Cari Kategori

Showing posts with label skripsi ilmu hukum. Show all posts
Showing posts with label skripsi ilmu hukum. Show all posts

KEBIJAKAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TANPA JAMINAN DI PT BANK RAKYAT INDONESIA UNIT X

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TANPA JAMINAN DI PT BANK RAKYAT INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berjalannya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu negara maju dan negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang berada dalam tahap membangun dan berkembang. Indonesia didirikan bukan tanpa suatu tujuan. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (alinea IV), Indonesia memiliki 4 tujuan yang hendak dicapai, yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk merealisasikannya, maka Bangsa Indonesia perlu mengupayakan suatu cara sebagai media dalam pencapaian tujuan dan cita-cita bangsa sebagaimana diisyaratkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Pembangunan nasional merupakan realisasi terhadap kesungguhan bangsa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita luhur tersebut. Seiring dengan berjalannya pembangunan nasional, maka kehidupan masyarakatpun semakin dinamis dan terus mengalami perkembangan.
 
Sebab-sebab terjadinya perubahan sosial dapat bersumber pada masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya diluar masyarakat lain atau dari alam sekelilingnya. Sebab-sebab yang bersumber pada masyarakat itu sendiri adalah antara lain, bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dan terjadinya revolusi (Soerdjono Soekanto, 1981 : 21).
Terjadinya revolusi industri di Inggris membuat segi perekonomian di Inggris menjadi meningkat. Hal ini membuat bangsa Indonesia yang notabene sebagai negara berkembang terdorong untuk meningkatkan perekonomiannya juga. Berbagai upaya dilakukan oleh bangsa Indonesia, salah satunya dengan cara meningkatkan usaha di bidang perbankan.
 
Peranan perbankan dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa adalah sangat vital layaknya sebuah jantung dalam tubuh manusia. Keduanya saling mempengaruhi dalam arti perbankan dapat mengalirkan dana bagi kegiatan ekonomi sehingga bank yang sehat akan memperkuat kegiatan ekonomi suatu bangsa. Sebaliknya, kegiatan ekonomi yang tidak sehat akan sangat mempengaruhi kesehatan dunia perbankan.
 
Bank akan mengembangkan jenis-jenis produknya dalam bentuk berbagai layanan perbankan. Produk-produk ini berkembang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan tehnologi informasi. Namun, keragamannya akan dibatasi oleh jenis banknya itu sendiri, karena setiap bank memiliki ciri khas, keleluasaan dan keterbatasan tertentu (Jamal Wiwoho, dkk, 2008 : 5).
 
Kegiatan perbankan juga selalu mengikuti kemajuan aneka ekonomi pasar domestik maupun pasar global sehingga fungsi perbankan itu sendiri juga semakin bertambah dan beraneka warna. Perkembangan ini tentu saja mengandung kemungkinan pertambahan resiko yang akan mempengaruhi kesehatan perbankan. Apabila dahulu perbankan dapat tumbuh dan berkembang berdasarkan kebiasaan praktek yang diakui oleh masyarakat sebagai norma hukum tak tertulis, maka dengan semakin kompleks dan semakin tingginya risiko yang dihadapi, praktek perbankan harus diatur oleh suatu sistem perundangan yang modern pula.
 
Hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain. Istilah perdata berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti warga (burger), pribadi (privat), sipil, bukan militer (civiel). Lebih konkrit lagi, dapat dikatakan bahwa hukum perdata artinya hukum mengenai warga, pribadi, sipil, berkenaan dengan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban hukum setiap warga atau pribadi dalam hidup bermasyarakat disebut hubungan hukum (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 1).
 
Timbulnya hukum karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan itu hanya dapat terpenuhi apabila dilakukan dengan usaha dan kerja keras. Selanjutnya, mereka mengadakan hubungan satu sama lainnya.
 
Hubungan satu sama lain yang mengikat dalam hukum perdata pada nantinya akan mengarah pada suatu perjanjian. Bentuk perjanjian yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari adalah perjanjian kredit di bank. Perjanjian kredit ini melibatkan dua pihak, yaitu nasabah sebagai pemohon kredit (debitur) dan pihak bank sebagai pemberi kredit (kreditur).
 
Dalam rumusan Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, pasal 1 nomor 11 dan 12 menyebutkan : "Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga".
 
Thomas Suyatno, dkk mengemukakan bahwa : "Penyediaan kredit bank-bank yang semula mengandalkan kredit likuiditas Bank Indonesia, secara bertahap dialihkan menjadi penyediaan kredit biasa oleh perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lain yang didasarkan atas dana yang dihimpun dari masyarakat" (Thomas Suyatno, dkk, 2003 : 3).
 
Dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia, M. Djumhana mengemukakan bahwa : "Berjalannya kegiatan perkreditan akan lancar apabila adanya suatu saling mempercayai dari semua pihak yang terkait dalam kegiatan tersebut. Kegiatan itu pun dapat terwujud hanyalah apabila semua pihak terkait mempunyai integritas moral" (Muhamad Djumhana, 2000 : 366).
 
Jenis kredit dilihat dari sudut jaminannya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : kredit tanpa jaminan (Unsecured Loan) dan kredit dengan agunan (Secured Loan). Dalam perkembangannya tidak semua bank telah menerapkan kredit tanpa jaminan, namun setahun terakhir ini telah muncul suatu kredit tanpa jaminan yang disebut Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan. Lain hal lagi, kredit dengan agunan, yaitu kredit yang dilakukan dengan menyertakan agunan seperti apa yang telah diperjanjikan. Agunan yang disertakan bisa berupa agunan barang, agunan pribadi (borgtocht) dan agunan efek-efek saham.
 
Perguliran KUR dimulai dengan adanya keputusan Sidang Kabinet Terbatas yang diselenggarakan pada tanggal 9 Maret 2007 bertempat di Kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dipimpin Bapak Presiden RI. Salah satu agenda keputusannya antara lain, bahwa dalam rangka pengembangan usaha Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan koperasi, pemerintah akan mendorong peningkatan akses pelaku UMKM dan Koperasi kepada kredit/pembiayaan dari perbankan melalui peningkatan kapasitas Perusahaan Penjamin.
 
Kredit Usaha Rakyat diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 November 2007 dengan didukung oleh Instruksi Presiden No.5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 untuk menjamin implementasi atau percepatan pelaksanaan KUR ini, berbagai kemudahan bagi UMKM pun ditawarkan oleh pemerintah. Beberapa di antaranya adalah penyelesaian kredit bermasalah UMKM dan pemberian kredit UMKM hingga Rp 500 juta. Inpres tersebut didukung dengan Peraturan Menkeu No 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan KUR. Jaminan KUR sebesar 70 persen bisa ditutup oleh pemerintah melalui PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perusahaan Sarana Pengembangan Usaha dan 30 persen ditutup oleh Bank Pelaksana.
 
Pada tahap awal program, Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan ini disediakan hanya terbatas oleh bank-bank yang ditunjuk oleh pemerintah saja, yaitu : Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Bukopin. Penyaluran pola penjaminan difokuskan pada lima sektor usaha, seperti : pertanian, perikanan dan kelautan, koperasi, kehutanan, serta perindustrian dan perdagangan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan ini ditujukan untuk membantu ekonomi usaha rakyat kecil dengan cara memberi pinjaman untuk usaha yang didirikannya.
 
Atas diajukannya permohonan peminjaman kredit tanpa jaminan tersebut, tentu saja harus mengikuti berbagai prosedur yang ditetapkan oleh bank yang bersangkutan. Selain itu, pemohon harus mengetahui hak dan kewajiban apa yang akan timbul dari masing-masing pihak yaitu debitur dan kreditur dengan adanya perjanjian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan ini, mengingat segala sesuatu dapat saja timbul menjadi suatu permasalahan apabila tidak ada pengetahuan yang cukup tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan ini.
 
Berdasar uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menyusunnya menjadi sebuah skripsi dengan judul : "KEBIJAKAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TANPA JAMINAN DI PT BANK RAKYAT INDONESIA UNIT X"

B. Perumusan Masalah.
Perumusan masalah dalam suatu penelitian, diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dilakukan melalui perjanjian kredit tanpa jaminan di PT Bank Rakyat Indonesia Unit X?
2. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban yang dimiliki kreditur dan debitur atas perjanjian pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan?
3. Permasalahan apa saja yang timbul dari perjanjian Kredit Usaha Rakyat tanpa jaminan ini serta bagaimana tindakan PT Bank Rakyat Indonesia Unit X dalam mengatasinya?

C. Tujuan Penelitian.
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dilakukan melalui perjanjian kredit tanpa jaminan di PT Bank Rakyat Indonesia Unit X.
b. Untuk mengetahui hak dan kewajiban yang dimiliki kreditur dan debitur atas perjanjian pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan.
c. Untuk memperoleh data dan informasi secara lebih jelas dan lengkap mengenai permasalahan apa saja yang timbul dari perjanjian Kredit Usaha Rakyat tanpa jaminan ini serta tindakan PT Bank Rakyat Indonesia Unit X dalam mengatasinya.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai pelaksanaan proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan beserta permasalahan yang ditimbulkan karenanya.
b. Untuk memperoleh data dan informasi secara lebih jelas dan lengkap sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum, guna melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Universitas X.

