Cari Kategori

Showing posts with label contoh tesis hukum. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis hukum. Show all posts

SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

SISTEM PEMIDANAAN EDUKATIF TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.
Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri, kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut buruk, dapat terpengaruh pada tindakan yang dapat melanggar hukum. Hal itu tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Tidak sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak hukum.
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang secara universal pun dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR). Pembedaan perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa, diatur dalam konvensi-konvensi internasional khusus. Sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak : 
"...the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth... " Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali menekankan prinsip "First Call for Children", yang menekankan pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak anak atas "survival protection, development and participation." 
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal.
Salah satunya adalah dalam sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia.
Padahal pemidanaan itu sendiri lebih berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual/personal (Individual responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan/perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal tersebut tentu saja dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak tersebut. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang yang ada di dekatnya.
Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Delinquency, dibahas dalam Badan Peradilan Amerika Serikat dalam usaha untuk membentuk suatu Undang-Undang Peradilan Anak. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu segi pelanggaran hukumnya dan sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku dan melanggar hukum atau tidak.
Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. 
Ketentuan kejahatan anak atau disebut delikuensi anak diartikan sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian KUHP dan atau tata peraturan perundang-undangan. 
Pengadilan anak dibentuk karena dilatarbelakangi sikap keprihatinan yang melanda Negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun perlakuan terhadap pelaku tindak kriminal dewasa, sehingga diperlukan tindakan perlindungan khusus bagi pelaku kriminal anak-anak. Pengadilan anak dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bagi anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa.
Di Indonesia sendiri dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-benar memperhatikan kepentingan anak perlu diwujudkan peradilan yang terbatas bagi anak untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang disahkan oleh Pemerintah pada tanggal 3 Januari Tahun 1997. Peradilan khusus bagi anak diadakan guna mengatasi permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk golongan anak-anak, semuanya wajib disidangkan dalam peradilan bagi anak yang ada pada pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ketentuan yang ada dalam UU No. 3 tahun 1997 mengenai Pengadilan anak telah sebagian mengacu pada rambu-rambu semacam ini. Perampasan kemerdekaan misalnya, haruslah dilakukan hanya sebagai measure of the last resort, hal mana berkenaan dengan hak anak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya.
Anak sebagai individu yang belum dewasa perlu mendapatkan perlindungan hukum/yuridis (legal protection) agar terjamin kepentingannya sebagai anggota masyarakat. Masalah penegakan hak-hak anak dan hukum anak, pada dasarnya sama dengan masalah penegakan hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu, masalah pengimplementasian hukum anak dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor : 
1. Peraturan hukumnya, yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum tertentu. Dalam hal ini, masalah peraturan hukum tentang hak-hak anak berkenaan dengan : 
a. Cara pembentukan dan persyaratan yuridis pembentukannya.
b. Materi hukum tersebut apakah telah sesuai dengan semangat, nilai, asas, atau kaidah hukumnya maupun sanksi hukumnya.
c. Peraturan pelaksanaan yang dikehendaki perlu dipersiapkan untuk mencegah kekosongan hukum.
Aparat penegak hukum, yakni para petugas hukum atau lembaga yang berkaitan dengan proses berlangsungnya hukum dalam masyarakat. Dalam hal penegakan hukum di Indonesia, aparat yang bertugas menegakkan hukum dikenal dengan
2. catur wangsa yang meliputi kepolisian (lembaga penyidik), kejaksaan (penuntut), hakim (peradilan), dan pengacara atau advokat. Untuk menegakkan hak-hak anak dan menegakkan hukum anak, menghadapi permasalahan umum yang melanda Indonesia yakni keterbatasan kemampuan para penegak hukum yang memahami hukum anak dan hak-hak anak, kualitas, pendidikan dan keahlian masing-masing aparat penegak hukum, dan kemampuan organisasi dalam menegakkan hukum anak dan hak-hak anak.
3. Budaya hukum masyarakat, yakni struktur sosial dan pandangan kultural yang berlangsung dan diyakini masyarakat dalam menegakkan hukum sebagai sebuah pedoman tingkah laku sehari-hari. Masalah budaya hukum merupakan masalah penting dalam menegakkan hukum di Indonesia yang menyangkut keyakinan masyarakat pada hukum dan para penegak hukum.
4. Masyarakat hukum, yakni tempat bergeraknya hukum dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup dengan sejauh mana kepatuhan masyarakat kepada hukum, kepedulian masyarakat untuk menegakkan hukum untuk menuju ketertiban dan kedamaian. Dalam hal penegakan hak-hak anak dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hukum anak hanya pedoman yang bisa dijadikan acuan untuk mengarahkan bagaimana masyarakat bertindak jika masih anak ditemukan.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 22, terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : 
(1) Pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah : 
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan 
(3) Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana dalam penjatuhan pidananya ditentukan paling lama dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam Undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18 tahun baru dapat dijatuhi pidana.
Untuk terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat diadakan sanksi. Sanksi tersebut dibentuk dari suatu sistem atau lembaga yang berwenang untuk menanganinya.
Semua masyarakat mempunyai sistem kelembagaan dalam menangani kejahatan dan kenakalan, yang merupakan reaksi terhadap terjadinya kejahatan dan kenakalan Sistem kelembagaan yang dimaksud adalah Kepolisian, Pengadilan, Custodial Institutions, dan berbagai metode supervise dan pembinaan petindak pidana dalam masyarakat (misalnya, probation dan parole). Tujuan dari reaksi terhadap kejahatan dan kenakalan adalah untuk pencegahan terhadap kejahatan dan kenakalan, serta resosialisasi petindak pidana.
Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia hanya bertumpu pada sifat pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana dapat merubah si anak tersebut menjadi lebih baik. Diberikannya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif, yaitu suatu sistem pemidanaan yang tidak hanya menekankan dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau penjara.
Hal ini dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 17 ay at (1), yaitu setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : 
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, misalnya bimbingan sosial dari pekerjaan sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater atau bantuan dari ahli bahasa.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam bidang tertutup untuk umum.
Seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak akan lebih mudah pengendaliannya dan perbaikannya daripada seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan karena taraf perkembangan anak itu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, pada usia bayi, remaja dewasa dan usia lanjut akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Sistem pemidanaan dengan pemberian sanksi pidana yang bersifat edukatif/mendidik selama ini jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia khususnya oleh hakim. Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua/wali atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau dianutnya.
Sistem pemidanaan individual (individual responsibility) yang digunakan selama ini adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat fragmentair yaitu hanya melihat upaya pencegahan tersebut dari segi individu/personalnya saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak hanya dilihat dari penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari banyak faktor, salah satunya adalah membuat bagaimana si anak tidak lagi mengulangi perbuatannya namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang baik kepada si anak.
Hal ini dimaksudkan agar mental spiritual si anak itu lebih terdidik sehingga perilaku yang menyimpang dari si anak inipun menjadi lebih baik. Dengan dimasukkannya si anak sebagai pelaku kejahatan ke Lembaga Pemasyarakatan bukannya tidak menjamin bahwa si anak tersebut dapat berubah, namun di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut tidak ada masukan yang lebih bagi perbaikan mental spiritual anak karena mereka diasingkan bersama-sama dengan para pelaku tindak pidana lain hal ini mengakibatkan proses pemulihan perilaku si anak untuk menjadi lebih baik sering kali terhambat yang disebabkan lingkungan dari dalam LP itu sendiri yang kurang kondusif.
Tentunya hal ini akan berbeda jika menempatkan si anak pada suatu lingkungan dimana dia tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pelaku tindak pidana, namun lebih memperlakukan si anak sebagai seorang manusia yang belum dewasa yang masih belum tahu apa-apa sehingga masih perlu diberikan bimbingan, pengarahan serta pengajaran mana yang disebut dengan tindakan baik dan mana yang disebut dengan tindakan buruk. Tentu saja perlakuan yang diberikan kepada mereka yang terlibat tindak pidana, selama dalam proses hukum dan pemidanaannya menempatkan mereka sebagai pelaku tindak kriminal muda yang mempunyai perbedaan karakteristik dengan pelaku tindak kriminal dewasa.
Sebenarnya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif seperti ini bukan sesuatu yang baru. Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak sistem pemidanaan yang bersifat mendidik telah jelas tersirat, namun pada pengaplikasiannya hal ini jarang sekali dilakukan, bahkan tidak jarang anak-anak tersebut ditangani oleh penegak hukum yang belum begitu professional untuk menangani kasus-kasus di bidang anak dan terkadang juga penempatan anak-anak terpidana dicampur dengan orang dewasa.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ada dua alternatif tindakan yang dapat diambil apabila anak yang berumur dibawah 8 tahun melakukan tindak pidana tertentu, yaitu pertama diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina. Kedua, diserahkan kepada Departemen Sosial jika anak tersebut tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Namun dalam hal memperhatikan kepentingan anak, hakim dapat menghendaki diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama si anak yang bersangkutan (Pasal 24 UU No. 3 Th. 1997).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas masalah perlindungan terhadap anak-anak sangatlah luas, maka disini penulis membatasi masalah tersebut khususnya bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan motif dan berbagai saran yang digunakan. Sehingga masalah pokok tersebut dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia saat ini ?
2. Bagaimanakah Sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan penelitian, agar diperoleh data-data yang benar-benar diperlukan dan diharapkan, sehingga penelitian dapat dilakukan secara terarah. Penulis sebelumnya telah menentukan tujuan-tujuan dalam melaksanakan penelitian, yaitu : 
1. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia pada saat ini.
2. Untuk mengetahui sistem pemidanaan edukatif ke depan yang tepat bagi anak sebagai pelaku tindak pidana.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut : 
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dan masukan bagi pelaksanaan penelitian di bidang yang sama untuk masa mendatang pada umumnya dan masukan serta sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya pada Hukum Pidana.
2. Kegunaan Praktis
Memberikan informasi secara ilmiah bagi masyarakat umum sehingga diharapkan dapat lebih mengetahui dan mengerti tentang sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, dan dengan adanya informasi tersebut diharapkan juga dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:36:00

