Cari Kategori

Showing posts with label PTK. Show all posts
Showing posts with label PTK. Show all posts

UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMP PADA KONSEP BIOLOGI YANG ABSTRAK MELALUI PENERAPAN PERTANYAAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF

UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMP PADA KONSEP BIOLOGI YANG ABSTRAK MELALUI PENERAPAN PERTANYAAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF (BIOLOGI KELAS VIII)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Konsep Biologi terdiri dari kumpulan konsep-konsep konkret dan abstrak. Konsep konkret mudah dipelajari karena merupakan konsep-konsep yang sering diobservasi, seperti ciri-ciri makhluk hidup dan lingkungan biotik. Sebaliknya dengan konsep yang abstrak, biologi sulit dipahami karena siswa tidak dapat melihat prosesnya seperti fotosintesis, sistem pencernaan, si stem pernapasan, sistem transpor, sistem ekskresi, sistem reproduksi, dan lain-lain.
Analisis hasil belajar siswa oleh beberapa guru Biologi pada umumnya menunjukkan bahwa materi Biologi yang dirasakan sulit oleh siswa SMP adalah materi kelas VIII. Konsep-konsep Biologi yang dipelajari terkesan abstrak atau prosesnya tidak terlihat. Hasil belajar siswa yang kurang memuaskan menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep tersebut rendah.
Berdasarkan fakta di lapangan, rendahnya pemahaman siswa pada konsep yang abstrak terjadi karena metode pembelajaran sering kali tidak dilakukan dengan baik. Sering pula dijumpai siswa kurang memahami materi karena dalam proses pembelajarannya penerapan pertanyaan produktif kurang optimal dan pembelajaran secara berkelompok belum dikelola dengan baik.
Metode pembelajaran yang digunakan di lapangan selama ini adalah metode ceramah, tanya jawab dan diskusi secara berkelompok, akan tetapi sering ditemukan dalam diskusi tersebut siswa yang aktif tidak merata, kegiatan belajar mengajar lebih didominasi oleh siswa yang pandai. Hal ini terjadi karena pengelompokan, pemberian tugas dan penilaiannya tidak dikelola dengan baik. Walaupun nyatanya dalam suatu proses pembelajaran sebenarnya tidak ada satu metode yang paling cocok atau tepat, namun penggunaan multimedia dan multi metode sangatlah disarankan untuk meningkatkan pemahaman siswa (Dahar, 1992).
Dari hasil analisis guru SMPN X terhadap hasil belajar siswa, muncul satu masalah yaitu rendahnya nilai IPA siswa terutama dalam konsep yang abstrak. Hal tersebut diakibatkan oleh penggunaan metode pembelajaran yang kurang tepat, kurang terlibatnya siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dan kurang digunakannya pertanyaan produktif yang dapat mengarahkan siswa untuk berfikir.
Pertanyaan produktif adalah pertanyaan yang dapat merangsang siswa untuk melakukan kegiatan produktif atau kegiatan ilmiah. Sedangkan pertanyaan nonproduktif memerlukan jawaban yang terpikir dan diucapkan, yang tidak selalu mudah dilakukan oleh siswa. Pertanyaan disampaikan pada saat pembelajaran dan tercantum dalam lembar kerja siswa (LKS) Jelly (Widodo, 2006). Adapun peranan pertanyaan produktif dalam pembelajaran IPA menurut Dahar (1992), diantaranya merangsang siswa berfikir, mengetahui penguasaan konsep, mengarahkan pada konsep, memeriksa ketercapaian konsep, menimbulkan keberanian menjawab atau mengemukakan pendapat, meningkatkan kegiatan belajar mengajar (KBM) dan memfokuskan perhatian siswa.
Model pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap dalam bekerja atau membantu sesama secara teratur.
Keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Dalam pembelajaran ini, siswa merupakan bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai hasil yang optimal dalam belajar. Melalui pembelajaran kooperatif, guru tertantang untuk lebih mengenali siswanya. Siswa akan merasa lebih dihargai bila diberikan kesempatan menjawab dan bertanya.
Selama ini beberapa peneliti sudah melakukan beberapa penelitian terhadap pembelajaran kooperatif pada siswa Sekolah Menengah Umum dengan materi pelajaran yang berbeda-beda. Ditemukan bahwa melalui pembelajaran kooperatif tersebut, hasil belajar siswa meningkat (Rosilawati, 1999). Redjeki (2000), menyimpulkan bahwa pertanyaan produktif yang diterapkan dalam pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep Biologi abstrak. Selain dapat meningkatkan hasil belajar siswa, ternyata pemberian pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif dapat memotivasi siswa untuk membaca dan belajar sebelum proses pembelajaran berlangsung, juga mereka dapat belajar bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain. Dari hasil penelitian Yuniarti (2005), pembelajaran kooperatif tipe STAD yang diterapkan pada konsep gerak tumbuhan dapat meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berkomunikasi siswa. Yuniarti (2005) menyarankan guru mengembangkan LKS yang dapat merangsang aktivitas kelompok belajar siswa.
Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, telah dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul : "UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA PADA KONSEP ABSTRAK MELALUI PENERAPAN PERTANYAAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 
"Bagaimanakah upaya meningkatkan pemahaman siswa pada konsep yang abstrak melalui penerapan pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif ?"
Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian, rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah menerapkan pertanyaan produktif dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa pada konsep sistem pernapasan ?
2. Bagaimanakah melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa pada konsep Sistem Pernapasan ?
3. Bagaimana peningkatan pemahaman siswa pada konsep Sistem Pernapasan Manusia setelah penerapan pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD ?

C. Batasan Masalah
Untuk menjaga agar masalah tidak terlalu meluas dan menyimpang, maka beberapa hal perlu dibatasi, yaitu pada : 
1. Konsep abstrak yang diteliti hanya terbatas pada Sistem Pernapasan Manusia
2. Pembelajaran kooperatif yang digunakan adalah tipe STAD.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran peningkatan pemahaman siswa SMP pada konsep Biologi yang abstrak pada Sistem Pernapasan Manusia dengan menerapkan pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD.

E. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam upaya perbaikan pembelajaran di kelas yaitu : 
1. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi keberhasilan penerapan pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif sehingga termotivasi untuk melakukan penelitian serupa pada konsep lainnya.
2. Bagi siswa, menambah pengalaman belajar dengan model pembelajaran yang berbeda sehingga pemahamannya terhadap konsep abstrak meningkat. 
3. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:56:00

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD DENGAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD DENGAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR (FISIKA KELAS VIII) 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada jaman sekarang merupakan suatu rangkaian peristiwa yang sangat penting bagi semua orang. Peristiwa tersebut diawali dengan interaksi antar manusia yang sedang belajar untuk mendapatkan sesuatu. Dalam proses belajar, dibutuhkan seorang pengajar untuk membantu proses belajar tersebut. Sebagai seorang pengajar jika berbicara tentang belajar maka tidak dapat lepas dari kegiatan mengajar. Karena belajar dan mengajar merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan strategi pembelajaran yang diharapkan mampu memperbaiki sistem pendidikan yang telah berlangsung selama ini. Salah satu tolok ukur keberhasilan guru adalah bila dalam pembelajaran mencapai hasil yang optimal. Keberhasilan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru untuk mengelola proses belajar mengajar. Komunikasi dua arah secara timbal balik sangat diharapkan dalam proses belajar mengajar, demi tercapainya interaksi belajar yang optimal, yang pada akhirnya membawa kepada pencapaian sasaran hasil belajar yang maksimal. Untuk mencapai kondisi yang demikian maka perlu adanya fasilitator yaitu guru, yang memiliki kemampuan untuk menciptakan situasi belajar yang melibatkan siswa secara aktif sekaligus membangun motivasi siswa.
Berdasarkan observasi awal dan wawancara dengan guru Fisika di SMPN X, diketahui bahwa siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. Hasil belajar siswa juga kurang dari nilai KKM yang telah ditentukan di SMPN X. Hal tersebut mungkin terjadi karena metode pembelajaran yang digunakan oleh guru kurang bervariasi. Kebanyakan para guru menggunakan model pembelajaran ceramah dan diskusi kelas saja. Sehingga memungkinkan siswa akan mempunyai dampak yang negatif, seperti : 
1. Siswa menjadi pasif, hanya menerima apa saja yang dijelaskan oleh guru.
2. Siswa sering bosan sehingga terjadi keramaian di kelas.
3. Siswa kurang berinteraksi dengan teman yang lain ketika membahas pelajaran, sehingga tidak ada rasa kebersamaan antar siswa yang nilainya diatas nilai KKM dengan siswa yang nilainya di bawah nilai KKM.
4. Siswa banyak yang kurang paham.
Dari kemungkinan dampak negatif tersebut, para guru di SMPN X telah melakukan upaya tersendiri seperti memberikan tugas rumah setiap akhir pertemuan, mengajak siswa untuk berdiskusi bersama di kelas. Siswa membutuhkan metode pengajaran yang berbeda dari biasanya untuk membuat siswa lebih aktif dan tidak bosan selama pelajaran berlangsung. Metode-metode pembelajaran yang masih menampilkan guru sebagai tokoh sentral di muka kelas seharusnya ditinggalkan, selain itu pembelajaran tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa juga bisa saling mengajari dengan sesama siswa lainnya, dengan melibatkan siswa yang berprestasi tinggi (tutor sebaya) dalam kelompok-kelompok belajar di kelas untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Salah satu aspek penting pembelajaran kooperatif selain membantu mengembangkan tingkah laku kooperatif yang lebih baik diantara siswa, juga membantu siswa dalam pembelajaran akademis mereka. Pembelajaran dengan tutor sebaya juga dapat melatih siswa untuk saling membantu satu sama lain. Siswa yang sebenarnya tidak paham dengan pelajaran yang dijelaskan guru, dapat bertanya dengan teman sebayanya.
Ada berbagai model pembelajaran kooperatif, diantaranya adalah : STAD (Student Team Achievement Division), Jigsaw, Investigasi Kelompok, TGT (Teams Game Tournament), dan sebagainya. STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang heterogen, beranggotakan 4-5 orang, dengan memperhatikan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan sebagainya. Siswa mempelajari materi bersama-sama melalui tutorial dan diskusi kemudian dilakukan kuis secara individual. Kuis diskor dan tiap siswa diberi skor perkembangan, kemudian berdasarkan skor perkembangan setiap anggota didapat skor tim sehingga dapat digunakan untuk menentukan kategori tim untuk tiap kuis.
Hasil penelitian Ong Eng Tek (1997) menyatakan bahwa model pembelajaran STAD mampu meningkatkan prestasi siswa di kelas. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti berupaya menerapkan model pembelajaran STAD dengan modifikasi tutor sebaya agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Penerapan model pembelajaran tipe STAD dengan tutor sebaya diharapkan agar siswa mampu memperoleh suatu pengetahuan baru yang dapat memotivasi siswa untuk mengasah kemampuan yang dimiliki. Selain itu, model ini juga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN X terhadap mata pelajaran Fisika. Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian yang berjudul ‘’PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT TEAM-ACHIEVEMENT DEVISION) DENGAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIII DI SMPN X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana proses tindakan dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya ?
2. apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya dapat meningkatkan hasil belajar siswa ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu
1. Untuk mengetahui proses tindakan dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya
2. Untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya terhadap peningkatan hasil belajar siswa.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Guru
a. Sebagai umpan balik untuk mengetahui kesulitan yang dialami siswa.
b. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam memilih metode serta model pembelajaran yang bervariasi.
c. Memperbaiki kinerja guru dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.
2. Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengalaman dalam pembelajaran bagi peneliti selain digunakan untuk menyelesaikan tugas pembelajaran.
3. Siswa
a. Meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran Fisika.
b. Menambah rasa percaya diri dalam menyelesaikan soal-soal.
c. Menumbuhkan kemampuan dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengembangkan keterampilan berpikir yang tinggi.
4. Sekolah
a. Memberikan sumbangan yang positif dalam kegiatan pembelajaran.
b. Memberi masukan yang baik bagi sekolah untuk pembaharuan pembelajaran berikutnya.
c. Dapat dipertimbangkan untuk menyelesaikan masalah pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas para siswa.

