FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank berfungsi sebagai perantara keuangan atau financial intermediary dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Bank menghimpun simpanan uang masyarakat (dana pihak ketiga). Kemudian uang atau dana tersebut dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit dengan pengenaan suku bunga tertentu. Penyaluran kredit merupakan fungsi utama dari bank dan merupakan sumber pendapatan yang utama pada umumnya. Pendapatan ini diperoleh dari spread suku bunga simpanan dan kredit yang dikenakan oleh bank. Penentuan spread ini tergantung dari pihak bank dan target marketnya (Kurniawan, 2004).
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.
Lembaga keuangan Islam termasuk perbankan menjadi intermediasi keuangan dengan cara yang sangat berbeda dari bank konvensional, karena ia sangat menonjolkan skema Profit and Loss Sharing (PLS) dalam pembiayaan dan investasi perdagangan.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah, perkembangan bank syariah, dipandang dari sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha, masih belum memuaskan. Oleh karena itu pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong perkembangan bank syariah di Indonesia.
Menurut laporan Bank Indonesia, jumlah bank syariah yang beroperasi sejak 1998 meningkat cukup signifikan. Pada 1998 bank umum syariah baru sebuah, kantor cabang 10, kantor cabang pembantu sebuah, dan kantor kas yang sudah beroperasi 19. Selama tahun 2008 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengalami penambahan 2 Bank Umum Syariah (BUS) 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 17 BPRS, sehingga pada akhir 2008 terdapat 5 BUS, 27 UUS dan 131 BPRS. Sejalan dengan hal tersebut, jaringan kantor bank syariah, termasuk layanan syariah juga menunjukkan peningkatan menjadi 953 kantor dan 1.470 layanan syariah.
Perkembangan kuantitas kelembagaan perbankan syariah dari tahun ke tahun terlihat sangat pesat dan diharapkan dengan perkembangan ini pelayanan perbankan syariah dalam berpartisipasi dalam perekonomian nasional akan makin besar.
Pertumbuhan Aset Bank Syariah. DPK Bank Syariah, DPK Bank Konvensional dan perkembangan tingkat suku bunga. Perkembangan di tahun 2007 semakin mempertegas korelasi negatif antara fluktuasi tingkat suku bunga perbankan dengan fluktuasi DPK perbankan syariah. Artinya kondisi suku bunga yang meningkat akan menekan pertumbuhan DPK (termasuk aset) perbankan syariah begitu pula sebaliknya, jika suku bunga cenderung turun DPK bank syariah akan meningkat karena nisbah bagi hasil yang lebih kompetitif dibandingkan suku bunga perbankan secara umum.
Kinerja ekonomi sektor riil mempengaruhi secara positif perkembangan industri perbankan syariah, misalnya kecenderungan penurunan inflasi mendorong peningkatan aset perbankan syariah.
Dalam hal penyaluran dana, tahun 2007 industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan sebesar 36,7 persen) dibandingkan dengan perbankan nasional yang mengalami pertumbuhan sebesar 17,8 persen, dengan posisi pangsa pembiayaan terhadap perbankan secara nasional mencapai 2,8 persen. Pertumbuhan pembiayaan ini relatif masih mendekati angka proyeksi berdasarkan yang diperhitungkan pada akhir tahun lalu. Pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah pada dasarnya juga merupakan respon dari membaiknya sektor ekonomi riil yang didorong oleh semakin kondusifnya tingkat suku bunga. Namun kecenderungan turunnya suku bunga pembiayaan ini perlu dicermati. Dalam kondisi di mana profil nasabah pembiayaan bank syariah masih sensitif terhadap pergerakan suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, maka penurunan suku bunga kredit akan menimbulkan tekanan bagi perbankan syariah.
Pada semester kedua mengakhiri tahun 2008, pertumbuhan aset industri perbankan syariah cenderung mengalami perlambatan terutama sejak triwulan kedua, meskipun menunjukkan pertumbuhan aset yang positif. Terpuruknya ekonomi dunia akibat krisis keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat dan ketatnya kredit/likuiditas global yang semakin serius pada semester akhir 2008 mempengaruhi indikator-indikator makro ekonomi Indonesia, seperti nilai tukar, suku bunga dan kinerja pasar modal. Kondisi tersebut ditengarai sebagai penyebab perlambatan aktifitas ekonomi riil domestik Indonesia. Selanjutnya pengaruh tersebut relatif menyebabkan perlambatan pertumbuhan di industri perbankan syariah di Indonesia, meskipun tidak separah industri keuangan secara umum.
