Home » Posts filed under skripsi pendidikan luar biasa
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI KELAS IV SDLB C1
Meningkatkan Prestasi Belajar Membaca Bahasa Indonesia Melalui Pembelajaran Kelompok Siswa Tuna Grahita Ringan
Skripsi Meningkatkan Prestasi Belajar Membaca Bahasa Indonesia Melalui Pembelajaran Kelompok Siswa Tuna Grahita Ringan Kelas IV SLB Negeri X Tahun XXXX/XXXX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu usaha untuk meningkatkan penguasaan pengetahuan dasar anak tuna grahita adalah dengan meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar untuk memperluas wawasan dan mempertajam kepekaan perasaan siswa. Ruang lingkup pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Luar Biasa yaitu dari aspek kemampuan berbahasa meliputi aspek mendengarkan/menyimak, berbicara, menulis, dan membaca. Salah satu keterampilan berbahasa yang wajib diberikan sedari awal ialah keterampilan membaca. Dengan keterampilan membaca yang dimilikinya anak dapat menyerap berbagai informasi yang berasal dari guru, buku, media cetak, media elektronik dan sebagainya.
Pada anak berkebutuhan khusus, khususnya anak tuna grahita ringan keterampilan membaca mereka harus dilatih secara khusus. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan kognitif mereka menyebabkan mereka sulit dalam menyerap katakata serta mengolahnya kembali menjadi ucapan (membaca). Di dalam penelitian tindakan kelas ini, penulis telah mengindentifikasi masalah mendasar yang terjadi di kelas IV SLB Negeri X yaitu : Berdasarkan pengamatan penulis sekaligus guru kelas IV SLB Negeri X, 80% anak tuna grahita ringan di kelas ini mengalami kesulitan di dalam membaca. Kesulitan yang guru temukan di kelas tersebut yaitu: siswa bingung meletakkan posisi kata dan kesulitan dalam menyusun katakata menjadi kalimat sederhana.
Keterbatasan intelegensi anak tuna grahita sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran membaca bagi anak tersebut. Maka dari itu, dalam pelajaran membaca permulaan bagi anak tuna grahita dibutuhkan metode yang tepat agar dapat mengasah ketrampilan anak dalam membaca.
Salah satu metode yang akan penulis kembangkan yaitu pembelajaran kelompok. Di dalam pembelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran kelompok sangat membantu terjadinya komunikasi dua arah, baik antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Oleh karena itu, tujuan penerapan pembelajaran kelompok ini lebih ditekankan pada aspek keterampilan membaca. Dengan demikian, pembelajaran bahasa tidak hanya sekadar mendengarkan guru menerangkan saja, tetapi diperlukan keaktifan siswa di dalam proses belajar mengajar, sehingga terjalin interaksi baik antara siswa dengan siswa maupun dengan guru. Dalam pembelajaran ini anak saling menjadi tutor (pembimbing) jika temannya mengalami kesulitan dalam membaca katakata atau kalimat sederhana.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis sekaligus sebagai guru kelas IV ingin mengembangkan penelitian tindakan kelas ini dengan judul: “Meningkatan Prestasi Belajar Membaca Bahasa Indonesia Melalui Pembelajaran Kelompok Bagi Siswa Tuna Grahita Ringan Kelas IV SLB Negeri X XXXX/XXXX”.
D. Perumusan Masalah
Berkaitan dengan permasalahan pokok yang terdapat di kelas IV SLB Negeri X penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah penerapan pembelajaran kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar membaca Bahasa Indonesia bagi anak tuna grahita ringan kelas IV SLB Negeri X?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan prestasi belajar membaca siswa setelah menggunakan pembelajaran kelompok pada pelajaran membaca Bahasa Indonesia.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
- Hasil dari penelitian tindakan kelas dapat dijadikan sebagai salah satu sumber acuan dan referensi bagi penelitian tindakan kelas berikutnya dengan variabel yang lebih lengkap berkaitan dengan kemampuan membaca anak tuna grahita ringan.
- Selain itu, tujuan penelitian ini ialah untuk menambah khasanah ilmu pendidikan dan pengetahuan pada umumnya khususnya bagi ilmu pendidikan tentang pembelajaran kelompok.
2. Manfaat praktis
a. Bagi anak
Dengan penerapan pembelajaran kelompok dalam pelajaran membaca Bahasa Indonesia diharapkan dapat mengasah kemandirian anak dalam belajar membaca.
b. Bagi guru
Penelitian ini akan melatih penulis/guru untuk memecahkan permasalahan pembelajaran serta mencari strategi pembelajaran yang tepat.
c. Bagi sekolah
Hasil dari penelitian pembelajaran kelompok ini dapat dikembangkan dan menjadi pedoman bagi pihak sekolah dalam menyusun strategi pembelajaran pada umumnya sebagai acuan untuk melakukan pemecahan masalah dalam pembelajaran agar meningkatkan kualitas proses belajar mengajar.
SKRIPSI HUBUNGAN MOTIVASI BELAJAR DAN KEMANDIRIAN DENGAN PRESTASI BELAJAR KETRAMPILAN TANGAN ANAK TUNA GRAHITA RINGAN SISWA KELAS 1 SLTP YPSLB-C X
(Kode : PEND-PLB-0015) : SKRIPSI HUBUNGAN MOTIVASI BELAJAR DAN KEMANDIRIAN DENGAN PRESTASI BELAJAR KETRAMPILAN TANGAN ANAK TUNA GRAHITA RINGAN SISWA KELAS 1 SLTP YPSLB-C X
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Peranan pendidikan dirasakan sangat penting bagi setiap bangsa karena kelangsungan hidup dan kemajuan suatu bangsa, khususnya bagi negara yang sedang membangun ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan pendidikan yang sama, baik anak normal maupun anak luar biasa. Anak luar biasa juga menuntut mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama baik dari keluarga, sekolah maupun dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2004 dalam GBHN disebutkan :
Meningkatkan kepedulian terhadap penyandang cacat, fakir miskin, dan anak- anak terlantar, serta kelompok rentan sosial dengan memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan melalui perwujudan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, dan berketrampilan.
Anak berkelainan sangat memerlukan pendidikan, perhatian, bimbingan dan motivasi dari lingkungan keluarga, orang tua, guru maupun masyarakat. Sehingga mereka mampu bersaing dengan anak normal dalam meraih prestasi belajar ketrampilan tangan.
Dalam pendidikan motivasi belajar mempunyai peranan penting dalam mencapai keberhasilan belajar. Keberhasilan belajar atau prestasi belajar yang tinggi akan dapat diraih apabila ada keinginan belajar. Keinginan itu akan muncul apabila ada dorongan (motivasi) baik dalam diri siswa atau luar diri siswa. Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga semakin besar motivasinya akan semakin besar kesuksesan belajarnya. Seorang siswa yang besar motivasinya akan gigih dan tekun dalam usahanya mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharsimi Arikunto (1990 : 62) bahwa “Motivasi seseorang akan meningkat apabila terlihat adanya hubungan antara kegiatan yang dilakukan dengan tujuan yang dicapai“. Diasumsikan bahwa siswa yang sudah mengetahui benar pentingnya belajar bagi dirinya akan memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Dalam meningkatkan prestasi belajar ketrampilan, selain motivasi belajar juga ada hal yang lebih penting yaitu kemandirian. Menurut Kartini Kartono (1990 : 57) menyatakan bahwa “Kemandirian yang diartikan sebagai Self Standing yaitu kemampuan berdiri diatas kaki sendiri dengan keberanian dan tanggung jawab atas segala tingkah laku sebagai manusia dalam melaksanakan kewajiban guna memenuhi kebutuhan sendiri”.
Prestasi belajar ketrampilan di YPSLB-C X belum menunjukkan hasil yang memuaskan, terbukti pada nilai mata pelajaran ketrampilan yang masih dibawah nilai rata-rata yang telah ditentukan oleh pihak sekolah. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran anak tuna grahita akan pentingnya mata pelajaran ketrampilan tangan bagi kehidupannya di kemudian hari yang dapat menjadi bekal dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari.
Selain motivasi belajar dan kemandirian yang dapat meningkatkan prestasi belajar, fasilitas pembelajaran ketrampilan tangan juga sangat mendukung terhadap meningkatnya prestasi belajar ketrampilan tangan. Jika fasilitas yang diberikan sekolah banyak dan beraneka ragam maka bagi anak yang mempunyai motivasi instrinsik yang tinggi akan terdorong untuk menggunakan fasilitas belajar ketrampilan tangan sehingga anak dapat meningkatkan kemampuannya dalam bidang ketrampilan tangan.
Dalam memberikan ketrampilan tangan pada anak tuna grahita harus memperhatikan kemampuan anak. Selain itu juga harus sesuai dengan kebutuhan dan potensi anak untuk mengembangkan ketrampilan tangan. Selama ini, dalam memberikan ketrampilan tangan, guru kurang memperhatikan kemampuan, kebutuhan dan potensi anak. Sehingga anak sulit mengembangkan ketrampilan tangan. Jadi hal ini dapat mempengaruhi prestasi belajar ketrampilan tangan seorang anak.
Bertitik tolak dari latar belakang tentang keadaan dan permasalahan yang dihadapi anak tuna grahita serta perlunya motivasi belajar untuk membantu meningkatkan prestasi belajar ketrampilan tangan, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Hubungan Motivasi Belajar dan Kemandirian Dengan Prestasi Belajar Ketrampilan Tangan Pada Anak Tuna Grahita Ringan Siswa Kelas 1 SLTP YPSLB-C X Tahun Ajaran XXXX/XXXX.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Kurangnya semangat siswa tuna grahita ringan dalam mengikuti pelajaran di YPSLB-C X.
2. Kemandirian siswa tuna grahita ringan adalah kemampuan siswa tuna grahita ringan untuk tidak menggantungkan diri pada orang lain. Sedangkan kemandirian anak tuna grahita itu mengalamai keterbatasan sehingga timbul masalah dalam pencapaian prestasi belajar.
3. Prestasi belajar siswa tuna grahita rendah terutama prestasi belajar mata pelajaran ketrampilan tangan, pada hal mata pelajaran ketrampilan tangan sangat penting bagi anak tuna grahita di kemudian hari yaitu sebagai bekal dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
4. Motivasi belajar dan kemandirian dapat meningkatkan prestasi belajar ketrampilan tangan.
C. Pembatasan Masalah
Masalah yang akan diteliti ini berkaitan dengan motivasi belajar dan tingkat kemandirian terhadap prestasi belajar ketrampilan tangan siswa tuna grahita ringan di YPSLB-C X, maka dapat dirumuskan batasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Motivasi belajar yaitu sesuatu yang mendorong siswa dalam belajar. Motivasi ini meliputi motivasi yang digerakkan dalam diri siswa dan dari luar siswa. Dalam motivasi belajar yang akan dibahas adalah motivasi yang digerakkan dalam diri siswa yang berupa minat dan perhatian siswa terhadap mata pelajaran ketrampilan tangan, semangat siswa melakukan tugas-tugas selama pelajaran ketrampilan tangan, tanggung jawab menyelesaikan tugas, reaksi terhadap rangsangan guru, rasa senang dalam mengerjakan tugas dan merasa puas akan hasil yang dicapainya.
2. Kemandirian adalah kemampuan siswa tuna grahita ringan dalam aspek ADL ( membersihkan diri, berpakaian, makan, menyimpan barang, menggunakan uang, membersihkan dan mengatur, sekolah, pergaulan ) bermain, dan bekerja.
