Cari Kategori

Showing posts with label skripsi pendidikan bahasa dan sastra indonesia. Show all posts
Showing posts with label skripsi pendidikan bahasa dan sastra indonesia. Show all posts

Analisis Konteks Wacana Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika

Skripsi Analisis Konteks Wacana Dalam Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa pada hakekatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris. Dengan demikian bahasa merupakan suatu simbol yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana dalam menuangkan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari kebenaran dalam kehidupannya (Kaelan, 2002 : 7-8). Bahasa juga memiliki tataran yang terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana, istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan, wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar dan digunakan dalam komunikasi. Wacana digunakan sebagai dasar pemahaman suatu teks sangat diperlukan oleh setiap orang berbahasa dalam berkomunikasi dan saling bertukar informasi. Wacana harus dipertimbangkan dari segi isi dan unsur-unsur pendukungnya sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam kegiatan berkomunikasi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata, rangkaian kata membentuk frase, dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya rangkaian kalimat membentuk wacana (Rani dkk, 2006:3).

Konteks merupakan acuan umum semua hal menyertai sebuah wacana. Istilah konteks tidak hanya terdapat dalam sebuah wacana tetapi juga terjadi dalam kegiatan atau peristiwa tutur. Seorang penganalisis sebuah wacana harus mempertimbangkan konteks tempat terdapatnya bagian wacana agar lebih mudah dalam memahami isi sebuah wacana. Ada teks dan teks lain yang menyertainya, teks menyertai teks itu adalah konteks (Halliday dan Hasan, 1992:6).

Konteks memegang peranan penting dalam wacana karena konteks dapat mambantu pembaca untuk lebih mudah dalam memahami isi wacana. Konteks dapat mengandung sebuah pesan atau informasi yang terkandung dalam sebuah wacana.

Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, dan unsur-unsur dalam konteks itu berhubungan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam setiap komunikasi bahasa. Sehingga unsur-unsur dalam konteks itu mempunyai peranan penting dalam proses atau kegiatan komunikasi. Unsur-unsur dalam konteks dapat memberi tanda keterangan bagi eksistensi dalam hubungannya dengan pembicara yang memperkenalkan pada suatu percakapan (Djajasudarma,1994:29&37).

Analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar dari kalimat (Purwo,1993:21). Dengan analisis wacana, kita jadi lebih mengetahui tentang unsur-unsur suatu wacana sehingga kita lebih mudah dalam memahami isi suatu wacana. Data yang dipakai dalam analisis wacana harus mencerminkan hal-hal khusus yang menarik bagi penganalisis. Data yang dipelajari pada analisis wacana merupakan penggalan (bagian) wacana dalam penganalisis wacana selalu memutuskan permulaan dan akhir dari bagian dari wacana tersebut.
Novel merupakan modifikasi dunia modern yang paling logis dan merupakan kelanjutan dari dunia epik. Eksistensi suatu novel disebabkan oleh perhatian manusia dimana saja, sepanjang masa yang tercurah pada manusia (laki-laki dan perempuan) serta gambaran yang kompleks tentang hasrat dan tingkah laku manusia, passion and action. Kebebasan suatu karakter didalam novel mencerminkan kebebasan pandangan pengarang, tanpa dibuat-buat. Sebuah novel akan menjadi lebih logis sepanjang batas yang melengkapi kebenaran puitik karena suatu kenyataan dan kelogisan menunjukkan tingkat konsentrasi pengarangnya. Di dalam sebuah novel terdapat suatu fase di mana antara dialog dan karakter-karakter tertentu mengalami konfrontasi dan dikonfrontasikan pengarangnya (Atmaja, 1986:44-60). Novel dan cerpen sebagai karya fiksi yang mempunyai perbedaan terletak pada segi panjang cerita. Cerita pada novel lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas menyajikan sesuatu secara lebih rinci, lebih detail dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks, mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel tersebut (Nurgiyantoro, 1994:4-10).

Peneliti tertarik untuk mengkaji novel karena novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas dan lebih kompleks isi dan permasalahannya dan lebih rinci. Menurut Fielding dalam Atmaja(1986:44) novel merupakan modifikasi dunia modern yang paling logis dan novel relevan untuk situasi kini.

Peneliti memilih novel yang berjudul Dadaisme dengan alasan novel ini merupakan karya pertama Dewi Sartika dan novel ini menjadi pemenang pertama dalam sayembara novel tahun 2003. Alasan lain yang membuat peneliti tertarik adalah tentang isi cerita yang menarik untuk dibaca dan dipahami konteks wacananya.

Dewi Sartika adalah penulis muda berbakat yang menulis novel Dadaisme ketika masih menuntut ilmu di perguruan tinggi. Hasil karya yang cemerlang dan memenangkan sayembara novel membuat peneliti tertarik untuk mengkaji novelnya.

Peneliti mengambil judul ”Analisis Konteks Wacana dalam Novel Dadaisme” karena setelah peneliti membaca novel Dadaisme peneliti tertarik untuk mendiskusikan dan mengkaji konteks wacana dalam novel Dadaisme.

Konteks memegang peranan penting dalam suatu wacana karena konteks itu dapat memberikan sebuah informasi atau pesan.

1.2 Ruang Lingkup
Bahasa memiliki tataran yaang terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana.Wacana adalah satuan bahasa yang paling besar dan digunakan dalam komunikasi (Djajasudarma,1994:2). Konteks adalah bagian dari wacana yang dibentuk oleh berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan situasi. Analisis wacana adalah cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar dari kalimat (Purwo,1993:21).

1.3 Batasan Masalah
Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur seperti penutur, pendengar, topik, kode, saluran (channel), latar, pesan, dan peristiwa. Latar dapat berupa tempat, waktu, gerak tubuh, dan roman muka.Pesan mempunyai sifat informatif, persuasif, dan koersif. Sedangkan peristiwa mempunyai faktor yang menandai terjadinya peristiwa yaitu setting, participan, end, act key, instrumen, norma, dan genre. Dalam penelitian ini Peneliti hanya akan meneliti latar (setting), pesan (massage), dan peristiwa (event) yang ada dalam cerita novel Dadaisme karena dari semua unsur konteks, ketiga unsur ini adalah yang paling penting dan paling mendominasi dalam novel Dadaisme.

1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
a) Bagaimana latar (setting) dalam novel Dadaisme ?
b) Bagaimana pesan (massage) dalam novel Dadaisme?
c) Bagaimana peristiwa (event) dalam novel Dadaisme?

1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan latar (setting), pesan (massage), dan peristiwa (event) dalam novel Dadaisme.

1.6 Manfaat Penelitian
Semua kegiatan pasti akan mempunyai manfaat, begitu juga dalam penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut :
1.6.1 Pembaca
Manfaat bagi pembaca adalah untuk memberikan ilmu tambahan dan wawasan tentang konteks wacana dalam novel Dadaisme.
1.6.2 Pengarang
Manfaat bagi pengarang yaitu dapat menjadi novel Dadaisme lebih populer dan menjadi novel best seller.
1.6.3 Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah untuk memberi pemahaman tentang konteks wacana dalam novel Dadaisme dengan baik dan benar. Selain itu, memberi pengalaman bagi peneliti yang dapat digunakan dalam pemahaman sebuah wacana.

1.7 Penjelasan Judul
Untuk mempermudah pemahaman terhadap konteks wacana dalam novel Dadaisme karya Dewi Sartika akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna/situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.
2. Wacana adalah ucapan, tutur/satuan bahasa terlengkap yang realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku, atau artikel.
3. Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:00:00

Referensi Dalam Novel Dimsum Terakhir Karya Clara Ng - Kajian Analisis Wacana

Skripsi Analisis Referensi Dalam Novel Dimsum Terakhir Karya Clara Ng - Kajian Analisis Wacana

Manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan, dalam menyampaikan informasi. Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Lyons dalam George Yule (1996: 32) mengemukakan bahwa pengertian komunikasi dengan mudah dapat dipakai untuk perasaan, suasana hati, dan sikap, tetapi menunjukkan bahwa ia terutama akan tertarik pada penyampaian informasi yang faktual atau proposional yang disengaja. Sedangkan bahasa adalah alat untuk mengekspersikan diri (Keraf, 1984: 3). Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Oleh karena itu, kemampuan berbasa seseorang sangat erat hubungannya dengan kemampuan berfikirnya, semakin pandai seseorang dalam berbahasa, maka dapat diketahui bahwa semakin jelas jalan pikirannya.

Dalam komunikasi tulis, proses komunikasi penyapa dan pesapa tidak berhadapan langsung. Penyapa menuangkan ide gagasanya dalam kode-kode kebahasaan yang biasanya berupa rangkain kalimat. Rangkaian kalimat tersebut nantinya ditafsirkan maknanya oleh pembaca (pesapa). Di sini pembaca mencari makna berdasarkan untaian kata yang tercetak dalam teks. Dalam kondisi seperti itu, wujud wacana adalah teks yang berupa rangkaian preposisi sebagai hasil pengungkapan ide atau gagasan. Dengan kata lain wacana dalam komunikasi tulis berupa teks yang dihasilkan oleh seorang penulis (Rani, 2006:3). Sedangkan komunikasi lisan adalah bentuk komunikasi yang diucapkan secara langsung tanpa adanya perantara atau pihak ketiga (Brown dan Yule, 1996: 9).

Pemilihan bahasa dalam berkomunikasi didasarkan pada berbagai pertimbangan yaitu kondisi penutur dan kondisi lawan tutur, serta pesan-pesan yang terdapat dalam media komunikasi. Komunikasi merupakan usaha pembicara untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengar atau menyuruhnya untuk melakukan sesuatu (Barnett, 1976: 5). Disiplin ilmu yang mengkaji bahasa yang nyata dalam tindakan komunikasi tersebut disebut analisis wacana.

Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa (Djajasudarma, 2006:2). Samsuri (1987: 36) berpendapat bahwa hubungan antar kalimat yang membangun sebuah wacana itu dapat ditandai dengan penanda yang meliputi aspek gramatikal dan aspek leksikal, karena kalimat yang satu tidak dapat ditafsirkan maknanya, kecuali ke unsur yang lain.
Rani (2006: 15) menguraikan beberapa aspek yang berkaitan dengan kajian wacana, aspek-aspek tersebut adalah (a) jenis pemakaian wacana, (b) konteks wacana, (c) kohesi dan koherensi, (d) referensi, (e) tindak tutur, dan (f) analisis wacana kritis.

Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang berupa novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya yang paragraf, kalimat, atau kata membawa amanat yang lengkap. Novel adalah suatu cerita dengan alur yang cukup panjang yang mengisi satu buku atau lebih yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif (Tarigan, 1993: 164). Seperti halnya novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng. Novel tersebut dituangkan dalam wacana agar dapat dibaca oleh masyarakat umum. Dalam novel “Dimsum Terakhir” terdapat referensi atau pengacuan. Referensi adalah hubungan antara kata dengan benda, tetapi lebih luas lagi referensi dikatakan sebagai hubungan bahasa dengan dunia. Salah satu keunikan dalam referensi adalah si penutur referensi dianggap sebagai tindak tanduk si penutur. Dengan kata lain, referensi dari sebuah kalimat sebenarnya ditentukan oleh si penutur, karena si penuturlah yang paling tahu tentang referensi oleh si penutur.

Keberadaan wacana dalam teks sangat penting, karena wacana membantu memberikan penafisiran tentang makna ujaran dalam teks, disamping itu novel juga merupakan komunikasi pengarang pada calon pembacanya, dalam wacana novel banyak ditemukan pemahaman yang utuh terhadap maksud wacana novel, oleh karena itu analisis referensi pada novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng perlu dilakukan agar dapat memberikan sumbangan pada pembaca untuk mengembangkan pemahaman pembacaan pada novel.

Clara Ng, sang penulis novel, merupakan salah seorang novelis muda yang turut mengucurkan derasnya aliaran sastra Indonesia segar saat ini. Ia dinilai cukup produktif menghasilkan karya. Dalam tujuh tahun ini (2002-2008) Clara sudah menerbitkan novel, cerpen, cerita anak-anak sekitar 21 buku, karya-karyanya diterbitkan oleh salah satu penerbit terkenal di Indonesia. Salah satu dari karya novel yang ditulisnya yaitu novel dengan judul Dimsum Terakhir, novel ini menceritakan tentang anak yang dilahirkan kembar empat sekaligus. Dari kembar empat ini mereka memempunyai kebiasaan dan sifat yang sangat berlawanan. Salah satu tokoh yang paling menonjol adalah Rosi dia memiliki kelainan seks suka sesama jenis (lesbi).

Sosok sang novelis pada kenyataannya adalah seorang ibu muda, cantik, dan menawan. Clara banyak mendapat kritikan dari orang-orang disekitarnya yang mengklaim bahwa Clara dituduh melegalkan seks bebas, karena karya yang ditulisnya banyak yang berbau seks bebas. Dalam menyikapi hal tersebut Clara menanggapi dengan sabar karena dia berpendapat bahwa dalam menuli tidak usah munafik, melihat realita yang ada itu lebih baik.

Sebagai karya sastra, novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng ini dapat dianalisis dari segi pendekatan bahasa. Dalam hal ini, analisis referensi memfokuskan pada aspek referensi eksofora dan referensi endofora. Teori ini sangat penting untuk mendukung dan mengembangkan pemahaman pembaca terhadap teks novel. Analisis diantaranya akan mengupas secara mendatail terhadap antesenden di luar bahasa atau konteks situasi, antensenden di dalam teks dan persoalan ketakrifan. Hal ini dijadikan dasar pilihannya teori referensi sebagai kebijakan analisis.

Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang referensi di salah satu novel karya Clara Ng, yaitu pada novel yang berjudul “Dimsum Terakhir”.

1.2 Masalah
1.2.1 Ruang Lingkup Masalah
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan tertinggi dalam hierarki gramatikal. Dengan berdasarkan pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa ruang lingkup kajian wacana sangat luas, yaitu meliputi: jenis pemakaian wacana, konteks wacana, kohesi dan koherensi, referensi, tindak tutur, dan analisis wacana kritis.
1.2.2 Batasan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada referensi. Adapun referensi yang hendak dianalisis menyangkut dua jenis, diantaranya: referensi endofora dan referensi eksofora. Referensi endofora dibagai menjadi dua yaitu: referensi anfora dan referensi katafora.
1.2.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah peneliti uraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana referensi endofora dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng?
2. Bagaimana referensi eksofora dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng?

1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan referensi endofora dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.
2. Mendeskripsikan referensi eksofora dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk kepentingan ilmu analisis wacana, terutama mengenai analisis referensi endofora dan referensi eksofora sebuah wacana.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, pemanfaatan penelitian ini ialah:
a. Memberikan informasi kepada pendidikan mengenai endofora dan referensi eksofora.
b. Menambah pengetahuan bagi mahasiswa, terutama mengenai referensi endofora dan referensi eksofora.
c. Bagi pembaca agar mengatahui dan memahami referensi endofora dan referensi eksofora yang terkandung dalam novel “Dimsum Terakhir” karya Clara Ng.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 07:03:00

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DG TEKNIK INVENTARISASI KESULITAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI SERTA BELAJAR MANDIRI BERBASIS PORTOFOLIO

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DG TEKNIK INVENTARISASI KESULITAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI SERTA BELAJAR MANDIRI BERBASIS PORTOFOLIO


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembelajaran bahasa Indonesia dititikberatkan kepada empat keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan itu adalah mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Substansi dari keterampilan itu adalah bahasa dan sastra. Pemilahan bahasan antara substansi bahasa dengan sastra bukan dimaksudkan untuk membuat garis pemisah antara keduanya. Akan tetapi, pemilahan ini dimaksudkan supaya bahasan substansinya lebih spesifik. Bahasan substansi bahasa dititikberatkan kepada penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasan substansi sastra selain untuk penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, juga untuk meningkatkan kemampuan peserta didik mengapresiasi karya sastra.
Pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Oemarjati (1992) mengatakan bahwa pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai baik dalam konteks individual, maupun sosial. Berdasarkan uraian tersebut dapat diungkapkan bahwa pembelajaran sastra sangatlah diperlukan.
Pembelajaran menulis puisi merupakan salah satu keterampilan bidang ekspresi sastra yang harus dikuasai siswa SMP. Di dalam kurikulum bahasa Indonesia, kompetensi menulis kreatif puisi terdapat pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII, yakni mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas dengan kompetensi dasar menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai.
Pembelajaran menulis puisi ini banyak menemui hambatan sehingga cenderung dihindari atau tidak diajarkan. Mereka menganggap menulis puisi merupakan kegiatan yang sangat sulit karena mereka harus memperhatikan pilihan kata yang digunakan, irama, rima, dan ide. Minimnya kosakata dan pengalaman yang dimiliki siswa untuk juga menjadi penghambat dalam menulis puisi. Selain itu, rendahnya kemampuan siswa dalam menulis puisi juga disebabkan oleh ketidaktahuan siswa tentang manfaat yang akan mereka peroleh setelah mampu menulis puisi.
Sementara itu, di sekolah kurang efektifnya pembelajaran juga menjadi penyebab rendahnya kemampuan siswa menulis puisi. Ketidakefektifan ini disebabkan oleh kurang tepatnya model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran yang diterapkan tidak mampu mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Situasi sekolah yang tidak menyenangkan. Cara guru mengajar yang membosankan juga ikut andil menyumbang terkuburnya potensi alami siswa. Suparno dan Nurjanah (2004) mengungkapkan bahwa para guru belum memahami benar arah pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa SMP sehingga data menunjukkan (1) masih banyak guru yang dominan memberi penjelasan tentang bahasa dan penggunaannya, (2) sebagian besar guru kurang menguasai taksonomi kemahiran berbahasa Indonesia yang terlibat pada pembelajaran dan evaluasi belajar tidak menekankan atau memfokuskan pada aspek-aspeknya, (3) kreativitas guru dalam meyajikan materi pembelajaran rendah, guru hanya memanfaatkan materi di dalam buku ajar, (4) pembelajaran cenderung "gramatika sentris", (5) guru hanya membelajarkan materi yang sesuai soal ujian, (6) guru merasa kekurangan waktu karena kurikulum terlalu padat. Senada apa dengan apa yang diungkapkan di atas, pembelajaran menulis kreatif puisi cenderung bersifat teoretis informatif bukan apresiatif produktif. Belajar hanya sebatas memberikan informasi pengetahuan tentang sastra sehingga kemampuan siswa menciptakan dan mengapresiasi sastra kurang mendapat perhatian. Siswa kurang memperoleh kesempatan untuk melakukan konstruksi pengetahuan dan melakukan pengembangan pengetahuan itu menjadi sebuah produk pengetahuan baru.
Di sekolah, guru hanya mengajarkan materi atau melakukan pembelajaran tanpa memperhatikan siswa dan lingkungan. Guru hanya menjalankan perannya sebagai pengajar dan cenderung mengabaikan perannya sebagai pendidik. Guru tidak berusaha mencari tahu apa yang ada pada diri siswa, minat, dan bakat yang dimilikinya. Guru kurang dapat memberi motivasi pada siswa untuk aktif turut serta dalam pembelajaran. Hal demikian inilah yang membuat pembelajaran menjadi monoton dan membosankan.
Budiono (dalam Sutikno 2009 : 174) mengatakan bahwa salah satu usaha yang dapat dilakukan guru untuk memotivasi belajar siswa adalah menggunakan model pembelajaran inovatif sehingga siswa menikmati kegiatan pembelajaran. Guru dapat memberikan stimulus terlebih dahulu agar siswa lebih termotivasi dalam belajar menulis puisi karena motivasi merupakan unsur yang ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu. Intensitas motivasi seseorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.
Oleh karena itu, guru harus dapat mengupayakan optimalisasi unsur-unsur dinamis tersebut dengan jalan : (1) pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan hambatan belajar yang dialaminya, memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar; (2) meminta kesempatan pada orang tua atau wali agar memberi kesempatan kepada siswa unutk beraktualisasi diri dalam belajar dengan memanfaatkan unsur lingkungan yang mendorong belajar dan menggunakan waktu secara tertib; (3) guru selalu memberikan rangsangan dengan penguat dan terus membangkitkan rasa percaya diri siswa.
Para pendidik di sekolah harus mempunyai keyakinan bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan waktu tersendiri dalam mempelajari atau menguasai sesuatu. Dengan cara itu diharapkan kita akan mewariskan generasi pembelajar yang mampu untuk belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri sepanjang hidup mereka. Hal itu bisa dicapai dengan cara menghindarkan setiap kondisi yang membuat mereka justru berhenti atau bahkan membenci proses pembelajaran itu sendiri.
Permasalahan lain yang dihadapi dalam pembelajaran menulis puisi adalah kurang tersedianya waktu. Siswa dituntut menulis puisi dalam waktu yang relatif singkat dan tema yang ditentukan dengan satu kali proses (sekali jadi). Tentunya ini bukan hal yang mudah bagi anak usia SMP. Padahal pembelajaran menulis puisi di SMP berkaitan erat dengan latihan-latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian, guru dan kurikulum telah membatasi kreativitas siswa. Akibatnya, siswa tidak menulis puisi secara maksimal, minat dan bakat yang dimiliki tidak berkembang. Bahkan mereka merasa bahwa kegiatan menulis puisi merupakan sebuah beban. Pada akhirnya kegiatan pembelajaran sastra itu bertentangan dengan tujuan pembelajaran sastra itu sendiri yakni membawa anak menikmati kraya sastra (mengapresiasi sastra). Akibat yang lebih fatal lagi adalah anak tidak suka dan cenderung menghindari pembelajaran sastra.
Bertolak dari kenyataan itulah perlu dikembangkan model pembelajaran penulisan puisi yang mampu mengatasi atau meminimalkan masalah-masalah yang selama ini melingkupi pembelajaran menulis puisi. Diperlukan model pembelajaran yang dapat memberi peluang kepada siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Model pembelajaran tersebut diharapkan mampu membuat siswa mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu belajar dan dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki seluas-luasnya. Maka, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada dikembangkanlah model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio.
Pertama, teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi. Teknik inventarisasi kesulitan merupakan sebuah teknik untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi. Secara garis besar teknik inventarisasi kesulitan ini dilakukan dengan cara mendata kesulitan yang dialami siswa dalam menulis puisi. Pendataan kesulitan itu akan mempermudah guru membimbing siswa.
Sementara itu, Menurut Djaali (2008 : 103) motivasi merupakan kondisi fisiologis dan psikologis yang mendorong siswa untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan tertentu (berprestasi setinggi mungkin). Jadi motivasi ikut menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Motivasi ini diberikan melalui teknik pemberian motivasi untuk menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan meyakinkan bahwa ia mampu menulis puisi. Melalui teknik ini anggapan menulis puisi merupakan kegiatan yang sulit sedikit demi sedikit dapat terkikis.
Kedua, belajar mandiri. Kemandirian belajar itu merupakan keharusan dalam pembelajaran dewasa ini sejauh pembelajaran itu diarahkan kepada hari depan pelajar yang dengan nyata dapat dilihat dalam keluarga dan masyarakat (Holstein 1986 : 1). Pelaksanaan belajar mandiri ini dilakukan berkaitan dengan perbedaan kemampuan yang dimiliki masing-masing siswa, perbedaan motivasi, dan keterbatasan waktu di sekolah. Kemampuan siswa dalam menulis antara yang satu dengan yang lain tentunya berbeda. Siswa yang tertarik dengan sastra dan memiliki pengetahuan luas tentunya akan lebih mudah jika disuruh menulis puisi.
Sebaliknya, siswa yang kurang tertarik dengan sastra dan kurang berpengetahuan akan mengalami kesulitan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Teknik belajar mandiri juga digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu di sekolah karena kurikulum yang padat. Menulis puisi merupakan kegiatan yang membutuhkan latihan secara terus menerus. Berdianti (2008 : 19) mengatakan bahwa kemampuan menulis puisi akan semakin berkembang jika sering berlatih. Siswa perlu sering berlatih untuk dapat menulis puisi dengan baik. Namun, alokasi waktu di sekolah sangatlah terbatas. Maka, perlu diterapkan belajar mandiri agar siswa dapat terus berlatih. Dengan demikian siswa akan berlatih secara mandiri, menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan dimana ia belajar. Keuntungan lain yang diperoleh dari pelaksanaan belajar mandiri ini adalah siswa akan berlatih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, siswa menyadari tujuannya belajar, dan siswa mengetahui manfaat yang akan dia peroleh.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Keegan (1990) yang mengatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga aspek (1) kemandirian dalam menentukan tujuan : apakah tujuan belajar ditentukan oleh guru atau pebelajar, (2) kemandirian dalam menentukan meto belajar : apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya ditentukan oleh guru atau pebelajar, (3) kemandirian dalam menentukan evaluasi. Belajar mandiri ini tidak tanpa campur tangan guru. Guru berfungsi sebagai pendamping, fasilitator, motivator, dan penilai. Penilaian ini dapat dilakukan melalui portofolio yang disusun siswa. Guru bisa mamantau sejauh mana perkembangan siswa dalam menguasai kompetensi menulis puisi.
Ketiga, portofolio. Model pembelajaran portofolio merupakan salah satu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu siswa memahami teori secara mendalam melalaui pengalaman praktik empirik. Model pembelajaran berbasis portofolio mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Prinsip tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif, kelompok belajar kooperatif, pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (Budimansyah 2002 : 8).
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan model pembelajaran diharapkan mampu mengatasi masalah kurangnya penghargaan atas hasil karya siswa dan terlaksananya penilaian proses. Penilaian proses dapat dilakukan karena portofolio berisi kumpulan pengetahuan, tugas-tugas, dan bukti belajar mandiri siswa. Jadi, melalui penerapan model pembelajaran ini guru dapat melakukan penilaian proses dan produk.
Pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio diharapkan dapat menumbuhkan minat siswa dalam pembelajaran menulis puisi. Melalui model pembelajaran ini diharapkan siswa mampu mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki dengan seluas-luasnya tanpa terhalang alokasi waktu belajar di sekolah. Selain itu, hasil karya mereka pun akan mendapatkan apresiasi. Bagi guru, mereka akan mendapatkan penilaian dalam proses maupun hasil (produk) dengan mudah. Dengan demikian penilaian akan lebih adil dan valid.

