Cari Kategori

Showing posts with label pascasarjana. Show all posts
Showing posts with label pascasarjana. Show all posts

KONTRIBUSI PERILAKU KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA KOMITE SEKOLAH TERHADAP EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) PADA SMK X

Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa. Menyadari akan hal ini, pemerintah melakukan perubahan dan penyempurnaan pengelolaan pendidikan yang salah satunya dikenal dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat (2002 : 45) mengisyaratkan bahwa implementasi MBS akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sifatnya internal di lingkungan sekolah, ataupun faktor eksternal di luar sekolah, yaitu : (1) kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik, (2) kondisi sosial, ekonomi, dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan, (3) dukungan pemerintah, dan (4) profesionalisme.

Selanjutnya, Rivai (2009 : 148) mengemukakan :
Dalam mengimplementasikan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Kepala sekolah harus tampil sebagai motivator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara personal harus terlibat dalam setiap proses pembahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan mutu total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan baik di dalam sekolah itu sendiri maupun dengan sekolah lain.

Dengan demikian, konsep MBS mengharuskan kepala sekolah untuk berperan aktif dalam mengkoordinasikan, menggerakan, dan menyelaraskan segala sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepala sekolah harus memiliki visi dan misi kelembagaan serta semangat untuk maju dan mengabdi dalam mencapai tujuan dan program-program pendidikan yang telah ditetapkan.

Faktor lain yang mempengaruhi pelaksanaan MBS adalah partisipasi warga masyarakat melalui wadah Komite Sekolah. Dalam hal ini, Satori dan Fattah (2001 : 99) menyatakan : "Sekolah perlu memberdayakan masyarakat melalui Komite Sekolah dengan mengajak bekerja sama dalam memanfaatkan potensi yang ada sehingga semua sumber daya berkembang secara maksimal sesuai dengan kapabilitas masing-masing. Kebersamaam merupakan potensi yang amat vital untuk membangun masyarakat menciptakan demokratisasi pendidikan".

Dengan MBS diharapkan dapat mendorong terciptanya peningkatan pelayanan pendidikan kepada masyarakat dengan muaranya pada upaya peningkatan kualitas pengelolaan pendidikan pada tataran yang paling bawah yaitu sekolah. Oleh sebab itu, penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan model implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan yang dapat dianalisis dan dipahami melalui apa yang senyatanya terjadi sesudah program atau kebijakan dirumuskan dan dinyatakan berlaku.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja komite sekolah dalam mengimplementasikan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan demikian, rumusan judul pada penelitian ini adalah : "Kontribusi Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kinerja Komite Sekolah terhadap Efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri di Kabupaten X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini difokuskan pada kontribusi perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja komite sekolah terhadap efektivitas implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri di Kabupaten X. Dengan demikian, adanya otonomi pengelolaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan dan untuk mengimplementasikan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sangat diperlukan figur kepala sekolah yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan kredibilitas serta daya juang yang tinggi sehingga dapat memberdayakan segala sumber daya yang ada, termasuk sumber daya masyarakat yang diorganisasikan dalam wadah komite sekolah. Untuk itu, diperlukan kesamaan persepsi dari seluruh elemen pendidikan yang ada di sekolah tentang pentingnya konsistensi implementasi kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Sekolah Menengah Kejuruan Negeri di Kabupaten X dalam mengimplementasikan kebijakan MBS ini adalah analisis terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi sehingga kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan yang ada dapat melahirkan program-program yang realistis dan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, kepala sekolah selaku pemimpin dalam lembaga pendidikan (sekolah) hendaknya dapat memacu partisipasi masyarakat melalui wadah komite sekolah.

Atas dasar itu, maka masalah-masalah penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) lingkungan pendidikan pada SMK Negeri di Kabupaten X?
2. Bagaimana persepsi kepala sekolah dan komite sekolah SMK Negeri di Kabupaten X terhadap implementasi MBS?
3. Bagaimana perilaku kepemimpinan kepala sekolah SMK Negeri di Kabupaten X dalam mengimplementasikan MBS?
4. Bagaimana peran komite sekolah SMK Negeri di Kabupaten X dalam mengimplementasikan MBS?
5. Bagaimana persepsi guru SMK Negeri di Kabupaten X terhadap kemampuan manajerial kepala sekolahnya dalam mengimplementasikan MBS?
6. Seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X?
7. Seberapa besar kontribusi kinerja komite sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X?
8. Seberapa besar pengaruh perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja komite sekolah pada SMK Negeri di Kabupaten X?
9. Seberapa besar pengaruh kinerja komite sekolah terhadap perilaku kepemimpinan kepala sekolah pada SMK Negeri di Kabupaten X?
10. Seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja komite sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X?

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, perumusan masalah penelitian ini difokuskan pada, "Seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja komite sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X?".
Adapun sub masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X?
2. Seberapa besar kontribusi kinerja komite sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui besarnya kontribusi perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X.
2. Mengetahui besarnya kontibusi kinerja komite sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X.
3. Mengetahui besarnya kontibusi perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja komite sekolah secara simultan terhadap efektivitas implementasi MBS pada SMK Negeri di Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan wawasan tentang ilmu administrasi pendidikan baik pada tingkat makro di lembaga birokrasi pendidikan, maupun pada tingkat mikro di tingkat satuan pendidikan (sekolah).
Khususnya pada tingkat sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan model-model baru kerjasama antara kepala sekolah dengan komite sekolah dalam mengimplementasikan kebijakan MBS sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi masukan kepada pihak sekolah, khususnya kepala sekolah, agar dapat memberdayakan masyarakat melalui wadah komite sekolah.
b. Memberi masukan kepada kepala sekolah dan komite sekolah dalam bekerja sama meningkatkan mutu pendidikan melalui pengimplementasian kebijakan MBS dengan menggalang dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap program-program sekolah.
c. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten X, yang bertanggungjawab dalam memajukan lembaga pendidikan di wilayahnya dengan melibatkan peranserta masyarakat. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi umpan balik (feedback) dan evaluasi terhadap pemberlakuan kebijakan MBS dan komite sekolah, sehingga dapat diambil langkah-langkah antisipatif dan mencari solusi untuk memecahkan permasalahan yang timbul dari kebijakan tersebut sehingga Manajemen Berbasis Sekolah dan Komite Sekolah dapat berfungsi secara efektif.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:39:00

KINERJA PENGAWAS DAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SEKOLAH

Pendidikan mempunyai tingkat akurasi yang tinggi dengan urgensi dan signifikansi yang memadai bagi kehidupan manusia. Ini semua terindikasi dari fungsi strategis pendidikan, yaitu bahwa pendidikan dapat difungsikan sebagai proses sosialisasi dalam memasyarakatkan nilai nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan. Pendidikan juga dapat difungsikan sebagai proses perkembangan, yakni upaya pengembangan potensi manusia secara maksimal untuk mewujudkan cita-citanya dalam kehidupan yang kongkrit.

Disamping itu pendidikan juga merupakan salah satu bidang yang sangat penting untuk menunjang kehidupan masyarakat dalam menyesuaikan perkembangan dunia. Oleh karena itu pemerintah membuat undang-undang tentang pendidikan guna memenuhi kebutuhan yang selalu berkembang. 

Untuk mengatasi perkembangan tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberi arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan, yang meliputi : (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian.

Implikasi dari hal tersebut bermakna bahwa tingkat pentingnya pendidikan menuntut pada upaya-upaya untuk menyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistematis serta antisipatif terhadap perubahan yang terjadi. Sebab pendidikan akan selalu berubah seiring dengan perubahan jaman, sehingga proses yang terjadi di dalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia/pengembangan potensi manusia, yang pada akhirnya akan berdampak pada makin meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat.

Pengawas, Kepala Sekolah dan guru merupakan tenaga pendidik dan kependidikan yang mutlak terstandarisasi kompetensinya secara nasional menurut PP No 19 tahun 2005 di atas. Karena pengawas, kepala sekolah dan guru adalah tiga unsur yang berperan aktif dalam persekolahan. Guru sebagai pelaku pembelajaran yang secara langsung berhadapan dengan para siswa di ruang kelas, dan pengawas serta kepala sekolah adalah pelaku pendidikan didalam pelaksanaan tugas Kepengawasan dan menejeririal pendidikan yang meliputi tiga aspek yaitu supervisi, pengendalian dan inspeksi kependidikan.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, guru, pengawas maupun kepala sekolah, dituntut keprofesionalannya untuk melaksanakaan tugas pokok dan fungsinya sesuai tuntutan kompetensi guru, pengawas maupun kepala sekolah yang tertuang dalam Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas nomor 12 tahun 2007 tentang Pengawas. Guru sebagai penjamin mutu pendidikan di ruang kelas, sementara pengawas dan kepala sekolah adalah penjamin mutu pendidikan dalam wilayah yang lebih luas lagi. Pada era otonomi sekarang ini, sekolah harus berubah kearah yang sesuai dengan tuntutan masa, agar tidak ketinggalan zaman. Jam'an Satori (1999) dalam Dadang Suhardan (2006 : 8-9) menyatakan bahwa : 

...perubahan yang seharusnya terjadi di sekolah pada era otonomi pendidikan terletak pada : (1). Peningkatan kinerja staf, (2). Pengelolaan sekolah menjadi berbasis lokal, (3). Efisiensi dan efektivitas pengelolaan lembaga, (4). Akuntabilitas, (5). Transparansi, (6). Partisipasi masyarakat, (7) Profesionalisme pelayanan belajar, dan (8). Standarisasi.

