Cari Kategori

Showing posts with label skripsi ekonomi akuntansi. Show all posts
Showing posts with label skripsi ekonomi akuntansi. Show all posts

Metode Pengukuran Dan Pengakuan Rekening-Rekening Laporan Keuangan Untuk Penghitungan Zakat Mal Perusahaan

 
Skripsi Metode Pengukuran Dan Pengakuan Rekening-Rekening Laporan Keuangan Untuk Penghitungan Zakat Mal Perusahaan
 

1.1. Latar Belakang
Dalam era dimana pertanggungjawaban merupakan titik perhatian dalam masyarakat, kegunaan akuntansi akan semakin dirasakan. Fungsi akuntansi menjadi semakin penting, karena tujuan utama akuntansi adalah menyajikan informasi ekonomi dari suatu kesatuan ekonomi kepada pihak yang berkepentingan. Informasi ekonomi yang dihasilkan akuntansi berbentuk laporan keuangan, dimana laporan keuangan bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu organisasi bisnis yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
 
Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan ini memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pemakai. Namun demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi, karena secara umum hanya menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi nonkeuangan. Sementara itu informasi yang dibutuhkan oleh pemakai laporan keuangan sangat beragam, dan hingga kini selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan pemakai laporan keuangan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena orientasi organisasi bisnis yang cukup berkembang, dimana pada awal perkembangannya, organisasi bisnis hanya mementingkan keuntungannya sendiri (profit-oriented), sehingga sebuah organisasi bisnis akan melakukan apapun untuk mencapai tingkat keuntungan yang dapat dicapainya. Setelah itu berkembanglah orientasi organisasi bisnis yang lain, hal tersebut disebabkan dengan adanya tuntutan akan etika bisnis yang lebih baik. Sehingga organisasi tidak hanya menilai prestasinya dengan mengukur tingkat nominal laba yang dicapai, tapi lebih dari itu yakni dengan menilai hubungan organisasi bisnis dengan pihak-pihak yang terkait (stakeholder) seperti pelanggan, pemasok, investor, dan pihak yang lain. Organisasi bisnis seperti ini berarti telah memiliki orientasi yang mementingkan hubungan dengan pihak-pihak yang terkait dengan lebih baik (stakeholders-oriented). Selain dua orientasi organisasi bisnis di atas, berkembang pula orientasi yang lain, terutama bagi masyarakat Islam, dimana dalam menjalankan organisasi bisnis, Islam mengharuskan untuk menjalankan syariah sebagai pedoman yang digunakan untuk berperilaku dalam segala aspek kehidupan. Sehingga dalam menjalankan organisasi bisnis selalu menggunakan metafora “amanah” yang bisa diturunkan menjadi metafora zakat, atau realitas organisasi yang dimetaforakan dengan zakat. Ini berarti bahwa organisasi bisnis orientasinya tidak lagi profit-oriented atau stakeholders-oriented, tetapi zakat-oriented (Muhammad : XXXX).
 
Persoalannya sekarang adalah bagaimana kaitan antara zakat dengan akuntansi. Tidak lain adalah kita seharusnya dapat menggunakan informasi yang dihasilkan oleh akuntansi untuk keperluan zakat. Dimana diharapkan informasi akuntansi berguna dalam penghitungan zakat yang benar. Untuk itu diperlukan adanya penyesuaian pengukuran dan pengakuan sejumlah rekening-rekening pada laporan keuangan, karena tidak semua metode akuntansi yang biasa dipakai sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
 
Meskipun banyak pembahasan tentang aturan syariah dalam menjalankan organisasi bisnis, tetapi kebanyakan masih dalam tatanan etika perusahaan secara global, sedikit sekali yang membahasnya dalam tingkatan praktik. Terutama dalam pembahasan akuntansi syariah, sedikit sekali yang membahas tentang praktik akuntansi syariah pada perusahaan secara umum, karena perkembangan praktik akuntansi syariah sementara ini masih tertuju pada perbankan syariah saja, sedikit sekali yang menyentuh praktik pada organisasi bisnis yang lain. Maka dari itu penulis mengambil judul “METODE PENGUKURAN DAN PENGAKUAN REKENING-REKENING LAPORAN KEUANGAN UNTUK PENGHITUNGAN ZAKAT MAL PERUSAHAAN; STUDI KASUS CV. X”.

1.2. Ruang Lingkup Masalah
Agar penelitian yang dilakukan tidak terlalu melebar maka perlu pembatasan masalah yang difokuskan pada penerapan teori pengukuran dan pengakuan rekening-rekening laporan keuangan perusahan untuk penghitungan zakat. Pada penelitian ini akan mengambil kasus pada laporan keuangan CV X, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan perdagangan, yang selanjutnya akan dilakukan penyesuaian metode pengukuran dan pengakuan atas rekening laporan keuangannya guna penghitungan zakat mal perusahaan tersebut.

1.3. Perumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti adalah:
1.3.1. Bagaimanakah metode pengukuran dan pengakuan rekening laporan keuangan yang digunakan CV X dalam laporan keuangannya?
1.3.2. Bagaimanakah metode pengukuran dan pengakuan rekening laporan keuangan CV X untuk tujuan penghitungan zakat mal?
1.3.3. Bagaimanakah metode penghitungan zakat mal pada CV X?
1.4. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang ada maka tujuan penelitian ini adalah:
1.4.1. Untuk mengetahui metode pengukuran dan pengakuan rekening-rekening laporan keuangan CV X.
1.4.2. Untuk menerapkan metode pengukuran dan pengakuan rekening-rekening laporan keuangan yang sesuai syariah, guna penghitungan zakat mal CV X.
1.4.3. Untuk menghitung zakat mal CV X.

1.5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk pengembangan penerapan teori akuntansi syariah yang ada pada tatanan praktik perusahaan non perbankan, khususnya perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan dagang, sehingga mempermudah pemahaman akan teori akuntansi syariah yang berlaku.
Penelitian ini juga berguna untuk mempermudah pemilik CV X dalam menghitung zakat mal perusahaannya dengan hanya menggunakan laporan keuangan yang sudah tersedia lalu menyesuaikan metode pengukuran dan pengakuan beberapa rekening yang memang diperlukan sesuai dengan syariah.
Penelitian ini diharapkan juga dapat menyumbangkan metode praktik yang dapat digunakan dalam perusahaan yang sejenis dengan perusahaan yang diteliti guna penghitungan zakat mal.

1.6. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusunnya sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bagian ini berisi beberapa sub bab yang membahas tentang latar belakang, ruang lingkup masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian ini dilakukan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini penulis melandaskan teori untuk penelitiannya dengan terlebih dahulu membahas zakat, mulai dari; pengertian zakat, harta benda yang wajib dizakati, zakat perdagangan, zakat perusahaan, dan sedikit uraian tentang perbedaan zakat, infak, sedekah, dan pajak. Selanjutnya penulis mulai membahas pijakan teori dari penerapan dalam penelitian ini dengan membahas; tujuan akuntansi syariah, Asumsi dasar laporan keuangan syariah, prinsip akuntansi syariah, karakteristik kualitatif laporan keuangan syariah, dan akhirnya penulis menutupnya dengan pembahasan tentang konsep pengukuran dan pengakuan elemen laporan keuangan syariah.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini, penulis menjelaskan pendekatan metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi, beserta jenis dan sumber data yang dipakai serta metode pengumpulannya. Setelah itu penulis menjelaskan metode analisis yang digunakannya dalam penelitian ini.
BAB IV : PEMBAHASAN
Dalam bab ini, penulis akan mulai membahas penelitiannya dari pengungkapan profil perusahaan, deskripsi metode pengukuran dan pengakuan elemen laporan keuangan perusahaan, dan penerapan metode pengukuran dan pengakuan elemen laporan keuangan yang sesuai syariah untuk penghitungan zakat mal.
BAB V : PENUTUP
Disini akhirnya penulis membuat kesimpulan atas hasil penelitiannya dan memberikan saran berdasarkan hasil penelitiannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:08:00

Skripsi Kinerja Keuangan Perbankan Sebelum Dan Sesudah Implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia

 
Skripsi Kinerja Keuangan Perbankan Sebelum Dan Sesudah Implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
 

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Pada era globalisasi ini perbankan nasional harus berusaha lebih keras lagi untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan yang semakin berat. Untuk mewujudkan perbankan Indonesia yang lebih kokoh perbaikan harus dilakukan diberbagai bidang terutama untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi perbankan nasional dalam beberapa tahun belakangan ini. Tantangan-tantangan tersebut adalah Kapasitas pertumbuhan kredit perbankan yang masih rendah, Struktur perbankan yang belum optimal, Konsolidasi perbankan belum secepat yang diharapkan, Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan perbankan yang dinilai oleh masyarakat masih kurang, Pengawasan bank yang masih perlu ditingkatkan, Perlindungan nasabah yang masih harus ditingkatkan
 
Sebagai lembaga intermediasi antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana, diperlukan bank dengan kinerja keuangan yang sehat, sehingga fungsi intermediasi dapat berjalan lancar. Tingkat kesehatan bank dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah satu sumber utama indikator yang dijadikan dasar penilaian adalah laporan keuangan bank yang bersangkutan. Berdasarkan laporan itu akan dapat dihitung sejumlah rasio keuangan yang lazim dijadikan dasar penilaian tingkat kesehatan bank, penilaian tingkat kesehatan bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas asset, manajemen, rentabilas dan likuiditas.
 
