Sejarah perekonomian mencatat desentralisasi telah muncul ke permukaan sebagai paradigma bam dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasawarsa 1970-an. Ide desentralisasi ini tidak hanya didorong untuk mengurangi kekuasaan sentralitas pusat, namun juga oleh adanya tuntutan dari daerah-daerah yang mempunyai variasi sifat, potensi, identitas, dan kelokalan yang berbeda-beda untuk memperoleh kewenangan yang lebih besar. Makna desentralisasi kekuasaan ini tidak hanya berkisar pada adanya kewenangan untuk melakukan pemerintahannya sendiri namun telah bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil dan baik dari Pemerintahan Pusat. Kenyataannya, di masa Orde Baru, pemerintah menerapkan sistem sentralisasi pemerintahan. Sehingga surplus produksi daerah yang kaya dan sumber alam ditarik dan dibagi-bagi untuk kepentingan pusat bukan diinvestasikan untuk pembangunan daerah tersebut. Daerah pusat menikmati kekayaan daerah sementara daerah sangat lamban berkembang. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat.
Setelah tahun 1998 dan keluarnya Undang-undang Otonomi daerah, beberapa daerah ingin memisahkan diri dari pemerintahan Republik Indonesia seperti Aceh, Papua, Riau, dan Timor Timur. Selain itu muncul banyak aspirasi dan tuntutan daerah yang ingin membentuk provinsi atau kabupaten baru. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru, terjadi tarik-menarik antara kelompok yang pro dan yang kontra. Akibatnya, rencana pemekaran wilayah, berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, meningkatkan suhu politik lokal seperti yang terjadi di beberapa daerah. Suhu politik lokal yang memanas di berbagai tempat tercermin pada mencuatnya saling ancam diantara kelompok-kelompok itu, baik pihak yang pro dan yang kontra terhadap pembentukan provinsi dan kabupaten baru, pemblokiran tempat-tempat strategis, mobilisasi massa atau penggalangan sentimen-sentimen kesukuan sampai ancaman pembunuhan (Pradjarta, 2004).
Gagasan otonomi daerah memiliki kaitan sangat erat dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Pada dasarnya, agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sebagai suatu sistem negara kesatuan. Wilayah negara yang terbagi ke provinsi, dan provinsi terbagi dalam kabupaten/kota, yang kemudian dibagi wilayah kecamatan adalah satu totalitas.
Selanjutnya, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah oleh Presiden Republik Indonesia. Sejak saat itu pula keinginan masyarakat di daerah untuk melakukan pemekaran meningkat tajam. Dimana sejak tahun 1999 hingga Desember 2009 telah terbentuk sebanyak 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 173 kabupaten dan 35 kota. Dengan demikian, total daerah otonom di Indonesia adalah 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. Data pemekaran tersebut diklasifikasikan pada 3 (tiga) fase yaitu :
- Fase berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, dimekarkan 11 (sebelas) kabupaten/kota (masa 1974-1998).
- Fase berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 (1999-2003), telah dibentuk 149 (seratus empat puluh sembilan) daerah otonom baru, terdiri dari 7 (tujuh) provinsi baru, dan 142 kabupaten/kota baru.
- Fase berlakunya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, telah dibentuk 53 (lima puluh tiga) kabupaten/kota baru (hingga akhir desember 2009)
(sumber : org/wiki/pem.daerah di Indonesia).
Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan publik bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.
Bangsa Indonesia melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Sejak saat itu berbagai pemikiran inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan secara efektif. Pemekaran wilayah merupakan implikasi berlakunya paket Undang-undang otonomi tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.
Salah satu implikasi dari perubahan paradigma penyelenggaraan pembangunan tersebut, daerah yang merasa diperlakukan kurang "adil" yang tercermin dari distribusi pendapatan dan tingkat pengembalian kekayaan yang dimiliki ke wilayah daerahnya, berusaha untuk mengembangkan daerah baru dan memisahkan diri dari induknya. Sudah barang tentu, implikasi dari terjadinya pemekaran daerah tersebut dirasakan dalam semua dimensi kehidupan penyelenggaraan pembangunan, karena potensi yang dimiliki oleh kedua daerah hasil pemekaran tersebut tidak homogen. Adakalanya, pemekaran wilayah menyebabkan kegiatan pembangunan didaerah lama menurun drastis kegiatan ekonominya, karena sebagian besar potensi daerah kebetulan berada pada daerah pemekaran baru (www.geocities.com).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam rencana dan usulan pemekaran wilayah yakni syarat administratif, teknis dan kewilayahan. Secara administratif antara lain adalah persetujuan dari DPRD, Bupati/Walikota dan Gubernur serta Rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sementara syarat teknis antara lain ialah kemampuan ekonomi, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, dan keamanan. Sedangkan persyaratan kewilayahan antara lain ialah minimal 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kabupaten/kota, dan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, serta didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan.