Kedelapan aspek tersebut seharusnya membawa sekolah kepada keunggulan mutu lembaga, sebab sekolah memiliki keleluasaan dalam melaksanakan peningkatan mutu layanan belajar, namun kenyataannya belum terjadi. Menurut Dadang Suhardan (2006 : 9) : "...Sekolah-sekolah kini belum mampu memberi layanan belajar bermutu karena belum mampu memberi kepuasan belajar peserta didiknya"

Usaha apapun yang telah dilakukan pemerintah mengawasi jalannya pendidikan untuk mendobrak mutu bila tidak ditindak lanjuti dengan pembinaan gurunya, maka tidak akan berdampak nyata pada kegiatan layanan belajar dikelas. Kegiatan pembinaan guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam setiap usaha peningkatan mutu pembelajaran. Disatu pihak peranan pengawas dan kepala sekolah didalam pembinaan dan pengembangan kompetensi profesional guru sangat signifikan terhadap produktivitas dan efektifitas kinerja guru tersebut.

Kinerja pengawas satuan pendidikan yang profesional tampak dari unjuk kerjanya sebagai pengawas dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya menampilkan prestasi kerja atau performance hasil kerja yang baik, serta berdampak pada peningkatan prestasi dan mutu sekolah binaannya. Dalam MBS misalnya, kinerja pengawas tentunya juga akan nampak secara tidak langsung dalam mengupayakan bagaimana Kepala Sekolah : memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia, terwujudkannya visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Bagaimana kemampuan manajemen dan kepemimpinan kepala sekolah mampu mengambil inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.

Kinerja pengawas satuan pendidikan juga tampak dampaknya pada bagaimana guru menerapkan PAKEM (pembelajaran siswa yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan), bagaimana pemahaman guru tentang implikasi dari implementasi MBS, penilaian portofolio dalam penilaian (Masdjudi, 2002).

Selain itu kinerja pengawas satuan pendidikan juga berkaitan dengan kiprah dan keberadaan komite sekolah dan peran serta orang tua dan masyarakat dalam pendidikan.

Jadi kinerja pengawas diartikan sebagai unjuk kerja atau prestasi kerja yang dicapai oleh pengawas yang tercermin dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, kreativitas dan aktivitasnya dalam proses kepengawasan, komitmen dalam melaksanakan tugas, karya tulis ilmiah yang dihasilkan serta dampak kiprahnya terhadap peningkatan prestasi sekolah yang menjadi binaannya.

Agar mutu lulusan meningkat, pengawas, kepala sekolah dan guru serta staf bekerja sama dalam mengupayakan kelancaran proses belajar sebagai upaya mengadakan perubahan yang dapat meningkatkan produktivitas sakolah. Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini hendaknya melaksanakan fungsi fungsi kepemimpinan, baik yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan yang efektif dan efisien menuju produktifitas yang bermutu. Seperti yang diungkapkan oleh Widodo S (2007) bahwa;

Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa produktifitas pendidikan harus dimulai dari menata SDM tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Hal kedua adalah bahwa penataan SDM harus dilaksanakan dengan prinsip efektifitas dan efisien karena efektifitas dan efisien adalah kriteria dan ukuran yang mutlak bagi produktifitas pendidikan untuk menghasilkan lulusan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Fenomena di lapangan, khususnya di Kota Administrasi X menunjukkan bahwa produktifitas sekolah di SMPN perlu ditingkatkan diantaranya dengan mengoptimalkan kinerja pengawas dan kepemimpinan kepala sekolah.

B. Identifikasi masalah
Sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang masalah, pada organisasi pendidikan terutama sekolah menghadapi berbagai masalah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan terutama program pembelajaran.

Keberhasilan pelaksanaan pendidikan di sekolah tidak terlepas dari peranan pengawas, kepala sekolah dan guru. Tugas pokok guru adalah mengajar dan membantu siswa menyelesaikan masalah masalah belajar dan perkembangan pribadi dan sosialnya. Kepala sekolah memimpin guru dan siswa dalam proses pembelajaran serta membantu mengatasi masalah yang dihadapi. Pengawas melakukan supervisi dan memberikan bantuan kepada kepala sekolah, guru dan siswa dalam mengatasi persoalan yang dihadapi selama proses pendidikan berlangsung.

Terdapat berbagai pemicu timbulnya permasalahan di lingkungan sekolah yang terkait dengan pengelolaan sekolah dan kegiatan belajar mengajar, masalah tersebut diantaranya berhubungan dengan kinerja pengawas, serta kepemimpinan kepala sekolah yang belum maksimal dalam upaya peningkatan produktivtas sekolah

Terkait dengan masalah tersebut di atas, seharusnya ada penerapan pengelolaan sekolah secara terpadu, terutama yang ada pengaruhnya terhadap peningkatan produktivitas sekolah, seperti :
1. Pemberian motivasi kepada guru guru untuk melaksanakan program kegiatan belajar mengajar sesuai dengan yang diharapkan.
2. Membangun rasa percaya diri kepada guru guru agar mempertinggi semangat kerja untuk berbuat yang maksimal.
3. Menciptakan suasana yang kondusif, dan iklim kerja yang mendukung terciptanya suasana yang menyenangkan dalam proses belajar mengajar.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut :
Beberapa Sekolah Menengah Pertama Negeri yang terdapat di Kota Administrasi X, diduga belum melaksanakan pengelolaan sekolah secara maksimal terutama yang dikaitkan dengan peran kinerja pengawas dan kepemimpinan kepala sekolah dalam menjalankan visi, misi dan tujuan sekolah dalam rangka untuk mencapai peningkatkan produktivitas sekolah sebagaimana yang diharapkan.
Pengawasan/supervisi pendidikan bermaksud meningkatkan kemampuan profesional dan teknis bagi guru, kepala sekolah dan personil sekolah lainnya agar proses pendidikan di sekolah lebih berkualitas.

Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah hendaknya memberikan motivasi kepada guru, sehingga guru guru terdorong untuk melakukan proses pembelajaran dengan baik, dan menghasilkan kinerja yang maksimal dalam pelaksanaan pembelajaran. Maka dari itu harus ada kerjasama antara kepala sekolah dan guru guru untuk mencapai produktivitas sekolah yang baik. Kepala sekolah harus membuat pembaharuan, memberikan motivasi yang tinggi, memiliki visi ke depan. Begitu halnya dengan guru harus meningkatkan kinerjanya secara maksimal serta mengembangkan ilmu pengetahuan melalui pelatihan pelatihan agar tercapai kualitas sekolah yang diharapkan dalam peningkatan produktivitas sekolah.

Produktivitas sekolah yang baik dan bermutu akan menjadikan sekolah yang unggul dan pavorit. Sekolah yang menghasilkan siswa yang bermutu tentunya merupakan kepuasan bagi masyarakat dan orang tua.
Adapun Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitiannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kinerja pengawas di SMP Negeri Kota Administrasi X ?
2. Bagaimana gambaran kepemimpinan kepala sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X ?
3. Bagaimana gambaran peningkatan produktivitas sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X ?
4. Seberapa besar pengaruh kinerja pengawas terhadap peningkatan produktivitas sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X ?
5. Seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap peningkatan produktivitas sekolah di SMP Negeri Kota Aministrasi X ?
6. Seberapa besar pengaruh kinerja pengawas terhadap kepemimpinan kepala sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X ?
7. Seberapa besar pengaruh kinerja pengawas dan kepemimpinan kepala sekolah secara bersama-sama terhadap peningkatan produktivitas sekolah di SMP Negeri kota Administrasi X.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuat diskripsi analitis mengenai peran kinerja pengawas dan kepala sekolah sebagai pimpinan yang bertanggung jawab langsung dalam penyelenggaraan pendidikan serta membangun rasa percaya diri kepada guru agar bekerja lebih maksimal. Pengawas, kepala sekolah dan guru berkomunikasi untuk menfokuskan berbagai usaha untuk mencapai produktivitas sekolah yang diharapkan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu;
1. Untuk mengetahui gambaran kinerja pengawas di SMP Negeri Kota Administrasi X.
2. Untuk mengetahui gambaran kepemimpinan kepala sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X.
3. Untuk mengetahui gambaran peningkatan produktivitas sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X.
4. Untuk menganalisa seberapa besar pengaruh kinerja pengawas terhadap peningkatan produktivitas sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X.
5. Untuk menganalisa seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala sekolah terhadap peningkatan produktivitas sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X.
6. Untuk menganalisa seberapa besar pengaruh kinerja pengawas terhadap kepemimpinan kepala sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X.
7. Untuk menganalisa seberapa besar pengaruh kinerja pengawas dan kepemimpinan kepala sekolah terhadap peningkatan produktivitas sekolah di SMP Negeri Kota Administrasi X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis
Secara teoritis diharapkan dari penelitian ini diperoleh desain pengembangan produktifitas sekolah di SMPN Kota X oleh Pengawas dan kepala sekolah dengan segala aspek-aspek yang mempengaruhi proses implementasinya
2. Manfaat secara praktis
a. Bagi guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan guru dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam proses kegiatan belajar mengajar, sehingga dapat lebih meningkatkan kualitas pembelajarannya.
b. Bagi pengawas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dan bahan pertimbangan dalam penetapan model pembinaan dan layanan supervisi terhadap efektivitas mengajar guru di sekolah.
c. Bagi kepala sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dan bahan pertimbangan dalam model pembinaan terhadap guru dan karyawan dalam meningkatkan produktivitas sekolah.
d. Bagi Suku Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah Kota Administrasi X.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan dan pengembangan serta implementasi supervisi pendidikan dan pembinaan kepala sekolah pada jenjang satuan pendidikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:38:00

MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP ETOS KERJA GURU SMK

Profesionalisasi guru telah banyak dilakukan namun pelaksanaannya masih dihadapkan pada berbagai kendala, baik dilingkungan Depdiknas, maupun di lembaga pencetak guru. Kendala yang muncul di lembaga pencetak guru antara lain : tidak adanya lembaga secara khusus untuk menangani dan menyiapkan guru seperti IKIP pada masa lalu. Kemudian profesi guru belum menjadi pilihan utama bagi lulusan sekolah menengah, sehingga kualitas masukan (input) nya rendah.

