Cari Kategori

Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts

PENGARUH PERSEPSI IBU BALITA TENTANG PENYAKIT DIARE TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN DIARE

1.1. Latar Belakang
Kesehatan adalah hal mutlak yang harus diperhatikan untuk kemajuan suatu bangsa selain pendidikan dan ekonomi. Derajat kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang saling mendukung satu sama lain mulai dari lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan hingga genetika yang ada di masyarakat.
 
Lingkungan adalah salah satu faktor yang memengaruhi derajat kesehatan tersebut. Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbulnya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satunya adalah sebagai reservoir bibit penyakit. Reservoir adalah tempat hidup yang paling sesuai bagi bibit penyakit. Timbul atau tidaknya penyakit pada manusia tergantung dari sifat-sifat yang dimiliki oleh bibit penyakit atau penjamu (Hiswani, XXXX).
 
Berkaitan dengan lingkungan, salah satu penyakit menular berbasis lingkungan yang masih menjadi masalah kesehatan dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian anak-anak di Indonesia adalah diare. Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian. Epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah geografis dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di negara berkembang anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali dalam setahun, dan menjadi penyebab kematian dengan Case Fatality Rate 15% sampai dengan 34% dari semua kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak (Aman, XXXX).
 
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun XXXX, menunjukkan angka kematian akibat diare adalah 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita adalah 75 per 100 ribu balita (Depkes RI, XXXX).
 
Menurut Depkes RI (XXXX), insiden diare berkisar antara 400 kasus per 100 penduduk, di mana 60-70% di antaranya anak-anak di bawah umur 5 tahun. Setiap anak mengalami diare rata-rata 1 sampai 2 kali setahun dan secara keseluruhan, rata-rata mengalami 3 kali episode diare per tahun (Bela dkk, XXXX).
 
Pada tahun XXXX, terjadi KLB di 16 provinsi dan 44 daerah tingkat dua di Indonesia, dan salah satunya adalah Provinsi X. Jumlah penderitanya sebesar 10.980 dan 77 penderita meninggal dunia akibat penyakit tersebut (Depkes RI, XXXX).
 
Berdasarkan survei yang dilakukan Bela dkk (XXXX), diare merupakan penyakit yang sering terjadi di wilayah Puskesmas X selama tahun XXXX dengan rincian sebagai berikut

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Dari data di atas dapat dilihat bahwa kejadian angka insidens paling tinggi terjadi di Kelurahan X pada kelompok umur 0-5 tahun sebanyak 46,75 orang per 1000 penduduk .
 
Tingginya kasus diare dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan perilaku masyarakat karena penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan (Depkes RI, 2000). Perilaku masyarakat erat kaitannya dengan tindakan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat dalam meminimalisir terjadinya diare.
 
Beberapa ahli kesehatan kemudian menemukan bahwa ada dua faktor penting dari keadaan lingkungan yang memengaruhi timbulnya diare, yaitu keadaan air untuk rumah tangga dan fasilitas jamban (Suharyono, 1980; WHO, 1985). Risiko kejadian diare dan diare berulang lebih besar pada keluarga yang tidak mempunyai jamban keluarga, sedangkan penyediaan jamban umum dapat menurunkan prevalensi diare daripada yang tidak mempunyai jamban, begitu juga dengan penyediaan fasilitas air bersih sedekat mungkin dengan pemakai dapat menurunkan risiko diare (Munir, 1983).
 
Dari profil Kecamatan X diketahui bahwa 88,14 % KK di Kelurahan X masih menggunakan sumur sebagai sumber air bersihnya, dan 1,34 % masih menggunakan air sungai. Adapun untuk sarana jamban keluarga masih ada 3,73% KK yang belum mempunyai jamban keluarga.
 
Selain lingkungan, tindakan pencegahan diare juga dipengaruhi oleh pengetahuan ibu. Berdasarkan hasil penelitian Pratama (XXXX) di Bali, ibu balita yang mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah beresiko mengalami kejadian diare.
 
Menurut Handayani (XXXX) pengetahuan ibu memengaruhi tindakan ibu terhadap pencegahan penyakit diare. Pengetahuan responden yang berada dalam kategori baik berbanding lurus dengan tindakan terhadap pencegahan.
 
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh. Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam interpretasi. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya (Notoatmodjo, XXXX).
 
Menurut Wolinsky (1998) bahwa masyarakat mengembangkan pengertian sendiri tentang sehat dan sakit sesuai dengan pengalaman hidupnya atau nilai-nilai yang diturunkan oleh generasi sebelumnya, maka pencegahan penyakit diare yang sering dilaporkan terjadi akibat lingkungan yang buruk tergantung persepsi masyarakat tentang diare. Artinya, jika diare dipersepsikan sebagai suatu penyakit tidak serius dan tidak mengancam kehidupannya maka perilaku pencegahan akan penyakit diare pun tidak terlalu serius dilakukan. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa diare merupakan masalah kesehatan yang perlu diwaspadai, otomatis mereka akan bereaksi serius terhadap penyakit ini dengan mengembangkan perilaku-perilaku pencegahan.
 
Menurut Soemarno (1995), didapatkan persepsi ibu yang salah tentang diare di Boyolali. Menurut ibu penyebab diare ada yang langsung terhadap anak yaitu masuk angin, terlalu lama mandi, makan makanan rasa asam (kecut), dan tidak langsung bila ibu menyusui masuk angin atau makan makanan yang pedas-pedas, air susu menjadi jelek dan anak menderita mencret. Tidak ada kepercayaan bahwa diare disebabkan oleh roh halus. Sehingga persepsi ibu yang salah tentang diare dan penyebabnya menghasilkan perilaku pengobatan diare pada anak sebagai berikut, mula-mula ditangani sendiri dengan ramuan tradisional, bila tidak sembuh diobati dengan pil Ciba yang dijual bebas di warung-warung yang tersebar di desa, bila tetap belum sembuh baru dibawa ke petugas kesehatan.
 
Menurut Luthans (XXXX), persepsi berperan penting dalam perilaku seseorang, persepsi berhubungan dengan bagaimana individu menanggapi individu lain. Karakteristik penilai dan orang yang dinilai menunjukkan kompleksitas persepsi sosial.
 
Menurut Rosenstock dalam Muzaham (1995), kesiapan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan orang itu terhadap bahaya penyakit tertentu dan persepsi mereka terhadap kemungkinan akibat (fisik dan sosial) bila terserang penyakit tersebut.
 
Berdasarkan data dan hasil penelitian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX".

1.2. Permasalahan
Dari latar belakang di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa penyakit diare khusus pada anak balita merupakan masalah yang cukup penting hari ini mengingat angka kesakitannya yang tinggi, dan hal tersebut tidak terlepas dari peran ibu sebagai pengasuh terdekat dengan balita untuk melakukan melakukan pencegahan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah apakah ada pengaruh persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4. Manfaat Peneltian
1. Manfaat bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan dapat memberikan informasi tentang permasalahan terkait sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan untuk pencegahan dan penanganan kejadian diare.
2. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat memberikan informasi baru tentang penelitian terkait sehingga dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian pengembangan berikutnya
3. Untuk pengembangan ilmu, penelitian ini dapat membuktikan teori yang berkaitan sekaligus dapat membuka wacana berpikir untuk pengembangan teori yang sudah ada.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:08:00

GAMBARAN PERANAN KELUARGA TERHADAP PERILAKU HIDUP SEHAT LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat termasuk usia lanjut. Berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 1988 pasal 1 ayat 2 tentang kesejahteraan lanjut usia dinyatakan bahwa lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan mengakibatkan meningkatnya Usia Harapan Hidup (UHH) dari 66,7 tahun untuk perempuan dan 62,9 tahun untuk laki-laki pada tahun 1995 menjadi 71 tahun untuk perempuan dan 67 tahun untuk laki-laki di tahun XXXX. Tahun 2020 diproyeksikan jumlah penduduk yang berusia diatas 60 tahun akan berjumlah 28,8 juta jiwa atau 11,34% dari seluruh penduduk Indonesia (Depkes RI, XXXX).
 
Meningkatnya jumlah penduduk lansia akan menimbulkan permasalahan di berbagai aspek kehidupan lansia, baik secara individu maupun dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat. Permasalahan tersebut berupa aspek kesehatan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi, kesehatan dan kesejahteraan merupakan masalah yang mendominasi dalam kehidupan mereka.
 
Pola penyakit lansia menempuh siklus hidup yang panjang sebelum menimbulkan komplikasi dan manifestasi klinik. Awalnya seseorang sehat, dengan bertambahnya usia dan tergantung gaya hidup yang dijalaninya dari lingkungan serta pelayanan kesehatan yang diterimanya, orang tersebut menderita penyakit yang biasanya disebut sebagai faktor resiko seperti hipertensi, diabetes mellitus, kolesterol meninggi dan Iain-lain. Apabila penyakit tersebut tidak terdeteksi atau diobati secara dini maka akan terjadi komplikasi penyakit yang menetap dalam tubuh lansia (Hadisaputro dan Martono, 2000). Berdasarkan statistik rumah sakit pusat rujukan di X diperoleh gambaran bahwa pasien lansia pada umumnya menderita kompleksitas penyakit. Penyakit utama adalah penyakit kardiovaskuler, penyakit paru menahun, tuberkulosis, infeksi saluran pernafasan, gangguan pencernaan dan penyakit tulang dan sendi (Depkes RI, XXXX).
 