E. Sistematika Penulisan Skripsi
Secara garis besar sistematika skripsi ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu : bagian awal, bagian isi dan bagian akhir yang masing-masing diuraikan sebagai berikut.
1. Bagian awal skripsi
Berisi judul, abstrak, lembar pengesahan, motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.
2. Bagian isi skripsi
a. Bab I Pendahuluan
Berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan skripsi.
b. Bab II Landasan Teori
Berisi uraian teoritis, atau teori-teori yang mendasari pemecahan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan judul skripsi
c. Bab III Metode Penelitian
Berisi tentang populasi, sampel penelitian, variabel penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, dan metode analisis data.
d. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berisi semua hasil penelitian dan pembahasannya.
e. Bab V Penutup
Berisi simpulan dan saran-saran. 
3. Bagian akhir skripsi
Berisi daftar pustaka untuk memberikan informasi tentang semua buku sumber dan literatur lainnya yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran dari hasil perhitungan-perhitungan statistik, ijin penelitian, dan instrumen penelitian

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:54:00

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MATERI POKOK KALOR DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MATERI POKOK KALOR DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (FISIKA KELAS VIII) 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abad XXI dikenal sebagai abad globalisasi dan abad teknologi informasi. Perubahan yang sangat cepat ini merupakan fakta dalam kehidupan siswa sehingga siswa perlu dibekali dengan kompetensi yang memadai agar menjadi peserta aktif dalam masyarakat. Pendidikan Sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pengembangan kemampuan siswa dalam bidang sains merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan memasuki dunia teknologi termasuk teknologi informasi untuk kepentingan pribadi, sosial, ekonomi dan lingkungan (Depdiknas, 2003 : 1).
Menanggapi hal tersebut pemerintah sudah banyak berupaya untuk membenahi proses pembelajaran seperti penataran guru-guru Sains, membentuk musyawarah guru bidang studi, bantuan alat-alat laboratorium, dan juga melakukan penyusunan kurikulum baru pada setiap jenjang dan sistem pendidikan. Sesuai dengan amanat Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menetapkan kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004, yang telah dilakukan mulai tahun pelajaran 2004/2005. Perubahan kurikulum ini tentunya harus diikuti dengan penggunaan pendekatan atau strategi pembelajaran yang sesuai oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas.
Pendidikan Sains diarahkan untuk "mencari tahu" tentang alam secara sistematis yaitu dengan "berbuat" karena Sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Oleh karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam menyajikan pembelajaran Sains adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk sains. Fisika merupakan bagian dari sains yang merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisir tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian poses ilmiah.
Dari hasil observasi awal di SMPN X diperoleh data sebagai berikut : 
1. Fisika merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa sehingga membuat siswa kurang berminat terhadap mata pelajaran Fisika, hal ini terlihat pada rendahnya nilai rata-rata ulangan harian materi pokok sebelumnya yaitu sebesar 63,34 (lampiran 23).
2. System pengajaran yang masih cenderung bersifat tradisional yaitu dengan menekankan pada hafalan-hafalan sehingga cenderung siswa lebih cepat bosan dan mudah lupa.
3. Siswa jarang praktik di laboratorium karena keterbatasan waktu, mengejar materi, dan sarana prasarana yang kurang memadai seperti : banyaknya alat yang rusak dan jumlah alat yang sedikit, sehingga peralatan di laboratorium jarang dimanfaatkan.
Permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan hasil belajar fisika kurang maksimal yang berdampak tidak tercapainya ketuntasan belajar secara klasikal maupun individu. Untuk meminimalisasi dan mengantisipasi permasalahan tersebut diperlukan sebuah strategi pembelajaran lain yang lebih memberdayakan siswa dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku saat ini yaitu CTL. Sebuah strategi yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta, rumus-rumus tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka. Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yang harus diterapkan dalam pembelajarannya, yaitu : konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflecting), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas, 2003 : 10). Oleh sebab itu proses pembelajaran dapat menggunakan pendekatan CTL.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis mengadakan penelitian tindakan kelas tentang : UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MATERI POKOK KALOR DENGAN PENDEKATAN CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) PADA SISWA KELAS VIII SMPN X.

B. Permasalahan
Sesuai dengan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah : "Apakah dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching And Learning) dapat meningkatkan hasil belajar fisika pokok bahasan kalor siswa kelas VIII SMPN X ?".

C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar mata pelajaran fisika pokok bahasan kalor dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning).

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Bagi siswa, memudahkan siswa dalam memahami dan menguasai fisika melalui pengalaman nyata dalam pembelajaran.
2. Bagi guru, memberi konsep yang jelas mengenai pendekatan CTL sebagai upaya untuk mengembangkan ilmu pendidikan. 
3. Bagi sekolah, penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini meliputi tiga bagian, yaitu : 
1. Bagian pendahuluan, berisi : halaman judul, halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan, abstrak, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran. 
2. Bagian isi dibagi menjadi lima bab, antara lain : 
Bab I Pendahuluan 
Berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, sistematika skripsi. 
Bab II Landasan Teori
Mengemukakan tentang kajian teori-teori yang mendasari dalam penulisan skripsi ini. 
Bab III Metode Penelitian. 
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini meliputi hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian. 
Bab V Simpulan dan Saran
Berisikan simpulan dari hasil penelitian serta saran.
3. Bagian akhir skripsi ini adalah daftar pustaka, tabel-tabel yang digunakan, dan lampiran-lampiran yang melengkapi uraian pada bagian isi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:53:00

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK MELALUI KEGIATAN BERMAIN ALAT MUSIK PERKUSI (PGTK)

