Cari Kategori

Showing posts with label metode bermain peran. Show all posts
Showing posts with label metode bermain peran. Show all posts

MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN (PGTK)

MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT, dimana anak dibekali dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan anak usia dini adalah suatu pendidikan yang ditujukan kepada anak usia dini yang ditujukan untuk merangsang setiap perkembangan dan pertumbuhan anak untuk persiapan memasuki pendidikan lebih lanjut. Seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa : 
"Pendidikan anak usia dini yang selanjutnya disebut PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut".
Adapun tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah untuk membantu dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak. Dalam pendidikan anak usia dini terdapat aspek-aspek yang harus dikembangkan dan ditanamkan dalam diri anak, diantaranya aspek kognitif, bahasa, nilai agama dan moral serta sosial. Sosial mencakup sikap tenggang rasa, peduli, saling menghargai, saling menghormati, bekerjasama, empati dan lain sebagainya.
Mengapa keterampilan sosial anak perlu dikembangkan adalah pada dasarnya setiap anak akan memerlukan bantuan orang lain dan akan hidup menjadi manusia sosial, namun dalam kenyataannya masih banyak anak yang tidak dapat bersosialisasi dengan orang lain. Oleh karena itu anak harus memiliki keterampilan sosial pada dirinya.
Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang yang berada di sekitarnya (Chaplin dalam Suhartini, 2004 : 18).
Menurut Septiana (2009) kurangnya seseorang memiliki keterampilan sosial menyebabkan kesulitan perilaku di sekolah, kenakalan, tidak perhatian, penolakan rekan, kesulitan emosional, bullying, kesulitan dalam berteman, agresivitas, masalah dalam hubungan interpersonal, miskin konsep diri, kegagalan akademik, kesulitan konsentrasi, isolasi dari teman sebaya dan depresi.
Kurniati (2005 : 35) bahwa keterampilan sosial adalah kebutuhan primer yang perlu dimiliki anak-anak bagi kemandirian pada jenjang kehidupan selanjutnya, hal ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan.
Mengingat keterampilan sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya keterampilan sosial ditanamkan pada anak sedini mungkin.
Keterampilan sosial pada anak dapat dikembangkan melalui berbagai metode di antaranya, metode bercerita, metode tanya jawab, metode karyawisata, dan metode bermain peran. Salah satu metode yang lebih efektif untuk mengembangkan empati anak yaitu metode bermain peran.
Metode bermain peran adalah suatu proses pembelajaran artinya anak dapat berperan langsung dengan apa yang telah dilihatnya serta dengan melaksanakan metode bermain peran anak dapat menyelami perasaan orang lain tanpa anak ikut larut di dalamnya. Sebagaimana di kemukakan Rachmawati (2007 : 31), bermain peran yaitu permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda-benda sekitar anak yang akan mengembangkan imajinasi dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.
Menurut Moeslichatoen (2004 : 38) bermain pura-pura adalah bermain yang menggunakan daya khayal anak yaitu dengan memakai bahasa atau berpura-pura bertingkah laku seperti benda tertentu, situasi tertentu, atau orang tertentu dan binatang tertentu yang dalam dunia nyata tidak dilakukan.
Bentuk kegiatan bermain pura-pura merupakan cermin budaya masyarakat di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang dilihat dan didengar akan terulang dalam kegiatan bermain pura-pura tersebut. Dengan anak melakukan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode bermain peran atau bermain pura-pura, keterampilan sosial pada anak akan tumbuh dan masuk ke dalam diri anak dan melihat keadaan dari sisi orang lain, seolah-olah ia adalah orang itu.