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang "aman".
Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa : 
Taking into account the interest and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have the right of access to non-hazardous products, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development".
Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan Iain-lain yang berkaitan dengan itu.
Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.
Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.
Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau Iain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media non elektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan Iain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 
Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain : 
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar {reasonable).
Di sisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial {social control) terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain : Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar menjadi melemah.
Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen hams memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan, memerlukan dukungan si stem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.
Dalam pasal 1 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa "Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman"
Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar.
Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.
Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan pangan yang kadaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 14 Label yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.
Selain diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan " Halal " pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih spesifiknya adalah PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan.
Di dalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Lebih lanjut di dalam pasal 2 ditentukan bahwa : 
(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
Kemudian di dalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa : 
(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : 
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.
Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan : 
(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.
(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. 
Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.
Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.
Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor.
Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang dibelinya.
Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa yang tidak dipahami konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal produk tersebut, seperti Cina dan Jepang.
Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan.
Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 juga tidak memberi penjelasan, dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.
Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum.
Dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, Malaysia misalnya, Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dalam upaya melindungi konsumen. Di Malaysia, pemberdayaan konsumen sudah ditangani oleh seorang Menteri, yaitu Menteri Urusan Konsumen, sedangkan di Indonesia masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan serta yang baru UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pada kasus beredarnya makanan kedaluwarsa, mengetahui pihak yang bersalah lebih mudah, karena itu sudah menjadi tugas mereka untuk tidak menjual makanan dan minuman kedaluwarsa.
Indonesia memang belum menerapkan pelabelan kedaluwarsa pada setiap makanan maupun minuman. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No. 180/Menkes/1985, ada 13 jenis makanan dan minuman yang diharuskan mencantumkan tanggal kedaluwarsa : roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen, coklat, kelapa dan hasil olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur, saus dan kecap, minuman ringan tak berkarbonat, sari buah dan susu.
Disamping itu pencantuman label kedaluwarsa sendiri sampai saat ini belum ada standar baku. Ada yang sudah menggunakan Bahasa Indonesia beserta kaidah penanggalannya (misalnya, sebaiknya digunakan sebelum : Januari 1999), dan tak jarang pula yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya (best before : 06.98). Namun ada juga yang hanya berisi angka-angka melulu yang bagi masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.
Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada 4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang dikonsumsinya, yaitu : 
1. Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan bahan berbahaya
2. Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya
3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999) beserta Permenkes.
4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kadaluarsa.
Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui adalah 18 : 
• Penggunaan label tidak berbahasa Indonesia dan tidak menggunakan huruf latin, terutama produk impor.
• Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan
• Tidak mencantumkan waktu kadaluarsa
• Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih
• Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan gizi yang tidak konsisten.
• Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)
Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono, Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ?
1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?
2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang konseptual tentang label sebagai perwujudan hak konsumen atas informasi kaitannya dengan perlindungan konsumen. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan label, mengingat semakin banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat dengan bermacam-macam label, sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat membantu dalam usaha-usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 apa telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen.
b. Untuk mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran ketentuan label pangan bagi pelaku usaha.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen khususnya tentang pelabelan. 
2. Manfaat Praktis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan konsumen baik Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, konsumen itu sendiri maupun pelaku usaha. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:28:00

PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA

PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Patrick Manning dalam bukunya Migration in World History (2005) menyatakan bahwa migrasi yang dilakukan oleh manusia-homo sapiens-telah terjadi sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi. Dorongan utama dilakukannya migrasi pada masa itu secara umum berasal dari naluri alamiah umat manusia untuk mencari tempat tinggal atau daerah bermukim yang dapat memberikan keamanan dan kenyamanan. Sejarah mencatat, bangsa Canaan (yang sekarang disebut bangsa Palestina) pernah melakukan migrasi dari Asia menuju Eropa, demikian juga yang dilakukan oleh bangsa Romawi di masa kejayaannya dan bangsa-bangsa lainnya.
Para ahli sejarah dan geografi sepaham dengan pendapat bahwa migrasi manusia selanjutnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor ketidaknyamanan kondisi iklim, kurangnya persediaan makanan (ekonomi), perang (konflik senjata dan keamanan), dan faktor sosial yang meliputi tekanan politik, ras, agama, dan ideologi. Terkait alasan atau faktor-faktor tersebut, pada periode saat ini-dimana berlaku konsep negara-bangsa yang mengusung prinsip kedaulatan atas suatu wilayah negara, serta berlaku prinsip kewarganegaraan atas diri seseorang-praktik migrasi oleh bangsa atau warganegara tertentu ke wilayah negara lain dapat menjadi permasalahan serius.
Dalam hal ini banyak negara di dunia umumnya sependapat bahwa migrasi yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan keimigrasian atau migrasi ilegal akan mengakibatkan ancaman terhadap kedaulatan, keamanan, kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan juga ancaman terhadap ideologi suatu bangsa. Belum lagi migrasi ilegal bisa dihentikan, telah timbul varian baru yang kini kian mengemuka, yakni penyelundupan manusia (people smuggling), dan perdagangan manusia (human trafficking).
Dalam pengertian dan batasan hukum internasional dalam hal ini hukum internasional publik merupakan keseluruhan kaidah dan azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Pengertian ini untuk membedakan dengan pengertian hukum perdata internasional.
Dari pengertian hukum internasional publik tersebut, maka jika dikaji dari fungsi dan tujuannya, keimigrasian melaksanakan sebagian fungsi dan tugas hukum internasional publik, termasuk perjanjian bilateral tentang bidang lintas batas. Pengertian imigrasi mempunyai makna di satu sisi merupakan tindakan masuk ke negara lain untuk tinggal menetap sedangkan sisi lain dari segi kelembagaan mempunyai fungsi dan tujuan yaitu mengatur orang asing yang masuk ke negeri ini; sisi pertama tersebut menunjuk pada suatu aktivitas (dari kalimat "Tindakan masuk ke negara lain") manusia, yaitu aktivitas berupa lalu lintas manusia dari suatu negara ke negara lain. Sisi kedua, menunjukkan tata laksana dari suatu organisasi atau instansi yang mengurus lalu lintas manusia antar negara.
Individu/manusia merupakan obyek dari pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pelaksanaan keimigrasian, yang tidak dapat dipisahkan dengan kewarganegaraan seseorang. Kewarganegaraan merupakan hubungan yang paling sering dan kadang-kadang merupakan suatu hubungan satu-satunya antara seorang individu dan suatu negara yang menjamin diberikannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu pada hukum internasional.
Kewarganegaraan memang tidak dapat dipisahkan bahkan merupakan suatu hubungan hukum yang kesinambungan antara negeri yang berdaulat di satu pihak dan warganya tersebut di pihak lain. Sebagai dasar fundamental kewarganegaraan seseorang adalah keanggotaannya dalam suatu komunitas politik yang merdeka. Hubungan hukum ini meliputi hak-hak dan kewajiban dan keduanya di pihak warganegara dan di pihak lain.
Sebagai pelaksana dari hubungan hukum tersebut perlu diimplementasikan dalam suatu organisasi atau instansi yang mengurus lalu lintas manusia antara negara sebagai wujud dari pencerminan kedaulatan hukum dan kedaulatan negara. Secara hukum internasional, aspek kewarganegaraan merupakan hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri dan ini merupakan atribut yang esensial, dimana negara bertanggung jawab untuk melindungi warganya yang merupakan pencerminan aspek korelatif dan kesetiaan dan perlindungan "Protectio tvahit subjectionem et subjectio Protectionem".
Organisasi yang mempunyai fungsi keimigrasian tersebut diatas, di Indonesia diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman RI, yang keberadaannya, tugas pokok serta fungsinya diatur berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen jo keputusan Presiden RI nomor 15 tahun 1984 tentang susunan organisasi Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan keputusan Presiden RI nomor 8 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M-PR. 07 04 tahun 1991 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Imigrasi di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Sebagaimana diketahui negara Republik Indonesia lahir dari proses sejarah yang panjang, termasuk sejarah perkembangan keimigrasian yang dapat dibedakan dalam dua periode yaitu periode pendudukan/penjajahan dan setelah kemerdekaan. Dalam periode pendudukan/penjajahan, pemerintah penjajahan Hindia Belanda di bidang keimigrasian menerapkan kebijaksanaan "opendeur politiek" yaitu kebijaksanaan terbuka terhadap masuknya orang asing untuk menetap di Indonesia, tujuan dan kebijaksanaan ini untuk masuknya modal asing dan tenaga asing yang murah.
Dalam rangka menyamakan persepsi mengenai sikap tindak dan keputusan yang akan dilakukan, maka pada tanggal 23-24 Juni 2008 Direktorat Jenderal Imigrasi mengadakan suatu kegiatan Penyuluhan Peraturan Keimigrasian Terpusat (PPKT).
Pembicara dalam kegiatan PPKT berasal dari berbagai unsur kedinasan seperti :
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-memaparkan mengenai pengertian Gratifikasi secara luas,
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)-memaparkan tentang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,
- Badan Intelijen Negara (BIN)-memaparkan tentang jaringan komunitas intelijen Indonesia khususnya mengenai subversi asing,
- Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN)-memaparkan tentang analisis jabatan sebagai perangkat realisasi pendapatan berbasis kinerja,
- Departemen Keuangan-memaparkan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Terkait dengan Dasar Pengelolaan, Perencanaan dan Penganggaran PNBP,
- Departemen Luar Negeri-memaparkan tentang kedudukan dan peran Atase Imigrasi pada Perwakilan RI di Luar Negeri,
- Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda-memaparkan tentang nasionalisme dan perjuangan membela NKRI pada peranan Keimigrasian,
- Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI-memaparkan tentang penjelasan anggaran belanja Departemen Hukum dan HAM RI dan pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI,
- Inspektur Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI-memaparkan tentang Peran pengawasan dalam meningkatkan kinerja aparat keimigrasian,
- Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)-memaparkan tentang UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya mengenai pengakuan informasi dan atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah,
- Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) POLRI-membahas tentang Strategi POLRI dalam Penanggulangan Kejahatan Transnasional serta membangun Kapasitas Penyidik, dan
- Direktur PT Premysis Consulting-memaparkan tentang Prinsip pelayanan yang diterapkan dalam imigrasi, Standar pelayanan yang diambil sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan dan Solusi terpenting dalam menaikkan standar pelayanan (ISO 9001).