3. Prestasi belajar ketrampilan tangan berupa hasil usaha belajar anak pada mata pelajaran ketrampilan tangan yang berwujud angka yang diberikan guru dalam buku raport pada semester 1 tahun ajaran XXXX/XXXX.
4. Subyek penelitian yaitu siswa tuna grahita ringan kelas 1 SLTP YPSLB-C X.
5. Obyek penelitian yaitu :
Variable bebas : variabel bebas pada penelitian ini adalah motivasi belajar dan kemandirian.
Variable terikat : variabel terikat pada penelitian ini berupa prestasi belajar ketrampilan tangan.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar ketrampilan tangan pada anak tuna grahita ringan siswa kelas 1 SLTP di YPSLB-C X tahun ajaran XXXX/XXXX?
2. Apakah ada hubungan antara kemandirian dengan prestasi belajar ketrampilan tangan pada anak tuna grahita ringan siswa kelas 1 SLTP di YPSLB-C X tahun ajaran XXXX/XXXX?
3. Apakah ada hubungan antara motivasi belajar dan kemandirian dengan prestasi belajar ketrampilan tangan anak tuna grahita ringan siswa kelas 1 SLTP di YPSLB-C X?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan pernyataan yang lengkap, operasional namun tetap konsisten dengan perumusam masalah yang telah dikemukakan, karena untuk memperoleh jawaban atas masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui hubungan motivasi belajar dengan prestasi belajar ketrampilan tangan pada anak tuna grahita ringan siswa kelas 1 SLTP di YPSLB-C X Semester 1 tahun ajaran XXXX/XXXX.
2. Untuk mengetahui hubungan kemandirian dengan prestasi belajar ketrampilan tangan pada anak tuna grahita ringan siswa kelas 1 SLTP di YPSLB-C X Semester 1 tahun ajaran XXXX/XXXX.
3. Untuk mengetahui hubungan motivasi belajar dan kemandirian dengan prestasi belajar ketrampilan tangan pada anak tuna grahita ringan siswa kelas 1 SLTP di YPSLB-C X Semester 1 tahun ajaran XXXX/XXXX.
F. Manfaat Penelitian
Jika penelitian ini berhasil, maka akan memberikan manfaat baik secara praktis maupun teoritis.
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait ( kepala sekolah, guru, orang tua ) agar berusaha memberikan motivasi terhadap siswa SLTP kelas 1 di YPSLB-C X.
b. Memberikan tambahan kajian teoritis tentang motivasi belajar dan kemandirian, sehingga dapat digunakan untuk mengoptimalkan hasil belajar mengajar.
2. Manfaat Teoritis
a. Memberikan gambaran ada tidaknya hubungan motivasi belajar dengan prestasi belajar.
b. Memberikan gambaran ada tidaknya hubungan antara kemandirian dengan prestasi belajar ketrampilan tangan anak tuna grahita ringan.
Skripsi Studi Deskriptif Pelaksanaan Bina Bicara Bagi Anak Cerebral Palsy Di SDLB X
(Kode PEND-PLB-0014) : Skripsi Studi Deskriptif Pelaksanaan Bina Bicara Bagi Anak Cerebral Palsy Di SDLB X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemampuan bicara seseorang merupakan salah satu pernyataan untuk dapat bersosialisasi baik dengan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Agar seseorang dapat berbicara dan berbahasa tersebut, maka da beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, termasuk salah satu diantaranya yaitu harus mempunyai kemampuan bicara. Sehingga berbicara dan berbahasa merupakan kegiatan penting dalam kehidupan sehari-hari. Sifat berbicara ada dua macam yang meliputi : 1) Bicara secara ekspresif, yaitu yang bersifat menyatakan isi hati secara aktif dalam bahasa lisan, tulisan atau isyarat, 2) Bicara secar represif, yaitu menerima bicara atau memahami bicara orang lain.
Bicara adalah mekanisme pengucapan bunyi bahasa untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan perasaan, pikiran dengan memanfaatkan nafas, otot-otot dan alat ucap secara terintegrasi.
Pada umumnya bina bicara diberikan kepada anak tunarungu, namun pada kenyataannya tidak hanya anak tunarungu yang membutuhkan bina bicara. Salah satu anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan bicara dan membutuhkan layanan khusus adalah anak tunadaksa khususnya Anak Cerebral Palsy. Kebanyakan dari Anak Cerebral Palsy mengalami gangguan bicara yang menyebabkan mereka sulit bersosialisasi.
Anak Cerebral Palsy merupakan suatu kelainan yang disebabkan oleh adanya gangguan yang terdapat di dalam otak dan kelainannya bersifat kekakuan pada anggota geraknya. Akan tetapi sering pula dijumpai Anak Cerebral Palsy mengalami kelayuan, gangguan gerak, gangguan koordinasi, gerakan-gerakan ritmis dan gangguan sensoris, Little (dalam Assjari, 1995:36)
Lebih lanjut Soeharso (dalam Salim, 1996:32) menyatakan bahwa “Anak Cerebral Palsy banyak yang sukar atau tidak dapat bicara, seakan-akan alat-alat bicaranya tidak dapat dikoordinasikan. Kadang-kadang kelihatan jelas sekali berusaha sekuat tenaga untuk bicara, akan tetapi suaranya tidak jelas, tidak keras, terputus-putus, sehingga orang lain yang mendengarnya tidak dapat mengerti maksudnya. Mulutnya kelihatan menceng ke kanan dan ke kiri, lidahnya kelihatn keluar-masuk tidak menentu, bahkan kepalanya juga ikut digerak-gerakkan.”
Berdasarkan studi pendahuluan (April XXXX) melalui observasi dan wawancara dengan guru SDLB X Kelas D2 dan D5 pelaksanaan atau layanan bina bicara dengan cara mengucapkan huruf konsonan dan vokal, suku kata, kata, kalimat dalam bentuk tanya jawab antara guru dengan murid, murid dengan murid hanya terbatas dan kurang optimal, karena keterbatasan waktu dan tenaga serta dalam mengajar guru lebih mengutamakan materi bidang akademik dari pada layanan atau pelaksanaan bina bicara anak. Selain itu orang tua kurang bahkan tidak terlibat dalam keberhasilan layanan bina bicara.
Agar Anak Cerebral Palsy lebih tercapai dalam layanan atau pembinaan bicara yang dapat menambah pengetahuan tentang berbahasa, maka upaya guru harus mengutamakan waktu lima belas menit atau sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai ataupun pemberian tugas rumah untuk diketahui orang tua dalam pemberian layanan atau pembinaan kepada anak cerebral palsy yang ada hubungannya dengan materi sebelum dan sesudah materi itu diberikan di sekolah.
Dengan mempelajari fenomena yang ada, maka mengisyaratkan perlu adanya kajian aktual dalam upaya penanganannya.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan bina bicara bagi Anak Cerebral Palsy di SDLB X.
Selanjutnya penulis merumuskan masalah dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana upaya guru dalam meningkatkan keterampilan bicara dan berbahasa bagi Anak Cerebral Palsy melalui bina bicara ?
2. Apa kendala yang dihadapi guru dalam meningkatkan keterampilan bicara Anak Cerebral Palsy?
3. Apa alternatif penyelesaian kendala yang dilakukan oleh guru ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti dapat menentukan tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data dan informasi untuk mengetahui upaya guru dalam meningkatkan keterampilan berbicara dan berbahasa kelas D2 dan D5 Anak Cerebral Palsy.
2. Mengumpulkan informasi untuk mengetahui kendala yang dihadapi guru dalam meningkatkan keterampilan bicara Anak Cerebral Palsy.
3. Mencarikan alternatif-alternatif guna menyelesaikan kendala yang berkaitan dengan upaya guru dalam meningkatkan keterampilan bicara dan berbahasa Anak Cerebral Palsy.
Skripsi Pengaruh Penggunaan Media Buku Cerita Terhadap Kemampuan Membaca Anak Tunagrahita Kelas D 6 Di SLB X
(Kode PEND-PLB-0013) : Skripsi Pengaruh Penggunaan Media Buku Cerita Terhadap Kemampuan Membaca Anak Tunagrahita Kelas D 6 Di SLB X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan pembangunan yang dicapai bangsa Indonesia khususnya pembangunan di bidang pendidikan akan mendorong tercapainya tujuan pembangunan nasional, maka sangat penting adanya perhatian pemerintah terhadap pendidikan terutama wajib belajar sembilan tahun yang telah lama dicanangkan.
Pendidikan diperuntukkan bagi setiap warga negara tanpa kecuali, tidak memandang kaya miskin, atau normal maupun anak berkelainan. Pada peraturan pemerintah No. 72 tahun 1991 pemerintah telah mengatur khusus tentang Pendidikan Luar Biasa. Dalam Pendidikan Luar Biasa pelayanan dan penanganannya disesuaikan dengan kelainan yang disandang peserta didik sehingga pelayanan dapat sessuai dengan kebutuhan anak.
Tujuan Pendidikan Luar Biasa adalah : membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan sikap dan ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dasar dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. (Peraturan Pemerintah RI, 1997:205-206).
Berdasarkan uraian di atas jelas sekali bahwa untuk Anak Luar Biasa dalam penanganannya perlu penyesuaian-penyesuaian yang didasarkan dengan jenis dan tingkat kecacatannya, terutama dalam hal pembelajaran membaca dan menulis.
Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika pada masa sekolah tidak segera memiliki kemampuan untuk membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas yang lebih tinggi.
Kemampuan anak tunagrahita ringan dalam membaca relatif rendah bila dibandingkan dengan anak normal. Sulit sekali bagi anak tunagrahita untuk bisa membaca dengan benar, kalaupun bisa membaca dengan benar tetapi anak sering sekali tidak mempunyai pengertian dari isi bacaan tersebut.
Dengan kemampuan anak tuna grahita ringan yang terbatas dalam belajar khususnya mengalami kesulitan belajar membaca , maka perlu sekali kreatifitas guru dalam mengajar agar anak tidak mengalami kejenuhan dalam belajar. Kreatifitas guru dalam mengajar salah satunya berupa metode mengajar dan penggunaan media pembelajaran. Karena bagaimanapun juga pada masa sekarang ini dalam sebuah sistem pendidikan modern fungsi guru sebagai penyampai pesan pendidikan tampaknya memang sangat perlu dibantu dengan media pembelajaran, agar proses belajar mengajar pada khususnya dan proses pendidikan pada umumnya dapat berlangsung secara efektif. Hal tersebut disebabkan karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keadaan atau situasi yang dihadapi di dalam kelas.
Media pengajaran adalah “media yang digunakan dan diintegrasikan dengan tujuan dan isi instruksional yang biasanya sudah dituangkan dalam Garis Besar Pedoman Instruksional (GBPP) dan dimaksudkan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar” (Rohani,1997:3).
Menurut Assosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/NEA) yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah “bentuk-bentuk komunikasi baik cetak maupun audio visual serta peralatannya yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar dan dibaca” (Azhar Arsyad, 2003:4).
Menurut Blake dan Horalsen media adalah “saluran komunikasi atau medium yang digunakan untuk membawa atau menyampaikan suatu pesan , dimana medium merupakan alat untuk lalu lintas antara komunikator dengan komunikan” (Rohani, 1997:2).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dari media pembelajaran adalah sarana atau perantara yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan meteri pelajaran kepada siswa yang disesuaikan dengan tujuan instruksional/pembelajaran supaya dapat membantu kelancaran dalam proses belajar mengajar sehingga tujuan instruksional/pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
Seperti yang telah dijelaskan di atas mengingat anak tunagrahita yang mempunyai permasalahan yang kompleks dalam mengikuti proses belajar mengajar khususnya dalam mata pelajaran membaca perlu menggunakan media pembelajaran, salah satunya adalah media buku cerita. Penggunaan metode ini adalah dengan cara, dalam belajar anak dibacakan oleh guru sebuah buku cerita dan menceritakannya dengan sangat menarik sehingga anak tertarik terhadap isi dari buku cerita tersebut.