Untuk merekayasa Sumber Daya Manusia yang berkualitas, dan yang mampu bersaing dengan Negara maju, diperlukan guru serta tenaga kependidikan profesional yang mempakan penentu utama sebagai ujung tombak keberhasilan dibidang pendidikan. Hasil penelitian para ilmuan : Murphy, (1992), Brand, (1993), Cheng dan Wong, (1996), Supriadi, (1998 : 178), Jalal dan Mustafa, (2001) Buku E. Mulyasa, (2008 : 8-9) sedikitnya ada tujuh indikator yang menunjukkan lemahnya kinerja guru dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai pengajar yaitu : (a) rendahnya pemahaman tentang strategi pembelajaran, (b) kurangnya kemahiran dalam mengelola kelas, (c) rendahnya kemampuan melakukan dan memanfaatkan penelitian tindakkan kelas (d) rendahnya motivasi berprestasi, (e) kurang disiplin, (f) rendahnya komitmen profesi, (g) serta rendahnya kemampuan manajemen waktu.

Akadum (1999 : 1-2) menilai bahwa, rendahnya kompetensi guru dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain : (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat, (4) masih belum smooth-nya perbedaan tentang proporsi, materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Selanjutnya, Ani M. Hasan (2006 : 6) mengemukakan bahwa rendahnya profesionalisme guru disebabkan : (1) masih banyaknya guru yang tidak menekuni profesinya secara profesional. Dalam hal ini dapat dilihat dari banyaknya guru yang bekerja di luar jam kerjanya, hal ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga tidak ada waktu untuk membaca dan menulis atau melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kemampuan dirinya; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi dalam memperhitungkan sistem output, kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada calon guru diperguruan tinggi.

Dengan demikian diperlukan suatu kebijakan pendidikan dalam rangka mengembangkan kompetensi profesional guru serta pedoman kebijakan teknis yang dapat membantu bidang pendidikan yang berisi panduan untuk meningkatkan kompetensi guru khususnya guru SMK untuk dapat dilaksanakan di setiap wilayah propinsi di seluruh Indonesia. Hal ini bertujuan untuk : (1) Memberikan pedoman untuk mengembangkan kompetensi guru SMK kepada para pejabat Dinas dan Pendidikan dan Pengajaran (Dinas P dan P) di setiap wilayah propinsi di Indonesia, (2) Memberikan acuan dalam menyelenggarakan pengembangan kompetensi guru SMK, (3) Meningkatkan kompetensi personal, profesional dan sosial dari guru-guru SMK, dan (4) Meningkatkan profesionalitas guru SMK.

Secara umum, kompetensi guru mempakan "seperangkat kemampuan, baik bempa pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dituntut untuk jabatan sebagai guru", Kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Kemudian kompetensi seorang guru dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu : kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi personal/kepribadian yang dijabarkan dalam penampilannya ketika menjalankan tugas serta fungsinya sebagai tenaga pendidik (Indra Djati Sidi, 2002 : 9).

Untuk itu komponen sumber daya manusia yang mempunyai etos kerja tinggi sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya kompetensi yang disebutkan di atas. Ternyata etos kerja yang tinggi harus didukung oleh disiplin dan motivasi yang tinggi pula. Motivasi mempakan daya penggerak baik yang ditimbulkan dari dalam maupun dari luar diri. Dengan adanya motivasi dimungkinkan dalam melaksanakan tugasnya akan berjalan dengan baik. Edwin B. Flippo (Hasibuan, 2006 : 143) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya. Makna ungkapan di atas menunjukkan bahwa dengan adanya motivasi seorang individu akan berusaha dengan sekuat tenaga agar mampu mencapai apa yang diinginkan.

Berkenaan dengan motivasi ini, maka motivasi akan ditentukan oleh adanya motivasi yang datang dari dalam diri dan yang datang dari luar diri seseorang. Menurut Abin Syamsudin (1999 : 29) motif dapat tumbuh dan berkembang dengan dua jalan yaitu yang datang dari dalam diri individu itu sendiri (instrinsik) dan yang datang dari lingkunag (ekstrinsik). Dengan dengan motif akan aktif dan menjadi kuat dalam diri seseorang karena pengaruh faktor-faktor yang ada dalam dirinya maupun yang berasal dari luar dirinya.

Melalui motivasi dan disiplin yang tinggi seorang guru mampu menunjukkan etos kerjanya. Etos kerja guru adalah sebagai aktualisasi komponen profesional yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal artinya faktor yang berada di dalam diri guru itu sendiri, sedangkan faktor eksternal artinya faktor yang berada di luar dirinya.

Faktor internal yang berhubungan dengan etos kerja guru antara lain : keterampilan, kualifikasi pendidikan, disiplin, motivasi, moral, dan persepsi terhadap profesi. Faktor eksternal yang berhubungan dengan etos kerja guru antara lain : peraturan organisasi, kepemimpinan, imbalan (reward), dan hukuman (punishment) yang diterima, serta pendidikan dan pelatihan yang pernah diikutinya.

Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak diantara guru yang cenderung kurang bisa memanfaatkan kesempatan atau waktu luangnya untuk berkreativitas. Hal ini dapat dilihat dari ketidakseriusan guru, masih kurangnya dorongan dari diri sendiri untuk mampu menunjukkan perannya sebagai guru profesional. Kurangnya motivasi ini terlihat dari sikap yang tidak disiplin dalam segala hal, seperti yang ditemukan dilapangan masih terdapat sejumlah guru datang terlambat mengajar, masih ada guru memberikan catatan sampai jam berakhir, masih terdapat guru yang tidak disiplin waktu, datang dan pulang tidak menandatangani daftar hadir, dan masih terdapat guru yang tidak memiliki perangkat persiapan mengajar yaitu, RPP. Fenomena ini tentu akan berimbas kepada tingkat etos kerja yang rendah.

Atas dasar pentingnya kompetensi profesional guru, disiplin dan motivasi yang diperlukan saat sekarang dan masa mendatang, penulis sangat tertarik untuk melakukan sebuah penelitian terhadap guru-guru SMK bidang Teknologi dan Industri yang ada di Kabupaten X dengan Judul : "PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP ETOS KERJA GURU SMK BIDANG TEKNOLOGI DAN INDUSTRI DI KABUPATEN X".

B. Identifikasi Masalah
Kompetensi guru adalah mempakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Guru sebagai orang yang perilakunya menjadi panutan siswa dan masyarakat pada umumnya harus dapat mengimplementasikan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dicapai dalam tujuan nasional maupun sekolah. Kegiatan pembelajaran, dan hasil belajar peserta didik tidak saja ditentukan oleh manajemen sekolah, kurikulum, sarana dan prasarana pembelajaran, tetapi sebagian besar ditentukan oleh guru.

Peningkatan etos kerja dan pengembangan kompetensi guru dapat dilaksanakan melalui pembinaan disiplin dan motivasi yang terencana dengan baik dan berkesinambungan karena tantangan yang dihadapi dunia pendidikan semakin berat dan kompleks. Permasalahan yang muncul adalah :
1. Apakah motivasi kerja guru memiliki pengaruh terhadap etos kerja?.
2. Apakah disiplin kerja guru memiliki pengaruh terhadap etos kerja?
3. Apakah kompetensi profesional guru rendah diakibatkan oleh etos kerja?.
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut perlu ditinjau kembali tentang
disiplin kerja dan motivasi kerja guru terhadap etos kerja, dalam mengembangkan kompetensi profesional guru kejuruan yang telah dimiliki saat ini serta kompetensi ideal yang harus dimiliki.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, agar tidak terjadi salah penapsiran dalam penelitian ini maka penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Pengaruh motivasi guru terhadap etos kerja dalam menjalankan tugasnya.
2. Pengaruh disiplin guru terhadap etos kerja.
3. Pengaruh rendahnya kompetensi profesional guru diakibatkan oleh etos kerja.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi telah dikemukan, maka penelitian ini dapat dimmuskan yaitu : "Adakah pengaruh yang signifikan antara motivasi dan disiplin kerja terhadap etos kerja?. Hal ini dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan penelitian dalam mengambil data dilapangan berupa data olahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh motivasi guru terhadap etos kerja?.
2. Bagaimanakah pengaruh disiplin guru terhadap etos kerja?.
3. Bagaimanakah pengaruh motivasi dan disiplin guru terhadap etos kerja guru?.

E. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan etos kerja guru serta menemukan upaya untuk meningkatkannya secara optimal. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengaruh motivasi guru terhadap etos kerja guru.
2. Pengaruh disiplin guru terhadap etos kerja guru.
3. Pengaruh disiplin dan motivasi guru terhadap etos kerja.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yang berkaitan dengan peningkatan etos kerja guru, agar tercipta kondisi pada guru SMK kompetensi profesional.
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap prinsip-prinsip serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan etos kerja guru SMK.
b. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pihak-pihak terkait dalam upaya mengembangkan dan merencanakan program peningkatan kompetensi profesional dan etos kerja guru SMK. Beberapa manfaat praktis yang ingin dicapai melalui penelitian ini antara lain sebagai berikut : 

Pertama, bagi guru dalam mendorong perilakunya untuk meningkatkan kompetensi profesional secara mandiri sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab profesi yang diembannya;

Kedua, bagi kepala sekolah dalam membimbing, membina, serta mengarahkan guru untuk mendorong atau memberi motivasi terhadap peningkatan etos kerjanya.

