan kecakapan hidup (life skill) kepada siswa. Kompetensi ini secara minimal dan memadai ditetapkan secara nasional, sehingga siswa dan orang tua dapat mengetahui hasil belajarnya apabila dibandingkan dengan hasil belajar seluruh siswa secara nasional, melalui program penilaian yang dilakukan sekolah.
Dewasa ini ada kecenderungan untuk kembali pada pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetiti mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan persoalan dalam kehidupan di sekolah pada waktu terjadinya proses belajar mengajar berlangsung.
Berangkat dari kondisi di atas maka dalam merancang suatu pembelajaran guru dituntut untuk memperhatikan beberapa komponen yang dapat memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran itu sendiri. Begitu pula pada saat seorang guru akan menggunakan suatu model pembelajaran terpadu, dimana model modela pembelajaran pembelajaran terpadu tersebutmempunyai karakteristik sendiri-sendiri, maka guru harus pula memperhatikan empat (4) komponen dengan menyesuaikan karakteristik masing-masing model pembelajaran terpadu yang dipilih. Adapun keempat komponen yang harus diperhatikan yang harus diperhatiakan guru dalam merancang suatu pembelajaran menurut Nasution (1996 : 25), adalah sebagai sebagai berikut :
1. Fokus pembelajaran
2. Tujuan
3. Materi
4. Strategis pembelaj aran
Sekolah Dasar (SD) sebagai salah satu lembaga pendidikan formal berkewajiban mewujudkan cita-cita nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 dinyatakan bahwa pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah.
Bahan-bahan pelajaran yang diajarkan di Sekolah Dasar (SD) selain bersumber pada kejadia-kejadian alam yang dapat diamati di lingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-hari, juga dari buku-buku pelajaran ataupun dari sumber-sumber lainnya yang sudah direkomendasikan. Dalam pelaksanaan pembelaj aran di Sekolah Dasar, antara mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lainnya tidak saling berkaitan tetapi terpisah-pisah menurut alokasi waktu tertentu. Hal tersebut menimbulkan fenomena bahwa kencenderungan terjadinya pengkotak-kotakan bidang studi terutama pada kelas-kelas tinggi, pebelajaran hanya menekankan pada pencapaian tujuan instruksional, sistem evaluasi yang berorientasi pada tes dengan menekankan reproduksi informasi. Lebih lanjut dampak dari kenyataan tersebut adalah hilangnya hakikat perkembangan peserta didik secara holistik.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penerapan pembelajaran terrpadu di Sekolah Dasar merupakan suatu alternatif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pesta didik selanjutnya dapat diharapkan akan membentuk pribadi yang kebutuhan yang memiliki pemahaman yang menyeluruh terhadap semua aspek dari mata pelajaran mata pelajaran. Pembelajaran terpadu tidak hanya berorientasi pada pencapaian tujuan instruksional semata, melainkan juga pada efek pengirimannya. Hal ini masih belum dapat terwujud, karena pernan guru dalam proses pembelajaran masih dominan dan kurang memberikan kesempatan menjadikan berbagai bidang studi untuk mengembangkan cara-cara berpikir kreatif, obyektif dan logis.
Pendekatan konvensional merupakan pendekatan pembelajaran yang dilakukan dengan mengkombinasikan bermacam-macam metode pembelajaran. Dalam prakteknya metode ini berpusat pada guru (teacher Centered) atau guru lebih banyak berdominasi kegiatan pembelajaran. Metode pembelajaran yang dilakukan berupa metode ceramah, pemberian tugas, dan tanya jawab. Metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran yang banyak dilakukan disekolah saat ini, yang menggunkan urutan kegiatan, contoh dan latihan. Pemusatan perhatian dalam proses pembelajaran sangat diperlukan bagi siswa, karena kehadiran minat belajar dalam diri siswa akan merangsang motivasi untuk belajar yang lebih besar. Oleh karena itu, guru harus dapat mengelola keadaan psikis peserta didiknya untuk dapat menumbuhkan minat belajar yang tinggi. Hanya siswa belajar tinggi yang dapat mengikuti dengan baik terhadap proses pembelajtran. Dengan demikian, diharapkan melalui pemupukan minat belajar yang baik maka diharapkan siswa lebih mudah dalam pengurusan kompetensi dasar.
Sesuai dengan prinsip diversifikasi dan desentralisasi pendidikan, maka pengembangan kurikulum digunakan prinsip dasaratuan dalam kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan. Prinsip kesatuan dalam kebijakan yaitu dalam mencapai tujuan pendidikan perlu ditetapkan standar kompetensi yang harus dicapai siswa secara nasional, pada setiap jenjang pendidkna. Prinsip keberagaman dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, penilaian dan pengelolaannya mengakomodasikan perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan kesiapan, potensi akademik, minat, lingkunagn, budaya dan sumber daya daerah atau sekolah sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan masing-masing.
Pada prinsipnya, dalam proses belajar mengajar tetap dibutuhkan kurikulum biasa, tetapi dengan kompetensi siswa diharapkan mampu:
1. Berpikir bagimana berpikir dan belajar bagaimana belajar
2. Memadukan belajar formal dan informal
3. Mengakses, memilih dan mengelola informasi
4. Mengatasi situasi yang kabur, permasalahan dan tantangan yang tidak dapat diramalkan atau tidak pasti.
Pada kurikulum 2004 yang bisa disebut dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), kebutuhan, fungsi dan peranan penilai dalam pembelajaran mengenali perubahan. Orientasi penilaian dalam KBK lebih ditentukan kepada penilaian berbasis kelas, yaitu semua aktivitas yang terjadi di kelas baik proses maupun hasilnya. Kemudian yng menjadi obyek evaluasinya didasarkan kepada kompetensi apa yang diharapkan pada setiap level dan kecakapan hidup (life skill) yang diperlukan oleh setiap siswa.
Oleh karena kemajuan belajar siswa adalah salah satu indikator keberhasilannya dalam memberikan pengajaran, maka penilaian merupakan komponen yang penting. Hal ini disebabkan karena penilaian merupakan salah satu pertimbangan seorang guru dalam memberikan keputusan terhadap pencapaian sains, guru harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan penilaian dengan segala karakteristik mata pelajaran tersebut.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penguasaan kompetensi dasar adalah faktor dari dalam diri siswa yaitu minat belajar. Minat sebagai pernyataan psikis yang menunjukkan adanya pemutusan perhatian terhadap suatu materi pelajaran karena obyek tersebut menarik bagi dirinya. Pemutusan perhatian dalam proses pembelajaran sangat diperlukan, karena kehadiran minat belajar dalam pribadi seseorang akan merangsang motivasi keadaan psikis siswanya untuk dapat menumbuhkan minat belajar yang tinggi. Hanya siswa dengan minat belajar tinggi yang dapatmengikuti dengan seksama proses pembelajaran. Dengan demikian diharapkan melalui pembinaan minat belajar yang baik maka kompetensi dasar dapat dicapai dengan optimal.
Crow & Crow dalam Slameto (1995:60) menyatakan bahwa kalaupun ada siswa yang memiliki minat secara alamiah, maka minat yang beragama itu diperoleh dari pengalamannya. Dengan demikian, pada prinsipnya minat seseorang dapat ditumbuhkan kembangkan. Untuk menentukan besar kecilnya perhatian dan aktivitas yang dilakukan seseorang nampaknya memang ditentukan oleh minat seseorang. Aiken dalam Slameto (1995:61) menyatakan bahwa pada pada umumnya karena minat sebagai salah satu aspek tingkah laku efektif yang memiliki ciri-ciri antara lain bersosialisasi dengan aktivitas, bersifat tetap dan terus menerus, mempunyai intensitas dan kenderungannya untuk menerima atau menolak untuk melakukan suatu aktivitas maka minat dapat ditumbuhakan kembangkan.
Atas dasar latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu suatu penilitian denga judul "Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Terpadu dan Minat Belajar Siswa Terhadap Penguasaan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Sains Pada Siswa SD di Kecamatan X Kabupaten X".

B. Identifikasi Masalah
Bedasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Minat belajar Sekolah Dasar (SD) untuk pelajaran sains rendah yang disebabkan oleh salah satunya adalah pembelajaran strategis pembelajaran yang ditetapkan oleh guru kurang menarik bagi siswa.
2. Guru merasa kesulitan untuk memilih metode pembelajaran yang tetap yang sesuai dengan karakter siswa dan materi pembelajaran.
3. Sebagaian besar siswa Sekolah Dasar (SD) menyatakan bahwa mata pelajaran sains, merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit.
4. Guru mata pelajaran sains dalam menerapkan metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar mempunyai kendala pada keterbatasan sarana dan prasarana (media pembelajaran).
5. Motivasi belajar siswa Sekolah Dasar (SD) untuk pelajaran Sains relatif rendah yang disebabkan oleh metode pembelajaran yang diterapakan oleh guru untuk mata pelajaran sains cenderung monoton.

C. Pembatasan Masalah
Bertolak dari latar belakang dan identifikasi masalah di atas serta mengingat terbatasnya kemampuan peneliti (baik kemampuan metodologis maupun finansial/logistik) dan terbatasnya waktu, maka berbagai persoalan yang tekah teridentifikasi tidak mungkin ditangani peneliti sekaligus. oleh karena itu dalam bagian ini peneliti membatasi lingkup penelitian yang akan digharap, dengan harapan supaya hasil penelitian lebih terfokus. pada pendekatan pembelajaran terpadu Contextual Teaching and Learning (CTL) dan konvensional serta minat belajar siswa terhadap penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran sains.
Obyek penelitian adalah siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri di lingkungan Dinas Pendidikan Kecamatan X.

D. Rumusan Masalah
Bedasarkan judul dan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan pendekatan pembelajaran terpadu Contextual Teaching and Learning (CTL) dan konvensional terdapat penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran sains pada siswa Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan X, Kabupaten X?
2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara minat belajar tinggi dan minat belajar rendah terhadap penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran sains pada siswa Sekolah Dasar di Kecamatan X, Kabupaten X?
3. Apakah ada interaksi pengaruh yang signifikan antara pendekatan pembelajaran dan minat belajar terhadap penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran sains pada siswa Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan X, Kabupten X?