Kondisi objektif yang ditemukan di TK X ini masih jarang lagi diterapkan metode bermain peran, khususnya untuk mengembangkan keterampilan sosial anak TK X. Aktivitas pembelajaran di TK ini masih monoton, seperti halnya mengisi majalah sekolah, menggambar dan mewarnai gambar. Selain itu, aktivitas pembelajarannya masih banyak ditekankan pada segi akademis dan sering kali menggunakan metode tanya jawab atau ceramah yang dimana guru yang lebih banyak berperan aktif. Sehingga metode bermain peran masih sangat jarang diterapkan pada anak di TK ini. Selain metode pembelajaran yang monoton pada anak pun keterampilan sosial tidak terlihat, seperti yang terlihat disini keterampilan sosial anak belum muncul, anak tidak mau membantu temannya dalam hal meminjamkan alat tulis, tidak mau berbagi pada teman yang tidak membawa makanan, anak yang suka mengejek temannya, anak tidak mau membantu temannya saat merapikan meja, dan saat ada anak yang terjatuh anak lain menertawakan bukan menolong. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian terkait dengan penerapan metode bermain peran untuk meningkatkan keterampilan sosial anak di TK tersebut.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penelitian ini memfokuskan kajian pada "MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN".

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini dituangkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif sekolah TK X ?
2. Bagaimana gambaran umum keterampilan sosial anak usia dini di kelompok B TK X ?
3. Bagaimana langkah-langkah metode bermain peran di kelompok B TK X untuk meningkatkan keterampilan sosial anak ?
4. Bagaimana peningkatan keterampilan sosial anak usia dini di kelompok B TK X setelah menggunakan metode bermain peran ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui kondisi objektif sekolah TK X.
2. Untuk mengetahui gambaran umum keterampilan sosial anak usia dini di kelompok B TK X.
3. Untuk mengetahui langkah-langkah metode bermain peran di kelompok B TK X, dalam rangka meningkatkan keterampilan sosial anak.
4. Untuk mengetahui peningkatan keterampilan sosial anak usia dini di kelompok B TK X setelah menggunakan metode bermain peran.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat pada penelitian ini sebagai berikut : 
1. Bagi anak
a. Membantu anak dalam mengembangkan keterampilan sosial di lingkungannya.
b. Di masa akan datang anak akan memiliki keterampilan sosial yang baik.
2. Bagi Guru
a. Memberikan masukan kepada guru dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat, yang dapat menjadi alternative lain dalam pembelajaran khususnya pada anak didik.
b. Dapat membantu guru dalam membangun keterampilan sosial anak agar di masa yang akan datang anak dapat diterima dengan baik di lingkungannya.
3. Bagi TK
a. Memberikan masukan kepada pihak sekolah untuk berusaha menciptakan interaksi yang baik dalam lingkungan sekolah antara guru dengan guru, guru dengan anak, maupun anak dengan anak yang meliputi perhatian, kasih sayang, keterbukaan, suasana harmonis sehingga nantinya dapat dijadikan bekal bagi anak dalam membentuk kepribadian dan perilaku sehingga mudah dan dapat diterima dalam pergaulan yang luas baik di sekolah maupun lingkungan sekitar anak.
b. Memberi sumbangan informasi untuk meningkatkan mutu pendidikan Taman Kanak-kanak.

E. Asumsi Penelitian
Asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Menurut Rachmawati (2007 : 31), bermain peran yaitu permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda-benda sekitar anak yang akan mengembangkan imajinasi dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.
2. Matson (Gimpel dan Merrel, 1998) mengatakan bahwa keterampilan sosial (Social Skill), baik secara langsung maupun tidak membantu seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya
3. Combs & Slaby (Gimpel dan Merrell, 1998) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill) adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara social maupun nilai-nilai dan di saat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain.

F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode PTK yaitu penelitian yang dilakukan oleh guru bersama dengan orang lain (kolaborasi) dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam upaya perbaikan terhadap kegiatan belajar mengajar di kelas berdasarkan permasalahan yang di temui di dalam kelas. Penelitian ini dilakukan sebanyak tiga siklus di Taman Kanak-kanak X. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh anak kelompok B yang berjumlah 12 orang terdiri dari laki-laki : 3 orang dan perempuan : 9 orang.