Bank Indonesia telah menetapkan berbagai upaya untuk penyehatan dan penguatan industri perbankan Indonesia melalui kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dimulai wacananya pada awal Januari XXXX dimana salah satu syarat modal minimum bagi bank umum menjadi Rp. 100 miliar selambat-lambatnya pada tahun 2011.
 
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
 
Arsitektur Perbankan Indonesia menjadi kebutuhan yang mendesak bagi perbankan Indonesia dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan. Sebelum munculnya Arsitektur Perbankan Indonesia cukup banyak pertanyaan yang muncul mengenai struktur perbankan Indonesia kedepan, bagaimana peningkatan pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah beserta penguatan kelembagaan BPR, disamping itu belum memadainya infrastruktur pendukung perbankan serta masalah perlindungan nasabah yang belum cukup terakomodasi juga menjadi permasalahan yang mendapatkan perhatian besar dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan industri perbankan.
 
Secara ideal sebenarnya kita menginginkan bank-bank yang ada sekarang memiliki kinerja dan tingkat kesehatan yang baik terlepas dari persoalan apakah jumlahnya sedikit atau banyak. Jadi masalah kualitas, quality does matter, seharusnya menjadi tolok ukur yang fundamental, bukan jumlahnya. Oleh karena itu, struktur pebankan nasional ke depan yang perlu diakomodir oleh API adalah struktur perbankan yang mampu menciptakan bank-bank yang sehat dan prudent. Sebagai gambaran jumlah bank sebelum krisis pada tahun 1997 mencapai 222 bank (tidak termasuk BPR), pada akhirnya mengalami penyusutan sesuai dengan mekanisme pasar dan terakhir mencapai 130 bank dengan jumlah kantor bank mencapai 9.110 pada bulan Desember XXXX. Pada bulan Desember XXXX jumlah asset perbankan nasional sebesar 1,693.50 triliun rupiah, jumlah modal sebesar 134.50 triliun rupiah.
 
Kegiatan bisnis perbankan dapat dikatakan berhasil apabila bank dapat mencapai sasaran bisnis yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun sasaran-sasaran bisnis perbankan antara lain menjaga keamanan dana masyarakat yang dititipkan kepada mereka, perkembangan usaha yang baik serta mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap perkembangan ekonomi nasional. Hal tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan baik apabila bank mampu meningkatkan kinerjanya. Rasio kecukupan modal, likuiditas, dan rentabilitas adalah tolak ukur yang sering digunakan dalam pengukuran kinerja bank.
 
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (XXXX) Adapun Kriteria yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) adalah 1) Rasio kecukupan modal (CAR) minimum 12% dengan rasio modal inti minimum 6%, 2) Rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%, 3) Pertumbuhan kredit riil sedikitnya 22% dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) sedikitnya 50% dan rasio kredit bermasalah (NPL) dibawah 5%, 4) Merupakan perusahaan publik atau berencana dalam waktu dekat menjadi perusahaan publik dan 5) Memiliki kemampuan menjadi konsolidator. (Agus Sugiarto, XXXX) Rasio BOPO untuk industri perbankan nasional telah mencapai 91.5% sehingga lebih efisien dibandingkan dengan bank-bank yang memiliki modal kecil.
 
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut diketahui untuk menilai apakah kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia melalui Arsitektur Perbankan Indonesia sudah berjalan dengan baik maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil topik ini untuk dijadikan bahan penulisan dengan judul “KINERJA KEUANGAN PERBANKAN SEBELUM DENGAN SESUDAH IMPLEMENTASI ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA”.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu apakah ada perbedaan tingkat kinerja perbankan di Indonesia sebelum API dan sesudah API berdasarkan tolak ukur yang sering digunakan dalam pengukuran kinerja bank yaitu rasio kecukupan modal, likuiditas, dan rentabilitas.

1.3 BATASAN MASALAH
Dengan keterbatasan yang ada penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang mendekati mengenai perbandingan antara tingkat kinerja perbankan di Indonesia sebelum API dan sesudah API. Periode Laporan keuangan yang dikumpulkan adalah selama 5 tahun, yaitu 3 tahun sebelum API dan 2 tahun sesudah API.
Disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi kinerja sebuah bank, maka penulis menggunakan rasio-rasio sebagai berikut :
1. Likuiditas bank diukur dengan menggunakan rumus Loan to Deposit Ratio (LDR).
2. Profitabilitas bank diukur dengan menggunakan rumus rasio biaya operasional (BOPO), Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE).
3. Solvabilitas bank diukur dengan menggunakan rumus Capital Adequacy Ratio (CAR).

1.4 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami dan menegenali perbedaan tingkat kinerja usaha perbankan di Indonesia dengan melihat apakah terdapat perbedaan kinerja perbankan pada sebelum Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan dibandingkan dengan keadaan kinerja perbankan pada sesudah Implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

1.5 MANFAAT PENELITIAN
Dalam dunia akademis penelitian ini dapat menambah referensi untuk penelitian sejenis dan dapat menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana kinerja perbankan di Indonesia dengan membandingan kinerja perbankan sebelum API dengan kinerja perbankan setelah API.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:07:00

PEMBERLAKUAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 33 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.

Desentralisasi melahirkan otonomi daerah yang bertujuan untuk memaksimalkan pelayanan dan lebih mendekatkan fungsi pemerintahan kepada masyarakat. Kebijakan otonomi daerah yang dirancangkan pemerintah pusat tangal 1 januari 2001 menciptakan terbentuknya pemerintah daerah otonom di Indonesia yang diharapkan mampu meningkatkan percepatan pembangunan dalam usaha pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur. Sebagaimana yang telah dikemukan oleh Bratakusumah dan Solihin (2004) :

"Bahwa setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan saran serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Untuk itu sangat dibutukan regulasi dalam manajemen keuangan pemerintah yang profesional".

Dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 nuansa akuntansi mulai diperkenalkan dalam sistem manajemen keuangan daerah. Secara beruntun, pemerintah dalam rangka reformasi manajemen keuangan daerah mengeluarkan PP.No 105 Tahun 2005 Tentang Pengolahan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah sekaligus memberlakukan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan Pendekatan Kinerja.

Melalui PP.No 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No.29 Tahun 2002 yang sekarang telah diganti menjadi Permendagri No. 13 tahun 2006, Pemerintah melakukan perubahan-perubahan besar. Perubahan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan mendasar dalam PP No. 105 tahun 2000 terutama dalam sistem penganggaran dari sistem tradisional menjadi sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budget) yang diikuti perubahan dalam bentuk dan struktur APBD. Selain itu, laporan Pertanggungjawaban kepala daerah yang dahulunya menggunakan instrumen tunggal yaitu nota perhitungan APBD diubah menjadi laporan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan keuangan daerah yang terdiri dari empat instrumen, yaitu neraca, laporan arus kas, laporan perhitungan APBD dan nota Perhitungan APBD.

Perubahan juga dapat dilihat pada Anggaran Rutin Pembangunan Pemerintahan daerah Kabupaten X sebelum dan sesudah menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja pada tahun 2001 (sebelum) dan 2003 (sesudah) yang tersaji pada tabel 1.2 sebagai berikut:

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah itu sendiri dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumbersumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan masyarakat di daerah. Konsep kinerja pemerintah daerah yang merupakan otonom daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik (good governance).

Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lahirlah tiga paket perundang-undangan, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang telah membuat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan, khususnya Perencanaan dan Anggaran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Kemudian, saat ini keluar peraturan bam yaitu PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang akan menggantikan Kepmendagri nomor 29 tahun 2002.

Dalam reformasi anggaran tersebut, proses penyusunan APBD diharapkan menjadi lebih partisipatif. Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pasal 17 ayat 2, yaitu dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada rencana strategis daerah dan dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasioanal dibidang keuangan daerah. Selain itu sejalan dengan yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang perimbangan keuangan negara akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya oleh masyarakat.

Undang-undang Nomor 17 menetapkan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini perlu perlu dibangun suatu sistem yang dapat menyediakan data dan informasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Adapun kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik, tetapi dalam mengimplementasikan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 tersebut masih banyak pemerintah daerah yang mengalami kesulitan karena kurangnya pelatihan dan pendampingan dari pemerintah pusat. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa belanja aparatur lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Rencananya tahun depan Permendagri 13/2006 sudah akan mulai efektif dilaksanakan.