E. Tujuan Penelitian
Dalam setiap penelitian tentu mempunyai tujuan penilaian, demikian juga dalam penulisan tesis ini. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh yang signifikan pendekatan pembelajaran terpadu Contextual Teaching and Learning (CTL) dan konvensional serta minat belajar siswa terhadap penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran sains pada siswa Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan X, Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh yang signifikan minat belajar tinggi dan minat belajar rendah terhadap penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran sains pada siswa Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan X, Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui interaksi pengaruh yang signifikan antara pendekatan pembelajaran dan minat belajar terhadap penguasaan kompetensi dasar mata pelajaran sains pada siswa Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan X, Kabupaten X.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
a. Dapat menambahkan dan mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan serta lebih mendukung teori-teori yang telah ada sehubungan dengan masalah yang diteliti.
b. Dapat memberikan kontribusi pengetahuan dalam dunia pendidikan khususnya mata pelajaran sains pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan yang sederajat.
c. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh guru sebagai acuan atau dasar untuk meningkatkan prestasi belajar siswa Sekolah Dasar (SD) khususnya untuk mata pelajaran sains.
b. Dapat membantu guru dalam memilih metode pembelajaran yang tetap dan sesuai dengan karakteristik siswa maupun materi pelajaran yang akan diajarkan.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh instansi terkait, khususnya Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan X, Kabupaten X sebagai bahan pertimbangan sekaligus sebagai bahan masukan dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan melalui peningkatan minat belajar siswa maupun pemilihan metode pembelajaran yang tetap.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:37:00

TESIS IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CTL) SEBAGAI REALISASI PELAKSANAAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) DI SDN X

(Kode : PASCSARJ-0013) : TESIS IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CTL) SEBAGAI REALISASI PELAKSANAAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) DI SD NEGERI X (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses transformasi budaya dari generasi ke generasi berikutnya, baik yang berbentuk ilmu pengetahuan, nilai dan moral maupun budaya dalam bentuk pola pikir. Sebagai proses transformasi, sudah barang tentu pendidikan diharapkan mampu menyesuaikan dengan kondisi yang berkembang, baik kemajuan tekonologi, pola pikir, maupun tuntutan hidup baik di masa sekarang maupun masa yang akan datang. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu bentuk upaya mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi problem hidup yang senantiasa berkembangan dari masa ke masa.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada globalisasi pengetahuan dan berpengaruh pula kepada tuntutan hidup manusia, maka pendidikan sebagai sebuah proses transformasi pengetahuan, budaya dan pola pikir dituntut untuk mampu memberikan kontribusinya dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan dan tuntutan hidup masa kini dan masa yang akan datang. Perubahan paradigma dunia pendidikan, adalah merupakan wujud kepedulian pendidikan dalam menghadapi perkembangan teknologi dan tuntutan jaman.
Salah satu perubahan paradigma dunia pendidikan dalam rangka menyesuaikan dengan kemajuan jaman adalah dalam pengelolaan proses pembelajaran sebagai bentuk riil dari pengembangan kurikulum yang berlaku. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mulai diberlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran XXXX merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pernah diberlakukan pada tahun sebelumnya adalah kurikulum yang berorientasi pada pembelajaran berbasis kompetensi dan kontekstual (Masnur Muslich, XXXX:6). Dalam KTSP menuntut perubahan dari pola pembelajaran yang berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan menjadi pola pembelajaran yang lebih memberdayakan peserta didik dengan segala aktivitasnya dalam menemukan dan mengkonstruksikan pengetahuan barunya sebagai hasil belajar.
Suatu kenyataan yang selama ini nampak di lapangan adalah bahwa pola dan proses pembelajaran yang dirancang oleh guru sebagai bentuk pengembangan kurikulum lebih sering diwarnai oleh penggunaan metoda pembelajaran yang dikuasai oleh guru serta media yang terkesan seadanya. Pembelajaran kurang berorientasi pada tujuan yang semestinya dicapai, sehingga target kompetensi dan pengetahuan belum terwujud pada setiap akhir pembelajaran. Jika kondisi demikian tetap berlangsung, maka kurikulum yang sebagus apapun tidak akan berkembang dan bahkan menuju pada kematian, karena pada dasarnya pembelajaran yang dirancang dan dikembangkan oleh guru merupakan ruhnya setiap kurikulum yang ada.
Dari kenyataan inilah kami merasa perlu untuk mengetahuai sejauh mana guru mengaplikasikan pendekatan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) sebagai wujud pengembangan kurikulum yang berlaku, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya di Sekolah Dasar Negeri X, Kecamatan X Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Sejalan dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, permasalahan yang dapat kami rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Faktor apa sajakah yang mendukung pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya di Sekolah Dasar Negeri X Kecamatan X Kabupaten X ?
2. Faktor apa sajakah yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya di Sekolah Dasar Negeri X Kecamatan X Kabupaten X ?
3. Bagamainanakah tingkat pemahaman guru terhadap Pembelajaran Kontekstual (CTL) sebagai pendekatan pembelajaran yang dituntut oleh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ?
4. Bagamainanakah tingkat kemampuan guru dalam merancang sebuah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai bentuk pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)?
5. Bagamainanakah tingkat kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang mendasarkan pada pendekatan Pembelajaran Kontekstual (CTL) ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengacu pada tujuan yang antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya di Sekolah Dasar Negeri X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya di Sekolah Dasar Negeri X Kecamatan X Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui tingkat pemahaman guru terhadap Pembelajaran Kontekstual (CTL) sebagai pendekatan pembelajaran yang dituntut oleh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
4. Untuk mengetahui tingkat kemampuan guru dalam merancang sebuah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai bentuk pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
5. Untuk mengetahui tingkat kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang mendasarkan pada pendekatan Pembelajaran Kontekstual (CTL).

D. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan penelitian yang telah kami kemukakan di atas, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
Secara teoritis : merupakan sumbangan pemikiran yang berkaitan dengan pengalaman empirik tentang kemampuan profesional guru sebagai pengembang kurikulum di tingkat operasional pembelajaran di kelas.
2. Secara praktis antara lain :
1. Memberikan masukan kepada guru terutama tentang apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program pembelajaran sebagai wujud riil pengembangan kurikulum.
2. Memberikan masukan kepada para Pengawas TK/SD sebagai pembina teknis di lapangan, untuk dapat dijadikan sebagai bahan pembinaan dalam rangka peningkatan kualitas dan profesionalisme guru.
3. Memberikan masukan kepada Dinas Pendidikan Kebupaten, untuk dapat dijadikan sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan dalam rangka upaya peningkatan mutu pendidikan khususnya di sekolah dasar.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:34:00

TESIS EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN CTL PADA MATERI POKOK PERBANDINGAN DAN FUNGSI TRIGONOMETRI DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL PADA SISWA KELAS X SMAN X

(Kode : PASCSARJ-0012) : TESIS EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN CTL PADA MATERI POKOK PERBANDINGAN DAN FUNGSI TRIGONOMETRI DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI X (PRODI : PENDIDIKAN MATEMATIKA)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Setiap negara berusaha mempersiapkan diri untuk dapat bersaing dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang dilakukan adalah meningkatkan sumber daya manusia yang paling tepat dilaksanakan lewat jalur pendidikan. Oleh karena itu kemajuan di bidang pendidikan sangat penting karena dapat menentukan kemajuan suatu bangsa.
Di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 telah tertuang mengenai fungsi pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan matematika yang diterapkan di sekolah saat ini merupakan dasar yang sangat penting dalam keikutsertaannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Matematika yang diajarkan di sekolah terdiri dari elemen-elemen dan sub-sub bagian yang terdiri dari: (1) arti/hakekat pendidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuannya dan daya nalar serta pembinaan kepribadian siswa; (2) adanya kebutuhan yang nyata berupa tuntutan perkembangan real dari perkembangan hidup masa kini dan masa mendatang yang senantiasa berorientasi pada perkembangan pengetahuan seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Masalah klasik yang selalu muncul pada proses pembelajaran matematika di sekolah adalah mengenai model yang digunakan yakni masih menggunakan model konvensional atau tradisional. Dalam mengajarkan matematika, guru secara aktif mengajarkan matematika kemudian memberikan contoh dan latihan. Di sisi lain siswa berfungsi seperti mesin. Mereka mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru.
Salah satu materi pokok dalam pelajaran matematika di SMA kelas X semester dua adalah Perbandingan dan Fungsi Trigonometri. Karena materi ini sudah dihapus dari kurikulum di SMP, sehingga materi ini merupakan materi baru bagi siswa SMA, meski ada beberapa SMP dipakai sebagai materi tambahan atau pengayaan. Materi Trigonometri termasuk materi yang sulit. Menurut pengalaman tiap tahun nilai materi trigonometri siswa kelas X maupun kelas XI rata-rata masih di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Pada tahun XXXX dan tahun XXXX nilai ulangan harian kelas X rata-rata 57 dan 66 padahal KKM 75. Pada materi pokok ini, siswa dituntut untuk memiliki kompetensi dasar yaitu: dapat menggunakan sifat dan aturan tentang fungsi trigonometri, rumus sinus, dan rumus kosinus dalam pemecahan masalah, dapat melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan teknis yang berkaitan dengan fungsi trigonometri, dan dapat merancang model matematika yang berkaitan dengan fungsi trigonometri, rumus sinus dan kosinus, menyelesaikan modelnya, dan menafsirkan hasil yang diperoleh. Apabila dilihat dari indikatornya maka materi pokok ini banyak menuntut siswa untuk dapat mengkonstruksikan materi yang telah diperoleh sebelumnya. Manipulasi aljabar juga memerlukan keaktifan siswa untuk berlatih. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa materi pokok Perbandingan dan Fungsi Trigonometri merupakan materi pokok yang banyak menggunakan konsep yang akan terus berkembang dan bukan materi hafalan sehingga apabila siswa belum menguasai konsep materi sebelumnya maka akan kesulitan dalam materi selanjutnya. Selama ini, proses pembelajaran matematika pada materi pokok Trigonometri sering kali masih menggunakan model konvensional atau tradisional dan ternyata masih banyak siswa mengalami kesulitan untuk memahami materi dan akibatnya mereka memiliki prestasi belajar yang rendah.
Model pembelajaran merupakan faktor penting dalam menentukan prestasi belajar matematika siswa. Hal ini disebabkan karena model pembelajaran merupakan suatu cara atau strategi yang teratur dan terencana yang digunakan dalam proses belajar-mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan, yang secara spesifik adalah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Untuk itu, pemilihan model mengajar yang tepat perlu disesuaikan agar tujuan yang ingin dicapai tidak terhambat Dengan model pembelajaran matematika yang tepat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa dan guru maka diharapkan proses belajar-mengajar dapat menghasilkan prestasi belajar matematika siswa yang optimal.
Teori belajar konstruktivisme, yang pertama kali diungkapkan oleh Piaget menegaskan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Menurut teori belajar konstruktivisme, pembelajaran matematika menuntut kemampuan guru yang lebih profesional dalam bidangnya, misalnya mengenai bagaimana cara guru menciptakan kondisi pembelajaran yang dimulai dari isu-isu yang relevan dengan lingkungan anak. Selain itu guru dituntut untuk terampil memilih topik yang dapat membangkitkan motivasi anak selama pembelajaran berlangsung.
Model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. CTL merupakan sebuah strategi baru yang lebih memberdayakan siswa yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pembelajaran berbasis CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian sebenarnya (Authenthic Assessment).
Kemampuan awal yang dimiliki siswa memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan proses belajar-mengajar. Kemampuan awal merupakan bekal siswa dalam menerima materi pelajaran selanjutnya. Kesiapan dan kesanggupan dalam mengikuti pelajaran banyak ditentukan oleh kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa sehingga kemampuan awal merupakan pendukung keberhasilan belajar. Pelajaran matematika yang diberikan di sekolah telah disusun secara sistematis sehingga untuk masuk pada pokok bahasan lain, kemampuan awal siswa pada pokok bahasan sebelumnya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Dalam kegiatan belajar-mengajar, setiap materi yang disampaikan hendaknya bisa diserap oleh siswa yang berkemampuan awal rendah sedang maupun yang berkemampuan awal tinggi. Menurut Benyamin S. Bloom seperti yang dikutip Suhaenah Suparno (2001:52): "Untuk belajar yang bersifat kognitif apabila keadaan awal dan pengetahuan atau kecakapan prasyarat belajar tidak dipenuhi maka betapapun baiknya kualitas pembelajaran tidak akan menolong siswa untuk memperoleh hasil belajar yang tinggi". Kemampuan awal di sini adalah nilai test awal sebelum penelitian, dengan materi sebelumnya sebagai materi prasyarat mengikuti materi Trigonometri.
Model pembelajaran langsung dan CTL merupakan model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme yang dimaksudkan untuk menghasilkan hasil belajar yang secara kualitatif berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh metode-metode tradisional. Dengan menggunakan model pembelajaran CTL dan pembelajaran langsung pada pembelajaran matematika pada beberapa materi pokok Perbandingan dan Fungsi Trigonometri, siswa diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan menemukan dan membentuk konsep. Dengan model tersebut diharapkan pembelajaran lebih bermakna dan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.