G. Sistematika Penulisan
Bab 1 pendahuluan yang memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, asumsi penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab 2 kajian teoritis yang pertama membahas konsep keterampilan sosial yang berupa definisi keterampilan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial, jenis keterampilan sosial dan karakteristik keterampilan sosial, dan yang kedua membahas konsep metode bermain peran berupa definisi bermain peran, langkah-langkah bermain peran, jenis bermain peran, macam-macam bermain peran.
Bab 3 metode penelitian yang memaparkan secara lebih rinci metode yang akan di gunakan dalam penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, prosedur penelitian, teknis pengumpulan data dan validasi data.
Bab 4 hasil penelitian dan pembahasan yang memaparkan hasil penelitian dimulai dari observasi awal, siklus 1, siklus 2, siklus 3 serta observasi akhir.
Pembahasan menganalisis data dari hasil penelitian, faktor kendala yang dialami saat penelitian, dan meningkatnya keterampilan sosial setelah dilakukan metode bermain peran.
Bab 5 kesimpulan dan rekomendasi, kesimpulan memaparkan hasil ringkasan dari bab 1 sampai bab 4, dan rekomendasi memberi masukan kepada guru, kepada sekolah dan kepada peneliti selanjutnya agar dapat menjadi lebih baik dalam melakukan penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:48:00

TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN

TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan merupakan proses perubahan yang terjadi pada anak secara fungsional. Perkembangan anak meliputi beberapa aspek perkembangan. Salah satu aspek yang penting dalam perkembangan anak adalah perkembangan bahasa dimana perkembangan bahasa ini berkaitan dengan perkembangan lainnya (Halida, 2011 : 27).
Perkembangan bahasa memerlukan beberapa kemampuan, yaitu berbicara, menyimak, membaca, menulis, dan menggunakan bahasa isyarat. Keterampilan berbicara merupakan hal yang paling kodrati dilakukan oleh semua orang, termasuk anak-anak. Keterampilan berbicara selalu dibutuhkan setiap hari mulai kita bangun tidur hingga akan tidur kembali sebagai sarana untuk berkomunikasi.
Bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Menurut Hurlock (1978 : 185) belajar berbicara mencakup tiga proses terpisah, tetapi saling berhubungan satu sama lain, yaitu mengucapkan kata, membangun kosakata, dan membentuk kalimat. Kegagalan menguasai salah satunya akan membahayakan keseluruhan pola bicara. Oleh karena itu, Peraturan Menteri No. 58 (2009 : 10) menyebutkan bahwa tingkat pencapaian perkembangan anak usia 5-<6 data-blogger-escaped-bahasa="" data-blogger-escaped-banyak="" data-blogger-escaped-berhitung="" data-blogger-escaped-berkomunikasi="" data-blogger-escaped-bunyi="" data-blogger-escaped-cerita="" data-blogger-escaped-dalam="" data-blogger-escaped-dan="" data-blogger-escaped-dengan="" data-blogger-escaped-diperdengarkan.="" data-blogger-escaped-dongeng="" data-blogger-escaped-gambar="" data-blogger-escaped-ide="" data-blogger-escaped-kalimat-predikat-keterangan="" data-blogger-escaped-kalimat="" data-blogger-escaped-kata-kata="" data-blogger-escaped-kata="" data-blogger-escaped-kelompok="" data-blogger-escaped-kompleks="" data-blogger-escaped-lain="" data-blogger-escaped-lebih="" data-blogger-escaped-lengkap="" data-blogger-escaped-lingkup="" data-blogger-escaped-lisan="" data-blogger-escaped-melanjutkan="" data-blogger-escaped-meliputi="" data-blogger-escaped-membaca="" data-blogger-escaped-memiliki="" data-blogger-escaped-mengekpresikan="" data-blogger-escaped-mengenal="" data-blogger-escaped-mengungkapkan="" data-blogger-escaped-menjawab="" data-blogger-escaped-menulis="" data-blogger-escaped-menyebutkan="" data-blogger-escaped-menyusun="" data-blogger-escaped-orang="" data