Peneliti memilih judul pemerintahan daerah kabupaten X sebagai Objek penelitian karena telah diterapkannya sistem anggaran berbasis kinerja di pemerintah ini. Sistem ini hendaknya semakin baik hingga dapat sejalan dengan peningkatan kinerja pemerintahan. Tetapi masih terdapat pertentangan tujuan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja. Anggaran yang disusun sangat erat kaitannya dengan publik (masyarakat). Pemerintahan daerah dituntut untuk mampu mengelolah keuangannya dengan prinsip pengukuran kinerja (value for money). Hal ini penting untuk dievaluasi mengingat sudah banyaknya peraturan tertulis yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat sampai pada kebijakan pemerintah daerah itu sendiri. Realisasi dari anggaran berbasis kinerja diharapkan mampu menghilangkan pandangan negatif masyarakat mengenai kinerja pemerintahan daerah. Kondisi ini menarik bagi peneliti untuk mencari tahu Apakah Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Berpengaruh Terhadap peningkatan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:27:00

DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA LANGSUNG

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa lepas dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Otonomi daerah adalah hasil dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi. Hal ini harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratisasi, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik

Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang secara demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintahan yang sesungguhnya. Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah (Pramela, 2009).

Otonomi daerah yang diberikan kepada daerah merupakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Soekarwo, 2003:93). Dalam pelaksanaan otonomi tersebut pemerintah daerah harus memiliki wewenang dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, serta didukung oleh perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah. Dalam konteks desentralisasi, daerah provinsi memiliki wewenang sebagaimana pemerintah pusat. Wewenang tersebut antara lain adalah melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota dan keputusan kepala daerah.

Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru terhadap anggaran daerah yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan umum, yang dikelola dengan berdaya guna dan berhasil guna serta mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Lingkungan anggaran menjadi relevan dan penting di lingkungan pemerintah daerah karena hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap kinerja pemerintah yaitu sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan penelitian di bidang anggaran pada pemerintah daerah menjadi relevan dan penting.

Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan pelayanan di berbagai sektor terutama sektor publik dalam era desentralisasi fiskal. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila upaya serius dari pemerintah untuk memberikan fasilitas pendukung (investasi). Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini, dalam hal ini erat kaitannya dengan belanja langsung. Desentralisasi fiskal di satu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan bam, dikarenakan tingkat kesiapan fisakal daerah yang berbeda-beda.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian dari Dana Bagi Hasil (DBH) yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Di samping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan Iain-lain pendapatan. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Seharusnya dana transfer dari pemerintah pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel. Pemerintah dalam perkembangannya memberikan dana perimbangan untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar. Salah satu komponen dana perimbangan tersebut adalah dana alokasi umum.

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, adanya konsekuensi penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.

Pendapatan Asli Daerah merupakan cermin kemandirian suatu daerah dan penerimaan murni daerah yang merupakan modal utama bagi daerah dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Dalam menjalankan otonomi daerah kabupaten/kota di X dituntut untuk mampu meningkatkan PAD yang merupakan tolak ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah.

Hampir semua provinsi dan kabupaten dan kota di Indonesia memiliki masalah ketimpangan fiskal. Provinsi X yang terdiri atas 19 kabupaten/kota merupakan salah satu provinsi yang memiliki masalah ketimpangan fiskal dalam sumber pendanaan dari PAD pada beberapa kabupaten dan kota. Ketimpangan fiskal dalam hal ini daerah tidak mampu mencukupkan belanja dan biaya daerah melalui sumber pendanaan asli daerah secara murni. Dengan demikian, tingkat ketergantungan pemerintah daerah cukup tinggi terhadap pemerintah pusat.

Fenomena utama dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar kontribusi DAU dan PAD terhadap Belanja Langsung. Total DAU dan PAD di provinsi X terus meningkat dari tahun ke tahun dan bersamaan dengan itu terjadi pula peningkatan belanja langsung.

* tabel sengaja tidak ditampilkan

Melihat semakin meningkatnya jumlah DAU dan PAD dari tahun ke tahun yang diiringi dengan peningkatan belanja langsung yang ada di provinsi X maka penulis ingin melihat apakah peningkatan DAU dan PAD tersebut berpengaruh terhadap peningkatan belanja langsung.

Terkait dengan hal ini, Sihite (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai pengaruh terhadap belanja langsung dengan sampel pemerintahan kab/kota di X. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa secara parsial DAK, PAD dan DBH masing-masing berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan ketiga variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara bersama-sama. Penelitian terdahulu memiliki keterbatasan dimana penggunaan sampel penelitian hanya terbatas pada kab/kota di X. Oleh karena keterbatasan penelitian terdahulu tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian replikasi dengan mengambil sampel pada pemerintahan kab/kota di X.

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk membuat suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul "Pengaruh Dana Alokasi Umum Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota Di X."

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:26:00

DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TERHADAP UPAYA PAJAK DAERAH

Pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (dalam perkembangannya kedua regulasi ini diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004) menjadi babak baru terkait dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah (kabupaten dan kota) diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Peningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya di indikasikan dengan meningkatnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah adanya disparitas (kesenjangan) fiskal antar daerah.

Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat memberikan bantuan (transfer) kepada pemerintah daerah, salah satunya pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang kecil. Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak (misal : membayar pajak atau retribusi). Kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi.

Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa dalam perkembangannya daerah tidak menunjukkan adanya peningkatan kemandiran. Penelitian Susilo dan Adi (2007), serta Setiaji dan Adi (2007) memberikan fakta empirik tidak adanya peningkatan kontribusi {share) PAD terhadap belanja daerah. Daerah justru lebih mengandalkan sumber pendanaan lain dalam pembiayaan. Abdullah dan Halim (2003) memberikan bukti bahwa DAU mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap belanja daerah daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah. Daerah cenderung mempertahankan penerimaan DAU dikarenakan jumlahnya yang sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan sendiri. Adi (2007) memberikan indikasi kurang seriusnya daerah dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki, lebih mengandalkan penerimaan DAU yang bersifat hibah. Bisa jadi sebagai pertimbangan praktis upaya ini lebih dipilih daripada meningkatkan PAD secara signifikan, namun disisi lain sebagai konsekuensinya DAU yang diterima menjadi lebih kecil. Dengan kata lain pemberian DAU ini justru memberikan dampak negatif terhadap peningkatan upaya pajak (tax effort) daerah. Pemberian DAU yang semula bertujuan untuk mengurangi disparitas horizontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah untuk mengupayakan peningkatan kapasitas fiskal. Upaya pajak menjadi lebih rendah, harapan adanya peningkatan kemandirian daerah justru menjadi semakin jauh.

Demikian juga dengan kondisi pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi X, belum ada satupun pemerintah daerah yang mampu untuk mengelola keuangan daerahnya tanpa bantuan pemerintahan diatasnya, ditandai dengan besarnya penerimaan daerah yang bersumber dari transfer pemerintah pusat. Contoh kasus seperti di Kabupaten Y tahun 2005 memperoleh Dana Alokasi Umum sebesar Rp 188.714.000.000, Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 8.000.000.000, upaya pajaknya sebesar 0.921964456. Pada tahun 2006 jumlah DAU sebesar Rp 303.501.000.000, DAK sebesar Rp 32.378.383.000, upaya pajaknya sebesar Rp 0.716681908. Tahun 2007 jumlah DAU yang diterima sebesar Rp 344.516.000.000, DAK sebesar Rp 39.038.000, upaya pajaknya sebesar Rp 0.473153896. Upaya pajak dapat dihitung dengan membandingkan realisasi anggaran PAD dan Anggaran PAD. Berdasarkan contoh kasus diatas terlihat penerimaan DAU dan DAK dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tetapi disisi lain tidak diikuti oleh peningkatan upaya pajak. Hal ini tidak sesuai dengan harapan bahwa pemberian DAU untuk mengatasi disparitas fiskal horizontal. Daerah cenderung bergantung pada DAU yang jumlahnya sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerahnya. Kenyataannya, belum semua pemerintah daerah mampu mengalokasikan sumber penerimaan ini sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan kemampuan daerah dalam mengembangkan wilayahnya melalui peningkatan pembangunan dan investasi. Pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah pada akhirnya tidak menjadi lebih mandiri, bahkan semakin bergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:25:00

GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN YANG TERMASUK KELOMPOK SEPULUH BESAR MENURUT CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX (CGPI)

(KODE : EKONAKUN-0070) : SKRIPSI PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN YANG TERMASUK KELOMPOK SEPULUH BESAR MENURUT CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX (CGPI)


Salah satu tujuan penting pendirian suatu perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, atau memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Peningkatan nilai perusahaan tersebut dapat dicapai jika perusahaan mampu beroperasi dengan mencapai laba yang ditargetkan. Melalui laba yang diperoleh tersebut perusahaan akan mampu memberikan dividen kepada pemegang saham, meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Hambatan-hambatan yang dihadapi perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan tersebut pada umumnya berkisar pada hal-hal yang sifatnya fundamental yaitu : (1) Perlunya kemampuan perusahaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien, yang mencakup seluruh bidang aktivitas (sumber daya manusia, akuntansi, manajemen, pemasaran dan produksi), (2) Konsistensi terhadap sistem pemisahan antara manajemen dan pemegang saham, sehingga secara praktis perusahaan mampu meminimalkan konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara manajemen dan pemegang saham dan (3) Perlunya kemampuan perusahaan untuk menciptakan kepercayaan pada penyandang dana ekstern, bahwa dana ekstern tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, maka perusahaan perlu memiliki suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, yang mampu memberikan perlindungan efektif kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan dirinya akan memperoleh keuntungan investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi, selain itu juga harus dapat menjamin terpenuhinya kepentingan karyawan serta perusahaan itu sendiri.