B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas timbul beberapa masalah yang diidentifikasi yaitu sebagai berikut:
1. Hampir semua guru-guru SMA Negeri di X masih menggunakan strategi pembelajaran langsung baru sebagian kecil menggunakan strategi pembelajaran CTL, dan hasil belajar siswa sebagian besar masih rendah. Ada kemungkinan rendahnya hasil belajar siswa pada materi pokok Perbandingan dan Fungsi Trigonometri kelas X SMA Negeri di X itu disebabkan oleh model pembelajaran langsung yang belum tepat. Terkait dengan ini, dapat diteliti apakah jika model pembelajaran langsung para guru diubah, hasil belajar materi Perbandingan dan Fungsi Trigonometri siswa SMA Negeri di X menjadi lebih baik. Namun dapat juga rendahnya hasil belajar siswa dikarenakan faktor dari dalam siswa, sehingga dapat juga diteliti apakah jika faktor internal siswa baik dan mendukung pembelajaran hasil belajar siswa meningkat. Dapat juga diteliti, apakah model pembelajaran tergantung faktor internal siswa.
2. Mengingat penguasaan materi prasyarat (kemampuan awal) mempunyai peranan yang sangat penting dalam belajar matematika maka ada kemungkinan rendahnya hasil belajar siswa materi pokok Perbandingan dan Fungsi Trigonometri diakibatkan oleh lemahnya penguasaan materi-materi sebelumnya. Pada dua tahun ini materi Perbandingan dan Fungsi Trigonometri di SMP ditiadakan, sehingga merupakan materi baru bagi siswa SMA, merupakan tantangan bagi kita untuk menggunakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
3. Kesulitan yang dialami siswa pada materi Perbandingan dan Fungsi Trigonometri mungkin disebabkan oleh aktivitas siswa di kelas yang hanya mendengarkan, mencatat dan mengerjakan latihan soal dan mungkin juga pengaruh kemampuan awal siswa. Terkait dengan ini, dapat diteliti apakah model pembelajaran CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi pokok Trigonometri dan Fungsi Trigonometri kelas X SMA Negeri di X.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka terdapat berbagai macam masalah dan luasnya bidang penelitian. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan agar penelitian ini mempunyai arah yang jelas dan pasti yaitu sebagai berikut:
1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran CTL pada kelas eksperimen model pembelajaran langsung pada kelas kontrol.
2. Prestasi belajar pada penelitian ini adalah hasil belajar siswa yang dicapai setelah melalui proses belajar-mengajar pada Materi Pokok Perbandingan dan Fungsi Trigonometri.
3. Kemampuan awal siswa dibatasi pada nilai test pada materi prasyarat sebelum materi Trigonometri.
4. Objek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri di X tahun pelajaran XXXX/XXXX.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah model pembelajaran CTL menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model Pembelajaran Langsung.
2. Apakah prestasi belajar matematika siswa kemampuan awal tinggi lebih baik dari prestasi belajar matematika siswa kemampuan awal lebih rendah.
3. Apakah perbedaan prestasi belajar matematika dengan model pembelajaran CTL dan model Pembelajaran Langsung konsisten pada tiap-tiap kategori kemampuan awal dan apakah perbedaan prestasi belajar matematika antara tiap-tiap kategori kemampuan awal konsisten pada model pembelajaran CTL dan Pembelajaran Langsung.

E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui apakah model pembelajaran CTL menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada model Pembelajaran Langsung.
2. Untuk mengetahui apakah prestasi belajar matematika siswa kemampuan awal tinggi lebih baik dari prestasi belajar matematika siswa kemampuan awal lebih rendah.
3. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan prestasi belajar matematika dari masing-masing model pembelajaran konsisten pada masing-masing kategori kemampuan awal dan perbedaan prestasi belajar dari masing-masing kategori kemampuan awal siswa konsisten pada masing-masing model pembelajaran.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Sebagai bahan informasi bagi para guru dan calon guru matematika dalam menentukan model pembelajaran yang tepat sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif selain model pembelajaran langsung agar dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Diharapkan dapat memperluas wawasan tentang cara belajar matematika terutama dalam mengembangkan cara belajar dengan kontekstual
b. Bagi Guru
Melalui penelitian ini diharapkan guru dapat mengenal lebih dekat tentang model pembelajaran CTL dan implementasinya terhadap hasil belajar siswa.
c. Bagi Sekolah
Melalui penelitian ini diharapkan sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah dan pemegang otoritas di sekolah dapat memperoleh informasi sebagai masukan dalam menentukan kebijaksanaan terkait dengan proses pembelajaran matematika di kelas.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:31:00

PENGARUH MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL KEBIDANAN PADA BADAN RSUD X

(Kode KEBIDANN-0026) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV PENGARUH MUTU PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL KEBIDANAN PADA BADAN RSUD X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mutu Pelayanan kesehatan adalah Penampilan yang pantas dan sesuai (yang sesuai dengan standar-standar) dari suatu intervensi yang diketahui aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang bersangkutan dan yang telah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dampak pada kematian, kesakitan, ketidakmampuan dan kekurangan gizi. (Roemer dan Aguilar, 1988)
Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang memuaskan harapan dan kebutuhan masyarakat melalui pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan dan kebutuhan pemberi pelayanan, pada institusi pelayanan yang diselenggarakan secara efisien. Interaksi ketiga pilar utama pelayanan kesehatan yang serasi, selaras dan seimbang, merupakan panduan dari kepuasan tiga pihak, dan ini merupakan pelayanan kesehatan yang memuaskan (satisfactory healty care). (Sugito, 2001)
Indikator utama untuk mengetahui standar rumah sakit adalah kepuasan pasien terhadap pelayanan dari rumah sakit. Pelayanan yang baik dari suatu rumah sakit akan membuktikan rumah sakit tersebut bermutu baik. Ini dapat dilihat dari penanganan pasien yang cepat, tepat, dan ramah tamah dari petugas kesehatan. ( Eravianti, 2009)
Pada evaluasi mutu pelayanan rawat inap di Bangsal Anggrek RSUD Karanganyar yang dilakukan oleh Purwoko tahun 2009terdapat 52,94% pasien tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Salah satu cara untuk menarik pasien dan memenangkan persaingan adalah dengan cara memberikan jasa pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan yang dapat memberikan kepuasan. Kepuasan memberikan pengaruh terhadap pasien untuk mengulang untuk menggunakan jasa Rumah Sakit kembali. ( Kotler, 2005)
Peran Petugas Kesehatan adalah salah satu penyedia pelayanan kesehatan khususnya di bidang keperawatan, dituntut mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat memberi kepuasan pasien serta keluarganya dalam batas standar pelayanan profesional. ( Purwoko, 2009)
Pada penelitian yang sama dilakukan oleh Kastanto pada tahun 2005 tentang pengaruh pelayanan medis dan pelayanan non medis terhadap kepuasan pasien di Bangsal Dahlia pada Badan Rumah Sakit Umum Daerah X didapatkan hasil 46,5% pasien tidak puas. Salah satu yang mempengaruhi ketidak puasan pasien adalah segi pelayanan medis.
Rumah Sakit Umum Daerah X merupakan Rumah Sakit pemerintah tipe C. Karena letak yang strategis Rumah Sakit ini mudah dijangkau oleh masyarakat. Selain itu Rumah Sakit X juga sebagai Rumah Sakit rujukan terdekat.
Dari tahun ke tahun Rumah Sakit X sudah mengalami peningkatan pelayanan kesehatan dengan menambah fasilitas serta jumlah tenaga kesehatan. Tetapi semua ini tidak cukup jika masih banyak aspek penting yang belum ditingkatkan, seperti keramahan petugas, perawat dan dokter yang kurang komunikatif terhadap pasien dan lambannya penanganan kegawat daruratan.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan mengenai pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan di Rumah Sakit Umum Daerah X.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien di Bangsal Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah X?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh mutu pelayanan terhadap kepuasan pasien yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui mutu pelayanan kesehatan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan kepuasan pasien.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan.
d. Untuk mengetahui kualitas pelayanan yang bermutu yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

D. Manfaat
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Teoritik
Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang mutu pelayanan serta kepuasan pasien di Rumah Sakit.
2. Aplikatif
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan dalam menentukan mutu pelayanan bagi Rumah Sakit Umum Daerah X di masa mendatang.
b.Bagi Pasien
Untuk memberikan masukan pada pasien bagaimana memilih Rumah Sakit yang bermutu/berkualitas.
c.Bagi Pihak Lain
Sebagai penambah pengetahuan dan bahan bacaan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sebagai bahan rujukan dalam penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:39:00

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KONTRASEPSI SUNTIK DENGAN KEPATUHAN JADWAL PENYUNTIKAN ULANG DI RUMAH BERSALIN X