-blogger-escaped-p="" data-blogger-escaped-pada="" data-blogger-escaped-perbendaharaan="" data-blogger-escaped-perkembangan="" data-blogger-escaped-persiapan="" data-blogger-escaped-pertanyaan="" data-blogger-escaped-pokok="" data-blogger-escaped-sama="" data-blogger-escaped-sebagian="" data-blogger-escaped-secara="" data-blogger-escaped-sederhana="" data-blogger-escaped-serta="" data-blogger-escaped-simbol-simbol="" data-blogger-escaped-struktur="" data-blogger-escaped-tahun="" data-blogger-escaped-telah="" data-blogger-escaped-untuk="" data-blogger-escaped-yang="">
Kemampuan berkomunikasi pada awal masa kanak-kanak masih dalam taraf rendah, sehingga masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat berkomunikasi dengan baik (Hurlock, 1990 : 109). Hal ini dapat dilihat berdasarkan pengamatan di lapangan, masih terdapat anak yang belum mampu mengekspresikan ide pada orang lain. Sebagai contoh, pada saat guru meminta anak maju untuk menceritakan pengalaman anak, anak belum mampu menceritakan secara rinci. Permasalahan ini perlu diatasi melalui peningkatan kemampuan komunikasi pada anak yang dapat dilakukan melalui metode bermain.
Bermain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) diartikan sebagai berbuat sesuatu untuk menyenangkan hati (dengan menggunakan alat-alat tertentu atau tidak). Bermain memiliki fungsi memberikan efek positif terhadap perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan pendapat Montessori, sebagaimana dikutip oleh Sudono dalam buku "Manajemen PAUD" (Suyadi, 2011) bahwa ketika anak sedang bermain, anak akan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, anak yang bermain adalah anak yang menyerap berbagai hal baru di sekitarnya seperti kosakata. Pemilihan jenis permainan yang cocok sesuai dengan perkembangan anak menjadi penting agar pesan edukatif dari permainan dapat ditangkap anak dengan mudah dan menyenangkan. Jenis permainan yang dapat dipilih untuk mengembangkan keterampilan berbicara anak adalah bermain peran. Hal ini disebabkan pada saat anak memilih peran dan memainkan perannya, kosakata baru yang dimiliki anak bertambah (Arriyani & Wismiarti, 2010).
Metode bermain peran merupakan pembelajaran yang menyenangkan. Menurut buku Metodik di Taman Kanak-kanak (Depdiknas, 2003 : 41) dalam Maghfiroh (2011) salah satu tujuan dari bermain peran adalah melatih anak berbicara dengan lancar. Berdasarkan pengamatan di lapangan pelaksanaan bermain peran belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari intensitas bermain peran yang masih rendah. Guru memberikan bermain peran hanya pada tema-tema tertentu. Salah satu tema yang biasa digunakan untuk bermain peran adalah tema profesi.
Dilihat dari jenisnya bermain peran terdiri dari bermain peran makro dan bermain peran mikro. Bermain peran makro adalah bermain yang sifatnya kerja sama lebih dari 2 orang bahkan lebih khususnya untuk anak usia taman kanak-kanak, sedangkan bermain mikro adalah awal bermain kerja sama dilakukan hanya 2 orang saja bahkan sendiri. Perbedaan konsep antara bermain peran makro dan bermain peran mikro akan memberikan perbedaan tingkat keterampilan berbicara pada anak.
Bermain peran makro dapat melatih kerja sama pada anak dalam kelompok. Dengan adanya kerja sama tersebut akan terjadi interaksi antara anak dengan teman mainnya sehingga dapat menambah kosakata yang dimiliki anak. Sedangkan pada bermain peran mikro dimana bermain peran ini merupakan awal bermain kerja sama, sehingga peluang anak untuk bekerjasama lebih sedikit. Hal ini disebabkan lawan main anak pada bermain peran mikro lebih sedikit dibandingkan pada bermain peran makro yang dilakukan secara berkelompok. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tidak menutup kemungkinan penambahan kosakata melalui bermain peran mikro lebih sedikit.