Kondisi global tersebut mengakibatkan iklim investasi yang belum kondusif, meningkatnya inflasi, penurunan daya beli masyarakat dan biaya ekonomi yang cukup tinggi. Dengan adanya beberapa kondisi makro tersebut menyebabkan terjadinya perlambatan indikator secara mikro di perbankan, seperti pertumbuhan Dana Pihak Ketiga yang melambat, meningkatnya margin dan persentase nisbah pembiayaan seiring dengan meningkatnya laju inflasi, sehingga berdampak pula terhadap pengetatan penyaluran pembiayaan terutama sejak Triwulan ke tiga tahun 2008.
Sementara itu penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan keempat tahun 2007 atau menjadi 42,05 persen pada triwulan keempat tahun 2008, meskipun kondisi di tahun 2008 tersebut mengalami perlambatan sejak posisi pada Triwulan ke II sebesar 51 persen. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp 38,19 triliun. Pertumbuhan jumlah pembiayaan yang tidak didukung dengan pertumbuhan DPK secara signifikan menyebabkan financing to deposit ratio (FDR) mencapai level diatas 104 persen pada tahun pelaporan.
Seiring dengan pertumbuhan pembiayaan, juga diikuti oleh peningkatan kualitas pembiayaan perbankan syariah dari seluruh portfolio pembiayaan pada tahun 2008. Peningkatan kualitas ini tercermin dari penurunan persentase non performing financing (NPF) gross pada tahun 2008, dimana pada posisi tahun 2007 NPF perbankan syariah mencapai 4,07 persen. Penurunan NPF tersebut disebabkan oleh proses restrukturisasi, write off dan pengambil alihan pembiayaan oleh Bank lain (take over). Prestasi tersebut harus selalu diupayakan untuk selalu dipertahankan dan terus ditingkatkan sejalan dengan perbaikan kualitas ekposur dalam sistem perbankan secara nasional.
Kualitas pembiayaan perbankan syariah mampu dijaga dalam rasio yang relatif rendah. Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) pada tahun laporan turun menjadi 3,95 persen. Peningkatan pembiayaan pada produk berbasis bagi hasil, khususnya dengan akad musyarakah, yang berisiko lebih tinggi dan krisis keuangan global tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan syariah. Rasio NPF dapat dijaga dalam kisaran yang rendah di bawah 5 persen.
Seiring penggantian SWBI dengan SBIS, posisi penempatan perbankan syariah pada OPT Syariah terus menurun. Terdapat 2 (dua) faktor penyebab fenomena tersebut yaitu penyesuaian (adjustment) yang dilakukan oleh perbankan syariah dalam pengelolaan likuiditas dan pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Penutupan SWBI yang sebelumnya tersedia setiap hari menyebabkan berubahnya pola ketersediaan (pasokan) likuiditas harian dari SWBI jatuh tempo, sementara lelang SBIS hanya dilakukan secara mingguan dengan tenor 1 (satu) bulan. Hal ini mendorong perbankan syariah untuk memelihara excess reserve dengan jumlah lebih besar yang tercermin dari peningkatan jumlah excess reserve dari rata-rata Rp 276,7 miliar (sebelum penutupan SWBI) menjadi Rp 690,4 miliar (setelah penutupan SWBI). Selain itu, pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang dimulai antara akhir kuartal I dan awal kuartal II menyebabkan pemeliharaan alat-alat likuid (termasuk SBIS) cenderung menurun.
Meski demikian, menyimak kondisi sekarang dengan share bank syariah masih relatif kecil dibandingkan bank konvensional, tentunya peran ideal bank dan lembaga keuangan syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas belum akan begitu terasa. Dalam kondisi seperti ini, salah satu elemen pokok dalam sistem ekonomi Islam, yaitu pemerintah (regulator), perlu mengambil alih dan memegang peranan kunci perekonomian dengan didukung oleh kalangan perbankan syariah itu sendiri.