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika kesejahteraan masyarakat merupakan sasaran utama pembangunan daerah maka tekanan utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk pengembangan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, dan peningkatan penerapan teknologi tepat guna. Disamping itu, perhatian juga lebih diarahkan untuk meningkatkan kegiatan produksi masyarakat setempat dalam bentuk pengembangan kegiatan pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, serta kegiatan ekonomi kerakyatan lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai strategi dan kebijakan dilaksanakan (www.geocities.com).
Dengan bergulirnya reformasi politik sebagai dampak dari krisis moneter yang muncul pada pertengahan tahun 1997, tuntutan terhadap pemekaran di lingkungan propinsi Sumatera Utara juga demikian marak sebagaimana propinsi-propinsi lain di Indonesia. Tuntutan-tuntutan pemekaran yang dilakukan masyarakat ternyata membuahkan pemekaran yang relatif pesat. Sampai dengan tahun 2009, proses pemekaran wilayah kabupaten di Sumatera utara telah membuahkan peningkatan jumlah kabupaten dan kota menjadi 33 buah yang terdiri dari 26 kabupaten dan 7 kota. Salah satu daerah yang menuntut pelaksanaan pemekaran wilayah adalah kabupaten Samosir yang dimekarkan dari kabupaten Toba Samosir bersamaan dengan kabupaten X yang dimekarkan dari kabupaten Deli Serdang. Selanjutnya, Kabupaten X, diatur sesuai dengan Undang-undang RI nomor 36 tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Proses lahirnya undang-undang tentang pembentukan X sebagai kabupaten pemekaran merujuk pada usulan yang disampaikan melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 18/K/2002 tanggal 21 Agustus 2002 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang. Kemudian Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26/K/DPRD/2003 tanggal 10 Maret 2003 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Atas Usul Rencana Pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi dua kabupaten Kabupaten Deli Serdang (Induk), dan Kabupaten X. Kabupaten yang luasnya mencapai 1.900,22 kilometer persegi ini, terdiri atas 243 desa/kelurahan yang berada dalam 17 kecamatan. Dengan pemekaran ini, pemerintah kabupaten X harus menyesuaikan diri dan berlatih untuk mandiri dalam mengatur dan mengelola daerahnya sendiri dan untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya (www.bappeda.sumutprov.go.id).
Kesejahteraan masyarakat pada dasarnya adalah buah dari pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Dengan pelayanan publik yang baik maka kesejahteraan masyarakat juga berpeluang besar untuk membaik. Kesejahteraan masyarakat sendiri dapat dilihat dari berbagai indikator. Salah satu indikator yang dapat dipakai adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dikembangkan sejak tahun 1990 oleh UNDP yang meliputi :
1. Tingkat harapan hidup
2. Tingkat melek huruf masyarakat, dan
3. Tingkat pendapatan riil perkapita masyarakat berdasarkan daya beli masing-masing negara (www.mpra.ub.uni-muenchen.de).
Pada tahun 2007, IPM kabupaten X berkisar antara 71,9 , tahun 2008 berkisar 72,59 dan pada tahun 2009 menjadi 72,9. Dengan demikian dapat dilihat bahwa IPM kabupaten X mengalami peningkatan sebesar 0,69 dan 0,31 sejak terpisah dari kabupaten induk. Meningkatnya IPM tersebut akibat dari meningkatnya seluruh komponen pembentuk IPM seperti tingkat harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pendapatan riil perkapita. Kondisi masing-masing indikator IPM kabupaten X pada tahun 2009 adalah harapan hidup 68,89 tahun, melek huruf 97,44%, rata-rata lama sekolah 8,63 tahun, dan daya beli 626,30 ribu (BPS Kabupaten X).
Pelaksanaan pemekaran wilayah telah berjalan beberapa tahun dan diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup rakyat sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Lantas apakah pemekaran wilayah ini membawa perbaikan kesejahteraan rakyat khususnya di wilayah kabupaten X ? Untuk itu penulis tertarik untuk mengambil judul "Dampak Pemekaran Wilayah Kabupaten X Terhadap Kesejahteraan Masyarakat".
Post a Comment