D. Manfaat Penelitian.
Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Perdata pada khususnya.
b. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai pelaksanaan proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan beserta permasalahan yang ditimbulkan karenanya.
c. Dapat bermanfaat selain sebagai bahan informasi juga sebagai literatur atau bahan informasi ilmiah.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait, mengenai pelaksanaan proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan beserta permasalahan yang ditimbulkan karenanya.
b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan perimbangan yang menyangkut masalah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:52:00

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRA USAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA INTERNASIONAL TBK CABANG X

TESIS ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRA USAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA INTERNASIONAL TBK

A. Latar Belakang
Untuk mendirikan suatu perusahaan memerlukan modal kerja dan untuk mendapatkannya ada berbagai cara yang dapat ditempuh, salah satunya adalah dengan meminjam kepada pihak lain. Hubungan pinjam-meminjam tersebut dapat dilakukan dengan kesepakatan antara peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian tersebut bisa berupa perjanjian lisan atau dalam bentuk perjanjian tertulis yang juga dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau dengan akta notaris.
 
Perjanjian utang piutang dalam KUHPerdata dapat diidentikkan dengan perjanjian pinjam meminjam yaitu merupakan perjanjian pinjam meminjam barang berupa uang dengan ketentuan yang meminjam akan mengganti dengan jumlah nilai yang sama seperti pada saat ia meminjam.
 
Mengenai pinjam meminjam juga disebutkan dalam Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu :
"Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dengan jenis dan mutu yang sama pula".
 
Hubungan hukum tersebut akan berjalan lancar jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Namun apabila salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian sesuai dengan yang telah disepakati maka perjanjian tersebut akan mengalami berbagai hambatan.
 
Bank sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bank adalah Badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka peningkatan taraf hidup orang banyak.
 
Aktivitas perbankan pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang dikenal dengan istilah funding yaitu mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat luas dan kedua memberi pinjaman ke masyarakat atau dikenal dengan istilah kredit atau lending.
 
Semakin berkembangnya kegiatan usaha perbankan, bank dihadapkan kepada berbagai risiko usaha seperti risiko kredit, risiko investasi, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko penyelewengan dan risiko fidusia. Pentingnya mengenal nasabah dapat mengurangi atau bahkan menghindari dari risiko yang dihadapi Bank terutama dalam kerugian keuangan yang signifikan bagi bank.
 
Salah satu karakter yuridis dari bisnis perbankan, yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan petunjuk pelaksanaan (heavily regulated business). Bidang perbankan merupakan bidang yang sarat regulasi adalah karena:4
1. Bank adalah termasuk lembaga yang mengelola uang rakyat, karena itu, kepentingan rakyat banyak ikut dipertaruhkan oleh suatu bank.
2. Kegiatan bank merupakan kegiatan yang sangat detail dan complicated. Karena itu, perlu arahan-arahan dan petunjuk yang lengkap dan detail pula.
3. Bank memainkan peranan yang sangat besar dalam perkembangan moneter dan perekonomian secara makro. Karena itu, ada pula suatu kebutuhan masyarakat agar bank-bank tetap aman dan tidak terjadi gejolak. Sehingga perkembangan ekonomi nasional tetap mantap.
 
Salah satu kegiatan usaha bank adalah menyalurkan kredit. Secara estimologis Kredit berasal dari bahasa latin "credere" atau "credo" yang berarti kepercayaan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
 
Usaha Mikro Kecil Menengah terbukti bertahan dalam krisis moneter tahun 1998 lalu memiliki peran strategis dan penting ditinjau dari berbagai aspek. Pertama jumlah industrinya yang tersebar di setiap sektor ekonomi. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja dimana setiap unit investasi pada sektor ini dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja jika dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar.
 
Dari sudut perbankan, pemberian kredit pada sektor ini dapat mendorong penyebaran risiko. Hal ini disebabkan karena penyaluran kredit pada usaha ini dengan nominal kredit yang kecil memungkinkan bank untuk memperbanyak jumlah debitur, sehingga pemberian kredit tidak terkonsentrasi pada kelompok atau sektor tertentu. Selain itu, suku bunga kredit pada tingkat suku bunga pasar bukan merupakan masalah utama, sehingga memungkinkan bank-bank memperoleh pendapatan bunga yang memadai.
 
Akhir-akhir ini bank-bank semakin gencar mengenjot penyaluran kreditnya ke sektor ritel. Berbagai produk kredit konsumsipun mereka munculkan. Salah satunya yang belakangan ini semakin popular adalah Kredit Tanpa Agunan (KTA). Selama ini nasabah tidak dapat mengakses kredit bank karena mereka tidak mampu menyediakan agunan. Lazimnya bank menjadikan agunan sebagai faktor yang menentukan besar nilai pinjaman yang akan disetujui, dan berapa besar bunga yang mereka kutip dari debitur alias nasabah kreditnya.
 
Pada tanggal 5 November 2007, Pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan dengan enam bank pelaksana yang turut terlibat dalam program penjaminan UMKM. Enam bank tersebut adalah BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bukopin dan Bank Syariah Mandiri. Besaran kredit yang disalurkan maksimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan bunga maksimal 16 % pertahun (efektif).
 
Kredit Usaha Rakyat merupakan kredit program yang disalurkan menggunakan pola penjaminan kredit bank diperuntukkan bagi pengusaha mikro dan kecil yang tak memiliki agunan tetapi memiliki usaha yang layak dibiayai bank.10 Dalam pelaksanaan program Kredit usaha Rakyat atau KUR, perbankan yang telah menandatangani kesepakatan menjalani program KUR tetap tidak diperbolehkan meminta jaminan atau agunan kepada pelaku usaha.
 
Kredit usaha rakyat diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil dan menengah rakyat yang layak (feasible) namun belum memenuhi persyaratan perbankan (bankable). Yang dimaksud dengan layak adalah suatu usaha yang ditinjau dari ekonomis menguntungkan, dari segi teknis bisa dilaksanakan, dan dari segi ekologis dapat diterima masyarakat dan tidak merusak lingkungan. Namun karena ketidakadaan agunan serta persyaratan lainnya sehingga selama ini tidak dibiayai oleh perbankan secara komersial.
 
Walaupun program kredit usaha rakyat ini merupakan kredit tanpa agunan tetapi seringkali bank tetap meminta agunan dengan dalil guna meningkatkan kualitas kredit dalam upaya mengurangi risiko kredit macet dalam pengembalian kredit tersebut, karena apabila kredit yang disalurkan tersebut macet tentu akan merugikan masyarakat penyimpan dana di bank.
 
Program kredit tanpa agunan ini pernah dicanangkan pada tahun 2004 dan PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditunjuk pemerintah pada waktu itu menjadi salah satu bank penyelenggara Kredit Tanpa Agunan.
 
PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk mengeluarkan produk Kredit tanpa agunan dengan nama Kredit Wirausaha. atau disingkat KWU atau disebut juga Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan adalah fasilitas kredit/ pembiayaan untuk investasi atau modal kerja yang diberikan dalam mata uang rupiah kepada usaha mikro dengan plafon kredit maksimum Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) perdebitur untuk membiayai usaha yang produktif.
 
Kredit Wirausaha merupakan kredit tanpa agunan yang ditujukan untuk calon professional yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana strata-1 dari disiplin ilmu siap pakai antara lain bidang tehnik mesin/ arsitektur/ elektro, kedokteran, pertanian/ perikanan/ peternakan, notaris dan lainnya serta bagi tenaga terampil/ terlatih dan karyawan yang terkena PHK maupun pengusaha mikro yang hendak dan memiliki potensi untuk dikembangkan.
 
Perbankan diragukan salurkan Kredit Tanpa Agunan dikarenakan minimnya peraturan perbankan dalam penyaluran Kredit Tanpa Agunan (KTA) menyurutkan kemauan perbankan untuk turut serta.16 Hal ini dikarenakan jika kredit yang disalurkan itu macet dan karena tidak adanya agunan maka akan menyulitkan bank untuk pengembalian dana yang disalurkannya.
 
Bank memiliki risiko tinggi dikarenakan dana yang disalurkan untuk pemberian kredit berasal dari simpanan nasabah, dimana Bank harus membayar sebesar suku bunga simpanan. Oleh karena itu dalam setiap pemberian kredit kepada nasabah, Bank harus mencadangkan dana dengan besaran nilai tertentu, tergantung dari pada kolektibilitas kredit.
 
Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum untuk merubah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tertanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Golongan kredit macet yang sebelumnya ditentukan selama 270 hari dipercepat menjadi 180 hari. Hal ini tentu saja membawa dampak percepatan penambahan kredit macet di bank dengan perincian sebagai berikut :
1. Kredit Lancar adalah kredit yang tepat waktu dalam membayar kredit sesuai dengan waktu yang telah disepakati disebut juga Kolektibilitas 1.
2. Kredit dalam perhatian Khusus (Special Mention), yaitu apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga sampai dengan 90 hari, disebut juga Kolektibilitas 2.
3. Kredit kurang lancar (Substandar), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 90 hari sampai dengan maksimal 120 hari, disebut juga Kolektibilitas 3.
4. Kredit diragukan (doubtful), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 120 hari sampai dengan maksimal 180 hari, disebut juga Kolektibilitas 4.
5. Kredit Macet (loss), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 180 hari disebut juga Kolektibilitas 5.
Dalam Pemberian fasilitas kredit mengandung risiko tinggi terhadap operasional karena apabila kredit tak terbayar maka akan dapat mempengaruhi modal bank dan juga likuiditas bank.
Munculnya Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum telah membawa kecemasan terhadap pihak perbankan terhadap kemungkinan berkurangnya laba bank disebabkan pihak bank wajib menyediakan cadangan khusus, yaitu sebagai berikut:
1. 5% dari aktiva dengan kwalitas dalam status perhatian khusus setelah dikurangi dengan agunan.
2. 15 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status kurang lancar setelah dikurangi dengan agunan.
3. 50 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status diragukan setelah dikurangi dengan agunan.
4. 100 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status Macet setelah dikurangi dengan agunan.
Dalam pemberian kredit, bank selalu berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Salah satu prinsip yang dipedomani adalah prinsip collateral (agunan), yang merupakan bagian dari prinsip pemberian kredit yang dikenal dengan istilah Prinsip 5 C yang terdiri dari Character (kepribadian), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Condition of Economy (kondisi ekonomi), Collateral (agunan).
 
Prinsip Collateral (agunan) menghendaki adanya pemberian agunan oleh debitur. Pemberian agunan adalah salah satu upaya untuk menjamin adanya pengembalian kredit atau pelunasan kredit dari debitur. Dalam hal debitur wanprestasi, maka pihak bank dapat mengeksekusi agunan dari debitur sebagai konpensasi pelunasan hutang-hutangnya.
 
Dalam Pasal 54 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum disebutkan dalam rangka menghindari kegagalan usaha bank sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana dan meningkatkan independensi pengurus bank terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.
 
Salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan prinsip mengenal nasabah. Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan, hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).
 
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain tentang penilaian kualitas aktiva bank umum, batas maksimum pemberian kredit bank umum, prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat dan prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko.
 
Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Jadi kepercayaan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur yang merupakan hal penting, sedangkan agunan hanya merupakan unsur pendukung, bukan unsur utama dalam pemberian kredit.
 
Kredit Tanpa Agunan atau jaminan ini menurut Undang-Undang Perbankan tahun 1992 yang telah dirubah menjadi Undang-undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 ini bisa direalisasikan karena Undang-undang Perbankan ini tidak secara ketat menentukan bahwa pemberian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Sebaliknya menurut Undang-undang Pokok Perbankan tahun 1967 yang digantikannya, pemberian kredit tanpa jaminan ini dilarang sesuai dengan Pasal 24 ayat 1, bahwa bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.
 
Dari berbagai keadaan seperti yang dikemukakan diatas, maka diperlukan kehati-hatian dari bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit tanpa agunan kepada nasabah sebagai debitur, untuk itu calon peneliti mengangkat judul tesis "Analisis Yuridis terhadap Pemberian Kredit Wira Usaha Tanpa Agunan Pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, Cabang X".

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka calon peneliti merumuskan beberapa masalah dalam tesis ini, terdiri dari:
1. Bagaimana pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk ?
2. Bagaimana peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank ?
3. Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit?

C. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk.
2. Untuk mengetahui peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk.
2) Untuk mengetahui peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank.
3) Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan serta masukan bagi pihak akademisi khususnya di lingkungan Universitas X dan pihak terkait lainnya, terutama pihak debitur dalam mengetahui hak dan kewajibannya dan pihak kreditur (bank) dalam mengantisipasi pemberian kredit kepada nasabahnya.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang Kredit Tanpa Agunan telah pernah dilakukan sebelumnya dalam lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas X. Penelitian dilakukan oleh Iliana dengan judul "Perlindungan Hukum terhadap Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan" pada tahun 2005. Penulisan tesis ini menitik beratkan pada kriteria penilaian yang dipergunakan kreditur sebagai syarat pemberian kredit tanpa agunan, penelitian terhadap tingkat keberhasilan dan kegagalan kreditur dalam memperoleh pengembalian kredit serta perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penyelesaian sengketa atas kredit macet yang terjadi dalam perjanjian kredit tanpa agunan.
Sedangkan penelitian penulis dengan judul "Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Wira Usaha Tanpa Agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang X" menitik beratkan pada pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank dan pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Dengan demikian penelitian ini mempunyai bidang penelitian yang berbeda sehingga penelitian ini adalah asli.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:51:00

KARTU KREDIT SEBAGAI BAGIAN DARI KREDIT TANPA AGUNAN (DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERJANJIAN)

SKRIPSI KARTU KREDIT SEBAGAI BAGIAN DARI KREDIT TANPA AGUNAN (DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERJANJIAN)
 
1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Dalam menunjang terpenuhinya kebutuhan hidup bagi sebagian besar masyarakat di perkotaan (terutama di pusat-pusat kota, sebagai contoh di Jakarta), serta berdasarkan tingginya mobilitas masyarakat Indonesia, khususnya yang bertempat tinggal didaerah perkotaan, menyebabkan hal ini membuka kesempatan serta memberi peluang bagi bank swasta dan bank pemerintah untuk memberikan kredit tanpa agunan.
 
Pemberian kredit tanpa agunan ini diberikan pada orang-orang yang kebetulan telah lama menjadi nasabahnya ataupun melalui gencarnya penawaran-penawaran yang dilakukan oleh bank-bank tersebut, khususnya bank-bank swasta yang mempunyai keberanian lebih dibanding bank pemerintah. Kredit Tanpa Agunan ini pada dasarnya menguntungkan sebagian masyarakat yang memang kebetulan membutuhkan dana cepat tanpa harus dibebani oleh keharusan menjaminkan harta bendanya, walaupun pada dasarnya kredit tanpa agunan ini mengakibatkan bunga yang tinggi serta mempunyai jangka waktu kredit yang terbatas (antara 1 sampai dengan 3 tahun).
 
Pada dasarnya perjanjian kredit dapat kita bagi atas perjanjian kredit yang memiliki agunan dan perjanjian yang tidak atau tanpa agunan. Persoalan agunan ini berkaitan dengan ketentuan pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut "KUHPer"). Kedua pasal ini membahas tentang piutang-piutang yang diistimewakan. Pasal 1131 mengatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dan pasal 1132 mengatakan bahwa kebendaan teersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para piutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
 
Pihak bank biasanya dalam memberikan kredit akan menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi jaminan atau agunan dari kredit yang dikeluarkan, misalnya dalam kredit pembelian kendaraan yang menjadi agunan biasanya adalah BPKB dari kendaraan tersebut. Buat pihak bank dengan ditentukan dari awal tentang apa yang menjadi jaminan terhadap kredit yang diberikan akan memudahkan bagi bank untuk melakukan eksekusi bila terjadi wanprestasi karena sudah tertentu apa yang menjadi agunannya.
 
Untuk kredit tanpa agunan, karena pihak bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, maka berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer, harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur. Akibatnya jika terjadi wanprestasi dari pihak kreditur, maka pihak Bank melakukan eksekusi berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer.
 
Dasar bagi Bank Penerbit untuk melakukan bila terjadi eksekusi tentunya adalah perjanjian yang dibuat pada awalnya suatu perikatan teradi, yaitu dimana permohonan aplikasi permohonan kredit yang anda ajukan disetujui oleh pihak Bank Penerbit. Bila anda wanprestasi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut, misalnya adanya keterlambatan pembayaran dari pengguna fasilitas kredit.
 
Pada dasarnya Kredit Tanpa Agunan ini, secara tidak langsung merugikan nasabah, karena pihak Bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, namun berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer, harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur. Hal ini tentu saja tidaklah diketahui secara umum oleh orang-orang yang menerima kredit Tanpa Agunan tersebut, karena tidak dikemukakan secara transparan oleh Bank pemberi kredit tanpa agunan. Sehingga jika terjadi wanprestasi dari pihak kreditur, maka pihak bank akan melakukan eksekusi berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer.
 
Kredit tanpa agunan ini tidak terlepas dari adanya pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh Kreditur maupun oleh Debitur. Pelanggaran ini dapat terjadi dalam beberapa cara, missal: salah satu pihak dengan tegas melepaskan tanggung jawabnya dan menolak melaksanakan kewajiban dipihaknya sehingga menimbulkan sengketa di antara kedua belah pihak.
 
Sengketa adalah salah satu permasalahan hukum yang timbul dalam Kredit Tanpa agunan. Perjanjian Kredit Tanpa Agunan inilah yang akan penulis bahas dalam skripsi ini.

1.2. POKOK PERMASALAHAN
Melihat latar belakang permasalahan yang telah dijabarkan di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, adalah:
1. Permasalahan hukum apakah yang timbul dalam proses terjadinya Kredit Tanpa Agunan?
2. Apa akibat hukumnya bila terjadi wanprestasi pada Kredit Tanpa Agunan?