Ketiga, bagi penyelenggara dan pembina program pendidikan sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan serta menyusun rencana program peningkatan semangat kerja guru untuk merealisasikan pengembangan kompetensi profesional sebagai tanggung jawabnya; dan Keempat, bagi peneliti selanjutnya sebagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan etos kerja guru sebagai salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan di masa mendatang.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:35:00

PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

 ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENYAJIAN MASALAH PENELITIAN

A. Latar Belakang Masalah
Direktorat Penilaian Kekayaan Negara adalah unit organisasi setingkat eselon II yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara diberi tugas untuk melaksanakan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, analisis, supervisi, evaluasi, rekomendasi, dan pelaksanaan tugas di bidang penilaian kekayaan negara, berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
Direktorat Penilaian Kekayaan Negara mulai dibentuk pada pertengahan tahun 2006 seiring dengan pengembangan organisasi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Pada awal pembentukannya, sebagai unit organisasi yang relatif baru, pengisian jabatan Eselon II dan Eselon III pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara berasal dari promosi pejabat atau pegawai yang berada satu tingkat di bawahnya. Hal ini dilakukan karena untuk menduduki jabatan pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara di samping harus memiliki kemampuan manajerial atau kepemimpinan, juga dibutuhkan keahlian khusus di bidang penilaian. Di lain pihak, jumlah pejabat yang memiliki keahlian di bidang penilaian jumlahnya masih relatif sedikit.
Pada pertengahan tahun 2007, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mencanangkan program penertiban barang milik negara, yang didalamnya termasuk kegiatan penilaian atas barang milik negara yang berada pada seluruh Kementerian/Lembaga yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Program tersebut harus diselesaikan pada bulan Maret 2010. Selain melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam penyusunan kebijakan teknis penilaian, pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara juga harus melakukan pelayanan penilaian atas permohonan pemanfaatan atau pemindahtanganan barang milik negara yang diajukan oleh pimpinan Kementerian/Lembaga serta memberikan bantuan teknis penilaian kepada instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang tersebar di seluruh Indonesia. Beban kerja yang tinggi serta tuntutan kinerja yang semakin baik dan pencapaian target yang harus diselesaikan telah mendorong jajaran pimpinan untuk mendorong kinerja para pegawai. Akibatnya tanpa disadari para pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara lebih berorientasi pada tugas dibanding orientasi pada hubungan manusia. Di sisi lain, kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara memiliki potensi risiko yaitu merugikan keuangan negara, apabila hasil penilaiannya ternyata dibawah nilai yang seharusnya atau batalnya pemanfaatan atau pemindahtanganan barang milik negara, apabila hasil penilaiannya terlalu tinggi. Gaya kepemimpinan Pejabat Direktorat Penilaian Kekayaan Negara yang demikian sering kali dikeluhkan oleh Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai pelaksana dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Keluhan tersebut mengindikasikan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai pelaksana dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum mendapatkan kepuasan yang optimal atas gaya kepemimpinan Pejabat di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, pada tahun 2007 Menteri Keuangan mencanangkan secara resmi program reformasi birokrasi sebagai program prioritas di Kementerian Keuangan. Program reformasi birokrasi mencakup penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia. Penataan organisasi meliputi modernisasi dan pemisahan, penggabungan, serta penajaman fungsi organisasi. Perbaikan proses bisnis meliputi analisa dan evaluasi jabatan, analisa beban kerja, dan penyusunan standard operating procedure (SOP). Sedangkan peningkatan manjemen sumber daya manusia meliputi penyelenggaraan pendidikan dan latihan berbasis kompetensi, pembangunan assessment , penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin dan pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Pegawai.
Sebagai bagian dari program reformasi birokrasi, untuk meningkatkan kinerja pegawai dan mengurangi tindak korupsi, pada akhir tahun 2007 para pegawai Kementerian Keuangan termasuk pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara diberikan remunerasi yang besarannya tergantung dari grading jabatan yang diukur berdasarkan beban kerja dan risiko pekerjaannya. Dengan demikian, besaran penerimaan yang diterima masing-masing pegawai berbeda-beda. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, program reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan telah memberikan perbaikan penghasilan, namun dengan adanya penilaian kinerja yang cukup ketat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.01/2008 tentang Pedoman Penetapan, Evaluasi, Penilaian, Kenaikan dan Penurunan Jabatan dan Peringkat Bagi Pemangku Jabatan Pelaksana di Lingkungan Kementerian Keuangan, para pegawai merasakan adanya tuntutan pekerjaan yang semakin berat dan menuntut penyelesaian yang semakin cepat dan akurat, sehingga dirasakan besaran penghasilan yang diterima belum memenuhi harapan para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Rumitnya penggunaan fasilitas asuransi kesehatan serta kecilnya besaran pertanggungan juga belum sesuai dengan harapan para pegawai. Tidak adanya perlindungan asuransi jiwa dalam pelaksanaan pekerjaan para pegawai serta kebijakan cuti bersama juga sering dikeluhkan oleh para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, patut diduga bahwa kompensasi finansial yang diterima belum memberikan kepuasan yang optimal bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Saat ini pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara menempati separuh lantai 6 Gedung Syafrudin Parwiranegara yang kondisinya telah cukup tua, pernah mengalami kebakaran sebanyak dua kali, mengalami keretakan pada struktur bangunan, dan mengalami kemiringan sebesar tiga centi meter akibat gempa yang mengguncang Jakarta pada tahun 2009. Ruangan Pejabat Eselon II dan III dipisahkan oleh sekat atau partisi, sedangkan ruangan eselon IV dan pelaksana menggunakan satu ruangan terbuka yang tidak dipisahkan oleh sekat atau partisi. Karena ruangan tidak sebanding dengan jumlah pegawai, maka meja pegawai berdesakan dan mengakibatkan suhu di ruangan terasa panas. Di samping itu, kenyamanan pegawai dalam bekerja terganggu karena kegaduhan dan privasi pegawai kurang terjaga. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, patut diguga bahwa kondisi kerja yang ada saat ini belum memberikan kepuasan yang optimal bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Untuk mencapai tujuan organisasi, sumber daya organisasi baik sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal harus dikelola secara efektif dan efisien. Di antara sumber daya tersebut, sumber daya manusia mempunyai peran yang sangat penting bagi pencapaian tujuan organisasi karena seluruh sumber daya organisasi dikendalikan oleh sumber daya manusia. Oleh karena itu, pengelolaan atau manajemen sumber daya manusia harus dilakukan secara hati-hati mengingat baik subjek maupun objek pengelolaannya adalah manusia. Di samping itu, upaya pencapaian tujuan organisasi sering menghadapi kendala yang berasal dari sumber daya manusia, yang salah satu sumber penyebabnya adalah adanya ketidakpuasan kerja dari para pegawainya yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai maupun kinerja organisasi.
Berdasarkan hasil pengamatan, diduga kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum memberikan kepuasan kerja yang optimal bagi pelaksana dan Pejabat Eselon IV Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Oleh karena itu, pimpinan perlu menaruh perhatian pada usaha-usaha untuk memberikan kepuasan kerja, karena kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja. Pada saat pegawai merasakan kepuasan dalam bekerja maka pegawai tersebut dengan segenap kemampuan yang dimilikinya akan berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugasnya yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi organisasi. Dari sisi organisasi, kepuasan kerja pegawai secara langsung maupun tidak langsung akan pengaruh terhadap produktivitas organisasi. Ketidakpuasan pegawai merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik pimpinan bawahan dan perputaran pegawai.
Sedangkan dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Penelitian mengenai kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan pegawai, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, dan masyarakat. Atas dasar fakta-fakta yang ada di lapangan perlu dilakukan penelitian apakah kompensasi yang telah diberikan kepada para pegawai, gaya kepemimpinan pimpinan, dan kondisi kerja Direktorat Penilaian Kekayaan Negara telah memberikan kepuasan kerja bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara yang dituangkan tesis yang berjudul "Analisis Pengaruh Kompensasi, Gaya Kepemimpinan, dan Kondisi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pengamatan penulis di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, ditemukan masalah bahwa :
1. Kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum optimal karena pengaruh faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, baik secara sendiri-sendiri maupun secara serentak.
2. Kepuasan kerja para Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara masih harus ditingkatkan.
3. Sistem kompensasi di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara masih harus disempurnakan.
4. Beban kerja pelaksana dan Pejabat Eselon IV Direktorat Penilaian melebihi kapasitasnya.
5. Remunerasi di Kementerian Keuangan diikuti dengan tuntutan kualitas pekerjaan dan kecepatan penyelesaian pekerjaan, sehingga besaran remunerasi masih dirasakan belum sebanding dengan beban pekerjaan dan risiko pekerjaan.
6. Pelaksanan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum didukung dengan peralatan keselamatan dan asuransi jiwa.
7. Asuransi kesehatan yang telah diberikan belum secara penuh menjamin kesehatan Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
8. Pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara lebih berorientasi pada tugas, dibanding orientasi pada hubungan kemanusiaan.
9. Ruangan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum memberikan keleluasaan gerak dan privasi.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu, dana, dan tenaga, maka penelitian dibatasi pada masalah pengaruh kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara di Jakarta yang berkedudukan sebagai pelaksana dan Pejabat Struktural setingkat Eselon IV.