Anak bertindak sebagai dalang dalam bermain peran mikro, sehingga anak merupakan otak penggerak yang menghidupkan alat main untuk memainkan suatu adegan, serta peran-peran dalam skenario main peran (Arriyani & Wismiarti, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pada bermain peran mikro anak dapat memainkan lebih dari satu peran. Sedangkan pada bermain peran makro anak hanya memainkan satu peran.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan jika dilihat dari kerjasama yang terjadi, bermain peran makro memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Sedangkan dilihat dari segi peran yang dimainkan, bermain peran mikro yang memiliki peran yang lebih besar dalam meningkatkan keterampilan berbicara. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smilansky (1968) dalam Arriyani & Wismiarti (2010) mengungkapkan bahwa anak yang memiliki sedikit pengalaman main peran terlihat mendapatkan kesulitan dalam merangkai kegiatan dan percakapan mereka. Sejalan dengan Smilansky (1968), Levy, et.al. (1992) dalam Shim (2007) mengungkapkan adanya hubungan positif antara bermain pura-pura dengan peningkatan kemampuan bahasa pada anak usia taman kanak-kanak.
Metode bermain peran makro memiliki pengaruh yang baik terhadap kualitas bermain peran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shim (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kuantitas bermain peran adalah rendahnya keterlibatan teman sebaya, kemampuan bahasa anak, serta media yang digunakan. Sejalan dengan Shim, hasil penelitian yang dilakukan Fitriani (2010 : 89) di TK Lab. School UPI bahwa "Terdapat perbedaan secara signifikan antara kosakata bahasa Indonesia pada anak kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diterapkannya metode bermain peran (role play) makro."
Metode bermain peran makro untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halida (2011) bahwa bermain peran makro merupakan metode yang tepat dalam menjembatani anak untuk lebih leluasa dalam berbicara. Hal ini disebabkan dalam melakonkan tokoh dari sebuah cerita, anak dituntut untuk melakukan percakapan dengan lawan mainnya. Hal yang sama diungkapkan oleh Yulia Siska (2011) yang membuktikan bahwa penerapan metode bermain peran makro cukup berhasil dilaksanakan karena bagi guru dan anak metode ini belum pernah digunakan dan sangat menarik. Dalam bermain peran makro ini, anak dapat terlibat aktif untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara anak melalui tokoh yang dipilih untuk diperankan.
Hasil penelitian lain diungkapkan oleh Andresen (2005) bahwa bermain peran makro sebagai bentuk tindakan pada ZPD, termasuk perkembangan bahasa dimana bahasa memegang peranan penting sebagai sarana pembentukan daya khayal anak. Dengan adanya komunikasi yang terjadi secara verbal dalam bermain, anak dapat bertukar ide mengenai maksud dari permainan.
Sejalan dengan pendapat Andresen (2005), hasil penelitian yang dilakukan oleh Bergen (2002) menunjukkan hubungan yang jelas antara keterampilan sosial dan kompetensi bahasa dengan tingginya kualitas daya khayal anak. Sehingga bermain peran makro dimana anak bermain dengan teman sebaya dapat membantu perkembangan bahasa anak. Hal yang sama diungkapkan oleh Anderson (2010) bahwa bermain peran makro dapat memperluas daya imajinasi anak dimana anak menggunakan kosakata baru untuk mengekspresikan cerita yang dimainkan. Anak dapat meningkatkan keterampilan berbicara dengan meniru anak yang lain maupun orang dewasa sebagai modelnya.