Melalui kegiatan PPKT tersebut, diharapkan dapat menjadi sarana untuk melakukan evaluasi terhadap segala bentuk kegiatan yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Direktur Jenderal Imigrasi-Basyir Ahmad Barmawi dalam sambutan penutupan kegiatan PPKT yang mengatakan bahwa kegiatan PPKT ini diselenggarakan untuk melakukan evaluasi masalah dan kendala yang ada dalam pelaksanaan tugas keimigrasian di lapangan. Jika ada keluhan-keluhan dalam melaksanakan tugas, inilah sarananya untuk bisa mendapatkan masukan dari para pakar.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Hak Setiap Warga Negara Indonesia
Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk wilayah Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Fungsi dan Pelaksanaan Keimigrasian
Fungsi keimigrasian dilaksanakan oleh Pemerintah dan untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan keimigrasian yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pimpinan. Untuk melaksanakan tugas keimigrasian, pada setiap kabupaten, kota, atau kecamatan dapat dibentuk Kantor Imigrasi. Selain Kantor Imigrasi, di ibukota negara, provinsi, kabupaten/kota, dapat dibentuk Rumah Detensi.
Ditentukan pula bahwa pada setiap perwakilan Republik Indonesia di luar negeri atau tempat lain di luar negeri terdapat tugas dan fungsi keimigrasian yang dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi. Untuk menjalin hubungan internasional di bidang keimigrasian, Pimpinan dapat melakukan kerja sama internasional di bidang keimigrasian dengan negara lain atau dengan badan atau organisasi internasional.
3. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia
Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku. Orang asing yang masuk wilayah Indonesia wajib memiliki visa yang sah dan masih berlaku. Petugas Pemeriksa Pendaratan berperan dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia, terutama melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).
Pengaturan mengenai masuk dan keluarnya orang dari atau ke wilayah Indonesia, meliputi pula pengaturan mengenai kewajiban bagi penanggung jawab alat angkut. Untuk membatasi yuridiksi pemeriksaan, diatur pula mengenai Area Imigrasi yakni suatu area tertentu untuk melakukan pemeriksaan keimigrasian dan merupakan area terbatas yang hanya dapat dilalui oleh penumpang atau awak alat angkut yang akan keluar atau masuk wilayah Indonesia atau pejabat dan petugas yang berwenang.
4. Pencegahan dan Penangkalan
Pimpinan berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencegahan yang menyangkut bidang keimigrasian. Demi keamanan dan ketertiban umum, Pimpinan berwenang pula melakukan penangkalan bagi seseorang yang masuk ke wilayah Indonesia. Pejabat yang berwenang dapat meminta kepada Pimpinan untuk melakukan penangkalan. Untuk melakukan penangkalan ini, diatur pula mengenai syarat dikeluarkannya keputusan penangkalan dan perlindungan hukum bagi yang ditangkal, beserta batas waktu penangkalan.
5. Visa, Izin Masuk, dan Izin Tinggal
Dalam bagian ini diatur mengenai jenis visa dan kepada siapa dapat diberikan dan kepada siapa tidak dapat diberikan. Termasuk pula pengaturan mengenai orang asing yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki visa. Dalam bagian ini diatur pula mengenai ketentuan izin masuk bagi orang asing yang telah memenuhi persyaratan untuk masuk wilayah Indonesia. Bagi orang asing yang berada di wilayah Indonesia, diwajibkan memiliki izin tinggal. Dalam bagian ini diatur mengenai jenis dan macam izin tinggal.
6. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang ini meliputi Paspor Republik Indonesia (sebagai dokumen negara) dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (sebagai dokumen resmi).
Paspor Republik Indonesia terdiri atas :
a. Paspor Diplomatik;
b. Paspor Dinas; dan
c. Paspor Biasa.
Surat Perjalanan Laksana Paspor terdiri atas :
a. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk warga negara Indonesia;
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk orang asing;
c. Surat Perjalanan Lintas Batas atau Pas Lintas Batas; dan
d. Pas Perjalanan Haji.
Dalam bagian ini diatur pula mengenai siapa yang dapat memperoleh Paspor dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, beserta persyaratannya. Dengan adanya Pas Perjalanan Haji nantinya tidak dikenal lagi adanya pas-pas haji.
7. Pengawasan Keimigrasian
Pimpinan melakukan pengawasan Keimigrasian yang meliputi :
a. pengawasan terhadap warga negara Indonesia yang memohon dokumen perjalanan, keluar atau masuk wilayah Indonesia, dan yang berada di luar wilayah Indonesia.
b. pengawasan terhadap lalu lintas orang asing yang masuk atau keluar wilayah Indonesia, serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia.
Dalam rangka melakukan pengawasan terhadap orang asing, Pimpinan membina hubungan kerja sama dengan badan atau instansi pemerintah terkait dan bertindak selaku koordinator pengawasan orang asing. Untuk menegakkan pengawasan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi, diatur pula mengenai Tindakan Administratif Keimigrasian dan pengaturan mengenai Rumah Detensi Imigrasi.
8. Penyidikan
Penyidik Keimigrasian yang telah melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian, berkas perkaranya diserahkan kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum paling lama 1 (satu) hari kerja tanpa mengubah isi berkas perkara.
9. Ketentuan Pidana
Dalam ketentuan ini, ada beberapa perbuatan yang menyangkut bidang keimigrasian yang dikriminalisasi dan beberapa perbuatan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian ditingkatkan pidananya dalam rangka pemberatan. Pidana tidak hanya dijatuhkan kepada orang perseorangan, melainkan juga dapat dijatuhkan kepada korporasi.
10. Ketentuan Peralihan
Untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum dalam ketentuan peralihan ini ditentukan bahwa :
a. Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Terbatas, dan Izin Tinggal Tetap yang dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya habis;
b. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya habis;
c. perkara tindak pidana di bidang keimigrasian yang sedang diproses dalam tahap penyidikan, tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 13
Berdasarkan politik hukum keimigrasian yang bersifat selektif, ditetapkan bahwa hanya orang asing yang :
a. Memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia.
b. Tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum, serta
c. Tidak bermusuhan dengan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia, diizinkan masuk dan dibolehkan berada di wilayah Indonesia, serta diberi izin tinggal sesuai dengan maksud dan tujuannya datang di Indonesia.
Oleh sebab itu penulis mengangkat ini menjadi sebuah topik penelitian dengan judul "PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah syarat-syarat dan prosedur mendapatkan izin masuk sebagai imigran di Indonesia ?
2. Bagaimanakah penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran dilakukan dengan cara akibat hukumnya berdasarkan UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian ?
3. Bagaimanakah penegakan peraturan keimigrasian dalam mencegah masuknya imigran ilegal ke Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui syarat-syarat dan prosedur mendapatkan izin masuk sebagai imigran di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran dan akibat hukumnya berdasarkan UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
3. Untuk mengetahui peraturan keimigrasian dalam mencegah masuknya imigran ilegal ke Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk masuknya Imigran ke Indonesia yang mempunyai izin yang sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
2. Secara Praktis
Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran. Sehingga dengan adanya penulisan ini pemerintah dapat mengatur izin masuk sebagai imigran yang baik dan sesuai dengan UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:11:00