Martono (2000) mengutip penelitian Sarjadi tahun 1992 yang menemukan adanya perbedaan persentase tingkat keganasan penyakit lansia laki-laki dan perempuan. Pada lansia laki-laki berumur 65 tahun keatas tingkat keganansan penyakit berupa kanker kulit (11,21%) sedangkan lansia perempuan kanker serviks uteri (18,09%). Kondisi ini tentunya menuntut adanya penanganan secara medik melalui peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi khususnya.
 
Permasalahan penyakit yang dihadapi lansia tersebut karena adanya kemunduran sel-sel (proses penuaan) yang dapat mempengaruhi fungsi dan kemampuan sistem tubuh termasuk syaraf, jantung dan pembuluh darah akan berdampak pada masalah kesehatan keluarga baik secara langsung maupun tidak langsung. Terutama menyangkut masalah psikis yang dirasakan lansia ketika berada di masa klimakterium yaitu dimana masa peralihan yang dilalui seorang wanita dari periode reproduktif ke periode non reproduktif yang dikenal dengan masa menopause atau andropause pada laki-laki. Oleh karena itu merupakan suatu tantangan bagi kita untuk mengupayakan lansia tetap memiliki kesiapan fisik dan mental serta adanya peningkatan perilaku hidup sehat sehingga menjadi sumber daya manusia yang optimal.
 
Mengingat berbagai kekhususan perjalanan dan penampilan penyakit pada lansia, pemerintah melaksanakan pelayanan kesehatan lansia secara komprehensif yang berkesinambungan dan tatalaksana secara tim syang mencakup pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, pelayanan kesehatan lansia di masyarakat berbasis rumah sakit dan pelayanan kesehatan lansia berbasis rumah sakit. Sehubungan dengan upaya komprehensif ini diperlukan adanya kerjasama antara masyarakat, petugas kesehatan dan instansi yang berkaitan melalui pengadaan berbagai kegiatan ceramah, symposium, lokakarya, penyuluhan dan penyediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat lansia. (Martono, 2000).
 
Program Bina Keluarga Lansia (BKL) yang dilaksanakan melalui kegiatan posyandu lansia merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan lansia di masyarakat berbasis rumah sakit atas kerjasama antara petugas kesehatan dengan masyarakat. Program BKL merupakan suatu wadah yang dilakukan oleh keluarga yang memiliki lansia untuk mengetahui, memahami, dan mampu membina kondisi dan masalah yang dihadapi lansia. Pada program BKL dituntut peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan lansia diantaranya berupa pemenuhan kebutuhan ekonomi, psikososial dan kesehatan fisik, nutrisi makanan, serta berupaya mendorong lansia agar tetap menanamkan perilaku hidup sehat sehingga lansia tetap sehat bugar dan tidak menjadi beban (BKKBN, XXXX).
 
Pembinaan kesehatan lansia melalui wadah BKL di posyandu lansia merupakan salah satu pendekatan dari program perawatan kesehatan masyarakat {Public Health Nursing) yang ditujukan untuk meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan adanya pembinaan melalui program posyandu lansia diharapkan terjadi peningkatan perilaku hidup sehat oleh lansia di kehidupan sehari-hari.
 
Puskesmas X dijadikan salah satu puskesmas percontohan program posyandu lansia di Kota X. Kegiatan BKL merupakan salah satu upaya pemerintah meningkatkan status kesehatan dan kesejahteraan lansia. Tujuan kegiatan BKL diadakan agar adanya peningkatan kepedulian keluarga lansia dalam mendukung kualitas hidup lansia melalui keaktifan mereka dalam kegiatan posyandu lansia. Namun berdasarkan cakupan program posyandu lansia tahun XXXX diketahui dari 3547 lansia sebanyak 1189 lansia yang berumur 60 tahun ke atas dan jumlah yang terbanyak di wilayah kerja Puskesmas X dibandingkan dengan puskesmas yang berada di Kota X. Peneliti juga menemukan informasi bahwa rata -rata kunjungan lansia berumur 60 tahun keatas ke posyandu lansia masih sangat sedikit yaitu sekitar 16 lansia di Kelurahan Sei Sekambing D dan 21 lansia di Kelurahan Sei Putih Barat. Sementara banyak dari mereka yang berkeinginan terlibat dalam kegiatan posyandu lansia, namun dengan adanya keterbatasan fisik ditambah kurang dukungan dari keluarga untuk aktif di kegiatan tersebut. Lansia yang berkunjung ke posyandu mempunyai gangguan kesehatan berupa tidak normalnya tekanan darah (16%), Bronchitis (7,4%), Diabetes mellitus (4%), jantung (2%) dan Iain-lain (ginjal, IMT, Osteoporosis) sebesar 8%.
 
Peneliti menghubungkan kondisi di lapangan dengan pendapat Mangoenprasodjo (XXXX) mengutip dari Wiliam bahwa keluarga adalah jembatan yang menghubungkan seseorang dengan kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya dan berperan dalam membentuk seseorang untuk mandiri mengambil keputusan dalam upaya mempertahankan kualitas hidupnya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran peranan keluarga terhadap perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan perawatan diri lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
2. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
3. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pemenuhan pemeliharaan kesehatan lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun
XXXX.
4. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pencegahan potensi kecelakaan pada lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
5. Untuk mengetahui peranan keluarga dalam pencegahan menarik diri dari lingkungan oleh lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.
6. Untuk mengetahui perilaku hidup sehat lansia di wilayah kerja Puskesmas X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan informasi bagi masyarakat khususnya keluarga lansia dalam rangka meningkatkan kesadaran lansia untuk berperilaku hidup sehat.
2. Sebagi informasi bagi lansia agar menyadari sekaligus menerapkan perilaku hidup sehat di kehidupan sehari-hari.
3. Sebagai masukan bagi Puskesmas X dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan lansia melalui program posyandu lansia dan meningkatkan upaya promosi kesehatan bagi keluarga lansia.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:06:00

GAMBARAN PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN OLEH PEMEGANG KARTU JPK GAKIN

1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dalam usaha mewujudkan suatu tingkat kehidupan masyarakat secara optimal. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal, mendapatkan pelayanan yang baik dari instansi pelayanan kesehatan dan sebagainya. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut maka diperlukan pembangunan kesehatan dan penyelenggaraan upaya pemeliharaan kesehatan ke arah yang lebih baik. Berdasarkan Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, salah satu bentuk penyelenggaraan upaya pemeliharaan kesehatan adalah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna (preventif, promotif, rehabilitatif, dan kuratif) berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara praupaya (http://www.jpkm-online.net).
 
Selanjutnya dalam pasal 66 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 dinyatakan bahwa Pemerintah mengembangkan, membina dan mendorong jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagai cara yang dijadikan landasan setiap penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan, yang pembiayaannya dilaksanakan secara pra upaya, berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan (Depkes RI, 1997).
 
Dampak dari krisis moneter sejak beberapa tahun terakhir berlanjut menjadi krisis ekonomi sehingga menimbulkan dampak negatif pada semua sektor usaha yang dirasakan semua kalangan. Dampak dari krisis ekonomi berlanjut pada sektor kesehatan, masyarakat mengeluhkan tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan terutama bagi penduduk kurang mampu (miskin). Itu semua karena menurunnya tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat, serta meningkatnya biaya kesehatan.
 
Kemiskinan dapat mengancam status kesehatan dengan meningkatnya angka kesakitan dari penduduk miskin yang disebabkan oleh menurunnya akses masyarakat terhadap pengetahuan dan informasi serta rendahnya kemampuan untuk mengakses pelayanan.
 
Perubahan pola penyakit akibat pergeseran demografi, kemajuan teknologi dan perubahan pola pelayanan kedokteran, peningkatan pengangguran akan memberi pengaruh terhadap sistem pembiayaan kesehatan dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Di sisi lain bahwa sistem pembayaran tunai langsung dari kantong konsumen (out of pocket) dapat memberatkan masyarakat terutama mereka yang tergolong kurang mampu dan pembayaran melalui mekanisme asuransi atas tagihan pemberi pelayanan kesehatan telah mendorong kenaikan biaya kesehatan.
 
Salah satu arah kebijakan pembangunan kesehatan adalah pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin. Program ini sebenarnya merupakan kontinuitas pelayanan yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Peran Pemerintah sebagai safe guarding tersebut melahirkan kebijakan baru bagi jaminan kesehatan bagi rakyat miskin. Untuk keluar dari permasalahan tersebut ditetapkan visi Indonesia Sehat XXXX dengan salah satu misinya yaitu memelihara, meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat termasuk lingkungannya. Untuk mencapai visi dan misi telah ditetapkan beberapa indikator salah satunya yaitu 100% keluarga miskin mendapat pelayanan kesehatan (Depkes, 1999).
 