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK MELALUI KEGIATAN BERMAIN ALAT MUSIK PERKUSI (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Usia prasekolah merupakan masa peka untuk menerima rangsangan baik fisik maupun psikis. Pada masa ini, anak perlu diberikan rangsangan yang tepat sesuai dengan tahapan usianya, sehingga aspek perkembangannya dapat berkembang secara optimal. Salah satu aspek perkembangan anak prasekolah yang akan dikaji disini adalah aspek perkembangan kognitif. Menurut Dariyo (2007 : 92) : 
Seorang individu tentu menggunakan kemampuan kognitif untuk memecahkan suatu masalah dalam hidupnya, seperti berpikir, merenung, berkonsentrasi, mengingat, mempertimbangkan suatu keputusan, merupakan jenis-jenis aktivitas yang melibatkan kapasitas kognitif untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan diri secara optimal.
Hakikat dari pembelajaran anak prasekolah khususnya RA (Raudlatul Athfal) adalah untuk menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak agar berkembang secara optimal sesuai dengan tahapan usianya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya kegiatan pembelajaran matematika untuk anak, sebaiknya tidak hanya menstimulasi kemampuan logika matematika saja, tetapi harus dapat menstimulasi bidang pengembangan lain. Menurut Sriningsih (2008 : 25) "kegiatan pembelajaran matematika terpadu dapat menstimulasi potensi-potensi lain di luar potensi kecerdasan logika-matematika."
Kemampuan anak untuk berpikir abstrak masih belum sempurna dan akan terus berkembang seiring dengan tingkat usianya, begitu juga dengan kemampuan berhitungnya. Oleh karena itu, tahapan pembelajaran matematika hendaknya disesuaikan dengan tahapan perkembangan kognitif anak.
Berhitung bagi anak diharapkan tidak hanya berkaitan dengan kemampuan kognitif saja, tetapi juga kesiapan mental, sosial dan emosional. Oleh karena itu pembelajaran matematika di RA bukan berarti anak harus pintar berhitung sebagai sarat masuk SD, tetapi lebih kepada untuk menstimulasi kemampuan berpikir anak, agar anak siap untuk belajar matematika dan tidak asing lagi dengan pembelajaran matematika di tahap selanjutnya.
Praktek-praktek pembelajaran matematika untuk anak prasekolah sudah sering kita lihat pelaksanaannya di berbagai lembaga pendidikan anak prasekolah baik itu jalur formal maupun non formal. Di dalam kurikulum istilah-istilah tersebut sering kita sebut sebagai bidang pengembangan kognitif, daya pikir, atau ada juga yang menyebutnya sebagai pengembangan kecerdasan logika-matematika. Menurut Piaget, Lorton (Cruikshank, 1980 : 23) "ada tiga tahapan pemahaman anak terhadap konsep matematika, yaitu pemahaman konsep (intuitive concept level), masa transisi (connecting), dan tingkat lambang (symbolic level)." Tahap pertama, pemahaman anak terhadap konsep matematika dapat dibangun anak melalui benda-benda kongkrit yang digunakan pada saat bermain. Tahap ke dua, setelah anak memahami konsep, baru anak dikenalkan dengan lambang konsep yang sesuai dengan benda-benda tersebut. Tahap ke tiga, anak dikenalkan dengan berbagai lambang yang ada di dalam matematika.
Dewasa ini sebagaimana dapat kita saksikan bersama tuntutan berbagai pihak agar anak menguasai konsep dan keterampilan matematika semakin gencar, hal ini didorong beberapa lembaga pendidikan anak usia dini untuk mengajarkan pengetahuan matematika secara sporadis dan radikal. 
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan penulis di RA X mengenai proses pembelajaran matematika khususnya aspek kemampuan berhitung anak, pada pelaksanaannya guru menggunakan berbagai cara, baik secara klasikal, individu, melalui olah raga dan bernyanyi. Media yang digunakan guru untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak secara klasikal diantaranya, gambar lambang bilangan dari satu sampai sepuluh yang sudah ditempel di dinding kelas, papan panel, dan bentuk angka-angka.
Capaian perkembangan yang diambil untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak di kelompok A RA X adalah menghitung banyak benda dari 1 sampai 10, menyebutkan urutan bilangan dari 1-10, menunjuk 2 kumpulan benda yang lebih banyak dan lebih sedikit, menghubungkan atau memasangkan lambang bilangan dengan benda.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, dengan melihat catatan perkembangan anak, wawancara yang dilakukan terhadap guru, serta dokumentasi aktivitas anak pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung, maka dapat terlihat bahwa tujuan dari peningkatan kemampuan berhitung melalui metode atau media yang digunakan belum mencapai hasil perkembangan yang diharapkan. Pertama, untuk indikator menghitung banyak benda dari 1 sampai 10, kategori anak berkembang baik ada 12 orang, untuk anak yang berada pada tahap dalam proses ada 3 orang, untuk anak yang perlu stimulus ada 1 orang. Ke dua, untuk indikator menyebutkan urutan bilangan dari 1-10 anak berada pada tahap berkembang dengan baik ada 11 anak, tahap dalam proses 3 orang, perlu stimulus 1 orang. Ke tiga untuk indikator menunjuk 2 kumpulan benda yang lebih banyak, anak berada pada kategori berkembang dengan baik ada 12 orang, dalam proses ada 1 orang. Ke empat, untuk indikator menunjuk 2 kumpulan benda yang lebih sedikit kategori anak berkembang baik ada 12, dan tahap dalam proses 1 orang. Ke lima, untuk indikator menghubungkan atau memasangkan lambang bilangan dengan benda dari 1-10, anak berada pada kategori berkembang baik ada 5 orang, sedangkan dalam proses ada 9 orang dan perlu stimulus 1 orang.
Guru merasa perlu untuk merencanakan kegiatan dan merancang media yang dapat membantu meningkatkan kemampuan berhitung anak, dengan media tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak, juga dapat mengembangkan aspek perkembangan lain di luar kemampuan berhitungnya.
Di RA pembelajaran seni pada umumnya meliputi seni rupa, seni musik dan seni tari. Seni musik merupakan pembelajaran yang selalu diterapkan dalam proses belajar mengajar di RA, seperti bernyanyi. Bermain alat musik merupakan bagian dari pembelajaran seni musik.
Pembelajaran matematika untuk anak RA pada prakteknya membutuhkan suatu media kongkrit untuk membantu pemahaman konsep dasar matematikanya. Media yang akan digunakan untuk menunjang pembelajaran berhitung bagi anak di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan media alat musik perkusi. Melalui alat musik perkusi ini diharapkan anak dapat mengembangkan kemampuan berhitungnya dan aspek-aspek perkembangan lain di luar kemampuan berhitungnya.
Memainkan alat musik ternyata lebih banyak manfaatnya bagi anak daripada hanya mendengarkannya saja. Menurut Sheppard (2007 : 96-129) selain dapat membantu membuka kemampuan koordinasi tingkat lanjut, alat musik juga dapat membantu memfokuskan perhatian, mengembangkan pemahaman secara abstrak, dan berpengaruh terhadap daya ingat, dan yang lebih penting lagi alat musik dapat memberikan wadah bagi anak untuk mengekspresikan diri dengan percaya diri.
Permainan yang melibatkan aktifitas fisik akan membantu anak untuk meningkatkan kemampuan motoriknya, selain dapat melatih motorik, memainkan alat musik juga akan melatih rasa percaya diri anak untuk tampil di depan orang lain. Bermain musik juga memberikan pengalaman langsung tentang gampang tidaknya memainkan alat musik, dan bisa mengembangkan minat anak untuk mendalaminya.
Bermain merupakan cara bagi anak untuk belajar dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Bermain musik juga sangat menyenangkan bagi anak, karena dengan bermain musik anak merasa rileks dan bersemangat. Lynn C.C. Siba (2007) mengemukakan pendapatnya tentang pengaruh musik terhadap tubuh manusia sebagai berikut.
Musik dapat merangsang gelombang otak, dengan pukulan/beat yang cepat akan membuat otak terjaga, siaga dan tajam. Sebaliknya, musik yang lambat, menenangkan otak dan membuat relaks. Musik juga mempengaruhi sistem saraf otonom yang dapat memperlambat pernafasan dan detak jantung, sehingga membawa badan ke keadaan relaks. Dengan badan dan jiwa raga yang relax, perasaan tertekan dan depresi akan berkurang.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka penelitian ini akan memfokuskan kepada kajian tentang "MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERHITUNG ANAK USIA DINI MELALUI KEGIATAN BERMAIN ALAT MUSIK PERKUSI."

B. Rumusan Masalah
kegiatan bermain alat musik perkusi dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak" permasalahan tersebut dijabarkan ke dalam sub pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran kemampuan berhitung anak kelompok A di RA X ?
2. Bagaimana implementasi bermain alat musik perkusi untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak RA X ?
3. Bagaimana kemampuan berhitung anak kelompok A di RA X sesudah mengikuti kegiatan bermain alat musik perkusi ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran bagaimana bermain alat musik perkusi dapat meningkatkan kemampuan berhitung anak RA X. Adapun secara lebih khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 
1. Mengetahui gambaran kemampuan berhitung anak kelompok A di RA X.
2. Mengetahui implementasi kegiatan bermain alat musik perkusi untuk mengembangkan kemampuan berhitung anak RA X.
3. Mengetahui gambaran kemampuan berhitung anak kelompok A di RA X setelah menggunakan alat musik perkusi.

D. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak di RA X, melalui kegiatan bermain alat musik perkusi.

E. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua memaparkan tentang landasan teoritis mengenai konsep kemampuan berhitung dan bermain alat musik perkusi anak RA. Landasan teoritis ini didapat dari uraian teori-teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan masalah
Bab ketiga berisi tentang penjabaran lebih rinci tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian kelas. Semua prosedur serta tahap-tahap penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir.
Bab keempat merupakan bagian analisis pembahasan mengenai hasil temuan peneliti di lapangan. Pada bab ini penulis mencoba mengungkap bagaimana kemampuan berhitung anak dapat meningkat melalui kegiatan bermain alat musik perkusi.
Bab kelima memaparkan penafsiran atau pemaknaan peneliti berupa kesimpulan terhadap semua hasil penelitian yang diperoleh dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian. Rekomendasi yang dibuat akan bermanfaat bagi peneliti berikutnya, yang berminat untuk melakukan penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:46:00

PENINGKATAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN TONGKAT ESTAFET BERBASIS JIGSAW PADA KOMPETENSI DASAR RANGKAIAN HAMBATAN LISTRIK