(Kode KEBIDANN-0025) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KONTRASEPSI SUNTIK DENGAN KEPATUHAN JADWAL PENYUNTIKAN ULANG DI RUMAH BERSALIN X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan "Keluarga Berkualitas Tahun 2015". Keluarga yang berkualitas adalah yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Saifuddin, 2003).
Program pelayanan keluarga berencana (KB) mempunyai arti penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang sejahtera, disamping program pendidikan dan kesehatan. Kesadaran mengenai pentingnya kontrasepsi di Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya peningkatan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2015 (BKKBN, 2008).
Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, di samping isu tentang global warming, keterpurukan ekonomi, masalah pangan serta menurunnya tingkat kesehatan penduduk. Jumlah penduduk yang besar tanpa disertai dengan kualitas yang memadai, justru menjadi beban pembangunan dan menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional (BKKBN, 2008).
Fakta yang perlu diperhatikan adalah pola kecenderungan pemakaian kontrasepsi di Indonesia. Pemakaian metode kontrasepsi suntik memperlihatkan kecenderungan peningkatan pada beberapa kurun waktu terakhir ini. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007, pola pemakaian kontrasepsi terbesar yaitu suntik sebesar 31,6 %, pil sebesar 13,2 %, IUD sebesar 4,8 %, implant 2,8 %, kondom sebesar 1,3 %, kontap wanita (Medis Operasi Wanita-MOW) sebesar 3,1 % dan kontap pria (Medis Operasi Pria-MOP) sebesar 0,2 %, pantang berkala 1,5 %, senggama terputus 2,2 % dan metode lainnya 0,4 %. Terjadi kenaikan pemakaian metode kontrasepsi suntik dari tahun 1991 sampai 2007. Pada tahun 1991 terdapat 11,7 %, 1994 menjadi 15,2 %, 1997 menjadi 21,1 %, 2003 menjadi 27,8 % dan 2007 mencapai 31,6 % (BKKBN, 2008).
Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2005 di X terdapat 37.838 peserta aktif KB yang terdiri dari akseptor KB IUD (10.225), akseptor KB MOP (93), akseptor KB MOW (169), akseptor KB implan (574), akseptor KB suntik (18.016), akseptor KB pil (4.628), dan akseptor KB kondom (2.633).
Saifuddin (2003) menyatakan bahwa pada umumnya akseptor lebih memilih metode kontrasepsi suntik karena alasan praktis yaitu sederhana dan tidak perlu takut lupa. Kontrasepsi suntik memiliki efektifitas yang tinggi bila penyuntikannya dilakukan secara teratur dan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Ketepatan waktu untuk suntik kembali merupakan kepatuhan akseptor karena bila tidak tepat dapat mengurangi efektifitas kontrasepsi tersebut. Kegagalan dari metode kontrasepsi suntik disebabkan karena keterlambatan akseptor untuk melakukan penyuntikan ulang. Dalam penelitian ini penulis hanya akan meneliti tentang kontrasepsi suntik Depo Medroksi Progesteron Acetate (DMPA).
Jumlah akseptor kontrasepsi suntik di Rumah Bersalin (RB) X pada bulan Januari sampai Mei 2009 sebanyak 1.223 akseptor, sedangkan akseptor yang melakukan kunjungan ulang untuk kontrasepsi DMPA 594 akseptor. Rata-rata jumlah akseptor yang melakukan kunjungan ulang untuk kontrasepsi suntik DMPA setiap bulan adalah 112 akseptor. Dari 594 akseptor kontrasepsi suntik DMPA terdapat 62 akseptor (10,44%) yang melakukan kunjungan ulang tidak sesuai pada jadwal yang telah ditentukan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut peneliti ingin mengetahui Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Kontrasepsi Suntik DMPA dengan Kepatuhan Jadwal Penyuntikan Ulang di Rumah Bersalin (RB) X.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang di RB X tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang di RB X.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan akseptor tentang kontrasepsi suntik DMPA.
b. Untuk mengetahui kepatuhan jadwal penyuntikan ulang pada akseptor kontrasepsi suntik DMPA.
c. Untuk menganalisa hubungan tingkat pengetahuan akseptor tentang kontrasepsi suntik DMPA dengan kepatuhan jadwal penyuntikan ulang.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Menambah wawasan pengetahuan yang berhubungan dengan kontrasepsi suntik Depo Medroksi Progesteron Asetat (DMPA).
2. Manfaat aplikatif
a. Bagi profesi kesehatan
Sebagai masukan bagi profesi kesehatan umtuk memberikan konseling pada akseptor yang menggunakan kontrasepsi suntik DMPA agar melakukan penyuntikan ulang sesuai jadwal yang telah ditentukan.
b. Bagi Pemerintah
Sebagai masukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan akseptor kontrasepsi suntik DMPA terhadap jadwal penyuntikan ulang.
c. Bagi masyarakat
Meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya akseptor kontasepsi suntik DMPA untuk melakukan penyuntikan ulang sesuai jadwal.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:37:00

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT GIZI DENGAN KEJADIAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)

(Kode KEBIDANN-0023) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ZAT GIZI DENGAN KEJADIAN PREMENSTRUAL SYNDROME (PMS)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Beberapa saat sebelum mulai menstruasi, sejumlah wanita biasanya mengalami rasa tidak enak. Mereka biasanya merasakan satu atau beberapa gejala yang disebut sebagai kumpulan gejala sebelum menstruasi atau istilah populernya Premenstrual Syndrome (PMS) (Burns, 2000). PMS merupakan masalah kesehatan umum yang paling banyak dilaporkan oleh wanita usia reproduktif (Freeman, 2007).
Perkiraan untuk prevalensi PMS adalah sekitar 5% (Glasier, 2006). Tingginya masalah PMS pada wanita akan berdampak pada produktivitas kerja. Gejala-gejala tersebut ada yang bersifat cukup berat sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari (Mason, 2008). Gejala fisik dan psikologis yang sering dilaporkan adalah rasa kembung, pembengkakan dan nyeri payudara, ketegangan, depresi, mood yang berubah-ubah dan perasaan lepas kendali (Glasier, 2006).
Penyebab PMS belum dapat diketahui secara pasti. Namun ada beberapa teori yang menyebutkan bahwa PMS disebabkan antara lain karena faktor hormonal yakni ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron. Penyebab lain yang kemungkinan terjadi yaitu berhubungan dengan faktor kejiwaan, masalah sosial, atau fungsi serotonin yang dialami penderita serta kekurangan zat-zat gizi (Karyadi, 2008).
Dalam suatu penelitian pada tahun 2005 yang berjudul Calcium and Vitamin D Intake and Risk of Incident Premenstrual Syndrome yang melibatkan 1057 wanita, setelah dikelompokkan sesuai usia, paritas, status merokok, dan faktor resiko lain, menunjukkan tingkat konsumsi tinggi kalsium (p=0,02, OR=0,703) dan vitamin D yang relatif tinggi dapat mengurangi terjadinya PMS (p=0,01, OR= 0,597) (Hankinson, 2005).
Menurut Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN (2005), wanita usia subur (wanita usia reproduktif) adalah wanita yang berumur 18-49 tahun yang berstatus belum kawin, kawin ataupun janda. Terdapat fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gelaja yang sama dan kekuatan PMS yang sama sebagaimana yang dialami oleh wanita yang lebih tua (Freeman, 2007).
Perempuan dengan pendidikan formal yang lebih tinggi, misalnya mahasiswi, cenderung akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, sehingga akan lebih mampu serta mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan dan gangguan-gangguan kesehatan yang mungkin terjadi (Anne, 1999).
Seorang mahasiswi kadang kala mengalami stres dalam menjalankan kegiatan perkuliahan, yang dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya (Mulyono, 2001). Faktor stres dapat memperberat gangguan PMS (Wikipedia, 2009). Di samping itu, kondisi sosial ekonomi yang berbeda antara masing-masing individu dapat mencerminkan keteraturan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari yang pada akhirnya akan menunjukkan asupan zat gizi secara spesifik.
Karena latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara asupan zat gizi dengan PMS.

B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan yang bermakna antara asupan zat gizi meliputi asupan karbohidrat, vitamin B6, vitamin E, lemak, magnesium, dan kalsium dengan PMS?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara asupan zat gizi dengan PMS.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi asupan zat gizi wanita usia subur pada mahasiswi X.
b. Mengidentifikasi kejadian PMS wanita usia subur pada mahasiswi X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
a. Bagi peneliti sendiri, dapat memperdalam pengetahuan tentang asupan zat gizi dan PMS.
b. Bagi institusi pendidikan, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang PMS terutama dalam hubungannya dengan status gizi.
c. Bagi profesi kebidanan, sebagai bahan kajian/informasi dalam mengkaji, menganalisa, mendiagnosa dan memberikan perawatan pada wanita yang mengalami PMS.
2. Manfaat Aplikatif
Dapat memberikan masukan bagi wanita usia reproduktif untuk mengatur kebutuhan gizi sehingga dapat meminimalkan gejala-gejala PMS.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:29:00

HUBUNGAN BANYAKNYA MEDIA MASSA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA DI SMU X

(Kode KEBIDANN-0022) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN BANYAKNYA MEDIA MASSA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA DI SMU X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa peralihan dan perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Tahun 2007 tercatat jumlah remaja sebanyak 64 juta jiwa atau 28,6% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 222 juta. Semakin banyak jumlah remaja, maka semakin banyak pula permasalahan yang dihadapi (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2008).
Salah satu ciri khas remaja adalah rasa keingintahuan yang besar terutama terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya baik fisik maupun psikologis dan seksualitas. Sebagai bentuk rasa keingintahuannya, maka remaja mencari informasi sebanyak-banyaknya (Wibowo, 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh FPA ( Forum Perlindungan Anak) tahun 1981 pada 3917 remaja di hongkong mengungkapkan bahwa remaja mencari informasi dari surat kabar atau ceramah-ceramah tentang seks sebanyak 89%. Sisanya mereka bertanya pada orang tua (Wirawan, 2002). Penelitian lain yang dilakukan oleh Qomariyah pada tahun 2002 di 4 kota yaitu Jakarta, Bandung, Medan dan Bali mengaungkapkan bahwa informasi tentang kesehatan reproduksi pada remaja diperoleh dari teman (41%), media cetak dan elektronik (25,1%), guru (20,9%) dan orang tua (9,7%) (Qomariyah dalam Tirtawati, 2005).
Kurangnya informasi yang diperoleh remaja tentang kesehatan reproduksi berdampak pada pengetahuan kesehatan reproduksi mereka. Data dari SKRRI (Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia) tahun 2002-2003 menyatakan bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi remaja masih rendah. Pengetahuan remaja perempuan dan laki-laki tentang masa subur baru mencapai 29% dan 32,2%, pengetahuan tentang risiko kehamilan bila melakukan hubungan seksual sebanyak 49,5% dan 45,5% (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2008). Penelitian lain yang dilakukan secara berkelompok oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Lembaga Dakwah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan East West Center University of Hawai USA pada tahun 1999 menunjukkan bahwa 45% remaja di Indonesia tidak mengetahui proses kehamilan, 56% tidak mengetahui mengenai HIV AIDS dan 76% tidak mengetahui tentang penyakit menular seksual (Wibowo, 2004).
Data Sekunder lain yang didapat dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur menyebutkan bahwa propinsi Jawa Timur menempati urutan ke dua untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia yang diperkirakan terdapat 17 sampai 44 ribu kasus HIV. Hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi dari tenaga kesehatan. Penelitian sejenis dari Gusti Ayu Tirtawati didapatkan bahwa terdapat hubungan antara sumber-sumber informasi dengan tingkat kesehatan reproduksi pada remaja. Berdasarkan peelitian sebelumnya, peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja SMU X karena di SMU X belum memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum sekolahnya sehingga siswa lebih cenderung mengakses informasi dari media massa. Hal ini didukung juga oleh lokasi SMU X yang strategis sehingga semakin mempermudah akses untuk mendapatkan informasi dari media massa.