1.3. TUJUAN PENULISAN
Setiap penulisan sebuah karya ilmiah tentunya memiliki tujuan-tujuan tertentu. Demikian juga dengan penulisan skripsi ini, secara umum tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menemukan konstruksi hukum dari suatu Kredit Tanpa Agunan.
Secara khusus, sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengetahui beberapa hal, yaitu:
1. Untuk mengetahui Permasalahan hukum yang timbul dalam proses terjadinya Kredit Tanpa Agunan.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari Kredit Tanpa Agunan bila terjadi wanprestasi.

1.4. KERANGKA KONSEPSIONAL
Pemaparan teori dan permasalahan dalam skripsi ini menggunakan beberapa konsep yang biasa digunakan dalam Hukum Perjanjian dan perjanjian kredit dalam praktek yang dilakukan sehari-hari. Beberapa konsep yang dimaksud adalah:
1. Perjanjian
Pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah :
Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Dalam skripsi ini perjanjian yang akan dibahas adalah perjanjian kredit yang merupakan pengembangan dari bentuk dasar perjanjian pinjam-meminjam.
Pinjam-meminjam menurut pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah:
Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
2. Kredit
Pengertian kredit yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dirubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, ialah:
"Kredit Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet.8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), pasal 1313.
3. Agunan kredit
Pengertian agunan kredit yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dirubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, adalah:
"Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberiaan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah."

1.5. METODE PENELITIAN
1.5.1. Jenis penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode normatif. Hal ini dikarenakan pengambilan data dalam skripsi ini didapat dari bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan tema yang dibahas, diktat-diktat perkuliahan, dan catatan perkuliahan yang dibuat oleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum.
1.5.2. Jenis Data Penelitian
Dalam skripsi ini penulis akan menggunakan data-data yang berkaitan dengan tema penulisan. Adapun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang meliputi tiga bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Indonesia (b), Undang-undang Perbankan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, 10 November 1998), Pasal 1 angka 11.
a. Primer, yaitu Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, peraturan-peraturan Bank Indonesia
b. Sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan antara lain,Hukum Perbankan Di Indonesia oleh Drs. M. Djumhana, Hukum Kredit dan Bank Garansi (The Bankers Hand Book) oleh H.R. Daeng Naja, dan Hukum Kebendaan Perdata (Hak-hak Yang Memberi Jaminan) oleh Frieda Husni Hasbullah, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia oleh Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.
c. Tersier, yaitu kamus bahasa Indonesia dan Inggris yang penulis gunakan untuk menemukan arti dan penjelasan mengenai suatu terminologi dalam perjanjian kredit yang menggunakan bahasa asing dan istilah-istilah perbankan.
Penulisan ini memakai alat pengumpulan data berupa studi dokumen atau bahan pustaka yang berkaitan dengan judul tulisan, yaitu mengenai kartu kredit sebagai bagian dari kredit tanpa agunan (ditinjau dari aspek hukum perjanjian). Dalam studi dokumen yang dimaksud, penulis melakukan penelitian kepustakaan dengan membaca bahan-bahan hukum baik yang dimiliki, diperoleh dari perpustakaan maupun adanya bahan-bahan yang diperoleh dengan cara mencatat pada proses perkuliahan yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
1.5.3. Analisa Data
Cara penganalisaan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analitis-deskriptif. Analitis yang dimaksud adalah penulis dalam penulisan skripsi ini bermaksud untuk menganalisa dan mempelajari keadaan dan kondisi yang terjadi saat ini mengenai perjanjian kredit dalam praktek sehari-hari sesuai dengan pokok permalahan.
Analisis yang penulis lakukan juga meliputi analisis terhadap teori-teori serta doktrin hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya akan digunakan oleh penulis dalam mendeskripsikan permasalahan dalam penelitian ini. Sedangkan, deskriptif adalah langkah penulis selanjutnya untuk kemudian menggambarkan secara tepat keadaan dan gejala yang telah dianalisa sebelumnya untuk kemudian dijabarkan dan diolah dalam suatu hasil penelitian.

1.6. SISTEMATIKA PENULISAN
Sebagai pembahasan terakhir dari bab pendahuluan, dibawah ini akan penulis uraikan secara singkat isi dari keseluruhan penulisan skripsi ini, yang terbagi dalam lima bab dan disajikan dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
Bab ini terdiri dari latar belakang penulisan skripsi ini, pokok-pokok permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan yang menerangkan isi skripsi ini bab demi bab.
BAB II
Merupakan bab yang menguraikan mengenai perjanjian pada umumnya yang memuat pengertian umum tentang perjanjian, sifat dan asas hukum perjanjian, syarat sahnya perjanjian, bagian perjanjian, sifat dan unsur perjanjian, lahirnya suatu perjanjian serta berakhirnya suatu perjanjian.
BAB III
Bab ini membahas mengenai pengertian tentang Kredit Tanpa Agunan yang memuat pengertian tentang Agunan Tanpa Kredit, hak dan kewajiban para pihak, subyek dan obyek perjanjian kredit tanpa agunan, serta akibat yang timbul dari suatu perjanjian kredit Tanpa Agunan.
BAB IV
Bab ini merupakan pokok dari rangkaian pembahasan skripsi. Dalam bab ini penulis akan mencoba menghubungkan teori perjanjian dan teori kredit tanpa agunan dengan permasalahan hukumnya serta jika terjadi wanprestasi dalam Kredit Tanpa Agunan, dan sengketa yg mungkin timbul dalam Kredit Tanpa Agunan dan penyelesaiannya.
BAB V
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran, penulis berusaha untuk menyimpulkan masalah pokok yang dibahas dalam skripsi ini. Dan sebagai penutup, penulis juga mencoba untuk memberikan saran-saran yang mudah-mudahan dapat bermanfaat dalam hubungannya dengan perjanjian kredit tanpa agunan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:49:00

PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DENGAN KORBAN DIBAWAH UMUR MENURUT UU TENTANG PENGADILAN ANAK

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DENGAN KORBAN DIBAWAH UMUR MENURUT UU NO.3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

A. Latar Belakang Masalah
 
Dewasa ini kenakalan remaja grafiknya semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitasnya.Yang memprihatinkan lagi kenakalan yang dilakukan oleh remaja tersebut bukan kenakalan biasa, tetapi cenderung mengarah pada tindakan kriminal, yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
 
Masa remaja marupakan masa dimana seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, baik secara fisik maupun emosinya belum stabil serta belum matang cara berfikirnya. Terutama pada masa remaja biasannya mudah cemas, mudah tergoncang emosinya dan sangat peka terhadap kritikan. Karena jiwanya yang belum stabil, terkadang mereka ingin terlepas dari segala peraturan yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi, mudah menerima pengaruh dari luar lingkunganya dan ingin hidup dengan gayanya sendiri. Maka tidak heran jika banyak remaja yang berbuat nakal di tempat umum seperti minum-minuman keras di pinggir jalan, mencoret-coret tembok, kebut-kebutan dijalan umum mencuri dan sebagainya. Perilaku anak dibawah umur tersebut tidak cukup hanya dipandang sebagai kenakalan biasa, tidak jarang perbuatan mereka tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati yang menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan yang dapat diancam pidana.
 
Perilaku anak yang menyimpang bahkan melanggar hukum cukup kompleks dan beragam. Perilaku yang menunjukan dekadensi moral manusia telah mereka lakukan. Perilaku menyimpang anak yang sering terjadi adalah penggunaan obat-obatan terlarang dan tindak kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual itu bahkan bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong dibawah umur (anak-anak). Kejahatan seksual ini juga tidak hanya berlangsung dilingkungan perusahaan, perkantoran atau tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan keluarga. Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah kecenderungan makin maraknya tindak pidana perkosaan yang tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tetapi juga menimpa anak-anak di bawah umur dan dilakukan oleh anak. Tindak Pidana perkosaan tersebut telah diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
 
Permasalahan yang semakin berkembang ini perlu segera ditanggulangi dan diselesaikan yang bukan hanya menjadi tanggung jawab negara saja, tetapi juga membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Penyelesaian permasalahan tersebut harus selalu mengacu pada pemenuhan hak dan pemberian perlindungan bagi anak.
 