Selanjutnya guru bisa membagikan buku cerita pada anak didik agar anak membaca sendiri buku cerita tersebut dan disuruh menceritakan semampunya. Dengan begitu anak secara sukarela dan senang hati telah melakukan latihan membaca.
Mengingat membaca merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan dasar untuk mengetahui/belajar terhadap bidang-bidang keilmuan yang lain, maka penulis ingin mengadakan penelitian untuk mengetahui seberapa besar efektifitas penggunaan media buku cerita terhadap kemampuan membaca Anak tunagrahita di SLB-C X.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada pengaruh penggunaan media buku cerita terhadap kemampuan membaca Anak tunagrahita kelas D 6 di SLB-C X ?”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mendapatkan data kongkrit tentang pengaruh penggunaan media buku cerita terhadap anak tunagrahita.
2. Untuk memperoleh data yang tentang kemampuan membaca pada anak tunagrahita.
3. Untuk membuktikan ada tidaknya pengaruh penggunaan media buku cerita terhadap kemampuan membaca anak tunagrahita.
D. Pentingnya Masalah Untuk Diteliti
1. Ditinjau dari kelembagaan
Hasil penelitian ini dapat untuk meningkatkan mutu pembelajaran bagi anak tunagrahita.
2. Ditinjau dari peneliti
Mendapat pengalaman praktis dalam bidang pengajaran membaca dengan menggunakan media buku cerita.
3. Ditinjau dari sekolah yang menjadi obyek penelitian
Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan terhadap anak tunagrahita.
E. Definisi, Asumsi dan Keterbatasan
1. Definisi
Agar tidak terjadi salah persepsi dan pengertian tentang judul penelitian, maka perlu didefinisikan sebagai berikut :
a. Media buku cerita adalah alat bantu yang digunakan untuk proses belajar mengajar yang berupa buku yang berisikan berbagai cerita yang menarik. (Rohani, Ahmad. 1997)
Menurut Brigg, media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan yang merangsang yang sesuai untuk belajar.
b. Kemampuan membaca adalah kemampuan yang dimiliki anak untuk mengucapkan, melafalkan, membaca dan memahami apa yang dibaca.
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata / bahasa tulis. (Tarigan, Henri Guntur. 1986)
c. Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai keterbatasan intelegensi, sehingga dalam mengikuti pembelajaran memerlukan program khusus.
Menurut Amin (1995 : 11) : “Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya dibawah rata-rata, disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak.’
2. Asumsi
Asumsi atau anggapan dasar adalah suatu titik tolak pemikiran yang kebenarannya dapat diterima oleh peneliti.
Adapun asumsi peneliti berdasarkan judul adalah :
a. Media buku cerita bisa dijadikan metode atau media untuk meningkatkan kemampuan membaca anak tunagrahita.
b. Kemampuan membaca yang dimiliki anak tunagrahita yang kurang sehingga dalam mengikuti pembelajaran mengalami kesulitan.
c. Anak tunagrahita yang mempunyai keterbatasan inteligensi sehingga untuk meningkatkan kemampuan membaca diperlukan kata-kata yang sederhana dan kongkrit.
3. Keterbatasan
Agar pembahasan tidak keluar dari lingkup permasalahan yang dimaksud, maka peneliti memberi batasan sebagai berikut :
a. Media buku cerita yang dimaksud adalah alat berupa buku yang berisi tentang cerita-cerita yang menarik.
b. Kemampuan membaca yang dimaksud adalah dapat membaca kalimat dengan lancar, baik dan benar.
c. Anak tunagrahita kelas D-6 di SLB C X.
Skripsi Peningkatan Prestasi Belajar Membaca Permulaan Dengan Media Pembelajaran Kartu Kata Untuk Anak Tunagrahita Ringan Kelas II SLB Negeri X
(Kode PEND-PLB-0012) : Skripsi Peningkatan Prestasi Belajar Membaca Permulaan Dengan Media Pembelajaran Kartu Kata Untuk Anak Tunagrahita Ringan Kelas II SLB Negeri X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan untuk anak dengan berkebutuhan khusus membutuhkan suatu pola layanan tersendiri khususnya bagi anak-anak tunagrahita sesuai dengan tingkat kemampuan intelektualnya di bawah rerata. Kelainan khusus terhadap fisik atau mental pada anak tunagrahita menghendaki layanan pendidikan khusus sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 dalam pasal 32 ayat (2). dinyatakan bahwa “Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang mempunyai hendaya perkembangan atau “Tunagrahita”.
Menurut H.T. Sutjihati Somantri, (1996: 86), ”klasifikasi anak Tunagrahita pada umumnya didasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri dari (1). tunagrahita ringan, (2). tungrahita sedang, dan (3) tunagrahita berat”. Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik karena mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya
Pembelajaran membaca permulaan erat hubungannya dengan pembelajaran menulis permulaan karena sebelum mengajarkan menulis, guru harus terlebih dahulu mengenalkan bunyi suatu tulisan beserta bunyi melalui pembelajaran membaca permulaan. Pembelajaran membaca permulaan merupakan pembelajaran membaca tahap awal dan kemampuan yang diperoleh siswa akan menjadi dasar pembelajaran membaca lanjut yang dilaksanakan di kelas-kelas yang lebih tinggi. Membaca permulaan diberikan secara bertahap, yakni pra membaca, dan membaca. Pada tahap pra membaca, kepada siswa diajarkan (1) sikap duduk yang baik pada waktu membaca, (2) cara meletakkan buku di atas meja, (3) cara memegang buku,(4) cara membuka dan membalik halaman buku, dan (5) melihat dan memperhatikan tulisan. Pembelajaran membaca permulaan dititikberatkan pada aspek-aspek yang bersifat teknis seperti ketepatan menyuarakan tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelancaran dan kejelasan suara. Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru, sebab jika dasar itu tidak kuat maka pada tahap membaca lanjut siswa akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai seperti yang diharapkan oleh kita semua.
Ilmu yang paling penting pada tahap awal pendidikan formal ada tiga yaitu : membaca, menulis dan berhitung. Keberhasilan dari pembelajaran tersebut sangatlah ditentukan oleh guru, sebab guru yang baik adalah guru yang mempunyai kemampuan, baik kemampuan dalam memahami teori dan kemampuan dalam menyampaikan pembelajaran maupun kemampuan dalam memilih media pembelajaran yang tepat.
Dalam proses pembelajaran, baik bagi peserta didik pada Sekolah Dasar umum maupun pada Sekolah Khusus tidak dapat dihindari penggunaan media pembelajaran sebagai bagian yang integral. Salah satu media pembelajaran adalah buku ajar sebagai media konvensional yang sampai saat ini masih dipergunakan, namun penyajian yang ditulis dalam buku ajar ini umumnya berisi materi yang membutuhkan pemahaman yang tinggi karena bentuknya yang baku dan ilmiah, sehingga diperlukan media pembelajaran alternatif yang dapat membantu dalam mencapai tujuan pembelajaran di kelas. Anjuran agar menggunakan media dalam pembelajaran terkadang sulit dilaksanakan, disebabkan dana yang terbatas untuk membelinya. Menyadari hal itu, disarankan agar tidak memaksakan diri untuk membelinya, tetapi cukup membuat media pembelajaran yang sederhana selama menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Untuk tercapainya tujuan pembelajaran tidak mesti dilihat dari kemahalan suatu media, yang sederhana juga bisa mencapainya, asalkan guru pandai menggunakannya serta mampu memanipulasi media sebagai sumber belajar dan sebagai penyalur informasi dari bahan yang disampaikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran.
Media pembelajaran kartu atau Flash Cards merupakan salah satu media pembelajaran visual yang sederhana untuk mempermudah cara belajar peserta didik, media ini dibuat dengan biaya yang relatif murah, mudah dipahami dan dimengerti, namun sangat diperlukan sebagai alat bantu yang dapat merangsang motivasi belajar dalam membaca permulaan. Menurut Basuki Wibawa dan Farida Mukti (2001 :30) ”media kartu atau flash cards biasanya berisi kata-kata, gambar atau kombinasi dan dapat digunakan mengembangkan perbendaharaan kata-kata dalam mata pelajaran bahasa pada umumnya dan pada bahasa asing pada khususnya”.
Kenyataan di lapangan pada beberapa Sekolah Luar Biasa, masih banyak ditemukan siswa-siswa baik yang masih sekolah maupun yang telah lulus, namun tetap belum dapat membaca dengan baik dan benar, meskipun hanya membaca kata-kata sederhana. Hal tersebut juga menjadi permasalahan serius di SLB Negeri X Kabupaten X. Dan apabila hal ini dibiarkan, maka tujuan institusional sekolah luar biasa akan semakin jauh dari kenyataan Dengan melihat pentingnya kemampuan membaca, khususnya membaca permulaan, inilah siswa kelas II Tunagrahita Ringan SLB Negeri X Kabupaten X mengalami permasalahan, hal ini dapat kita lihat pada nilai raport semester 1 tahun pelajaran XXXX/XXXX pada tabel berikut ini :
** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Apakah penggunaan media pembelajaran kartu kata dapat meningkatkan prestasi belajar membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas II SLB Negeri X Kabupaten X?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan media pembelajaran kartu kata dalam meningkatkan prestasi belajar membaca permulaan anak tunagrahita ringan kelas II SLB Negeri X Kabupaten X
D. Manfaat Penelitian
Ada beberapa hal yang dapat diambil manfaat dari penelitian ini, adalah :
1. Manfaat Teoritis.
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber acuan dan referensi bagi penelitian tindakan kelas lain atau berikutnya.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi anak
Dengan penggunaan media pembelajaran kartu kata diharapkan dapat mengatasi permasalahan anak tunagrahita ringan dalam pembelajaran membaca permulaan.
b. Bagi Guru.
Kegiatan penelitian tindakan kelas ini akan melatih penulis sekaligus guru kelas dalam memecahkan permasalahan dan meningkatkan pembelajaran serta mencari strategi pembelajaran membaca permulaan yang tepat.
c. Bagi Sekolah
Hasil dari penelitian tindakan kelas ini dapat dikembangkan dan menjadi pedoman bagi pihak sekolah dalam menyusun strategi pembelajaran yang lainnya.
Skripsi Pengaruh Media Mahir Math SD 05 Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Anak Tunarungu Kelas D5 SLB X
(Kode PEND-PLB-0009) : Skripsi Pengaruh Media Mahir Math SD 05 Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Anak Tunarungu Kelas D5 SLB X Tahun Ajaran XXXX/XXXX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
”Istilah tunarungu diambil dari kata ’Tuna’ dan ’Rungu’. Tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara ”(Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1995: 26).
”Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sedangkan orang yang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengarannya” (Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996:26).
”Pada umumnya anak tunarungu memiliki inteligensi normal atau ratarata, akan tetapi karena perkembangan inteligensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, maka anak tunarungu akan menampakkan inteligensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Anak tunarungu akan mempunyai prestasi lebih rendah jika dibandingkan dengan anak normal atau mendengar untuk materi pelajaran yang diverbalisasikan” (Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996:35).
“Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang penting sebagai pengantar ilmuilmu pengetahuan yang lain dan banyak digunakan dalam kehidupan seharihari”. Pengajaran matematika tidak hanya ditekankan pada kemampuan berhitung, tetapi pada konsepkonsep matematika yang berkenaan dengan ide-ide yang bersifat abstrak (http://elearning.unej.ac..id).
Parwoto (2007:175) mengemukakan bahwa ”penelaahan bentukbentuk dalam matematika membawa matematika itu kedalam struktur-struktur yang abstrak. Jadi matematika dapat dikatakan ilmu tentang struktur-struktur yang abstrak”. Pengetahuan matematika merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak bagi muridmurid dan hal ini akan menimbulkan berbagai kesukaran mereka berkomunikasi. Abstraksi menurut Skemp (dalam Tombokan Runtukahu 1996: 64) adalah proses dimana murid (1) menyadari aturanaturan matematika dari pengalamannya, (2) mengenal aturanaturan itu pada kejadian-kejadian mendatang. Abstraksi berhubungan erat dengan pembentukan konsep. Pembentukan konsep harus terjadi dalam diri murid dan guru tidak membentuk konsep pada murid. Sedangkan anak tunarungu sering dikatakan kurang daya abstraksinya jika dibandingkan dengan anak mendengar. Tetapi harus dipertanyakan, daya abstraksi manakah yang kurang pada anak tunarungu?.
Berdasarkan berbagai penelitian, Myklebust dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996:13) berpendapat bahwa ”daya abstraksi yang kurang pada beberapa tugas hanya akibat dari terbatasnya kemampuan berbahasa anak, bukan suatu keadaan mental retardation/terbelakang mental”. ”Siswa Sekolah Dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidahkaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret” (Heruman, 2007: 1). Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu yang berupa media dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa. Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkrit, semi konkret, semi abstrak, dan selanjutnya abstrak (Heruman, 2007: 12).
Anak SD, pada usia itu masih berada pada tingkat operasional konkret. Ini berarti bahwa anak pada usia SD masih belum dapat berfikir secara abstrak. Oleh karena itu dalam mengajarkan bilangan misalnya, guru harus menggunakan bendabenda konkret. Sebagai contoh untuk mengajarkan 4 + 1, dapat dilakukan dengan menggunakan media kelereng atau media lainnya yang dapat diamati secara langsung. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk mengajarkan halhal yang bersifat abstrak kepada anak SD diperlukan adanya media pembelajaran yang kongkrit sementara anak masih belum mampu berfikir abstrak (http://sdn3bojonglopang.wordpers.com). Hal serupa juga diungkapkan oleh Agustin (Tintin) selaku kepala MagicMathic’s School. dalam situs www.alatperaga. com yang mengatakan bahwa “Matematika merupakan pelajaran yang abstrak, sedangkan fase berfikir anak usia SD masih pada tahap berpikir konkret. Alat peraga adalah sebuah media konkret yang sangat membantu dan mempermudah pemahaman anak”.
Dalam mendukung proses belajar mengajar yang lebih maksimal, ketersediaan buku pelajaran pokok atau bahan ajar, buku bacaan, alat peraga, media pembelajaran dan sumber belajar, sarana dan prasarana seperti perpustakaan, laboratorium, ruang serba guna, alat peraga IPA dan matematika serta alat pendidikan jasmani dan kesehatan yang mendukung peningkatan mutu pendidikan perlu diupayakan. Dikarenakan media pendidikan memiliki peranan yang penting dalam rangka meningkatkan hasil belajar, dan hasil belajar yang dicapai kemungkinan besar kurang maksimal jika kita tidak atau kurang menggunakan media/multipendidikan yang diperlukan. Hal ini selaras dengan Gene.L.Wilkinson (1984:58) bahwa ”media merupakan alat mengajar dan belajar. Peralatan ini harus tersedia ketika dan dimana ia dibutuhkan untuk memenuhi keperluan siswa dan guru yang harus menggunakannya”. Guru membutuhkan suatu media/perantara/alat bantu dalam proses pendidikan/proses belajar mengajar agar informasi yang disampaikan cepat sampai dan mudah diterima oleh para siswa. Dalam proses belajar mengajar, matematika merupakan salah satu pengajaran yang memerlukan media pembelajaran dalam penyampaiannya.
“Hakekatnya untuk mencapai tujuan pembelajaran harus ada materi yang diajarkan, metode, media dan evaluasi. Salah satu komponen ini tidak ada, maka kita tidak bisa mencapai tujuan pembelajaran. Jadi media matematika sangat penting” (www.tutorialmagicmathics.com) Media ’Mahir Math SD 05’ mungkin dapat membantu anak tunarungu terhadap peningkatkan prestasi belajar matematika karena media ini disajikan dengan perpaduan antara beberapa media yang memungkinkan dapat memaksimalkan anak dalam mengikuti proses belajar mengajar. Selain itu, media ini juga berisi grafik dan gambar yang menarik yang mungkin dapat membuat anak lebih tertarik terhadap mata pelajaran yang sedang diajarkan, sehingga anak akan merasa lebih termotivasi dan tidak mudah bosan dalam mengikuti proses belajar mengajar. Kekurangan dari media ini adalah penyajiannya yang memerlukan beberapa media sekaligus terkadang membuat guru merasa kerepotan. Mulyanti Sumantri dan Johar Permana (2001:153) mengemukakan bahwa, “media pengajaran adalah segala alat pengajaran yang digunakan guru sebagai perantara untuk menyampaikan bahanbahan instruksional dalam proses belajar mengajar sehingga memudahkan pencapaian tujuan pengajaran tersebut”. Dalam suatu proses belajar mengajar, pesan yang disalurkan media dari sumber pesan ke penerima pesan itu adalah pelajaran.
Dengan kata lain, pesan itu adalah isi pelajaran yang berasal dari kurikulum yang disampaikan oleh guru kepada siswa. Media ’Mahir Math SD 05’ adalah sebuah software matematika yang dibuat khusus untuk mengajarkan mata pelajaran matematika untuk anak kelas 5 Sekolah Dasar (SD). ’Mahir Math SD 05’ adalah sebuah alat pengajaran yang termasuk dalam media audio visual yang berupa software matematika yang berisi gambar, grafik dan warna yang menarik, yang dibuat secara khusus untuk membantu proses pembelajaran matematika. Sedangkan untuk penyajian materi digunakan beberapa media sekaligus yang dikendalikan komputer (media terpadu), yaitu dengan menggunakan komputer, LCD dan sofware matematika. Media ini dipergunakan dalam pembelajaran matematika dengan tujuan agar mampu membantu anak dalam menangkap pelajaran matematika yang bersifat abstrak.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa anak tunarungu mengalami gangguan dalam menerima pelajaran, khususnya mata pelajaran matematika disebabkan karena pendengaran mereka kurang atau bahkan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga anak kurang maksimal dalam menerima pelajaran yang disampaikan secara verbal. Hal tersebut juga berdampak pada daya abstraksi anak tunarungu. Padahal matematika adalah salah satu pelajaran yang bersifat abstrak. Dengan adanya media ’Mahir Math SD 05’ mungkin dapat memaksimalkan anak dalam menerima pelajaran. Dengan demikian, kami mengangkat penelitian yang berjudul “ Pengaruh Media ’Mahir Math SD 05’ untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Anak Tunarungu SLBB X Tahun Ajaran XXXX/XXXX”
B. Identifikasi Masalah.
Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan sebagian atau seluruh pendengarannya, sehingga mengakibatkan mereka kurang mampu menerima pelajaran dengan maksimal seperti halnya pada anak normal.
2. Prestasi belajar matematika anak tunarungu cenderung rendah. Padahal anak tunarungu memiliki tingkat kecerdasan ratarata. Hal ini disebabkan karena kurangnya daya abstraksi anak tunarungu, yang mampu menghambat anak dalam memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru, terutama pada mata pelajaran matematika.
3. Dalam penyampaian pelajaran matematika, diperlukan media pendidikan ’Mahir Math SD 05’ yang berupa software matematika yang diharapkan mampu meningkatkan prestasi belajar siswa.
C. Pembatasan Masalah.
Agar suatu masalah dapat dikaji secara mendalam, maka perlu pembatasan masalah. Hal ini penting agar masalah yang dikaji menjadi jelas dan dapat mengarahkan perhatian dengan tepat, karena apabila masalah terlalu luas, maka akan menyulitkan untuk dikaji dan diteliti secara mendalam. Dalam penelitian ini, permasalahan yang akan diteliti adalah pada masalah pengaruh media ‘Mahir Math SD 05’ untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunarungu kelas D5 SLBB X tahun ajaran XXXX/XXXX
D. Prestasi balajar matematika
Dalam penelitian ini prestasi belajar matematika yang dibahas yaitu prestasi belajar dalam memahami materi pengukuran dan geometri, yang meliputi sifatsifat bangun datar, sifatsifat bangun ruang, dan jaringjaring bangun ruang.
E. Anak tunarungu.
Anak tunarungu yang kami teliti adalah anak yang mangalami gangguan pendengaran sehingga mereka kurang atau bahkan tidak mendengar, sehingga mengakibatkan terganggunya kemampuan berbahasa dan kurang daya abstraksi.
Upaya peningkatan prestasi belajar matematika anak tunarungu. Salah satu upaya peningkatan perstasi belajar matematika anak tunarungu adalah dengan media ’Mahir Math SD 05’ yang berupa software matematika.
F. Perumusan Masalah.
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, dapat penulis rumuskan “Apakah ada pengaruh penggunaan media ‘Mahir Math SD 05’ terhadap peningkatan prestasi belajar anak tunarungu kelas D5 SLBB X tahun ajaran XXXX/XXXX”.
G. Tujuan Penelitian.
Tujan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh penggunaan media ‘Mahir Math SD 05’ terhadap peningkatan prestasi belajar anak tunarungu kelas D5 SLBB X tahun ajaran XXXX/XXXX”.
2. Untuk mengetahui perbedaan nilai ratarata prestasi belajar matematika anak tunarungu kelas D5 SLBB X antara sebelum dan sesudah mendapat perlakuan.
H. Manfaat Penelitian.
Dengan mengadakan penelitian pengaruh media ‘Mahir Math SD 05’ terhadap peningkatan prestasi belajar matematika ini, diharapkan penelitian ini mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
- Dapat memperkaya pengetahuan mengenai media pendidikan, khususnya media “Mahir Math SD 05”.
- Dalam memberikan alternatif pemilihan media serta cara menggunakannya sesuai dengan kondisi anak didik.
2. Manfaat praktis
a. Dapat merangsang guru untuk membuat media pembelajaran yang sejenis dengan media ’Mahir Math SD 05’ yang lebih menarik dan efektif.
b. Dengan media ’Mahir Math SD 05’ siswa menjadi lebih bersemangat belajar, karena pelajaran yang disampaikan tidak monoton dan lebih menarik perhatian.
c. Dapat memberikan alternatif peningkatan prestasi belajar matematika yang disebabkan oleh media “Mahir Math SD 05”.