Kondisi yang dihadapi perusahaan-perusahaan publik di Indonesia masih lemah dalam mengelola perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh masih lemahnya standar-standar akuntansi dan regulasi, pertanggungjawaban terhadap para pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengumsan perusahaan. Kenyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan masih lemahnya perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dalam menjalankan manajemen yang baik dalam memuaskan stakeholders perusahaan.

Dalam upaya mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, maka para pelaku bisnis di Indonesia menyepakati penerapan good corporate governance (GCG) suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, hal ini sesuai dengan penandatanganan perjanjian Letter of intent (LOI) dengan IMF tahun 1998, yang salah satu isinya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan di Indonesia (Sri Sulistyanto, 2003). Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah GCG kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut juga ditempatkan di posisi terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua keyakinan.

Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global-terutama bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka. Kedua, krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, sistem regulatory yang payah, standar akuntansi dan audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas.

Pada tahun 2001, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menerbitkan pedoman GCG. Pedoman ini bertujuan agar dunia bisnis memiliki acuan dasar mengenai konsep serta pola pelaksanaan GCG yang sesuai dengan pola internasional umumnya dan Indonesia khususnya. Melalui penerapan GCG tersebut diharapkan: (1) perusahaan mampu meningkatkan kinerjanya melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta mampu meningkatkan pelayanannya kepada stakeholders, (2) perusahaan lebih mudah memperoleh dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value, (3) mampu meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.

Melihat akan harapan tersebut, maka kebutuhan akan pelaksanaan GCG sudah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi suatu perusahaan. Sehingga menjadi keharusan bagi perusahaan-perusahaan untuk menerapkan dan melaksanakan GCG agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Manfaat perusahaan menerapkan praktek GCG adalah resources yang dimiliki pemegang saham perusahaan dapat dikelola dengan baik, efisien dan digunakan semata-mata untuk kepentingan peningkatan nilai perusahaan. Semua itu dilakukan perusahaan untuk dapat maju dan bersaing secara sehat. Hal ini berarti bahwa GCG tidak saja berakibat positif terhadap pemegang saham namun bagi masyarakat luas yang berupa pertumbuhan perekonomian nasional.

Beberapa bukti empiris yang menunjukkan bahwa penerapan GCG dapat memperbaiki kinerja perusahaan antara lain: (1) Penelitian yang dilakukan oleh Winda Putri (2006) terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ menunjukkan corporate governance secara statistik mempengaruhi kinerja perusahaan, (2) Penelitian yang dilakukan oleh Yudha Pranata (2007) terhadap perusahaan go public di BEJ yang termasuk dalam kelompok sepuluh besar perusahaan berdasarkan indeks GCG menunjukkan bahwa penerapan GCG secara signifikan dapat meningkatkan return on equity, net profit margin dan Tobin's Q, (3) Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan Frediawan (2008) terhadap PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Persero) menunjukkan bahwa penerapan GCG yang dilakukan perusahaan tersebut mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan yang dapat dilihat dari meningkatnya rasio return on asset. Namun ada penelitian lain yang dilakukan oleh Irene Dumasi Siahaan (2008) terhadap sepuluh perusahaan sektor keuangan yang listing di BEI menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara penerapan GCG terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan economic value added.

Mengacu pada hasil-hasil penelitian empiris yang telah dilakukan, walaupun ada ketidakkonsistenan tampak bahwa bukti empiris tersebut menunjukkan betapa pentingnya penerapan GCG dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan. Dalam kaitan ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai "Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Yang Termasuk Kelompok Sepuluh Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI)". Kinerja keuangan perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan return on investment, return on equity dan net profit margin.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:24:00

SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN

Pengadaan dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar negeri. Dalam peningkatan dana dalam negeri, pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah perpajakan di Indonesia

Ditengah kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi yang mana hal ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi di Amerika Serikat yang berdampak terhadap terciptanya krisis ekonomi global yang makin memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Berfluktuasinya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, serta turunnya daya beli masyarakat telah menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Kenyataanya ditengah situasi ekonomi Indonesia dewasa ini yang tidak stabil, pembangunan tetap harus berjalan dan permasalahan-permasalahan baik di bidang ekonomi ataupun di bidang lain harus segera diatasi dengan cepat dan tepat demi terciptanya kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada, pemerintah harus mengupayakan semua potensi penerimaan yang ada. Pada saat ini tengah digali berbagai macam potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan analisis para praktisi ekonomi yang menyatakan bahwa mengandalkan pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber penerimaan negara hanya akan menjadi bumerang dikemudian hari, potensi penerimaan dari pinjaman luar negeri akan semakin dikurangi.

Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia akan bemsaha untuk lebih meningkatkan potensi penerimaan negara dari dalam negeri, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara. Menumt APBN sumber pendapatan terbanyak didapat dari sektor perpajakan meskipun masih banyak sektor lain seperti minyak dan gas bumi, serta bantuan luar negeri. Hal ini bisa dibuktikan saat negara kita dilanda krisis berkepanjangan sampai saat inipun masih diragukan apakah negara kita bisa menumbuhkan keadaan perekonomian, sektor pajak masih tetap memiliki nilai besar bahkan mengalami kenaikan serta menembus sampai pada prosentase terbesar dari sektor non migas sementara sektor non migas cendemng mengalami penumnan dan juga bantuan luar negeri yang bunganya bisa membesar seiring fluktuasi mata uang dolar terhadap mpiah. Diharapkan pemasukan dari pajak terns dinaikkan salah satunya dengan mengadakan kebijakan-kebijakan bam seperti ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan cara meningkatkan jumlah pajak dan obyek pajak baru sedangkan intensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan berorientasi pada peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak, suatu misal dengan cara pengadaan penyuluhan langsung pada masyarakat, sunset policy, dan sebagainya.

Wilayah X khususnya ibukota Y memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkatkan penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan. Y sebagai salah satu kota besar di Indonesia menyumbangkan lebih kurang 100 miliar setiap tahunnya dari sektor perpajakan saja. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta berkembangnya perekonomian di kota Y, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi penerimaan negara.

Pajak merupakan iuran wajib yang diberlakukan pada setiap wajib pajak atas obyek pajak yang dimilikinya dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Penerimaan dari sektor pajak terbagi menjadi dua golongan, yaitu dari pajak langsung contohnya pajak penghasilan dan dari pajak tidak langsung contohnya pajak pertambahan nilai, bea materai, bea balik nama.

Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut pada obyek pajak atas penghasilannya. Pajak penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha yang memperoleh penghasilan di Indonesia. Undang-undang yang dipakai untuk mengatur besarnya tarif pajak, tata cara pembayaran dan pelaporan pajak penghasilan adalah Undang-undang No. 36 Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan bagi Undang-undang No. 17 tahun 2000. Undang-undang pajak penghasilan telah menetapkan sistem pemungutan pajak penghasilan secara self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang. Dengan sistem ini pemerintah berharap agar pelaksanaan pemungutan pajak penghasilan dapat berjalan dengan lebih mudah dan lancar.

KPP Pratama X adalah salah satu Kantor Pelayanan Pajak yang telah melaksanakan sistem adminisrasi, pelayanan, maupun situasi kerja yang baik dan memiliki wilayah kerja yang luas meliputi beberapa kecamatan. Berdasarkan berbagai kondisi yang ada, tampaknya wilayah X mempunyai potensi yang cukup bagus untuk meningkatkan penerimaan pajak sesuai dengan target penerimaan yang ingin dicapai, oleh karena itu keberadaan KPP di X sangatlah penting untuk dapat meyerap semua potensi penerimaan pajak yang ada.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:22:00

SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP DANA ALOKASI UMUM (DAU)

Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan pemerintahan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya Indonesia menganut sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik yang ternyata hanya menimbulkan ketidakadilan di seluruh daerah, sejak tahun 1999 diubah menjadi desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era otonomi daerah. Ketika otonomi daerah mulai digulirkan, harapan yang muncul adalah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing karena daerah diberikan kebebasan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Selain itu daerah juga diberikan sumber-sumber pembiayaan kewenangan yang sebelumnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat di era Orde Baru. Kemandirian daerah tersebut dimanifestasikan lewat Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar dan kuat.

Sesuai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ditetapkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2. Dana Perimbangan
3. Pinjaman Daerah
4. Lain-lain Penerimaan yang Sah

Gambaran citra kemandirian daerah dalam berotonomi daerah dapat diketahui melalui seberapa besar kemampuan sumber daya keuangan daerah tersebut agar mampu membangun daerahnya, disamping mampu pula untuk bersaing secara sehat dengan daerah lain dalam mencapai cita-cita otonomi daerah. Untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dapat dilakukan degan membandingkan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanj a Daerah (APBD).
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD, dan Lain-lain PAD yang Sah. Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam upaya meningkatkan PAD, dibutuhkan suatu struktur industri yang mantap beserta objek pajak dan retribusi yang taat. Sementara Dana Alokasi Umum (DAU) dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat sebaliknya hanya bersifat suplemen bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah.