B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan antara banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui media massa yang paling banyak digunakan oleh remaja dan pokok bahasan kesehatan reproduksi yang didapat dari media massa di SMU X.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi remaja di SMU X.
c. Untuk menganalisa hubungan banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja di SMU X.

D. Manfaat
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja.
2. Aplikatif
a. Institusi Sekolah
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja.
b. Profesi
Sebagai sumbangan teoritis maupun aplikatif bagi profesi bidan dalam memberikan pelayanan dan pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja.
c. Remaja dan Masyarakat
Agar remaja dan masyararakat memperoleh informasi kesehatan reproduksi secara benar.
d. Peneliti
Menambah wawasan bagi peneliti tentang hubungan antara banyaknya media massa dengan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:27:00

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG STIMULASI VERBAL DENGAN PERILAKU MEMBACAKAN CERITA PADA ANAK DI DUSUN X

(Kode KEBIDANN-0021) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) D-IV HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG STIMULASI VERBAL DENGAN PERILAKU MEMBACAKAN CERITA PADA ANAK DI DUSUN X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Pada masa balita, perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional, dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, sehingga diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi anak berkembang secara optimal. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi (Soetjiningsih, 2003).
Pada periode ini, stimulasi verbal sangat penting untuk perkembangan bahasa anak (Soetjiningsih, 2003). Salah satu bentuk stimulasi verbal yang sangat efektif dalam membangun kosakata dan keterampilan membaca anak adalah dengan membacakan cerita kepada anak-anak secara rutin, sejak usia dini bahkan sampai anak-anak bisa membaca sendiri (Trelease, 2006).
Membacakan cerita pada anak banyak memberikan keuntungan. Dampak terpenting adalah bagaimana anak-anak belajar berbahasa dan bagaimana mereka belajar membaca. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas Kansas tahun 2001 dijelaskan bahwa rata-rata setiap anak harus mendengar 32 juta kata yang berbeda ketika mereka berusia empat tahun. Dalam percakapan biasa, orang dewasa rata-rata menggunakan 1.000 kata umum dan hanya mengucapkan 9 kata yang jarang digunakan setiap harinya. Sedangkan di dalam teks cetak terdapat tiga kali lebih banyak kata-kata yang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, sehingga anak akan mendengar lebih banyak kata yang jarang digunakan dengan dibacakannya cerita. Mengingat kosakata ditentukan dari banyaknya kata-kata yang jarang digunakan yang dapat dipahami oleh anak (Trelease, 2006).
Anak yang memiliki kecakapan bahasa yang tinggi akan menjadi anak dengan kemampuan membaca yang baik (Surjadi, 2003). Aktivitas membaca merupakan sarana yang dibutuhkan oleh hampir semua bidang kehidupan. Agar anak memiliki kemampuan bahasa dan membaca yang baik, dibutuhkan peran orang tua dalam pemberian stimulasi. Berdasarkan penelitian Marpaung, terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan perilaku tentang stimulasi. Tingkat pengetahuan dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka seseorang akan dapat lebih mudah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan menyerap kemajuan teknologi (Marpaung, 1999). Data dari Statistik Kesejahteraan Rakyat (SKR) tahun 2000, proporsi penduduk wanita yang berpendidikan rendah adalah sebesar 52,7%, pendidikan sedang sebesar 12,8%, dan berpendidikan tinggi sebesar 2,6% (Badan Pusat Statistik, 2000). Perilaku membacakan cerita pada anak juga sangat dipengaruhi oleh kebiasaan membaca dari orang tua. Penduduk Indonesia belum memiliki minat baca yang tinggi. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan atau mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%) (Badan Pusat Statistik, 2006).
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Stimulasi Verbal dengan Perilaku Membacakan Cerita pada Anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X Tahun 2009"

B. Rumusan Masalah
"Apakah terdapat hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal dengan perilaku membacakan cerita pada anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X tahun 2009?"

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal dengan perilaku membacakan cerita pada anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupatan X.
2. Tujuan Khusus.
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
b. Untuk mengetahui perilaku ibu membacakan cerita pada anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
c. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal dengan perilaku membacakan cerita pada anak di Dusun X Desa X Kecamatan X Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan masukan untuk menambah wawasan tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi verbal dengan perilaku membacakan cerita pada anak.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi profesi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi profesi bidan untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang efektivitas membacakan cerita sebagai stimulasi verbal yang dapat berpengaruh bagi perkembangan bahasa, membaca dan kognitif anak.
b. Bagi orangtua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat merangsang perilaku orang tua dalam memberikan stimulasi verbal, khususnya dengan rutinitas membacakan cerita pada anak.
c. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:22:00

TESIS PROSES PENENTUAN PENERIMA BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) : ANTARA KRITERIA FORMAL BPS DAN KETENTUAN MASYARAKAT

(Kode : PASCSARJ-0011) : TESIS PROSES PENENTUAN PENERIMA BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) : ANTARA KRITERIA FORMAL BPS DAN KETENTUAN MASYARAKAT (PRODI : STUDI PEMBANGUNAN)

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Pada tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Tingkat kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah tergolong tinggi dibandingkan dengan kenaikan-kenaikan harga BBM sebelumnya yaitu untuk bensin sebesar 87,5%, solar 104,8%, dan minyak tanah sebesar 185,7%.
Kenaikan harga tersebut berpengaruh langsung pada penurunan daya beli sebagian besar masyarakat, terutama rumah tangga yang berpendapatan rendah atau miskin. Untuk mengurangi beban tersebut, pemerintah mengeluarkan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada Rumah Tangga Miskin. Program ini ditetapkan dengan dikeluarakannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin (RTM).
Tujuan pemerintah melalui program BLT ini, adalah:
1) membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya;
2) mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi; dan
3) meningkatkan tanggungjawab sosial bersama.
Untuk mendukung kelancaran program tersebut, diperlukan ketersediaan data kemiskinan yang bersifat mikro1 yang menunjukkan informasi tentang siapa dan dimana rumah tangga miskin tersebut berada, agar program dapat dilaksanakan dengan tepat sasaran. Untuk itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaksanakan pendataan rumah tangga miskin tahun 2005, yang disebut dengan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05). Variabel yang digunakan BPS dalam menentukan ukuran kemiskinan sebanyak 14 variabel, seperti : kondisi perumahan, kemampuan daya beli, pendidikan, pekerjaan serta aset rumah tangga/keluarga.
Pada tahap awal pendataan, pemerintah mempertimbangkan agar tercipta efisiensi dalam waktu pendataan serta data yang diperoleh memiliki tingkat akurasi yang dapat diandalkan. Sehingga, dalam melakukan identifikasi awal pada penentuan rumah tangga miskin, dilibatkan ketua SLS2 (Satuan Lingkungan Setempat) atau ketua RT (Rukun Tetangga) sebagai key informan. Keterlibatan unsur masyarakat ini, karena adanya anggapan bahwa mereka ini adalah aktor di lapangan yang paling mengetahui kondisi sosial ekonomi warga yang berada di lingkungannya. Unsur masyarakat yang paling dekat dengan warga serta sebagai aparat yang menjembatani antara warga dengan aparat pemerintah. Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah ini berupa pendekatan partisipatif (bottom-up), sebagai bentuk adanya keterlibatan aktif serta pembagian peran dan tanggung jawab di antara pelaku (Yeung and Me Gee, 1986).
Namun, yang terjadi justru diluar harapan pemerintah yaitu munculnya ketidakpuasan masyarakat setelah pencairan dana BLT pada tahap pertama. Bentuk ketidakpuasan masyarakat diungkapkan dalam berbagai bentuk mulai dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan ancaman kepada aparat, hingga pengrusakan sarana yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Seperti konflik yang terjadi di Kabupaten X, masyarakat melakukan aksi protes dengan mendatangi rumah ketua RT, petugas pendata, dan kantor desa. Di kabupaten ini juga terjadi kasus pengrusakan rumah kepala desa dan kepala dusun. Di Kabupaten Bima terjadi penyegelan kantor desa selama dua hari. Di Kabupaten Tapanuli Tengah, aksi protes di salah satu desa menyebabkan terjadi penundaan pembagian kartu kompensasi BBM sampai tiga kali. Ini sebagai contoh bentuk-bentuk konflik yang terjadi di lapangan. Tindakan antisipasi pemerintah dalam meredakan gejolak sosial tersebut, dengan mengeluarkan kebijakan yaitu membuka dan menerima pendaftaran susulan (tahap kedua) bagi masyarakat yang belum terdaftar dengan membentuk posko-posko pengaduan.

1.2. Perumusan Masalah
Program BLT yang digulirkan pemerintah seharusnya dapat membantu meningkatkan kualitas hidup orang miskin, namun yang terjadi adalah konflik. Konflik dapat terjadi karena pendataan yang tidak akurat dan adanya penyimpangan dalam distribusi dana. Dalam hal pendataan, meskipun ketua SLS/RT dilibatkan sebagai key informan mengenai rumah tangga miskin, hasil pendataan tidak akurat, seperti misalnya rumah tangga miskin tidak semua tercakup dan rumah tangga yang tidak layak, masuk sebagai penerima BLT. Sedangkan penyimpangan distribusi terkait dengan kejujuran dan ketersediaan dana.
Dari permasalah tersebut, muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pemilihan rumah tangga miskin oleh ketua RT pada saat pendataan pertama :
a. kriteria apa yang digunakan dalam pemilihan rumah tangga miskin?
b. proses penentuan kriteria dan menentukan rumah tangga miskin?
2. Jenis dan penyebab konflik yang disebabkan oleh pendataan, serta upaya-upaya apa yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut?
3. Manfaat apa yang dapat dirasakan oleh rumah tangga sasaran dengan adanya program BLT?