KEBIJAKAN PEMDA TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMDA (ANALISIS PERATURAN DAERAH)

KEBIJAKAN PEMDA TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMDA (ANALISIS PERATURAN DAERAH) (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah) memberikan perubahan yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Melalui perubahan ini, banyak hal baru yang diakomodasi oleh Undang-undang ini dengan maksud untuk memperbaiki sistem yang telah ada. Meskipun demikian, tidak ada yang sempurna dengan karya manusia. Lahirnya sebuah peraturan perundangan-undangan, selalu memunculkan reaksi baik yang bersifat positif maupun yang negatif atau penolakan, terutama bagi pihak-pihak yang benar-benar menaruh kepedulian terhadap penyelenggaraan sistem yang ada.
Hal-hal yang bersifat Positif yang dirasakan dengan adanya Undang-Undang baru ini menurut Sadu Wasistiono adalah :
1. Hak-hak daerah otonom yang meliputi kebebasan untuk memilih pemimpin sendiri, kebebasan memiliki, mengelola dan memanfaatkan sumber keuangan sendiri, kebebasan membuat aturan hukum sendiri. Hak tersebut tentunya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya, kepentingan umum serta asas kepatutan.
2. Berkembangnya inisiatif dan kreatifitas daerah untuk membangun daerahnya berkompetisi dengan daerah otonom lainnya. Dengan memiliki kebebasan untuk menyusun rencana pembangunan sendiri, daerah dapat mendayagunakan potensinya untuk menyejahterakan rakyat.
3. Pada masa mendatang diharapkan akan muncul berbagai pusat pertumbuhan baru di berbagai daerah yang potensial sehingga mengurangi aktifitas yang bersifat "Jakarta sentris"
4. Mulai tumbuhnya iklim demokrasi dengan lebih banyak melibatkan masyarakat, berpartisipasi pada tahap perumusan, implementasi, pemanfaatan serta evaluasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah daerah
5. Mulai munculnya independensi relatif dari pemerintah daerah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi di daerah. Masalah daerah diselesaikan di daerah, dengan cara dan oleh masyarakat setempat.
Dilihat dari ketahanan nasional, hal semacam itu bersifat menguntungkan karena masalah setempat menjadi terisolasi tidak meluas menjadi masalah nasional.
Gejala-gejala negatif yang mungkin akan timbul menurut Sadu Wasistiono yaitu :
1. Menguatnya rasa kedaerahan sempit yang apabila tidak dicermati dan diantisipasi secara tepat akan bersifat kontra produktif terhadap upaya membangun wawasan kebangsaan
2. Munculnya gejala ekonomi biaya tinggi sebagai akibat daerah hanya mengejar kepentingan jangka pendek dalam menghimpun pendapatan daerah. Selain itu juga ada gejala pengabaian terhadap kelestarian lingkungan karena eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tetapi kurang terencana dengan baik
3. Otonomi daerah masih dipahami secara sempit sehingga hanya pemerintah daerah saja yang sibuk, sedangkan masyarakat luas belum dilibatkan secara aktif. Padahal otonomi diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum, bukan hanya kepada pemerintah daerah saja. Hal ini dapat dilihat antara lain dari alokasi penggunaan dana APBD yang lebih banyak untuk kepentingan birokrasi dan DPRD daripada kepentingan masyarakat luas.
4. Ada gejala ketidakpatuhan daerah atau adanya penafsiran secara sepihak terhadap berbagai peraturan perUndang-Undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Padahal demokrasi memerlukan ketaatan hukum yang tinggi. Demokrasi tanpa penegakan hukum hanya akan menciptakan anarki. Pada sisi lain, tanpa adanya kepastian hukum investor akan enggan menanam modal di daerah. Hal tersebut pada gilirannya justru akan membuat satu daerah tertinggal dibandingkan daerah lainnya.
Berdasarkan uraian di atas otonomi daerah berarti daerah menetapkan sendiri kebijakannya, merencanakan strategi aktivitasnya, melaksanakannya, mengendalikannya dan melakukan pengawasan intern. Otonomi daerah adalah buah dari desentralisasi dan demokrasi yang berarti pemerintahan makin dekat dengan rakyat. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dan sumber daya dari pemerintah (pusat) kepada daerah yaitu pemerintahan daerah dan masyarakat daerah. Kewenangan daerah otonom adalah kebebasan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan kewenangan yang dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 disebut sebagai urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Di dalam urusan pemerintahan terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara antara lain :
1. Perlindungan hak konstitusional ;
2. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI ; dan
3. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
Urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di Daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah.
Pelaksanaan urusan pemerintahan selanjutnya diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pada pasal 1 disebutkan bahwa urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Rincian urusan pemerintahan daerah di Kota X dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X. Penyusunan Peraturan Daerah merupakan upaya pengaturan kewenangan di tingkat daerah Kabupaten/Kota sekaligus sebagai dasar penyusunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah di masing-masing Kabupaten/Kota guna menghindari tumpang tindihnya kewenangan antar satuan kerja perangkat daerah.
Berkaitan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, banyak sekali masalah-masalah hukum yang perlu mendapat perhatian. Masalah kesinkronan dan inkonsistensinya perumusan perundang-undangan, akan membawa perubahan dan permasalahan-permasalahan baru pada tataran bentuk luar maupun isi atau substansinya. Perkembangan tatanan hidup akan membuat kebutuhan manusia terhadap hukum akan bersifat dinamis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merasa sangat tertarik untuk menulis penelitian yang berjudul KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH (Analisis Peraturan Daerah Kota X Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X).

B. Perumusan Masalah
Mengacu kepada pembatasan masalah di atas, penulis menetapkan rumusan masalah penelitian :
1. Apakah kewenangan yang telah ditetapkan tersebut sesuai/sinkron dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang menjadi dasar hukum Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X ?
2. Apakah Peraturan Daerah Kota X Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X sesuai/sinkron dengan Peraturan Daerah Nomor 03-07 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui apakah peraturan kebijaksanaan Kota X, melalui Perda Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
b. Untuk mengetahui apakah Perda Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 03-07 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kota X.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan pengetahuan penulis terhadap tujuan otonomi daerah menurut Undang-Undang 32 Tahun 2004.
b. Untuk menyusun laporan Penelitian sebagai naskah Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum pada program Pasca Sarjana.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian diharapkan nantinya akan mempunyai manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat diperoleh perbandingan antara teori-teori yang diperoleh selama mengikuti pendidikan dengan aplikasi di lapangan berkaitan dengan hal yang diteliti ; dan
b. Untuk memberikan masukan dalam perumusan dan pengkajian di bidang pembuatan kebijaksanaan oleh Pemerintah Daerah khususnya di Kota X.
2. Manfaat praktis
a. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas di lapangan
b. Bagi Pemerintah Daerah dan sistem pemerintahan khususnya serta seluruh masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat dijadikan bahan pengkajian kebijakan publik yang terkait dengan kewenangan pemerintahan daerah serta membantu memberikan pemikiran dalam upaya perbaikan bagi sistem kewenangan pemerintahan daerah, khususnya di Kota X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:05:00