Dalam UUD 1945 pasal 34 mengamanatkan fakir miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggung jawab negara. Salah satu bentuk perwujudan amanat UUD 1945, yang harus dilaksanakan adalah kepedulian terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan, utamanya pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Tetapi, bila dilihat dari anggaran kesehatan yang dikeluarkan pemerintah termasuk paling rendah dibandingkan dengan sesama negara berkembang lainnya. Pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia berkisar 1,6% dari GDP, sementara rata-rata di negara berkembang 4,5% dari GDP (Depkes RI, XXXX). Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan pengeluaran kesehatan terendah dibandingkan negara-negara lainnya, yaitu hanya seperempat dari pengeluaran kesehatan Thailand dan masih lebih rendah dari Myanmar. Rendahnya investasi di bidang kesehatan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak memadainya pelayanan kesehatan dalam menangani masalah kesehatan utama.
 
Untuk memelihara dan melindungi kesehatan penduduk miskin, sejak tahun 1998 pemerintah telah mengembangkan berbagai upaya antara lain penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin atau yang sering disebut JPKM dan JPS BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan). Program tersebut telah berkembang luas secara nasional sejak krisis moneter dengan pembiayaan pemerintah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan keluarga miskin. Kemudian melalui UU No. 40 tahun XXXX tentang SJSN yang bertujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta dan atau anggota keluarganya.
Pada tahun XXXX diluncurkan Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) yang kemudian berubah nama menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM Bidang Kesehatan (PKPS-BBM) yang pengelolaannya diserahkan dan dipertanggung jawabkan oleh masing-masing rumah sakit dan puskesmas.
 
Sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab serta komitmen Pemda Provinsi X terhadap aksesibilitas masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan, seperti diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun XXXX pasal 33 dan 34 ayat 1, 2, dan 3, maka dilaksanakan uji coba Program JPK Gakin dimana dana untuk program tersebut berasal dari dana PKPS BBM bidang kesehatan dan anggaran Pemerintah Daerah Provinsi X.
 
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) diluncurkan oleh Dinas Kesehatan X sejak tahun XXXX. Program JPK Gakin dibuat oleh Dinas Kesehatan dan uji cobanya berlangsung selama tiga tahun, serta sistemnya disempurnakan terus menerus. Program JPK Gakin ini diarahkan pada sistem asuransi kesehatan dan preminya ditanggung oleh pemerintah (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/3 1/nas09.html).
 
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) adalah suatu jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan kepada keluarga miskin melalui pendekatan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) atau Asuransi yang preminya dibayar oleh Pemerintah Provinsi X dan dari anggaran Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM. Peserta JPK Gakin adalah semua keluarga miskin penduduk X (KTP DKI) sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) X yang diteliti ulang oleh Tim Desa (Lurah, Kepala Puskesmas Kelurahan beserta kader kesehatan), termasuk peserta uji coba pelayanan Gakin tahun XXXX di 5 Kecamatan se X. Serta Penghuni panti sosial yang direkomendasikan oleh Kepala Dinas Bina Mental dan Spiritual Provinsi X (http://yankes-utara.X.go. id/berita.php?bid=70).
 
Masyarakat miskin di X dibagi atas empat kategori. Kategori pertama adalah orang miskin yang memang harus dirawat gratis 100 persen. Kategori kedua, orang miskin dengan KTP X, tetapi tidak mendapatkan kartu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) dan menghadapi masalah biaya pelayanan kesehatan. Mereka diberi surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari RT/RW. Kategori ketiga adalah orang miskin yang tidak mempunyai kartu JPK Gakin dan tidak bisa mendapatkan surat keterangan tidak mampu dari RT karena tidak mempunyai KTP X. Dan kategori keempat, orang miskin rujukan nasional dari seluruh Indonesia yang berobat ke X (http://www.sarwono.net/berita.php?id=184).
 
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di X pada tahun XXXX bertambah sekitar 70.000 orang. Dari sekitar 560.000 orang pada tahun XXXX menjadi 630.000 orang. Pertambahan sekitar 15.000 kelurga miskin hanya diantisipasi dengan penambahan 6.000 kartu gakin baru yang diterbitkan di tahun XXXX. Dinas Kesehatan telah menerbitkan 154.121 kartu gakin sejak tahun XXXX hingga XXXX. Ketidakseimbangan antara jumlah kartu gakin dan warga miskin terlihat dari jumlah pemegang surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang mencapai 47.000 keluarga (http://kompas.com/kompas-cetak/0712/15/metro/4080512.htm).
 
Kemampuan seseorang atau keluarga dalam mengakses/mencapai pelayanan kesehatan adalah berbeda-beda. Bagi orang kaya hal ini bukan merupakan masalah, mereka bisa memilih pelayanan kesehatan sesuai keinginan. Sedangkan bagi keluarga miskin akan menjadi masalah tersendiri. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pemberian pelayanan kesehatan antara lain masyarakat yang tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan yang tersedia karena keterbatasan sarana dan prasarana, nilai sosial dan budaya masyarakat, pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan/harapan, kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang rendah, serta alokasi dan penggunaan sumber daya untuk penyampaian pelayanan yang tidak memadai (Sukoco dkk, XXXX).
 
Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok, dalam hal ini adalah keluarga miskin yang memiliki kartu JPK Gakin. Pengetahuan tentang faktor yang mendorong individu membeli pelayanan kesehatan merupakan informasi kunci untuk mempelajari utilisasi pelayanan kesehatan. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencarian pelayanan kesehatan berarti juga mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan (utilisasi) pelayanan kesehatan (Ilyas, XXXX).
 
Wilayah X merupakan salah satu wilayah administrasi dari Provinsi X. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi X, sampai dengan tahun XXXX, jumlah kartu JPK Gakin yang telah didistribusikan kepada keluarga miskin di wilayah X adalah sebanyak 12.085 KK. Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun XXXX sebanyak 1.284 KK dari 10.801 KK. Kelurahan X merupakan kelurahan dengan jumlah keluarga miskin paling banyak di kecamatan Jagakarsa yang terlihat dari jumlah keluarga miskin penerima dana BLT tahun XXXX, yaitu sebanyak 209 rumah tangga. Jumlah pemegang kartu JPK Gakin di Kelurahan X berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas adalah sebanyak 106 KK. Pada tahun XXXX total kunjungan pasien pemegang kartu JPK Gakin adalah 89 kunjungan, dengan rata-rata kunjungan 6,99% tiap bulannya.
 
Hal ini menjadi pertanyaan penting karena pemerintah telah menyediakan sarana pengobatan gratis bagi keluarga miskin, namun sayang hal ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh keluarga miskin. Serta, masih banyaknya warga miskin yang masih kurang memahami dan mengerti betapa pentingnya JPK Gakin.
 
Masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Green (1980) menggambarkan bahwa ada tiga faktor yang mendorong dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu faktor predisposing (meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi), faktor enabling (ketersediaan fasilitas kesehatan, keterjangkauan biaya, jarak dan fasilitas transportasi), dan faktor reinforcing (dukungan dari pemimpin, tokoh masyarakat, keluarga, dan orang tua). Sedangkan Andersen (1975) mengelompokkan faktor determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan menjadi 3 kategori, yiatu karakterisetik predisposisi (jenis kelamin, umur, dan status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, kepercayaan kesehatan, dll), karakteristik kemampuan (terdiri dari sumber daya keluarga dan sumber daya masyarakat), dan karakteristik kebutuhan (penilaian individu dan penilaian klinik terhadap suatu penyakit)
 
Dengan mempelajari pemanfaatan pelayanan kesehatan banyak manfaat yang diperoleh yaitu:
1. Untuk menggambarkan hubungan antara berbagai faktor penentu pemanfaatan pelayanan
2. Untuk memprediksi kebutuhan pelayanan kesehatan masa mendatang.
3. Untuk menentukan distribusi pelayanan kesehatan itu merata atau tidak.
4. Untuk memperkirakan bagaimana cara mengubah atau memanipulasi variabel yang dikehendaki yang terkait dengan kebijakan tertentu.
5. Untuk mengetahui dampak-dampak program kesehatan yang baru. (Azwar, 1998)

1.2 Rumusan Masalah
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPK Gakin) adalah suatu jaminan pemeliharaan kesehatan yang diberikan kepada keluarga miskin melalui pendekatan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) atau Asuransi yang preminya dibayar oleh Pemerintah Provinsi X dan dari anggaran Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM. Peserta JPK Gakin adalah semua keluarga miskin penduduk X (KTP DKI) sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) X yang diteliti ulang oleh Tim Desa (Lurah, Kepala Puskesmas Kelurahan beserta kader kesehatan.
 
Kemiskinan dapat mengancam status kesehatan dengan meningkatnya angka kesakitan dari penduduk miskin yang disebabkan oleh menurunnya akses masyarakat terhadap pengetahuan dan informasi serta rendahnya kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pemanfaatan pelayanann kesehatan yang dilihat dari jumlah kunjungan pemegang kartu JPK Gakin di Puskesmas relatif masih rendah, pada tahun XXXX rata-rata pemanfaatan sebesar 6,99% per bulannya.
 