1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kekeliruan dalam proses pendataan yang terjadi pada program BLT untuk mendapatkan pendataan yang lebih akurat. Namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penentuan kriteria rumah tangga/keluarga yang diduga miskin oleh ketua RT serta proses penentuan rumah tangga/keluarga miskin.
2. Untuk mengidentifikasi konflik-konflik yang terjadi pada pencairan dana BLT tahap pertama, serta tindakan maupun upaya-upaya yang dilakuan oleh pelaku dalam menyelesaikan konflik.
3. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh oleh rumah tangga miskin (sasaran) dari pendistribusian dana BLT.
Sasaran penelitian sebagai berikut:
1. Memberikan masukan pada program yang serupa dalam hal penyusunan kriteria maupun proses pendataan.
2. Mengungkapkan manfaat program BLT terhadap masyarakat sebagai kompensasi pengurangan subsidi BBM.

1.4. Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian dapat tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat teoritis dan praktis :
A. Manfaat Teoritis
Bagi pengembangan Pengetahuan Studi Pembangunan, sebagai bahan kajian dalam upaya-upaya penanggulangan masyarakat miskin.
B. Manfaat Praktis
Bagi pengambil kebijakan (decision maker) :
• sebagai bahan informasi agar selalu mempertimbangkan segala aspek yang terkait dalam mengambil suatu keputusan/kebijakan, apalagi kebijakan yang dikeluarkan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat luas, seperti kebijakan dengan menaikkan harga BBM yang secara otomatis mempengaruhi kenaikan barang/jasa lainnya.
• dalam menentukan batasan miskin agar relevan dengan kondisi masyarakat miskin. Perlu kajian lebih lanjut, dengan pengembangan program baru yang lebih mewakili dan nyata dalam penanggulangan kemiskinan.

1.5. Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian
Ruang lingkup Penelitian :
Konflik yang terjadi dapat ditimbulkan dari poses pendataan dan proses distribusi. Dalam hal ini, fokus penelitian pada proses pendataan sampai penentuan rumah tangga/keluarga miskin sebagai penerima BLT pada tahun 2005.
Lokasi Penelitian :
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten X, di 3 Kecamatan yaitu Kecamatan X, Kecamatan X dan Kecamatan X. Sebagai sampling unit terkecil adalah Rukun Tetangga (RT) yang menjadi area penelitian yang dilakukan. Tiga kecamatan ini dipilih berdasarkan tingkat konflik yang relatif lebih menonjol dibandingkan dengan kecamatan yang lainnya.

1.6. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
Menurut sifat data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, digunakan pendekatan kualitatif terutama dalam pengumpulan data primer dikarenakan peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai proses pelaksanaan BLT. Menurut Moleong (XXXX) penelitian kualitatif bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, sehingga dapat digunakan untuk menggali persepsi, motivasi, penilaian, dan tindakan manusia secara holistik. Sugiyono, (XXXX) menyatakan pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.
1.6.1. Data Primer
Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam {indepth interview) yang dilakukan terhadap beberapa informan kunci, 7 (tujuh) orang ketua RT, 6 (enam) orang KSK/PKSK3, 10 orang petugas pendata (PCL4), dan 1 (satu) orang tim pengolah BPS Pusat. Juga dilakukan wawancara terhadap 7 (tujuh) orang masyarakat/tokoh masyarakat, dan 30 orang penerima BLT. Wawancara dilakukan tanggal 1 - 4 Mei XXXX dan 22-30 Agustus XXXX,
1.6.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari instansi BPS (Pusat, Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten X), terkait dengan hasil pendataan PSE05 untuk menunjang analisis data primer. Data sekunder dikumpulkan minggu ke-2 dan 3 bulan Agustus XXXX.
1.6.3. Metoda Analisis Data
Metoda analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif-kualitatif dilakukan dengan menginterpretasikan dan membandingkan berbagai fenomena yang terjadi, dengan persyaratan program kompensasi BBM dan teori-teori yang ada. Dengan demikian dapat diketahui ada tidaknya perbedaan antara kondisi faktual dengan teori-teori yang ada dan yang disyaratkan program. Selanjutnya akan dirumuskan kebijakan-kebijakan bagi peningkatan pelaksanaan program dan manfaat yang dapat diperoleh.

1.7. Sistematika Penulisan
Laporan penelitian disusun dalam lima bab, yaitu :
Bab I merupakan Pendahuluan, yang didalamnya berisi tentang latar belakang munculnya fenomena-fenomena yang terjadi dalam penentuan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), tujuan penelitian, batasan-batasan penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka, yang berisi tentang konsep-konsep teori yang mempunyai hubungan yang terkait dengan pendataan yang akurat, pendekatan kriteria kemiskinan, konsep kemiskinan, strategi penanggulangan kemiskinan, serta preseden penanggulangan kemiskinan. Teori-teori ini yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian.
Bab III berisi tentang Gambaran Umum, yang memaparkan deskripsi objek penelitian yang memberikan gambaran umum tentang lokasi penelitian dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sampai penentuan rumah tangga/keluarga miskin sebagai penerima BLT serta pendistribusian kartu kompensasi BBM (KKB).
Bab IV tentang Analisis Penentuan Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)-studi kasus di Kabupaten X, yang berisi analisis tentang proses alir informasi yang terjadi pada saat pendataan di lapangan serta penentuan penerima BLT. Selain itu dianalisis juga mengenai munculnya konflik, penyebab dan upaya penyelesaiannya serta manfaat yang diperoleh rumah tangga miskin melalui program BLT. Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif.
Bab V memuat Kesimpulan dan Rekomendasi, yang berisi tentang kesimpulan dari kasus yang diteliti, rekomendasi yang ditujukan kepada pemegang kebijakan, keterbatasan studi yang dilakukan serta saran studi lanjutan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:58:00

TESIS KAJIAN KEMISKINAN PADA KOMUNITAS NELAYAN DI X DENGAN PENDEKATAN PARTICIPATORY POVERTY ASSESSMENT

(Kode : PASCSARJ-0010) : TESIS KAJIAN KEMISKINAN PADA KOMUNITAS NELAYAN DI X DENGAN PENDEKATAN PARTICIPATORY POVERTY ASSESSMENT (PRODI : STUDI PEMBANGUNAN)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Citra nelayan masih sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Haeruman (1987) dalam Fachruddin (2005) menyebutkan bahwa kelompok nelayan merupakan golongan yang paling miskin di Indonesia. Hal senada dinyatakan oleh Winahyu dan Santiasih (1993) dalam Kusnadi (2000) yang menyebutkan bahwa dibandingkan dengan sektor pertanian sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan nelayan. Program yang bersifat umum antara lain Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sedangkan program yang secara khusus ditujukan untuk kelompok sasaran masyarakat nelayan antara lain program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK).
Namun, secara umum program-program tersebut tidak membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripada sebelumnya (Fauzi, 2005). Salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah formulasi kebijakan yang bersifat top down. Formula yang diberikan cenderung seragam padahal masalah yang dihadapi nelayan sangat beragam dan seringkali sangat spesifik lokal (Waluyanto, 2007). Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan nelayan seringkali sangat bersifat teknis perikanan, yakni bagaimana upaya meningkatkan produksi hasil tangkapan, sementara kemiskinan harus dipandang secara holistik karena permasalahan yang dihadapi sesungguhnya jauh lebih kompleks dari itu.
Seiring dengan hal tersebut, sejak tahun 1990-an munculnya gagasan mengenai kesejahteraan (well-being) sebagai penjelmaan dari kondisi tidak adanya kemiskinan. Munculnya konsep ini diikuti dengan penekanan pada bagaimana masyarakat miskin sendiri memandang kondisi mereka, yang ditunjang dengan makin populernya analisis kemiskinan yang bersifat partisipatif yakni Participatory Poverty Assessment (PPA) atau Analisis Kemiskinan Partisipastif (AKP).
Tidak ada suatu definisi yang spesifik tentang AKP. Berbagai defmisi lebih banyak mengacu pada adanya proses interaktif dan dilibatkannya masyarakat miskin, tetapi bukan pada suatu cara tertentu dalam pengambilan data. Pendekatan ini dikembangkan atas dasar argumen bahwa "orang miskinlah yang lebih tahu tentang kemiskinan mereka" (Suharyo, 2006).

1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan hasil pengkajian BPS dan SMERU (2004), kemiskinan nelayan tersebar di seluruh pesisir Indonesia dengan persentase penduduk miskin mencapai 30,98%. Kemiskinan nelayan tersebut terjadi pula di Provinsi Jawa Barat, X, dan Lampung dengan persentase penduduk miskin masing-masing 27,20%, 18,83%, dan 25,24%. Dibandingkan dengan wilayah pesisir lainnya, khususnya Indonesia timur, ketiga provinsi tersebut sesungguhnya memiliki infrastruktur perikanan dan infrastruktur wilayah yang lebih lengkap.
Peneliti mencoba melakukan Analisis Kemiskinan Partisipastif (AKP) di ketiga provinsi tersebut, sebagai satu metode penting untuk menganalisis kemiskinan nelayan di Indonesia, di samping metode-metode lain yang telah digunakan selama ini. Lokasi yang diambil adalah komunitas nelayan di X (Jawa Barat), X (Lampung), dan X (X). X dan X mewakili WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) III Laut Jawa yang berdasarkan hasil penelitian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) tahun 2006 teridentifikasi mengalami kondisi ketersediaan sumber daya ikan yang rata-rata telah lebih tangkap (over fishing). Sedangkan X (Provinsi X) mewakili WPP IX Samudera Hindia di mana tingkat pemanfaatan sumber daya ikannya relatif lebih rendah dibanding WPP III Laut Jawa. Sementara itu, dari segi karakteristik wilayah, X mewakili karakter kota (urban), X mewakili karakter perdesaan (rural), dan X mewakili karakter semi-urban.
Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: "bagaimanakah gambaran kemiskinan nelayan di lokasi penelitian berdasarkan kajian secara partisipatif?"
Adapun sub pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah persepsi nelayan miskin dalam memandang kemiskinan?
2. Bagaimanakah karaktristik kehidupan nelayan miskin?
3. Bagaimanakah usulan program penanggulangan kemiskinan yang perlu dilakukan pemerintah yang sensitif terhadap pertisipasi nelayan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujuan untuk memahami kemiskinan nelayan secara partisipatif sebagai sebagai bahan untuk merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sensitif terhadap aspirasi nelayan dan permasalahan lokal.
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sensitif terhadap aspirasi nelayan dan permasalahan lokal.
2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih lanjut kemiskinan nelayan, khususnya dengan menggunakan Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP).