TESIS HAK PASIEN ATAS INFORMASI OBAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK DOKTER

HAK PASIEN ATAS INFORMASI OBAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK DOKTER (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Kedokteran berkembang dengan semakin pesat, seiring dengan kemajuan teknologi. Banyak didapatkan perkembangan baru yang mutakhir, baik meliputi alat-alat medis, teknik pemeriksaan dan penegakan diagnosa suatu penyakit, maupun penemuan obat-obat baru, sehingga banyak menimbulkan manfaat secara umum bagi dunia kedokteran dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan.
Perkembangan teknologi dapat berdampak positif, yaitu meningkatnya mutu pelayanan kesehatan, karena penelusuran suatu diagnosa penyakit menjadi lebih cepat dan akurat. Tetapi, dampak negatifnya juga ada, yaitu kecenderungan para dokter menggunakan alat-alat canggih untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit, dan juga penggunaan obat-obat baru untuk pengobatan, sehingga biaya pengobatan menjadi semakin mahal.
Seiring dengan banyaknya penemuan baru untuk teknik pengobatan, obat-obat baru juga banyak didapatkan, terutama untuk beberapa penyakit yang pada waktu dulu sulit untuk diobati ataupun dianggap tidak ada obatnya, misalnya untuk HIV/AIDS, hepatitis kronik, beberapa jenis tumor ganas, dan lain sebagainya. Untuk masa mendatang, para ahli sedang mengadakan penelitian terhadap obat-obat farmakogenomik (obat-obat yang sesuai dengan konstitusi genetik setiap orang), sehingga angka keberhasilan pengobatan diharapkan akan semakin tinggi.
Penggunaan obat-obat untuk terapi, tentunya tidak terlepas dari hubungan dokter-pasien. Pada waktu yang lalu, hubungan dokter-pasien dibangun atas dasar hubungan Paternalistik (kekeluargaan), atas dasar kepercayaan. Model hubungan seperti ini memiliki keunggulan komparatif dibandingkan model hubungan yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum semata, namun jika terjadi konflik, maka konsep penyelesaiannya tidak jelas, karena tidak memiliki instrumen yang memadai guna menyelesaikan konflik serta tidak memiliki kekuatan hukum untuk memaksakan kehendaknya.
Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan dokter-pasien berubah menjadi hubungan terapeutik, dan termasuk hubungan kontraktual. Oleh karena itu, semua asas yang berlaku dalam hubungan kontraktual juga berlaku dalam hubungan terapeutik. Asas-asas tersebut adalah :
1. Asas Konsensual : masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya.
2. Asas Itikad baik (Utmost of Good Faith) : merupakan asas yang paling utama dalam setiap hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Oleh sebab itu, dokter ataupun pasien harus sama-sama beritikad baik, sebab tanpa dilandasi asas itu hubungan terapeutik tidak syah demi hukum.
3. Asas bebas : masing-masing pihak bebas menentukan apa saja yang akan menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang hal itu disepakati.
4. Asas tidak melanggar hukum : isi kesepakatan tidak boleh melanggar hukum.
5. Asas Kepatutan dan Kebiasaan : para pihak yang mengadakan perikatan tidak hanya tunduk pada hal-hal yang telah disepakati saja, tetapi juga pada hal-hal yang sudah menjadi kepatutan dan kebiasaan yang berlaku di dunia kedokteran.
Pada hubungan dokter-pasien, terbentuk hubungan hukum yang disebut dengan nama perikatan (verbintenis), dimana akan timbul hak dan kewajiban yang timbal balik, hak pasien menjadi kewajiban dokter dan kewajiban pasien menjadi hak dokter. Mengenai bentuk prestasi yang menjadi kewajiban dokter, tidak dapat dilepaskan dari konsep tentang perikatan yang terjadi dalam hubungan terapeutik, yaitu inspanning verbintenis (perikatan upaya), dan bukan resultaat verbintenis (perikatan hasil).
Jadi, prestasi dokter dalam hubungan terapeutik hanyalah memberikan upaya medik yang layak dan benar berdasarkan teori Kedokteran yang telah teruji kebenarannya (evidence based medicine).
Menurut Prof H.J.J Leenen, tindakan medik/upaya medik disebut legeartis jika tindakan tersebut telah dilakukan sesuai Standar Profesi Dokter.
Dapat dirumuskan sebagai berikut : "Suatu tindakan medik seorang dokter sesuai dengan standar profesi kedokteran, jika dilakukan secara teliti sesuai ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medik yang sama dengan sarana upaya yang memenuhi perbandingan yang wajar (proporsional) dibanding dengan tujuan konkrit tindakan medik tersebut".
Jadi, bila seorang dokter sudah melakukan upaya medik/tindakan medik sesuai dengan standar profesi kedokteran (sesuai dengan standar pelayanan medik dan standar prosedur operasional), kemudian hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan, apalagi dalam hal pemberian obat-obatan kepada pasien, dokter tersebut tidak dapat begitu saja dianggap melakukan kelalaian atau mal praktik.
Walaupun hubungan terapeutik antara dokter-pasien sudah semakin membaik dan mempunyai konsep hukum yang jelas, tetap saja pihak pasien berada pada posisi yang " lemah ", terutama dalam menerima jenis dan jumlah obat yang akan dipakai. Hal ini disebabkan pemberian informasi tentang obat tidak pernah dilakukan oleh para dokter.
Upaya perlindungan terhadap konsumen obat/pasien di Indonesia dinilai oleh berbagai kalangan masih sangat minim, yang dinilai dari :
1. Pasien masih sangat tergantung pada dokter dalam hal penggunaan obat, termasuk jenis dan macam obat.
2. Minimnya informasi tentang obat yang sebetulnya merupakan hak pasien.
3. Belum adanya kejelasan standarisasi harga obat.
Ketua Yayasan Lembaga Indonesia (YLKI) pada tanggal 30 Agustus 2006 di Jakarta menjelaskan, bahwa saat ini ada beberapa permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia mengenai obat, yaitu (harian umum Kompas, 31 Agustus 2006) :
1. Pemahaman konsumen terhadap komposisi dan khasiat obat masih sangat minim.
2. Pasien dan keluarganya sangat tergantung pada dokter berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit, termasuk jenis obat yang dikonsumsi.
3. Peran Apotik yang hanya sebagai toko obat, karena di Jakarta saja baru 30 persen dari total semua apotik yang memiliki Apoteker.
Artinya, di apotik tersebut tidak ada petugas yang kompeten dan bisa ditanya atau menjelaskan kandungan atau kegunaan obat.
Dengan adanya beberapa hal tersebut di atas, menimbulkan suatu permasalahan, yaitu suatu kondisi masyarakat yang berobat kepada dokter sering mendapatkan reaksi yang tidak diharapkan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya akibat penggunaan obat yang diberikan. Hal inilah yang akhir-akhir ini sering menimbulkan permasalahan hukum terhadap dokter.

B. Perumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan hak pasien mengenai informasi obat menurut peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini ?
2. Apakah yang dimaksud dengan perlindungan hukum untuk dokter dalam hal pemberian informasi obat kepada pasien ?
3. Apakah dengan dipenuhinya hak pasien mengenai informasi obat akan dapat memberikan perlindungan hukum untuk dokter ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam mengadakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan gambaran mengenai hak pasien tentang informasi obat yang merupakan salah satu dari kewajiban profesi seorang dokter.
2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai pelindungan hukum terhadap dokter dan hubungannya dalam hal pemberian informasi obat kepada pasien.
3. Untuk mendapatkan gambaran mengenai perundang-undangan yang ada saat ini tentang informasi obat yang merupakan hak pasien dan perlindungan hukum untuk dokter.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat terhadap kalangan Kedokteran, diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan pengetahuan dibidang hukum tertentu, khususnya dalam permasalahan hubungan antara pemberian informasi mengenai obat yang merupakan hak pasien dan perlindungan hukum untuk dokter, sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan praktik sehari-hari, baik di sarana pemberi pelayanan kesehatan, dalam praktik pribadi maupun dalam pelaksanaan pengobatan ataupun pemberian vaksinasi/imunisasi masal.
2. Manfaat terhadap Pembuat Kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang perlunya dibuat suatu peraturan pelaksanaan mengenai obat.

E. Sistematika Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 5 BAB yang meliputi :
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini dimulai dengan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika Penelitian.
BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini dimulai dengan menguraikan mengenai Hubungan Hukum Antara Dokter-Pasien Dalam Hal Pelayanan Kesehatan, lalu diikuti uraian mengenai Ketentuan Hukum Tentang Pemberian Obat, dan selanjutnya ditutup dengan Hak Pasien Atas Informasi Obat Dan Perlindungan Hukum Untuk Dokter.
BAB III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang Metode Pendekatan, Spesifikasi Penelitian, Jenis Data, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data.
BAB IV. GAMBARAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang Gambaran Kasus yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah X dan Dinas Kesehatan Kabupaten X beserta pembahasannya.
BAB V. PENUTUP
Bab ini memuat Kesimpulan serta Sara dan selanjutnya Penelitian ini akan ditutup dengan Daftar Pustaka.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:58:00