Dari sisi lain prestasi yang perlu dicatat, selama ini bank syariah dapat menjalankan fungsi intermediasi perbankan yang lebih besar. Artinya, proses dan keterlibatan dalam pembiayaan dan pembinaan nasabah lebih intens dibanding dengan bank konvensional. Menurut data statistik BI di beberapa media menunjukkan peranan intermediasi bank konvensional lebih rendah. Ini bisa dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) bank konvensional yang hanya sekitar 50 persen, sedangkan rata-rata LDR atau FDR (Financing to Deposit Ratio) bank syariah melebihi 100 persen. Angka LDR bank syariah yang tinggi akhir-akhir ini bisa diartikan bahwa bank syariah lebih mampu mendorong angka percepatan perputaran uang dan investasi yang diharapkan dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hanya dari segi jumlah pembiayaan masih rendah.
Di tahun 2008, Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen (semula 6,8 persen). Pertumbuhan 6,4 persen tersebut terutama diharapkan dari pertumbuhan investasi. Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tersebut, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Kondisi pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sektor riil banyak dipengaruhi oleh besarnya dana masyakat yang mampu diserap dalam bentuk tabungan.
Perbankan syariah sempat terhambat perkembangannya karena kebijakan BI Rate yang tinggi selama periode 2005-2006. Kebijakan office channeling menjadi andalan BI mengakselerasi perbankan syariah ke depan. Berbagai tantangan berat dihadapi industri perbankan syariah nasional sepanjang 2006, khususnya berkaitan dengan kondisi makro ekonomi yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat suku bunga dan inflasi.
Meski demikian, perbankan syariah berhasil mempertahankan pertumbuhan asetnya 12,92 persen dari akhir 2005 hingga Agustus 2006 atau melebihi laju pertumbuhan industri perbankan nasional yang 5,55 persen. Namun, proyeksi pangsa aset perbankan syariah menjadi 1,70 persen pada akhir 2006 tampaknya tidak mudah tercapai. Pasalnya, hingga Agustus 2006 baru tercapai 1,55 persen atau senilai Rp 23,58 triliun. Artinya, sepanjang 2006, ruang gerak perbankan syariah dalam mengembangkan usahanya mengalami keterbatasan, terutama dalam pengumpulan dana pihak ketiga (DPK).
Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut diatas adalah langkah Bank Indonesia (BI) yang terpaksa memperketat kebijakan moneternya ditandai dengan BI Rate yang tinggi sejak tahun lalu hingga saat ini. Akibat kebijakan tersebut, risiko displacement (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional) meningkat. Terbukti, DPK perbankan syariah sempat menurun pada Januari dan Februari 2006. Di sisi lain, sejak BI mengeluarkan kebijakan office channeling (OC), tampaknya DPK perbankan syariah juga mulai menggeliat kembali. Menurut data Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang dikeluarkan Direktorat Perbankan Syariah BI per Agustus 2006, DPK perbankan syariah hingga Agustus 2006 meningkat menjadi Rp 17,11 triliun atau tumbuh 9,82% dari posisi DPK per Desember 2005.
Kebijakan dan strategi pengembangan perbankan syariah dari Bank Indonesia tahun 2007 difokuskan pada upaya mempercepat peningkatan kapasitas pelayanan perbankan syariah. Upaya ini akan dilakukan dari sisi penawaran dan permintaan guna mencapai target pangsa 5 persen dari total volume perbankan nasional diakhir tahun 2008 dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Dari sisi penawaran, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk memperkuat struktur kelembagaan dan efisiensi perbankan syariah, sehingga dapat meningkatkan daya saing dan mampu meredam berbagai kejutan ekonomi yang terjadi. Dari sisi permintaan, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk dapat memperluas pangsa pasar perbankan syariah di tengah masyarakat, sehingga peran perbankan syariah dalam mendorong proses intermediasi perbankan dan penciptaan stabilitas sistematik semakin signifikan.
Melihat hal diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia yang perkembangannya makin cepat dengan demikian layak untuk diteliti. Jika tidak ada penelitian tentangnya dikhawatirkan pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia ke masyarakat yang sangat penting berkontribusi bagi perekonomian ini ketika terjadi problem, kendala yang menghambat penyaluran perbankan syariah tidak dapat diketahui apa penyebab sebenarnya, sehingga tidak mampu untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi masalah yang ada.