1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan penelitian ini disusun dengan urutan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, memaparkan latar belakang, pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Kerja Operasional, menyajikan kerangka teoritik terkait dengan penelitian dan kerangka kerja operasional yang dilakukan.
Bab III Metode Penelitian, membahas metode yang digunakan, sampel yang dipilih, cara-cara pengumpulan data, lokasi dan waktu penelitian.
Bab IV Gambaran Lokasi Penelitian, memaparkan gambaran umum dan gambaran usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian.
Bab V Identifikasi Kemiskinan Nelayan secara Partisipatif merupakan bab utama yang membahas hasil-hasil penelitian terkait persepsi nelayan terhadap kemiskinan dan kareakteristik kemiskinan.
BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan penutup tesis yang berisi kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:55:00

TESIS PENGARUH FAKTOR PREDISPOSISI, PENDUKUNG DAN PENGUAT TERHADAP TINDAKAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DALAM MENGGUNAKAN KONDOM UNTUK PENCEGAHAN HIV

(Kode : PASCSARJ-0009) : TESIS PENGARUH FAKTOR PREDISPOSISI, PENDUKUNG DAN PENGUAT TERHADAP TINDAKAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DALAM MENGGUNAKAN KONDOM UNTUK PENCEGAHAN HIV/AIDS DI LOKALISASI X

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), sekarang ini dianggap sebagai pandemi paling hebat yang pernah terjadi dalam dua dekade terakhir. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia sehingga daya tahan tubuh makin melemah dan mudah terjangkit penyakit infeksi. Sampai saat ini HIV/AIDS tidak saja menjadi masalah kesehatan tetapi secara langsung sudah menjadi persoalan politik dan bahkan ekonomi yang sangat serius di negara-negara yang sedang berkembang dan dapat menyebabkan kemiskinan (Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS, 2007-2010).
Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penularan HIV/AIDS terus meningkat sampai dengan 31 Maret 2008, secara kumulatif pengidap HIV sebanyak 6.130 kasus dan AIDS mencapai 11.868 kasus.
Kasus-kasus tersebut dilaporkan dari 33 provinsi dan 207 Kabupaten/Kota dengan ratio kasus AIDS ditemukan pada laki-laki 9.337 (78,7%) dibandingkan perempuan 2.466 (20,7%) dan tidak diketahui 165 (0,5%) (KPA Nasional, 2008).
Jumlah kasus penderita AIDS di atas, seperti lazim disebutkan merupakan fenomena ”puncak gunung es”. Artinya kondisi yang sebenarnya termasuk yang terselubung bisa jadi berpuluh kali lipat dari jumlah yang dilaporkan. Ini terjadi karena kurangnya kesadaran bagi orang yang perilakunya berisiko untuk melakukan pencegahan dan pemeriksaan kesehatan. Di samping itu memerlukan biaya yang besar untuk melakukan pemeriksaan diri ke laboratorium. Sehingga seseorang diketahui sudah tahap AIDS datang berobat ke Rumah Sakit. Diperkirakan pada tahun 2010 kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 93.968-130.000 dan tidak hanya terkonsentrasi pada satu daerah tetapi hampir merata di semua daerah (www.tempointreaktif.co.id.2007).
Cara penularan kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sebagian besar ditemukan pada kelompok IDU (Injecting Drug User) yaitu 49,2%, heteroseksual 42,8%, dan homoseksual 3,8%. Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (53,62%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,79%) dan 7,89% pada kelompok umur 40-49 tahun (KPA Nasional, 2008).
Ditinjau dari penyebaran kasus maka hampir semua Provinsi di Indonesia telah melaporkan adanya kasus AIDS. Kasus terbesar terdapat di 10 Provinsi, masing-masing DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan X dan Sumatera Barat. Kemudian diikuti oleh provinsi X diurutan ke -11 (KPA Nasional, 2008).
Provinsi X, jumlah kasus AIDS pada akhir Maret 2008 sebanyak 166 kasus dan menyebar ke-7 kabupaten/kota dengan rate kumulatif kasus AIDS 3.65/100.000 penduduk (KPA Nasional 2008). Hal ini menunjukkan epidemi AIDS di Provinsi X juga tinggi karena tahun 2010 prevalensi HIV (persentase kasus terhadap penduduk berisiko) diharapkan 0,9 % (Depkes RI, 2003).
Sebagian besar kumulatif kasus AIDS ditemukan di Kota X yaitu mencapai 142 kasus (85,54 %) sampai akhir Maret 2008. Kondisi ini menunjukkan Provinsi X khususnya Kota X perlu segera mendapatkan prioritas perhatian terutama dari pengambil kebijakan, mengingat prevalensi HIV yang merupakan kriteria keadaan epidemi AIDS sudah melewati angka 5 % yaitu sebesar 5.85 % pada Pekerja Seks Komersial berdasarkan surveilans HIV tahun 2005. Artinya sudah menyebar pada sub populasi atau kelompok-kelompok tertentu salah satunya kelompok penjaja seks dan menurut kategori WHO sudah memasuki tingkat kedua yang disebut terkonsentrasi dari 3 tingkat keadaan epidemi AIDS (KPA Nasional, 2008).
Epidemi AIDS di Provinsi X telah direspon dengan berbagai upaya pencegahan baik yang dilakukan pemerintah maupun oleh kelompok masyarakat. Pemerintah Provinsi X bersama DPRD Provinsi X telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Provinsi X beserta petunjuk dan pelaksanaannya di Kabupaten/Kota se-Provinsi X.
Keberadaan peraturan daerah ini diharapkan dapat mengendalikan laju epidemi HIV/AIDS di Provinsi X termasuk di Kota X yang semakin berkembang. Epidemi HIV/AIDS dapat diduga terjadi karena Kota X adalah kota terbuka, merupakan jalur lintasan angkutan darat, laut, sungai dan udara yang didukung dengan fasilitas transportasi yang memadai serta tingkat mobilitas (datang dan bepergian) yang relatif tinggi, peningkatan pembangunan yang ditandai dengan pesatnya perkembangan pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan. Kondisi seperti ini menyebabkan masyarakat Kota X sangat rawan untuk terinfeksi HIV, Infeksi Menular Seksual (IMS) dan faktor pendorong meningkatnya jumlah masyarakat berperilaku berisiko terinfeksi HIV (Renstra KPA Kota X, 2004-2008).
Perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk menjadi salah satu faktor munculnya faktor risiko tinggi infeksi HIV/AIDS termasuk semakin maraknya lokasi berisiko. Lokasi berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS di Kota X adalah lokalisasi Prostitusi X yang berada di Kelurahan Rejosari Kecamatan Tenayan Raya Kota X.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Utama yang selama ini memfasilitasi pemberian informasi tentang HIV/AIDS di X mengatakan bahwa Pekerja Seks Komersial pada tahun 2007 berjumlah 300 orang. Lokalisasi X terletak lebih kurang 8 km dari pusat Kota X dengan luas berkisar 4 hektare. Untuk menuju lokalisasi X tersebut dapat dicapai melalui jalan darat dan sungai dengan menggunakan alat transportasi roda dua, perahu dan roda empat.
Berdasarkan hasil sero survey Dinas Kesehatan Provinsi X tahun 2005 di lokalisasi X, dari 170 sampel darah PSK yang diperiksa ditemukan 10 kasus (5,9 %) HIV positif dan 29 kasus (17,1 %) IMS. Angka ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan hasil pemeriksaan darah pada tahun 2004 dari 55 sampel darah PSK yang diperiksa, tidak ditemukan HIV positif tetapi 3 kasus (5,5%) IMS (Dinas Kesehatan Kota X, 2006).
Keberadaan lokalisasi X di Kota X tidak secara resmi diakui oleh pemerintah Kota X sehingga mempersulit upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS di Kota X. Salah satu upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan kondom setiap melakukan transaksi seksual dengan banyak pasangan seksual sesuai dengan Komitmen Sentani tentang penggunaan kondom 100% (Condom use 100 %) pada lokalisasi (KPA Nasional, 2006).
Tindakan PSK dalam menggunakan kondom yang disinyalir rendah di lokalisasi Kota X sama halnya di daerah lain. Di daerah lainpun seperti halnya di beberapa lokalisasi di Jakarta pada tahun 1996 penggunaan kondom pada PSK yang konsisten mencapai 15 %. Kondisi ini tidak banyak berubah setelah 9 tahun. Pada tahun 2004 masih relatif stabil yaitu 16 %. Selama rentang waktu 1996 hingga 2004 terjadi beberapa kali kenaikan dan penurunan. Tahun 1999 hingga tahun 2000 kembali mengalami penurunan, berikutnya meningkat lagi, walaupun peningkatannya sangat rendah (BPS, 2004).
Di samping itu menurut juru bicara Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali Karmaya yang dikutip Mustika (2005), seperempat pelanggan dari perempuan PSK di Bali menggunakan kondom saat berhubungan seks. Diperkirakan terdapat 100 ribu laki-laki hi dung belang yang tidak menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan PSK. Demikian halnya dengan PSK di Medan Sumatera Utara hanya 12 % konsisten menggunakan kondom dari hasil penelitian tahun 2005 (ASA dkk, 2005).
Temuan kasus IMS termasuk HIV/AIDS sebenarnya tidak akan terjadi jika PSK dan pelanggannya memiliki perilaku yang sehat. Perilaku PSK yang sehat adalah menggunakan kondom dan melakukan pemeriksaan rutin ke layanan kesehatan. Sebagai contoh negara Thailand telah berhasil menurunkan tingkat penularan HIV sampai 83 persen dengan program penyediaan kondom. Oleh sebab itu tindakan PSK menggunakan kondom menjadi salah satu issu yang strategis dalam upaya penanggulangan AIDS termasuk di Kota X. Upaya untuk meningkatkan penggunaan kondom menjadi penting untuk dilakukan.
Menurut Green dan Kreuter (2005) tindakan dipengaruhi oleh faktor predisposisi antara lain (pengetahuan, sikap dan unsur-unsur lain yang ada dalam individu), faktor pendukung (tersedianya sarana kondom) dan faktor penguat (dukungan teman seprofesi, mucikari, petugas kesehatan dan LSM).
Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan PSK tentang penggunaan kondom terutama manfaatnya dalam mencegah HIV/AIDS. Dengan pengetahuan ini diharapkan muncul sikap berupa kesadaran dan niat untuk menggunakan kondom.
Walaupun sikap masih belum terwujud dalam suatu tindakan namun sikap dapat menjadi potensi keyakinan seseorang agar mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dalam menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual (Smet, 1994). Karena dengan adanya sikap dapat membuat seseorang menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab menggunakan kondom agar terhindar dari HIV/AIDS. Serta didukung dengan tersedianya sarana kondom agar memudahkan untuk menggunakan kondom dan di dukung oleh teman, mucikari, petugas kesehatan dan LSM.
Berdasarkan hal tersebut, melalui tulisan ini akan dilakukan penelitian "Pengaruh faktor predisposisi (umur, masa kerja, pengetahuan dan sikap), faktor pendukung (ketersediaan kondom) dan faktor penguat (dukungan teman seprofesi, mucikari, petugas kesehatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap tindakan Pekerja Seks Komersial (PSK) dalam menggunakan kondom untuk Pencegahan HIV/AIDS di Lokalisasi X".