Beberapa hak anak dalam proses peradilan pidana perlu diberi perhatian khusus, demi peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu maka ada beberapa hak-hak anak yang perlu di perhatikan dan diperjuangkan pelaksanaanya. Hak-hak tersebut di berikan pada waktu sebelum, selama, dan setelah masa persidangan yang meliputi:
 
1. Sebelum persidangan
a. hak diperlakukan sebagai seseorang yang belum terbukti bersalah
b. hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja c. hak terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan
d. hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo
2. Selama persidangan
a. hak mendapat penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya;
b. hak mendapatkan pendamping, penasehat selama persidangan;
c. hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya;
d. hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara dan tempat penahanan);
e. hak untuk menyatakan pendapat;
f. hak untuk memohon ganti rugi atas perlakuan yang dapat menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut atas alasan yang berdasarkan undang-undang;
g. hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/penghukuman yang positif, yang dapat mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya;
h. sidang tertutup demi kepentinganya.
3. Setelah persidangan
a. hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (berbagai ancaman, penganiayaan, pembunuhan);
b. hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan pancasila, UUD 1945, dan ide mengenai pemasyarakatan;
c. hak untuk dapat berhubungan dengan keluarganya.
Anak tidak dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa, dalam ukuran kecil kita yakin bahwa ada perbedaan antara pelanggar-pelanggar anak dengan orang yang sudah dewasa, sudah seharusnya anak mendapat perlakuan khusus dalam proses pemeriksaan di persidangan.
Agar dapat terwujudnya suatu tata cara pemeriksaan anak di depan pengadilan di perlukan beberapa lembaga dan perangkat hukum yang mengatur tentang anak serta dapat menjamin pelaksanaanya dengan berasaskan keadilan, salah satunya adalah perangkat Undang-undang tentang tata cara pemeriksaan anak. Ada beberapa peraturan yang mendasarinya antara lain:
1. KUHP Pasal 45, 46, dan 47 yang mengatur sebatas pada bentuk pemidanaan terhadap anak yang melakukan tindak pidana
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun 1959 tanggal 15 Februari 1959 tentang saran untuk memeriksa perkara pidana dengan pintu tertutup terhadap anak-anak yang menjadi terdakwa
3. Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M. 06-UM 01 tahun 1983 tanggal 16 september 1983 tentang Tata Tertib Persidangan Anak.
4. Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Dengan diberlakukanya Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang di dalamnya diatur mengenai tata cara pemeriksaan anak di pengadilan, diharapkan mampu menjamin perlindungan hak-hak anak dalam keseluruhan proses pemeriksaan di persidangan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Penulis tertarik untuk mengkaji proses peradilan yang dilakukan oleh Hakim dengan tersangka kasus perkosaan di wilayah hukum Pengadilan Negeri X yang diwujudkan dalam bentuk penelitian dengan judul "PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PERRKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DENGAN KORBAN DI BAWAH UMUR MENURUT UU. No. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI X)"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penyelesaian kasus tindak pidana perkosaan dengan pelaku anak di Pengadilan Negeri X ?
2. Hambatan-Hambatan apa sajakah yang timbul dalam penanganan kasus tindak pidana perkosaan dengan pelaku anak di Pengadilan Negeri X
3. Bagaimana pemecahan terhadap hambatan-hambatan tersebut ?

C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Tujuan diadakanya penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mendapatkan keterangan yang jelas mengenai bagaimana penanganan kasus tindak pidana perkosaan yang di lakukan oleh anak di Pengadilan Negeri X.
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana perkosaan dengan pelaku anak di Pengadilan Negeri X
c. Untuk memperoleh keterangan yang jelas mengenai upaya-upaya dalam mengatasi hambatan tersebut.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan jelas sebagai bahan untuk menyusun skripsi, sebagai persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dalam penelitian hukum dan pengembangan kerangka berfikir ilmiah.
c. Untuk menerapkan teori yang telah penulis dapatkan di bangku kuliah, khususnya dalam bidang Hukum Pidana.
d. Untuk memberikan informasi kepada pembaca, khususnya pada pihak yang berhubungan dengan Pengadilan Anak.

D. Manfaat Penelitian
Dapat kita ketahui bahwa bobot dari suatu penelitian juga di tentukan dari manfaatnya.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan manfaat dan kegunaan yang akan di peroleh sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah pengetahuan tentang pelaksanaan penyelesaian tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anak dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri X.
b. Dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan khususnya dalam bidang hukum pidana anak di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak terkait dalam menangani masalah perlindungan anak.
b. Dapat memberikan informasi dan mengetahui penanganan kasus tindak pidana perkosaan dengan pelaku anak.

E. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisn hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang batasan mangenai pengertian tindak pidana, tinjauan umum mengenai tindak pidana pemerkosaan, tinjauan umum mengenai anak, tinjauan tantang prosedur pemeriksaan sidang anak menurut Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tantang Pengadilan Anak.
BAB III : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang talah ditentukan sebelumnya : Pertama, proses penyelesaian tidak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak dengan korban dibawah umur di Pengadilan Negeri X ditinjau dari Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kedua, kendala yang dihadapi dalam menyelesaikan tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh anak.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:48:00

PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PELAKU ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK

SKRIPSI PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PELAKU ANAK DI PENGADILAN NEGERI X DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 03 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perilaku manusia di dalam masyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma yang berlaku dan tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku dengan norma yang sesuai dengan norma (hukum) yang berlaku tidak menjadi masalah, tetapi terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat.
 
Sisi lain dari kemajuan IPTEK, adanya perilaku yang menyimpang dari anggota masyarakat yang berupa berbagai macam tindak pidana. Ditinjau dari tingkat usia, tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat tidak hanya dilakukan oleh kelompok usia dewasa, tetapi mereka yang berusia anak-anak sering melakukan tindak pidana. Dalam era sekarang ini banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan mengurus keperluan duniawi (materiil) sebagai upaya mengejar kekayaan, jabatan ataupun gengsi, disisi lain orang tua keluarga miskin sering larut dalam pekerjaannya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari juga sering menelantarkan anak. Dalam kondisi yang demikian anak sebagai buah hati sering terlupakan kasih sayang, bimbingan, pengembangan sikap dan perilaku serta pangawasan orang tua.
 
Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan antisosial yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat. Pertimbangan (consideran) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyatakan : “Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang”.
 
Perilaku anak yang menyimpang atau bahkan melanggar hukum cukup kompleks dan beragam, dimana perilaku yang menunjukkan kemerosotan moral manusia telah mereka lakukan. Menurut laporan BPS tahun 1997 menyatakan bahwa Pengadilan Negeri seluruh propinsi mencatat sebanyak 4.000 tersangka berusia dibawah 16 tahun yang diajukan ke pengadilan (Lembaga Advokasi, 2000 : 1). Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak di tengah ramai-ramainya adalah penggunaan narkoba dan penggunaan obat-obatan lainnya. Disamping itu jenis perbuatan melanggar hukum yang paling sering dilakukan oleh anak adalah tindak pidana pencurian, dimana dellik pencurian tersebut telah diatur dalam pasal 362-367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
 
Permasalahan yang semakin berkembang ini perlu segera diatasi dan diselesaikan. Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran baik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran ketentuan undang-undang oleh pelaku-pelaku usia muda atau dengan kata lain meningkatnya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak sudah mengarah kepada tindakan kriminal, mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan penanggulangan serta penangganannya.
 
Usaha pencarian solusi terhadap permasalahan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab negara saja, tetapi juga membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Dimana penyelesaian masalah tersebut harus selalu mengacu pada pemenuhan hak dan pemberian perlindungan bagi anak. Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya (Shanty Dellyana, 1998 : 6).
 
Beberapa hak anak dalam proses peradilan pidana perlu diberi perhatian khusus, demi peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu maka ada beberapa hak-hak anak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan pelaksanaannya. Hak-hak yang dimiliki anak sebagai pelaku tindak pidana tersebut diberikan pada waktu sebelum, selama, dan setelah masa persidangan.
 
Anak nakal yang diajukan ke sidang anak, ditangani oleh hakim khusus yaitu hakim yang menanggani perkara anak, penuntut umum anak, penyidik anak, dan petugas pemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan. Tapi dalam pelaksanaannya harus pula diperhatikan hak-hak anak dan seyogyanya kita lebih membicarakan tentang hak anak daripada kewajibannya.
 
Oleh karena itu timbul suatu pertanyaan bagi penulis mengenai proses peradilan yang dilakukan oleh hakim, dimana seorang anak menjadi tersangka dalam suatu kasus pencurian di wilayah hukum Pengadilan Negeri X. Oleh penulis hal tersebut diwujudkan dalam bentuk penelitian mengenai penanganan kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Penulis juga menyadari bahwa dalam melaksanakan tugasnya pihak pengadilan tidak dapat terlepas dari permasalahan yang timbul dalam penanganan terhadap kasus pencurian yang dilakukan anak dibawah umur, maka atas dasar itulah penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul :
 
“PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PELAKU ANAK DI PENGADILAN NEGERI X DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 03 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka perumusan pokok permasalahannya adalah :
1. Bagaimana penanganan kasus tindak pidana pencurian dengan pelaku anak di Pengadilan Negeri X ?
2. Apakah hambatan yang ditemui dalam penanganan kasus tindak pidana pencurian dengan pelaku anak di Pengadilan Negeri X ?
3. Bagaimana pemecahan terhadap hambatan-hambatan tersebut ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana penanganan kasus tindak pidana pencurian dengan pelaku anak di Pengadilan Negeri X.
b. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang ditemui dalam penanganan kasus tindak pidana pencurian dengan pelaku anak di Pengadilan Negeri X.
c. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dalam penelitian hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana yang berhubungan dengan sistem peradilan anak.
b. Untuk memberikan informasi kepada pembaca, khususnya pada pihak-pihak yang berhubungan dengan peradilan anak.
c. Untuk sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Dapat kita ketahui bahwa nilai suatu penelitian suatu penelitian tergantung pada metodologinya, juga tentunya dalam hal ini ditentukan pula besarnya manfaat penelitian tersebut. Untuk itu dalam penulisan Skripsi ini penulis mengharapkan adanya manfaat atau kegunaan yang bisa diperoleh, antara lain :
1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah penelaahan ilmiah yang dapat dipergunakan dan dimanfaatkan di dalam bidang hukum terutama hukum pidana anak dan juga diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan hukum pidana anak.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan informasi dan mengetahui penanganan kasus tindak pidana dengan pelaku anak.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak yang terkait dalam menangani masalah perlindungan anak.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:46:00