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Menurut data tabel 1.1 diatas terlihat bahwa Pajak Daerah selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan, namun pada tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada pos Retribusi Daerah tahun 2001 dan 2002 mengalami peningkatan namun menurun pada tahun 2003, kemudian meningkat lagi pada tahun 2004 dan 2005, setelah itu menurun lagi pada tahun 2006. Pada pos Bagian Laba BUMD dari tahun 2001 hingga 2002 mengalami peningkatan namun menurun pada tahun 2003, kemudian meningkat lagi di tahun-tahun berikutnya terutama pada tahun 2006 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Sementara pada pos PAD Lain-lain yang Sah meningkat hingga tahun 2003 kemudian pada tahun 2004 dan 2005 terus mengalami penurunan, lalu pada tahun 2006 meningkat lagi. Sedangkan untuk PAD sendiri secara total di tahun 2004 terjadi penurunan yang mencapai 20,82% namun pada tahun 2005 dan 2006 kembali mengalami peningkatan sebesar 21,73% dan 7,77%.

Tabel 1.3 menunjukkan bahwa DAU yang berasal dari pemerintah pusat setiap tahunnya menunjukkan peningkatan, walaupun pada tahun 2003-2004 tidak mengalami perubahan atau dengan kata lain nilainya tetap. Tentunya hal ini tidak diinginkan sebab DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat lainnya sebaiknya hanya bersifat suplemen bagi Pemerintah Daerah X. Oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk mengurangi ketergantungan aliran dana yang diperoleh dari pemerintah pusat maka daerah harus mampu menggali sumber-sumber potensial yang berasal dari daerahnya sendiri melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ironisnya terjadi ketidakstabilan laju pertumbuhan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah pada Pemerintahan Kota X. Hal ini tentunya tidak diinginkan mengingat salah satu ukuran kemandirian suatu daerah di daerah otonomi adalah ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:21:00

PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI ATAS PELAKSANAAN SELF ASSESSMENT SYSTEM

Pemerintah memiliki peranan penting dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Pemerintah harus melakukan pengendalian terhadap kondisi yang tengah terjadi dan mengevaluasinya kemudian merancang suatu aturan untuk membuat perekonomian menjadi lebih baik. Dalam melaksanakan kegiatannya, negara memerlukan adanya aliran dana untuk menjalankan roda pemerintahan. Dana yang telah diperoleh dari beberapa sektor penerimaan APBN akan digunakan untuk keberlangsungan/pengeluaran negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sektor pendapatan terbesar dalam pos APBN berasal dari penerimaan pajak yang masih potensial untuk terus ditingkatkan penerimaannya. Pajak sendiri berfungsi sebagai alat untuk mengisi kas negara (budgetair) dan sebagai alat pemerintah untuk mengatur rakyatnya melalui kebijakan fiskal yang ditetapkan (regulerend). Menurut Sakli Anggoro, Dirjen Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo) dan Maluku Utara menyebutkan bahwa pajak masih menjadi urat nadi pembangunan di Indonesia. Sebab, sebanyak 75 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih berasal dari penerimaan sektor pajak (radarsulteng.com, 4 Februari 2010). Hal ini menunjukkan dominannya penerimaan APBN dari sektor pajak guna pembiayaan negara. Sehingga, penerimaan pajak yang optimal akan menyebabkan keberlangsungan negara berjalan dengan baik. Pemerintah harus memiliki manajemen yang baik dalam mengelola sumber dana yang telah diperoleh dari sektor pajak agar penggunaanya berjalan efektif dan efisien sehingga tidak terjadi penyalahgunaan.

Upaya untuk mendapatkan penerimaan pajak yang optimal dengan sistem pemungutan pajak secara Self Assessment, tidak hanya mengandalkan pemerintah tapi juga diperlukan sikap bijak dari para wajib pajak, yaitu kesadaran dan kepatuhan diri terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Dengan begitu pelaksanaan Self Assessment System dapat berjalan dengan baik. Beberapa kasus mengungkapkan kejadian penyelundupan pajak/tax evasion, yaitu Direktorat Jenderal Pajak menemukan dugaan kekurangan pembayaran pajak pada 2007 oleh ketiga perusahaan batu bara Grup Bakrie, yaitu PT Bumi Resources Tbk., PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia. Pemeriksaan bukti permulaan (setara dengan penyelidikan di kepolisian dan KPK) atas Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak tahun itu menunjukkan ada indikasi kesalahan data, sehingga mengakibatkan kekurangan sekitar Rp 2,1 triliun (Tempo, 12 Desember 2009). Kasus penyelundupan pajak tersebut dilakukan dengan melakukan manipulasi data pada Surat Pemberitahuan Pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak. Hal serupa terjadi juga pada PT Asian Agri Grup. Dari hasil penyidikan Ditjen Pajak, PT Asian Agri Grup disebutkan telah memanipulasi isi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak selama tiga tahun sejak 2002. Perusahaan ini menggelembungkan biaya, memperbesar kerugian transaksi ekspor dan menciutkan hasil penjualan dengan total Rp 2,6 triliun (BBCInonesia.com, 8 November 2007).

Selain kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan di atas, Direktorat Jenderal Pajak juga menyidik 46 kasus dugaan penggelapan pajak lainnya pada tahun 2008. Perkiraan kerugian negara akibat penggelapan itu sekitar Rp 325 miliar. Menurut Kepala Subdirektorat Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane, jumlah kerugian negara digabungkan dengan dugaan penggelapan pajak Asian Agri mencapai Rp 1,625 triliun (pajak.com, 12 Mei 2008).

Badan Pemeriksa Keuangan mencurigai aparat pajak bermain dalam dugaan kasus manipulasi pajak Asian Agri. Ketua BPK Anwar Nasution mempertanyakan lamanya pemeriksaan pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak terhadap Sukanto Tanoto (pajak.com, 23 Januari 2008).

Fenomena ketidakpatuhan lainnya adalah dengan melaporkan sebagian laporan keuangan perusahaan. Kejadian ini terjadi pada PT Tiara Dewata Group (TDG) yang diduga telah menggelapkan pajak hingga lebih dari Rp23 miliar mulai 2005 sampai 2006 dengan modus membuat pembukuan ganda. Teguh Harianto (ahli perhitungan kerugian negara) mengaku pernah melakukan penghitungan pajak untuk tahun 2005 dan 2006 di PT Karya Luhur Permai sebagai wajib pajak (WP). Dari hasil perhitungan tersebut, ditemukan pajak yang belum dibayarkan wajib pajak meliputi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). Dari dua pembukuan itu, hanya pembukuan tipe A yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak (SPT), sedang pembukuan tipe B tidak dilaporkan. Menurutnya, pembukuan tipe A dan tipe B tersebut tidak sesuai prosedur perpajakan. Mestinya semua pembukuan dilaporkan dalam SPT. Sehingga dengan tidak dilaporkannya omset dalam PPh maka secara otomatis akan mempengaruhi PPN (antaranews.com, 2 Desember 2009).

Beberapa penyelundupan pajak yang telah penulis sebutkan hanya yang terjadi di perusahaan dan itu merupakan kehendak petinggi perusahaan yang secara umum akan mewakili badan yang menaunginya berusaha. Namun ada juga penggelapan pajak yang memang tidak dilakukan secara sengaja oleh badannya tetapi dilakukan oleh pekerja yang mengurusi bagian pajak atau juga yang dilakukan oleh aparat pajak itu sendiri. Berikut adalah beberapa kasus penyelundupan pajak yang tidak dilakukan oleh badan usahanya. Penggelapan pajak tunjangan kesejahteraan bagi para guru di Dikdas dan Dikmenti Jakarta Selatan pada Januari 2009 yang dilakukan oleh lima pejabat di Dinas Pendidikan Jakarta Selatan. Mereka diduga telah menggelapkan uang pajak sebesar Rp 23 Miliar, namun setelah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), uang hasil korupsi gotong royong itu mencapai Rp 34 miliar. Kasus ini mencuat ketika dinas pajak menagih pajak tunjangan kesra guru ke Dikdas Jaksel. Dinas Jaksel kemudian menunjukkan bukti setoran pajak yang ternyata palsu (detik.com, 29 April 2009). Selain itu juga Direktorat Jenderal Pajak mensinyalir terdapat banyak bendaharawan pemerintah dan bendaharawan perusahaan yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipungutnya dari wajib pajak (WP) ke kas negara (pajak.com, 25 Mei 2009).

Korupsi yang sistematis dan ketidakmampuan sistem pajak dalam mengontrol jumlah alkohol yang dibutuhkan masyarakat di dalam negeri membuat negara kehilangan potensi penerimaan dari pajak atas impor minuman beralkohol senilai Rp 1,538 triliun. Angka ini 24 kali lebih besar dari Rp 62 miliar penerimaan pajak riil atas impor minuman beralkohol tahun 2008. Dalam laporan itu disebutkan, PT Sarinah sebagai agen tunggal pengimpor minuman beralkohol melaporkan bahwa tidak ada pajak atas impor minuman beralkohol untuk kas negara tahun 2007. Pada tahun 2008, penerimaan dari pajak tersebut hanya Rp 62 miliar, padahal penerimaan potensial dari pajak atas impor minuman beralkohol bisa mencapai Rp 1,6 triliun (kompas.com, 20 April 2009).