SKRIPSI PTK PENINGKATAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN TONGKAT ESTAFET BERBASIS JIGSAW PADA KOMPETENSI DASAR RANGKAIAN HAMBATAN LISTRIK (FISIKA KELAS IX)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara guru dengan anak didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran (Djamarah, 2006 : 1).
Salah satu cara belajar mengajar yang menekankan berbagai kegiatan dan tindakan adalah menggunakan pendekatan tertentu. Dalam belajar mengajar pada hakekatnya merupakan suatu upaya dalam mengembangkan keaktifan belajar yang dilakukan oleh peserta didik dan guru. Pendekatan dalam belajar mengajar pada dasarnya adalah melakukan proses belajar mengajar yang menekankan pentingnya belajar melalui proses untuk memperoleh pemahaman. Pendekatan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan berhasil tidaknya belajar yang diinginkan.
Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar.
Interaksi dalam proses belajar mengajar mempunyai arti yang luas, tidak sekedar hubungan antara guru dan siswa tetapi interaksi edukatif. Dalam hal ini guru tidak hanya menyampaikan pesan berupa materi pelajaran, melainkan penanaman sikap dan nilai pada siswa yang sedang belajar. Proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar. Dalam proses belajar mengajar tersirat adanya satu kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dengan guru yang mengajar, antara kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang.
Kurikulum yang digunakan di SMPN X adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada mata pelajaran Fisika kelas IX semester 1 terdapat materi rangkaian hambatan listrik. Materi ini dipilih karena berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan di SMPN X menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dalam materi rangkaian hambatan listrik masih kurang. Hal ini disebabkan karena siswa belum mampu mengkaitkan materi rangkaian hambatan listrik yang dipelajari dengan pengalaman yang dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil studi pendahuluan diketahui ulangan harian di kelas IX khususnya pokok bahasan rangkaian hambatan listrik, masih ada siswa yang kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pokok bahasan konsep rangkaian hambatan listrik yang ditunjukkan dengan 40 siswa, yang tidak tuntas adalah sebanyak 13 orang. Dan ini berarti hanya 27 siswa yang nilainya tuntas. Standar Ketuntasan Minimal mata pelajaran Fisika di SMPN X adalah 71 artinya siswa dianggap tuntas bila sudah mendapat nilai minimal 71. Sedangkan standar ketuntasan secara klasikal adalah 85 artinya suatu materi dianggap tuntas jika 85% siswa sudah mencapai SKM.
Pembelajaran materi pokok bahasan rangkaian hambatan listrik di SMPN X biasanya menggunakan pembelajaran ceramah walaupun kadang-kadang guru juga melakukan kegiatan kelompok untuk menyampaikan materi tersebut. Akan tetapi cara kerja berkelompok seperti ini menyebabkan siswa yang berkemampuan kurang, memperoleh hasil belajar yang tetap rendah dan adanya kesenjangan yang jauh antara hasil belajar siswa yang pandai dengan hasil belajar siswa yang kurang pandai, walaupun nilai tugas kelompok cenderung baik dan merata. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam pengerjaan tugas tersebut didominasi oleh siswa yang pandai, sedangkan siswa yang kemampuannya rendah kurang berperan dalam penyelesaian tugas tersebut.
Dari prestasi ini, ada dugaan pengajaran Fisika selama ini kurang tepat dalam penggunaan metode pengajaran. Kemungkinan yang lain adalah konsep-konsep dasar yang diajarkan di kelas IX kurang dipahami siswa, sehingga kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Fisika khususnya soal-soal pokok bahasan pada rangkaian hambatan listrik masih kurang. Hal ini akan berakibat pada ketuntasan nilai belajar Fisika siswa belum tercapai, sehingga mempengaruhi tingkat kelulusan siswa.
Di sini guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Keberhasilan suatu pelajaran biasanya diukur dari keberhasilan pelaksanaan kegiatan guru dan siswa. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa tercapai secara optimal (Nasution, 2008 : 55).
Untuk memenuhi hal tersebut di atas, guru dituntut mampu mengelola proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada siswa sehingga ia mau belajar, karena siswa lah subjek utama dalam belajar.
Secara umum pembelajaran yang ada saat ini guru cenderung mempunyai peranan yang sangat dominan, sehingga para siswa sangat bergantung kepada guru, akibatnya siswa mengalami krisis inisiatif, kreativitas dan cenderung bersikap pasif. Bahkan kegiatan pembelajaran siswa berjalan di luar pengawasan guru, karena guru yang hanya sendirian/seorang harus melayani sejumlah siswa, sehingga guru tidak dimungkinkan dapat mengawasi dan membantu siswa yang lambat dalam menerima pelajaran secara individual.
Menyadari keadaan yang demikian, maka penerapan suatu sistem pengajaran yang dipandang mampu memberi harapan dan memperbaiki situasi belajar siswa perlu segera diterapkan. Sistem pengajaran ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan belajar mengajar, mengaktifkan dan mengarahkan siswa untuk dapat memecahkan masalah sendiri sesuai dengan taraf kemampuan dan kecepatannya memahami materi yang dipelajari. Kemudian bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar mendapat bimbingan dari guru secara efektif.
Sistem pengajaran yang dipandang mampu memberi harapan dan memperbaiki situasi belajar di sini adalah sistem pengajaran dengan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Suprijono, 2009 : 89). Dengan ditambah metode pembelajaran tongkat estafet, diharapkan mendorong peserta didik dapat lebih berani mengemukakan pendapatnya (Suprijono, 2009 : 109). Prinsip utama dalam sistem ini adalah suatu model pembelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Atas dasar ini diharapkan belajar siswa melalui pembelajaran dengan media tongkat estafet berbasis kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Dari uraian di atas, tentang peningkatan efisiensi dan efektifitas pendidikan di sekolah dalam hal penggunaan waktu, fasilitas, dan tenaga secara tepat, penulis terdorong untuk mengadakan penelitian dengan judul "PENINGKATAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN TONGKAT ESTAFET BERBASIS JIGSAW PADA KOMPETENSI DASAR RANGKAIAN HAMBATAN LISTRIK SISWA KELAS IX SMPN X".

B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah : 
Apakah pembelajaran dengan menggunakan media tongkat estafet berbasis kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada kompetensi dasar rangkaian hambatan listrik siswa kelas IX SMPN X ?

C. Pemecahan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang ada maka diperoleh cara pemecahan masalahnya, yaitu melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) melalui penggunaan model pembelajaran tongkat estafet berbasis kooperatif tipe Jigsaw. Masing-masing tahap dalam PTK ini terdapat perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Dengan menerapkan media tongkat estafet berbasis kooperatif tipe jigsaw pada pembelajaran Fisika, diharapkan hasil belajar siswa akan meningkat. Adapun untuk mendukung pelaksanaan PTK dan penggunaan media tersebut diperlukan langkah-langkah : 
1. Guru menjelaskan uraian singkat materi rangkaian hambatan listrik pada siswa.
2. Guru memberikan informasi tentang media tongkat estafet dengan memutarkan lagu.
3. Guru membagi siswa dalam bentuk kelompok.
4. Guru menugasi tiap kelompok untuk mendiskusikan teks sesuai dengan lembar kegiatan siswa yang telah disusun.
5. Siswa mendiskusikan soal tersebut yang diberikan melalui LKS.
6. Guru melakukan bimbingan secara individu atau kelompok selama proses kegiatan berlangsung.
7. Guru menugasi masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil pekerjaan lembar kerja siswa di depan kelas.
8. Guru memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan tanggapan terhadap hasil pekerjaan yang sedang dipresentasikan.
9. Guru mengevaluasi hasil pekerjaan yang dipresentasikan di depan kelas.
10. Di akhir pembahasan materi diadakan tes siklus.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa pada kompetensi dasar rangkaian hambatan listrik melalui pembelajaran dengan menggunakan media tongkat estafet berbasis kooperatif tipe jigsaw siswa kelas IX SMPN X.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memberi manfaat bagi siswa, guru maupun bidang pendidikan, sebagai berikut : 
1. Siswa
Siswa dapat mengembangkan pemikirannya untuk memecahkan masalah dalam belajar, khususnya pada pelajaran Fisika. Siswa pun lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran Fisika.
2. Guru
Memberikan gambaran kepada guru dalam hal memvariasikan metode pembelajaran, seperti menggunakan media tongkat estafet berbasis kooperatif tipe jigsaw.
3. Lembaga Pendidikan
Memberikan sumbangan pemikiran sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan, khususnya kualitas belajar Fisika dan dunia pendidikan pada umumnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:20:00

PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK (PGTK)

PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang dengan pesat di berbagai aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek perkembangan sosial. Kebutuhan sosial merupakan hal yang harus dipenuhi untuk mencapai kehidupan yang sehat, bergairah penuh semangat dan bebas dari rasa cemas. Anak membutuhkan kondisi-kondisi yang dapat membuat dirinya mampu menyalurkan kebutuhan sosialnya dan kebutuhan ini dapat dilakukan melalui bersosialisasi. Sebagaimana dikemukakan Bronfrenbrenner dan Crouter (Yusuf, 2007 : 35) bahwa lingkungan perkembangan merupakan berbagai peristiwa, situasi atau kondisi di luar organisme yang diduga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perkembangan individu.
Sosialisasi pertama dilakukan di lingkungan keluarga yang dimulai sejak masa bayi. Ketika bayi tersenyum terhadap ibunya, di hati ibunya tumbuh perasaan sayang dan mencintai bayi. Interaksi ibu dan bayi ini merupakan awal bagi tumbuh dan berkembangnya kemampuan sosial anak. Interaksi anak dengan orang lain selanjutnya akan diteruskan di luar lingkungan keluarga, salah satunya di lingkungan Taman Kanak-kanak.
Di Taman Kanak-kanak anak belajar bersosialisasi melalui interaksi dengan teman sebaya, guru dan orang dewasa lainnya. Interaksi tersebut dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar berbagi, membantu, saling menyayangi, menghormati, saling percaya dan mengerti perasaan masing-masing. Selain itu melalui interaksi anak belajar tentang perilaku yang disenangi dan tidak disenangi, yang dibolehkan dan tidak dibolehkan, sehingga dari pengalaman itu diharapkan pada akhirnya akan menghasilkan kesadaran sosial yakni perilaku-perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang harus dipatuhi dan tidak berperilaku semaunya.
Aspek perkembangan sosial sangat penting untuk dikembangkan sejak dini agar anak segera memiliki keterampilan sosial yang optimal, sehingga anak mampu menyesuaikan diri dan berperilaku sesuai aturan yang ada, serta keberadaan anak dapat diterima lingkungannya. Combs dan Salby dalam Cartlede dan Milburn (Sarianti, 2008 : 6) menyatakan bahwa : "Keterampilan sosial sebagai kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain pada konteks sosial dalam cara-cara spesifik yang secara sosial diterima dan bernilai dalam waktu yang sama memiliki keuntungan untuk pribadi dan orang lain".
Memperhatikan pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa keterampilan sosial sangat perlu untuk dimiliki anak sebagai bekal dalam berinteraksi dengan orang lain baik di masa sekarang maupun di masa depan.
Keberhasilan dalam interaksi dengan teman sebaya membuat kepekaan sosial anak semakin terasah. Selain itu keinginan anak untuk diterima dalam kelompok sosial merupakan kebutuhan yang sangat kuat, sehingga anak akan berusaha menguasai keterampilan sosial sesuai dengan nilai-nilai yang ada di kelompok sosialnya. Ketercapaian keterampilan sosial bagi anak sangat penting, karena ketika anak menampilkan keterampilan sosial yang diharapkan oleh lingkungan, anak akan memperoleh penerimaan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini diungkapkan Afiati (2006 : 5) bahwa penerimaan sosial terhadap diri anak akan menumbuhkan kenyamanan dan hubungan harmonis yang secara signifikan mampu meningkatkan motivasi belajar anak. Semua ini merupakan pengalaman sosial awal bagi anak.
Pengalaman sosial awal sangat menentukan kepribadian setelah anak menjadi dewasa (Hurlock alih bahasa Meitasari, 1997 : 256). Mengingat masa anak merupakan masa pembentukan, maka pola perilaku yang dipelajari pada usia dini cenderung menetap dan mempengaruhi perilaku dalam situasi sosial pada usia selanjutnya. Pola perilaku sosial menurut Hurlock alih bahasa Meitasari (1997 : 262) antara lain kerjasama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, ketergantungan, empati, meniru, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, dan perilaku kelekatan. Perilaku sosial yang baik ini tidak hanya ditunjukkan dalam hubungannya dengan teman sebaya tetapi dengan orang dewasa lainnya.
Sebaliknya apabila pengalaman sosial awal tidak dibina sejak dini anak akan memulai kehidupan sosial dengan awal yang buruk, yang dapat mendorong anak menjadi tidak sosial. Adapun pola perilaku tidak sosial menurut Hurlock alih bahasa Meitasari, 1997 : 263) yaitu negativisme, agresi, pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku yang sok kuasa, egosentrisme, prasangka, dan antagonisme jenis kelamin. Ketidakmampuan anak dalam keterampilan sosial sesuai apa yang diharapkan akan menimbulkan kesulitan bagi anak untuk bergaul dengan temannya, sehingga anak akan dijauhi dan tidak mempunyai teman serta minimnya pengalaman bersosialisasi. Apabila ketidakmampuan bersosialisasi tidak segera diatasi dikhawatirkan perilaku-perilaku seperti itu akan terbentuk dan menjadi lebih sulit untuk diubah, yang tentunya akan berpengaruh pada perilakunya kelak.
Hasil penelitian Asher, et al. (Katz dan Chard, 1991 : 26) menunjukan bahwa anak-anak yang gagal mengembangkan keterampilan sosial pada umur 4 sampai 6 tahun memiliki kemungkinan akan memiliki masalah pada usianya kelak. Selanjutnya Parker dan Asher (Katz dan Chard, 1991 : 26) menyatakan bahwa masalah yang mungkin timbul adalah putus sekolah, antisosial dan memiliki masalah pada pernikahan dan kesehatan jiwanya. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegagalan anak dalam mengembangkan keterampilan sosialnya sejak dini akan berpengaruh negatif dalam menjalani kehidupannya di masa depan.
Tercapainya tugas-tugas perkembangan anak secara wajar dan optimal merupakan harapan setiap orang tua, guru bahkan masyarakat pada umumnya. Tugas perkembangan anak prasekolah yaitu harus sudah mampu menjalin hubungan dengan orang lain baik guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya. Namun kenyataan yang ada di lapangan ternyata tidak semua anak sudah memiliki keterampilan sosial.
Berdasarkan pengamatan awal di Taman Kanak-kanak X, keterampilan sosial anak belum berkembang dengan optimal. Hal ini terlihat masih ada anak yang tidak menghargai temannya, tidak mau menolong, sulit untuk berbagi, tidak mau membantu, tidak mau mengalah, susah untuk bekerjasama, tidak mau bersabar dalam menunggu giliran. Selain itu metode pembelajaran yang digunakan untuk mengembangkan keterampilan sosial kurang bervariasi dan masih berpusat pada guru.
Guru Taman Kanak-kanak memiliki peran yang sangat penting dalam mengimplementasikan pembelajaran, salah satunya harus mampu menerapkan berbagai metode pembelajaran yang dapat membawa anak pada kegiatan yang bermakna dan menyenangkan, sehingga melalui aktivitas yang menyenangkan diharapkan anak bisa memaknai perilaku serta mampu berperilaku sesuai aturan.
Salah satu metode yang dapat diterapkan oleh guru dalam mengembangkan keterampilan sosial adalah metode proyek. Hal ini sesuai dengan pendapat Katz dan Chard (1991 : 9) bahwa metode proyek adalah metode pembelajaran yang tepat untuk merangsang dan memantapkan perkembangan intelektual dan sosial anak. Lebih lanjut Moeslihatoen (1999 : 122) mengungkapkan bahwa metode proyek merupakan salah satu cara pemberian pengalaman belajar dengan menghadapkan anak pada persoalan sehari-hari yang harus dipecahkan secara kelompok.
Memperhatikan pendapat di atas, metode proyek dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk berinteraksi sosial, oleh karena itu keterlibatan anak dalam suatu kegiatan bersama teman-temannya diharapkan keterampilan sosial anak berkembang optimal.
Metode proyek merupakan salah satu pendekatan yang berpusat pada anak, karena anak memiliki kesempatan untuk belajar mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Penggunaan metode proyek memberikan anak pengalaman belajar dalam berbagi pekerjaan dan tanggung jawab yang dilaksanakan secara terpadu dalam rangka mencapai tujuan akhir bersama. Adapun pelaksanaan metode proyek terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Mengingat metode proyek erat kaitannya dengan interaksi sosial, maka sebagai motivator, fasilitator dan evaluator guru mempunyai banyak kesempatan untuk membantu anak didik dalam meningkatkan keterampilan sosialnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam upaya memecahkan masalah keterampilan sosial anak diperlukan perbaikan proses dan hasil pembelajarannya, dengan harapan akan mengalami peningkatan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Sehubungan dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK".

B. Batasan dan Rumusan Masalah
Secara umum yang menjadi rumusan masalah adalah "Bagaimana penerapan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak", yang secara rinci dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi awal pembelajaran di Taman Kanak-kanak X dalam rangka meningkatkan keterampilan sosial anak ?
2. Bagaimana pelaksanaan metode proyek dalam meningkatkan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak X ?
3. Bagaimana keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak X setelah dilakukan pembelajaran melalui metode proyek ?
4. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam mengembangkan keterampilan sosial anak melalui penerapan metode proyek di Taman Kanak-kanak ?

C. Tujuan dan Manfaat 
1. Tujuan
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk membahas penerapan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak di Taman Kanak-kanak, sedangkan secara khusus tujuannya adalah : 
a. Untuk memperoleh data, pemahaman dan wawasan mengenai kondisi awal pembelajaran dalam meningkatkan keterampilan sosial anak di Taman Kanak-kanak X.
b. Untuk memperoleh data, pemahaman dan wawasan mengenai pelaksanaan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak X.
c. Untuk memperoleh data, pemahaman dan wawasan mengenai keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak X sesudah dilakukan pembelajaran melalui metode proyek.
d. Untuk memperoleh data, pemahaman dan wawasan mengenai kendala-kendala yang dihadapi untuk meningkatkan keterampilan sosial anak melalui penerapan metode proyek.
2. Manfaat
Secara umum manfaat penelitian ini yaitu untuk mengetahui penerapan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak, serta diharapkan metode proyek dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak di Taman Kanak-kanak. Sedangkan secara khusus manfaatnya yaitu : 
a. Bagi Penulis
Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman mengenai penerapan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak.
b. Bagi Guru
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan pemahaman mengenai perkembangan sosial anak Taman Kanak-kanak, juga sebagai masukan dalam memfasilitasi aspek perkembangan sosial anak melalui metode proyek.
c. Bagi Orang tua
Sebagai referensi untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman tentang perkembangan sosial anak usia Taman Kanak-kanak serta upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan keterampilan sosial anak.

D. Definisi Operasional
Untuk memperjelas arah penelitian dan juga kemungkinan salah tafsir, maka perlu adanya definisi operasional terhadap beberapa istilah penting yang dipergunakan yaitu : 
1. Keterampilan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam beradaptasi secara baik dengan lingkungannya dan menghindari konflik saat berkomunikasi secara fisik maupun verbal (Matson dan Ollendck, 1988 : 5).
Berdasarkan rujukan di atas maka yang dimaksud dengan keterampilan sosial dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya melalui cara-cara yang sesuai dengan tuntutan sosial, yang indikatornya meliputi perilaku kerjasama, empati, tidak mementingkan diri sendiri dan kemurahan hati. Perilaku kerjasama pada anak dapat ditunjukkan dengan ikut serta dalam kegiatan bersama, bergantian menggunakan alat tanpa menimbulkan pertengkaran serta mau bersabar dalam menunggu giliran.
Perilaku empati dapat ditunjukkan anak dengan menunjukan keprihatinan pada teman yang lagi sedih dan menunjukan keceriaan pada teman yang sedang gembira. Perilaku tidak mementingkan diri sendiri dapat ditunjukkan anak dengan membantu orang lain mengerjakan tugas dan peduli dan membantu teman yang membutuhkan. Sedangkan kemurahan hati dapat ditunjukkan anak dengan berbagi sesuatu dengan orang lain dan memberi sesuatu pada orang lain.
2. Metode proyek adalah metode pembelajaran yang tepat untuk merangsang dan memantapkan perkembangan intelektual dan sosial anak (Katz dan Chard, 1991 : 26). Metode proyek pelaksanaannya memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar dari pengalamannya sehari-hari, memberikan keseimbangan dalam beraktivitas serta diharapkan dapat mengembangkan aspek kognitif dan sosial anak. Metode proyek merupakan metode pembelajaran yang berpusat pada anak yang membutuhkan adanya partisipasi aktif dari anak itu sendiri. Metode proyek menekankan adanya peran guru untuk merangsang respon anak dalam berinteraksi dengan orang lain, benda-benda dan lingkungan keseharian yang dihadapi anak, sehingga dengan tingkat kemampuan yang berbeda, anak akan terlibat dalam kehidupan yang sebenarnya dan belajar untuk bekerjasama dalam kelompoknya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:35:00

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI DUKUNGAN PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR (PGTK)