D. Perumusan Masalah
Kepuasan kerja merupakan pokok bahasan yang menarik bagi para ahli psikologi industri maupun manajemen karena kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda dalam dirinya sehingga tidak mudah memuaskan pegawai.
Setelah diketahui identifikasi masalah dan ruang lingkup penelitian, dapat ditentukan rumusan masalah dalam tesis ini yaitu :
1. Apakah terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
2. Apakah terdapat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
3. Apakah terdapat pengaruh kondisi kerja terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
4. Apakah terdapat pengaruh kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
5. Diantara faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, faktor manakah yang paling berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, baik secara sendiri-sendiri maupun simultan terhadap kepuasan kerja yang diperoleh Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
2. Kegunaan Penelitian
a. Bagi pegawai, penelitian tentang kepuasan kerja memungkinkan usaha-usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja dan kebahagiaan pegawai.
b. Bagi organisasi, khususnya bagi Bagian Kepegawaian dan jajaran pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, penelitian mengenai kepuasan kerja berguna untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui perbaikan sikap dan perilaku pegawai.
c. Bagi masyarakat, penelitian mengenai kepuasan kerja akan membantu masyarakat menikmati kapasitas maksimun pelayanan organisasi serta naiknya nilai manusia dalam konteks pekerjaan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:25:00

STUDI KOMPETENSI PENDIDIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES PEMBELAJARAN METODE BCCT PADA KELOMPOK PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)

Sumber daya manusia yang unggul merupakan aset yang paling berharga bagi setiap Negara. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ke-3 di dunia, memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat besar. Apabila diberdayakan dengan sebaik-baiknya maka dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Salah satu upaya Pemerintah dalam memberdayakan sumber daya manusia adalah mengelola sektor pendidikan menjadi lebih profesional. Sektor pendidikan yang paling dasar dalam pembentukan pribadi sumber daya manusia (SDM) di Indonesia, adalah melalui program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

PAUD sangat di perlukan sebagai sarana pemenuhan hak anak seperti tertera pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, butir 14 : "PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut". Hadirnya teori baru tentang multiple intellegence mengingatkan kepada kita bahwa setiap anak akan memiliki beberapa potensi kecerdasan, potensi kecerdasan tersebut akan berkembang secara optimal bila dikembangkan sejak dini melalui layanan pendidikan yang tepat dan sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

Keberhasilan membina saat ini merupakan kesuksesan bagi masa depan anak. Sebaliknya kegagalan dalam penangganan anak usia dini akan merupakan bencana bagi kehidupan anak di masa yang akan datang. Menurut Undang-undang Sisdiknas pasal 28, tentang PAUD terdiri dari tiga jalur pendidikan, yaitu jalur formal yang meliputi Taman kanak-kanak (TK), Raudhatul Atfhal (RA) atau bentuk lain yang sederajat, jalur non-formal meliputi kelompok bermain (KB) taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Dan jalur informal meliputi pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kegiatan pembelajaran PAUD diselenggarakan melalui bermain, karena anak usia pra-sekolah sangat membutuhkan keleluasaan untuk bermain dalam mengembangkan fungsi fisiologis dan psikologisnya yang berkenaan dengan permainan.

Bermain adalah hal yang penting bagi seorang anak, permainan dapat memberikan kesempatan untuk melatih keterampilan dan dapat mengembangkan ide-ide sesuai dengan cara dan kemampuannya sendiri. Menurut Bredkamp (dalam Solehudin, 200 : 47), bagi anak usia 0-6 tahun, bermain, selain menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, juga memberikan kesenangan dan mengembangkan imajinasi. Gerakan-gerakan fisiknya tidak sekadar penting untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan fisik, melainkan juga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan, rasa harga diri, bahkan perkembangan kognisi. Pemahaman anak terhadap suatu konsep hampir sepenuhnya bergantung pada pengalaman-pengalaman yang bersifat langsung.

Jika pengertian bermain dipahami dan sangat dikuasai oleh pendidik, maka kemampuan itu akan berdampak positif pada cara kita dalam membantu proses belajar anak. Kegiatan bermain dapat membantu anak mengembangkan kreatifitas sekaligus memupuk sikap kerjasama, sportifitas, sosialisasi, menahan diri, imajinasi, intelegensi, tenggang rasa, persuasif, dan emosional. Karl Buhler, dalam teori fungsi menyatakan bahwa anak-anak bermain oleh karena harus melatih fungsi-fungsi jiwa raganya untuk mendapatkan kesenangan di dalam perkembangannya dan dengan permainan itu anak mengalami perkembangan semaksimal mungkin.

Perkembangan PAUD cukup pesat di Indonesia, apalagi setelah perhatian pemerintah pada kesejahteraan guru-guru PAUD melalui sertifikasi profesi sebagai guru diberlakukan. Bahkan saat ini ada suatu metode pembelajaran yang digunakan untuk PAUD berupa pemahaman pembelajaran bermain dengan cara beraneka ragam. Salah satunnya dengan menggunakan Beyond Center and Circles Time (BCCT) yang telah digunakan di berbagai provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah PAUD dan pengguna BCCT terbanyak di Indonesia (Diknas, 2008).

BCCT atau pendekatan sentra dan lingkaran adalah suatu metode atau pendekatan dalam penyelenggaraan PAUD. Metode ini dikembangkan berdasarkan hasil kajian teoritik dan pengalaman empirik yang merupakan pengembangan dari pendekatan Montessori, High/Scope, dan Reggio Emilia. Metode ini dikembangkan oleh Creative Center for Childhood Research and Training (CCCRT) Florida, USA dan diterapkan di Creative Pre-School Florida, USA sejak tahun 80-an, baik untuk anak normal maupun untuk anak berkebutuhan khusus. Metode BCCT dilakukan melalui permaianan yang edukatif. Penggunaannya dinilai memberikan konstribusi positif terhadap kesuksesan belajar anak.

BCCT efektif dalam menerapkan pembelajaran pada anak usia dini, antara lain karena dilakukan dengan permainan, sehingga anak merasa senang dalam melakukan kegiatan belajar. Adapun pendekatan BCCT ini telah di terapkan secara baik di Sekolah Al Falah Jakarta Timur dan TK Istiqlal Jakarta. Sedangkan Kelompok Bermain X Kecamatan X sebagai pilot project yang pertama. Oleh karena itu penulis bermaksud meneliti aplilkasi pendekatan BCCT pada pembelajaran anak usia dini, yang di harapkan dapat meningkatkan potensi kreatifitas anak usia dini di Kecamatan X tersebut.

Jean Piaget (1972 : 27) dalam mengomentari tentang bagaimana anak belajar, mengatakan bahwa : "Anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri. Guru, tentu saja, bisa menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat, tetapi yang terpenting agar anak dapat memahami sesuatu, ia harus membangun pengertian itu sendiri, ia harus menemukannya sendiri".

Pelatihan PAUD dewasa ini semakin gencar diselenggarakan di Jawa Barat. Banyak inovasi program pelatihan yang diluncurkan untuk memperbaiki serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan, baik dari sisi metode, sarana dan prasarana, maupun dari segi peningkatan kualitas kinerja pendidik. Kota X, dalam hal ini menjadi penggerak utama PAUD di Jawa Barat, sehingga pengembangan inovasi program pelatihan semua PAUD di kabupaten/ kota yang lain dipusatkan di Kota X. Terkait dengan pendidik pada PAUD, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005, tentang standar pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan pada PAUD wajib memiliki latar belakang pendidikan S1 atau D4, sementara itu undang-undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional yang di peroleh melalui pendidikan profesi. Jadi guru wajib memiliki pendidikan S1/D4 di tambah pendidikan Profesi Guru. 

Menurut Sudjana (1987), pembelajaran adalah penyiapan suatu kondisi agar terjadinya belajar. pembelajaran adalah upaya logis yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan belajar anak. Pembelajaran sangat bergantung kepada pemahaman guru tentang hakikat anak sebagai peserta atau sasaran belajar. Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja, akan tetapi juga sistem pembelajaran. Sistem pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas atau di sekolah, belajar di luar halaman dan belajar di lingkungan tempat anak tinggal. Dengan demikian, diharapkan anak mampu berkembang dengan baik karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan. Tak berbeda dengan itu.

Hartati (2005), memandang pembelajaran anak usia dini merupakan proses interaksi antara anak, orang tua, atau orang dewasa lainnya, dalam suatu lingkungan, untuk mencapai tugas perkembangan. Interaksi yang dibangun tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan interaksi tersebut mencerminkan suatu hubungan di antara anak, akan memperoleh pengalaman yang bermakna, sehingga proses belajar dapat berlangsung dengan lancar. Menurut Vigotsky, bahan pengalaman interaksi sosial merupakan hal yang penting bagi perkembangan proses berpikir anak. Aktivitas mental yang tinggi pada anak dapat terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.

Melihat kondisi di atas, maka kebutuhan penyiapan pendidik yang mampu mengasuh dan membimbing anak usia dini sejak lahir sampai 6 tahun merupakan suatu keharusan, pendidik anak usia dini di sebut guru PAUD, baik yang mengajar di Taman Kanak-kanak (TK) maupun Kelompok Bermain (Kober) dan Tempat menitipan Anak (TPA). Merujuk Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 pasal 1 ayat 1 di nyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi anak pada jalur pendidikan formal, serta pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, termasuk pendidikan anak usia dini. Oleh karena itu sebutan guru PAUD tidak hanya berlaku bagi pendidik yang bertugas di jalur pendidikan formal saja, tetapi juga di pendidikan nonformal, dan informal kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebutan bagi pendidik Kober oleh anak di sebut juga "guru" Para pendidik PAUD yang profesional hendaknya mengetahui mengenai Kompetensi.

Kompetensi merupakan kemampuan dan penguasaan dalam melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Kompetensi merupakan penampilan yang rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang di wujudkan dalam pembiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dapat dikenali melalui sejumlah indikator yang dapat diukur dan diamati.

Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara konstektual (kurikulum 2004).

Kompetensi dasar adalah jenis-jenis kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh seseorang dalam bidang profesi tertentu. Pendidik adalah pihak yang memberikan, menyampaikan, membimbing, melatih dan menfasilitasi peserta didik untuk menguasai pengetahuan, sikap dan ketrampilan tertentu. Kemampuan pendidik tidak terlepas dari tiga komponen yang secara bersama-sama membentuk norma berfikir dan berperilaku seorang pendidik. Komponen-komponen tersebut adalah a) Pengetahuan adalah memberikan wawasan dan kerangka berpikir sebagai landasan untuk menguasai dan membentuk suatu keterampilan pendidik. b) Sikap adalah sumber dorongan dalam mendayagunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya pada konteks tahapan pengelolaan, dan c) Keterampilan adalah memberikan kecakapan pengetahuan dan sikap yang dimiliki pendidik dalam melaksanakan tugasnya.