Berbeda dengan hasil penelitian mengenai bermain peran makro, hasil penelitian tentang pengaruh bermain peran mikro pada perkembangan bahasa sangat terbatas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li (2012) menunjukkan bahwa perkembangan bahasa anak dapat dikembangkan melalui pendekatan bermain peran di rumah dimana daya khayal anak secara individual dapat terlihat melalui bermain peran mikro. Hasil penelitian lain dikemukakan oleh Maryatun (2010) yang membuktikan bahwa pemanfaatan wayang damen dapat meningkatkan moral behavior pada anak melalui metode bermain peran mikro. Selain hasil penelitian dari Maryatun, penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2012) membuktikan bahwa secara umum keterampilan sosial anak meningkat dengan baik melalui metode bermain peran mikro.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Lilis (2012) memperoleh hasil bahwa penerapan metode bermain peran dapat meningkatkan kompetensi dasar komunikasi menggunakan telepon. Penelitian tersebut dilakukan pada siswa kelas XI AP 2 SMK N X. Hal ini menunjukkan bahwa bermain peran tidak hanya dapat diterapkan pada anak usia dini, namun dapat diterapkan juga pada anak usia sekolah menengah atas. Dengan demikian bermain peran merupakan metode pembelajaran yang tepat untuk mendukung perkembangan bahasa.
Penelitian ini dilakukan di Taman Kanak-kanak X Kota Y yang merupakan TK inti sebagai TK percontohan di kota Y. Dengan demikian berdasarkan hasil survey yang dilakukan, ketersediaan media pembelajaran sudah mencukupi, sedangkan pada TK non Pembina ketersediaan media kurang mencukupi terutama pada area drama.
Model pembelajaran di Taman Kanak-kanak X Kota Y masih menggunakan model area. Model area merupakan model pembelajaran dimana dalam satu hari membuka tiga area, sehingga intensitas bermain drama lebih rendah dibandingkan dengan intensitas bermain drama dengan menggunakan model pembelajaran sentra. Hal ini tidak seimbang dengan ketersediaan media pembelajaran pada area drama yang sudah mencukupi. Dengan demikian penerapan metode bermain drama dalam kegiatan pembelajaran belum maksimal. Jika ditinjau dari segi keterampilan berbicara, anak TK X memiliki keterampilan berbicara yang masih kurang. Hal ini dapat dilihat pada laporan perkembangan anak yang menunjukkan bahwa masih terdapat indikator-indikator pada aspek bahasa terutama pada lingkup perkembangan mengungkapkan bahasa yang belum tercapai dengan baik, diantaranya indikator menyebutkan nama orang tua, alamat rumah dengan lengkap; berkomunikasi dengan bahasanya sendiri (sesuai anak); serta bercerita tentang gambar yang disediakan dengan bahasa yang jelas. Oleh karena itu diperlukannya metode pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak. Hal ini dapat dilakukan karena TK X terbuka dengan saran dari pihak luar sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti melakukan penelitian di Taman Kanak-kanak X Kota Y.
Berdasarkan beberapa pertimbangan yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "TINGKAT KETERAMPILAN BERBICARA DITINJAU DARI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN". Dalam hal ini apakah ada perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan, maka dapat dirumuskan permasalahan adakah perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan pengalaman serta pengetahuan yang lebih mendalam terutama pada tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
b. Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai penelitian yang berkaitan dengan tingkat keterampilan berbicara ditinjau dari metode bermain peran pada anak usia 5-6 tahun.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada anak usia 5-6 tahun.
b. Bagi guru
Dari hasil penelitian ini guru dapat : 
1) Mengetahui pentingnya metode bermain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada anak.
2) Menciptakan proses belajar mengajar yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara melalui metode yang tepat bagi anak.
3) Meningkatkan intensitas pelaksanaan bermain peran dalam kegiatan pembelajaran.
c. Bagi Lembaga Taman Kanak-kanak (TK)
Hasil penelitian ini dapat lebih meningkatkan kualitas proses belajar mengajar melalui metode yang tepat untuk anak usia 5-6 tahun.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:43:00