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini belum diketahuinya gambaran faktor penentu pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga miskin pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas Kelurahan X".

1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
2. Bagaimana gambaran Karakteristik keluarga miskin (pendidikan KK, pekerjaan KK, penghasilan) pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
3. Bagaimana gambaran Faktor Predisposing (pengetahuan tentang manfaat kartu JPK Gakin, pengetahuan tentang cara mengakses pelayanan, persepsi terhadap pelayanan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
4. Bagaimana gambaran Faktor Enabling (keterjangkauan jarak dan biaya) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?
5. Bagaimana gambaran Faktor Reinforcing (pengambilan keputusan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran Karakteristik keluarga miskin (pendidikan, pekerjaan, penghasilan) pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
2. Mengetahui gambaran Faktor Predisposing (pengetahuan tentang manfaat kartu JPK Gakin, pengetahuan tentang cara mengakses pelayanan, persepsi terhadap pelayanan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
3 Mengetahui gambaran Faktor Enabling (keterjangkauan jarak dan biaya) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.
4 Mengetahui gambaran Faktor Reinforcing (pengambilan keputusan) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi X
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan sebagai penyelenggara Program JPK Gakin di Provinsi X, untuk selalu melakukan pemantauan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga miskin, sehingga dapat disusun perencanaan kesehatan yang lebih baik berkaitan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi keluarga miskin
1.5.2 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan sarana evaluasi bagi Puskesmas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin agar keluarga miskin dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada dengan menggunakan kartu JPK Gakin yang dimiliki.
1.5.3 Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Kelurahan X.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang kartu JPK Gakin di wilayah Puskesmas kelurahan X. Penelitian dilakukan selama bulan Mei-Juni XXXX di RW 06 Kelurahan X. Informasi mengenai kareakteristik keluarga miskin, faktor predisposing, faktor enabling, faktor reinforcing dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan diperoleh dari keluarga miskin pemegang kartu JPK Gakin, Kepala Puskesmas, Petugas Gakin Puskesmas dan Ketua RW 06. Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode FGD (Focus Group Discussion) dan wawancara mendalam (indepth interview).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:06:00

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KE JADIAN PENDERITA PENYAKIT TB PARU BTA POSITIF DI KECAMATAN X

1.1. Latar Belakang
Penyakit Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit infeksi kronis menular yang menjadi masalah kesehatan. Penyakit yang sudah cukup lama ada ini merupakan masalah global di dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Hal-hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TBC di dunia antara lain karena kemiskinan, meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur usia manusia yang hidup, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi di negara-negara miskin, tidak memadainya pendidikan mengenai TBC di antara para dokter, kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik dan pengawasan kasus TBC serta adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia (Amin, XXXX).
 
Di negara maju dapat dikatakan penyakit TBC dapat dikendalikan, namun adanya peningkatan kasus penyakit HIV merupakan ancaman yang sangat potensial dalam peningkatan kasus penyakit TBC baru. Pada tahun 1995 di seluruh dunia terdapat 17 juta kasus infeksi HIV dan kira - kira ada 6 juta kasus AIDS pada orang dewasa dan anak sejak timbulnya pandemi HIV. Kira-kira sepertiga dari semua orang yang terinfeksi HIV juga teinfeksi tuberkulosis, Dari jumlah ini 70% berada di Afrika, 20% di Asia dan 80% di Amerika latin (Crofton, XXXX).
 
WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC pada tahun 1993, karena di sebagian besar negara di dunia, penyakit TBC tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya penderita TBC yang tidak berhasil disembuhkan (Depkes, XXXX). Dinegara-negara miskin kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Daerah Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban TBC global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia (Depkes, XXXX).
 
Pada tahun 1995, ada sekitar 9 juta pasien TBC baru dan 3 juta kematian akibat TBC di dunia. Diperkirakan 7-8 juta yang terkena TBC di negara berkembang, ini terjadi karena tidak ada peningkatan yang signifikan di dalam upaya pencegahannya dalam tahun 1999-2020. WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini (Nelson, XXXX). Penyebab kematian wanita akibat TBC lebih banyak daripada akibat kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TBC adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun) (Depkes, XXXX). Diperkirakan seorang pasien TBC dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 - 30 %. Jika meninggal akibat TBC, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TBC juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial - stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Achmadi, XXXX).
 
Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Diperkirakan pada tahun XXXX, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang sedangkan angka kematian di Indonesia tahun XXXX sebesar 41/100.000 penduduk. Insidensi kasus TBC BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Pada tahun 1995-1998, cakupan penderita TBC dengan strategi DOTS baru mencapai 10% dan eror rate pemeriksaan belum dihitung dengan baik meskipun cure rate lebih besar dari 85% serta penatalaksanaan penderita dan pencatatan pelaporan belum seragam (Depkes XXXX).
 
Titik berat penanggulangan program TB saat ini di tekankan pada penemuan penderita baru lebih dari atau sama dengan 70 %, angka konversi lebih dari atau satu dengan 80 %, angka kesembuhan lebih besar atau sama dengan 85 %, angka pemeriksaan laboratorium kecil dari atau sama dengan 5 %, di harapkan dapat segera tercapai. Namun sampai saat ini angka indikator tersebut masih belum tercapai, hal ini dapat dimaklumi mengingat terjadinya TB Paru adalah multicausal (disebabkan oleh banyak faktor) (Depkes, XXXX)
 
Sumber penularan penyakit TBC adalah penderita TBC dengan BTA (+). Apabila penderita TBC batuk, berbicara, atau bersin dapat menularkan kepada orang lain. Tetapi faktor risiko yang berperan penting dalam penularan penyakit TBC diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan, kondisi sosial ekonomi. Sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan dan ketinggian wilayah, untuk lingkungan meliputi kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah (Ahmadi, XXXX). Penelitian Chapman et al mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TBC. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara kejadian TBC pada anak-anak yang tinggal dengan satu atau lebih orang dewasa yang menderita TBC (Nelson, XXXX).
 
Penyakit TB Paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat memepengaruhi kejadian penyakit, konstruksi dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko sumber penularan berbagai penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan TB Paru (Depkes, XXXX). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TBC sepert hasil penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi yang buruk dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru di Kota Jambi. Penelitan Edwan (XXXX) menunjukkan bahwa kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat mempengaruhi dengan kejadian TB Paru di Kecamatan X. Sedangkan Penelitian Ayunah (XXXX) menunjukkan hasil bahwa ventilasi dalam rumah yang kurang baik dapat mempengaruhi kejadian TB Paru di Kecamatan Y.
 
Di Kota Z, TBC merupakan penyakit lama yang masih tetap ada, pada triwulan pertama tahun XXXX jumlah penderita baru 316 orang ditambah sembilan penderita kambuhan. Selama tahun XXXX terdapat 1.759 penderita TBC baru ditambah 61 penderita kambuhan dengan Case Detection Rate (CDR) sebesar 82,1 %. Pada Tahun XXXX jumlah penderita TB paru BTA (+) sebanyak 1153 kasus dengan CDR sebesar 80 %, tahun XXXX di temukan sebanyak 1092 kasus dengan CDR sebesar 70 %, dan pada tahun XXXX mengalami penurunan hanya terdapat 882 kasus dengan CDR sebesar 54,1 %. Hal ini disebabkan karena belum maksimalnya kerja PMO (pengawas minum obat) serta kepatuhan penderita dalam menyelesaikan pengobatan yang relatif lama (Dinas Kesehatan Z).
 
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka di kota Z khususnya Kecamatan X perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penderita TB Paru BTA positif sebagai salah satu faktor yang berperan dalam kejadian penyakit ini.

1.2. Perumusan Masalah
Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang merupakan masalah yang serius, banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ini. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Z khususnya Kecamatan X masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai. Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko lingkungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.

1.3. Pertanyaan Penelitian
Apakah faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z ?

1.4. Tujuan
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
1.4.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran faktor risiko lingkungan meliputi kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
2. Untuk mengetahui gambaran karaktristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, perilaku batuk dan kebiasaan merokok dengan kejadian penderita TB Paru (+) di Kecamatan X Kota Z.
3. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
4. Untuk mengetahui hubungan antara ventilasi dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
5. Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
6. Untuk mengetahui hubungan antara kelembaban dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
7. Untuk mengetahui hubungan antara suhu dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
8. Untuk mengetahui hubungan antara lantai rumah dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
9. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
10. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
11. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
12. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
13. Untuk mengetahui hubungan antara prilaku batuk dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
14. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.

1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat di ambil dari penelitaian ini adalah antara lain :
1. Mengetahui faktor risiko lingkungan yang berperan dalam timbulnya penyakit TB paru di Kecamatan X Kota Z.
2. Dapat memberikan masukan kepada pihak yang terkait dalam rangka penanggulangan dan pencegahan penyakit TB paru di Kecamatan X Kota Z

1.6. Ruang Lingkup
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi kasus kontrol untuk mengetahui adanya hubungan antara faktor risiko lingkungan dengan kejadian TB paru BTA (+) di Kecamatan X bulan Oktober tahun XXXX sampai April tahun XXXX.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun XXXX di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan X yaitu Puskesmas A, Puskesmas B, Puskesmas C dan Puskesmas D. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >15 tahun. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling.
 