Skripsi Upaya Peningkatan Kreativitas Anak Tunarungu Dalam Memasak Melalui Variasi Olahan Keripik Pisang Bagi Anak Kelas XB SMALB Negeri X
(Kode PEND-PLB-0010) : Skripsi Upaya Peningkatan Kreativitas Anak Tunarungu Dalam Memasak Melalui Variasi Olahan Keripik Pisang Bagi Anak Kelas XB SMALB Negeri X Tahun XXXX/XXXX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai mahkluk Tuhan diciptakan dengan ciri dan kondisi masingmasing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan oleh karena itu patut dikembangkan sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masing-masing. Demikian pula halnya dengan para penyandang tunarungu karena mereka merupakan bagian dari keanekaragaman tersebut. Tunarungu memiliki kebutuhan dan hak yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang lain atau bahkan dengan anak normal dalam hal pendidikan. Akan tetapi, dengan keterbatasan yang dimilki oleh mereka baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektual maka mereka memerlukan pemenuhan kebutuhan yang berbeda sesuai dengan kondisi mereka. Tujuan dari upaya pendidikan yang diusahakan bagi para penyandang tunarungu khususnya dan anak-anak berkebutuhan khusus pada umumnya adalah agar mereka dapat mengembangkan diri semaksimal mungkin sesuai kondisi mereka agar tidak menjadi beban dalam keluarga dan lingkungannya, sebagaimana tertuang dalam Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) yang dikembangakan berdasarkan tujuan setiap satuan pendidikan, yaitu : “ pendidikan menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan : meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri.......” (Depdiknas, 2006: 67).
Dari waktu ke waktu keberadaan anak tunarungu sebagai salah satu dari bagian “Anak Luar Biasa “ semakin meningkat, salah satunya diindikasikan dengan terus bertambahnya jumlah anak tunarungu yang masuk Sekolah Luar Biasa. Dengan demikian pendidikan yang diberikan pada anak tunarungu terutama pada sekolah formal, memiliki peran penting berupa layanan yang mendasar sebagai tumpuan dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus yaitu melalui pendidikan khusus pula.
Kecakapan hidup yang meliputi kacakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan ataupun kecakapan vokasional merupakan tujuan penting dari pendidikan bagi anak tunarungu khususnya dan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, pelajaran tataboga/memasak sabagai salah satu pelajaran vokasional yang dipilih dengan menitikberatkan pada penanaman ketrampilan untuk hidup mandiri. Oleh karena itu peneliti berupaya menjadikan mata pelajaran tata boga/memasak ini bisa lebih diminati siswa dan sebagai salah satu langkah untuk menumbuhkan kreativitas serta diharapakan dapat memacu kreativitas mereka dalam hal atau kegiatan lainya.
Keterbatasan anak tunarungu yang meliputi keterbatasan bahasa dan keterbatasan komunikasi menuntut guru untuk selalu bereksplorasi dan memberikan apa yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi masing-masing siswa. Agar pembelajaran yang diberikan dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan sehingga menarik siswa untuk senantiasa aktif dalam pembelajaran, serta mampu memberikan pengalaman belajar yang efektif guna menanamkan konsep yang lebih kuat dan tahan lama dalam memori intelegensi anak.
Pada dasarnya anak tunarungu di kelas XB SMALB Negeri X memiliki intelegensi yang sama dengan anak normal. Tetapi, karena keterbatasan bahasa dan keterbatasan komunikasi yang dimilikinya, mereka mengalamani hambatan pada aspek intelegensi yang bersifat verbal, sedang intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motoriknya normal bahkan dapat berkembang lebih cepat. Di SMALB Negeri X tempat peneliti bertugas, anak tunarungu yang memiliki intelegensi yang cukup untuk berkreativitas dalam pelajaran memasak pada khususnya dan pelajaran lain pada umumnya, masih belum dapat memaksimalkan kreativitasnya, hal ini diindikasikan dengan cara mereka belajar atau belajar bekerja yang masih menerima apa yang di instruksikan guru tanpa adanya pengembangan dari para siswa tersebut, kalaupun ada tingkat kreativitasnya masih sangat sedikit.
Menghasilkan masakan dengan cita rasa yang baik dan sesuai dengan selera merupakan tujuan utama dari pelajaran tata boga atau memasak disamping mendidik para siswa untuk memasak sesuai dengan cara atau teori yang benar. Tetapi penyajian dan penataan masakan yang menarik yang dapat mengundang selera memerlukan seni tersendiri. Untuk itu diperlukan kreativitas yang tinggi dari pemasak untuk menghasilkan masakan yang baik untuk menggugah selera.
Mengingat pentingnya kreativitas dalam kehidupan sehari-hari, semua orang pada umumnya, dan terlebih lagi bagi anak tunarungu pada khususnya, sudah sewajarnya bila pembinaan anak-anak di SMALB Negeri X perlu ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) ketrampilan vokasional SMALB bagian B (Tunarungu) terutama Teknologi Pengolahan yang salah satunya berbunyi sebagai berikut : “Mengapresiasi dan menerapkan teknologi pengolahan produk makanan dengan teknik daur ulang dan teknik pengolahan satu bahan menjadi berbagai produk makanan” (Depdiknas, 2006 : 150).
Kondisi kreativitas siswa di kelas X B SMALB Negeri X menunjukan bahwa dari 5 anak tunarungu yang ada hanya satu yang sudah menunjukan kreativitasnya dalam belajar dan itu pun belum secara maksimal. Hal ini disebabkan salah satunya oleh belum maksimalnya peneliti sabagi guru dalam mengembangkan kreativitas anak-anak didik di SMALB Negeri X. Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini peneliti mencoba untuk melakukan upaya peningkatan kreativitas melalui perbaikan pembalajaran dalam penelitian tindakan kelas.
B. Rumusan Masalah
Atas dasar pemahaman terhadap latar belakang masalah tersebut diatas penelitian diharapkan dapat menjelaskan hal berikut : “Apakah melaui variasi hasil olahan keripik pisang dapat meningkatkan kretivitas siswa tunarungu dalam pelajaran memasak?”
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, peneliti membatasi penelitian yakni pada masalah : “Kreativitas siswa Tunarungu kelas X B SMALB Negeri X dalam memasak melalui variasi hasil olahan keripik pisang”.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, dan pembatasan masalah, akhirnya dapat peneliti simpulkan bahwa rumusan masalah sebagai hal yang perlu dipahami dan dikaji lebih mendalam dalam penelitian ini.
Adapun penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : ”Ingin mengetahui peningkatan kreativitas anak Tunarungu kelas XB SMALB Negeri X dalam memasak melalui variasi olahan keripik pisang”.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pembinaan kreativitas siswa kelas XB SMALB Negeri X pada khususnya dan bagi pengembangan kreatifitas siswa tunarungu pada umumnya. Secara sederhana dapat dipetik manfaat penelitian sebaagai berikut :
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah dapat dijadikan bahan referensi ilmu pendidikan pada umumnya dan bagi pendidikan luar biasa pada khususnya.
2. Secara Praktis
Sedangkan dalam praktiknya hasil penelitian ini bermanfaat sebagai berikut :
a. Bagi Siswa
Memberi gambaran dan motivasi untuk meningkatkan kreatifitas dalam memasak baik di sekolah maupun di rumah atau dikeluarga.
b. Bagi Peneliti
Sebagai acuan pada penelitian selanjutnya untuk senantiasa mengembangkan pembelajaran yang maksimal, selalu menghasilkan pemikiran yang inovatif, lebih jeli, dan kreatif guna menciptakan pembelajaran yang kondusif bagi anak tunarungu.
c. Bagi Teman Sejawat
Memotifasi teman sejawat untuk senantiasa berkompetitif dalam menciptakan atau mencari pembelajaran yang lebih baik sehingga tercipta kondisi belajar yang kondusif di SMALB Negeri X.
Skripsi Hubungan Pembelajaran Ketrampilan Terhadap Motivasi Berwiraswasta Di SLB-B X
(Kode PEND-PLB-0008) : Skripsi Hubungan Pembelajaran Ketrampilan Terhadap Motivasi Berwiraswasta Di SLB-B X Tahun Ajaran XXXX/XXXX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan anak berkebutuhan khusus atau defabel, khususnya anak tuna rungu sangatlah kompleks dan menarik untuk dibicarakan. Salah satunya yaitu dalam dunia pekerjaan dimana setelah mereka lulus dari jenjang pendidikan formal maupun non formal nanti, mereka akan sulit mencari pekerjaan. Apalagi pada situasi sulit seperti sekarang ini, jumlah pencari kerja yang sangat besar tetapi lapangan pekerjaan yang tersedia juga terbatas serta masih rendahnya mutu ketrampilan yang dimiliki oleh para lulusan pendidikan formal maupun non formal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang di ungkapkan oleh Munawir Yusuf (1997: 3) tentang masalah tenaga kerja yaitu :
Tidak hanya masalah ledakan jumlah pencari kerja tetapi rendahnya mutu dan ketrampilan yang dimiliki oleh sebagian tenaga kerja yang ada sehingga kesempatan kerja yang ada sering tidak dapat di isi karena ketrampilan dan persyaratan yang dimiliki tenaga kerja tidak sesuai.
Permasalahan lain yang timbul yaitu mereka harus dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat (perusahaan) memang belum bisa meneriam sepenuhnya atau enggan menerima mereka untuk bekerja, karena masyarakat mempunyai asumsi bahwa penyandang cacat tidak memiliki skill atau kemampuan seperti orang normal. Untuk bekerja penyandang cacat dianggap kurang potensial dan efektif. Kalau hal tersebut terjadi secara terus menerus, maka akan terjadi persaingan yang tidak seimbang yang mana keadaan penyandang cacat akan semakin sulit.
Akibatnya sebagian besar penyandang cacat akan menjadi pengangguran dan hidup mereka akan tergantung pada orang lain. Kalau keadaan tersebut terus dibiarkan sementara laju pertumbuhan penduduk tetap tinggi, maka akan berakibat jumlah pengangguran bertambah banyak. Sehingga akan berakibat timbulnya berbagai masalah social seperti kemiskinan dan kriminalitas. Untuk itu harus ada suatu upaya agar permasalahan diatas dapat ditanggulangi. Seperti hal nya meningkatkan kualitas pendidikan, mendirikan balai latihan kerja dsb. Dengan demikian maka defabel harus diberikan pendidikan atau latihan agar menjadi tenaga kerja yang mandiri dan berdaya saing, terlebih mengingat kondisi mereka dalam meraih kesempatan kerja selalu mendapat tantangan yang lebih besar seperti persaingan yang tidak seimbang, asumsi masyarakat yang negatif bahwa defabel kurang potensial dan efektif dalam bekerja sehingga perusahaan pun enggan memperkerjakan mereka kalaupun ada hanya sebagian kecil perusahaan yang mau atau bersedia menerima mereka untuk bekerja.
Dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 pasal 27 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan”. Dari pasal tersebut saja dapat disimpulkan bahwa semua warga negara termasuk penyandang cacat berhak memperoleh proporsi atau kesempatan kerja yang sama dengan orang normal. Salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut adalah membuka lapangan usaha untuk sendiri dan orang lain. Membuka usaha atau wiraswasta tentu tidaklah mudah, para penyandang cacat harus memiliki bekal atau kemampuan salah satunya kemampuan dalam ketrampilan atau karya, karena ketrampilan dapat dijadikan salah satu modal untuk berwiraswasta. Sepertinya pada saat ini sudah banyak sekolah sekolah khususnya sekolah yang menangani defabel yang memberikan pendidikan ketrampilan karena selain pendidikan formal yang wajib diberikan disekolah, pendidikan ketrampilan juga dirasa sangat penting. yang mana nanti defabel akan dilatih untuk bisa menguasai jenis ketrampilan tetentu.