KAJIAN HUKUM TERHADAP PELUNASAN KREDIT DENGAN MENYERAHKAN JAMINAN KEPADA BANK DALAM MENYELESAIKAN KREDIT BERMASALAH

TESIS KAJIAN HUKUM TERHADAP PELUNASAN KREDIT DENGAN MENYERAHKAN JAMINAN KEPADA BANK DALAM MENYELESAIKAN KREDIT BERMASALAH (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Arah kebijakan pembangunan bidang ekonomi sesuai dengan GBHN adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan diprioritaskan berdasarkan sistem pembangunan di bidang ekonomi. Hal tersebut selaras dengan arah, kebijakan pembangunan di bidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
Upaya pembangunan ekonomi tersebut bukanlah semata-mata menjadi tugas pemerintah, tetapi sektor swasta juga memegang peranan yang sangat besar. Sektor swasta, baik perorangan maupun badan hukum dapat ikut melaksanakan pembangunan selain dari modal sendiri juga yang sangat diperlukan adalah pembiayaan yang diperoleh dari pengucuran kredit oleh bank. Dalam hal ini perbankan berfungsi sebagai pranata yang strategis dalam kegiatan perekonomian, karena kegiatan usahanya terutama menghimpun dana dan menyalurkan kredit. Secara etimologi kredit dapat diartikan pada dua kegiatan, yaitu menjual dengan kredit atau membeli dengan kredit. Kesamaan dari pengertian di atas terletak pada kegiatan pembayarannya, yaitu pembayaran yang dilakukan dengan angsuran. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya. Jadi seseorang yang telah mendapatkan kredit dari bank berarti ia telah mendapatkan kepercayaan dari bank tersebut.
Bank sebagai badan usaha dalam memberikan kredit kepada nasabahnya berusaha mendapatkan keuntungan. Dalam menjalankan usahanya, risiko yang mungkin timbul akibat pemberian kredit yaitu tidak kembalinya pinjaman yang telah diberikan. Risiko kredit merupakan risiko yang paling berpotensi dari seluruh potensi kerugian bank. Menurut Bank Indonesia dalam pedoman penerapan perkreditan, bank dalam melakukan pengelolaan kredit dengan cara mengidentifikasi, mengukur, memonitor, mengontrol risiko kredit, serta memastikan tersedianya modal yang cukup dan dapat diperoleh kompensasi yang sesuai atas risiko yang timbul. untuk melindungi bank dari kerugian, maka dalam Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Hal tersebut lebih dikenal dengan jaminan.
Mengingat pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut, lembaga jaminan ini memerlukan perhatian khusus dalam pembinaan hukumnya. Pembinaan hukum terhadap bidang hukum jaminan adalah konsekuensi logis yang merupakan perwujudan tanggung jawab dari pembinaan hukum mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam proyek pembangunan. Oleh karena lembaga jaminan bertugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik adalah : 
1. Jaminan yang secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya
2. Jaminan yang tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan/meneruskan usahanya
3. Jaminan yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk menerima utang si pemohon kredit.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian kredit untuk melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit harus memperhatikan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi sebagai berikut : 
"Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan".
Berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan yang sehat sebaiknya dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek. Asas yang digunakan dalam melakukan pertimbangan tersebut dikenal dengan sebutan the Five C 's of Credit Analysis atau prinsip 5 C, yang meliputi : 
1. Watak (Character)
2. Kemampuan (Capacity)
3. Modal (Capital)
4. Jaminan (Collateral), dan
5. Kondisi ekonomi (Condition of Economy).
Konsep 5 C ini pada prinsipnya akan dapat memberikan informasi mengenai itikad baik dan kemampuan membayar debitor untuk melunasi kembali pinjaman berikut bunga dan beban lainnya. 
Apabila bank telah memperoleh keyakinan atas kemampuan debitor untuk mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan yang lazim disebut dengan agunan pokok. Namun untuk mengamankan kepentingan bank selaku kreditor dalam hal debitor wanprestasi, bank tidak dilarang untuk meminta agunan tambahan di luar agunan pokok. Dalam prakteknya setiap memberikan fasilitas kredit, bank selalu meminta debitor menyerahkan jaminan untuk menjamin pelunasan utang debitor.
Benda yang dapat dijadikan objek jaminan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda tersebut juga harus memiliki nilai ekonomis sehingga mudah diuangkan sewaktu-waktu oleh kreditor jika debitor melakukan wanprestasi. Pada umumnya benda yang diserahkan antara lain hak atas tanah, rumah/bangunan, emas, deposito, mesin-mesin, bahan baku, stok barang dagangan dan sebagainya. Jaminan berupa hak atas tanah adalah jaminan yang lebih diminati oleh bank karena memberikan kepastian dan perlindungan bagi kreditor karena adanya ketentuan hukum yang lebih jelas dan nilai ekonomis yang pada umumnya terus meningkat.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), objek hak tanggungan harus telah dimiliki oleh pemberi hak tanggungan pada saat hak tanggungan dibebankan. Hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan hak tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Hal ini dikarenakan lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarnya hak tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya hak tanggungan yang bersangkutan.
Meskipun hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang hak tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan hak tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan di kemudian hari. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah dimaksudkan oleh UUHT sebagai "benda-benda yang berkaitan dengan tanah".
Pemberian kredit oleh bank memerlukan persyaratan yang dituangkan dalam suatu perjanjian kredit. Perjanjian yang merupakan hubungan hukum ini pada prinsipnya harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian kredit bank hingga saat ini belum terdapat pengaturannya secara khusus sehingga dalam pelaksanaannya diserahkan kepada kehendak para pihak yang mengikatkan diri. Dalam mengikatkan diri, debitor lebih diarahkan oleh bank untuk menyesuaikan dengan fasilitas-fasilitas kredit yang dapat diberikan oleh bank. Dalam berbagai fasilitas kredit dirumuskan klausula-klausula sebagai bentuk prestasi dan kontra prestasi yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Klausula yang disusun memiliki urgensi yang sangat besar bagi bank untuk menjamin pengembalian kredit tepat pada waktunya.
Kredit bermasalah bagi perbankan merupakan persoalan yang hingga saat ini belum ada suatu formulasi yang mumpuni. Penanganan kredit bermasalah oleh kreditor dilakukan dengan berbagai pendekatan, baik melalui proses litigasi maupun pendekatan non litigasi, hasilnya masih jauh dari harapan. Sementara itu dengan semakin meningkatnya jumlah kredit bermasalah hingga menekankan perbankan pada kondisi sulit sebagai konsekuensinya banyak diketengahkan berbagai kiat baru yang dilakukan bank untuk menagih kredit bermasalah.
Melalui praktek penyelesaian kredit bermasalah melalui pengadilan, bank sering mengalami kendala untuk menegakkan haknya terhadap penerapan hukum yang masih diatur oleh aturan-aturan zaman Belanda, seperti KUHD dan KUH Perdata ataupun aturan-aturan lain yang dianggap semakin usang. Di samping itu terdapat sesuatu yang keliru dalam proses pembentukan undang-undang yang terkesan bertele-tele, lamban dan kurang memenuhi opini publik, dan gambaran bahwa wakil rakyat yang berperan besar dalam pembentukan undang-undang yang menguasai persoalan secara baik, sehingga semakin menambah kurang kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Sistem hukum semakin rumit sehingga yurisprudensi banyak dijadikan sebagai alternatif untuk memproduksi hukum. Yurisprudensi yang digunakan oleh para hakim sering ditafsirkan secara sempit.
Undang-undang yang dibentuk sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 UUPA adalah UUHT yang diundangkan dan diberlakukan pada 9 April 1996. UUHT telah mengatur cara yang dapat dilakukan apabila kreditor/bank menghadapi kredit yang bermasalah, antara lain dengan memberikan hak kepada kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan dengan cara menjual benda objek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum seperti ditegaskan di dalam Pasal 6 UUHT yang menyebutkan bahwa : 
"Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut"