Faktor risiko yang diteliti adalah faktor risiko lingkungan meliputi kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah, dengan memperhatikan faktor karakteristik individu sebagai faktor yang mempengaruhinya meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, perilaku batuk dan kebiasaan merokok. Karena semua variabel yang telah disebutkan diatas memegang peranan penting timbulnya kejadian penyakit.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:04:00

KEBUTUHAN PASIEN TERHADAP MUTU PELAYANAN UNIT RAWAT JALAN DI PUSKESMAS

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan status kesehatan masyarakat yang optimal, maka berbagai upaya harus dilaksanakan, salah satu di antaranya ialah menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di tingkat dasar di Indonesia adalah melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang merupakan unit organisasi fungsional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kotamadya dan diberi tanggung jawab sebagai pengelola kesehatan bagi masyarakat tiap wilayah Kecamatan dari Kabupaten/ Kotamadya bersangkutan (Depkes).

Sejalan dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kesehatan tampak makin meningkat pula. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan tersebut, tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan, kecuali menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya (Azwar, 1994).

Untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya, diperlukan pelayanan yang berorientasi kepada pasien, artinya produk atau jasa yang didesain sesuai dengan kebutuhan dan harapan pasien, dengan demikian mutu pelayanan dapat meningkat. Fokus kepada pasien merupakan tanda bahwa organisasi pelayanan telah menerapkan suatu sistem manajemen mutu. Adopsi ini hendaknya menjadi keputusan yang strategis bagi organisasi. Dimana fokus pasien ini merupakan salah satu dari delapan prinsip manajmen mutu versi Internasional Standard Organization (ISO) 9001:2000.

Fokus pada kebutuhan dan harapan pasien diperkenalkan sebagai kunci peningkatan mutu oleh Deming, Juran, Crosby dan pencetus Total Quality Management (TQM). Pihak yang menentukan mutu pelayanan adalah pasien. Karena itu perusahaan perlu mengetahui sampai sejauh mana tingkat kepuasan pasien dan kebutuhan pasien yang perlu dipenuhi oleh perusahaan (Kurniasari dan Kuntjoro, XXXX).

Dalam menentukan kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan dapat digunakan dimensi mutu berdasarkan teori menurut Parasuraman et.all (1991) yang menyatakan bahwa dimensi mutu yang perlu diperhatikan adalah "responsiveness (ketanggapan), reliability (kehandalan), assurance (jaminan), emphaty (empati), tangibles (bukti langsung) yaitu sarana dan fasilitas fisik".

Puskesmas Kecamatan X yang sejak tahun XXXX telah berkomitmen untuk menjalankan sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 dan hingga saat ini, Puskesmas tersebut selalu melakukan perbaikan berkesinambungan dalam pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Salah satu klausul dalam ISO 9000:2000 dinyatakan bahwa organisasi harus memenuhi kebutuhan pasien.

Hasil survei kepuasan pasien yang dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan X pada bulan Juli XXXX terhadap pasien rawat jalan, menunjukkan bahwa dari 75 orang, didapatkan 48% menyatakan cukup puas terhadap kesesuaian diagnosa, 43% menyatakan cukup puas terhadap keramahan petugas, 50% menyatakan cukup puas terhadap kebersihan ruangan, 41% menyatakan puas terhadap perhatian petugas, 45% menyatakan cukup puas terhadap waktu pelayanan, 53% menyatakan cukup puas terhadap kemudahan komunikasi, dan 53% menyatakan cukup puas terhadap penanganan keluhan.

Pemenuhan kebutuhan pasien di Puskesmas Kecamatan X hanya berdasarkan aspek pengukuran kepuasan pasien, puas atau tidak puas. Dan itu belum menggambarkan bahwa sesungguhnya apa yang menjadi kebutuhan pasien.

Untuk memenuhi kebutuhan pasiennya, maka Puskesmas Kecamatan X perlu mengidentifikasi kebutuhan pasien. Selama ini Puskesmas Kecamatan X telah melakukan penanganan keluhan pasien terhadap mutu pelayanan, pengukuran kepuasan pasien dengan melakukan survei kepuasan pasien, dan melakukan tindakan koreksi dan pencegahan terhadap keluhan dan pelayanan yang tidak sesuai dengan harapan pasien. Serta adanya kotak saran untuk menampung aspirasi pasien. 

Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai bagaimana kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan berdasarkan dimensi-dimensi mutu. Dalam hal ini, peneliti lebih berfokus pada kebutuhan pasien unit rawat jalan, terdiri dari : loket, Balai Pengobatan Umum (BPU), Apotik, Balai Pengobatan Gigi (BPG), Balai Pengobatan Mata (BPM), laboratorium, radiologi, klinik gizi, klinik Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), Ruang Bersalin (RB), Pelayanan penanggulangan Tuberkulosis Paru (P2TB), mengingat unit tersebut merupakan pelayanan yang utama, ramai di kunjungi, dan telah tersertifikasi ISO 9001:2000. Dengan mengetahui kebutuhan pasien, maka organisasi yang berorientasi kepada pasien dapat meningkatkan mutu pelayanan.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan permasalahannya bahwa pada unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X tahun XXXX belum diketahui kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Peneliti
1.4.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi responsiveness unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
2. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi reliability unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
3. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi assurance unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
4. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi emphaty unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.
5. Diketahuinya kebutuhan pasien terhadap dimensi tangibles unit rawat jalan Puskesmas Kecamatan X Tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Puskesmas
Penelitian ini diharapkan menjadi dasar dan masukan bagi Puskesmas mengenai kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan unit rawat jalan. Sebagai bentuk aplikasi terhadap ilmu yang didapat khususnya mengenai mutu pelayanan dan analisis kebutuhan. Selain itu juga sebagai pembelajaran, menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai kebutuhan pasien.

1.6 Ruang Lingkup Peneliti
Penelitian yang dilaksanakan adalah mengenai kebutuhan pasien unit rawat jalan di Puskesmas Kecamatan X Kota Y Tahun XXXX. Alasan penelitian ini dilakukan karena belum diketahuinya kebutuhan pasien terhadap mutu pelayanan unit rawat jalan. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan terhitung tanggal 3 sampai 28 November tahun XXXX. Identifikasi kebutuhan pasien dengan menggunakan data primer berupa wawancara mendalam dengan pasien unit rawat jalan dan menyebar kuesioner. Selain itu juga dilakukan studi literatur terhadap data sekunder.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:19:00

ANALISIS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI KELURAHAN

SKRIPSI ANALISIS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI KELURAHAN 

1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan Indonesia sehat XXXX adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan dan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut dilakukan upaya-upaya kesehatan. Salah satu upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal adalah program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi program pemerintah di antaranya adalah program pemberantasan penyakit diare yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit diare, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit diare.

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan karena diare serta menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan anak balita.

Menurut data WHO pada tahun XXXX-XXXX diare merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia pada anak di bawah umur lima tahun, dengan Proportional Mortality Rate (PMRJ 17% setelah kematian neonatal 37% dan pnemonia 19%. Pada tahun yang sama, diare di Asia Tenggara juga menempati urutan nomor tiga penyebab kematian pada anak di bawah umur lima tahun dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 18%.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun XXXX menunjukkan bahwa di Indonesia penyakit diare merupakan penyebab kematian nomor tiga pada balita dengan Proportional Mortality Rate (PMR) 10% setelah penyakit sistem pernafasan (28%) dan gangguan perinatal (26%). Sedangkan dari hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun XXXX diketahui bahwa penyakit diare penyebab kematian nomor dua pada balita dengan Proportional Mortality Rate (PMR) 13,2% setelah penyakit sistem pernafasan. Dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup anak, penanggulangan diare merupakan program prioritas yang diwujudkan melalui penurunan angka kesakitan dan kematian serta penanggulangan Kejadian luar Biasa (KLB).

Menurut data di provinsi X tahun XXXX penyakit diare menyebabkan kematian pada saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di enam Kabupaten yaitu, kabupaten A dengan Attack Rate (AR) 0,82% dan Case Fatality Rate (CFR) 3,23%, Kabupaten B dengan AR 0,04% dan CFR 4%, Kabupaten C dengan AR 3,29% dan CFR 1,62%, Kabupaten D dengan AR 1,16% dan CFR 2,6%, Kabupaten E dengan AR 1,45% dan CFR 1,25% dan Kabupaten F dengan AR 0,01%.

Menurut Profil Kesehatan Kota X tahun XXXX dilaporkan proporsi penderita rawat jalan di puskesmas untuk balita 2,68% yaitu 20.996 penderita dari 780.706 seluruh penderita berbagai jenis penyakit dan Iain-lain. Penyakit diare menduduki urutan ke enam pada sepuluh penyakit terbesar di seluruh puskesmas kota X.