1.2 Identifikasi Masalah
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah meliputi substansi bahasa dan sastra. Namun selama ini pembelajaran sastra cenderung diabaikan. Salah satu kompetensi sastra adalah menulis puisi. Menulis puisi merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa SMP. Namun dalam pembelajarannya di sekolah banyak menemui hambatan sehingga cenderung dihindari atau tidak diajarkan.
Pembelajaran menulis kreatif puisi cenderung bersifat teoretis informatif dan bukan apresitif produktif. Di sekolah-sekolah guru biasanya hanya mengajarkan teori atau pengetahuan tentang puisi. Misalnya, pengertian puisi, unsur-unsur puisi, dan cara menulis puisi. Siswa tidak diajak untuk berekspresi menulis puisi sehingga pembelajarannya tidak mencapai kompetensi yang diharapkan. Selain itu, sebagian siswa menganggap menulis puisi merupakan kegiatan yang sangat sulit karena siswa tidak terbiasa mengemukakan perasaan, pemikiran, dan imajinasinya ke dalam puisi.
Masalah lain yang muncul dalam pembelajaran menulis puisi adalah rendahnya minat siswa dalam belajar menulis puisi. Hal ini karena siswa belum mengetahui tujuan, manfaat menulis puisi, dan guru kurang kreatif dalam membelajarkan kompetensi ini. Model pembelajaran yang digunakan guru cenderung monoton dan tidak mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.
Selain masalah-masalah di atas, masalah lain yang muncul adalah guru hanya mengajarkan materi atau melakukan pembelajaran tanpa memperhatikan siswa dan lingkungannya. Guru hanya menjalankan perannya sebagai pengajar dan cenderung mengabaikan perannya sebagai pendidik. Guru kurang dapat memberi motivasi pada siswa untuk aktif turut serta dalam pembelajaran. Padahal motivasi merupakan unsur penting yang menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu.
Kurang tersedianya waktu juga menjadi masalah yang harus dihadapi guru dan siswa dalam pembelajaran menulis puisi. Siswa dituntut menulis puisi dalam waktu yang relatif singkat (sekali jadi) dengan tema yang sudah ditentukan. Tentunya ini bukan perkara mudah bagi anak usia SMP apalagi bagi anak yang belum terbiasa menulis puisi. Pada akhirnya mereka merasa terbebani dan cenderung malas berlatih menulis puisi.
Masalah-masalah dalam pembelajaran menulis puisi harus diatasi sehingga siswa dapat mencapai kompetensi sesuai yang diharapkan. Guru harus mampu menciptakan model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah-masalah di atas. Model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah dalam pembelajaran menulis puisi.

1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian banyak terdapat permasalahan. Akan tetapi, peneliti hanya membatasi permasalahan pada model pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis kreatif puisi pada siswa SMP kelas VIII, yaitu pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio.

1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana kebutuhan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio yang dibutuhkan siswa dan guru di SMP kelas VIII ?
2. Bagaimana bentuk pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII ?
3. Bagaimana hasil penilaian dan perbaikan prototipe buku model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII ?

1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan kebutuhan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio yang dibutuhkan siswa dan guru di SMP kelas VIII.
2. Mendeskripsikan bentuk model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII.
3. Mendeskripsikan hasil penilaian dan perbaikan prototipe buku model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII.

1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.6.1 Manfaat teoretis
Penelitian ini dirancang untuk menghasilkan model pembelajaran yang dapat membantu siswa belajar mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam menulis puisi bebas menggunakan pilihan kata yang sesuai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi model pembelajaran menulis puisi di sekolah-sekolah.
1.6.2 Manfaat Praktis
Melalui model pembelajaran ini diharapkan siswa mampu mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki dengan seluas-luasnya tanpa terhalang alokasi waktu belajar di sekolah. Selain itu, hasil karya mereka pun akan mendapatkan apresiasi karena hasil karya mereka dikumpulkan dalam wujud portofolio yang nantinya akan menjadi salah satu bahan penilaian guru. Bagi guru, mereka dengan mudah akan mendapatkan penilaian dalam proses maupun hasil (produk). Dengan demikian penilaian akan lebih adil dan valid.
Pengembangan model pembelajaran ini juga diharapkan dapat menjembatani jarak yang tercipta antara guru dan siswa melalui kegiatan pemberian motivasi yang terus dilakukan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pemberian motivasi ini diharapkan dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.
Selain itu, model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio dapat dijadikan alternatif dalam mengembangkan kompetensi ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik siswa dalam pembelajaran menulis puisi pada khususnya dan pembelajaran sastra pada umumnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:58:00