Sementara itu, fenomena yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X umumnya tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di bebarapa wilayah lain di Indonesia seperti masih adanya potensi wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri, adanya wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikannya dengan tidak benar, tidak menyetorkan pajak yang seharusnya maupun usaha untuk melakukan konspirasi dengan petugas pajak.

Sedangkan menurut penuturan salah seorang petugas pajak di bagian Seksi Pengawasan dan Konsultasi, upaya penggelapan pajak pernah terjadi melalui permohonan penghapusan NPWP dengan alasan wajib pajak telah meninggal maupun pindah alamat. Namun setelah ditelusuri ternyata wajib pajak masih hidup dan ada juga orang yang pindah alamat tersebut ternyata tidak mendaftarkan diri di tempat tinggal yang baru.

Hal utama yang melatarbelakangi adanya tindakan penyelundupan pajak seperti beberapa kejadian di atas adalah kebutuhan dasar manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Merasa telah bersusah payah untuk memperoleh pendapatan tetapi dengan begitu saja dipungut pajak oleh negara, ini membuat wajib pajak berpikir untuk menggelapkan pajak. Beberapa alasan lain yang membuat wajib pajak berusaha menyelundupkan pajak antara lain kondisi lingkungan yang tidak patuh pajak, pelayanan fiskus yang mengecewakan, tarif pajak yang dianggap terlalu tinggi, dan sistem administrasi perpajakan yang buruk (Siti Kurnia Rahayu, 2010:140-142).

Adanya tindakan penyelundupan pajak yang terjadi akan membuat negara mengalami kerugian yang sangat besar. Banyak sektor pengeluaran negara yang tentunya mengalami hambatan akibat tidak tersedianya dana yang siap digunakan.

Penyelundupan pajak harus sesegera mungkin diatasi untuk mencegah makin menjamurnya tindakan Tax Evasion. Salah satunya adalah dengan perbaikan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak harus lebih ditingkatkan untuk menaikkan penerimaan pajak yang belum terserap maksimal karena sistem perpajakan yang belum berlangsung secara optimal. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia yaitu Self Assessment System dan With Holding Tax System. Self Assessment System memberikan kepercayaan sepenuhnya pada wajib pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan utang pajaknya sendiri, kemudian melaporkan pembayaran dan penghitungan pajak yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (Siti Kurnia Rahayu, 2010:102). Pelaksanaan Self Assessment System di Indonesia masih banyak menimbulkan masalah mulai dari pendaftaran NPWP hingga pelaporan SPT. Fenomena yang terjadi yaitu Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak tampaknya harus lebih rajin menjelaskan tentang Sunset Policy kepada para Wajib Pajak pribadi maupun badan. Sebab, saat ini masih banyak wajib pajak yang enggan membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memperbaiki data Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) (pajakonline.com, 26 Agustus 2008). Kemudian sulitnya menghitung pajak, merupakan salah satu yang sering dikeluhkan masyarakat bila berhubungan dengan kantor pajak. Bukan hanya wajib pajak (WP) orang pribadi, wajib pajak badan juga mengalami hal yang sama (akuntansiumkm.wordpress.com, 18 February 2010).

Fenomena lain yang memberikan persepsi sulitnya pemenuhan Self Assessment System yaitu tanggapan wajib pajak mengenai pelaporan pajak. Pertama, wajib pajak sendiri harus isi beberapa berkas surat lapor pajak. Yang mungkin bagi pelapor pajak baru membingungkan. Karena pemerintah tidak menyediakan orang yang memadai untuk menjelaskan cara pengisian tersebut, yang paling mudah adalah meminta jasa konsultan pajak. Kedua, harus mengantri untuk menyetorkan pajak. Bank penerima pajak masih terbatas pada bank-bank tertentu, sehingga menimbulkan antrian yang panjang. Ketiga, keterlambatan membayar pajak dikenakan denda tambahan (fb republic of Indonesia, 25 April 2009).

Banyak orang yang malas jika harus berurusan dengan pajak. Selain rumit dan berbelit, sudah menjadi rahasia umum jika masih banyak aparat pajak yang cenderung menekan wajib pajak yang kurang paham atas kewajibannya itu. Salah satu yang kerap menjadi sasaran adalah para wajib pajak dengan usaha bebas seperti pedagang, dokter, notaris, konsultan, pemilik peternakan, petani tembakau, kopi dan banyak lagi (pajakpribadi.com, 13 Maret 2010).

Berdasarkan pengakuan beberapa wajib pajak KPP Pratama X, ditemukan keluhan lain yang bisa dikatakan merupakan pangkal masalah dalam pelaksanaan Self Assessment System, yaitu kurangnya sosialisasi kewajiban perpajakan yang sesuai ketentuan. Masyarakat merasakan bahwa mereka tidak tahu berbuat apa untuk melakukan kewajibannya karena tidak punya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan.

Pasca reformasi si stem pemungutan pajak dari Official Assessment menjadi Self Assessment pada tahun 1984, negara menginginkan adanya reformasi di bidang perpajakan. Tujuan dari reformasi perpajakan antara lain: 1) Meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (taxpayer's quality services) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara. 2) Menekan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak. 3) Meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya. 4) Menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak, sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaanpengeluaran dana pajak. 5) Meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak, baik kepada fiskus maupun wajib pajak (Siti Kurnia Rahayu, 2009:99). Dari tujuan di atas dapat diketahui bahwa pada awalnya, pemberlakuan self assessment system dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan menekan terjadinya penyelundupan pajak. Namun setelah adanya perubahan sistem pemungutan pajak tersebut, kesempatan wajib pajak dalam upaya menyelundupkan pajak semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya ketentuan yang menyebutkan bahwa dalam self assessment system, wajib pajak harus memenuhi kewajiban perpajakannya dimulai dari pendaftaran NPWP hingga pelaporan SPT dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Sehingga usaha wajib pajak dalam melepaskan diri dari jeratan pajak dengan berbagai cara semakin leluasa karena semuanya dilakukan oleh sendiri.

Kemudian, hasil survey dari Tim Peneliti Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch (2000) menyebutkan bahwa dari pandangan Dirjen Pajak sendiri, self assessment sebenarnya juga mempunyai beberapa kekurangan seperti: a) Sistem ini ternyata kurang berhasil. Banyak yang tidak jujur dalam melaporkan besarnya penghasilan yang diperoleh, khususnya WP Perseorangan. Karena sangat banyak jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan sebagai obyek pajak, b) Ketidaksuksesan sistem ini terlihat juga dari meningkatnya jumlah tunggakan pajak, meskipun WP sebenarnya memiliki kemampuan untuk membayar jumlah pajak tersebut, c) Untuk memaksa WP berlaku jujur, UU Perpajakan perlu memberikan sanksi yang berat kepada pelanggar. Namun sistem self assessment tetap dilaksanakan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:20:00

KANDUNGAN INFORMASI PENDAPATAN BUNGA BERSIH, KOMPONEN ARUS KAS, DAN PENGUNGKAPAN POS-POS LAPORAN KEUANGAN TERHADAP EXPECTED RETURN SAHAM PERBANKAN

Setiap perusahaan tentunya membutuhkan dana untuk dapat mengelola dan mengembangkan usahanya. Salah satu cara untuk memperoleh dana tersebut adalah dengan menghimpun dana masyarakat, yakni dengan cara menerbitkan surat berharga seperti saham. Agar kegiatan penghimpunan dana tersebut lancar, maka dibutuhkanlah suatu wadah perantara atau intermediasi yang dikenal sebagai pasar modal.

Dalam melakukan investasi di pasar modal, khususnya di pasar saham, investor harus memiliki pemahaman dan analisis yang sangat baik karena pasar saham memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi. Situasi ketidakpastian ini mendorong investor yang rasional untuk selalu mempertimbangkan risiko dan expected return setiap sekuritas. Risiko dan expected return tersebut dapat dinilai berdasarkan informasi kualitatif maupun kuantitatif (Kurniawan, 2000).

Pada saat seorang investor melakukan analisis terhadap perusahaan target investasinya, ia dapat menggunakan berbagai sumber informasi baik yang bersifat historis maupun aktual. Pada umumnya, investor menggunakan data-data historis dalam membuat suatu estimasi. Salah satu bentuk data historis adalah laporan keuangan perusahaan. Investor sangat bergantung pada laporan keuangan yang menyediakan data keuangan utama mengenai perusahaan (Jones, 2004). Investor menggunakan informasi-informasi yang terdapat pada komponen laporan keuangan, yaitu Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Laporan keuangan disusun dan disajikan untuk memenuhi kebutuhan sejumlah besar pengguna, oleh karena itu mereka sangat bergantung pada laporan keuangan sebagai sumber utama informasi keuangan. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan bersifat umum, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan informasi dari setiap pengguna. Namun, karena para investor merupakan penanam modal berisiko maka ketentuan laporan keuangan yang memenuhi kebutuhan mereka juga akan memenuhi sebagian besar kebutuhan pengguna lainnya. Investor dan manajer investasi berkepentingan dengan risiko dan hasil dari pengembangan investasinya. Pihak-pihak tersebut membutuhkan informasi yang relevan dalam pengambilan keputusan, akan tetapi akses yang dimiliki oleh mereka sangatlah terbatas. Oleh karena itu, investor dan manajer investasi mempunyai ekspektasi yang sangat tinggi bahwa laporan keuangan perusahaan dapat menyediakan informasi yang mereka butuhkan.