Berdasarkan laporan SP2TP di puskesmas Z yang wilayah kerjanya adalah Kecamatan X, didapatkan bahwa penyakit diare masuk dalam sepuluh penyakit terbesar yang menduduki peringkat ke sembilan dengan proporsi sebesar 2,44%.

Hasil laporan dari Puskesmas Pembantu X Kecamatan X tahun XXXX bahwa penyakit diare menduduki urutan kelima dalam sepuluh penyakit terbesar dengan proporsi 1,97%.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X.

1.2. Perumusan Masalah
Belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengenalisis kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
1.3.2.Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui prevalens rate diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
b. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik anak balita (umur dan jenis kelamin, status gizi, status imunisasi dan ASI eksklusif) di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
c. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik ibu dari anak balita (umur, pendidikan dan pekerjaan) di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
d. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik lingkungan (ketersediaan jamban, sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih) anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
e. Untuk mengetahui hubungan faktor anak balita (umur, jenis kelamin, status gizi, status imunisasi, dan ASI eksklusif) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
f. Untuk mengetahui hubungan faktor ibu (umur, pendidikan, dan pekerjaan) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
g. Untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan (ketersediaan jamban, sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
h. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan terhadap kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Pembantu X dalam program pencegahan dan pemberantasan diare.
1.4.2. Sebagai bahan referensi bagi perpustakaan FKM dan penelitian selanjutnya.
1.4.3. Dapat menambah wawasan dan kesempatan penerapan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan dan juga sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:16:00

FAKTOR PEMUDAH, PENDUKUNG DAN PENDORONG TERHADAP TINDAKAN KEPALA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA

FAKTOR PEMUDAH, PENDUKUNG DAN PENDORONG TERHADAP TINDAKAN KEPALA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia.

Penyebaran penyakit malaria di dunia sangat luas yakni antara garis lintang 60° di utara dan 40° di selatan yang meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan subtropis (Erdinal, 2006). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2010, penyakit malaria menyerang 108 negara dan kepulauan di dunia pada tahun 2008. Penduduk dunia yang berisiko terkena penyakit malaria hampir setengah dari keseluruhan penduduk di dunia, terutama negara-negara berpenghasilan rendah.

Berdasarkan data WHO (2010), terdapat sebanyak 247 juta kasus malaria di seluruh dunia dan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian pada tahun 2008. Sebagian besar kasus dan kematian malaria ditemukan di Afrika dan beberapa negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah serta Eropa. Setiap 45 detik seorang anak di Afrika meninggal dunia akibat penyakit malaria.

Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendalian dan penurunan kasusnya merupakan komitmen internasional dalam Millenium Development Goals (MDGs) (Profil Kesehatan RI, 2008). Target yang disepakati secara internasional oleh 189 negara adalah mengusahakan terkendalinya penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria pada tahun 2015 dengan indikator prevalensi malaria per 1.000 penduduk.

Penyakit malaria juga dapat membawa dampak kerusakan ekonomi yang signifikan. Penyakit malaria dapat menghabiskan sekitar 40% biaya anggaran belanja kesehatan masyarakat dan menurunkan sebesar 1,3% Produk Domestik Bruto (PDB) khususnya di negara-negara dengan tingkat penularan tinggi (WHO, 2010).

Indonesia juga merupakan salah satu negara yang masih berisiko terhadap penyakit malaria. Daerah endemis malaria sebanyak 73,6% dari keseluruhan daerah di Indonesia (Depkes RI, 2008).

Kabupaten endemis malaria di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 396 kabupaten dari 495 kabupaten yang ada. Penduduk Indonesia yang berdomisili di daerah berisiko tertular malaria sekitar 45%. Jumlah kasus malaria pada tahun 2006 sebanyak 2 juta kasus dan pada tahun 2007 menurun menjadi 1.774.845 kasus (Depkes RI, 2009).

Menurut perhitungan para ahli berdasarkan teori ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus malaria tersebut di atas, dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar mencapai sekitar 3 triliun rupiah lebih. Kerugian tersebut sangat berpengaruh terhadap pendapatan daerah (Depkes RI, 2009).

Penyakit malaria sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia. Pada tahun 2006 terjadi KLB malaria di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa KLB disebabkan terjadinya perubahan lingkungan oleh bencana alam, migrasi penduduk dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan sehingga tempat perindukan potensial nyamuk malaria semakin meluas (Harijanto, 2010).

Kasus malaria yang tinggi berdampak terhadap beban ekonomis yang besar baik bagi keluarga yang bersangkutan dan bagi pemerintah melalui hilangnya produktivitas kerja, hilangnya kesempatan rumah tangga untuk membiayai pendidikan serta beban biaya kesehatan yang tinggi. Dalam jangka panjang, akan menimbulkan efek menurunnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia (Trihono, 2009).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia (Riskesdas RI) tahun 2007, diketahui bahwa penyakit malaria tersebar merata di semua kelompok umur. Prevalensi malaria klinis di pedesaan dua kali lebih besar bila dibandingkan prevalensi di perkotaan. Prevalensi malaria klinis juga cenderung tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, kelompok petani, nelayan, buruh dan kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita rendah.

Secara historis, dalam lima tahun terakhir jumlah kasus malaria di X menunjukkan angka yang relatif tidak stabil. Selama tahun 2004-2005 kasus malaria mengalami peningkatan dari 49.844 kasus menjadi 68.005 kasus, namun tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 64.116 kasus. Jumlah kasus malaria mengalami peningkatan kembali menjadi 99.692 kasus pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 turun kembali menjadi 91.609 kasus (Dinkes Sumut, 2008).

Kabupaten X merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di Provinsi X. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten X (Dinkes Kab. X) tahun 2007-2008, jumlah kasus malaria di Kabupaten X selama 2 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Menurut data kunjungan ke puskesmas, pada tahun 2007 ditemukan sebanyak 949 kasus malaria klinis dan meningkat menjadi 1.075 kasus pada tahun 2008.

Beberapa upaya pencegahan penyakit malaria yang telah dilaksanakan di Kecamatan Lau Baleng adalah melalui program penyemprotan rumah dengan insektisida dan kelambunisasi. Hasil pelaksanaan program ini belum tercapai sepenuhnya seperti yang diharapkan, hal ini terlihat dari tingginya angka penyakit malaria.

Berdasarkan hasil survei pendahuluan, geografis daerah ini terdiri dari hutan lebat, rawa-rawa, sungai dan persawahan. Kondisi geografis seperti ini secara entomologi telah mengakibatkan semakin meluasnya tempat perkembangbiakan vektor malaria atau nyamuk anopheles. Jenis plasmodium yang umum dijumpai di daerah endemis ini adalah Plasmodium vivax dan Plasmodium falcifarum.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas malaria di Puskesmas X, salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kasus malaria di daerah ini adalah karena letak geografis daerah ini berada di daerah endemis malaria dan masih adanya kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh perbuatanjahat (guna-guna) yang sengaja dilakukan oleh orang lain.

Penyakit malaria dapat dicegah dan disembuhkan. Dengan demikian tindakan pencegahan merupakan salah satu tindakan yang penting untuk mengatasi penyakit malaria. Undang-Undang Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya pencegahan penyakit menular adalah tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

Pencegahan penyakit malaria yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui perubahan perilaku yang berhubungan dengan pemberantasan penyakit malaria. Tingkat pengetahuan tentang pencegahan, cara penularan serta upaya pengobatan penyakit malaria, sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit malaria (Dalimunthe, 2008).

Upaya pencegahan penyakit malaria difokuskan untuk meminimalkan jumlah kontak manusia dengan nyamuk melalui pemakaian kelambu dan penyemprotan rumah. Beberapa daerah menekankan penggunaan kelambu yang telah direndam dengan insektisida. Salah satu hambatan utama penggunaan kelambu secara massal adalah faktor ekonomi (Utomo, 2007).

Menurut Daulay (2006), faktor perilaku sangat berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria. Tingkat pengetahuan yang rendah, kebiasaan tidur tidak memakai kelambu, sikap yang kurang mendukung dalam penanggulangan penyakit malaria, tidak menggunakan alat atau bahan pelindung bila keluar rumah pada malam hari merupakan perilaku yang memiliki risiko terbesar terhadap terjadinya penyakit malaria. Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria adalah dukungan petugas kesehatan dan faktor lingkungan.

Berdasarkan hasil penelitian Kasnodihardjo (2008), tentang pola kebiasaan masyarakat dalam kaitannya dengan masalah malaria di daerah Sihepeng Kabupaten Tapanuli Selatan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa malaria adalah penyakit menular dan nyamuk sebagai vektor penular. Mereka bahkan menganggap penyakit malaria berbahaya, namun kebanyakan mereka kurang mengetahui bagaimana cara penularan penyakit malaria. Hal ini memengaruhi tindakan masyarakat dalam pencegahan penyakit malaria. Berdasarkan hasil penelitian Afridah (2009), tentang pengaruh perilaku penderita terhadap angka kesakitan malaria di Kabupaten Rokan Hilir, menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap memengaruhi tindakan seseorang terhadap pencegahan penyakit malaria. Pengetahuan dan sikap responden yang berada dalam kategori baik berbanding lurus dengan tindakan dalam pencegahan.

Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: faktor pemudah (predisposing factor) yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya; faktor pendukung (enabling factor) mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan; dan faktor pendorong (reinforcing factor) mencakup sikap dan perilaku dari petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Mengacu pada latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah apakah ada pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan tentang permasalahan terkait sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria.
2. Sebagai bahan masukan untuk pengembangan Ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan bagi penelitian sejenis dan berkelanjutan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:21:00

FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA

FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KE JADIAN PENYAKIT MALARIA

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta dapat mematikan atau membunuh lebih dari satu juta manusia di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara dengan Negara laindan dari satu kabupaten atau wilayah dengan wilayah lain. Pada peta di tunjukkan bahwa saat ini disribusi malaria endemic. Menurut WHO dalam Harijanto, P.N (2000), pada tahun 1990, 80% kasus di Afrika, dan kelompok potensial terjadinya penyebaran malaria indigenous di Sembilan Negara yaitu: India, Brazil, Afganistan, Sri Langka, Thailand, Indonesia, Vietnam, Cambodia dan China. Plasmodium Falciparum adalah spesies paling dominan dengan 120 juta kasus baru pertahun, dan lebih dari satu juta kematian pertahun secara global. Dalam tahun 1989 yang lalu WHO kembali mendeklarasikan penanggulangan malaria menjadi prioritas global. (Harijanto, P.N, 2000)

WHO menyatakan perlu pendekatan baru dalam pemberantasan malaria, walaupun upaya kemitraan global yang di kenal dengan Roll Back Malaria (RBM), di mana WHO selain memimpin prakarsa juga bertindak sabagai katalisator dalam kemitraan tersebut. Pada tanggal 8 April 2000, di Kupang Nusa Tenggara Timur dan di Kabupaten X pada tanggal 12 Agustus 2002 Menteri Kesehatan telah mencanangkan GEBRAK malaria sebagai gebrakan nasional dalam upaya pemberantasan malaria di Indonesia (Depkes, RI, 2001)

Di Indonesia malaria mempengaruhi angka kesakitan dan kematian bayi, anak balita, ibu melahirkan dan produktivitas sumber daya manusia. Saat ditemui 15 juta penderita malaria dengan angka kematian 30 ribu orang setiap tahun, sehingga pemerintah memprioritaskan penangulangan penyakit menular dan penyehatan Lingkungan (Depkes. RI, 2007)

Angka kejadian kasus malaria per seribu penduduk (API) di Jawa dan Bali sejak empat tahun terakhir menunjukkan kecendrungan menurun, dari 0,81 per 1000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 0,15 per 1000 penduduk pada tahun 2004. Di luar Jawa dan Bali angka klinis malaria per 1000 penduduk (AMI) juga menunjukkan kecendrungan menurun yaitu dari 31,09 per 1000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 21,2 per 1000 penduduk pada tahun 2004. Proporsi kematian karena malaria hasil survey kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001, adalah sebesar 2%. Jumlah kabupaten endemis di Indonesia adalah 424 kabupaten dari 576 kabupaten yang ada, dan diperkirakan 42,4% penduduk Indonesia berisiko tertular penyakit Malaria (Depkes RI, 2006)

Lingkungan fisik, lingkungan biologis dan sosial budaya masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit malaria, demikian pula dengan kondisi lingkungan Kabupaten X, merupakan daerah yang sangat potensial untuk tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Di beberapa kecamatan yang berada di daerah-daerah dataran rendah yang umumnya terletak di sepanjang Pantai Timur Kabupaten X berada di pinggiran laut dimana sering terjadi pasang laut yang mencapai daratan, sehingga meninggalkan genangan-genangan air bila pasang berakhir. Demikian juga dengan perilaku penduduk yang membiarkan sampah-sampah berserakan dan tidak membersihkan lingkungan disekitar rumahnya, sehingga mempermudah penularan penyakit malaria.

Program pengendalian Anopheles spp yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan diteruskan oleh pemerintah Daerah Kabupaten X dengan srategi penurunan kasus malaria Anopheles spp dengan berbagai upaya di antaranya dengan klambunisasi di 5 kecamatan, Indoor Residure Suplayer (Penyemprotan Rumah) sebanyak 5000 rumah, Larvaciding di 20 Lokasi (Dinkes Kabupaten X, 2007), namun angka kejadian malaria masih saja ditemukan tinggi. Adapun angka kesakitan malaria di Kabupaten X di ukur dengan angka Annual Malaria Index (AMI) dan Standard Positif Rate (SPR)

Di Kecamatan X Kabupaten X angka Annual Malaria Incidence (AMI) tahun 2002 adalah sebesar 66,20%o yaitu desa Suka Jaya sebesar 22,0%o, X 22,3%o Suka Makmur 15,9%o dan Air Dingin 11,8%0 .Di mana kasus positif paling tinggi pada tahun 2002 dan pada tahun 2004 mengalami peningkatan kasus yang sangat tinggi, sedangkan pada tahun 2004 terjadi penurunan kasus yaitu dari tahun 2005 sampai pada tahun 2008 mengalami penurunan kasus yang sangat signifikan, yaitu pada tahun 2005 sebesar 35,54%o dan pada tahun 2008 menjdi 25,07%o angka AMI tersebut sangan tinggi bila di bandingkan dengan standart nasional yaitu < 10,0%o (Depkes RI, 2005) dan Angka Standard Positif Rate (SPR) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X pada tahun 2009 adalah 93,8% (Dinkes Kabupaten X, 2009).

1.2. Perumusan Masalah
Tingginya kasus Malaria di Desa X Kecamatan X Kabupaten X sebagai salah satu Desa yang berada kecamatan X yang berpotensial terhadap terjadinya Malaria bila dibandingkan dengan desa di kecamatan lain karena banyak terdapat aliran sungai, lagun, hutan bakau (Mangrove), perbukitan, air terjun dan rawa-rawa serta kondisi fisik perumahan penduduk yang masih bisa dikatakan buruk. Hal inilah yang menjadi kontribusi bagi peneliti untuk melakukan penelitian di Desa X Kecamatan X Kabupaten X sehingga dapat dibuat suatu perumusan masalah yaitu belum diketahuinya hubungan faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian penyakit Malaria Desa X Kecamatan X Kabupaten X.

1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian penyakit malaria di wilayah Kabupaten X Kecamatan X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran kejadian penyakit Malaria di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Mengetahui karakteristik responden meliputi umur, pendidikan, pekerjaan di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
3. Mengetahui kondisi perumahan penduduk seperti ventilasi, plafon rumah, pencahayaan, kelembaban, kerapatan dinding dan parit/selokan, semak-semak dengan kejadian penyakit Malaria di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
4. Mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah penduduk seperti ventilasi, Plafon rumah, pencahayaan, kelembaban, kerapatan dinding, semak-semak dan parit/selokan dengan penyakit Malaria di Kecamatan X Kabupaten X.
5. Untuk mengetahui pH air pada Lagun dan Rawa-rawa di desa X Kecamatan X Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Berguna bagi Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam melaksanakan Program penurunan kasus malaria.
2. Hasil penelitian berguna bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten X Kecamatan X untuk mengetahui lebih jelas tentang perkembangbiakan spesies nyamuk Anopheles spp.
3. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memberikan masukan tentang pengetahuan penyakit malaria, pengendaliannya serta penangulanganya dalam menurunkan kasus malaria.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:19:00

PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU GIZI SEIMBANG PADA LANSIA PANTI WREDA

PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU GIZI SEIMBANG PADA LANSIA PANTI WREDA

Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa diukur dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga dengan negara Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan usia harapan hidupnya dan jumlah lanjut atau usia Lansia (Boedhi Darmojo, 2006:3). Seiring dengan peningkatan derajat kesehatan dan penurunan jumlah kelahiran, jumlah penduduk Lansia juga semakin meningkat. Peningkatan jumlah Lansia diperkirakan diikuti dengan peningkatan usia harapan hidup dari usia 59,8 tahun pada tahun 1990 menjadi 71,7 tahun pada tahun 2020. Berdasarkan data statistik Indonesia tahun 1993, diperkirakan meningkat 41,4% atau empat kali lipat pada tahun 2025 dibanding tahun 1990 dan jumlah ini tertinggi di dunia.

Pertumbuhan penduduk Lansia (umur >60 tahun) meningkat secara cepat pada abad 21 ini, yang pada tahun 2000 di seluruh dunia telah mencapai 425 juta jiwa (± 6,8%). Jumlah ini diperkirakan akan mengalami peningkatan hampir dua kali lipat pada tahun 2025. Di Indonesia, prosentase Lansia pada tahun 1995 mencapai 7,5%. Dengan meningkatnya angka harapan hidup, jumlah Lansia pun akan bertambah banyak (Reviana Cristijani, 2003:1).

Pada tahun 2006 jumlah penduduk Lansia kurang lebih 19 juta dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%), dengan usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Anonim, 2008).