1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah faktor predisposisi (umur, masa kerja, pengetahuan dan sikap), faktor pendukung (ketersediaan kondom) dan faktor penguat (dukungan teman seprofesi, mucikari, petugas kesehatan dan LSM) berpengaruh terhadap tindakan PSK dalam menggunakan kondom untuk Pencegahan HIV/AIDS di Lokalisasi X".

1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (umur, masa kerja, pengetahuan dan sikap), faktor pendukung (ketersediaan kondom) dan faktor penguat (dukungan teman seprofesi, mucikari, petugas kesehatan dan LSM) terhadap tindakan PSK dalam menggunakan kondom untuk Pencegahan HIV/AIDS di Lokalisasi X.

1.4. Hipotesis
Faktor predisposisi (umur, masa kerja, pengetahuan dan sikap), faktor pendukung (ketersediaan kondom) dan faktor penguat (dukungan teman seprofesi, mucikari, petugas kesehatan dan LSM) berpengaruh terhadap tindakan PSK dalam menggunakan kondom untuk Pencegahan HIV/AIDS di Lokalisasi X".

1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota X dalam menentukan kebijakan untuk pencegahan HIV/AIDS di lokalisasi X.
2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota X dan lintas sektor dalam perencanaan program upaya pencegahan HIV/AIDS di lokalisasi X dan evaluasi kinerja dalam pelaksanaan pencegahan HIV/AIDS.
3. Sebagai bahan masukan bagi Komisi Penanggulangan AIDS Kota X dalam perencanaan program upaya pencegahan HIV/AIDS di lokalisasi X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:18:00

TESIS PENGAWASAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM PENERAPAN SISTEM PERIZINAN DI KOTA X

(Kode : PASCSARJ-0008) : TESIS PENGAWASAN LEMBAGA LEGISLATIF DALAM PENERAPAN SISTEM PERIZINAN DI KOTA X (PRODI : HUKUM EKONOMI)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah melahirkan adanya 2 (dua) macam organ pemerintahan di daerah, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah wilayah.2 Pemerintah daerah adalah organ daerah otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi. Sedangkan pemerintah wilayah adalah organ pemerintah pusat di wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi yang terwujud dalam bentuk provinsi dan ibukota negara, kabupaten/kota, yang tentu saja tidak terkait dengan kewenangan yang muncul dari otonomi daerah.
Asas desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi adalah memberikan keleluasaan organ daerah otonom yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi. Dalam asas desentralisasi terjadi penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintahan daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya, baik yang menyangkut policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan agar menjadi urusan rumah tangganya sendiri.
Era globalisasi menghadapkan Indonesia pada suatu tuntutan untuk melaksanakan pembangunan disegala bidang secara merata, termasuk juga menuntut kesiapan setiap daerah untuk mampu berPengawasan serta didalamnya. Antisipasi terhadap arus globalisasi ini diperlukan setiap daerah, terutama berkaitan dengan peluang dan tantangan penanaman modal asing di daerah dan persaingan global di daerah.
Dalam otonomi daerah, daerah menjadi lebih leluasa dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya, dan memberi kesempatan tumbuhnya iklim yang lebih demokratis di daerah. Pemerintahan daerah yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah semacam keleluasaan daerah dalam mewujudkan otonomi yang luas dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, prakarsa dan aspirasi masyarakat, atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keanekaragaman daerah. Untuk itu, pemerintah daerah perlu mempunyai kemauan sungguh-sungguh dan kesiapan untuk mampu melaksanakan kebijakan otonomi daerah untuk kepentingan rakyat daerahnya.
Otonomi daerah seharusnya dipandang sebagai suatu tuntutan yang berupaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, menurut James W. Fesler sebagaimana dikutip J. Kaloh, otonomi daerah bukanlah tujuan tetapi suatu instrumen untuk mencapai tujuan.
Lembaga Legislatif dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD) sebagai salah satu institusi lokal dianggap sebagai wahana untuk bisa memberdayakan masyarakat daerah dalam era otonomi daerah. Sebelum era Reformasi, DPRD yang mewakili rakyat daerah tidak berdaya menghadapi kekuatan pemerintah pusat dan kepala daerah. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa DPRD bersama rakyat di daerah terpinggirkan dari berbagai proses pembangunan yang sebenarnya menjadi haknya untuk terlibat dan melakukan kontrol.
Kehadiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pelaksanaan amanat Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 pada Sidang Istimewa MPR 1998) dan kemudian digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinilai dapat memberikan pembaharuan sistem pemerintahan daerah di Indonesia, sehingga diharapkan mampu memberikan keleluasaan bagi daerah dalam rangka menjalankan rumah tangganya sendiri sesuai dengan kepentingan rakyat daerah.
Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD adalah mitra sejajar dari Kepala Daerah sebagai pemimpin pemerintah daerah, karena kedua lembaga ini merupakan unsur-unsur penyelenggara pemerintahan daerah, sehingga secara bersama-sama melaksanakan pemerintahan daerah.
Fungsi utama DPRD berdasarkan Pasal 41 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah melaksanakan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan, di samping melaksanakan fungsi anggaran. Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, DPRD mempunyai tugas dan wewenang di berbagai bidang. Fungsi legislasi berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut dengan Perda), fungsi pengawasan berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, dan fungsi anggaran terkait dengan menetapkan anggaran daerah.
Pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD dilaksanakan berdasarkan kebijakan DPRD terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan dan aspirasi rakyat daerah. Sesuai dengan fungsinya, kebijakan DPRD tidak hanya dituangkan dalam bentuk Perda bersama-sama dengan pemerintah daerah yang menjadi mitranya, tetapi juga diimplementasikan dalam bentuk kontrol terhadap pelaksanaan Perda tersebut, beserta peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh pihak Pemerintah Daerah beserta segenap aparaturnya. Hal ini disebabkan, apapun yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, senantiasa adalah untuk kepentingan rakyat daerah, sementara kepentingan rakyat daerah diwakili oleh lembaga legislatif daerah.
Salah satu pengaturan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mengenai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan hubungannya dengan Kepala Daerah dan masyarakat daerah. Masyarakat daerah mempunyai perwakilan mereka sendiri (overhead) yang mempunyai keleluasaan berhubungan dengan daerahnya.
DPRD sebagai lembaga legislatif daerah turut mengambil keputusan politik dan kebijakan-kebijakan untuk mengeksploitasi sumber daya ekonomi lokal. Salah satu implikasi politik yang terjadi dengan Amandemen Pasal 18 UUD 945 dan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesetaraan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di daerah. Hal ini tentu juga terkait dengan efektifitas pembangunan di daerah yang tentu tidak selamanya menciptakan hubungan kausalitas yang memuaskan.
Kedudukan DPRD tetap merupakan mitra sejajar dengan Kepala Daerah untuk tetap memelihara check and balances antara DPRD dan Kepala Daerah serta terpeliharanya efektifitas dan stabilitas pemerintahan daerah.
DPRD melaksanakan fungsi kontrol resmi dari masyarakat daerah terhadap pelaksanaan tugas Kepala Daerah sebagai pemimpin masyarakat daerah. Hal ini berguna agar pemimpin pemerintahan di daerah lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat daerahnya dibandingkan dengan kepentingan pejabat politis atau birokratis, baik pada tingkat atas maupun di daerahnya.
Salah satu permasalahan yang terjadi dalam proses pembangunan di daerah adalah berkaitan dengan sistem perizinan. Kegiatan pembangunan dan investasi di daerah terkait erat dengan pemberian perizinan kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Pemerintahan Daerah, dimana DPRD merupakan salah satu unsurnya, mempunyai kewenangan untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon perizinan untuk memperoleh suatu izin yang diperlukannya. Penetapan syarat-syarat ini tentu saja dimaksudkan untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai oleh Pemerintahan Daerah yang bersangkutan yang diwujudkan dalam bentuk Perda.
Demikian juga halnya dengan Pemerintahan Daerah Kota X, dimana DPRD Kota X merupakan salah satu unsurnya, mempunyai tugas dan kewenangan dalam pengaturan dan penerapan perizinan guna mencapai sasaran pembangunan daerah yang ingin dicapai. Dalam kegiatan pembangunan yang sekarang sedang giat-giatnya dilaksanakan di Kota X dalam berbagai sektor kehidupan perlu ditelaah kebijakan perizinan yang telah ditetapkan dan kontribusinya bagi pembangunan daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan DPRD Kota X dalam menetapkan pengaturan sistem perizinan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan untuk mencapai sasaran pembangunan di Kota X.
Kajian seperti ini penting dilakukan untuk melakukan penelusuran dan sekaligus evaluasi terhadap pelaksanaan posisi dan kedudukan DPRD di bidang perizinan yang selama ini telah dilaksanakan, guna memperoleh suatu hasil analisis yang dapat dipergunakan sebagai bahan hukum oleh pihak legislatif dalam menyongsong era globalisasi. Alasan-alasan tersebut merupakan motivasi bagi Penulis dalam melakukan penelitian tesis dengan judul "Pengawasan Lembaga Legislatif dalam Penerapan Sistem Perizinan di Kota X".

B. Permasalahan
Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan DPRD sebagai lembaga legislasi dalam pembuatan Peraturan Daerah.
2. Bagaimana Pengawasan DPRD dalam penerapan sistem perizinan di Kota X.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diajukan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan dan fungsi DPRD sebagai lembaga legislasi dalam pembuatan peraturan daerah dalam rangka otonomi daerah.
2. Untuk mengetahui Pengawasan DPRD Kota X dalam penerapan sistem perizinan dan pengawasannya di Kota X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmiah dalam ilmu hukum mengenai Pengawasan DPRD sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah, khususnya oleh DPRD Kota X, dalam bidang perizinan. Dari sudut pandang praktis, penelitian ini diharapkan dapat merupakan masukan atau tawaran berharga bagi pihak legislatif daerah dalam membentuk peraturan daerah sebagai instrumen kebijakan, khususnya yang terkait dengan sistem perizinan, sehingga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memperbaharui atau menyempurnakan peraturan-peraturan daerah yang terkait dengan sistem perizinan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:23:00