Pembelajaran berfokus pada anak sebagai subjek "pembelajar," pendidik hanya berperan sebagai motivator dan fasilitator. Pembentukan perilaku dan kemampuan dasar tersebut dicapai melalui tema-tema yang dikembangkan tenaga pendidik. Hal ini dilakukan dengan tujuan : 1) Merangsang perkembangan kreatifitas dan inovasi anak, 2) Merangsang anak untuk melakukan eksplorasi dengan menggunakan alat permainan edukatif di sekitarnya, 3) Mengembangkan kecakapan hidup anak mengarah kepada kemandirian, disiplin, mampu bersosialisasi dan memiliki keterampilan dasar yang berguna bagi kehidupannya kelak, dan 4) Mengembangkan berbagai aspek perkembangan/kecerdasan anak.

Metode merupakan cara dalam rangka pencapaian tujuan. Dihubungkan dengan pembelajaran PAUD, metode digunakan dalam rangka mengembangkan kemampuan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif dan bahasa anak. Dengan metode BCCT ini diharapkan anak mampu mengembangkan potensi perkembangan kognitif, bahasa, afektif yang dimilikinya, sesuai dengan tingkatan usia anak, dengan demikian diharapkan tujuan penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini akan terwujud sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan meneliti sejauh mana kompetensi pendidik berperan pada keberhasilan menerapkan pembelajaran metode BCCT pada Anak Usia Dini kelompok bermain X di Kecamatan X tersebut.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka ada beberapa masalah dalam penelitian ini yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Masih terbatasnya jumlah pendidik profesional yang terlatih yang memiliki kompetensi yang memadai sebagai salah satu agen pengubah yang menjadi ujung tombak keberhasilan penerapan BCCT program PAUD di lapangan.
2. Di lapangan, khususnya di Kecamatan X, tenaga pendidik yang mampu menerapkan metode BCCT tersebut masih kurang.
3. Kondisi objektif PAUD, termasuk fasilitas dan sarana prasarana, masih belum memadai dalam menerapkan metode BCCT.
4. Penerapan pembelajaran metode BCCT masih belum optimal.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan umum penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut, Apakah kompetensi pendidik PAUD menunjukkan pengaruh yang berarti dalam penerapan pembelajaran metode BCCT pada anak usia dini ? Untuk menjawab perumusan masalah tersebut secara khusus, diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi objektif PAUD di Kecamatan X dilihat dari kelebihan dan kekurangannya dalam penerapan metode BCCT tersebut ?
2. Bagaimana kadar kompetensi yang dimiliki Pendidik PAUD pada kelompok bermain X?
3. Bagaimana penerapan pembelajaran melalui Metode BCCT pada PAUD kelompok bermain X di Kecamatan X?
4. Bagaimana pengaruh kompetensi pendidik terhadap proses pembelajaran metode BCCT, pada PAUD kelompok bermain X di Kecamatan X?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban terhadap rumusan masalah yaitu untuk mengetahui kompetensi pendidik serta pengaruhnya terhadap pembelajaran metode BCCT pada anak usia dini, di PAUD Kecamatan X tersebut. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut secara khusus penelitian ini akan mendeskripsikan permasalahan sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan kondisi objektif PAUD Kecamatan X, dilihat dari kelebihan dan kekurangan yang ada di kelompok bermain X.
2. Mendeskripsikan kadar kompetensi yang dimiliki para pendidik Anak Usia Dini.
3. Mendeskripsikan penerapan pembelajaran melalui Metode BCCT pada PAUD X.
4. Mengetahui pengaruhnya terhadap pembelajaran anak usia dini dari penerapan pembelajaran Metode BCCT.

E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teori
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, konsep teori Pendidikan Luar Sekolah pada umumnya, Manfaat bagi akademik, sebagai bagian pengembangan ilmu pengetahuan pada pendidik PAUD khususnya. Mengembangkan teori dan konsep yang telah ada mengenai kompetensi pendidik serta konsep pembelajaran metode BCCT/ pendekatan sentra dan lingkaran pada Anak Usia Dini pada kelompok bermain PAUD X Kecamatan X.
2. Secara Praktis.
a. Di harapkan dapat bermanfaat bagi penentu kebijakan sebagai bahan dalam perumusan program pembinaan anak usia dini. serta berguna bagi praktisi yang secara langsung dilapangan bagi para pendidik PAUD.
b. Manfaat bagi penyelenggara PAUD, sebagai bahan pedoman dalam menerapkan pembelajaran metode BCCT pada anak usia dini.
c. Sebagai masukan dan informasi tambahan bagi para birokrasi akademisi dan praktisi dalam menjalankan tugas dan perannya masing-masing sehingga program PAUD dapat berjalan secara optimal dan hasilnya dapat dirasakan masyarakat secara luas.
d. Memberi masukan kepada pendidik PAUD agar dapat merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan bermain pada anak dengan benar serta memiliki kemampuan menerapkan konsep bermain, dan pembelajaran melalui bermain, evaluasi perkembangan anak, konsep dasar PAUD.
3. Untuk Penelitian Selanjutnya
a. Sebagai salah satu informasi bagi peneliti lain yang menggeluti bidang PAUD.
b. Sebagai pendukung maupun penemuan terbaru dari hasil penelitian mengenai kompetensi pendidik dalam menerapkan pembelajaran metode BCCT pada anak usia dini tersebut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:12:00

EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (R-SMA-BI)

A. Konteks Penelitian
SMA Negeri X sebagai salah satu sekolah dengan keunggulan layanan pendidikan terbaik di kabupaten Y. Hal ini bisa dilihat dari trend pendaftar ketika Penerimaan Siswa Baru (PSB) dari tahun ketahun.Sudah berperan aktif dalam mempersiapkan sumberdaya manusia yang mempunyai keunggulan global dengan cara merintis pengembangan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SMA-BI).

Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMA Negeri X diselenggarakan dengan landasan :
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 4 : "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus".

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 50 ayat 3 : "Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional".

3. Surat Keputusan Direktorat Pembinaan SMA Dirjen Mandikdasmen Depdiknas nomor : 697/C4/MN/2007 tentang Penetapan Penyelenggara Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional (SMABI).

4. Surat Diretorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 622/C4/MN/2007 tangal 29 Juni 2007 perihal keikutsertaan SMAN X pada worshop penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional.

5. Pernyataan dukungan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat cq Kasubdis Dikmenti melalui surat nomor 008/82-Dikmenti/2007.

6. Pernyataan dukungan penyelenggaraan program rintisan SBI dari komite SMA Negeri X nomor : 004/Komite-SMA.BE/2007.

Penunjukan dari pemerintah baik pusat maupun daerah dan dukungan komite sekolah adalah suatu penghargaan yang cukup prestise yang besar bagi sekolah. Sebab tidak semua sekolah mendapatkan kesempatan tersebut, bahkan hanya satu-satunya sekolah di kabupaten Y yang memiliki kesempatan dari 25 SMA Negeri dan 74 SMA Swasta yang ditunjuk menjadi sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (R-SMA-BI). Penunjukan itu bukan tanpa alasan bagi pemerintah sebab nama besar SMA Negeri X dengan prestasinya, baik akademik maupun non akademik di tingkat kabupaten maupun propinsi sudah sering diraihnya. Misalnya dalam prestasi keikutsertaan pada olimpiade MIPA, bahasa Inggris, seni, olahraga, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya.

Berdasarkan hasil studi awal melalui observasi penunjukan itu menjadi tantangan yang sangat berat bagi sekolah, sebab penunjukan itu tidak didasarkan pada studi kelayakan yang ketat dan akurat yang merujuk pada standar yang harus dipenuhi oleh R-SMA-BI. Sebagaimana syarat yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan R-SMA-BI, sebagaimana dalam panduan penyelenggaraan R SMA BI yaitu : bebarapa syarat sudah terpenuhi namun ada yang belum terpenuhi. Adapun syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Sekolah menengah atas negeri atau swasta yang telah memenuhi standar Nasional dan terakrediatasi A.
2. Kepala sekolah memenuhi standar nasional pendidikan berkompeten dalam pengelolaaan manajemen mutu pendidikan serta mampu mengoperasikan komputer dan dapat berkompetensi dalam bahasa inggris
3. Memiliki tenaga pengajar, fisika, kimia, biologi, matematika dan mata pelajaran lainnyayang berkompeten dalam menggunakan ICT dan pengantar bahasa Inggris.
4. Tersedia sarana prasarana yang memenuhi standar untuk menunjang proses pembelajaran bertaraf internasional. Antara lain :
a. Memiliki tiga laboratorium IPA (Fisika, Kimia, Biologi)
b. Memiliki perpustakaan yang memadai
c. Memiliki laboratorium komputer
d. Tersedia akses internet
e. Memiliki Web sekolah
f. Memiliki kultur sekolah yang kondusif (bersih, bebas asap rokok, bebas kekerasan, indah dan rindang)
5. Memiliki dana yang cukup untuk membiayai pengembangan program rintisan SMA bertaraf internasional.
6. Penyelenggaraan sekolah dalam satu shift (tidak double shift)
7. Jumlah rombongan belajar pada satu satuan pendidikan minimal 9 (sembilan) atau setara dengan 288 siswa.
8. Memiliki lahan minimal 10.000m2.
9. Memiliki jalan akses masuk yang mudah dilalui oleh kendaraan roda empat

Merujuk buku panduan tantangan yang dihadapi oleh SMA Negri X ini antara lain adalah :
Pertama, Masih lemahnya kemampuan guru menyusun kurikulum sekolah menyebabkan terbatasnya ketersediaan dokumentasi kurikulum panduan pelaksanaan kegiatan pembelajaran (kurikulum sekolah) secara lengkap untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negarayang demokratis serta bertanggung jawab.

Kedua, kurangnya alat penunjang sarana prasarana pendidikan seperti buku pegangan guru, buku pegangan siswa dan buku referensi lainnya termasuk kelengkapan laboratorium, baik laboratorium IPA, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, laboratorium IPS, pusat pengembangan akhlak mulia, kebun botani dan multimedia berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran yang sangat berat untuk mencapai sekolah yang unggul dan mandiri. Pesatnya perkembangan media masa elektronik dan media cetak selain mengandung dampak positip dalam meningkatkan pengetahuan juga berdampak negatip yang dapat mempengaruhi moralitas yang tidak sesuai dengan moral bangsa, sehingga perlu dijaga moralitasnya dengan baik .

Ketiga, Kondisi guru dalam penguasaan teknologi informasi berdasarkan angket yang dialakukan oleh sekolah adalah 75% guru SMAN X masih kurang mengenal dengan baik terhadap teknologi informatika, 20% mengenal teknologi informatika dengan baik dan 5% menguasai informatika dengan baik.

Keempat, rendahnya penghasilan orangtua dalam mendukung pelaksanaan program kurikulum dalam menjadikan SMA Negeri X sebagai sekolah yang unggul dalam prestasi dan berbudaya untuk menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berlandaskan nilai-nilai religius, kultural dan berwawasan lingkungan sangatlah berat membutuhkan kemampuan guru untuk mendorong peserta didik menjadi mandiri dan bangga terhadap bangsanya,

Kelima, beratnya beban kurikulum yang harus ditempuh oleh siswa karena banyaknya mata pelajaran yang harus diterima siswa. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan dalam mensiasati kesulitan siswa, sehingga siswa tidak merasa terlalu berat dalam menyelesaikan pembelajaran.

Dari uraian di atas nampak jelas ada ketidak sesuaian antara konsep penyelenggaraan R SMA BI dengan kenyataan di lapangan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat masalah ini menjadi bahan atau obyek penelitian. Sebab esensi dari kebijakan penyelenggaraan R SMA BI adalah untuk peningkatan mutu pendidikan supaya bisa bersaing di tingkat internasional. Akan tetapi dalam proses peningkatan mutu pendidikan itu harus berdasarkan pada konsep atau terori yang jelas dan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau akademis. Seperti yang dikemukakan oleh Husaini Usman ada tiga faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. .Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Kedua pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Dengan kata lain bahwa kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan seringkali tidak dapat dipikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat; Ketiga peran serta masyarakat khususnya orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim.

Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya mutu lulusan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah merupakan permasalahan pendidikan yang harus segera dicarikan solusi.

Merujuk Tilaar bahwa pengelolaan Pendidikan Nasional mengemukakan bahwa "manajemen sistem pendidikan nasional merupakan suatu proses sosial yang direkayasa untuk mencapai tujuan pendidikan nasional secara efektif dan efisien dengan mengikutsertakan, kerjasama dan partisipasi seluruh masyarakat, dan dari sinilah konsep MBS lahir. MBS merupakan suatu model kebijakan yang ditempuh oleh pendididkan Indoneia pada maing-masing satuan pendidikan sehingga tercermin MBS sebagai model manajemen pendidikan yang otonomi, lebih besar kepada sekolah memberikan fleksibiitas (keluwesan) kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung setakeholders untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Menyimak gambaran proses penyelenggaraan R SMA BI di SMA Negeri X maka penulis tertraik untuk diangkat menjadi kajian dalam bentuk penelitian, Oleh sebab tesis ini diberi judul EVALUASI IMPLEMENTASI STANDAR SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) (Studi Kasus di SMA Negeri X Kabupaten Y)

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka Peneliti memfokuskan penelitian ini
pada evaluasi kesiapan sekolah untuk menjadi Sekolah yang Bertaraf Internasional (R-SMA-BI). Fokus tersebut dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut :
1. Perubahan apa yang penting dilakukan SMA Negeri X dalam upaya menuju RSMABI.?
2. Bagaimankah tingkat ketercapaian program R-SMA-BI di SMA Negeri X?
3. Faktor apa yang menjadi hambatan program R-SMA-BI di SMA Negeri X?
4. Bagaimankah Strategi SMA Negeri X dalam mempercepat pencapaian SBI?

C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan fokus Penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan perubahan yang dilakukan oleh SMA Negri X untuk menuju sekolah yang bertaraf internasional
2. Mendeskripsikan tingkat ketercapaian RSMABI di SMA Negeri X
3. Mendeskripsikan berbagai hambatan Implementasi standar SBI di SMA Negeri X
4. Mendeskripsikan strategi SMA Negeri X dalam mempercepat pencapaian SBI

D. Manfaat Penelitian
Sebagai suatu kegiatan, maka sudah barang tentu penulisan ini mempuyai kegunan. Adapun kegunaannya sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu tambahan hazanah ilmu pengetahuan khususnya yang menyangkut tentang penyelenggaraan manajemen rintisan sekolah bertaraf internasional
2. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian mengenai pentingnya manajemen penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasiona (RSBI) dalam meningkatkan mutu pendidikan.
b. Kegunaan Praktis
1. Penelitian ini akan dapat memberikan konstribusi bagi lembaga yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal.
2. Menjadi sumber informasi bagi peneliti lain dari sernua pihak yang berkepentingan.
3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi pengelola pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
c. Kegunaan bagi Peneliti.
1. Menmabah ilmu dan pengalaman penulis dalam mengembangkan R-SMA-BI
2. Menumbuhkan motivasi dalam keikutsertaan peneliti dalam mengembangkan R-SMA-BI di SMA Negeri X.
3. Untuk menyelesaikan studi MPI.

E. Sitimatika Pembahasan
Dalam penulisan tesis ini penulis menyusun sistematika pembahsan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang, konteks penelitian, fokus masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, originalitas penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan.
Bab II. Kajian Pustaka, yang berisi kajian teori yang berkaitan dengan, Konsep tenatang penyelenggaraan R SMA BI. Evaluasi Rintisan Sekolah Bertarap Internasional (R-SMA-BI),teori tentang evaluasi dan teori dan kebijakan Standar Nasional Pendidikan.
Bab III. Metode penelitian yang berisi tantang, pendekatan dan jenis penelitian, Data dan sumber data, metode, Strategi pengurupulan data, analisis data dan pengecekan keabsahan temuan.
Bab. IV. Papaparan data dan hasil temuan, yang meliputi, Perubahan yang telah dilakukan sekolah dalam upaya menuju R-SMA-BI, Tingkat Ketercapaian R-SMA-BI di SMA Negeri X, Hambatan yang dihadapai dalam penyelenggaraan R-SMA-BI dan perumusan strategis dalam mempercepat ketercapaian Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Bab V. Pembahsan hasil Penelitian, yang meliputi, Pembahasan perubahan yang telah dilakukan sekolah dalam upaya menuju R-SMA-BI, Analisis tingkat Ketercapaian R-SMA-BI di SMA Negeri X, Pembahasan hambatan yang dihadapai dalam penyelenggaraan R-SMA-BI dan Perumusan strategis dalam mempercepat ketercapaian Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
Bab VI. Kesimpulan dan Saran-Saran.yang meliputi perubahan yang penting dilakukan, tingkat ketercapaian standar R-SMA-BI, Faktor yang menjadi penghambat dan strategi sekolah dalam mempercepat pencapaian SBI. Adapun saran-saran ditujukan kepada manajemen sekolah, komite sekolah dan pemerintah kabupaten Y.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:00:00

PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN BLUD

1.1 Latar Belakang
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan suatu komitmen internasional dalam meningkatkan pembangunan di berbagai negara. Komitmen ini menjadi suatu acuan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyusun rencana pembangunan. Terdapat delapan tujuan dari ditetapkannya MDGs (BPK, 2009). Pembangunan dibidang kesehatan termasuk di antara kedelapan tujuan yang ingin dicapai tersebut. Kedelapan tujuan MDGs tersebut, yaitu :
(i) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem;
(ii) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
(iii) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
(iv) Menurunkan angka kematian anak;
(v) Meningkatkan kesehatan ibu;
(vi) Memberantas HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya;
(vii) Memastikan kelestarian lingkungan;
(viii) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Seperti terlihat di atas, tujuan ke (iv) sampai dengan (vi) merupakan tujuan yang langsung berkaitan dengan bidang kesehatan. Menurunkan angka kematian anak harus dicapai melalui peningkatan kesehatan anak. Semakin sehat seorang anak, semakin kecil peluang untuk meninggal dini. Peningkatan kesehatan ibu, di samping berkaitan dengan semakin kecil peluang para ibu meninggal ketika melahirkan, juga semakin besar peluang untuk melahirkan anak-anak yang sehat, yang akan berusia panjang. Memberantas HIV, AIDS, malaria dsb (penyakit-penyakit menular) berkaitan dengan upaya untuk mencegah kematian secara masal.

Penyediaan pelayanan kesehatan, baik oleh pihak swasta maupun pemerintah, merupakan salah satu bagian dari pembangunan dibidang kesehatan. Karena pelayanan kesehatan ini di Indonesia kini masih jauh dari kebutuhan untuk mencapai tujuan MDGs tadi maka penyediaannya mesti didorong (Saraswati, 2009).

Data BPS tahun 2009, hingga bulan Maret, mencatat bahwa sebanyak 32,5 juta penduduk Indonesia adalah miskin. Semua penduduk miskin ini tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan secara memadai. Kemiskinan (rendahnya pendapatan) menyebabkan mereka tidak mampu membiayai seluruh ongkos yang diperlukan untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang diperlukan. Para penduduk miskin ini, apabila mereka sakit, seringkali lebih memilih pengobatan alternatif yang murah (dukun) daripada ke tempat-tempat pelayanan kesehatan yang formal; atau berusaha mengobati sendiri dengan membeli obat-obat tradisional ataupun illegal, yang tidak diuji oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (www.bps.go.id). Menurut data BPS tahun 2008, sebanyak 65,59% penduduk melakukan pengobatan sendiri dan sebanyak 22,26% menggunakan obat tradisonal.