PSAK No 1 menyebutkan bahwa tujuan umum dari laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas yang berguna bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam rangka membuat keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang telah dipercayakan kepada mereka. Oleh karena itu, laporan keuangan sebagai sumber informasi utama dari suatu perusahaan memegang peranan penting bagi investor untuk melakukan analisis risiko dan expected return dari sumber daya yang diinvestasikannya.

Pelaporan keuangan merupakan media komunikasi perusahaan dengan pihak eksternal dan diperlukan oleh berbagai pihak untuk mengambil keputusan. Fokus utama dalam pelaporan keuangan adalah penyajian informasi mengenai kinerja perusahaan yaitu dengan cara mengukur laba dan komponennya. Investor, kreditor, dan pengguna lainnya yang tertarik untuk menilai prospek net cash inflow perusahaan, umumnya tertarik pada informasi ini (Anggono, 2002).

Laporan laba rugi mencakup banyak angka laba, yang terdiri dari laba kotor, laba operasi dan laba bersih. Laba kotor dilaporkan lebih awal dari laba operasi, sedangkan laba operasi dilaporkan sebelum laba bersih. Artinya perhitungan angka laba kotor akan menyertakan lebih sedikit komponen pendapatan dan biaya dibandingkan dengan laba operasi; dan perhitungan laba operasi juga menyertakan lebih sedikit komponen pendapatan dan biaya dibandingkan dengan perhitungan laba bersih (Daniati dan Suhairi, 2006). Walaupun demikian, semua angka laba tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai ukuran efisiensi manajer dalam mengelola perusahaan.

Pilihan metode akuntansi banyak ditemukan dalam penyusunan laporan laba rugi. Semakin detail perhitungan suatu angka laba maka akan semakin banyak pilihan metode akuntansi yang akan menyebabkan kualitas laba yang diukur dengan koefisien respon laba menjadi lebih rendah (Scott, 2000).

Febrianto (2005) meneliti tentang perbandingan kualitas kandungan informasi antara laba kotor, laba operasi dan laba bersih dengan mengambil sampel perusahaan non-keuangan dan non-asuransi periode 1993-2002. Ketiga angka laba tersebut diuji secara terpisah dengan mengunakan persamaan regresi sederhana. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa angka laba kotor memiliki kualitas laba yang lebih informatif, lebih operatif dan lebih mampu menggambarkan hubungan antara laba dengan harga saham, dibandingkan dengan laba operasi maupun laba bersih. Selain itu Daniati dan Suhairi (2006) juga berhasil membuktikan bahwa laba kotor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap expected return saham. Namun, keterbatasan dalam dua penelitian di atas adalah pengujian laba kotor hanya dilakukan pada industri manufaktur saja, sehingga kemungkinan hasil yang berbeda dapat ditemui pada industri lain yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan industri manufaktur.

Selain laba dan komponennya, indikator kinerja perusahaan dapat dilihat dari arus kas. Sebuah perusahaan yang mampu menghasilkan angka arus kas yang surplus dapat dilihat sebagai salah satu indikator kesuksesan perusahaan. Arus kas merupakan bagian yang penting dalam perusahaan yang ingin beroperasi secara terus-menerus, karena tanpa adanya arus kas, kelangsungan hidup perusahaan akan tersendat-sendat. Dengan demikian, salah satu informasi yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan adalah bersumber dari laporan arus kas perusahaan (Diyanti, 2000).

Penelitian yang menguji arus kas dilakukan oleh Triyono dan Jogiyanto (2000) dan hasilnya membuktikan bahwa total arus kas tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan harga saham. Namun demikian, pemisahan total arus kas ke dalam tiga komponen arus kas yaitu arus kas dari kegiatan operasi, investasi dan pendanaan membuktikan adanya hubungan yang signifikan dengan harga saham. Pembedaan komponen arus kas seperti yang disyaratkan dalam PSAK No. 2 ternyata memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap return saham.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa informasi laba dan arus kas dapat dijadikan sebagai indikator kinerja perusahaan. Namun, indikator kinerja perusahaan akan menjadi informasi yang kurang lengkap tanpa disertai oleh informasi dalam pengungkapan pos-pos laporan keuangan. Oleh karena itu, pengungkapan menjadi hal yang sangat penting sebelum investor membuat suatu keputusan investasi. Semakin baik kualitas informasi yang diungkapkan maka akan semakin baik pula kualitas investasi yang dihasilkan (Mohammed dan Yadev, 2004). Jika pengungkapan yang dilakukan tidak sempurna, investor akan menghadapi risiko dalam memprediksi return masa depan atas investasi yang mereka lakukan (Barry & Brown, 1986).

Saat ini, kebutuhan terhadap pengungkapan juga semakin tinggi karena berguna untuk menyediakan penjelasan yang lebih lengkap mengenai posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan. Semua materi harus diungkapkan termasuk infomasi kuantitatif dan kualitatif yang akan sangat membantu para pengguna laporan keuangan (Siegel dan Shim, 1994). Tingkat pengungkapan yang tinggi mengurangi estimasi risiko yang timbul dari estimasi tingkat pengembalian aktiva investor atau distribusi hasil operasi perusahaan (Handa dan Linn, 1993). Tingkat pengungkapan yang tinggi mengurangi tingkat asimetri informasi. Laporan keuangan yang transparan menyebabkan estimasi investor atas risiko yang ada pada perusahaan rendah, sehingga tingkat expected return oleh investor juga rendah Clarkson (1996) dan Coles (1995).

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan informasi kepada para pengguna untuk membuat keputusan sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Dengan semakin pentingnya laporan keuangan perusahaan bagi para pengguna, maka laporan tersebut dituntut untuk dapat mencerminkan kondisi dan prospek masa depan perusahaan. Informasi yang disajikan harus transparan dan dipastikan kewajarannya oleh auditor, sehingga para pengguna laporan keuangan tidak merasa dirugikan. Bagi investor, informasi dalam laporan keuangan digunakan untuk menentukan berapa besar tingkat risiko dan expected return sebelum ia membuat keputusan investasi. Semakin pentingnya informasi dalam laporan keuangan, membuat banyak peneliti tertarik untuk menguji kandungan informasi dalam laporan keuangan.

Penelitian ini akan kembali menguji kandungan informasi pada laporan keuangan. Pada umumnya, penelitian-penelitian terdahulu menghubungkan kandungan informasi dari laba kotor dan komponen arus kas terhadap abnormal return. Penelitian-penelitian tersebut mengasumsikan expected return sama dengan actual return periode lalu dan memfokuskan penelitian pada ada tidaknya kandungan 'new information' pada laporan keuangan yang disajikan perusahaan dengan melihat signifikansi koefisien hubungan komponen laporan keuangan dengan selisih antara actual return periode berj alan dengan expected return.

Berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini akan mengkaji kandungan informasi dari komponen laporan keuangan dengan menganalisis signifikasi koefisien hubungan komponen laporan keuangan tersebut dan expected return. Penelitian ini memandang informasi pada komponen laporan keuangan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi expected return investor. Expected return merupakan suatu bagian return yang penting karena pada saat pertama kali akan membuat keputusan investasi, investor akan selalu membuat suatu estimasi berapa return yang diharapkan atas investasi yang akan dilakukan (Jogiyanto, 2003). Penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh kandungan informasi dari laba kotor dan komponen arus kas terhadap expected return saham ini masih sangat terbatas jumahnya.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan referensi utama dari penelitian yang telah dilakukan oleh Daniati dan Suhairi (2006) yang menguji kandungan informasi dari komponen arus kas, laba kotor dan size perusahaan terhadap expected return saham. Namun berbeda dengan penelitian Daniati dan Suhairi (2006) yang menggunakan sampel perusahaan industri manufaktur (sub industri tekstil dan otomotif) untuk periode 1999-2004, penelitian ini akan menggunakan sampel perusahaan pada industri perbankan untuk periode 2002 -2006. Penelitian ini juga tidak hanya meneliti pengaruh kandungan informasi pada komponen laporan laba rugi dan laporan arus kas, namun juga mengkaji kandungan informasi pada catatan atas laporan keuangan perusahaan, terhadap expected return.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:08:00

PENGARUH KUALITAS AUDIT, LIKUIDITAS, PROFITABILITAS DAN AUDITOR CHANGES TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DAN NON MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

PENGARUH KUALITAS AUDIT, LIKUIDITAS, PROFITABILITAS DAN AUDITOR CHANGES TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DAN NON MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah
Pihak manajemen berkepentingan untuk menyajikan laporan keuangan sebagai suatu gambaran prestasi kerja mereka. Laporan ini berpotensi dipengaruhi oleh kepentingan pribadi. Sementara pihak ketiga yaitu pihak eksternal selaku pemakai laporan keuangan sangat berkepentingan untuk mendapatkan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Dibutuhkan pihak ketiga yang independen sebagai mediator pada hubungan prinsipal dengan agen. Pihak ketiga ini berfungsi untuk memonitor perilaku manajer (agen) apakah sudah bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal. Auditor adalah pihak ketiga yang dianggap mampu menjebatani kepentingan pihak prinsipal dengan pihak manajemen dalam mengelola keuangan perusahaan (Setiawan, 2006). Auditor melakukan fungsi monitoring pekerjaan manajer melalui sebuah sarana yaitu laporan tahunan.