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN


BAB 1 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya, manusia tidak terlepas dari penggunaan bahasa. Dalam dunia pendidikan bahasa memiliki peran yang sangat penting terutama dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu siswa mengembangkan kemampuannya untuk mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, serta berpartisipasi aktif dalam masyarakat pengguna bahasa tersebut. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusasteraan manusia Indonesia (Depdiknas, 2006 : 260). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu layanan pendidikan yang mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya. Soedijarto (1993) menyatakan pemberian layanan pendidikan tidak terlepas dari peran guru sebagai orang yang berpengaruh dalam kegiatan proses belajar mengajar. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki kemampuan profesional, di antaranya dapat merencanakan program belajar mengajar, melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar dan mengajar, menilai kemajuan kegiatan belajar mengajar, dan menafsirkan atau memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar serta informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan kegiatan belajar mengajar.
Untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar dan mengajar, diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat agar materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh siswa. Subana (2009) mengatakan bahwa penggunaan model pembelajaran yang tepat akan membantu proses belajar mengajar dan memperbaiki ketepatgunaan pengajaran. Oleh karena itu, model pembelajaran yang tepat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak pernah menjabarkan model pembelajaran secara rinci. Oleh karena itu, guru dituntut untuk lebih kreatif menentukan model pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan. Dengan demikian, diharapkan tujuan pengajaran bahasa Indonesia dapat tercapai.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, menulis merupakan salah satu keterampilan dari keempat keterampilan berbahasa. Berdasarkan hierarkinya, menulis menduduki urutan keempat setelah keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca. Menurut Nurgiyantoro (1988 : 270) kemampuan menulis lebih sulit dikuasai dibandingkan dengan ketiga keterampilan berbahasa lain. Hal tersebut disebabkan dalam menulis dituntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang kompleks baik yang berkenaan dengan persyaratan unsur kebahasaan maupun unsur di luar kebahasaan yang mendukung suatu tulisan, sebagaimana yang dikemukakan Suzanna Alwasilah (2007 : 43) bahwa menulis pada dasarnya bukan hanya sekadar menuangkan bahasa ujaran ke dalam sebuah tulisan, tetapi merupakan mekanisme curahan ide, gagasan atau ilmu yang dituliskan dengan struktur yang benar, berkoherensi dengan baik antarparagraf dan bebas dari kesalahan-kesalahan mekanik seperti ejaan dan tanda baca. Menulis adalah sebuah kemampuan, kemahiran, dan kepiawaian seseorang dalam menyampaikan gagasannya ke dalam sebuah wacana agar dapat diterima oleh pembaca yang heterogen baik secara intelektual maupun sosial.
Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan menulis. Akhaidah (Vismaia, 1992 : 2) mengemukakan bahwa dengan menulis seseorang dapat mengenali potensi, mengembangkan gagasan, menguasai informasi, mengorganisasi gagasan, menilai gagasan secara objektif, mendorong seseorang belajar aktif, serta membiasakan berpikir dan berbahasa secara tertib.
Mengingat betapa pentingnya arti kemampuan menulis bagi masyarakat terutama siswa, maka pembelajaran menulis di sekolah-sekolah hendaknya diperhatikan dan dibina secara intensif. Kemampuan menulis bisa dikembangkan lewat latihan-latihan. Dengan latihan yang intensif, siswa berlatih dan terus berlatih dan tanpa mereka sadari mereka telah memiliki kemampuan menulis. Proses menulis lebih dititikberatkan pada pengembangan gagasan yang dicurahkan untuk mendapatkan hasil gagasan yang optimal.
Kenyataan di lapangan, guru seringkali mencekoki siswanya dengan berbagai teori menulis dibandingkan dengan latihan-latihan menulis. Padahal, menurut Tarigan (1994 : 4) bahwa keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang diperoleh melalui proses praktik dan latihan secara teratur. Pembelajaran menulis bisa diawali dengan penggunaan bahasa secara ekspresif dan imajinatif seperti menulis karya sastra (cerpen). Siswa diberi kebebasan untuk menuangkan ide-ide yang diperoleh dari pengalamannya sendiri, lingkungan, fenomena sosial masyarakat, maupun dari hasil membaca karya-karya sastra yang sudah ada ke dalam bahasa tulisan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Syifa Amalia Fajari (2008), Rafika Nur Sugiharti (2002), dan Dra. Nunung Kuraesin menunjukkan bahwa kemampuan menulis siswa khususnya menulis cerpen masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1) Faktor guru yang lebih menitikberatkan pada teori menulis dibandingkan denganaplikasinya dalam bentuk latihan-latihan yang intensif.
2) Minimnya ketersediaan buku-buku bacaan di sekolah terutama buku-buku kesusastraan.
3) Kurangnya motivasi membaca dari guru terhadap siswanya, padahal membaca dan menulis memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Dengan banyak membaca akan melahirkan inspirasi yang cemerlang untuk kemudian dituangkan dalam tulisan.
4) Kegiatan Belajar Mengajar yang monoton. Selama ini guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan dalam pembelajaran menulis. Guru hanya menugasi siswa untuk menulis dan mengumpulkannya sebagai bukti telah mengerjakan tugas.
5) Siswa mengalami kesulitan dalam menulis khususnya dalam mengawali tulisan, mencari ide cerita, mencari bahan kata yang tepat, dan mengembangkan cerita.
Berdasarkan hal tersebut, guru hendaknya memiliki teknik, metode, media/model pembelajaran yang tepat dan menarik untuk menumbuhkan minat dan kemampuan dalam menulis cerpen pada diri siswa. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa, melalui berbagai interaksi dan berbagai pengalaman belajar. Namun, dalam pelaksanaannya seringkali kita sebagai seorang guru tidak sadar, bahwa masih banyak kegiatan pembelajaran yang kita laksanakan justru menghambat aktivitas siswa. Kondisi ini dapat dilihat di dalam proses pembelajaran di kelas, umumnya guru lebih menekankan pada aspek kognitif. Kemampuan intelektual yang dipelajari sebagian besar berpusat pada materi pelajaran yang bersifat ingatan. Guru lebih sering menggunakan komunikasi satu arah, yakni dengan menggunakan metode ceramah. Dalam situasi yang demikian, biasanya siswa dituntut untuk menerima apa-apa yang dianggap penting oleh guru dan menghafalnya. Siswa diibaratkan sebagai kaset kosong yang siap dijejali dengan berbagai rekaman informasi, tanpa siswa banyak mengetahui tentang siapa, mengapa , bagaimana, dan untuk apa materi itu diberikan (Budiwati, 2010). Dengan kondisi yang demikian maka aktivitas dan kreativitas siswa terhambat atau tidak berkembang secara optimal.
Hal lain yang cukup penting yang perlu diperhatikan oleh guru adalah bagaimana menciptakan suatu kondisi belajar yang nyaman, santai dan menyenangkan ketika pembelajaran sedang berlangsung. Menurut Deporter (2007 : 68), suasana belajar yang nyaman, santai, dan menyenangkan dapat membuat siswa lebih berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Dengan demikian, siswa akan lebih leluasa untuk menuangkan ide dan gagasannya sehingga melahirkan suatu tulisan (cerpen) yang lebih kreatif dan produktif.
Maka dari itu, peneliti akan mencoba menerapkan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis khususnya menulis cerpen. Pembelajaran Kreatif dan Produktif adalah model yang dikembangkan dengan mengacu kepada berbagai pendekatan pembelajaran yang diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, antara lain belajar aktif, kreatif, konstruktif, serta kolaboratif dan kooperatif. Pembelajaran ini berpijak kepada teori konstruktivistik yang menganggap bahwa belajar adalah usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya, dengan demikian dalam pembelajaran ini para siswa diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri konsep atau materi yang mereka dapatkan. Menurut model ini, pembelajaran tidak harus selalu dilakukan di dalam kelas akan tetapi dapat pula dilakukan di luar kelas (out door learning) (Joko, 2010). Potensi siswa akan lebih berkembang dengan baik jika guru mampu menyiapkan kondisi dan tempat belajar yang kondusif.
Pembelajaran dengan model seperti ini diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang lebih santai dan menyenangkan, melahirkan ide-ide yang lebih banyak, kreatif, dan produktif yang bisa didapatkan dari lingkungan sekitar dibandingkan dengan pembelajaran yang terbatas pada lingkungan kelas. Namun, dalam hal ini pemilihan lokasi pembelajaran harus disesuaikan dengan materi pembelajaran agar tujuan pembelajaran menulis, khususnya menulis cerpen dapat terealisasi dengan baik.
Berdasarkan pertimbangan di atas, peneliti memberi judul penelitian ini Penerapan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam Pembelajaran Menulis Cerpen (Penelitian Eksperimen Semu terhadap Siswa Kelas IX SMPN X).

1.2 Identifikasi Masalah Penelitian
Identifikasi permasalahan yang akan menjadi bahan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling kompleks. Oleh karena itu, memerlukan proses latihan yang intensif.
2) Pemilihan model/metode pembelajaran menulis selama ini kurang bervariasi sehingga kurang menarik motivasi siswa.
3) Penggunaan model/metode pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan kualitas hasil belajar.

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian
1.3.1 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam sebuah penelitian diperlukan untuk menentukan arah penelitian dan menetapkan langkah-langkah yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada penerapan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis cerpen siswa kelas IX SMPN X.
1.3.2 Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut.
1) Apakah model pembelajaran Kreatif dan Produktif efektif digunakan dalam meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa ?
2) Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dan tanpa menggunakan model pembelajaran Kreatif dan Produktif ?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan :
1) keefektifan model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis cerpen.
2) perbedaan tingkat kemampuan menulis cerpen dengan menggunakan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dan tanpa menggunakan model pembelajaran Kreatif dan Produktif ?
1.4.2 Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian eksperimen ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya :
1) Bagi Peneliti
Sebagai calon guru bahasa Indonesia peneliti menjadi lebih berwawasan dan peka terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran menulis, khususnya menulis cerpen, sehingga menuntut peneliti untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran dengan berbagai model metode pembelajaran yang lebih bervariatif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan guna meningkatkan keterampilan berbahasa.
2) Bagi Guru
Penelitian ini memberikan kontribusi dalam menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan anak didiknya dalam bidang menulis, khususnya menulis cerpen dengan cara memilih model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran menulis cerpen yang lebih kreatif dan menyenangkan, serta dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran.
3) Bagi Siswa
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dalam menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas, bakat, serta ide terhadap pembelajaran menulis cerpen. Selain itu, penelitian ini juga memberikan pengalaman kepada siswa untuk menulis cerita pendek dengan lebih kreatif dan produktif, sehingga mampu meningkatkan kemampuan menulis siswa.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:56:00