Kondisi seperti yang dikemukakan ini membuat pemerintah Indonesia memandang perlu untuk memberi subsidi kesehatan bagi mereka yang miskin. Pada tahun 2009 subsidi itu dianggarkan sekitar Rp 4,5 trilliun. Tahun 2010 direncanakan subsidi ini akan berjumlah sekitar Rp 4,6 trilliun. Alokasi tersebut untuk pembiayaan Jamkesmas bagi 76,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin yang masuk kuota pemerintah pusat (Antara, 2010). Sedangkan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin yang tidak masuk kedalam kuota Jamkesmas pemerintah pusat ditanggung pemerintah daerah melalui program-program Jamkesda.

Komitmen pemerintah untuk memberi subsidi pelayanan kesehatan bagi mereka (masyarakat) yang miskin --yang seringkali disingkat dengan sebutan "maskin" diwujudkan melalui berbagai program. Puskesmas dan rumah sakit secara langsung ditunjuk oleh pemerintah sebagai agen utama bagi pemberi pelayanan kesehatan kepada maskin itu.

Program pemberian subsidi pelayanan kesehatan untuk maskin tersebut bermula pada tahun 1998-2001, yaitu melalui Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Program ini kemudian dilanjutkan dengan program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) pada tahun 2001-2002. Selanjutnya pada tahun 2002-2004 program PDPSE-BK ini diubah menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM-BK). Pada periode ini dilaksanakan pula uji coba Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) di tiga provinsi dan 13 kabupaten. Pada akhir tahun 2004, dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (SK Menkes RI) No. 1241/Menkes/SK/XI/2004 Tanggal 12 November 2004, diberlakukan program baru yaitu Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT. Askes (persero) merupakan lembaga keuangan yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana penyalur dana program PJKMM. PT. Askes (persero) mengelola sepenuhnya dana penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi maskin, baik untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS.

Sebagaimana dikemukakan oleh BPK (2009), sejumlah permasalahan telah muncul dalam pengelolaan PJKMM ini. Permasalahan tersebut antara lain : terjadinya perbedaan data jumlah maskin yang dicatat oleh BPS dengan data maskin yang sebenarnya di tiap daerah, minimnya SDM PT. Askes (persero), minimnya biaya operasional dan manajemen di Puskesmas, dll. Adanya permasalahan-permasalahan ini membuat pemerintah kemudian merubah lagi mekanisme penyelenggaraan program pemberian subsidi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (BPK, 2009).

Penyelenggaraan PJKMM, sebagaimana yang dikemukakan di atas, dikelola dengan mekanisme asuransi. Dengan kata lain pembayaran klaim dan verifikasi dilakukan oleh PT. Askes. Sehingga program ini kemudian dikenal dengan nama program Askeskin. Program ini berjalan hingga hingga tahun 2007. Pada tahun 2008, setelah pemerintah mengetahui adanya permasalahan-permasalahan di atas, PT Askes (persero) tidak lagi secara penuh mengelola dana penyelenggaraan program ini. Menurut keterangan pemerintah, hal ini untuk mengatasi keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang ada pada PT.Askes (persero), terutama untuk memonitor pelaksanaan program (BPK, 2009). Terjadi pemisahan fungsi antara fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran. Pemisahan fungsi ini diimplementasikan dengan menempatkan tenaga verifikator disetiap RS. Program ini selanjutnya disebut dengan Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sumber dana Jamkesmas berasal dari APBN dan APBD.

Pada tahun 2009, provinsi Bali menerima luncuran dana Jamkesmas sebesar Rp 75,4 miliar. Dana tersebut dialokasikan kepada RS yang ada di kabupaten maupun kota di provinsi Bali (8 kabupaten dan 1 kota). Sampai dengan bulan November 2009, artinya setelah 9 bulan bulan provinsi ini menerima luncuran dana, sebesar Rp 62,9 miliar belum juga dilaporkan dan dipertanggungjawabkan (Rekapitulasi Laporan Klaim Jamkesmas, November 2009). Menurut Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2009 penggunaan dana harus dilaporkan oleh tim pengelola Jamkesmas Povinsi kepada Departemen Kesehatan adalah setiap tanggal 20 bulan berjalan. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan dana yang diterimanya maka sebesar 83,4% dana tersebut belum dilaporkan dan dipertanggungjawabkan. Angka ini relatif lebih besar di bandingkan dengan daerah lain seperti : Jatim (58,7%), Jateng (61,6%), Jabar (49,1%).

Menurut hasil evaluasi kinerja yang dilakukan secara tahunan oleh rumah sakit tahun 2009, ditemukan empat kelemahan terkait organisasi dan SDM di BLUD X ini (RBA BLUD X, 2010). Keempat kelemahan yang diungkapkan dalam RBA tersebut adalah : (i) jumlah tenaga kurang memadai khususnya perawat, (ii) tingkat ketrampilan staf masih kurang, (iii) disiplin pegawai masih kurang dan (iv) komitmen staf belum optimal. Kelemahan tersebut telah mempengaruhi kinerja BLUD X (termasuk mutu pelayanan). Berdasarkan Rencana Bisnis dan Anggaran BLUD X 2010, peningkatan mutu pelayanan akan menjadi target yang utama. Untuk menempuh target itu maka : peningkatan kompetensi SDM -melalui pendidikan dan latihan—akan dilakukan; selain itu juga sistem pelayanan dengan ukuran standar pelayanan minimum akan diterapkan; dan sarana serta prasarana medis dan non medis akan ditingkatkan ketersediaannya maupun pemeliharaannya.

Informasi tentang kurang memadainya pelayanan kesehatan BLUD X sering diberitakan di media masa, terutama media lokal. Pelayanan yang kurang memadai ini bukan hanya dirasakan oleh pasien peserta (penerima) program Jamkesmas saja, tetapi juga pada pasien non-Jamkesmas. Ketua Fraksi Demokrat DPRD X, dalam harian Radar tanggal 28 November 2009, menyatakan bahwa sarana, fasilitas dan SDM BLUD X memang masih kurang. Kemudian juga salah satu anggota Komisi D DPRD X, sebagaimana dimuat Antara tanggal 12 Januari 2010, menyatakan bahwa BLUD X belum mampu memberikan pelayanan maksimal. Akibatnya, munculah keluhan-keluhan warga (pasien).

Hasil polling yang dilakukan secara online oleh BLUD X pun menunjukkan bahwa sebesar 54% responden menganggap pelayanan BLUD X masih belum sesuai dengan keinginan (www.Xkota.go.id). Sementara studi Razak (2007), meskipun dua tahun telah lewat, menyimpulkan bahwa waktu tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan terlalu lama.

Berdasarkan prioritas BLUD X dan informasi dari berbagai sumber diatas, maka penting untuk diketahui aspek-aspek apa saja yang harus diatasi untuk meningkatkan mutu pelayanan RSUD X. Menurut konsep SERVQUAL yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry terdapat lima determinan (dimensi) kualitas pelayanan terkait dengan persepsi pelanggan. Kelima dimensi tersebut adalah (Rosjid, 1997) :
(i) Tangible, atau bukti langsung yang bisa dilihat dan dirasakan oleh pelanggan, sperti keadaan gedung dan fasilitas.
(ii) Reliability, kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara handal dan akurat.
(iii) Responsiveness, kemauan dan daya tanggap untuk selalu siap membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat.
(iv) Assurance, jaminan pengetahuan dan kemampuan petugas, keamanan, kesopanan dan dapat dipercaya.
(v) Emphaty, perhatian secara pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan.
Kelima dimensi tersebut merupakan variabel mutu pelayanan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan (pasien). Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan ekspektasi dan persepsi pasien atas kelima dimensi tersebut. Dengan demikian dapat diketahui dimensi-dimensi mana saja yang menimbulkan kepuasan maupun ketidakpuasan pasien dalam pelayanan. Informasi yang didapat juga digunakan untuk menentukan dimensi mana yang perlu dikoreksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang hendak dikaji adalah :
1. Bagaimanakah kualitas pelayanan kesehatan BLUD X menurut pasien Jamkesmas?
2. Aspek-aspek apa saja yang menyebabkan pasien merasa kualitas pelayanan BLUD X tidak memuaskan?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui persepsi pasien terhadap masing-masing determinan kualitas pelayanan (kelima dimensi SERVQUAL).
2. Mengetahui dimensi apa yang perlu segera diperbaiki oleh RSUD X untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dimensi-dimensi mana saja yang masih kurang dalam pemberian pelayanan kesehatan oleh RSUD X.
2. Menentukan langkah perbaikan yang diperlukan berdasarkan informasi gap yang diperoleh.

1.5 Sistematika Penulisan
Tesis ini akan tersusun dalam lima bab. Hal-hal yang akan diuraikan dalam masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, lingkup penelitian dan sistematika penyajian.
Bab II : Penilaian Kualitas Jasa (Pelayanan) : Tinjauan Literatur
Bab kedua berisi teori-teori yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.
Bab III : Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Meningkatkan Akses Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin
Bab ketiga berisi tentang berbagai kebijakan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap maskin. Dalam bab ini juga akan dipaparkan perihal perkembangan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD X.
Bab IV : Persepsi Pasien Jamkesmas Terhadap Pelayanan BLUD X
Bab keempat akan menguraikan analisa dan evaluasi data. Analisa tersebut mencakup pemberian skor berdasarkan kuisioner. Analisa juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan (gap) antara persepsi dan ekspektasi pasien.
Bab V : Penutup
Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang diperlukan dalam upaya mengatasi gap yang terjadi. Dalam bab ini juga disebutkan mengenai keterbatasan studi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:56:00