Sehingga ketika mereka lulus nanti, defabel sudah memiliki bekal sendiri. Mereka akan mau dan mampu berwiraswasta atau wirausaha sendiri ketika perusahaan tidak dapat menampung mereka untuk bekerja. Seperti pernyataan yang diungkapkan oleh Wasty Sumanto (1996:137) “Sekarang sekolah-sekolah kita dihadapkan pada suatu tantangan dan tuntutan jaman, dimana sekolah harus mulai berusaha mewujudkan manusia wiraswasta dilingkungan sekolah”. Dalam pelaksanaan Pembelajaran ketrampilan disekolah tidak terlepas dengan adanya kurikulum yang mengaturnya. Dalam melaksanakan pembelajaran ketrampilan ada dua hal yang harus mendapat perhatian yaitu proses dan hasil karya. Kegiatan proses membawa siswa kedalam penjelajahan dan pengalaman mengenai penemuan-penemuan baru yang tak habis-habisnya dengan dirinya, masyarakat serta ketrampilan dan hasil akhir dari kegiatan berkarya yang akan menghasilkan sesuatu yang akan memuaskan dirinya. Dalam hal ini siswa juga harus benar benar mengusai ketrampilan yang diajarkan secara baik, karena penguasaan ketrampilan sangat berhubungan terhadap pembentukan sikap siswa yang mana akan termotivasi dan terbentuk sikap mental yang baik dalam berwiraswasta. Ketika motivasi telah dimiliki oleh para siswa penyandang cacat maka niscaya kemandirian mentalitas akan terbentuk. Pendidikan ketrampilan merupakan salah satu bidang study yang mempunyai kekhususan yaitu disamping para siswa memperoleh pengetahuan ilmu siswa juga mendapat ketrampilan berbuat yang diakhiri dengan terwujudnya suatu karya. Jadi pendidikan ketrampilan merupakan salah satu usaha dan upaya untuk menimbulkan motivasi berkarya pada diri anak yang akhirnya anak sanggup menciptakan sesuatu yang bermanfaat atau berguna untuk dirinya dan orang lain. Dengan diberikannya pendidikan ketrampilan kepada anak menjadi dasar pengembangan bakat dan kemampuan diri sendiri dan dijadikan sarana untuk mencari nafkah yaitu dengan berwiraswasta. Oleh karena itulah penulis merasa perlu mengadakan penelitian mengenai HUBUNGAN PEMBELAJARAN KETRAMPILAN TERHADAP MOTIVASI BERWIRASWASTA DI SLB-B X.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Permasalahan penyandang cacat khususnya anak tuna rungu sangat kompleks, salah satunya yaitu sulitnya mencari pekerjaan setelah mereka lulus pendidikan formal nanti hal ini disebabkan adanya persaingan yang tidak seimbang antara tenaga kerja cacat dengan tenaga kerja normal. Salah satu faktor pendorong yaitu asumsi masyarakat yang negatif bahwa penyandang cacat tidak mempunyai skill, kurang efektif dan efisien seperti orang normal sehingga perusahaan belum bisa sepenuhnya menerima tenaga kerja cacat.
2. Dengan penyelenggaraan rehabilitasi karya yang berbentuk pengajaran atau pelatihan ketrampilan disekolah yang mana penyandang cacat akan dilatih agar bisa menguasai beberapa jenis ketrampilan tertentu, sehingga ketika penyandang cacat lulus dari sekolah, mereka sudah mempunyai bekal karena mampu berwiraswasta sebagai alternatif ketika mereka tidak diterima bekerja.
3. Pembelajaran yang maksimal dan penguasaan ketrampilan pada diri siswa harus benar-benar dimiliki.karena sangat berhubungan pada pembentukan sikap siswa yang mana siswa akan menjadi termotivasi dan terbentuk sikap mental wiraswasta yang baik pula.
C. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian serta dapat menjawab permasalahan secara fokus dan mendalam. Maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi. Adapun pembatasan masalah yang diajukan penulis adalah sebagai berikut :
1. Objek penelitian meliputi : Pembelajaran ketrampilan, dan motivasi berwiraswasta
2. Pembelajaran ketrampilan adalah suatu proses pembelajaran dengan memperkenalkan anak didik kepada dunia karya yang akan berguna dimasa yang akan datang.
3. Motivasi berwiraswasta adalah suatu dorongan yang berhubungan dengan upaya seseorang untuk mencapai suatu tujuan agar dapat menjadi insan mandiri, produktif dan tidak bergantung pada orang lain yang mana terwujud dalam suatu wadah yaitu wiraswasta dengan bekal kemampuan yang telah dimiliki.
D. Perumusan Masalah
Agar masalah dalam penelitian dapat terjawab dengan baik, maka masalah harus dirumuskan dengan jelas dan bertitik tolak dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada hubungan positif Pembelajaran Ketrampilan terhadap Motivasi Berwiraswasta di SLB B X tahun ajaran XXXX/XXXX?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan positif pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta di SLB-B X Tahun Ajaran XXXX/XXXX.
F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian hubungan antara pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis :
a) Untuk menambah khasanah pustaka khususnya yang menyangkut bidang pembelajaran ketrampilan dan motivasi berwiraswasta.
b) Untuk memberikan gambaran akan arti pentingnya pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta.
2. Kegunaan Praktis :
a) Sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pengarahan kerja bagi penyandang cacat agar sesuai bakat dan ketrampilan yang dimilikinya.
b) Penelitian ini bisa dijadikan masukan SLB-B X untuk meningkatkan pendidikan ketrampilan yang sudah ada.
Skripsi Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Bagi Anak Tuna Grahita Kelas D1/C SLB X
(Kode PEND-PLB-0006) : Skripsi Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Bagi Anak Tuna Grahita Kelas D1/C SLB X Tahun Ajaran XXXX/XXXX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak Tunagrahita merupakan salah satu golongan anak berkelainan mental yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan memiliki keterbatasan dalam hal berpikir, kemampuan berpikirnya rendah, perhatiannya dan daya ingatannya lemah, sukar berpikir abstrak, serta kurang mampu berpikir logis, ini senada dengan pendapat Moh. Amin (1995 : 11), mengemukakan bahwa :
Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata rata. Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan yng berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan symbol-symbol, berhitung dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Kemampuan intelektual anak tunagrahita yang berada di bawah rata-rata ini mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalan menerima pelajaran, khususnya pelajaran matematika. Di samping itu, mereka juga mengalami keterbatasan dalam hal berpikir abstrak, sulit dan berbelitbelit sehingga prestasi belajar matematika nyapun rendah.
Mengajarkan matematika pada anak tunagrahita agar lebih berhasil hendaknya disampaikan menggunakan sesuatu yang konkret, mudah dipahami, menggunakan contohcontoh yang sederhana, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dilakukan dalam situasi yang menarik dan meyenangkan, supaya anak tunagrahita tidak lekas jenuh serta termotivasi untuk belajar. Berdasarkan pernyataan di atas, jelas bahwa anak tunagrahita membutuhkan penanganan khusus dalam mengajarkan pelajaran matematika.
Penanganan khusus tersebut dapat direalisasikan dengan menggunakan media yang bersifat sederhana, konkrit, mudah digunakan dan mudah didapat, serta ekonomis. Media yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi anak dan sekolah yang ada. Salah satu media yang sesuai untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita adalah dengan media kartu.
” Media kartu di dalam pengajaran matematika merupakan suatu media yang memuat instruksi-instruksi yang berupa pertanyaan dan latihan yang digunakan untuk mempelajari ide mereka dalam bentuk kartu angka”. (Herman Hudojo (1988 : 136)). Media kartu yang digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita dalam penelitian ini dikemas dalam bentuk permainan, sebab permainan dapat membuat suasana lingkungan belajar menjadi senang, bahagia, santai namun tetap memiliki suasana yang kondusif. Melalui permainan siswa juga dilatih untuk bekerja sendiri, tabah, percaya diri tidak mudah putus asa dan pantang menyerah.
Menurut Jean Piaget dalam John D. Latuheru, (1988 : 109), yang menyatakan bahwa : Salah satu dasar proses-proses mental menuju kepada intelektual adalah melalui permainan, sebab anak-anak tidak akan terasa menghadapi kesukaran apabila dijaring dalam bentuk permainan, karena permainan memiliki beberapa kelebihan diantaranya permainan dirancang untuk bisa menjadikan konsep-konsep yang abstrak menjadi konsep konkret, dapat dimengerti dan menyenangkan, membantu ingatan anak terhadap pelajaran yang diberikan, permainan merupakan suatu selingan pemberian media atau alat peraga yang secara rutin berlangsung di kelas dari hari ke hari.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indianto dan kawankawan {2003 : 46} yang menunjukkan bahwa metode pembelajaran permainan dapat menumbuhkan rasa senang terhadap pelajaran matematika..Permainan matematika apabila digunakan secara berencana dengan tujuan instruksional, jelas, tepat, penggunaanya serta sesuai dengan waktunya dapat menjadi metode yang efektif untuk meningkatkan prestasi belajar matematika. Permainan kartu untuk mengajarkan matematika dalam penelitian ini digunakan untuk menerangkan penjumlahan dan pengurangan dari bilangan 1 10 dengan cara memberikan kartu kepada anak tunagrahita. Permainan kartu ini digunakan sebagai salah satu metode pembelajaran supaya anak tunagrahita termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam proses kegiatam belajar matematika.
Permainan kartu ini dibuat sesuai kemampuan dan kondisi anak tunagrahita sehingga mempermudah untuk memahami pelajaran matematika. Pengetahuan dan pemahaman konsep metematika yang diperoleh dari permainan kartu ini diharapkan memberikan bantuan motivasi untuk belajar sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika anak tuna grahita.
B. Perumusan masalah
Adapun perumusan masalah yang penulis harapkan adalah sebagai berikut : ” Apakah dengan media pembelajaran permainan kartu ada peningkatan prestasi belajar matematika bagi anak tuna grahita kelas DI/C SLB/BC X Tahun Ajaran XXXX/XXXX ?”
C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian yang penulis harapkan adalah dengan media pembelajaran permainan kartu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak tunagrahita kelas DI/C SLB/B-C X Tahun Ajaran XXXX/XXXX.
D. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Untuk membuktikan kebenaran hipotesis tindakan yang telah diajukan dalam penelitian ini dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
Mencari solusi untuk menangani masalah anak tuna grahita di kelas D1/C SLB/BC X tahun ajaran XXXX/XXXX.
Skripsi Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X
(Kode PEND-PLB-0007) : Skripsi Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X Tahun XXXX
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1yang berbunyi bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Sisdiknas tahun 2003 bab IV pasal 1 dinyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” dan pasal 2 yang berbunyi “Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak tunarungu berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.
Menurut Mufti Salim (1984: 8) menyimpulkan bahwa Anak tunarungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Karena kelainannya itu anak tunarungu mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara serta mengalami kesulitan berkomunikasi dengan sesamanya. Kenyataan bahwa anak tunarungu tidak dapat mendengar membuatnya tidak mungkin mengerti bahasa yang diucapkan orang lain dan karena tidak mengerti bahasa yang diucapkan orang lain dan dia tidak dapat bicara jika tidak dilatih bicara. Ketidakmampuan bicara anak adalah karakteristik yang membuatnya berbeda dengan anak lain. Manusia sebagaimana adanya adalah makhluk individu dan makhluk sosial yang akan senantiasa mengadakan interaksi dengan orang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan alat komunikasi dalam bentuk bahasa bicara. Sebagai akibat ketunarunguannya, anak tunarungu kurang atau tidak mampu menerima dan menyampaikan pesan-pesan dari dan kepada sesamanya melalui bicara secara memadai. Mereka hanya mengandalkan ketajaman penglihatan dan menggunakan sisa pendengaran untuk menangkap kejadian- kejadian dalam berkomunikasi.