Campur Kode Dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy

Skripsi Campur Kode Dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan sesuatu yang harus ada dalam kehidupan manusia, sebab bahasa adalah salah satu alat yang paling utama untuk berkomunikasi, berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Dilihat dari segi linguistik struktural bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Oleh karena itu, bahasa merupakan suatu sistem, maka bahasa tersebut mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung unsur-unsur yang dianalisis secara terpisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi yang berurutan membentuk suatu struktur tertentu. Bunyi-bunyi itu merupakan lambang yaitu melambangkan makna yang tersembunyi. Dengan satuan makna tersebut anggota masyarakat dapat berkomunikasi sesuai dengan keperluan yang sifatnya komunikatif. Manusia selalu menjalani wujud bahasa dalam huruf sehingga dapat dibedakan antara bahasa tulis dengan bahasa lisan.
setiap komunikasi kita saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka proses komunikasi tersebut terjadilah peristiwa tutur dan tindak tutur dalam situasi tutur. Peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam bentuk ujaran yang melibatkan dua pihak, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi. Kedua gejala tersebut terdapat pada satu proses, yaitu proses komunikasi. (Chair, 2004:47).
Bahasa itu beragam, artinya, sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu dipergunakan oleh penutur heterogen dan yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu beragam. Bahasa di dalam realisasinya selalu ada pada konteksnya. Konteks yang dimaksud dalam pengertian ini adalah konteks sosio-kulturalnya.
Sebagai alat komunikasi, bahasa terdiri dari dua aspek, yaitu (1) aspek linguistik. Aspek ini berupa unsur yang secara langsung membentuk struktur lahir yakni bunyi, kata, kalimat, dan ajaran atau teks, dan (2) aspek non linguistik atau paralinguistik. Aspek ini mencakup (a) pola ujaran seseorang; (b) unsur supra segmental; (c) jarak dan gerak-gerik tubuh; (d) rabaan. Aspek linguistik dan paralinguistik tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi. (Chair, 2004:22)
Dalam situasi pertuturan baik bersifat formal maupun yang bersifat informal, baik lisan maupun tulis sering ditemukan orang bertutur dengan menggunakan bahasa tertentu tiba-tiba mengganti bahasanya. Mengganti bahasa diartikan sebagai tindakan mengalihkan bahasa maupun mencampur antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. Penggantian bahasa atau ragam bahasa bergantung pada keadaan atau keperluan bahasa itu (Nababan, 1986:31)
Keanekabahasaan dalam suatu masyarakat akan selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung konsekuensi-konsekuensi tertentu. Keanekabahasaan membawa masalah bagi individu-individu dan kelompok individu (terutama kelompok minoritas bahasa) pemerintah dan dunia pendidikan. Oleh karena itu mereka harus menguasai sekurang-kurangnya dua bahasa bahkan lebih (bervariasi).
Sifat-sifat khas tuturan dapat terjadi dalam individu maupun kelompok masyarakat. Sifat khas tuturan yang berbeda dengan tuturan orang lain disebut idiolek. Perbedaan pemakaian bahasa secara kelompok muncullah apa yang disebut dialek geografis, dialek sosial atau sosiolek yang lain. Keadaan seperti ini akan timbul karena adanya perbedaan asal daerah penuturnya.
Ragam bahasa atau variasi bahasa secara jelas manandai kelompok, variasi atau ragam bahasa sebenarnya hanya berupa suatu kecenderungan (tendensi) dan seluruhnya terdiri dari perbedaan kosa kata. Kata-kata tertentu cenderung lebih banyak digunakan oleh kelompok tertentu, sehingga menggambarkan ragam bahasa tertentu. Ciri ragam itu mungkin tidak terlalu kelihatan pada kosa kata yang dipakai penutur, tetapi itu menunjukkan dasar perbedaan pada suatu daerah.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dua bahasa atau lebih selalu hidup berdampingan tidak bisa dipisahkan dan akan saling mempengaruhi. Pengaruh bahasa yang timbul karena adanya kontak bahasa antara manusia. Dengan demikian, akibat kontak bahasa dan sekaligus perubahannya, dan dalam dua bahasa atau lebih akan kita jumpai penggunaan bahasa atau pembicaraan yang belum kita mengerti selama aktivitas berlangsung. Pendengar dengan pasif mendengarkannya, tentu pendengar yang aktif, sekali-kali menyela pembicaraan tersebut. Oleh karena itu, adanya penggunaan unsur-unsur bahasa lain ketika memakai bahasa tertentu dengan disengaja dalam percakapan disebut campur kode.
Campur kode dapat terjadi jika pembicaraan penutur menyelipkan bahasa lain ketika sedang menggunakan bahasa tertentu dalam pembicaraannya. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa lain itu sering kali berwujud kata-kata, juga berwujud frase, berwujud kelompok kata, berwujud perulangan kata, berwujud beridiom atau ungkapan maupun berwujud klausa.
Campur kode lazimnya terjadi dalam bentuk bahasa tutur (lisan) tetapi tidak menutup kemungkinan adanya campur kode dalam bentuk tulis. Dalam hubungan ini campur kode tidak terjadi dalam bentuk lisan jika penutur menggunakan bahasa tulis, misalnya dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy.
Berdasarkan uraian di atas peneliti akan mengungkap tentang campur kode dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy. Pemilihan ini sebagai objek penelitian didasarkan atas asumsi bahwa novel tersebut terdapat variasi bahasa daerah (bahasa Jawa), bahasa Indonesia maupun bahasa asing.

1.2 Masalah Penelitian
1.2.1 Ruang Lingkup Masalah
Bahasa hidup dan berkembang di masyrakat. Secara kompleks masalah sosial mengidentifikasikan pula permasalahAn-permasalahan bahasa itu sendiri. Beberapa wujud campur kode antara lain penyisipan yang unsur-unsur yang berwujud kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster, penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, dan penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
1.2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, rumusan masalah dalam campur kode adalah :
1. Bagaimanakah penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?
2. Bagaimanakah penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?
3. Bagaimanakah penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?
4. Bagaimanakah penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?
5. Bagaimanakah penyisipan unsur-usur yang berwujud klausa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian adalah :
1. Mendiskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy.
2. Mendiskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy.
3. Mendiskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrohman El Shirazy.
4. Mendeskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrohman El Shirazy.
5. Mendeskripsikan penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrohman El Shirazy.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis bagi penikmat, pemerhati, peneliti dan pengajar bahasa.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis manfaat penelitian adalah memberi pengetahuan terhadap studi tentang campur kode.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Guru Bahasa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengajaran bahasa di sekolah.
2. Bagi Pemerhati Bahasa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang kebahasaan dan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian selanjutnya.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang penggunaan bahasa khususnya campur kode.

1.5 Asumsi
Novel merupakan karangan bebas. Maka seorang pengarang bebas mengekspresikan tulisannya baik yang menyangkut penggunaan bahasa maupun penekanan-penekanan pada kata atau kalimat. Karena tidak terikat oleh suatu aturan-aturan yang harus dipakai. Maka tidak menutup kemungkinan bahasa yang digunakan sehari-hari dapat tertuang dalam karyanya.
Dengan membaca seluruh isi novel maka dapat diambil asumsi bahwa novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy dilihat dari bahasa yang dipergunakan terdapat campur kode yang meliputi penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud frase, penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, penyisipan unsur-unsur yang berwujud idiom atau ungkapan dan penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Bahasa yang digunakan dalam novel ditunjukkan melalui penggunaan unsur bahasa asing dalam bahasa Indonesia itu tampaknya berupa sikap yang kurang positif. Hal itu jika sikap yang ditunjukkan berupa sikap yang positif pemakai bahasa tentu cenderung akan merealisasikan melalui kesetiaan di dalam penggunaan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, tidak mencampuradukkan dengan bahasa asing, atau boleh jadi bahwa pencampuradukan itu menunjukkan fungsi pemakaian bahasa Indonesia belum sepenuhnya sehingga masih memungkinkan dimasuki oleh serpihan-serpihan unsur bahasa lain atau disebut dengan campur kode.

1.6 Penjelasan Judul
Penelitian ini berjudul Campur Kode dalam novel “Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy. Berkaitan dengan judul tersebut, dibawah ini akan diberikan penjelasan judul sebagai berikut :
Campur kode : Penggunaan unsur-unsur lain atau ketergantungan bahasa ketika memakai bahasa tertentu yang saling dibutuhkan. Unsur-unsur tersebut sering kali berwujud kata-kata, frase, perulangan kata, ungkapan atau idiom dan klausa. Misalnya : “aku manut sama orang tua” dan “nanti bareng saja”. Sama-sama dari bahasa Jawa dengan tidak disengaja digunakan dalam percakapan tersebut.
Novel : Suatu cerita atau karangan bebas, tidak terikat oleh aturan-aturan tertentu. Penjangnya tidak ditentukan, artinya sebatas melukiskan kehidupan para tokoh yang diceritakan.
Jadi, campur kode dalam novel adalah penggunaan unsur-unsur bahasa lain dalam karangan bebas (novel) atau pemakaian serpihan-serpihan bahasa lain yang diperlukan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:39:00

Penggunaan Bahasa Slang Dalam Komunitas Waria

Skripsi Penggunaan Bahasa Slang Dalam Komunitas Waria Di Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam bermasyarakat yang universal terdapat banyak tingkatan sosial, latar belakang dan lingkungan yang berbeda. Hal ini menyebabkan berubah dan keluar dari konteks yang sebenarnya, karena fungsi bahasa sebagai penghubung antara pengguna bahasa yang satu dengan yang lainnya. Maka bahasa dibuat sepraktis mungkin agar pengguna bahasa lebih mudah untuk memahami dan juga bisa dipahami oleh si pengguna bahasa itu sendiri. Banyak kalangan yang merubah bahasa baik golongan ataupun tingkatan usia. Komunitas-komunitas yang memiliki bahasa simbol diantaranya komunitas waria.
Begitu banyak komunitas yang ada di Indonesia dan begitu banyak pula variasi bahasa yang terbentuk untuk memudahkan komunikasi, salah satunya adala komunitas waria. Komunitas yang satu ini tergolong unik dan eksklusif hal ini menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian sebab bahasa yang dimiliki merupakan hasil kreativitas berbahasa, oleh karea itu bahasa yang dimilik komunitas waria ini termasuk bahasa slang sebab tak banyak orang mengerti dan paham tentang bahasa ini kecuali komunitas itu sendiri yaitu waria.
Banyak tempat kita bisa menjumpai komunitas ini (waria). Ada yang tiap malam mangkal di pinggir jalan dan ada pula yang di salon. Waria salon atau waria yang bekerja di salon dijadikan objek penelitian sebab waria salon memiliki pengetahuan dan wawasan yang memadai. Waria salon sering mengikuti seminar kecantikan dan kesehatan yang diadakan oleh produk-produk kosmetik. Hal ini menjadi nilai plus bagi waria salon dibandingkan dengan waria-waria yang menjajakan diri di pinggir jalan. Bukan itu saja ketrampilan dalam tata rias membuat mereka menjajaki dunia festival kecantikan, jadi pengalaman waria salon lebih banyak dan berkualitas.
Penelitian dilakukan saat waria salon sedang santai atau menunggu pelanggan salon, bisa juga saat salon tutup karena apabila salon tutup biasanya mereka berkumpul di salah satu salon untuk ngobrol. Memang banyak hal yang mereka bicarakan mulai dari penghasilan salon perhari hingga kaum adam, sehingga memudahkan penelitian dalam pengambilan data. Bisa juga pada saat acara ludruk, seminar, atau hajatan di salah satu waria disanalah interaksi timbul dan tepat untuk penelitian.
Dalam penelitian ini yang menjadi landasan teori adalah pembentukan bahasa slang, komponen yang berpengaruh terhadap tutur dan keberadaan slang di masyarakat. Penelitian ini diwakili dengan menyediakan data. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak sadap atau simak catat.
Dari segi mobilitas waria salon di X lebih intelektual, hal ini disebabkan daerah geografis yang sangat mendukung dari berbagai kebutuhan, waria salon mampu bersaing dengan masyarakat umum, hal ini yang menyebabkan waria di X bisa berkreasi dan berkembang dalam bidang jasa dan hampir semua waria salon memiliki tingkat pendidikan yang bisa diperhitungkan, bukan itu saja waria salon memiliki kemampuan lebih, dibandingkan dengan waria yang mangkal di pinggir jalan.
Yang membuat waria salon di X lebih dibandingkan dengan tempat lain karena X dekat dengan pusat transportasi, diantaranya bandara internasional X yang letaknya sekitar satu kilo meter dari X serta terminal X yang berjarak sekitar dua kilometer, daerah yang strategis inilah membuat waria X dapat mengembangkan potensinya.
Di X ada sekitar lima belas waria dengan berbagai profesi, tetapi sebagian besar tetap berprofesi sebagai pekerja salon. Waria-waria X sering berkumpul dan mengadakan pertemuan, tetapi tak jarang dari mereka saling berinteraksi dengan masyarakat luar, hanya saja keberadaannya tak mau diusik oleh golongan lain.
Dari latar belakang ini, peneliti mengenal waria-waria tersebut ketika mereka berkumpul di suatu salon sehingga memudahkan penulis untuk berkenalan. Perkenalan diawali dengan peneliti sebagai pengguna jasa mereka yaitu potong rambut. Mereka menyambut peneliti sebagai teman yang di luar komunitasnya.
Slang menjadi bahan kajian teori penelitian, sebab slang adalah bahasa yang bersifat rahasia yang tidak bisa dimengerti oleh komunitas lain dan slang wujud dari mengembangkan variasi bahasa yang dibedakan dari status sosial dari lingkungannya.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pembentukan kosakata dalam komunitas waria salon di X ?