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

SKRIPSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (ANALISIS PASAL 83 UU RI NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradaban manusia yang terus berkembang, selalu diikuti pula oleh pergeseran tata nilai yang ada. Kehidupan manusia yang semula penuh dengan mitos kesakralan dalam segala aspek, lama kelamaan semakin memudar seiring bangkitnya modernitas. Maka tak heran bila kemudian timbul dampak yang luar biasa dahsyat dari perubahan tersebut, baik itu yang positif maupun negatif. Salah satunya adalah fenomena kejahatan termasuk dari sekian ekses yang semakin hari jenis dan modus operandinya semakin berkembang. Selain itu, kejahatan bukan semakin jauh dari kehidupan kita, namun justru semakin dekat bahkan bisa muncul di tengah-tengah kita kapan pun dan di mana pun.
Target atau korban kejahatan pun tampaknya tidak pandang bulu, siapa saja mempunyai peluang yang sama untuk bisa menjadi korban kejahatan, termasuk anak-anak yang belum mengenal dosa sekalipun. Bahkan kejahatan terhadap anak tersebut bermacam-macam bisa berupa, penculikan, penyiksaan, penganiayaan, mempekerjakan anak di luar batas kemampuan, pelecehan seksual bahkan bisa berupa perdagangan terhadap anak.
Salah satu aspek perbudakan moderen yang memprihatinkan adalah dijadikannya kehidupan manusia sebagai komoditi perdagangan. Yakni dengan menjadikan manusia sebagai obyek perdagangan. Dan termasuk anak-anak pun tak luput menjadi korbannya. Perdagangan anak merupakan kejahatan yang dapat merugikan masa depan anak. Dalam kasus perdagangan anak, anak secara paksa direnggut dari orang tua ataupun keluarga mereka. Perdagangan anak menyebabkan terganggunya jalan pengetahuan dan nilai-nilai budaya dari orang tua kepada anaknya dan dari generasi ke generasi yang membangun pilar utama masyarakat. Di samping itu perdagangan anak dapat merusak kebutuhan dasar seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan merusak hak anak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual.
Perdagangan anak juga merupakan kejahatan berskala internasional dalam bentuk perbudakan dengan berkedok buruh migran/TKW, eksploitasi seksual, pornografi, dan pelanggaran berat hak-hak anak lainnya. Perdagangan anak yang terjadi di Indonesia selalu menempatkan posisi korban pada penderitaan ganda. Selain jadi korban, mereka dihukum secara sosial melalui stigma, pengucilan atau kriminalisasi oleh masyarakat maupun Negara.
Di Indonesia persoalan penegakan hukum mengenai kasus perdagangan anak memang terus menerus dituding. Persoalan perdagangan anak memang menjadi kasus besar di negeri ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan para korban tersebut tidak menyadari bahwa dirinya dibujuk untuk dijual karena pelakunya adalah orang-orang yang mereka percayai seperti paman, tetangga, pacar, suami, bahkan orang tua.
Perdagangan anak dan perempuan di Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terjadi peningkatan sindikat perdagangan bayi yang angkanya lebih dari 400 bayi. Mereka diperdagangkan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Selanjutnya khusus wilayah Jawa Timur, jumlah anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial diperkirakan 14 ribu orang. Diketahui pula sedikitnya 100 ribu anak dan perempuan setiap tahun menjadi korban perdagangan manusia. Tujuan perdagangan anak selain untuk prostitusi, juga perbudakan, adopsi illegal, narkoba, dan penjualan organ tubuh. Mereka bukan hanya dijual di dalam negeri tapi juga keluar negeri seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, HongKong, Inggris, Brunei Darussalam, Jerman, dan Kanada.
Masalah perdagangan perempuan dan anak-anak merupakan masalah serius yang harus ditangani secara sungguh-sungguh. Pasalnya, persoalan perdagangan anak dan perempuan di Indonesia sedang mendapat banyak sorotan. Bahkan Indonesia dinyatakan menempati urutan terburuk di dunia bersama dengan beberapa negara lain di Asia dalam hal perdagangan anak dan perempuan. Bahkan beberapa lembaga donor telah memberi warning dengan menyatakan akan menghentikan bantuannya ke Indonesia jika tidak dapat segera memperbaiki keadaan tersebut, hal tersebut kemudian direspon oleh pemerintah dengan merumuskan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak.
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebuah undang-undang yang dirumuskan oleh pemerintah untuk menjamin hak anak yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak. Undang-undang ini mengartikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun dan melarang eksploitasi ekonomi atau seksual serta kekerasan dan pelecehan terhadap anak. Anak mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bagi bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga. Oleh karena itu kondisi anak perlu diperlakukan secara khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya Karenanya, dibutuhkan perlindungan khusus untuk menyelamatkan mereka.
Perlindungan anak sebenarnya bagian yang terintegral dengan penegakan hak asasi manusia. Namun di Indonesia penegakan HAM nampaknya tidak begitu memperhatikan aspek perlindungan anak. Tingginya angka kejahatan perdagangan anak menunjukkan belum seriusnya upaya pemerintah terhadap pelaksanaan perlindungan anak. Hal tersebut sama artinya negara juga belum serius dalam menegakkan hak asasi manusia.
Deskripsi di atas tidak dapat dibayangkan begitu besar kerugian mental maupun moral yang ditimbulkan oleh kejahatan perdagangan anak tersebut. Bagaimana tidak, anak adalah aset penting dari generasi sebuah bangsa, artinya masa depan sebuah bangsa di masa mendatang sangat ditentukan oleh keberadaan mereka yang sekarang masih menjadi anak-anak. Maka aset ini perlu untuk mendapat perlindungan yang sepantasnya. Lalu bagaimana fenomena kejahatan perdagangan anak ini dalam kacamata hukum pidana Islam ?
Prinsip anak dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT kepada manusia. Artinya kehidupan anak harus senantiasa diperhatikan, dididik, dijaga, serta dilindungi keberadaannya dari kesengsaraan (baik dimensi dunia maupun akhirat). 
Jenis kejahatan perdagangan anak memang tidak dikenal sebelumnya dalam literatur pidana Islam, baik itu jenis pidana maupun sanksi hukumnya. Namun pada prinsipnya Islam melarang semua bentuk kejahatan apapun, artinya semua perbuatan yang menimbulkan mudharat terhadap orang lain, dalam hal ini adalah anak. Kejahatan perdagangan anak adalah kejahatan yang betul-betul mengancam eksistensi keturunan/generasi dimana dalam Islam sangat dijunjung tinggi sebagai salah satu maqasyidu al-tasyri' (tujuan ditetapkannya syari'at) yaitu menjaga dan memelihara keturunan.
Para pelaku perdagangan anak ini harus mendapat hukuman berat sesuai dengan asas keadilan yang berlaku. Hukuman dalam Islam mempunyai tujuan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat baik yang berkenaan dengan jiwa harta dan kehormatan seseorang. Selain itu hukuman ditetapkan untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib sosial. Di sisi lain pemberian suatu hukuman adalah sesuai dengan konsep tujuan syari'at hukum, yaitu merealisasikan kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.
Kejahatan perdagangan anak ini adalah masalah serius, yang bila terlambat dalam menanganinya, maka akan semakin banyak korban berjatuhan dan akibatnya akan mengancam sebagian potensi generasi bangsa. Maka dalam hal ini upaya memberikan dukungan kepada semua pihak termasuk pemerintah terhadap penanggulangan kejahatan perdagangan anak. Bagaimana hukuman pelaku kejahatan perdagangan anak ini menurut hukum pidana Islam secara tepat dan adil. Maka secara lebih mendalam penulis akan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan berjudul : TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (ANALISIS PASAL 83 UU RI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK). Masalah pelindungan anak adalah masalah yang sangat kompleks dan tidak dapat diselesaikan secara perseorangan, tetapi harus secara bersama-sama, dan penyelesaiannya menjadi tanggung jawab kita semua.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah : 
1. Bagaimana tindak pidana perdagangan anak dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Hukum Pidana Islam ?
2. Bagaimanakah Sanksi hukum bagi Pelaku tindak pidana Perdagangan anak dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Hukum Pidana Islam ?

C. Tujuan Penulisan Skripsi
1. Untuk mengetahui tindak pidana perdagangan anak dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Hukum Pidana Islam ?
2. Untuk mengetahui sanksi hukum bagi Pelaku tindak pidana Perdagangan anak dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Hukum Pidana Islam ?

D. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan skripsi menjadi beberapa bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub bab dengan maksud untuk mempermudah dalam mengetahui hal-hal yang dibahas dalam skripsi : 
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini meliputi : Latar belakang masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Dari bab ini dapat diketahui apa yang sebenarnya melatarbelakangi perlunya pembahasan penelitian ini. Selanjutnya dapat diketahui batasan dan rumusan masalah yang relevan untuk dikaji serta tujuan dan kegunaan yang hendak dicapai. Di samping itu dapat pula dicermati metode dan pendekatan apa yang digunakan dalam penelitian ini serta sistematik penulisan.
BAB II SYARI'AT ISLAM TENTANG JARIMAH DAN HADHONAH
Dalam menjelaskan landasan teori yang akan dibahas yaitu Pengertian jarimah unsur Jarimah dan pembagiannya, Pengertian Jarimah ta'zir, macam jarimah ta'zir dan hukuman jarimah ta'zir. Serta dibahas tentang ketentuan Hadhonah dalam Islam.
BAB III KETENTUAN SANKSI HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PASAL 83 UU RI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
Meliputi : Latar Belakang lahirnya UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sistematika UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Serta menerangkan unsur-unsur dan sanksi hukum pasal 83 UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
BAB IV TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. Dimulai dengan menganalisis bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam tentang Tindak Pidana perdagangan Anak dalam Pasal 83 UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya menganalisis bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap penggolongan perdagangan anak ke dalam jarimah ta'zir dan sanksi hukum dalam ketentuan pidana Pasal 83 UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang Kesimpulan Saran-saran dan Penutup yang merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:47:00

TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG

TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG

Keberadaan sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia kini telah mendapatkan payung hukum tertinggi yang akan melindungi kiprah dan sepak terjang industri perbankan syariah di tanah air. Hal ini dengan diloloskannya Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi undang-undang yakni Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008.

Sebelumnya pengaturan mengenai perbankan syariah dituangkan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998. Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional perbankan syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha bank syariah berkembang cukup pesat.

Pengawasan terhadap kegiatan usaha bank baik bank konvensional maupun bank syariah dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang berbunyi : "Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia". Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan itu Bank Indonesia mempunyai tugas yang didasarkan pada pasal 8 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi : "Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut : a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, c) mengatur dan mengawasi bank". Dalam pasal 50 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah disebutkan bahwa "Pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia".

Pada prinsipnya, pengaturan penyatuan sistem tata perbankan bagi sebuah negara dilakukan oleh bank sentral, di Indonesia dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan aman. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision) terhadap bank-bank syariah di Indonesia, baik bank umum syariah maupun bank konvensional yang buka cabang khusus syariah atau dikenal dengan Unit Usaha Syariah.

Secara umum, peranan bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efisien. Perlu diwujudkannya sistem perbankan yang sehat itu, karena dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Sedangkan secara khusus, bank sentral mempunyai peranan yang penting dalam mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian yang diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan serta membahayakan kehidupan perekonomian. Bank Indonesia yang memegang otoritas pembinaan dan pengawasan bank dibekali dengan kewenangan yang berkaitan dengan perizinan, mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang memberi landasan kerja yang sehat bagi bank serta mengawasi dan memberikan pembinaan kepada bank dalam menjalankan segala usaha bank tersebut dengan tujuan mendorong terwujudnya sistem perbankan yang sehat.

Kegiatan pengawasan bank tersebut sebagai pelaksanaan monetary supervision dimaksudkan untuk memonitor dan mengetahui lembaga keuangan bank dalam hal ini mematuhi ketentuan aturan yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan menjalankan usaha perbankannya.

Bank sentral sebagai pembinaan dan pengawasan bank mengarahkan lembaga keuangan bank yang ada agar dalam kegiatan usahanya selalu berhati-hati sehingga bank tersebut terhindar dari praktek perbankan yang tidak sehat.

Pada hakikatnya pengaturan dan pengawasan bank dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank, bahwa bank-bank dari finansial tergolong sehat, bahwa bank dikelola dengan baik dan profesional, serta di dalam bank tidak terkandung segi-segi yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank.

Dengan perkataan lain, tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dalam arti di satu pihak memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia.

Bank perlu dibina dan diawasi mengingat fungsi bank adalah mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat di samping penyediaan pemberian jasa-jasa keuangan lainnya. Bank syariah dalam melaksanakan tugas dan kegiatannya wajib berpedoman pada prinsip-prinsip perbankan syariah yang sehat dan mematuhi ketentuan yang berlaku. Dalam hubungannya dengan prinsip tersebut, bank perlu memahami fungsinya sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan karenanya bank harus menghindari praktek-praktek dan kegiatan yang diperkirakan akan atau dapat membahayakan kelangsungan hidup bank atau kepentingan masyarakat.

Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana publik harus memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi di mata masyarakat dan dunia usaha. Reputasi ini merupakan keniscayaan, dan untuk mendapatkannya bukanlah perkara yang mudah. la harus diusahakan dengan kerja keras dan dengan disiplin yang tidak mengenal lelah. Namun, ketika kepercayaan telah diraih, maka usaha untuk mempertahankannya juga bukan pekerjaan mudah. Bisa saja suatu kasus kecil dapat menciderai tingkat kepercayaan itu dan pada gilirannya akan berubah menjadi malapetaka.

Oleh karena itu, setiap pelaku perbankan diharapkan tetap menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan akan terjaga apabila sektor perbankan itu sendiri diselenggarakan dan dikelola dengan prinsip kehati-hatian sehingga selalu terpelihara kondisi kesehatannya.

Karena itu, industri perbankan pada hakikatnya adalah industri yang paling banyak diatur dan diawasi (highly regulated and supervised industry). Hal ini tentu saja dapat diterima karena dana yang dihimpun dari masyarakat dan dikembangkan lewat berbagai bentuk pembiayaan dan investasi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada si empunya dalam bentuk return yang positif. Jika hal itu tidak dilakukan maka korbannya bukan hanya mereka yang dananya akan menjadi hilang, melainkan juga bencana ekonomi akan menimpa dan menghancurkan negara yang mengalami krisis perbankan ini. Malapetaka inilah yang sesungguhnya terjadi di negara kita. Pada awalnya, krisis itu berasal dari sektor perbankan dan belasan bank yang akhirnya dilikuidasi sebagai korbannya. Lama-kelamaan krisis itu membesar dan meluas ke berbagai sektor dan berubah menjadi krisis ekonomi yang bersifat multidimensional dengan skala yang jauh lebih masif. Krisis itu nyaris meluluhlantakkan negeri Indonesia bahkan mengubah petanya sekaligus.

Di samping pentingnya menjaga tingkat kepercayaan yang tinggi di mata masyarakat, perlu adanya transparansi akan produk-produk syariah agar bank syariah tidak mendapat predikat bank syariah yang tidak benar-benar syariah. Bank syariah harus bisa menjelaskan secara rinci produk-produk yang ditawarkannya dengan menjelaskan dasar kehalalannya dan bagaimana bank mengelola produk-produk syariahnya.

Hal ini membawa kita pada satu kenyataan akan pentingnya pengaturan (regulation) dan pengawasan (supervision) bagi lembaga keuangan syariah. Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai peran dalam menentukan dan memberikan arah perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat, maka Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.

Sebagai pengawas dan pembina bank, Bank Indonesia bertindak sebagai seorang bapak kepada anaknya. Bila seorang anak keliru dalam melakukan suatu tindakan maka seorang bapak yang baik akan berusaha memberitahukan kepada anaknya perihal kekeliruannya itu bahkan lebih dari itu bapak tersebut akan mengusahakan supaya anaknya tidak keliru dalam mengambil suatu tindakan. Demikian juga halnya Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pengawasan perbankan syariah di Indonesia.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:55:00

PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sedang berkembang, sedang giat melaksanakan pembangunan, bangkit dari keterpurukannya akibat krisis multi dimensi yang menghantam bangsa Indonesia. Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk melakukan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Tujuan pembangunan nasional tersebut dalam GBHN telah digariskan adalah sebagai berikut : Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila didalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Pembangunan di sektor perekonomian dilaksanakan berdasarkan jiwa dari pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Berdasarkan pasal 33 UUD 1945 tersebut dikembangkan suatu sistem perekonomian yang kemudian dikenal dengan istilah demokrasi ekonomi, dimana dalam demokrasi ekonomi ini tidak dikenal adanya penguasaan perekonomian oleh negara sepenuhnya ataupun sebaliknya rakyat mempunyai kebebasan untuk mengusahakan seluruh cabang-cabang produksi yang ada di Indonesia.

Disini pelaku ekonomi berdasarkan demokrasi ekonomi terdiri dari tiga unsur yaitu negara, koperasi dan swsata. Negara menjalankan fungsi perekonomian melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan bentuk usaha yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak dapat diusahakan serta dikelola oleh orang perorangan atau badan swasta. Masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan pembangunan. Sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha. Sebaliknya dunia usaha perlu memberikan tangapan terhadap pengarahan dan bimbingan serta penciptaan iklim tersebut dengan kegiatan yang nyata.