Tugas auditor adalah memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan perusahaan. Selanjutnya laporan keuangan yang telah di audit tersebut dapat digunakan sebagai sumber informasi baik oleh prinsipal maupun oleh investor yang akan menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Levitt dalam Margareta (2005) mengatakan bahwa opini audit atas laporan keuangan merupakan salah satu pertimbangan penting bagi investor dalam pengambilan keputusan berinvestasi oleh karena itu auditor sangat diandalkan dalam memberikan informasi yang baik bagi investor.

Informasi ini merupakan kebutuhan mendasar bagi para investor dalam pengambilan keputusan investasi. Salah satu informasi yang diharapkan mampu memberi bantuan kepada pemakai dalam membuat keputusan ekonomi yang bersifat finansial adalah laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang disajikan dalam bentuk kuantitatif yang mana informasi-informasi yang disajikan di dalamnya dapat membantu berbagai pihak dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh bagi kelangsungan hidup perusahaan. Sebagaimana yang dikemukakan dengan jelas oleh Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan adalah sebagai berikut ini.

"Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi" (IAI, 2004 : par 12).

Penentuan untuk berinvestasi memerlukan suatu informasi-informasi yang dibutuhkan oleh investor baik itu dari segi laporan keuangan tetapi juga dari segi yang lain. Informasi yang paling dibutuhkan oleh investor bukan saja hanya dari keuntungan yang akan mereka peroleh tetapi seringkali ada hal yang disampingkan yaitu mengenai kelangsungan hidup (going concern) perusahaan. Seringkali investor hanya melihat pada kondisi keuangan pada profitabilitasnya saja. Karena seringkali mereka hanya melihat pada suatu sisi saja, maka banyak investor yang kehilangan banyak investasinya karena tidak memperhatikan kelangsungan hidup perusahaan yang dipilihnya.

Laporan audit dengan modifikasi mengenai going concern merupakan suatu indikasi bahwa dalam penilaian auditor terdapat risiko auditee tidak dapat bertahan dalam bisnisnya. Dari sudut pandang auditor, keputusan tersebut melibatkan beberapa tahap analisis. Auditor harus mempertimbangkan hasil dari operasi, kondisi ekonomi yang mempengaruhi perusahaan, kemampuan membayar hutang dan kebutuhan likuiditas di masa yang akan datang (Setyarno dkk, 2006). Penelitian yang dilakukan Basri dalam Margaretta (2005) menemukan bahwa kurang lebih 80% dari 280 perusahaan yang sudah go public praktis bisa dikategorikan sudah bangkrut sebab nilai aset perusahaan-perusahaan tersebut saat ini sudah jauh di bawah angka nilai nominal utang atau pinjaman luar negerinya. Penelitian ini memberikan banyak pengertian bahwa sebenarnya perusahaan yang memiliki tingkat pengembalian yang besar belum tentu memiliki going concern yang baik di masa yang akan datang. Opini auditor merupakan sumber informasi bagi pihak di luar perusahaan sebagai pedoman untuk pengambilan keputusan, hanya auditor yang berkualitas yang dapat menjamin bahwa laporan (informasi) yang dihasilkannya reliable.

Auditor memiliki peran penting memberikan keyakinan kepada investor untuk menginvestasikan kepada perusahaan yang dipilihnya. Data dan informasi perusahaan akan lebih mudah dipercaya dan digunakan oleh investor dan pemakai laporan keuangan lainnya apabila laporan keuangan yang mencerminkan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan telah mendapat pernyataan wajar dari auditor. Pernyataan auditor diungkapkan melalui opini auditor. Carlson (1998) melakukan studi yang mengidentifikasi reaksi investor terhadap opini auditor yang memuat informasi kelangsungan hidup perusahaan berdasarkan pengungkapan hasil analisis laporan keuangan, investor perlu mengetahui hasil dari pemeriksanaan auditor mengenai keadaaan keuangan yang sebenarnya.

Arens (1996) mengemukakan bahwa laporan audit adalah tahap terakhir dari keseluruhan proses audit, laporan audit merupakan alat komunikasi bagi auditor untuk mengkomunikasikan hasil temuannya dalam proses audit. Opini audit diberikan oleh auditor setelah melakukan serangkaian proses audit. Jadi auditor dalam memberikan opini audit telah didasarkan pada keyakinannya dan telah sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik. Akan tetapi, pada praktiknya banyak terjadi pelanggaran terhadap peraturan audit yang dilakukan oleh auditor. Misalnya auditor sengaja berpihak pada klien untuk memperoleh imbalan yang besar atau untuk meningkatkan reputasi Kantor Akuntan Publik. Kondisi ini memungkinkan auditor tidak memperhatihkan aspek going concern ketika memberikan opini audit. Dampak yang tidak diharapkan dari opini going concern mendorong manajemen untuk mempengaruhi auditor dan menimbulkan konsekuensi negatif dalam pengeluaran opini going concern. Geiger et al. (1996) menemukan bukti terjadinya peningkatan pergantian auditor yang mengeluarkan opini going concern pada perusahaan financial disstress.

Penelitian terkait dengan going concern telah dilakukan oleh berbagai penelitian sebelumnya baik dalam maupun luar negeri. Di Indonesia ada beberapa penelitian terkini yang menggunakan going concern sebagai tema atau topik penelitiannya, seperti : Suartana (2007), Praptitorini dan Januarti (2007), Setyarno dkk (2006), Agrianti Komalasari (2004, 1 :16). Keempat penelitian tersebut menggunakan variabel penelitian yang berbeda-beda.

Penelitian ini merupakan pengembangan dan replikasi dari penelitian Setyarno dkk (2006) dengan perbedaan sebagai berikut ini :
1. Variabel penelitian
Setyarno dkk (2006) menggunakan empat variabel independen dalam penelitiannya, yaitu : pengaruh kualitas audit, kondisi keuangan perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, pertumbuhan perusahaan terhadap opini audit going concern, sementara penelitian ini menggunakan empat variabel independen yaitu kualitas audit, likuiditas, profitabilitas dan auditor changes. Likuiditas, profitabilitas dan auditor changes ditambahkan sebagai saran dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setyarno dkk (2006) sehingga hasil penelitian akan lebih bisa memprediksi penerbitan opini audit going concern dengan lebih cepat.
2. Sampel penelitian.
Setyarno dkk (2006) menggunakan sampel seluruh auditee manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sementara itu, penelitian ini menggunakan sampel seluruh auditee manufaktur dan non manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Alasan pemilihan sampel yaitu untuk membedakan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Setyarno dkk (2006) dan dengan menambah sampel diharapkan memperoleh hasil yang lebih akurat.
Atas dasar uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait opini going concern dengan judul "Pengaruh Kualitas Audit, Likuiditas, Profitabilitas dan Auditor Changes Terhadap Opini Audit Going Concern Pada Perusahaan Manufaktur Dan Non Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia"

B. Perumusan Masalah
Mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa laporan keuangan auditan merupakan dasar pengambilan keputusan investasi dan atau kredit bagi investor maupun kreditor serta arti penting opini going concern bagi pemakai laporan keuangan terkait pernyataan auditor tentang kelangsungan hidup perusahaan, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu apakah kualitas audit, likuiditas, profitabilitas dan auditor changes berpengaruh terhadap opini going concern yang akan dikeluarkan oleh auditor.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh kualitas audit, likuiditas, profitabilitas dan auditor changes terhadap opini audit going concern yang akan dikeluarkan oleh auditor.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak sebagai berikut ini.
1. Bagi Investor dan Kreditor
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait dengan investasi dan kredit yang diberikan terutama menyangkut kelangsungan hidup perusahaan (emiten).
2. Emiten
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh manajemen terkait kelangsungan hidup atau operasional perusahaan berdasarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan (going concern).
3. Bagi Penelitian Berikutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan referensi yang akan melakukan penelitian lebih lanjut terutama penelitian-penelitian tentang beberapa faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan (going concern).
4. Bagi Kantor Akuntan Publik
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan gambaran tentang pentingnya kualitas audit, likuiditas, profitabilitas, auditor change dan opini audit going concern atas laporan keuangan.

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dalam lima bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka, penelitian terdahulu dan pengembangan hipotesis penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pembahasan tentang desain penelitian, populasi dan sampel penelitian, prosedur pemilihan sampel, teknik pengumpulan data dan sumber data, variabel penelitian dan pengukurannya, dan teknik analisis data.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi hasil pengumpulan data, analisis hasil penelitian, pengujian hipotesis dan pembahasan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan, dan saran bagi penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:56:00