Pakar pendidikan anak tunarungu Daniel Ling (1976) dalam Edja Sadjaah (2003: 2) mengemukakan bahwa “Ketunarunguan memberikan dampak inti yang diderita oleh yang bersangkutan yaitu gangguan/hambatan perkembangan bahasa”. Hambatan perkembangan bahasa memunculkan dampakdampak lain yang sangat komplek lainnya seperti aspek pendidikan, hambatan emosi sosial, hambatan perkembangan intelegensi dan akhirnya hambatan dalam aspek kepribadian. Artinya dampak inti yang diderita menimbulkan atau mengait pada dampak lain yang mengganggu kehidupannya. Beliau menguatkan pandangannya dengan mengutip pernyataan Katryn Miadows (1980) bahwa “kemiskinan yang dialami seseorang yang tuli sejak lahir adalah bukan kemiskinan atau kehilangan akan rangsangan bunyi melainkan kemiskinan dalam berbahasa”.
Juga dikuatkan oleh pendapat Van Uden (1971) dalam Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati (2000) bahwa “sebagai akibatnya anak tidak saja tunarungu melainkan tunabahasa”.
Selanjutnya Greg Leigh (1994) dalam Edja Sadjaah (2003: 2) mengemukakan bahwa “anak tuli pada umumnya menderita ketidakmampuan berkomunikasi lisan (bicara) akan membawa dampak utama yaitu terhambatnya perkembangan kemampuan berbahasa”.
Para ahli berpendapat bahwa sebagai akibat kehilangan pendengaran sedemikian rupa anak menjadi tunarungu atau menderita ketulian yang akhirnya membawa akibat pada kehidupan dirinya. Akibatnya adalah selain sukar berbahasa dan berbicara untuk kepentingan kehidupan dan juga terhadap perolehan pengetahuan yang lebih luas.
Anak yang normal mendengar bahasa yang diucapkan berbulan-bulan sebelum dia mulai berbicara. Orang normalpun memerlukan waktu untuk dapat mengerti bicara orang lain, apalagi anak tunarungu, karena itu mereka harus diberi kesempatan yang sama dengan anak lainnya untuk belajar berbahasa bicara.
Mengapa bahasa bicara ditulis bersama-sama, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan bicara melibatkan atau memfungsikan bahasa. Dalam berbicara, bahasa diwujudkan secara lisan. Kemampuan berbahasa lisan membutuhkan perbendaharaan bahasa yang banyak dan memahami arti bahasa bicara yang dimaksud.
Mata anak tunarungu harus dipakai sendirian yang bagi anak normal pekerjaan tersebut dipikul bersama dengan pendengaran. Dengan alasan ini anak tunarungu lebih banyak membutuhkan waktu untuk dapat berbicara dan tentu saja lingkungan di sekitar anak yang juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa bicara anak tunarungu tersebut.
Tingkat belajar siswa tunarungu khususnya kelas persiapan masih rendah utamanya belajar berbahasa bicara. Maka kita perlu mencari penyebabnya, mungkin cara belajar siswa, mungkin dari pihak guru dalam penyampaiannya. Inilah yang menjadi pangkal tolak mengapa guru perlu menggunakan beberapa metode dalam melakukan proses belajar mengajar. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan yang akan saling melengkapi. Metode yang dipilih hendaknya metode yang dapat mendorong siswa aktif. Metode yang dianggap baik bagi guru belum tentu mudah diterima oleh anak. Agar kemampuan berbahasa-bicara anak tunarungu dapat maksimal diperlukan perencanaan yang matang termasuk perencanaan penggunaan metode dan yang tidak kalah penting adalah media/alat peraga benda asli/tiruan, gambar dan kartu kata untuk mengkonkritkan sesuatu yang verbal. Pakar pendidikan anak gangguan pendengaran Vreede Varkamp (1985:sb) dalam Edja Sadjaah (2003: 17) menegaskan bahwa “mengajar mereka dalam berbahasa, media (alat bantu belajar) harus selalu menyertai kegiatan belajar itu. Tak ada artinya pembelajaran berbahasa kepada anak tuli tanpa disertai alat bantu (media), minimal gambar atau tiruannya/miniaturnya”.
Keterbatasan anak gangguan pendengaran dalam mengindera bunyi bahasa melalui pendengarannya menjadikan mereka memiliki keterbatasan dalam mengolah informasi. Dengan demikian pemanfaatan alat bantu/media dalam proses belajar, dapat membantu anak dalam mempertahankan daya ingat atas pengalaman yang dialaminya.
Melalui media pendidikan yang menarik perhatian, dapat mengurangi hambatan salah pengertian siswa. Untuk itu media penting dalam memusatkan perhatian dan memotivasi siswa dalam belajar.
Kemampuan berbahasa bicara siswa tunarungu khususnya kelas Persiapan di SLB Negeri Xtahun XXXX rendah utamanya pelajaran Bahasa Indonesia dalam aspek berbahasa bicara ini bisa dilihat pada tabel sebagai berikut:
Kondisi awal sebelum tindakan dapat penulis sampaikan melalui tes lisan dan perbuatan. Adapun hasil tes melalui analisis pada kemampuan berbahasa bicara disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Perolehan Skor Rerata Kemampuan Berbahasa Bicara Kondisi Awal :
** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **
Dengan melihat latar belakang tersebut, maka penulis mengadakan Penelitian Tindakan Kelas, yaitu “Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X Tahun XXXX”.
B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka muncul permasalahan yang dapat didefinisikan sebagai berikut : Apakah Metode Maternal Reflektif dapat meningkatkan kemampuan berbahasa bicara pada anak tunarungu kelas Persiapan di SLB Negeri X tahun XXXX?.
C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh Metode Maternal Reflektif terhadap peningkatan kemampuan berbahasa bicara pada anak tunarungu kelas Persiapan di SLB Negeri X tahun XXXX.
D. Manfaat penelitian
Penelitian terhadap masalah ini sangat penting menurut penulis, penggunaan Metode Maternal Reflektif sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa-bicara anak tunarungu. Dengan demikian diharapkan pula dapat menemukan jalan untuk meningkatkan pendidikan luar biasa khususnya anak tunarungu, lebih jelas lagi penulis uraikan manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Secara teoritis:
a.Menambah khasanah ilmu tentang penggunaan Metode Maternal Reflektif dapat meningkatkan kemampuan berbahasa bicara anak tunarungu.
b.Pijakan untuk penelitian selanjutnya.
2.Secara praktis:
a. Bagi siswa:
Dapat meningkatkan kemampuan siswa tunarungu dalam berbahasa bicara.
b. Bagi guru:
i. Guru terbiasa mengembangkan keterampilan dalam mengajar secara profesional melalui penelitian tindakan kelas.
ii. Guru lebih memahami bahwa anak merupakan pribadi yang unik dan berbeda satu sama lainnya.
b. Bagi Sekolah:
Bahwa Metode Maternal Reflektif tidak hanya digunakan dalam pembelajaran berbahasa-bicara tetapi dapat juga dapat digunakan untuk pelajaran yang lain.
Skripsi Peningkatan Kemampuan Matematika Melalui Media Permainan Kartu Berhitung Bagi Anak Tuna Grahita Ringan Kelas IV SLB Negeri X
(Kode PEND-PLB-0005) : Skripsi Peningkatan Kemampuan Matematika Melalui Media Permainan Kartu Berhitung Bagi Anak Tuna Grahita Ringan Kelas IV SLB Negeri X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak tunagrahita ringan merupakan salah satu anak luar biasa yang termasuk golongan anak berkelainan mental, kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata, kemampuan berfikirnya rendah, perhatian dan daya ingatnya lemah, sukar berfikir abstrak, serta tidak mampu berfikir yang logis. Mereka yang masih mempunyai kemungkinan untuk memperoleh pendidikan dalam bidang, membaca, menulis dan berhitung suatu tingkat tertentu serta dapat mempelajari ketrampilan atau permainan. Perhatian dan ingatan anak tunagrahita lemah, tidak dapat memperhatikan sesuatu hal dengan serius dan lama, sebentar saja perhatian anak tunagrahita akan berpindah pada persoalan lain, apalagi dalam hal memperhatikan pelajaran, anak tunagrahita cepat merasa bosan.
Pembelajaran Matematika pada anak tunagrahita ringan hendaknya dalam penyampaian materi pelajaran, guru menggunakan sesuatu yang konkret, mudah dipahami, menggunakan contoh-contoh yang sederhana, menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dilengkapi dengan alat peraga, dilakukan dalam situasi yang menarik dan menyenangkan dengan metode yang berganti-ganti supaya anak tunagrahita ringan tidak lekas jemu sehingga termotifasi untuk belajar. Dalam pembelajaran, guru hendaknya menggunakan alat peraga untuk memperjelas pelajaran yang disampaikan. Pemilihan alat pegara hendaknya disesuaikan dengan kondisi anak dan keadaan sekolah yang ada. Alat peraga yang digunakan hendaknya murah harganya, mudah digunakan serta tidak sulit didapat.
Jean Piaget (1988:44) menyatakan bahwa salah satu dasar proses mental menuju kepada pertumbuhan intelektual adalah dengan permainan, sebab anak-anak tidak akan merasa menghadapi kesukaran apabila diajak dalam bentuk permainan karena permainan memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan dari permaianan diantaranya permainan dirancang untuk bisa menjadikan konsep-konsep yang abstrak menjadi konsep konkrit, dapat dimengerti dan menyenangkan, bisa menarik perhatian anak, memberi motivasi untuk belajar, dan membantu ingatan anak terhadap pelajaran yang diberikan.
Permainan merupakan suatu selingan pemberian media atau alat peraga yang secara rutin berlangsung di kelas dari hari ke hari. Permainan membnatu membuat suasana lingkungan belajar menjadi menyenangkan, bahagia, santai, namun tetap memiliki suasana yang kondusif. Melalui permainan, siswa dilatih untuk bekerja sendiri, tabah, percaya diri, tidak mudah putus asa, dan pantang menyerah. Permainan kartu dalam pembelajaran Matematika digunakan untuk menerangkan penjumlahan dan pengurangan dengan bilangan di bawah angka 50 dengan cara memberikan kartu kepada anak.
Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan sebagai berikut : anak tunagrahita ringan diberi tahu soal kartu jawaban, guru mengambil salah satu soal secara acak, anak tunagrahita ringan diminta mencocokkan soalnya, barulah anak tunagrahita ringan diminta menghitung bilangan tersebut yang ada di dalam kartu soal dalam waktu yangsudah ditentukan, apabila anak tunagrahita ringan tidak mampu menyelesaikan dalam waktu yang disediakan maka dianggap salah.
Kenyataan yang terjadi pada pembelajaran di sekolah, guru dalam menyampaikan pelajaran matematika kepada anak tunagrahita ringan menggunakan alat peraga hitung jari. Padahal alat peraga hitung jari mempunyai keterbatasan. Contohnya pada pembelajaran matematika yang lebih dari dua puluh angka. Pada perhitungan matematika yang lebih dari dua puluh angka, anak tunagrahita ringan sering mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan jumlah jarijari yang dimiliki hanya dua puluh buah. Apabila kondisi seperti ini dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan kejemuan anak dalam mengikuti pelajaran, sehinggga anak tunagrahita ringan menjadi malas belajar dan kemampuan berhitungnya rendah.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah penggunaan media permainan kartu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita ringan kelas IV C SLBN X ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas media permainan kartu untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita ringan Kelas IV C SLBN X.
D. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diambil manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis:
Menambah khasanah ilmu dalam bidang peningkatan kemampuan matematika untuk anak tunagrahita ringan melalui media permainan kartu.
2. Manfaat praktis:
a. Dapat digunakan oleh guru SLB C khususnya dalam pemilihan alat peraga untuk meningkatkan prestasi matematika anak tunagrahita ringan.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi sekolah SLB untuk meningkatkan kualitas pembelajaran terhadap anak tunagrahita ringan khususnya pada pelajaran matematika.
Skripsi Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Melalui Metode Karyawisata Pada Anak Tuna Grahita Kelas Dasar III SLB-C X
(Kode PEND-PLB-0003) : Skripsi Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Melalui Metode Karyawisata Pada Anak Tuna Grahita Kelas Dasar III SLB-C X
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan intelegensi anak tunagrahita ringan berada dibawah rerata normal yaitu IQ : 55-69, seperti dikutip Muljono Abdurahman dan Sudjadi (1994 : 26) ada empat taraf retardasi mental menurut skala intelegensi Wechsler, yaitu “Reterdasi mental ringan (mild mental retardation), IQ 55-69, Retardasi mental sedang (moderate mental retardation) IQ 40-54, Retardasi mental berat (severe mental retardation) IQ 25-39 dan Retardasi mental sangat berat (profound mental retardation) IQ 24-ke bawah”.
Karena keterbatasan tersebut, anak tuna grahita kesulitan dalam menerima pelajaran yang bersifat abstrak, mereka memerlukan pola dan metode belajar khusus, terlebih lagi dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan erat dengan cara mencari tahu tentang alam, sehingga bukan hanya penguasaan pengetahuan yang berupa konsepkonsep, atau prinsipprinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SDLB-C diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik tuna grahita untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam penerapannya pada kehidupan seharihari.
Proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tingkat SDLB-C diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep dan kompetensi pekerja ilmiah secara bijaksana, menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung dari alam sekitar.
Sehingga pembelajaran IPA sebaiknya dilakukan secara inkuri ilmiah (scientific inquiry), dengan menggunakan metode karyawisata untuk menumbuhkan kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting dalam kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SDLB-C didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang ada pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Luar Biasa yaitu kurangnya alat peraga yang memadahi serta tidak tepatnya metode pembelajaran yang digunakan sehingga menyebabkan siswa jenuh dan berakibat pada rendahnya prestasi belajar IPA bagi siswa.
Untuk mengatasi permasalahan di atas maka diperlukan alat peraga yang mudah, murah serta dapat dijangkau oleh siswa serta guruu perlu menggunakan metode pengajaran yang tepat dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Metode pembelajaran yang tepat dan perlu dimaksimalkan adalah metode karya wisata. Dengan memanfaatkan lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar siswa sebagai bahan ajar diharapkan siswa dapat melakukan pengamatan pada obyek asli yang berkaitan langsung dengan materi pembelajaran.
Berawal dari latar belakang masalah tersebut maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah Metode Karya Wisata dapat meningkatkan prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam anak tuna grahita kelas dasar III SLB-C X ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) setelah menggunakan metode Karyawisata pada anak tuna grahita kelas Dasar III SLB-C X.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :
a. Manfaat praktis bagi guru dan siswa
Melalui penelitian ini penulis ingin mengembangkan metode Karyawisata guna meningkatkan pelayanan pada anak tuna grahita, khususnya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
b. Manfaat Teoritis
Secara teori manfaat yang akan dicapai melalui penelitian ini, penulis ingin membuktikan bahwa metode karyawisata menjadi salah satu alternatif dalam pembelajaran yang memerlukan obyek asli bagi peserta didik anak tuna grahita.
Skripsi Penerapan Alat Peraga Pohon Bilangan Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas D2 SLB
(Kode PEND-PLB-0004) : Skripsi Penerapan Alat Peraga Pohon Bilangan Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas D2 SLB/C X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan umum pendidikan di negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (UU Sisdiknas, 2003:3)
Selaras dengan tujuan pendidikan nasional tersebut, sekolah diharapkan mampu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab.
Pendidikan harus memanusiakan manusia sesuai hakekatnya, manusia merupakan problem sentral pendidikan. Jadi, bagi anak-anak manusia Indonesia belajar/bersekolah itu adalah kewajiban, termasuk anak berkelainan, yiatu anak tunanetra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, dan tuna laras. Keberhasilan proses belajar mengajar ada hubungannya dengan cara guru menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Oleh karena itu peran guru dalam pembelajaran dapat berpengaruh terhadap kemajuan prestasi belajar siswa.
Kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di sekolah meliputi semua aktivitas yang memberikan materi pelajaran kepada siswa agar siswa mempunyai kecakapan dan pengetahuan memadai yang dapat memberikan bermanfaat bagi perkembangan peserta didik. Dalam proses belajar mengajar matematika selain melibatkan pendidik dan siswa secara langsung, juga diperlukan pendukung yang lain yaitu: alat pelajaran yang memadai, penggunaan metode yang tepat, serta situasi dan kondisi lingkungan yang menunjang.
Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam diri siswa sendiri, maupun faktor dari luar berupa metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru mata pelajaran. Ngalim Purwanto (2002: 102) menjelaskan, “Ada dua faktor utama yang mempengaruhi belajar yaitu dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut faktor individual, dan faktor yang ada di luar individu yang disebut faktor sosial”. Faktor yang termasuk ke dalam faktor individula antara lain: faktor kematangan/pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi.
Sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain: faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial. Di antara faktor di atas, faktor guru dan cara mengajar memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Bagaimana sikap dan kepribadian guru, ”tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana guru itu mengajarkan pengetahuan itu kepada peserta didiknya, turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai peserta didik” (Ngalim Purwanto, 2002: 104-105).
Matematika merupakan ilmu mengenai struktur dan hubungan struktur yang telaah adalah struktur mengenai pola, hubungan dan aturan-aturan. Hubunganhubungan tersebut di dalam matematika berbentuk rumus (teorema dan dalil) matematika. Menurut Jujun S. Suriasumantri (1998:191), “matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan”. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial”, baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Matematika timbul sebagai hasil pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran, sehingga dalam mempelajari matematika sangat dibutuhkan pengertian, pemikiran dan pemahaman serta tidak cukup hanya bermodalkan hafalan saja.
Dalam suatu kegiatan belajar mengajar matematika akan menghasilkan keluaran (ouput) yang berkualitas jika didukung oleh pemanfaatan semua komponen yang ada secara maksimal. Dilihat dari komponen-komponen yang ada satu diantaranya adalah penggunaan alat peraga yang tepat. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh guru maupun siswa tentu mempunyai tujuan. Lebih-lebih guru dalam pelaksanaan tugasnya mengajar atau melakukan kegiatan belajar mengajar selalu dan harus berorientasi pada tujuan yang sudah ditentukan. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana penggunaan alat peraga yang sesuai agar dalam waktu yang relatif terbatas dapat tercapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
Siswa penyandang tuna grahita memiliki keterbelakangan mental bila dibanding anak normal pada umumnya. Anak tuna grahita mempunyai kecerdasan atau IQ di bawah 84, memiliki keterbatasan dalam hal berfikir, daya ingatnya rendah, sukar berfikir abstrak, daya fantasinya rendah, sehingga mereka mengalami kesulitan belajar termasuk dalam bidang studi matematika yang diakibatkan karena daya ingatnya rendah dan sukar berfikir abstrak.
Dengan adanya sistem pendidikan dan pengajaran anak berkelainan khususnya anak tuna grahita ringan berbeda dengan pendidikan anak normal pada umumnya. ”Untuk anak tuna grahita ringan lebih bersifat individual, fleksibel, dengan cara informal, dan harus bersifat konkrit serta dapat menarik perhatian sehingga membantu mempermudah anak dalam menerima pelajaran” (Mohammad Amin, 1996: 155).
Media pendidikan yang berupa alat peraga bagi anak tuna grahita dapat membantu mempermudah proses belajar mengajar, bahkan Arief S. Sadiman dkk (2003:16-17) mengemukakan bahwa media pendidikan mempunyai kegunaan sebagai berikut:
a) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka); b) mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indra; dan c) dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik dalam hal ini media berguna untuk: menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan, dan memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.
Alat peraga dapat membantu untuk mengatasi berbagai macam hambatan diantaranya mengurangi sifat verbalisme, mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan tipe belajar murid karena kelemahan di salah satu indra, mengatasi sifat anak pasif menjadi aktif, membantu mengatasi kesulitan guru dalam memberikan pelayanan belajar kepada murid memperingan beban guru, dan mempermudah belajar murid atau siswa. Karena itulah maka dalam pengajaran matematika di SLB/C masih diperlukan alat peraga. Sebagai guru matematika perlu mengetahui macam-macam alat peraga yang dapat dipakai dalam pembelajaran matematika, salah satu alat peraga matematika yang dipakai dalam pembelajaran adalah alat peraga pohon bilangan.
Dengan memahami kebutuhan para siswa tuna grahita, maka guru diharapkan dapat memanfaatkan alat peraga yang tepat bagi siswa tuna grahita yang memiliki keterbatasan dibanding anak normal karena anak tuna grahita memiliki intelektual rendah dengan ciri-ciri: ”(1) keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata, (2) ketidakmampuan dalam perilaku adaptif, dan (3) terjadi selama perkembangan sampai usia 18 tahun” (Salim Choiri dan Munawir Yusuf, XXXX:56). Hal yang perlu dicatat adalah membantu siswa untuk meneliti kebutuhan mana yang secara spesifik menimbulkan masalah, sehingga dengan bantuan media pembelajaran yang tepat, siswa dapat berusaha meningkatkan kreativitas sehingga kemampuan membaca dapat ditingkatkan sesuai dengan kondisi anak, sebagaimana yang dikemukakan (Salim Choiri dan Munawir Yusuf, XXXX:56) bahwa anak tuna grahita memiliki ciri-ciri fisik dan penampilan perkembangan bicara/bahasa terlambat.
Gambaran selintas, guru-guru di SLB/C X dalam praktiknya mereka hampir seluruhnya menerapkan prinsip-prinsip pengajaran konvensional, sehingga masih memerlukan pembenahan. Upaya pembenahan tersebut akan sangat bermanfaat bagi siswa, guru bahkan pihak sekolah. Pembenahan yang harus dilakukan tidak saja berkaitan dengan media pembelajaran namun juga pada aspek media pembelajarannya yang digunakan. Berdasarkan latar belakang dan berbagai pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan kelas dengan judul: PENERAPAN ALAT PERAGA POHON BILANGAN UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS D2 SLB/C X TAHUN PELAJARAN XXXX/XXXX.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti telah diuraikan di depan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Apakah penerapan alat peraga pohon bilangan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas D2 SLB/C X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX?.”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan alat peraga pohon bilangan terhadap meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas D2 SLB/C X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Untuk membuktikan kebenaran hipotesis tindakan yang telah diajukan dalam penelitian ini dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap dunia pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar matematika, sehingga siswa dapat menyelesaikan program pendidikan dengan lancar.
b. Sebagai bahan masukan bagi guru akan pentingnya alat peraga dalam pembelajaran sehingga prestasi belajar matematika dapat ditingkatkan.
c. Sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi penelitian tindakan kelas di masa mendatang.