Peran serta masyarakat dalam pembangunan perekonomian berbentuk koperasi dan usaha-usaha swasta. Jika kita perhatikan, usaha-usaha yang dilakukan swasta lebih berkembang dan memberikan konstribusi yang besar bagi pembangunan perekonomian. Usaha swasta berkembang sejalan dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat yang semakin banyak jenis dan ragamnya. Perusahaan swasta lebih mudah berkembang dari pada perusahaan negara dan koperasi, karena dapat dikelola dan dimiliki perorangan. Suatu perusahaan swasta pada dasarnya terdapat dua unsur di dalamnya yaitu pengusaha sebagai pemilik usaha dan pekerja yang melakukan pekerjaan atas perintah pengusaha. Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja terjalin setelah diadakan perjanjian kerja yaitu : "Suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah" (Imam Soepomo, 1994 : 1).

Dalam usaha memberikan pengarahan, bimbingan terhadap dunia usaha serta penciptaan iklim yang sehat bagi perkembangan usaha, maka peran aktif pemerintah tercermin dari usaha-usaha pemerintah mengarahkan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha sehingga terjalin Hubungan Industrial yang menempatkan pekerja sebagai partner kerja dan duduk sejajar dengan pengusaha di dalam proses barang dan jasa. Seperti dikemukakan Sendjun H. Manulang (1995 : 147) : "Bahwa antara pekerja dan pengusaha/pimpinan perusahaan wajib bekerja sama serta membantu dalam kelancaran usaha dalam meningkatkan dan menaikkan produksi".

Untuk mewujudkan Hubungan Industrial secara riil diperlukan suatu sikap sosial yang mencerminkan persatuan dan kesatuan, sikap kegotongroyongan, harga menghargai, tenggang rasa, keterbukaan, bantu membantu serta mampu mengendalikan diri.

Selain daripada sikap sosial diperlukan sikap mental di mana pelaku Hubungan Indusrial dituntut untuk saling menghormati dan saling mengerti kedudukannya serta peranannya dan memahami hak dan kewajiban di dalam keseluruhan proses produksi. Sikap sosial serta sikap mental tersebut diharapkan akan menciptakan suasana dan lingkungan kerja yang menggairahkan yang mampu menstabilkan jalannya roda perusahaan sehingga pada akhirnya akan memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan nasional.

Dalam Hubungan Industrial tidak ada tempat bagi tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan dalam konteks hubungan kerja dan selalu dengan adanya pemerasan atau yang kuat akan memakan yang lemah. Akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya, ternyata masih sering terjadi pergesekan nilai-nilai Hubungan Industrial yang memungkinkan menjadi sebab timbulnya pertentangan di dalam pelaksanaan hubungan kerja. Suatu pertentangan antara pengusaha dan pekerja adalah sesuatu yang wajar mengingat latar belakang kepentingan yang berbeda-beda. Di satu pihak pengusaha akan selalu membuat pertimbangan-pertimbangan rasional demi efisiensi produksi. Sedangkan di pihak pekerja mempunyai kepentingan mensejahterakan kehidupan diri dan keluarga. Pertentangan tersebut secara alamiah dapat muncul suatu ketika. Pertentangan antara pengusaha dan pekerja dapat dikatakan wajar apabila pertentangan tersebut masih berada dalam batas toleransi kedua belah pihak yang berselisih. Lain halnya apabila tejadi kemacetan komunikasi dalam penyelesaian pertentangan. Dampak yang akan timbul akibat tidak lancarnya komunikasi tersebut adalah meruncingnya pertentangan antara pihak pengusaha dan pihak pekerja.

Pertentangan antara pengusaha dan pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Perselisihan yang terjadi dapat bersifat perorangan serta dapat pula bersifat kolektif yang melibatkan banyak pekerja. Perselisihan dapat dibedakan menjadi perselisihan mengenai hak (recht geschilin) dan perselisihan mengenai kepentingan (belangen geschilen). (Zainal Asikin, 1994 : 166).

Menurut Undang-Undang No 2 tahun 2004, pengertian perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.

Akibat perselisihan hubungan industrial akan menimbulkan banyak kerugian. Pihak perusahaan akan mengalami kerugian, karena dampak perselisihan hubungan industrial akan menyebabkan produksi tidak stabil sebagai akibat hilangnya jam kerja serta suasana kerja yang tidak menguntungkan. Pihak pekerja juga akan mengalami kerugian karena hilangnya jam kerja berkaitan dengan penurunan upah yang seharusnya mereka terima, bahkan jika pada akhirnya perselisihan semakin memuncak dan tidak terselesaikan, tidak tertutup kemungkinan perusahaan tersebut kemudian gulung tikar dan terpaksa menjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap seluruh buruh.

Pemutusan hubungan kerja menurut Pasal 1 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa : "Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam proses pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik swasta maupun pemerintah maupun badan usaha lain yang mempekerjakan orang dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Kondisi keuangan perusahaan yang kurang baik, pekerja yang sering tidak masuk, tidak mentaati peraturan perusahaan, melakukan tindakan kriminal, menciptakan suasna yang tidak harmonis dalam perusahaan serta hubungan yang tidak harmonis antara pekerja dengan pengusaha dapat mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Proses pemutusan hubungan kerja dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengankewajiban pengusaha untuk memberikan hak-hak pegawai berupa membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima

Berdasarkan kenyataan tersebut maka pemutusan hubungan kerja perlu diupayakan penyelesaiannya secara baik dan memenuhi rasa keadilan pihak-pihak yang bersengketa. Perlu dihindari dan dicegah terjadinya pertarungan bebas (free fight liberalism) yang biasanya dilakukan dengan mogok (strike), memperlambat pekerjaan (slow down) dan usaha penutupan perusahaan untuk menekan pihak pekerja (lock out). Karena bentuk pertarungan bebas bukan pemecahan yang baik, bahkan cenderung mengarah pada tindakan yang akan memperkeruh suasana sehinggga dapat merugikan banyak pihak.
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Pasal 8 Undang-undang No 2 tahun 2004 menyebutkan : "penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota".

Menurut Undang-undang Pasal 1 No 2 tahun 2004 menyebutkan : "Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator merupakan pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan".

Pemilihan lokasi di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Kabupaten X dipilih dengan pertimbangan :
1. Belum pernah dilakukan penelitian tentang topik ini
2. Di X banyak terdapat industri besar dan menengah yang sangat potensial terjadi perselisihan hubungan industrial, khususnya perselisihan pemutusan hubungan kerja dan pernah dilakukan penyelesaian ini melalui mediasi dengan melibatkan mediator
Berdasarkan pertimbangan diatas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian mengenai : Peran Mediator Dalam Menyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Di Kabupaten X.

B. Pembatasan Masalah
Mengingat kemampuan penyusun dan agar terhindar dari kesimpangsiuran dan supaya skripsi lebih terarah serta sekaligus untuk menghindari kemungkinan pembahasan yang menyimpang dari pokok permasalahan yang hendak diteliti, maka perlu adanya suatu pembatasan masalah.
Adapun permasalahan yang hendak diteliti dalam skripsi ini terbatas pada peran mediator yang telah mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial untuk periode setelah berlakunya Undang -undang No 2 Tahun 2004 Di Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Kabupaten X.

C. Perumusan Masalah
Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peran mediator dalam memfasilitasi perselisihan tentang pemutusan hubungan kerja di Kabupaten X ?
2. Bagaimana tugas dan fungsi mediator dalam memfasilitasi perselisihan hubungan industrial di Kabupaten X?

D. Tujuan Penelitian
Adanya penelitian tentunya mempunyai maksud dan tujuan berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka peneliti mempunyai tujuan :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui peran mediator dalam memfasilitasi perselisihan tentang pemutusan hubungan kerja di Kabupaten X
b. Untuk mengetahui tugas dan fungsi mediator dalam memfasilitasi perselisihan hubungan industrial di Kabupaten X.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan penulis mengenai cara-cara penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan teori-teori hukum lain yang didapat selama kuliah
b. Sebagai sarana menambah pengetahuan di bidang pengembangan kemampuan penelitian bagi penulis dan dapatlah memberikan sumbangan pengetahuan dan khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Diharapkan dalam penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam dunia ilmu hukum pada umumnya dan khususnya Hukum Ketenagakerjaan.
b. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum Administrasi Negara khususnya yang menyangkut hukum ketenagakerjaan dan hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan kita.
2. Manfaat Praktis
a. Dalam penelitian ini diharapkan bermanfaat sekaligus sebagai referensi pada pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan penyelesaian pemutusan hubungan kerja.
b. Dalam penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyelesaian pemutusan hubungan kerja.

F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini akan diuraikan tentang sistematika penulisan sebagai gambaran tentang penulisan ilmiah ini secara keseluruhan, artinya pada sub bab ini akan diuraikan secara sistematis keseluruhan isi yang terkandung dalam skripsi ini.
Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan titik tolak dari penulisan skripsi dimana dipaparkan tema dan permasalahan, pada bab ini terdiri dari sub pokok yaitu latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dikemukakan teori-teori yang mendasari masalah yang akan dibahas.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang analisis data yang terdiri dari jawaban dari permasalahan yang diungkapkan pada bab-bab sebelumnya, serta pembahasan sesuai dengan kajian teori maupun dalam praktek pelaksanaan.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:18:00