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI DUKUNGAN PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan suatu bangsa bukan hanya dilihat dari semakin canggihnya teknologi yang digunakan tetapi ilmu pengetahuan juga sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut setiap orang untuk terus menerus melakukan peningkatan diri dalam mengimbangi hal tersebut. Penguasaan berbahasa merupakan salah satu hal yang penting sebagai modal untuk sumber daya manusia yang berkualitas. Bahasa adalah suatu sistem simbol untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa merupakan sistem dimana kita menambah pengetahuan yang kita akumulasikan melalui pengalaman dan belajar. Dengan kata lain, bahasa seseorang mencerminkan pikirannya, semakin trampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas jalan pikirannya.
Berbahasa bagi anak juga sangat penting, kemampuan bahasa dipelajari dan diperoleh anak usia dini secara alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Sebagai alat sosialisasi, bahasa merupakan suatu cara untuk merespon orang. Menurut Jamaris (2005 : 30) aspek-aspek yang berkaitan dengan perkembangan bahasa anak diantaranya : 1. Kosakata; 2. Sintaksis (tata bahasa); 3. Semantik (penggunaan kata sesuai dengan tujuannya); 4. Fonem (satuan bunyi terkecil yang membedakan kata).
Masih menurut Jamaris (2005 : 32) karakteristik kemampuan bahasa anak usia lima sampai enam tahun diantaranya : 
Anak sudah dapat mengucapkan lebih dari 2.500 kosakata, lingkup kosakata yang dapat diucapkan anak menyangkut : warna, ukuran, bentuk, rasa, bau, keindahan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan, jarak permukaan (kasar- halus), anak usia lima sampai enam tahun sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang baik, dapat berpartisipasi (anak sudah dapat mendengarkan orang lain berbicara dan menanggapi pembicaraan) dalam suatu percakapan, selain itu percakapan yang dilakukan oleh anak usia lima sampai enam tahun telah menjangkau berbagai komentarnya terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan orang lain, serta apa yang dilihatnya, anak sudah dapat melakukan ekspresi diri, menulis, membaca dan berpuisi.
Di dalam perkembangan bahasa anak, keterampilan berbahasa mencakup empat macam bentuk, yaitu : diawali dengan keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan diakhiri dengan keterampilan menulis. Keempat keterampilan itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena memiliki hubungan yang erat antara satu dengan lainnya.
Keterampilan membaca menduduki urutan yang ketiga dalam perkembangan bahasa anak, namun tidak menutup kemungkinan perkembangan bahasa anak itu dapat berbeda-beda. Membaca dini merupakan salah satu bagian dari keterampilan berbahasa, adapun pendapat dari Plaum dan Steinberg (Tampubolon, 1993 : 64) yang dapat dilihat dari tanda-tanda kesiapan membaca dini, dikemukakan dalam bentuk pertanyaan : 
1. Apakah anak sudah dapat memahami bahasa lisan ?
2. Apakah anak sudah dapat mengujarkan kata-kata dengan jelas ?
3. Apakah anak sudah dapat mengingat kata-kata ?
4. Apakah anak sudah dapat mengujarkan bunyi huruf ?
5. Apakah anak sudah menunjukkan minat membaca ?
6. Apakah anak sudah dapat membedakan dengan baik ?
Membaca adalah sebuah jendela yang membuat seseorang bisa menelaah dan mengetahui segala sesuatu yang dimiliki orang lain dengan cara yang sangat mudah dan sederhana, membaca merupakan kebutuhan yang sangat pokok dan prinsip dalam kehidupan kita pada zaman modern ini. Bagi manusia, membaca menempati posisi dan kedudukan yang sangat penting dalam hidupnya. Membaca merupakan sarana manusia untuk belajar dan mengajar, dengan membaca seseorang dapat memperoleh banyak pengetahuan. Membaca harus dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari dan sedini mungkin, karena apabila tidak dibiasakan untuk membacakan buku sejak dini atau tidak dibiasakan membaca buku sejak dini dapat berpengaruh pada masa depannya.
Keterampilan berbahasa anak, khususnya membaca dini dapat berkembang secara optimal apabila lingkungan dimana anak tersebut berada dapat ikut serta menstimulasinya. Menurut Dhieni (2005 : 5.14) faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca diantaranya : 
1. Motivasi
Faktor motivasi akan menjadi pendorong semangat anak untuk membaca. Dalam hal ini ada motivasi intrinsik, yaitu yang bersumber pada anak itu sendiri dan motivasi ekstrinsik, yang sumbernya terletak di luar anak itu.
2. Lingkungan keluarga
a. Interaksi interpersonal, yang terdiri atas pengalaman-pengalaman baca tulis bersama orang tua, saudara, dan anggota keluarga lain di rumah
b. Lingkungan fisik, mencakup bahan-bahan bacaan di rumah.
c. Suasana yang penuh perasaan (emosional) dan memberikan dorongan (motivasional) yang cukup hubungan antar individu di rumah, terutama yang tercermin pada sikap membaca.
3. Bahan bacaan
Minat baca serta kemampuan membaca seseorang juga dipengaruhi oleh bahan bacaan. Bahan bacaan yang terlalu sulit untuk seseorang dapat mematikan selera untuk membaca. Bagi anak, penyajian bahan bacaan disertai dengan gambar-gambar yang menarik. Gambar lebih dominan daripada tulisan.
Pengembangan berbahasa, khususnya membaca pada anak dapat dilakukan secara konseptual, perlu diperhatikan beberapa butir teori yang berkaitan dengan perolehan kemampuan membaca.
Menurut Morrow (Dhieni, 2005 : 5.15) teori-teori tersebut diantaranya : membaca dipelajari melalui interaksi dan kolaborasi sosial artinya dalam proses pembelajaran membaca dan menulis situasi kelompok kecil memegang peranan penting, anak belajar membaca sebagai hasil pengalaman kehidupan, anak mempelajari keterampilan membaca bila mereka melihat tujuan dan kebutuhan proses membaca, membaca dipelajari melalui pembelajaran keterampilan langsung, kemampuan membaca melalui beberapa tahap.
Menurut Holdoway (Dhieni, 2005 : 5.16) menyatakan ada empat proses yang memungkinkan anak mempelajari kemampuan membaca. Pertama, pengamatan terhadap perilaku membaca, yaitu dengan dibacakan atau melihat orang dewasa membaca. Kedua, kolaborasi yaitu menjalin kerjasama dengan individu yang memberikan dorongan motivasi dan bantuan bila diperlukan. Ketiga, proses yaitu anak mencobakan sendiri apa yang sudah dipelajarinya. Keempat, unjuk kerja, yaitu dengan berbagi apa yang sudah dipelajari dan mencari pengakuan dari orang dewasa.
Pengembangan bahasa anak pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti : faktor internal (diri anak itu sendiri) serta faktor eksternal, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekitar, maupun lingkungan kelas yang baru tempat anak bermain di Taman Kanak-kanak. Taman Kanak-kanak sebagai salah satu lembaga pendidikan untuk anak usia empat sampai enam tahun wajib memberikan fasilitas dalam mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak secara optimal, salah satunya adalah membaca dini. Taman Kanak-kanak merupakan taman bermain bagi anak, dimana dalam bermainnya itu anak mendapatkan pembelajaran dan pengalaman yang bermakna. Strategi yang digunakan dalam mengembangkan kemampuan membaca dini adalah dengan pendekatan pengalaman berbahasa yang menerapkan konsep DAP (Developmentally Appropriate Practice). Pendekatan ini disesuaikan dengan karakteristik anak di Taman Kanak-kanak, yakni melalui bermain dengan menggunakan metode mengajar yang tepat untuk mengembangkan kemampuan membaca dini serta melibatkan anak dalam kegiatan yang dapat memberikan berbagai pengalaman bagi anak.
Selain metode yang digunakan, perlu diperhatikan pula motivasi dan minat anak dalam kemampuan membaca dini, karena faktor tersebut mempengaruhi perkembangan membaca anak. Metode memang sangat penting dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak tetapi media juga sangat diperlukan kegunaannya, karena dengan menggunakan media dapat membantu pendidik dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran adalah sebagai alat pembelajaran dalam proses kegiatan belajar mengajar yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima sehingga apa yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Secara sederhana, media pembelajaran dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu : media visual, media audio dan media audiovisual.
Media visual adalah media yang hanya dapat dilihat, media visual terdiri atas media yang diproyeksikan (projected visual), seperti media proyeksi diam misalnya gambar diam (still pictures) dan proyeksi gerak misalnya gambar bergerak (motion pictures). Selain itu media yang tidak dapat diproyeksikan (non-projected visual), contohnya : media gambar diam/mati, media grafis, media model, dan media realita.
Media audio adalah media yang mengandung pesan dalam bentuk auditif (hanya dapat didengar) yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan anak untuk mempelajari isi tema. Contohnya yaitu : program kaset suara dan program radio. Media audiovisual merupakan kombinasi dari media audio dan media visual atau biasa disebut media pandang-dengar. Contoh dari media audio visual ini di antaranya program televisi/video pendidikan/instruksional, program slide suara.
Media gambar merupakan salah satu jenis media grafis yang termasuk pada media visual. Media gambar sebagai media pembelajaran yang terhitung lebih murah apabila dibandingkan dengan slide, film, ataupun VCD pembelajaran. Media gambar sebagai media yang mengkombinasikan fakta dan gagasan secara jelas dan kuat melalui suatu kombinasi pengungkapan kata-kata dan gambar-gambar.
Menurut Sadiman (1996 : 29) media gambar memiliki beberapa kelebihan daripada yang lain, diantaranya : 
"Sifatnya konkrit, (gambar lebih realistis menunjukkan pokok masalah dibandingkan dengan media verbal semata), gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita, dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja dan untuk tingkat usia berapa saja, sehingga dapat mencegah atau membetulkan kesalahpahaman, selain itu murah harganya dan gampang didapat serta digunakan, tanpa memerlukan peralatan khusus."
Pada dasarnya media gambar dapat mewakili berbagai aneka ragam bentuk yang ada dalam kehidupan sehari-hari, baik itu tentang binatang, tumbuhan, ataupun benda lainnya yang disertai dengan sedikit tulisan, tujuannya untuk menunjukkan makna dari gambar tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan di TK X kelompok B kondisi objektif kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B masih belum optimal, hal ini terlihat dari hasil pengamatan terhadap anak dan hasil wawancara dengan guru kelas. Anak ragu-ragu dalam menyebutkan huruf antara huruf vokal dan huruf konsonan yang ditunjuk oleh guru, anak belum bisa membedakan huruf yang ditunjuk dan diperintahkan guru dalam mengucapkannya, seperti 'd' atau 'b' dan 'p' atau 'q', anak tidak dapat menyebutkan simbol-simbol huruf awal yang dikenal pada kata 'Apel', 'Ikan', 'Unta', 'Ember', 'Obor', 'Domba', 'Flamingo', 'Gitar', 'Harimau', 'Jerapah', 'Pisang', 'Nanas'. Bahkan masih ada anak yang belum bisa membaca dan menuliskan namanya sendiri.
Metode pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak yang digunakan guru kurang bervariasi, yang digunakan hanya ceramah dan tanya jawab. Anak kurang aktif dalam proses pembelajaran, terlihat pasif dan hanya menjawab apabila guru bertanya.
Di sisi lain orangtua anak TK X mengharapkan bahwa anak-anaknya harus bisa membaca dan menulis ketika akan memasuki Sekolah Dasar, hal ini membuat guru kelas berusaha mencari jalan keluar yang tepat agar stimulasi yang diberikan benar-benar sesuai dengan usia perkembangan anak. Hal ini harus disadari dan dipahami betul bagaimana caranya supaya kemampuan membaca dini pada anak dapat meningkat. Namun harus diperhatikan pula metode yang tepat dalam penyampaiannya sesuai dengan karakteristik usia perkembangan anak. Serta hams diperhatikan pula faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi kemampuan membaca dini anak Taman Kanak-kanak.
Durkin (Tampubolon, 1991 : 63) telah mengadakan penelitian tentang pengaruh membaca dini pada anak-anak. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Hasil diskusi dengan guru kelas, alternatif yang diambil adalah salah satunya dengan menggunakan media gambar dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak TKA Al-Hi day ah.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas lebih jauh melalui skripsi ini dengan judul "MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR".

B. Rumusan Masalah
Atas dasar permasalahan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B melalui penggunaan media gambar ?". Secara lebih rinci rumusan masalah dalam penelitian ini dituangkan ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B sebelum menggunakan media gambar ?
2. Bagaimana langkah-langkah penggunaan media gambar dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B ?
3. Bagaimana peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B setelah menggunakan media gambar ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B melalui penggunaan Media gambar.
Adapun tujuan khususnya adalah sebagai berikut : 
1. Mengetahui kondisi objektif kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B sebelum menggunakan media gambar
2. Mengetahui langkah-langkah penggunaan media gambar dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B
3. Mengetahui peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X kelompok B setelah menggunakan media gambar

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menambah keilmuan tentang penggunaan media gambar dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak usia Taman Kanak-kanak.
Selain itu manfaat penelitian secara praktis adalah sebagai berikut : 
1. Bagi Kepala Sekolah
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepala sekolah dalam meningkatkan mutu dan perbaikan kemampuan membaca dini pada anak di Taman Kanak-kanak.
b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi kepala sekolah dalam mengembangkan pengajaran kemampuan membaca dini pada anak.
2. Guru
a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pengetahuan dalam mengembangkan program pembelajaran kemampuan membaca dini pada anak Taman Kanak-kanak.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi guru atau pendidik dalam memilih metode pembelajaran kemampuan membaca dini yang menyenangkan pada anak.
3. Bagi Anak
a. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan membaca dini pada anak di TK X dengan menggunakan media gambar. 
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suasana yang baru dalam kegiatan pembelajaran meningkatkan kemampuan membaca dini anak.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:44:00

MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN (PGTK)

MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah SWT, dimana anak dibekali dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan melalui pendidikan. Pendidikan anak usia dini adalah suatu pendidikan yang ditujukan kepada anak usia dini yang ditujukan untuk merangsang setiap perkembangan dan pertumbuhan anak untuk persiapan memasuki pendidikan lebih lanjut. Seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa : 
"Pendidikan anak usia dini yang selanjutnya disebut PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditunjukkan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut".
Adapun tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah untuk membantu dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak. Dalam pendidikan anak usia dini terdapat aspek-aspek yang harus dikembangkan dan ditanamkan dalam diri anak, diantaranya aspek kognitif, bahasa, nilai agama dan moral serta sosial. Sosial mencakup sikap tenggang rasa, peduli, saling menghargai, saling menghormati, bekerjasama, empati dan lain sebagainya.
Mengapa keterampilan sosial anak perlu dikembangkan adalah pada dasarnya setiap anak akan memerlukan bantuan orang lain dan akan hidup menjadi manusia sosial, namun dalam kenyataannya masih banyak anak yang tidak dapat bersosialisasi dengan orang lain. Oleh karena itu anak harus memiliki keterampilan sosial pada dirinya.
Keterampilan sosial merupakan bentuk perilaku, perbuatan dan sikap yang ditampilkan oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain disertai dengan ketepatan dan kecepatan sehingga memberikan kenyamanan bagi orang yang berada di sekitarnya (Chaplin dalam Suhartini, 2004 : 18).
Menurut Septiana (2009) kurangnya seseorang memiliki keterampilan sosial menyebabkan kesulitan perilaku di sekolah, kenakalan, tidak perhatian, penolakan rekan, kesulitan emosional, bullying, kesulitan dalam berteman, agresivitas, masalah dalam hubungan interpersonal, miskin konsep diri, kegagalan akademik, kesulitan konsentrasi, isolasi dari teman sebaya dan depresi.
Kurniati (2005 : 35) bahwa keterampilan sosial adalah kebutuhan primer yang perlu dimiliki anak-anak bagi kemandirian pada jenjang kehidupan selanjutnya, hal ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan.
Mengingat keterampilan sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya keterampilan sosial ditanamkan pada anak sedini mungkin.
Keterampilan sosial pada anak dapat dikembangkan melalui berbagai metode di antaranya, metode bercerita, metode tanya jawab, metode karyawisata, dan metode bermain peran. Salah satu metode yang lebih efektif untuk mengembangkan empati anak yaitu metode bermain peran.
Metode bermain peran adalah suatu proses pembelajaran artinya anak dapat berperan langsung dengan apa yang telah dilihatnya serta dengan melaksanakan metode bermain peran anak dapat menyelami perasaan orang lain tanpa anak ikut larut di dalamnya. Sebagaimana di kemukakan Rachmawati (2007 : 31), bermain peran yaitu permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda-benda sekitar anak yang akan mengembangkan imajinasi dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.
Menurut Moeslichatoen (2004 : 38) bermain pura-pura adalah bermain yang menggunakan daya khayal anak yaitu dengan memakai bahasa atau berpura-pura bertingkah laku seperti benda tertentu, situasi tertentu, atau orang tertentu dan binatang tertentu yang dalam dunia nyata tidak dilakukan.
Bentuk kegiatan bermain pura-pura merupakan cermin budaya masyarakat di sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang dilihat dan didengar akan terulang dalam kegiatan bermain pura-pura tersebut. Dengan anak melakukan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode bermain peran atau bermain pura-pura, keterampilan sosial pada anak akan tumbuh dan masuk ke dalam diri anak dan melihat keadaan dari sisi orang lain, seolah-olah ia adalah orang itu.
Kondisi objektif yang ditemukan di TK X ini masih jarang lagi diterapkan metode bermain peran, khususnya untuk mengembangkan keterampilan sosial anak TK X. Aktivitas pembelajaran di TK ini masih monoton, seperti halnya mengisi majalah sekolah, menggambar dan mewarnai gambar. Selain itu, aktivitas pembelajarannya masih banyak ditekankan pada segi akademis dan sering kali menggunakan metode tanya jawab atau ceramah yang dimana guru yang lebih banyak berperan aktif. Sehingga metode bermain peran masih sangat jarang diterapkan pada anak di TK ini. Selain metode pembelajaran yang monoton pada anak pun keterampilan sosial tidak terlihat, seperti yang terlihat disini keterampilan sosial anak belum muncul, anak tidak mau membantu temannya dalam hal meminjamkan alat tulis, tidak mau berbagi pada teman yang tidak membawa makanan, anak yang suka mengejek temannya, anak tidak mau membantu temannya saat merapikan meja, dan saat ada anak yang terjatuh anak lain menertawakan bukan menolong. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian terkait dengan penerapan metode bermain peran untuk meningkatkan keterampilan sosial anak di TK tersebut.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penelitian ini memfokuskan kajian pada "MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN".

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini dituangkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif sekolah TK X ?
2. Bagaimana gambaran umum keterampilan sosial anak usia dini di kelompok B TK X ?
3. Bagaimana langkah-langkah metode bermain peran di kelompok B TK X untuk meningkatkan keterampilan sosial anak ?
4. Bagaimana peningkatan keterampilan sosial anak usia dini di kelompok B TK X setelah menggunakan metode bermain peran ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui kondisi objektif sekolah TK X.
2. Untuk mengetahui gambaran umum keterampilan sosial anak usia dini di kelompok B TK X.
3. Untuk mengetahui langkah-langkah metode bermain peran di kelompok B TK X, dalam rangka meningkatkan keterampilan sosial anak.
4. Untuk mengetahui peningkatan keterampilan sosial anak usia dini di kelompok B TK X setelah menggunakan metode bermain peran.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat pada penelitian ini sebagai berikut : 
1. Bagi anak
a. Membantu anak dalam mengembangkan keterampilan sosial di lingkungannya.
b. Di masa akan datang anak akan memiliki keterampilan sosial yang baik.
2. Bagi Guru
a. Memberikan masukan kepada guru dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat, yang dapat menjadi alternative lain dalam pembelajaran khususnya pada anak didik.
b. Dapat membantu guru dalam membangun keterampilan sosial anak agar di masa yang akan datang anak dapat diterima dengan baik di lingkungannya.
3. Bagi TK
a. Memberikan masukan kepada pihak sekolah untuk berusaha menciptakan interaksi yang baik dalam lingkungan sekolah antara guru dengan guru, guru dengan anak, maupun anak dengan anak yang meliputi perhatian, kasih sayang, keterbukaan, suasana harmonis sehingga nantinya dapat dijadikan bekal bagi anak dalam membentuk kepribadian dan perilaku sehingga mudah dan dapat diterima dalam pergaulan yang luas baik di sekolah maupun lingkungan sekitar anak.
b. Memberi sumbangan informasi untuk meningkatkan mutu pendidikan Taman Kanak-kanak.

E. Asumsi Penelitian
Asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Menurut Rachmawati (2007 : 31), bermain peran yaitu permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda-benda sekitar anak yang akan mengembangkan imajinasi dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.
2. Matson (Gimpel dan Merrel, 1998) mengatakan bahwa keterampilan sosial (Social Skill), baik secara langsung maupun tidak membantu seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya
3. Combs & Slaby (Gimpel dan Merrell, 1998) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill) adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara social maupun nilai-nilai dan di saat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain.

F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode PTK yaitu penelitian yang dilakukan oleh guru bersama dengan orang lain (kolaborasi) dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam upaya perbaikan terhadap kegiatan belajar mengajar di kelas berdasarkan permasalahan yang di temui di dalam kelas. Penelitian ini dilakukan sebanyak tiga siklus di Taman Kanak-kanak X. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh anak kelompok B yang berjumlah 12 orang terdiri dari laki-laki : 3 orang dan perempuan : 9 orang.

G. Sistematika Penulisan
Bab 1 pendahuluan yang memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan masalah, manfaat penelitian, asumsi penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab 2 kajian teoritis yang pertama membahas konsep keterampilan sosial yang berupa definisi keterampilan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial, jenis keterampilan sosial dan karakteristik keterampilan sosial, dan yang kedua membahas konsep metode bermain peran berupa definisi bermain peran, langkah-langkah bermain peran, jenis bermain peran, macam-macam bermain peran.
Bab 3 metode penelitian yang memaparkan secara lebih rinci metode yang akan di gunakan dalam penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, prosedur penelitian, teknis pengumpulan data dan validasi data.
Bab 4 hasil penelitian dan pembahasan yang memaparkan hasil penelitian dimulai dari observasi awal, siklus 1, siklus 2, siklus 3 serta observasi akhir.
Pembahasan menganalisis data dari hasil penelitian, faktor kendala yang dialami saat penelitian, dan meningkatnya keterampilan sosial setelah dilakukan metode bermain peran.
Bab 5 kesimpulan dan rekomendasi, kesimpulan memaparkan hasil ringkasan dari bab 1 sampai bab 4, dan rekomendasi memberi masukan kepada guru, kepada sekolah dan kepada peneliti selanjutnya agar dapat menjadi lebih baik dalam melakukan penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:48:00

MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL OLIMPIADE MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL OLIMPIADE MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME (MATEMATIKA KELAS VIII)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Mutu sumber daya manusia suatu bangsa tergantung pada mutu pendidikan. Dengan berbagai strategi, peningkatan mutu diarahkan untuk meningkatkan mutu siswa dalam penguasaan ilmu pengetahuan dasar, penguasaan bahasa asing, dan penanaman sikap dan perilaku yang mencerminkan budi pekerti.
Era globalisasi memberikan inspirasi positif dalam masyarakat internasional. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, masyarakat Indonesia sangat membutuhkan kemampuan kompetitif di kalangan pelajar untuk bersaing secara sehat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seperti diketahui bersama bahwa matematika merupakan induk banyak ilmu lain yang berkembang saat ini, mulai dari statistik, fisika, ekonomi, keuangan, teknik, kedokteran, industri, listrik, konstruksi, komputer, teknologi informasi, antariksa sampai kepada desain grafis, dan masih banyak ilmu lain, serta derivatif dan penerapan ilmu tersebut. Dukungan dan peran matematika dalam berbagai ilmu sangat besar, baik dalam eksistensi maupun dalam pengembangan keilmuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa matematika berbagai ilmu akan sulit dikembangkan dan diterapkan (Kurniawan 2004 : 98).
Sudah saatnya proses pembelajaran sebanyak mungkin melibatkan para siswa secara aktif dengan suasana kondusif, berdialog, berdiskusi secara bersama atau kelompok untuk membahas dan mengerjakan perhitungan matematika. Melalui contoh yang nyata dan relevan kehidupan dan keterlibatan para siswa secara aktif akan membuat para siswa merasa nyaman untuk mempelajari sehingga akan meningkatkan mutu pembelajaran. Guru matematika harus selalu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, nyaman sesuai konsep pembelajaran tertentu secara optimal sehingga siswa tertarik dan menyenangi pelajaran matematika.
Di SMPN X, sarana dan prasarana untuk kegiatan pembelajaran cukup memadai begitu pula prestasi akademik maupun non akademik. Tahun ajaran 2004/2005 sekolah ini mendapat kesempatan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah membuka kelas imersi. Kesempatan tersebut memacu sekolah untuk semakin berkembang menjadi lebih maju dari tahun ke tahun.
Situasi pembelajaran pada SMPN X adalah pembelajaran cooperative learning. Anggapan tentang matematika adalah pelajaran yang sukar membuat pembelajaran menjadi tidak optimal. Masalah nyata yang terjadi pada siswa kelas VIII tidak seperti yang diharapkan. Siswa pada kelas VIII yang berjumlah 24 siswa terdapat 4 siswa yang ikut dalam siswa teladan. Di setiap pembelajaran yang aktif dalam menerima pelajaran hanya siswa teladan tersebut dan beberapa siswa lainnya yang jumlahnya kurang dari jumlah siswa kelas VIII. Di awal materi pokok baru siswa belum menguasai materi prasyarat. Pada awal pembelajaran guru melakukan tanya jawab materi pelajaran yang telah dipelajari sebelumnya hanya 60% siswa yaitu siswa khusus bimbingan Olimpiade dan beberapa siswa lain yang merespon pertanyaan tersebut. Selain itu, dari diskusi yang dilakukan peneliti dengan salah satu guru matematika kelas VIII SMPN X hasil belajar siswa belum memenuhi KKM yang sudah ditentukan oleh sekolah. Hal ini didasarkan pada nilai ulangan harian dan ujian tengah semester siswa masih dibawah standar yaitu 71 sebanyak 60% padahal KKM yang sudah ditentukan adalah 75.
Realita yang terjadi pada kelas VIII ini menjadikan guru tergugah hati untuk menggunakan lembar kerja siswa dan suatu pendekatan khusus. Penggunaan LKS didalamnya terdapat uraian singkat materi prasyarat yang bisa mengingatkan siswa pada materi sebelumnya. Pendekatan khusus yang cocok untuk menyelesaikan keaktifan siswa adalah pendekatan konstruktivisme. Melalui konstruktivisme ini guru mengolaborasikannya dengan diskusi soal-soal olimpiade. Diskusi soal-soal olimpiade ini dilakukan karena ada beberapa siswa yang mungkin bisa menyelesaikan soal-soal ini dengan membantu siswa lain yang belum mengerti akan karakteristik soal-soal tersebut. Penerapan konstruktivisme dengan membentuk siswa menjadi kelompok-kelompok kecil yang heterogen bisa menyelesaikan soal-soal Olimpiade yang hasil akhir diskusi yaitu presentasi hasil diskusi itu.
Beberapa kemungkinan penyebab terjadinya kegagalan pada aktivitas siswa dan hasil belajar siswa diantaranya : kemampuan siswa terbatas, sehingga hanya siswa dengan kecerdasan tinggi menjadi dominan di kelas; kemauan belajar siswa kurang, sehingga menyebabkan hasil belajar mereka kurang memuaskan; dan siswa yang masih tidak disiplin pada saat pembelajaran berlangsung.
Sesuai masalah nyata yang terjadi di atas maka pemilihan alternatif penyelesaian sebagai tindakan adalah :
a. Dengan penggunaan pendekatan konstruktivisme disertai LKS dan lembar diskusi soal-soal olimpiade yang cara penyelesaiannya siswa dituntun.
b. Dengan penggunaan pendekatan konstruktivisme disertai LKS dan lembar diskusi soal-soal olimpiade yang cara penyelesaiannya siswa tidak dituntun.
c. Dengan penggunaan pendekatan konstruktivisme disertai LKS dan lembar tugas soal-soal olimpiade yang cara penyelesaiannya siswa tidak dituntun.
Permasalahan di atas harus segera diatasi karena hasil belajar yang kurang memuaskan akan memperlambat pembelajaran ke materi berikutnya karena siswa akan sering melakukan remidi. Aktivitas siswa yang kurang memuaskan akan membuat siswa belum bisa memahami dan menerapkan materi yang ada. Sedangkan kurikulum sekolah menuntut guru untuk menyelesaikan materi sesuai dengan waktunya, sehingga guru tidak selalu mengulang materi yang telah diajarkan dan waktu yang diperlukan guru menjadi lebih lama.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana cara meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal olimpiade matematika SMP kelas VIII di SMPN X bidang geometri melalui pendekatan konstruktivisme ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah melalui pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal olimpiade matematika SMP kelas VIII SMPN X bidang geometri.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Siswa
Meningkatkan bakat dan minat di bidang Matematika dan Sains sehingga dapat berkreasi serta melakukan inovasi sesuai kemampuan serta memperkaya pengetahuan siswa mengenai soal-soal Olimpiade beserta penyelesaiannya.
2. Bagi Guru
a. Memperkaya berbagai jenis soal-soal Olimpiade di bidang Geometri.
b. Mendapat pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan pembelajaran melalui konstruktivisme.
c. Meningkatkan kemampuan guru dalam menciptakan strategi pembelajaran yang bervariatif dan inovatif.
3. Bagi Sekolah
Dapat menjadi acuan bagi sekolah dalam menentukan arah kebijakan untuk kemajuan sekolah dan sekolah yang menjadi objek dalam penelitian tindakan kelas akan memperoleh hasil pengembangan ilmu.
4. Bagi Peneliti
Mendapat pengalaman dan dapat mengetahui hasil dari pelaksanaan pembelajaran melalui pendekatan konstruktivisme.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:04:00