1.3 Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah di atas, dapat kita ketahui tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan proses pembentukan kosakata dalam komunitas waria salon di X.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam bidang bahasa yang beraneka ragam, sekaligus dapat memahami berbagai variasi bahasa yang timbul di lingkugan sosial serta pemahaman pembentukan kata pada suatu komunitas yaitu komunitas waria salon.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:38:00

KAJIAN PEMAKAIAN BAHASA DALAM SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS X (SEBUAH TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK)

(Kode : PEND-BSI-0061) : SKRIPSI KAJIAN PEMAKAIAN BAHASA DALAM SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) MAHASISWA FKIP UNIVERSITAS X (SEBUAH TINJAUAN SOSIOLINGUISTIK)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia merupakan suatu makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan bahasa baik lisan maupun tulisan guna bergaul dengan manusia lain, baik untuk menyatakan pendapatnya, maupun untuk mempengaruhi orang lain demi kepentingannya sendiri maupun kelompok atau kepentingan bersama. Peranan bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk berkomunikasi antara manusia yang satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mustakim (1994 : 2) bahwa bahasa sebagai alat komunikasi digunakan oleh anggota masyarakat untuk menjalin hubungan dengan masyarakat lain yang mempunyai kesamaan bahasa. Melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan dengan manusia lainnya, walaupun latar belakang sosial dan budayanya berbeda. Oleh karena itu, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah untuk berkomunikasi (P.W.J. Nababan, 1993 : 40), yaitu alat pergaulan dan perhubungan sesama manusia sehingga terbentuk suatu sistem sosial atau masyarakat. Bahasa sebagai bagian dari masyarakat merupakan gejala sosial yang tidak dapat lepas dari pemakainya. Sosiolinguistik sebagai cabang ilmu bahasa merupakan interdisipliner ilmu bahasa dan ilmu sosial, berusaha menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaian di dalam masyarakat.
Pemakaian bahasa dalam masyarakat selain dipengaruhi faktor-faktor linguistik juga dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik yang berpengaruh itu antara lain; status sosial, tingkat ekonomi, jenis kelamin, umur, dan sebagainya. Sedangkan faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa adalah siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kapan, di mana, kepada siapa, dan mengenai apa (Suwito, 1991 : 3). Mengingat bahasa sebagai alat komunikasi, maka sesuai dengan keperluannya maka bahasa dipakai dalam berbagai jenis kegiatan yang tergantung pada fungsi dan situasinya seperti di kantor, di stasiun, di ruang kuliah, dan sebagainya. Fungsi dan situasi tersebut akan menimbulkan variasi. Pemilihan variasi yang berdasarkan pada fungsi dan situasi bahasa dapat menimbulkan munculnya ragam bahasa. Pemilihan terhadap ragam bahasa dipengaruhi oleh faktor kebutuhan penutur atau penulis akan alat komunikasi yang sesuai dengan situasi (Sugihastuti, 2005 : 123).
Seiring perkembangan zaman, teknologi dalam berkomunikasi pun mengalami kemajuan yang pesat. Seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus bertatapan langsung. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita dapat berkomunikasi secara primer maupun sekunder. Proses komunikasi secara secara primer merupakan proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media (Onong Uchjana Effendy, 1999 : 11). Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Media primer atau lambang yang paling banyak digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa. Akan tetapi, tidak semua orang pandai mencari kata-kata yang tepat yang dapat mencerminkan perasaan yang sesungguhnya.
Berkembangnya masyarakat beserta peradaban dan kebudayaannya, komunikasi bermedia mengalami kemajuan. Tidak hanya dengan bertatap muka saja orang dapat berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan dengan berbagai alat komunikasi yang canggih seseorang dapat berkomunikasi selayaknya berhadaphadapan dengan lawan bicara seperti percakapan biasa yaitu melaui media telepon genggam atau handphone (HP). Seseorang dapat menggunakan media kedua dalam berkomunikasi Karena adanya kecanggihan teknologi misalkan melalui HP, televise, radio, dan lain sebagainya. Proses komunikasi seperti hal tersebut merupakan proses komunikasi secara sekunder, yakni proses penyampaian komunikasi oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai madia kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama (Onong Uchjana Effendy, 1999 : 16).
Adanya peranan media, yakni media sekunder seperti HP, dalam komunikasi tidak perlu bertatap muka langsung maka komunikator dan komunikan dapat berkomunikasi menyampaikan ide, gagasan, pendapat, dan sebagainya tentang berbagai hal yang tentu saja melalui bahasa. Oleh karena itu, terjadilah efesiensi dalam berkomunkasi.yang tidak terpancang pada jarak dan waktu.
Gejala kontemporasi bahasa yaitu berubahnya serta berkembangnya bahasa sesuai situasi dan kondisi merupakan konsekuensi dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan bagian dari budaya masyarakat. Masyarakat menggunakan lambang-lambang bahasanya berdasarkan pengalaman dan pemikiran manusia yang memang terus berkembang. Perkembangan masyarakat dan perubahan budaya menyebabkan timbulnya berbagai macam variasi atau keragaman bahasa, termasuk munculnya kosakata baru.
Demikian halnya mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas X selalu berkomunikasi dengan mahasiswa lainnya. Selain berkomunikasi secara lisan mahasiswa juga berkomunikasi melalui tulisan SMS, apabila mereka tidak dapat saling bertemu melalui tatap muka. Mengingat HP merupakan media yag efektif dalam berkomunikasi melalui SMS (Short Message Service) yang relatif murah, maka SMS pun efektif dan efisien dalam menjalin suatu komunikasi antar mahasiswa.
Dalam berkomunikasi melalui SMS, pemakai SMS harus menuliskan pesan yang berjumlah 160 karakter. Keterbatasan jumlah karakter dalam sekali kirim akan menimbulkan suatu keragaman berbahasa dalam ber-SMS. Demikian halnya mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X menggunakan suatu bahasa yang mempunyai suatu keragaman tersendiri dalam ber-SMS karena selain disebut anak muda, mereka juga sering menggunakan bahasa yang selalu mengikuti perkembangan. Sebagai mahasiswa yang kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah yang paling tidak mengetahui seluk-beluk mengenai penggunaan bahasa, maka bahasa yang digunakan dalam ber-SMS pun mempunyai suatu variasi atau keragaman tersendiri yang menimbulkan suatu keuikan dalam berbahasa. Pilihan kata yang tidak sesuai dengan kaidah ketatabahasaan serta penggunaan simbol-simbol ekspresi atau disebut emoticon menimbulkan suatu keunikan tersendiri dalam berkomunikasi berbentuk bahasa tulis melalui media handphone/HP.
Contoh umum emoticon atau simbol yang sering digunakan dalam ber- SMS adalah : -) yang artinya “Si pengirim pesan sedang senang” atau juga simbol : -( yang menandakan si pengirim pesan sedang sedih. Selain digunakan sebagai ekspresi wajah atau ekspresi keadaan diri saat ber-SMS, penggunaan simbol ekspresi melalui berbagai tanda baca digunakan untuk menghemat pemakaian karakter. Keterbatasan karakter dalam ber-SMS maka pengirim SMS juga berusaha kreatif dengan menciptakan singkatan-singkatan yang unik. Sekarang ini singkatan yang lazim digunakan adalah singkatan umum yang diadopsi dari bahasa Inggris dan diadaptasi dari istilah yang digunakan pengguna fasilitas chatting di internet. Misalnya, C U (see you) artinya “sampai jumpa lagi”, Be4 (before) artinya “sebelumnya”. Istilah tersebut kerap digunakan dalam ber-SMS, karena pada awal perkembangannya, bahasa Inggrislah yang sering dipergunakan dalam komunikasi chatting. Namun, dalam perkembangannya singkatan dalam bahasa Indonesia juga sangat kerap digunakan oleh pengguna SMS.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berusaha mengembangkan sebuah penelitian mengenai wujud pemakaian bahasa dalam SMS yang digunakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah serta hal-hal yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam SMS. Pada penelitian ini, peneliti memberi judul “Kajian Pemakaian Bahasa dalam SMS (Short Message Service) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas X : Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar penelitian ini jelas dan lebih terarah maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah wujud pemakaian bahasa dalam SMS mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X?
2. Hal-hal apa sajakah yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam SMS mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai :
1. Wujud Pemakaian bahasa dalam SMS mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X.
2. Hal-hal yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam SMS mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah teori yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam SMS.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :
a. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai adanya faktor-faktor sosiolinguistik yang di terapkan pada pemakaian bahasa dalam SMS.
b. Bagi Pengguna Jasa SMS
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai bahasa dalam SMS yang digunakan dalam berkomunikasi.
c. Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan inspirasi maupun bahan pijakan kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian lanjutan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:37:00

Skripsi Protes Sosial Pada Novel Bali Surga Para Anjing Karya Redi Panuju

(Kode PEND-BSI-0016) : Skripsi Protes Sosial Pada Novel Bali Surga Para Anjing Karya Redi Panuju