Berdasarkan kepentingan di atas maka perlu penelitian dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia. Diharapkan dengan penelitian ini semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengannya dapat memanfaatkan hasil yang sebesar-besarnya. Penelitian ini dijadikan sebagai tesis dengan judul : "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyaluran Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia"
B. Perumusan Masalah
Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia dalam meningkatkan penyaluran pembiayaan syariah di Indonesia makin optimal sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak pada pembangunan nasional diantaranya adalah :
1. RUU perbankan syariah yang telah mengalami perubahan status menjadi UU perbankan syariah yaitu undang-undang No. 21 tahun 2008 yang berpengaruh pada Bank Indonesia yang melakukan beberapa revisi peraturan agar dapat disesuaikan dengan undang-undang sehingga kedudukan perbankan syariah lebih kuat secara legal (www.bi.go.id. 2008)
2. Dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/7/PBI/2007 tanggal 04 Mei 2007 tentang perubahan atas peraturan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Bank umum dimana salah satunya mengatur tentang penyempurnaan pengembangan jaringan Bank syariah melalui Office Channeling sehingga perbankan konvensional dapat melayani transaksi syariah (www.bi.go.id. 2007)
3. Adanya dorongan dari Bank Indonesia yang mempermudah dan memperbanyak layanan syariah, memperbanyak pembukaan kantor cabang, termasuk konversi dari unit syariah menjadi bank syariah serta meringankan modal pendirian bank syariah (www.bi.go.id. 2008).
4. Akan adanya draf undang-undang mengenai perbankan syariah dimana kata-kata jual beli dihilangkan dan diganti dengan pembiayaan dengan aset murabahah sehingga efek pengenaan PPN dapat dihilangkan. Hal ini akan memberikan manfaat bagi para nasabah agar terhindar dari pajak berganda dimana posisi ini secara tidak langsung akan kembali meningkatkan pembiayaan yang akan diberikan oleh perbankan syariah (www.pajakonline.com, tanggal 27 Oktober 2008).
5. (Annual Meeting DPS, 14 Agustus 2007) Kebijakan dan inisiatif strategis untuk pengembangan jangka panjang industri perbankan syariah secara sistematis telah dijabarkan dalam 'Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia' dan Kebijakan dan Program Akselerasi 2007-2008 lebih difokuskan pada pencapaian target kuantitatif melalui terobosan paket kebijakan dan program inisiatif yang dapat memberikan perubahan pertumbuhan aset secara signifikan (lompatan besar) dalam jangka pendek. Sasaran kebijakan dan program akselerasi 2007-2008 itu adalah :
a) Mendorong pertumbuhan dari sisi supply dan demand secara seimbang
b) Memperkuat permodalan, manajemen dan SDM bank syariah
c) Mengoptimalkan peranan pemerintah (otoritas fiskal) dan BI (otoritas perbankan & moneter) sebagai penggerak pertumbuhan
d) Melibatkan seluruh stakeholder perbankan syariah untuk berpartisipasi aktif dalam program akselerasi sesuai dengan kompetensinya masing-masing.
Berdasarkan berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut diatas pemerintah dan Bank Indonesia telah menetapkan program akselerasi perbankan syariah dengan menargetkan penyaluran pembiayaan Perbankan Syariah sebesar Rp. 68,95 Triliun di tahun 2008 namun pembiayaan yang mampu disalurkan realisasinya hanya mencapai Rp. 38,195 Triliun
Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah dalam tesis ini adalah belum mampunya perbankan syariah mencapai target penyaluran pembiayaan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di tahun 2008. Sehingga perlu penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penyaluran pembiayaan perbankan syariah di Indonesia agar bisa dipakai oleh pihak yang berwenang sebagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan guna mendorong perbankan syariah khususnya dalam penyaluran pembiayaan agar lebih optimal dan sesuai target yang ditetapkan.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dalam tesis ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah ?
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini pengambilan data di lakukan hanya untuk kurun waktu Maret 2004-April 2009.
Variabel yang diteliti pun hanya dibatasi pada variabel : indikator kebijakan perbankan syariah secara nasional, indikator kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia, yang diduga memiliki pengaruh terhadap penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia di luar BPRS.
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan Syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia.