Cari Kategori

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan Kabupaten X sebagai salah satu bagian upaya pembangunan kesehatan nasional diarahkan untuk mencapai kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya penyembuhan penderita secara berangsur-angsur telah berkembang ke arah upaya kesehatan promotif dan preventif (Profil Kesehatan Kabupaten X Tahun 2007)
Dalam mewujudkan cita-cita di bidang kesehatan Pemerintah Kabupaten X telah meletakkan visi pembangunan kesehatan X Sehat 2010. Makna dari visi tersebut mengandung harapan terhadap masyarakat Kabupaten X pada tahun 2010 hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya yang sejajar dengan kawasan maju di sekitarnya (Profil Kesehatan Kabupaten X Tahun 2007).
Untuk mewujudkan visi tersebut, ditetapkan empat misi utama pembangunan kesehatan Kabupaten X yaitu : 
1. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang prima, merata dan terjangkau.
2. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya.
4. Menggerakkan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
Pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten X membangun rumah sakit umum daerah (RSUD) dengan sarana dan prasarana cukup memadai dengan tujuan untuk memenuhi sarana kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan untuk mewujudkan Visi kesehatan Kabupaten X. Pada tahun 2003, rumah sakit tersebut mulai operasional, dan pada tahun 2004 Pemerintah Daerah Kabupaten X menetapkan Rumah Sakit X dengan status Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan nama RSUD Kabupaten X
Rumah sakit memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Paradigma baru pelayanan kesehatan mensyaratkan rumah sakit memberikan pelayanan berkualitas sesuai kebutuhan dan keinginan pasien dengan tetap mengacu pada kode etik profesi dan medis. Dalam perkembangan teknologi yang pesat dan persaingan yang semakin ketat, maka rumah sakit dituntut untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanannya.
Kualitas merupakan inti kelangsungan hidup sebuah lembaga. Gerakan revolusi mutu melalui pendekatan manajemen mutu terpadu menjadi tuntutan yang tidak boleh diabaikan jika suatu lembaga ingin hidup dan berkembang, Persaingan yang semakin ketat akhir-akhir ini menuntut sebuah lembaga penyedia jasa/layanan untuk selalu memanjakan pelanggan/konsumen dengan memberikan pelayanan terbaik. Para konsumen akan mencari produk berupa barang atau jasa dari perusahaan yang dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepadanya (Assauri, 2003 : 25).
Masalah utama sebagai sebuah lembaga jasa pelayanan kesehatan adalah semakin banyaknya pesaing. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut untuk selalu menjaga kepercayaan konsumen dengan meningkatkan kualitas pelayanan agar kepuasan konsumennya meningkat. Pihak rumah sakit perlu secara cermat menentukan kebutuhan konsumen sebagai upaya untuk memenuhi keinginan dan meningkatkan kepuasan atas pelayanan yang diberikan (John, J., 1992; 57).
Memberikan pelayanan dengan kualitas terbaik, bukanlah sesuatu yang mudah bagi pengelola rumah sakit karena pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit menyangkut kualitas hidup para pasiennya sehingga bila terjadi kesalahan dalam tindakan medis dapat berdampak buruk bagi pasien. Dampak tersebut dapat berupa sakit pasien bertambah parah, kecacatan bahkan kematian (Jacobalis, S. 1995; 68).
Rumah Sakit sebagai bagian dari sistem kesehatan nasional dituntut untuk meningkatkan kualitas penyediaan fasilitas, pelayanan dan kemandirian. Dengan demikian rumah sakit merupakan salah satu pelaku pelayanan kesehatan yang kompetitif harus dikelola oleh pelaku yang mempunyai jiwa wirausaha yang mampu menciptakan efisiensi, keunggulan dalam kualitas dan pelayanan, keunggulan dalam inovasi serta unggul dalam merespon kebutuhan pasien (Jacobalis, S. 1995; 77).
Dalam menerima dan melayani pasien rawat inap sebagai konsumen dengan berbagai karakteristik, rumah sakit harus melengkapi diri supaya senantiasa mendengarkan suara konsumen, dan memiliki kemampuan memberikan respon terhadap setiap keinginan, harapan konsumen dan tuntutan pengguna jasa sarana pelayanan kesehatan. Hal ini erat berhubungan dengan tenaga kesehatan yang senantiasa mendampingi dan melayani pasien sebagai konsumennya. Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Waworuntu (1997 : 19) bahwa : 
Seseorang yang profesional dalam dunia administrasi negara menguasai kebutuhan masyarakat dan mengetahui cara memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat perlu dipuaskan melalui pemenuhan kebutuhannya. Sehingga masyarakat merasa sebagai seorang raja, maka harus dilayani dengan baik.
Faktor manusia sebagai pemberi pelayanan terhadap publik dalam organisasi dianggap sangat menentukan dalam menghasilkan pelayanan yang berkualitas. Menurut Thoha (2002 : 181) "kualitas pelayanan kepada masyarakat sangat tergantung pada individual aktor dan sistem yang dipakai". Dokter, perawat, dan tenaga penunjang medis serta nonmedis yang bertugas di rumah sakit harus memahami cara melayani konsumennya dengan baik terutama kepada pasien dan keluarga pasien, karena pasien dan keluarga pasien adalah konsumen utama di rumah sakit.
Kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pasien dapat diukur dari tingkat kepuasan pasien. Pada umumnya pasien yang merasa tidak puas akan mengajukan komplain pada pihak rumah sakit. Komplain yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan menurunnya kepuasan pasien terhadap kapabilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut Kepuasan konsumen telah menjadi konsep sentral dalam wacana bisnis dan manajemen. Konsumen umumnya mengharapkan produk berupa barang atau jasa yang dikonsumsi dapat diterima dan dinikmatinya dengan pelayanan yang baik atau memuaskan (Assauri, 2003 : 28). Kepuasan konsumen dapat membentuk persepsi dan selanjutnya dapat memposisikan produk perusahaan di mata konsumennya.
Dalam hubungannya dengan kepuasan konsumen/pasien dan kualitas pelayanan RSUD Kabupaten X, masyarakat Kabupaten X beberapa kali menyampaikan keluhan terhadap pelayanan RSUD Kabupaten X melalui media masa lokal, khususnya terhadap kualitas pelayanan rawat inap kelas III. Keluhan atas pelayanan rumah sakit juga disampaikan melalui kotak saran yang ada di RSUD Kabupaten X. Hal demikian memberikan indikasi bahwa RSUD Kabupaten X yang dibangun dengan sarana dan prasarana cukup memadai belum mampu memberikan pelayanan yang sesuai harapan, keinginan dan tuntutan dari masyarakat sebagai konsumen
Bertitik tolak dari uraian di atas, perlu adanya penelitian berkaitan dengan kajian ilmu administrasi publik terhadap kualitas pelayanan rawat inap Kelas III di RSUD Kabupaten. Adapun judul yang ditetapkan dalam penelitian ini yang sesuai dengan hal tersebut di atas adalah Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap kepuasan Pasien rawat inap Kelas III di RSUD Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Di dalam penelitian, masalah dapat didefinisikan sebagai pertanyaan-pertanyaan yang akan dicari jawabannya melalui kegiatan penelitian. Dari fenomena yang telah diuraikan pada latar belakang penelitian dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 
1. Sejauh mana pengaruh kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?
2. Sejauh mana kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk : 
1. Mengkaji dan menganalisis pengaruh kualitas pelayanan terhadap tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.
2. Mengkaji dan menganalisis kualitas pelayanan dan tingkat kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.
3. Mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat akademik : penelitian ini diharapkan dapat memperkuat teori-teori yang mengenai kualitas pelayanan, kepuasan pasien, dan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan pasien serta dapat dimanfaatkan untuk penelitian selanjutnya, khususnya di bidang yang sesuai.
2. Manfaat praktis : hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah daerah khususnya bagi RSUD Kabupaten X, berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan rawat inap kelas III yang diberikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:41:00

STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI

STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI (KADARZI) DI KELURAHAN X (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memiliki anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua. Untuk mewujudkannya tentu saja orangtua harus selalu memperhatikan, mengawasi, dan merawat anak secara seksama, khususnya memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah, proses tersebut sangat bergantung kepada orang dewasa atau orangtua. Masa lima tahun pertama (masa balita) adalah periode penting dalam tumbuh kembang anak dan merupakan masa yang akan menentukan pertumbuhan fisik, psikis maupun intelengensinya (Sulistijadi dkk, 2001).
Menurut Depkes (2005) dapat disimpulkan bahwa balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya kekurangan gizi. Kurang gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Kekurangan gizi juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, keterlambatan perkembangan otak, dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan terhadap penyakit infeksi.
Berdasarkan pendapat Berg A (1986) dapat disimpulkan gizi kurang dapat mengakibatkan terpengaruhnya perkembangan mental, perkembangan jasmani, produktivitas. Anak-anak yang gizi buruk memiliki otak yang lebih kecil dari ukuran rata-rata otak. Jumlah sel-sel otak anak-anak yang gizi buruk 15-20 persen lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak yang cukup makan. Anak yang pernah satu kali terkena gizi kurang, akan kurang berkemampuan dalam tes mental di belakang hari dibandingkan dengan anak yang gizi baik, dan anak yang gizi kurang menjadi terbelakang, sampai ia tidak sanggup lagi menyesuaikan diri dengan situasi sekolah.
Menurut laporan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) tahun 2006 jumlah balita gizi buruk di Indonesia berjumlah 2,3 juta jiwa, kasus gizi buruk meningkat sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data tahun 2004/2005 sejumlah 1,8 juta jiwa. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke 111 untuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) dari 177 negara yang dinilai. Angka ini jauh lebih rendah dari pada Malaysia (59), Thailand (76), atau Filipina (73). Rendahnya HDI mencerminkan bahwa tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per Kapita penduduk Indonesia masih rendah, Masalah ini sangat erat kaitannya dengan keadaan gizi penduduk.
Menurut pendapat (Panji; 2004, UNICEF; 2006 dan Ikayana; 2008) dapat disimpulkan pada tahun 2000 diperkirakan ada 25% anak Indonesia mengalami gizi kurang, 7% diantaranya gizi buruk, sekitar 50% ibu hamil menderita anemia gizi, sementara itu masih terdapat kecamatan endemik berat meskipun prevalensinya sudah dapat diturunkan menjadi 9,8%. Pada tahun 2003 lima juta balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2%) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3%) sisanya mengalami gizi buruk. Pada tahun 2004 dari 17.983.244 balita di Indonesia 5.119.935 (28,47%) balita termasuk gizi kurang dan buruk. Pada tahun 2006 kasus gizi kurang menjadi 4,2 juta (944.246 diantaranya kasus gizi buruk) dan pada tahun 2007 kasus gizi buruk berkurang menjadi 4,1 juta (755.397 diantaranya kasus gizi buruk).
Wilayah kerja Puskesmas X meliputi lima kelurahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari operasi timbang Puskesmas (Desember 2008) diketahui Kelurahan Y merupakan kelurahan yang banyak terdapat kasus gizi buruk yaitu dari 1.742 balita yang ditimbang terdapat 36 balita gizi buruk dan 187 balita gizi kurang, di kelurahan Paya Pasir dari 708 balita di timbang terdapat 56 balita gizi kurang dan 11 balita gizi buruk, di kelurahan Rengas Pulau dari 1.240 balita yang ditimbang terdapat 37 balita gizi kurang dan 7 balita gizi buruk, di kelurahan X dari 738 balita yang ditimbang terdapat 54 balita gizi kurang dan 6 balita gizi buruk (Puskesmas X, 2008).
Masalah gizi berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan dalam pembangunan, maka tujuan jangka panjang program perbaikan gizi diarahkan untuk tercapainya keadaan gizi yang optimal bagi seluruh penduduk yang dicerminkan dengan semakin meningkatnya jumlah keluarga yang berperilaku gizi seimbang. Keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalah cerminan keluarga gizi yang mendukung terciptanya keadaan gizi yang optimal anggota keluarganya (Panji, 2004)
Tahun 1998 telah dicanangkan Program Kadarzi yang dimotori oleh Depkes. Kadarzi merupakan sasaran program perbaikan gizi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah gizi. Dengan adanya program keluarga sadar gizi diharapkan dapat menurunkan prevalensi gizi kurang setinggi-tingginya 20% (Dinkes, 2005)
Menurut Depkes (2007) untuk mengatasi masalah gizi salah satunya adalah melalui keluarga sadar gizi (Kadarzi). Keluarga sadar gizi merupakan keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi di tingkat kelurahan atau rumah tangga melalui : Memantau berat badan secara teratur, makan beraneka ragam, mengkonsumsi garam beryodium dalam masakan, hanya memberikan ASI saja sampai bayi berusia enam bulan dan memberikan kapsul vitamin A kepada balita.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Kesehatan 2005-2009 menetapkan 4 (empat) sasaran pembangunan kesehatan, satu diantaranya adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20%. Guna mempercepat pencapaian sasaran tersebut, di dalam Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009 telah ditetapkan 4 strategi utama, yaitu Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, dan meningkatkan pembiayaan kesehatan. Selanjutnya dari empat strategi utama tersebut telah ditetapkan 17 sasaran prioritas, satu diantaranya adalah seluruh keluarga menjadi Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) (Depkes, 2007)
Program Kadarzi bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan ibu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga dan di dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan di dalam visi Indonesia Sehat 2010, ditetapkan bahwa 80% keluarga menjadi Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi), karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (Panji, 2004).
Kelurahan Y merupakan salah satu dari lima kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja puskesmas X. Berdasarkan survei awal yang di lakukan pada tahun 2007 telah berjalan program Kadarzi. Kegiatan pelaksanaan program Kadarzi ini meliputi pemetaan Kadarzi dan konseling Kadarzi yang di lakukan setiap enam bulan sekali. Meskipun program Kadarzi sudah berjalan selama satu tahun namun berdasarkan hasil penimbangan balita (BB/U) bulan Desember 2008 di kelurahan Y masih banyak terdapat kasus gizi buruk yaitu dari 1.742 balita yang ditimbang terdapat 187 balita gizi kurang dan 36 balita gizi buruk.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merasa perlu mengetahui hubungan tingkat Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan status gizi balita di kelurahan Y, sehingga di peroleh suatu strategi penanggulangan gizi buruk yang tepat berdasarkan keadaan yang sesungguhnya di lapangan dan diharapkan dapat menjadi masukan untuk membuat prioritas program yang tepat dan efektif sesuai kemampuan daerah.

B. Permasalahan
Apakah tingkat Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Y.

C. Tujuan penelitian
Mengetahui status gizi balita berdasarkan indikator keluarga sadar gizi (Kadarzi) di Kelurahan Y.

D. Hipotesis
Ada hubungan signifikan status gizi balita dengan indikator keluarga sadar gizi (memantau berat badan, makan makanan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan ASI eksklusif, memberikan kapsul vitamin A pada balita)

E. Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan kepada Dinas Kesehatan dalam membuat suatu rencana strategi penanggulangan gizi buruk menuju keluarga sadar gizi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak Puskesmas untuk membuat prioritas dan lebih intensif dalam pembinaan keluarga dalam meningkatkan kesadaran gizi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:36:00

POLA PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MELALUI PENDIDIKAN RAMAH ANAK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

POLA PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MELALUI PENDIDIKAN RAMAH ANAK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Latar Belakang Masalah
Masalah seputar kehidupan anak telah menjadi perhatian sejak lama. Apalagi di era globaliasasi saat ini, seiring dengan pergeseran pranata sosial yang mengakibatkan maraknya tindakan asusila dan kekerasan, maka diperlukan adanya perlindungan terhadap hak-hak anak khususnya anak-anak Indonesia.

Akhir-akhir ini sering sekali kita mendengar terjadinya kekerasan terhadap anak. Kekerasan dapat terjadi di mana saja, termasuk di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan UNICEF (2006) di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru. Di televisi juga pernah marak diberitakan mengenai siswa yang melakukan kekerasan pada siswa lainnya, contohnya kasus IPDN, dan lain-lain. Hal ini, tentu mengejutkan bagi kita. Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah masih banyak terjadi kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh sesama siswa, guru atau pihak lain di dalam lingkungan sekolah. Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah pun kekerasan dapat terjadi, hal itu dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan anak-anak yang selalu menjadi korbannya. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak seperti contoh, anak akan berkarakter keras, acuh tak acuh, penakut dan masih banyak lagi.

Menurut Rini (2008), di sekolah perlu di kembangkan pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan keterlibatan mental, dan mengubah suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa. Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah maupun masyarakat pun perlu diciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.

Hal itu selaras dengan pasal 54 UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang berbunyi : "Anak di dalam dan dilingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lenmbaga pendidikan lainnya".

Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan anak baik dalam lingkungan pendidikan formal, informal maupun non formal sangatlah diperhatikan oleh pemerintah utamanya oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia. Dimana anak harus merasa aman dan nyaman selama proses pembelajaran. Salah satunya dengan menciptakan lingkungan pendidikan yang ramah anak, yaitu membuat suasana yang aman, nyaman, sehat dan kondusif, menerima anak apa adanya, dan menghargai potensi anak. Dengan demikian anak bukan lagi sebagai obyek dalam pendidikan namun sebagai subyek, anak bebas berkreasi dalam belajar dengan suasana lingkungan pendidikan yang penuh kasih sayang.

Minimal ada 5 (lima) indikasi sebuah kawasan hidup yang berada dalam kategori ramah anak :
1. Anak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang masa depan diri, keluarga, dan lingkungannya.
2. Kemudahan mendapatkan layanan dasar pendidikan, kesehatan dan layanan lain untuk tumbuh kembang.
3. Adanya ruang terbuka untuk anak dapat berkumpul, bermain, dan berkreasi dengan sejawatnya dengan aman serta nyaman.
4. Adanya aturan yang melindungi anak dari bentuk kekerasan dan eksploitasi.
5. Tidak adanya diskriminasi dalam hal apapun terkait suku, ras, agama, dan golongan.
Dari 5 (lima) aspek tersebut dapat tercipta Pendidikan Ramah Anak dengan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan penuh kasih sayang sebab hubungan yang terjalin dengan rasa cinta dan kasih sayang antara anak dengan guru, orang tua, maupun teman sebayanya sangat berpengaruh dalam perkembangan dan pembentukan karakter anak yang baik. Karena pendidikan sebagai hak anak adalah kewajiban pertama ada pada pundak orang tua yang bekerjasama dengan guru sebagai pembimbing dan pengarahnya.

Dalam pendidikan Islam, pendidikan ramah anak itupun diterapkan. Sebab dalam pendidikan Islam anak merupakan sejuta energi yang akan menguatkan ikatan cinta, ikatan asa, dan ikatan-ikatan lain. Dalam Islam anak juga memiliki hak yang di tuntut dari orang tua. Diantara hak anak dari orangtua adalah :
1. Hak memperoleh kasih sayang dan perhatian.
2. Hak memperoleh bimbingan.
3. Hak mengutarakan dan di dengarkan pendapatnya.
Sebagaimana firman Allah SWT :
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kamudian apabila kamu telah membulat tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa kepada-Nya." (QS. Ali-Imran : 159)

Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat judul 

"POLA PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MELALUI PENDIDIKAN RAMAH ANAK DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ".

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini, adalah :
1. Bagaimana pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak ?
2. Bagaimana tinjauan pendidikan Islam dalam pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak?
3. Adakah perbedaan pola pendidikan ramah anak secara umum dengan pendidikan agama Islam?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui bagaimana pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak.
2. Mengetahui pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak dalam perspektif pendidikan agama Islam.
3. Mengetahui ada dan tidaknya perbedaan dan persamaan pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak secara umum dengan pendidikan agama Islam.

D. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang diharapakan, yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat akademis adalah :
a. Khazanah ilmiah bagi Fakultas Tarbiyah.
b. Salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan agama Islam.
2. Manfaat teoritis adalah : menambah pengetahuan dan wawasan peneliti khususnya dalam masalah pendidikan ramah anak.
3. Manfaat praktis adalah :
a. Sebagai bahan acuan dalam pola asuh anak bagi orang tua.
b. Sebagai panduan bagi para calon pendidik maupun pendidik dalam melaksanakan proses balajar mengajar.
c. Sebagai bahan acuan bagi anak dalam bersosialisasi dalam masyarakat.

E. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis mengorganisasikan sistimatika pembahasan sebagai berikut :
Bab pertama adalah pendahuluan, meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian terdiri dari; jenis dan pendekatan penelitian, sumber data, teknik penelitian data, dan teknik analisis data, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua adalah landasan teori, meliputi; pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak, terdiri dari : pengertian anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, konsep karakter anak meliputi : pengertian karakter, ciri-ciri karakter anak dan pola pembentukan karakter anak. Dan konsep pendidikan ramah anak meliputi; pengertian pendidikan ramah anak, dan pola pendidikan ramah anak.
Bab ketiga adalah landasan teori meliputi; pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak dalam pendidikan Islam, meliputi : pengertian anak dalam Islam, konsep karakter dalam pendidikan Islam, terdiri dari; pengertian karakter anak dalam Islam dan pola pembentukan karakter anak dalam pendidikan Islam. Dan konsep ramah anak, terdiri dari; pengertian pendidikan ramah anak dalam pendidikan Islam dan pola pendidikan ramah anak dalam pendidikan Islam.
Bab keempat analisis data meliputi; analisis pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak secara umum, pola pembentukan karakter anak melalui pendidikan ramah anak dalam perspektif pendidikan agama Islam, dan analisis konsep pendidikan ramah anak secara umum dengan pendidikan Islam.
Bab kelima adalah penutup meliputi : kesimpulan dan saran-saran. Dan dilengkapi dengan daftar pustaka serta lampiran-lampiran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:38:00

SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.
Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri, kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut buruk, dapat terpengaruh pada tindakan yang dapat melanggar hukum. Hal itu tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Tidak sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak hukum.
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang secara universal pun dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR). Pembedaan perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa, diatur dalam konvensi-konvensi internasional khusus. Sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak : 
"...the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth... " Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali menekankan prinsip "First Call for Children", yang menekankan pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak anak atas "survival protection, development and participation." 
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal.
Salah satunya adalah dalam sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia.
Padahal pemidanaan itu sendiri lebih berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual/personal (Individual responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan/perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal tersebut tentu saja dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak tersebut. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang yang ada di dekatnya.
Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Delinquency, dibahas dalam Badan Peradilan Amerika Serikat dalam usaha untuk membentuk suatu Undang-Undang Peradilan Anak. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu segi pelanggaran hukumnya dan sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku dan melanggar hukum atau tidak.
Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. 
Ketentuan kejahatan anak atau disebut delikuensi anak diartikan sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian KUHP dan atau tata peraturan perundang-undangan. 
Pengadilan anak dibentuk karena dilatarbelakangi sikap keprihatinan yang melanda Negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun perlakuan terhadap pelaku tindak kriminal dewasa, sehingga diperlukan tindakan perlindungan khusus bagi pelaku kriminal anak-anak. Pengadilan anak dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bagi anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa.
Di Indonesia sendiri dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-benar memperhatikan kepentingan anak perlu diwujudkan peradilan yang terbatas bagi anak untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang disahkan oleh Pemerintah pada tanggal 3 Januari Tahun 1997. Peradilan khusus bagi anak diadakan guna mengatasi permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk golongan anak-anak, semuanya wajib disidangkan dalam peradilan bagi anak yang ada pada pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ketentuan yang ada dalam UU No. 3 tahun 1997 mengenai Pengadilan anak telah sebagian mengacu pada rambu-rambu semacam ini. Perampasan kemerdekaan misalnya, haruslah dilakukan hanya sebagai measure of the last resort, hal mana berkenaan dengan hak anak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya.
Anak sebagai individu yang belum dewasa perlu mendapatkan perlindungan hukum/yuridis (legal protection) agar terjamin kepentingannya sebagai anggota masyarakat. Masalah penegakan hak-hak anak dan hukum anak, pada dasarnya sama dengan masalah penegakan hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu, masalah pengimplementasian hukum anak dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor : 
1. Peraturan hukumnya, yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum tertentu. Dalam hal ini, masalah peraturan hukum tentang hak-hak anak berkenaan dengan : 
a. Cara pembentukan dan persyaratan yuridis pembentukannya.
b. Materi hukum tersebut apakah telah sesuai dengan semangat, nilai, asas, atau kaidah hukumnya maupun sanksi hukumnya.
c. Peraturan pelaksanaan yang dikehendaki perlu dipersiapkan untuk mencegah kekosongan hukum.
Aparat penegak hukum, yakni para petugas hukum atau lembaga yang berkaitan dengan proses berlangsungnya hukum dalam masyarakat. Dalam hal penegakan hukum di Indonesia, aparat yang bertugas menegakkan hukum dikenal dengan
2. catur wangsa yang meliputi kepolisian (lembaga penyidik), kejaksaan (penuntut), hakim (peradilan), dan pengacara atau advokat. Untuk menegakkan hak-hak anak dan menegakkan hukum anak, menghadapi permasalahan umum yang melanda Indonesia yakni keterbatasan kemampuan para penegak hukum yang memahami hukum anak dan hak-hak anak, kualitas, pendidikan dan keahlian masing-masing aparat penegak hukum, dan kemampuan organisasi dalam menegakkan hukum anak dan hak-hak anak.
3. Budaya hukum masyarakat, yakni struktur sosial dan pandangan kultural yang berlangsung dan diyakini masyarakat dalam menegakkan hukum sebagai sebuah pedoman tingkah laku sehari-hari. Masalah budaya hukum merupakan masalah penting dalam menegakkan hukum di Indonesia yang menyangkut keyakinan masyarakat pada hukum dan para penegak hukum.
4. Masyarakat hukum, yakni tempat bergeraknya hukum dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup dengan sejauh mana kepatuhan masyarakat kepada hukum, kepedulian masyarakat untuk menegakkan hukum untuk menuju ketertiban dan kedamaian. Dalam hal penegakan hak-hak anak dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hukum anak hanya pedoman yang bisa dijadikan acuan untuk mengarahkan bagaimana masyarakat bertindak jika masih anak ditemukan.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 22, terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : 
(1) Pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : 
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan 
(3) Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana dalam penjatuhan pidananya ditentukan paling lama dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam Undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18 tahun baru dapat dijatuhi pidana.
Untuk terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat diadakan sanksi. Sanksi tersebut dibentuk dari suatu sistem atau lembaga yang berwenang untuk menanganinya.
Semua masyarakat mempunyai sistem kelembagaan dalam menangani kejahatan dan kenakalan, yang merupakan reaksi terhadap terjadinya kejahatan dan kenakalan Sistem kelembagaan yang dimaksud adalah Kepolisian, Pengadilan, Custodial Institutions, dan berbagai metode supervise dan pembinaan petindak pidana dalam masyarakat (misalnya, probation dan parole). Tujuan dari reaksi terhadap kejahatan dan kenakalan adalah untuk pencegahan terhadap kejahatan dan kenakalan, serta resosialisasi petindak pidana.
Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia hanya bertumpu pada sifat pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana dapat merubah si anak tersebut menjadi lebih baik. Diberikannya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif, yaitu suatu sistem pemidanaan yang tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara.
Hal ini dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 17 ay at (1), yaitu setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : 
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, misalnya bimbingan sosial dari pekerjaan sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater atau bantuan dari ahli bahasa.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam bidang tertutup untuk umum.
Seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak akan lebih mudah pengendaliannya dan perbaikannya daripada seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan karena taraf perkembangan anak itu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, pada usia bayi, remaja dewasa dan usia lanjut akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Sistem pemidanaan dengan pemberian sanksi pidana yang bersifat edukatif/mendidik selama ini jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia khususnya oleh hakim. Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua/wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau dianutnya.
Sistem pemidanaan individual (individual responsibility) yang digunakan selama ini adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat fragmentair yaitu hanya melihat upaya pencegahan tersebut dari segi individu/personalnya saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak hanya dilihat dari penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari banyak faktor, salah satunya adalah membuat bagaimana si anak tidak lagi mengulangi perbuatannya namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang baik kepada si anak.
Hal ini dimaksudkan agar mental spiritual si anak itu lebih terdidik sehingga perilaku yang menyimpang dari si anak inipun menjadi lebih baik. Dengan dimasukkannya si anak sebagai pelaku kejahatan ke Lembaga Pemasyarakatan bukannya tidak menjamin bahwa si anak tersebut dapat berubah, namun di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut tidak ada masukan yang lebih bagi perbaikan mental spiritual anak karena mereka diasingkan bersama-sama dengan para pelaku tindak pidana lain hal ini mengakibatkan proses pemulihan perilaku si anak untuk menjadi lebih baik sering kali terhambat yang disebabkan lingkungan dari dalam LP itu sendiri yang kurang kondusif.
Tentunya hal ini akan berbeda jika menempatkan si anak pada suatu lingkungan dimana dia tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pelaku tindak pidana, namun lebih memperlakukan si anak sebagai seorang manusia yang belum dewasa yang masih belum tahu apa-apa sehingga masih perlu diberikan bimbingan, pengarahan serta pengajaran mana yang disebut dengan tindakan baik dan mana yang disebut dengan tindakan buruk. Tentu saja perlakuan yang diberikan kepada mereka yang terlibat tindak pidana, selama dalam proses hukum dan pemidanaannya menempatkan mereka sebagai pelaku tindak kriminal muda yang mempunyai perbedaan karakteristik dengan pelaku tindak kriminal dewasa.
Sebenarnya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif seperti ini bukan sesuatu yang baru. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak sistem pemidanaan yang bersifat mendidik telah jelas tersirat, namun pada pengaplikasiannya hal ini jarang sekali dilakukan, bahkan tidak jarang anak-anak tersebut ditangani oleh penegak hukum yang belum begitu professional untuk menangani kasus-kasus di bidang anak dan terkadang juga penempatan anak-anak terpidana dicampur dengan orang dewasa.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ada dua alternatif tindakan yang dapat diambil apabila anak yang berumur dibawah 8 tahun melakukan tindak pidana tertentu, yaitu pertama diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina. Kedua, diserahkan kepada Departemen Sosial jika anak tersebut tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Namun dalam hal memperhatikan kepentingan anak, hakim dapat menghendaki diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama si anak yang bersangkutan (Pasal 24 UU No. 3 Th. 1997).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas masalah perlindungan terhadap anak-anak sangatlah luas, maka disini penulis membatasi masalah tersebut khususnya bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan motif dan berbagai saran yang digunakan. Sehingga masalah pokok tersebut dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia saat ini ?
2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan penelitian, agar diperoleh data-data yang benar-benar diperlukan dan diharapkan, sehingga penelitian dapat dilakukan secara terarah. Penulis sebelumnya telah menentukan tujuan-tujuan dalam melaksanakan penelitian, yaitu : 
1. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia pada saat ini.
2. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dan masukan bagi pelaksanaan penelitian di bidang yang sama untuk masa mendatang pada umumnya dan masukan serta sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya pada Hukum Pidana.
2. Kegunaan Praktis
Memberikan informasi secara ilmiah bagi masyarakat umum sehingga diharapkan dapat lebih mengetahui dan mengerti tentang sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, dan dengan adanya informasi tersebut diharapkan juga dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:36:00

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang "aman".
Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa : 
Taking into account the interest and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have the right of access to non-hazardous products, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development".
Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan Iain-lain yang berkaitan dengan itu.
Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.
Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.
Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau Iain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media non elektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan Iain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 
Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain : 
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar {reasonable).
Di sisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial {social control) terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain : Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar menjadi melemah.
Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen hams memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan, memerlukan dukungan si stem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.
Dalam pasal 1 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa "Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman"
Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar.
Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.
Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan pangan yang kadaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 14 Label yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.
Selain diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan " Halal " pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih spesifiknya adalah PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan.
Di dalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Lebih lanjut di dalam pasal 2 ditentukan bahwa : 
(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
Kemudian di dalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa : 
(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : 
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.
Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan : 
(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.
(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. 
Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.
Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.
Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor.
Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang dibelinya.
Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa yang tidak dipahami konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal produk tersebut, seperti Cina dan Jepang.
Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan.
Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 juga tidak memberi penjelasan, dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.
Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum.
Dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, Malaysia misalnya, Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dalam upaya melindungi konsumen. Di Malaysia, pemberdayaan konsumen sudah ditangani oleh seorang Menteri, yaitu Menteri Urusan Konsumen, sedangkan di Indonesia masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan serta yang baru UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pada kasus beredarnya makanan kedaluwarsa, mengetahui pihak yang bersalah lebih mudah, karena itu sudah menjadi tugas mereka untuk tidak menjual makanan dan minuman kedaluwarsa.
Indonesia memang belum menerapkan pelabelan kedaluwarsa pada setiap makanan maupun minuman. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No. 180/Menkes/1985, ada 13 jenis makanan dan minuman yang diharuskan mencantumkan tanggal kedaluwarsa : roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen, coklat, kelapa dan hasil olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur, saus dan kecap, minuman ringan tak berkarbonat, sari buah dan susu.
Disamping itu pencantuman label kedaluwarsa sendiri sampai saat ini belum ada standar baku. Ada yang sudah menggunakan Bahasa Indonesia beserta kaidah penanggalannya (misalnya, sebaiknya digunakan sebelum : Januari 1999), dan tak jarang pula yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya (best before : 06.98). Namun ada juga yang hanya berisi angka-angka melulu yang bagi masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.
Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada 4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang dikonsumsinya, yaitu : 
1. Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan bahan berbahaya
2. Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya
3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999) beserta Permenkes.
4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kadaluarsa.
Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui adalah 18 : 
• Penggunaan label tidak berbahasa Indonesia dan tidak menggunakan huruf latin, terutama produk impor.
• Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan
• Tidak mencantumkan waktu kadaluarsa
• Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih
• Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan gizi yang tidak konsisten.
• Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)
Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono, Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ?
1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?
2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang konseptual tentang label sebagai perwujudan hak konsumen atas informasi kaitannya dengan perlindungan konsumen. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan label, mengingat semakin banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat dengan bermacam-macam label, sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat membantu dalam usaha-usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 apa telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen.
b. Untuk mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran ketentuan label pangan bagi pelaku usaha.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen khususnya tentang pelabelan. 
2. Manfaat Praktis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan konsumen baik Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, konsumen itu sendiri maupun pelaku usaha. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:28:00

PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA

PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Patrick Manning dalam bukunya Migration in World History (2005) menyatakan bahwa migrasi yang dilakukan oleh manusia-homo sapiens-telah terjadi sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi. Dorongan utama dilakukannya migrasi pada masa itu secara umum berasal dari naluri alamiah umat manusia untuk mencari tempat tinggal atau daerah bermukim yang dapat memberikan keamanan dan kenyamanan. Sejarah mencatat, bangsa Canaan (yang sekarang disebut bangsa Palestina) pernah melakukan migrasi dari Asia menuju Eropa, demikian juga yang dilakukan oleh bangsa Romawi di masa kejayaannya dan bangsa-bangsa lainnya.
Para ahli sejarah dan geografi sepaham dengan pendapat bahwa migrasi manusia selanjutnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor ketidaknyamanan kondisi iklim, kurangnya persediaan makanan (ekonomi), perang (konflik senjata dan keamanan), dan faktor sosial yang meliputi tekanan politik, ras, agama, dan ideologi. Terkait alasan atau faktor-faktor tersebut, pada periode saat ini-dimana berlaku konsep negara-bangsa yang mengusung prinsip kedaulatan atas suatu wilayah negara, serta berlaku prinsip kewarganegaraan atas diri seseorang-praktik migrasi oleh bangsa atau warganegara tertentu ke wilayah negara lain dapat menjadi permasalahan serius.
Dalam hal ini banyak negara di dunia umumnya sependapat bahwa migrasi yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan keimigrasian atau migrasi ilegal akan mengakibatkan ancaman terhadap kedaulatan, keamanan, kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan juga ancaman terhadap ideologi suatu bangsa. Belum lagi migrasi ilegal bisa dihentikan, telah timbul varian baru yang kini kian mengemuka, yakni penyelundupan manusia (people smuggling), dan perdagangan manusia (human trafficking).
Dalam pengertian dan batasan hukum internasional dalam hal ini hukum internasional publik merupakan keseluruhan kaidah dan azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Pengertian ini untuk membedakan dengan pengertian hukum perdata internasional.
Dari pengertian hukum internasional publik tersebut, maka jika dikaji dari fungsi dan tujuannya, keimigrasian melaksanakan sebagian fungsi dan tugas hukum internasional publik, termasuk perjanjian bilateral tentang bidang lintas batas. Pengertian imigrasi mempunyai makna di satu sisi merupakan tindakan masuk ke negara lain untuk tinggal menetap sedangkan sisi lain dari segi kelembagaan mempunyai fungsi dan tujuan yaitu mengatur orang asing yang masuk ke negeri ini; sisi pertama tersebut menunjuk pada suatu aktivitas (dari kalimat "Tindakan masuk ke negara lain") manusia, yaitu aktivitas berupa lalu lintas manusia dari suatu negara ke negara lain. Sisi kedua, menunjukkan tata laksana dari suatu organisasi atau instansi yang mengurus lalu lintas manusia antar negara.
Individu/manusia merupakan obyek dari pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pelaksanaan keimigrasian, yang tidak dapat dipisahkan dengan kewarganegaraan seseorang. Kewarganegaraan merupakan hubungan yang paling sering dan kadang-kadang merupakan suatu hubungan satu-satunya antara seorang individu dan suatu negara yang menjamin diberikannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu pada hukum internasional.
Kewarganegaraan memang tidak dapat dipisahkan bahkan merupakan suatu hubungan hukum yang kesinambungan antara negeri yang berdaulat di satu pihak dan warganya tersebut di pihak lain. Sebagai dasar fundamental kewarganegaraan seseorang adalah keanggotaannya dalam suatu komunitas politik yang merdeka. Hubungan hukum ini meliputi hak-hak dan kewajiban dan keduanya di pihak warganegara dan di pihak lain.
Sebagai pelaksana dari hubungan hukum tersebut perlu diimplementasikan dalam suatu organisasi atau instansi yang mengurus lalu lintas manusia antara negara sebagai wujud dari pencerminan kedaulatan hukum dan kedaulatan negara. Secara hukum internasional, aspek kewarganegaraan merupakan hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri dan ini merupakan atribut yang esensial, dimana negara bertanggung jawab untuk melindungi warganya yang merupakan pencerminan aspek korelatif dan kesetiaan dan perlindungan "Protectio tvahit subjectionem et subjectio Protectionem".
Organisasi yang mempunyai fungsi keimigrasian tersebut diatas, di Indonesia diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman RI, yang keberadaannya, tugas pokok serta fungsinya diatur berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen jo keputusan Presiden RI nomor 15 tahun 1984 tentang susunan organisasi Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan keputusan Presiden RI nomor 8 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M-PR. 07 04 tahun 1991 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Imigrasi di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Sebagaimana diketahui negara Republik Indonesia lahir dari proses sejarah yang panjang, termasuk sejarah perkembangan keimigrasian yang dapat dibedakan dalam dua periode yaitu periode pendudukan/penjajahan dan setelah kemerdekaan. Dalam periode pendudukan/penjajahan, pemerintah penjajahan Hindia Belanda di bidang keimigrasian menerapkan kebijaksanaan "opendeur politiek" yaitu kebijaksanaan terbuka terhadap masuknya orang asing untuk menetap di Indonesia, tujuan dan kebijaksanaan ini untuk masuknya modal asing dan tenaga asing yang murah.
Dalam rangka menyamakan persepsi mengenai sikap tindak dan keputusan yang akan dilakukan, maka pada tanggal 23-24 Juni 2008 Direktorat Jenderal Imigrasi mengadakan suatu kegiatan Penyuluhan Peraturan Keimigrasian Terpusat (PPKT).
Pembicara dalam kegiatan PPKT berasal dari berbagai unsur kedinasan seperti :
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-memaparkan mengenai pengertian Gratifikasi secara luas,
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)-memaparkan tentang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,
- Badan Intelijen Negara (BIN)-memaparkan tentang jaringan komunitas intelijen Indonesia khususnya mengenai subversi asing,
- Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN)-memaparkan tentang analisis jabatan sebagai perangkat realisasi pendapatan berbasis kinerja,
- Departemen Keuangan-memaparkan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Terkait dengan Dasar Pengelolaan, Perencanaan dan Penganggaran PNBP,
- Departemen Luar Negeri-memaparkan tentang kedudukan dan peran Atase Imigrasi pada Perwakilan RI di Luar Negeri,
- Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda-memaparkan tentang nasionalisme dan perjuangan membela NKRI pada peranan Keimigrasian,
- Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI-memaparkan tentang penjelasan anggaran belanja Departemen Hukum dan HAM RI dan pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI,
- Inspektur Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI-memaparkan tentang Peran pengawasan dalam meningkatkan kinerja aparat keimigrasian,
- Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)-memaparkan tentang UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya mengenai pengakuan informasi dan atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah,
- Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) POLRI-membahas tentang Strategi POLRI dalam Penanggulangan Kejahatan Transnasional serta membangun Kapasitas Penyidik, dan
- Direktur PT Premysis Consulting-memaparkan tentang Prinsip pelayanan yang diterapkan dalam imigrasi, Standar pelayanan yang diambil sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan dan Solusi terpenting dalam menaikkan standar pelayanan (ISO 9001).
Melalui kegiatan PPKT tersebut, diharapkan dapat menjadi sarana untuk melakukan evaluasi terhadap segala bentuk kegiatan yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Direktur Jenderal Imigrasi-Basyir Ahmad Barmawi dalam sambutan penutupan kegiatan PPKT yang mengatakan bahwa kegiatan PPKT ini diselenggarakan untuk melakukan evaluasi masalah dan kendala yang ada dalam pelaksanaan tugas keimigrasian di lapangan. Jika ada keluhan-keluhan dalam melaksanakan tugas, inilah sarananya untuk bisa mendapatkan masukan dari para pakar.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Hak Setiap Warga Negara Indonesia
Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk wilayah Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Fungsi dan Pelaksanaan Keimigrasian
Fungsi keimigrasian dilaksanakan oleh Pemerintah dan untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan keimigrasian yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pimpinan. Untuk melaksanakan tugas keimigrasian, pada setiap kabupaten, kota, atau kecamatan dapat dibentuk Kantor Imigrasi. Selain Kantor Imigrasi, di ibukota negara, provinsi, kabupaten/kota, dapat dibentuk Rumah Detensi.
Ditentukan pula bahwa pada setiap perwakilan Republik Indonesia di luar negeri atau tempat lain di luar negeri terdapat tugas dan fungsi keimigrasian yang dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi. Untuk menjalin hubungan internasional di bidang keimigrasian, Pimpinan dapat melakukan kerja sama internasional di bidang keimigrasian dengan negara lain atau dengan badan atau organisasi internasional.
3. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia
Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku. Orang asing yang masuk wilayah Indonesia wajib memiliki visa yang sah dan masih berlaku. Petugas Pemeriksa Pendaratan berperan dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia, terutama melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).
Pengaturan mengenai masuk dan keluarnya orang dari atau ke wilayah Indonesia, meliputi pula pengaturan mengenai kewajiban bagi penanggung jawab alat angkut. Untuk membatasi yuridiksi pemeriksaan, diatur pula mengenai Area Imigrasi yakni suatu area tertentu untuk melakukan pemeriksaan keimigrasian dan merupakan area terbatas yang hanya dapat dilalui oleh penumpang atau awak alat angkut yang akan keluar atau masuk wilayah Indonesia atau pejabat dan petugas yang berwenang.
4. Pencegahan dan Penangkalan
Pimpinan berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencegahan yang menyangkut bidang keimigrasian. Demi keamanan dan ketertiban umum, Pimpinan berwenang pula melakukan penangkalan bagi seseorang yang masuk ke wilayah Indonesia. Pejabat yang berwenang dapat meminta kepada Pimpinan untuk melakukan penangkalan. Untuk melakukan penangkalan ini, diatur pula mengenai syarat dikeluarkannya keputusan penangkalan dan perlindungan hukum bagi yang ditangkal, beserta batas waktu penangkalan.
5. Visa, Izin Masuk, dan Izin Tinggal
Dalam bagian ini diatur mengenai jenis visa dan kepada siapa dapat diberikan dan kepada siapa tidak dapat diberikan. Termasuk pula pengaturan mengenai orang asing yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki visa. Dalam bagian ini diatur pula mengenai ketentuan izin masuk bagi orang asing yang telah memenuhi persyaratan untuk masuk wilayah Indonesia. Bagi orang asing yang berada di wilayah Indonesia, diwajibkan memiliki izin tinggal. Dalam bagian ini diatur mengenai jenis dan macam izin tinggal.
6. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang ini meliputi Paspor Republik Indonesia (sebagai dokumen negara) dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (sebagai dokumen resmi).
Paspor Republik Indonesia terdiri atas :
a. Paspor Diplomatik;
b. Paspor Dinas; dan
c. Paspor Biasa.
Surat Perjalanan Laksana Paspor terdiri atas :
a. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk warga negara Indonesia;
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk orang asing;
c. Surat Perjalanan Lintas Batas atau Pas Lintas Batas; dan
d. Pas Perjalanan Haji.
Dalam bagian ini diatur pula mengenai siapa yang dapat memperoleh Paspor dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, beserta persyaratannya. Dengan adanya Pas Perjalanan Haji nantinya tidak dikenal lagi adanya pas-pas haji.
7. Pengawasan Keimigrasian
Pimpinan melakukan pengawasan Keimigrasian yang meliputi :
a. pengawasan terhadap warga negara Indonesia yang memohon dokumen perjalanan, keluar atau masuk wilayah Indonesia, dan yang berada di luar wilayah Indonesia.
b. pengawasan terhadap lalu lintas orang asing yang masuk atau keluar wilayah Indonesia, serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia.
Dalam rangka melakukan pengawasan terhadap orang asing, Pimpinan membina hubungan kerja sama dengan badan atau instansi pemerintah terkait dan bertindak selaku koordinator pengawasan orang asing. Untuk menegakkan pengawasan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi, diatur pula mengenai Tindakan Administratif Keimigrasian dan pengaturan mengenai Rumah Detensi Imigrasi.
8. Penyidikan
Penyidik Keimigrasian yang telah melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian, berkas perkaranya diserahkan kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum paling lama 1 (satu) hari kerja tanpa mengubah isi berkas perkara.
9. Ketentuan Pidana
Dalam ketentuan ini, ada beberapa perbuatan yang menyangkut bidang keimigrasian yang dikriminalisasi dan beberapa perbuatan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian ditingkatkan pidananya dalam rangka pemberatan. Pidana tidak hanya dijatuhkan kepada orang perseorangan, melainkan juga dapat dijatuhkan kepada korporasi.
10. Ketentuan Peralihan
Untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum dalam ketentuan peralihan ini ditentukan bahwa :
a. Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Terbatas, dan Izin Tinggal Tetap yang dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya habis;
b. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya habis;
c. perkara tindak pidana di bidang keimigrasian yang sedang diproses dalam tahap penyidikan, tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 13
Berdasarkan politik hukum keimigrasian yang bersifat selektif, ditetapkan bahwa hanya orang asing yang :
a. Memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia.
b. Tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum, serta
c. Tidak bermusuhan dengan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia, diizinkan masuk dan dibolehkan berada di wilayah Indonesia, serta diberi izin tinggal sesuai dengan maksud dan tujuannya datang di Indonesia.
Oleh sebab itu penulis mengangkat ini menjadi sebuah topik penelitian dengan judul "PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah syarat-syarat dan prosedur mendapatkan izin masuk sebagai imigran di Indonesia ?
2. Bagaimanakah penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran dilakukan dengan cara akibat hukumnya berdasarkan UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian ?
3. Bagaimanakah penegakan peraturan keimigrasian dalam mencegah masuknya imigran ilegal ke Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui syarat-syarat dan prosedur mendapatkan izin masuk sebagai imigran di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran dan akibat hukumnya berdasarkan UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
3. Untuk mengetahui peraturan keimigrasian dalam mencegah masuknya imigran ilegal ke Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk masuknya Imigran ke Indonesia yang mempunyai izin yang sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
2. Secara Praktis
Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran. Sehingga dengan adanya penulisan ini pemerintah dapat mengatur izin masuk sebagai imigran yang baik dan sesuai dengan UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:11:00

KEBIJAKAN PEMDA TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMDA (ANALISIS PERATURAN DAERAH)

KEBIJAKAN PEMDA TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMDA (ANALISIS PERATURAN DAERAH) (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah) memberikan perubahan yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Melalui perubahan ini, banyak hal baru yang diakomodasi oleh Undang-undang ini dengan maksud untuk memperbaiki sistem yang telah ada. Meskipun demikian, tidak ada yang sempurna dengan karya manusia. Lahirnya sebuah peraturan perundangan-undangan, selalu memunculkan reaksi baik yang bersifat positif maupun yang negatif atau penolakan, terutama bagi pihak-pihak yang benar-benar menaruh kepedulian terhadap penyelenggaraan sistem yang ada.
Hal-hal yang bersifat Positif yang dirasakan dengan adanya Undang-Undang baru ini menurut Sadu Wasistiono adalah :
1. Hak-hak daerah otonom yang meliputi kebebasan untuk memilih pemimpin sendiri, kebebasan memiliki, mengelola dan memanfaatkan sumber keuangan sendiri, kebebasan membuat aturan hukum sendiri. Hak tersebut tentunya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya, kepentingan umum serta asas kepatutan.
2. Berkembangnya inisiatif dan kreatifitas daerah untuk membangun daerahnya berkompetisi dengan daerah otonom lainnya. Dengan memiliki kebebasan untuk menyusun rencana pembangunan sendiri, daerah dapat mendayagunakan potensinya untuk menyejahterakan rakyat.
3. Pada masa mendatang diharapkan akan muncul berbagai pusat pertumbuhan baru di berbagai daerah yang potensial sehingga mengurangi aktifitas yang bersifat "Jakarta sentris"
4. Mulai tumbuhnya iklim demokrasi dengan lebih banyak melibatkan masyarakat, berpartisipasi pada tahap perumusan, implementasi, pemanfaatan serta evaluasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah daerah
5. Mulai munculnya independensi relatif dari pemerintah daerah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi di daerah. Masalah daerah diselesaikan di daerah, dengan cara dan oleh masyarakat setempat.
Dilihat dari ketahanan nasional, hal semacam itu bersifat menguntungkan karena masalah setempat menjadi terisolasi tidak meluas menjadi masalah nasional.
Gejala-gejala negatif yang mungkin akan timbul menurut Sadu Wasistiono yaitu :
1. Menguatnya rasa kedaerahan sempit yang apabila tidak dicermati dan diantisipasi secara tepat akan bersifat kontra produktif terhadap upaya membangun wawasan kebangsaan
2. Munculnya gejala ekonomi biaya tinggi sebagai akibat daerah hanya mengejar kepentingan jangka pendek dalam menghimpun pendapatan daerah. Selain itu juga ada gejala pengabaian terhadap kelestarian lingkungan karena eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tetapi kurang terencana dengan baik
3. Otonomi daerah masih dipahami secara sempit sehingga hanya pemerintah daerah saja yang sibuk, sedangkan masyarakat luas belum dilibatkan secara aktif. Padahal otonomi diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum, bukan hanya kepada pemerintah daerah saja. Hal ini dapat dilihat antara lain dari alokasi penggunaan dana APBD yang lebih banyak untuk kepentingan birokrasi dan DPRD daripada kepentingan masyarakat luas.
4. Ada gejala ketidakpatuhan daerah atau adanya penafsiran secara sepihak terhadap berbagai peraturan perUndang-Undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Padahal demokrasi memerlukan ketaatan hukum yang tinggi. Demokrasi tanpa penegakan hukum hanya akan menciptakan anarki. Pada sisi lain, tanpa adanya kepastian hukum investor akan enggan menanam modal di daerah. Hal tersebut pada gilirannya justru akan membuat satu daerah tertinggal dibandingkan daerah lainnya.
Berdasarkan uraian di atas otonomi daerah berarti daerah menetapkan sendiri kebijakannya, merencanakan strategi aktivitasnya, melaksanakannya, mengendalikannya dan melakukan pengawasan intern. Otonomi daerah adalah buah dari desentralisasi dan demokrasi yang berarti pemerintahan makin dekat dengan rakyat. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dan sumber daya dari pemerintah (pusat) kepada daerah yaitu pemerintahan daerah dan masyarakat daerah. Kewenangan daerah otonom adalah kebebasan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan kewenangan yang dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 disebut sebagai urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Di dalam urusan pemerintahan terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara antara lain :
1. Perlindungan hak konstitusional ;
2. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI ; dan
3. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
Urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di Daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah.
Pelaksanaan urusan pemerintahan selanjutnya diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pada pasal 1 disebutkan bahwa urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Rincian urusan pemerintahan daerah di Kota X dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X. Penyusunan Peraturan Daerah merupakan upaya pengaturan kewenangan di tingkat daerah Kabupaten/Kota sekaligus sebagai dasar penyusunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah di masing-masing Kabupaten/Kota guna menghindari tumpang tindihnya kewenangan antar satuan kerja perangkat daerah.
Berkaitan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, banyak sekali masalah-masalah hukum yang perlu mendapat perhatian. Masalah kesinkronan dan inkonsistensinya perumusan perundang-undangan, akan membawa perubahan dan permasalahan-permasalahan baru pada tataran bentuk luar maupun isi atau substansinya. Perkembangan tatanan hidup akan membuat kebutuhan manusia terhadap hukum akan bersifat dinamis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merasa sangat tertarik untuk menulis penelitian yang berjudul KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH (Analisis Peraturan Daerah Kota X Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X).

B. Perumusan Masalah
Mengacu kepada pembatasan masalah di atas, penulis menetapkan rumusan masalah penelitian :
1. Apakah kewenangan yang telah ditetapkan tersebut sesuai/sinkron dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang menjadi dasar hukum Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X ?
2. Apakah Peraturan Daerah Kota X Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X sesuai/sinkron dengan Peraturan Daerah Nomor 03-07 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui apakah peraturan kebijaksanaan Kota X, melalui Perda Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
b. Untuk mengetahui apakah Perda Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 03-07 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kota X.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan pengetahuan penulis terhadap tujuan otonomi daerah menurut Undang-Undang 32 Tahun 2004.
b. Untuk menyusun laporan Penelitian sebagai naskah Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum pada program Pasca Sarjana.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian diharapkan nantinya akan mempunyai manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat diperoleh perbandingan antara teori-teori yang diperoleh selama mengikuti pendidikan dengan aplikasi di lapangan berkaitan dengan hal yang diteliti ; dan
b. Untuk memberikan masukan dalam perumusan dan pengkajian di bidang pembuatan kebijaksanaan oleh Pemerintah Daerah khususnya di Kota X.
2. Manfaat praktis
a. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas di lapangan
b. Bagi Pemerintah Daerah dan sistem pemerintahan khususnya serta seluruh masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat dijadikan bahan pengkajian kebijakan publik yang terkait dengan kewenangan pemerintahan daerah serta membantu memberikan pemikiran dalam upaya perbaikan bagi sistem kewenangan pemerintahan daerah, khususnya di Kota X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:05:00