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pada awalnya karya sastra hadir untuk dinikmati maka untuk dapat menikmati keindahan karya sastra itu, seorang penikmat sastra harus dapat menganalisis dan mengapresiasi isi dari karya sastra itu sendiri. Seorang penikmat karya sastra biasanya membaca karya sastra sebagai pengisi waktu luang atau hiburan saja, akan tetapi ada beberapa penikmat sastra (pembaca) yang lebih serius, mereka ingin memperoleh suatu pengalaman baru dari apa yang dibacanya dan ingin menambah wawasan atau pengetahuan untuk memperkaya batinnya.
Sastra merupakan salah satu intuisi sosial yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya. Kesusastraan diibaratkan sebuah simbol dari kehidupan, karena di dalamnya terdapat atau memuat norma-norma yang lazim dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, sastra bisa menjadi salah satu metode atau cara untuk menggambarkan kehidupan sosial yang sebenarnya. Jadi, bisa dikatakan bahwa sastra merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia, karena melalui sastra manusia bisa mengekspresikan ide-ide, gagasan, perasaan dan imajinasinya dengan menuliskannya kedalam sebuah karya sastra. Dengan kata lain, sastra adalah gambaran kehidupan seseorang dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Kita dapat membaca dan memahami alur cerita dari suatu karya imajinatif yang dilandasi dengan kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni.
Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan dan kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial oleh kultural. Selain itu karya sastra sendiri merupakan objek kultural dan juga merupakan objek kultural yang rumit. Bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri (Damono, 1978: 1 dan 4).
Novel dan cerpen sebagai karya fiksi mempunyai persamaan dan perbedaan, keduannya dibangun oleh unsur-unsur pembangun (baca:unsur-unsur cerita yang sama, keduannya dibangun oleh dari dua unsur intrinsik dan ekstrinsik). Novel dan cerpen sama-sama memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, sudut pandang dan lain- lain. Oleh karena itu novel dan cerpen dapat dianalisis dengan pendekatan yang kurang lebih sama. Namun demikian terdapat perbedaan intensitas (kuantitas) dalam hal “pengoperasian” unsur-insur cerita tersebut. Perbedaan–perbedaan yang dimaksud akan dicoba dibawah ini walau tentu saja tidak komprehensif. Dari segi panjang cerita, novel lebih panjang daripada cerpen. Oleh karena itu, Novel dapat mengemukakan, lebih rinci, lebih detail dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu (Nurgiyantoro, 1994:10-11).
Dalam hal ini, peneliti telah menentukan penulis novel yang akan dijadikan obyek untuk bahan penelitiannya, yakni Redi Penuju.Karena di dalam buku hasil karyanya Bali, Surga para anjing tersebut banyak bercerita tentang kehidupan sosial yang telah menyimpang dari kehidupan yang sewajarnya. Redi Panuju adalah seorang kolumnus tentang masalah–masalah sosial, politik dan kebudayaan. Kini banyak menulis buku dan novel yang telah banyak diterbitkan.
Pemilihan judul dalam penelitian ini yaitu novel yang berjudul Bali, Surga Para Anjing karena peneliti berpendapat bahwa penulis memang benar-benar menuliskan peristiwa yang telah terjadi di sana (di pulau Bali).
Peneliti memilih protes sosial untuk meneliti novel yang berjudul Bali, Surga Para Anjing bahwa dalam novel tersebut diceritakan adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang di daerah Bali, ketika sebagian masyarakat Bali menanggapi tentang adanya undang-undang Pornografi dan Pornoaksi yang masih dalam proses penyelesaiannya.
Tindak protes merupakan bagian dari keterarahan kesadaran manusia terhadap realita. Tindakan protes ini dapat menghasilkan kreatifitas, termasuk di dalamnya kreatifitas dalam bidang sastra. Oleh karena itu, peneliti memilih protes sosial untuk mengkaji novel ini.
Pendekatan sosiologis dipilih oleh peneliti dikarenakan sosiologi adalah ilmu yang normatif, seperti halnya sosiologi sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, yakni usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian novel genre utama dalam zaman industri ini, dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial, hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara dan lain-lain.
Berbeda dengan pendekatan biografis yang semata–mata menganalisis riwayat hidup, Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari individu ke masyarakat. Pendekatan biografis mengganggap karya sastra sebagai milik pengarang, sedangkan pendekatan sosiologis mengganggap karya sastra sebagai milik masyarakat.
Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh Karya sastra dihasilkan oleh pengarang, Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, Pengarang memaanfaatkan kekayaan yang ada didalam masyarakat dan Hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat
Perkembangan pesat ilmu humaniora memicu perkembangan studi sosiologis. Dasar pertimbangannya adalah memberikan keseimbangan terhadap 2 dimensi manusia yaitu jasmani dan rohani. Para ilmuan kontemporer makin menyadari bahwa mengabaikan aspek–aspek rohaniah pada gilirannya akan membawa umat manusia pada degradasi mental bahkan kehancuran (Ratna,2004:59-60).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan-paparan latar belakang di atas, peneliti membatasi pada masalah: Bagaimana protes sosial pada novel Bali, Surga Para Anjing?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan protes sosial dalam novel Bali, Surga para Anjing.

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.4.1 Bagi perkembangan ilmu sastra
Manfaat bagi perkembangan ilmu sastra adalah sebagai pemikat sastra, dapat menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra sehingga akan ada rasa mencintai dan rasa peduli terhadap perkembangan karya sastra tersebut.
1.4.2 Bagi masyarakat Indonesia(Penikmat sastra).
Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini bagi masyarakat Indonesia, yaitu membantu memahami suatu karya sastra tersebut, dan dapat menafsirkan makna atau isi dari karya sastra tersebut sehingga ada penghubung antara karya sastra dengan masyarakat penikmat sastra.
1.4.3 Bagi peneliti karya sastra tersebut
Peneliti akan memperoleh kejelasan praktis dalam bidang penelitian ilmiah dan mempunyai peran serta dalam mengembangkan karya sastra. Serta memberikan sumbangan pendapat/pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang dapat meningkatkan mutu dari hasil karyanya.
1.4.4 Bagi pengarang karya sastra
Kritik sastra dapat memberikan suatu penilaian sehingga pengarang mendapatkan masukan mengenai mutu karyanya dan mengetahui sejauh manakah karyanya tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat pembaca(penikmat sastra).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:07:00

Skripsi Warna Lokal Dalam Naskah Drama Sandhyakala Ning Majapahit Karya Sanusi Pane

(Kode PEND-BSI-0017) : Skripsi Warna Lokal Dalam Naskah Drama Sandhyakala Ning Majapahit Karya Sanusi Pane

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Drama mulai tumbuh di Indonesia sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di berbagai suku bangsa di Indonesia telah tumbuh ratusan jenis drama atau seni pertunjukan yang sangat lebar spektrumnya, mulai dari yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari upacara keagamaan sampai ke jenis pertunjukan yang sepenuhnya profan, yang bisa dilakukan oleh siapapun tanpa harus mempelajari bagaimana cara melaksanakannya. Jenis drama atau teater digolongkan ke dalam tradisi lisan meskipun boleh dikatakan tanpa kecuali berasal dari kisah atau kepercayaan yang pernah dituliskan, yang mungkin sampai ke pelaksana pementasan itu tidak berupa tulisan tetapi secara lisan (Damono, 2006:1).
Drama merupakan bentuk seni yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan manusia melalui gerak atau action dan percakapan atau dialog. Inilah yang membedakan naskah drama dengan karya sastra yang lain. Sebagai karya sastra, naskah drama memiliki keunikan tersendiri yaitu naskah drama diciptakan tidak untuk dibaca saja, namun juga memiliki kemungkinan untuk dipentaskan. Drama sebagai tontonan atau pertunjukan yang memiliki sifat ephemeral, artinya bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Sanusi Pane merupakan sastrawan muda angkatan 1880 dan pernah mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda yang memberikan pengetahuan mengenai perkembangan kesenian (Damono, 2006:1). Nama Sanusi Pane tetap terukir dalam sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II (1940-1945) (http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah07.shtml), baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama. Sanusi Pane adalah penulis terbesar pada masa sebelum perang (Rustapa, dkk 1995:70). Adapun drama yang telah dihasilkan Sanusi Pane berupa drama romantik (Damono, 2006:1), Salah satunya yaitu “Sandhyakala ning Majapahit”. Naskah drama Sanusi Pane “Sandhyakala ning Majapahit” pernah dipertunjukkan oleh Takdir Ali Syahbana dalam roman Layar Terkembang di Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan. Naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit’ karya Sanusi pane dan roman “Layar Terkembang” karya Takdir Ali Syahbana diperdebatkan dalam kongres itu. Karena dalam naskah drama ‘Sandhyakala ning majapahit” mengisahkan masyarakat yang cenderung bersifat statis khususnya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang lebih mengutamakan kepasrahan dan memiliki sifat nerimo, apapun yang diberikan Tuhan akan diterimanya dengan sabar. Masyarakat Jawa dianggap sebagai orang yang lembek, tidak suka ngoyo. Sedangkan dalam roman “Layar Terkembang” menceritakan masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang lebih mengutamakan kerja keras, masyarakat yang maju, berbeda sekali dengan masyarakat Jawa (Rosidi, 1968:60).
Naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane mempunyai latar belakang sejarah Jawa khususnya di kerajaan Majapahit. Drama ini juga berlatar zaman klasik. Keunikan drama ini terletak pada isi naskah drama yang bercerita tentang masalah romantis, masalah keagamaan, dan sosial.
Sanusi Pane mengatakan bahwa sebagai dasar pembuatan drama “Sandhyakala ning Majapahit” adalah Serat Damarwulan dan cerita Raden Gajah yang terdapat dalam Pararaton (Rustapa dkk, 1997:67). Cerita Damar Wulan diakhiri dengan happy ending, yaitu keberhasilan Damar Wulan membawa kepala Menak Jingga ke Majapahit menyebabkan dia menduduki tahta kerajaan serta dinikahkan dengan sang ratu. Damar Wulan bergelar Prabu Brawijaya serta hidup dengan kejayaannya. Sebaliknya, dalam naskah drama Sanhyakala ning Majapahit diakhiri dengan peristiwa tragis. Di samping Damar Wulan tidak dinikahkan dengan ratu Majapahit, dia juga dituduh sebagai penghianat. Tuduhan tersebut begitu hebatnya sehingga Damar Wulan dihukum mati. Sepeninggal Damar Wulan kerajaan Majapahit diporakporandakan bala tentara dari kerajaan Bintara. (Rustapa dkk, 1997:67).
Warna lokal merupakan suatu cara untuk mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai budaya. Warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” memiliki ciri khas tertentu yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kedaerahan. Selain itu warna lokal dijadikan sebagai tolak ukur untuk membedakan ciri khas daerah yang satu dengan daerah yang lain (Nurgiyantoro, 1995:228).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan adalah:
Bagaimanakah warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane?