Menurut ketentuan KUH Perdata, kekuasaan menjual sendiri objek jaminan harus diperjanjikan terlebih dahulu, berbeda dengan pengaturan dalam UUHT yang memberikan secara langsung kekuasaan untuk menjual sendiri objek hak tanggungan, seperti yang diatur dalam Pasal 6 UUHT. Dengan adanya ketentuan Pasal 6 UUHT, diharapkan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara eksekusi objek jaminan dapat lebih optimal, sesuai dengan salah satu ciri dari hak tanggungan, yaitu mudah dan pasti dalam eksekusinya.
Mengenai kuat tidaknya pengikatan jaminan berupa hak tanggungan dimulai dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan format standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah dan Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan. Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya memuat perbuatan hukum membebankan hak tanggungan, tidak memuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan. Di samping membatasi mengenai substansinya, untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan tercapainya kepastian hukum, SKMHT itu juga dibatasi jangka waktu berlakunya sesuai dengan ketentuan dari Peraturan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996. Apabila persyaratan tentang jangka waktu itu tidak dipenuhi, maka SKMHT itu batal demi hukum. SKMHT diperlukan jika pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT. Pemberi hak tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasa dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik. Apabila pemberi hak tanggungan langsung memberikan hak tanggungan dengan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) maka SKMHT tidak diperlukan, kemudian dilakukan pembebanan hak tanggungan yang ditandai dengan pembuatan APHT.
APHT adalah akta otentik yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT yang ditandatangani kreditor sebagai penerima hak tanggungan dan pemilik hak atas tanah yang dijaminkan. APHT merupakan bentuk standar yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT. APHT ditandatangani oleh pemilik jaminan di hadapan PPAT kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan oleh PPAT. Kantor Pertanahan kemudian menerbitkan sertipikat hak tanggungan untuk diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan.
Pembuatan APHT ini menandai bahwa berdasarkan kesepakatan antara kreditor dan debitor, debitor telah menyerahkan jaminan hak tanggungan kepada kreditor untuk menjamin pelunasan hutang debitor apabila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan isi perjanjian kredit, yakni salah satunya berupa terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet. Melalui penyerahan ini tentunya hak-hak kreditor untuk menerima pelunasan dari debitor dapat terlindungi, sehingga risiko kerugian kreditor akibat kredit bermasalah debitor dapat dihindari.
Apabila kredit yang disalurkan oleh bank macet, hal inilah yang menjadi permasalahan bagi bank. Dengan demikian, berarti debitor sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian kredit yang dilakukan antara debitor dengan bank (kreditor), sehingga salah satu upaya yang dilakukan oleh bank untuk menyelamatkan dana yang telah digunakan oleh debitor adalah melalui eksekusi atas jaminan debitor yang diikat melalui pengikatan jaminan, seperti hak tanggungan, namun dalam prakteknya tidaklah semudah dan setegas apa yang diatur dalam undang-undang dan peraturan yang terkait lainnya.
Salah satu bentuk penyelesaian kredit macet yang dilakukan oleh bank adalah melalui penyerahan jaminan debitor kepada bank atau pengambilalihan asset debitor oleh bank. Praktek pelaksanaan penyerahan jaminan ini dilakukan karena terdapatnya berbagai hambatan atau kendala dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang merugikan pihak bank sebagai kreditor serta salah satu upaya jangka pendek bank untuk mengatasi tingginya jumlah kredit macet yang berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha bank itu sendiri.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 12 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa "Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan umum maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah/debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah :
1. Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan
2. Dilakukan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan
3. Berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan
4. Berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan
5. Debitor tidak memenuhi kewajiban kepada bank
6. Agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.
Dengan demikian, dalam rangka penyelesaian kredit macet, bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan melalui : 
1. Pelelangan
2. Di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan, atau kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan
Dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. Ketentuan bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan di luar pelelangan merupakan ketentuan yang penyempurnaan dari ketentuan yang mengatur hal yang sama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf ketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Melalui penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk membantu bank agar mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah/debitornya.
Dalam prakteknya, penyelesaian kredit melalui penyerahan jaminan ini cukup menyulitkan bank, khususnya bank swasta. Hal ini disebabkan karena berbagai ketentuan umum dalam Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh kreditor apabila debitor cidera janji. Selain itu, ketentuan tentang status hak milik atas tanah dan bangunan menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang tidak dapat dimiliki oleh badan hukum swasta nasional juga cukup menyulitkan bank. Oleh karena itu penyerahan jaminan secara sukarela dari debitor/pemilik jaminan kepada pihak bank dilakukan dengan cara memakai nama karyawan yang ditunjuk oleh bank.
Penyelesaian kredit macet melalui penyerahan jaminan telah lama digunakan oleh bank-bank di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Badan Penyehatan dan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengatasi bank-bank bermasalah di Indonesia pada akhir tahun 1990-an. Umumnya penyerahan jaminan dilakukan terhadap jaminan-jaminan berupa tanah dan bangunan serta benda-benda bergerak lainnya yang digunakan oleh debitor dalam kegiatan usahanya, seperti mesin pabrik, kendaraan dan Iain-lain. Namun tidak semua jaminan tersebut serta merta dapat diambil alih oleh bank apabila debitor wanprestasi. Akan tetapi melalui berbagai proses hukum dan pertimbangan bank apakah jaminan/agunan yang diambil alih bermanfaat bagi bank atau tidak.
Dalam prakteknya sendiri pelaksanaan penyerahan jaminan ini juga tidak terlepas dari berbagai masalah, terutama menyangkut kepentingan pihak ketiga yang secara tidak langsung berkaitan dengan jaminan atas tanah yang diikat dengan hak tanggungan tersebut. Selain itu, pelaksanaan penyerahan jaminan itu sendiri hanya bersifat sementara sebelum dialihkan kepada pihak lain melalui jual beli.
Setelah melihat berbagai hal-hal tersebut di atas yang melatarbelakangi timbulnya praktek pelaksanaan eksekusi hak tanggungan melalui penyerahan jaminan/pengambilalihan jaminan oleh pihak kreditor (bank) dan berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan penyerahan jaminan tersebut, di dalam penelitian ini akan diuraikan praktek pelaksanaan penyerahan jaminan oleh debitor kepada pihak bank sebagai salah satu alternatif penyelesaian kredit macet pada bank, khususnya di PT. Bank X 

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adapun latar permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah : 
1. Bagaimanakah proses penyerahan jaminan sebagai pelunasan kredit pada PT. Bank X ?
2. Apakah pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X telah sesuai dengan ketentuan yang ada ?
3. Permasalahan apa sajakah yang timbul dalam pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X dan bagaimana upaya penyelesaiannya ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui proses penyerahan jaminan sebagai pelunasan kredit pada PT. Bank X.
2. Untuk mengetahui pelunasan dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X telah sesuai dengan ketentuan yang ada.
3. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul dalam pelunasan kredit dengan menyerahkan jaminan kepada bank pada PT. Bank X dan upaya penyelesaiannya.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum jaminan kredit perbankan. 
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai pelaksanaan lembaga jaminan kredit perbankan di dalam masyarakat.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum jaminan kredit perbankan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:41:00