1.3 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan selalu mempunyai tujuan yang jelas agar terarah dan tepat sasaran serta lebih jelas manfaatnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Mendeskripsikan warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Bagi Pembaca
Dapat memahami unsur-unsur warna lokal dalam naskah drama serta dapat mengambil hikmah dalam cermin kehidupan.
2. Bagi Pemerhati Sastra
Dapat menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra khususnya drama, dan rasa peduli terhadap karya sastra Indonesia.
3. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan tentang sastra terutama warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:07:00

Skripsi Pelaksanaan Contextual Teaching And Learning (CTL) Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Di SMPN-X

(Kode PEND-BSI-0014) : Skripsi Pelaksanaan Contextual Teaching And Learning (CTL) Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Di SMPN-X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Era globalisasi telah menyentuh segala aspek kehidupan dan telah melahirkan perubahan sosial, sikap, dan perilaku, yang pada akhirnya bermuara pada pergeseran sistem nilai dan norma kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya transformasi budaya, ilmu pengetahun, dan teknologi. Realita seperti ini menuntut setiap bangsa (termasuk Indonesia) untuk segera mempersiapkan diri agar mampu bersaing, khususnya dalam bidang pendidikan.
Diakui atau tidak, mutu pendidikan Indonesia jauh tertinggal dengan negara lain. Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan Matematika siswa SMP kita berada pada urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada pada urutan 32 dari 38 negara. Sementara itu, International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada pada urutan 30 dari 38 negara yang disurvei (Nurhadi, 2004: 1). Menurut catatan Human Development Report versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada pada urutan 110 dari 173 negara pada tahun 2002, dan 112 dari 174 negara pada tahun 2003. Indonesia berada jauh di bawah Singapura (28), Korea Selatan (30), Brunei Darusalam (31), Malaysia (58), Thailand (74), dan Filipina (85).
Selanjutnya, menurut Depdiknas (2005: 45), jumlah anak usia SD (7 – 12 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 5,50 % (1.422.141 anak), anak usia SMP (13 – 15 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 44.30 % (5.801.122 anak), dan anak usia SMA (16 – 18 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 67,58 % (9.113.941 anak). Retensi kotor anak masuk SD yang melanjutkan hingga Perguruan Tinggi sebesar 11,6 %, dan yang tidak sebesar 88,4%.
Kondisi di atas memberikan gambaran, sekaligus bahan renungan dan refleksi, bahwa pendidikan di Indonesia masih memerlukan perhatian dan pembaharuan dalam rangka menciptakan manusia-manusia berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini selaras dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu komponen penting demi terlaksananya sebuah Sistem Pendidikan Nasional yang terarah adalah kehadiran kurikulum. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan potensinya agar menjadi manusia paripurna sebagaimana yang tersurat dalam tujuan pendidikan nasional. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut, pengembangan potensi peserta didik harus disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Lebih lanjut, dalam PP No. 19 tahun 2005, pemerintah telah menetapkan delapan standar minimal pendidikan, diantaranya: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi kelulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar pengelolaan, (6) standar sarana prasarana, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian.
Di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan kurikulum. Yang terbaru adalah diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kemudian disempurnakan kembali menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) sebagai pengganti kurikulum 1994. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan adanya kurikulum masalah pendidikan akan teratasi secara otomatis? Ternyata tidak. Kurikulum hanya merupakan satu diantara tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembaharuan pendidikan. Selain kurikulum, hal yang perlu mendapat perhatian tersebut yaitu peningkatan pembelajaran, dan efektifitas pendekatan pembelajaran. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas dan lebih memberdayakan potensi siswa.
Pemberlakuan KTSP menuntut adanya perubahan paradigma guru yang semula mengajar dengan orientasi terhadap hasil dan materi (transfer of knowledge) menjadi orientasi terhadap proses. Nurhadi (2002: 1), mengatakan bahwa pembelajaran yang berorieritasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi 'mengingat' jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Pembelajaran hendaknya sebanyak mungkin melibatkan peserta didik agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi secara ilmiah dan alamiah. Anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika ‘anak mengalami' apa yang dipelajarinya, bukan 'mengetahui'-nya. Konsep pembelajaran yang demikian inilah yang diharapkan oleh pendekatan CTL.
CTL merupakan konsep belajar yang menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. CTL memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran, seting pembelajaran yang tidak melulu di dalam kelas, dan media apa saja untuk belajar. Prinsipnya, orang-orang dan benda-benda di sekitar siswa, semua adalah media belajar. Sehingga, gambaran fisik kelas CTL seperti berikut ini:
… dinding kelas penuh dengan tempelan hasil karya siswa (tidak hanya gambar presiden dan wakil presiden saja). Dinding kelas penuh dengan gambar hasil karya siswa, peta (baik cetak maupun buatan siswa sendiri, artikel, gambar tokoh idola, puisi, komentar, foto tokoh, diagram-diagram, dan lain-lain. Setiap saat berubah. Bahkan lorong-lorong sekolah pun dapat dimanfaatkan. Akibatnya, kemana pun siswa pergi dikepung oleh informasi! Ciri kedua, kelas CTL adalah siswa siswa selalu ramai dan gembira dalam belajar. Kelas yang aktif bukan kelas yang sepi (Nurhadi, 2004: 151).
Belajar harus didukung oleh lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, dalam arti lingkungan yang mampu memberikan stimulasi siswa senang belajar. Oleh karena itu, pembelajaran harus berubah dari "guru yang berakting di depan kelas dan siswa menonton "ke" siswa yang berakting, bekerja, dan berkarya, guru mengarahkan dan memfasilitasi". Dengan kata lain, dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Kondisi ideal di atas, jelas bertolak belakang dengan apa yang terjadi selama ini. Masih banyak guru yang mengajar dengan cara-cara lama dan kurang melibatkan dan mengaktifkan siswa untuk mampu belajar sendiri. Model pembelajaran yang hanya menekankan ceramah dan kurang demokratis masih banyak terjadi, dengan akibat siswa kurang bebas untuk mengembangkan pikiran dan gagasannya. Guru terjebak dengan kegiatan rutin, yaitu memberikan penjelasan serta men-drill bahan ajar kepada siswa yang sesuai dengan buku teks/buku paket, sedangkan siswa menerima bahan ajar yang diberikan oleh guru. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Drost (2005 : 7) bahwa sistem drill masih amat disenangi oleh para guru sehingga unsur penemuan biasanya sering dilupakan.
Hampir setiap guru tidak pernah memperhatikan perbedaan individual siswa. Walaupun model pembelajarannya klasikal, pada jam pelajaran yang sama, pada umumnya dalam satu kelas guru mengajarkan bahan dan materi yang sama dan dengan cara yang sama untuk semua siswa pada kelas tersebut, Sagala (2003 : 151). Dampak logis dari model pembelajaran dengan cara-cara lama tersebut, diantaranya: (a) banyak siswa yang mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya, (b) sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan, dan (c) siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah (Depdiknas, 2006: 7).
Jika kondisi ini tetap dibiarkan, pendidikan di Indonesia akan semakin terpuruk dan tertinggal dengan negara-negara lain. Sebaliknya, apabila kondisi tersebut diatasi dengan penerapan Pendekatan CTL secara optimal, kualitas pendidikan akan memiliki keunggulan kompetensi-kompetitif dalam persaingan global. Depdiknas, (2006: 11) menyatakan bahwa pengalaman di negara lain, minat dan prestasi siswa dalam bidang bahasa, matematika, dan sains meningkat secara drastis pada saat: (a) mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai, (b) mereka diajarkan bagaimana mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dipergunakan di luar kelas, dan (c) mereka diperkenankan untuk bekerja secara bersama.
Kondisi riil di Kabupaten X, selain memperoleh pelatihan kurikulum, guru bahasa Indonesia juga mendapatkan pelatihan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai pendekatan pembelajarannya. Konsekuensi logis dari pelatihan tersebut, para guru bahasa Indonesia di SMPN X begitu antusias menerapkan pendekatan CTL dalam pembelajaran di dalam kelas. Berpijak dari uraian di atas, maka dalam kesempatan ini penulis mencoba menganilisis sebuah topik dengan judul: “Pelaksanaan Contextual teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X ”.

1.2 Asumsi dan Batasan Masalah
1.2.1 Asumsi
Asumsi yang mendasari diadakannya penelitian ini diantaranya:
1. Guru bahasa Indonesia SMP Negeri di Kabupaten X tergabung dalam MGMP bahasa Indonesia Kabupaten X.
Dalam MGMP diadakan pertemuan secara rutin setiap bulan. Pertemuan tersebut diadakan untuk membicarakan masalah pembelajaran dan solusinya terutama yang menyangkut bahasa Indonesia. Logikanya pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan CTL dapat berjalan dengan optimal.
2. Berdasarkan data terbaru dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMPN X tahun 2007, Kualifikasi pendidikan guru Bahasa Indonesia, 3% Diploma, 93% Sarjana (S1), dan 4% Pasca Sarjana (S2). Dengan modal akademik lulusan Sarjana (S1) apalagi Pasca Sarjana (S2), seorang guru semestinya mampu menjalankan tugasnya, mengajarkan Bahasa Indonesia pada siswa kelas VIII SMP, dengan baik dan optimal.
3. Pelatihan atau penataran tentang CTL baik di tingkat sekolah, kabupaten, maupun provinsi sudah pernah diikuti oleh + 78% guru bahasa Indonesia SMP Negeri di Kabupaten X.
Modal ini semestinya menambah kemampuan guru dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal.
4. Pembelajaran Bahasa Indonesia bersifat tematik sehingga secara material muatan mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup segala aspek (tema-tema) dalam kehidupan. Padahal, tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia adalah penguasaan siswa terhadap kompetensi berbahasa Indonesia, bukan penguasaan pengetahuan tentang Bahasa Indonesia. Para siswa harus mampu berbahasa sesuai dengan konteks dan ragamnya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, CTL-lah pendekatan yang prinsip- prinsipnya sangat dibutuhkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan asumsi hasilnya bisa optimal.

1.2.2 Batasan Masalah
Untuk memperjelas pembahasan agar tidak melebar dan menyimpang dari permasalahan yang akan diteliti, perlu adanya batasan masalah. Begitu juga dengan penelitian tentang pelaksanaan CTL ini. Berpijak dari hal tersebut di atas, masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini dibatasi pada: Pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan hambatannya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X.

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X?
2. Hambatan-hambatan apa yang ditemui guru Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X dalam pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL)?

1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:
1. untuk mendeskripsikan pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X; dan
2. untuk mendeskripsikan hambatan- hambatan yang ditemui guru Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X dalam pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL).

1.5 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagi pengambil kebijakan (Dinas Pendidikan Kab. X), hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan terutama dalam pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
2. Bagi praktisi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai introspeksi sekaligus refleksi diri.
3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi terkini tentang pendidikan sekaligus sebagai media untuk menambah wawasan dan referensi untuk penelitian yang sama.

1.6 Penjelasan Istilah
Dari judul penelitian ini, terdapat istilah yang perlu didefinisikan secara operasional. Istilah tersebut adalah Contextual Teaching and Learning (CTL).
Depdiknas (2006:8) menyatakan bahwa CTL:
1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:06:00