Jumlah penduduk Jateng sesuai dengan Susenas BPS 2005 sebanyak 32.908.850 orang. Dari jumlah tersebut, yaitu sebesar 3.371.196 atau 10,2% orang di antaranya adalah para Lansia. Di X jumlah penduduk lanjut usia dalam 25 tahun terakhir terjadi peningkatan, dari tiga juta jiwa pada tahun 1982 menjadi 17 juta orang pada tahun 2007 (Anonim, 2008).

Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat juga mengalami keadaan gizi baik dan gizi kurang. Lansia Indonesia yang berada dalam keadaan kurang gizi sebanyak 3,4%, berat badan kurang 28,3%, berat badan ideal berjumlah 42,4%, berat badan lebih sebanyak 6,7% dan obesitas 3,4% (Boedhi Darmojo, 2006:545).

Hasil observasi Januari 2009 pada 54 kelayan yang mencakup 3 (tiga) bangsal Lansia potensial, terdapat Lansia yang mengalami masalah gizi. Yaitu, 14,81% kekurangan berat badan tingkat berat, 16,67% kekurangan berat badan tingkat ringan, 7,41% kelebihan berat badan tingkat ringan, serta 12,96% Lansia potensial mengalami kelebihan berat badan tingkat berat. Dan dari hasil pengamatan, masih ada Lansia yang tidak mematuhi diet dari panti (jajan diluar).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sigit pada tahun 2003 yang dilakukan di Panti Wreda X, yang meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asupan gizi dan status gizi. Menyebutkan bahwa sebanyak 37,8% sampel pengetahuan mengenai gizinya masih kurang.

Masalah gizi Lansia perlu diperhatikan seiring dengan meningkatnya jumlah warga Lansia. Perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktek tentang gizi seimbang yang baik diharapkan dapat meningkatkan keadaan gizi lansia, sehingga usia produktif mereka dapat ditingkatkan agar tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Direktorat Gizi Masyarakat, 2000:1).

Perilaku manusia mempunyai peranan terhadap derajat kesehatan individu maupun masyarakat selain lingkungan, pelayanan kesehatan dan genetik. Menurut Skinner perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang atau organisme terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit penyakit sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Sedang menurut Lawrense W. Green, penyebab perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi (Predisposing), faktor pemungkin (Enabling) dan faktor penguat (reinforcing). Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai. Faktor pemungkin mencakup peraturan-peraturan yang ada dan ketrampilan yang berkaitan dengan kesehatan. Faktor penguat mencakup keluarga, guru, teman dan petugas kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo , 2007:136). Perilaku makan seseorang dapat memberikan gambaran konsumsi zat gizi seseorang (Hermina dkk, 2000:75).

Beriorentasi dari hal tersebut, tingkat pengetahuan dan sikap Lansia tentang gizi seimbang serta perilaku gizi Lansia yang harus mencerminkan pemenuhan gizi seimbang bagi Lansia merupakan masalah yang penting untuk dikaji lebih dalam. Oleh karena itu perlu diadakan suatu penelitian yang mengkaji tentang masalah tersebut dengan judul "Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap terhadap Perilaku Gizi Seimbang Pada Lansia Panti Wreda X"

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:54:00

PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KEPUASAN PELAYANAN RAWAT INAP

PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KEPUASAN PELAYANAN RAWAT INAP

Undang-undang Nomor 36 tahun 2009, Bab VI pasal 46 dan 47 bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Untuk keberhasilan upaya pembangunan kesehatan tersebut maka masyarakat perlu diikuti sertakan agar berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan.

Dalam konsitusi dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Bab IV tentang rumah sakit bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk dalam hal ini menjamin pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin (Mukti, 2008).

Peserta Program JAMKESMAS adalah setiap orang miskin dan tidak mampu selanjutnya disebut peserta JAMKESMAS sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data Badan Pusat Statisti (BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes), Jumlah masyarakat miskin dan tidak mampu di Indonesia untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2009 sebesar 18.963.939 rumah tangga miskin, 76.400.000 jiwa anggota rumah tangga miskin sedangkan anak-anak terlantar, panti jompo dan masyarakat tidak memiliki KTP sebanyak 2.629.309 jiwa. Propinsi X sendiri 944.972 rumah tangga miskin dan 4.124.247 jiwa anggota rumah tangga miskin dan Kabupaten X 158.194 jiwa masyarakat miskin.

Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Program Jamkesmas belum optimal. Lembaga Swadaya Masyarakat itu menyatakan, meski hasil survei menunjukkan sebagian besar peserta Jamkesmas (83,2 persen) menyatakan puas dengan layanan yang diberikan namun masih ada peserta yang tidak puas dengan pelayanan dokter (5%), perawat (4,7 %) dan petugas kesehatan sebanyak 4,7%. Hasil observasi ICW juga menunjukkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas belum baik jika dilihat berdasarkan panjangnya antrian berobat, sempitnya ruang tunggu, dan lamanya peserta dalam menunggu waktu operasi. Beberapa pasien Jamkesmas mengeluhkan kekecewaan yang terkait dengan rumitnya proses administrasi untuk mengurus persyaratan Jamkesmas, sikap perawat dan dokter yang tidak ramah, lamanya waktu menunggu tindakan medis atau operasi dan fasilitas ruang rawat yang terbatas, bahkan berita penolakan terhadap pasien Jamkesmaspun sering terdengar.

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Peran stategis ini diperoleh karena rumah sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan padat pakar (Aditama, 2003).

Ada beberapa hal di rumah sakit yang berperan dalam kepuasan pasien antara lain adalah pelayanan dokter dan perawat, pelayanan administrasi, kualitas ruangan yang diberikan rumah sakit serta ketersediaan sarana penunjang medis dan non medis. Kepuasan pasien adalah tingkat kepuasan pelayanan pasien dan persepsi pasien/keluarga terdekat. Kepuasan pasien akan tercapai apabila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap pasien dan pelayanan kesehatan memperhatikan kemampuan pasien/keluarganya, ada perhatian terhadap keluhan, kondisi lingkungan fisik dan tanggap kepada kebutuhan pasien. sehingga tercapai keseimbangan yang sebaikbaiknya antara tingkat puas atau hasil dan derita-derita serta jerih payah yang harus dialami guna rnempeoleh hasil tersebut (Awinda, 2004).
Menurut Imbalo (2003), Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang diperoleh setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya. Sedangkan Junaidi (2002) berpendapat bahwa kepuasan konsumen atas suatu produk dengan kinerja yang dirasakan konsumen atas poduk tersebut. Jika kinerja produk lebih tinggi dari harapan konsumen maka konsumen akan mengalami kepuasan (Denipurnama, 2009).

Tuntutan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas bukan hanya berkaitan dengan kesembuhan dari penyakit, tetapi juga menyangkut persepsi pasien terhadap kualitas keseluruhan proses pelayanan yang termasuk ke dalamnya ketersediaan sarana dan prasarana rumah sakit guna guna memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan demikian keberhasilan suatu rumah sakit tidak hanya ditentukan oleh kemampuan medis tetapi juga ditentuka oleh fasilitas pelayanan rumah sakit dan non medis (Andriani, 2005).

Hasil penelitian Ferdinand (2006) di RSU F.L.Tobing bahwa 80 % responden JPKMM menyatakan puas terhadap pelayanan perawatan. Penelitian Gita Ardina (2008) menunjukkan bahwa pelayanan Jaminan Kesehatan masyarakat (Jamkesmas) di RSD. Ryacudu Kotabumi dilaksanakan sesuai dengan pedoman pelaksanaan Jamkesmas 2008, baik itu mengenai syarat dan prosedur pelayanan, pemberian obat-obatan, serta pelayanan dari petugas medis. Namun dalam pelayanan Jamkesmas di RDS. Ryacudu Kotabumi masih terdapat hambatan-hambatan dalam pelayanannya, antara lain terbatasnya sarana dan prasarana penunjang pelayanan medis, kemudian kurangnya sosialisai pemerintah terhadap masyarakat mengenai syarat dan prosedur pelayanan Jamkesmas di RSD. Ryacudu Kotabumi. Sehingga masih dibutuhkan penyempurnaan agar tercapai derajat kesehatanmasyarakat yang optimal secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan penyelenggaraan program Jamkesmas.

Penelitian di RSU dr.Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 13 April 2009 melalui survey dengan menggunakan kuesioner kepada 30 responden (pasien umum) yang dirawat di Instalasi rawat inap (ruang penyakit dalam dan ruang rawat bedah) mengungkapkan dokter sering telat masuk sebesar 53%, perawat kurang ramah sebesar 46%, perawat jaga sering tidak mengontrol pasien setiap pergantian jaga sehingga pasien sering terbengkalai sebesar 16%, perawat lamban dan kurang tanggap dalam melayani pasien sebesar 63% dan pemberian obat kepada pasien sering tidak tepat waktu 36% (Tuti, 2010).

Keputusan Menteri Kesehatan RI No 228/MENKES/SK/III/2002, Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang hams dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka hams memberikan pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Rumah Sakit Umum Daerah X Kabupaten X mempakan mmah sakit tipe C dengan kapasitas 105 tempat tidur dan pusat rujukan dari empat Kabupaten. Rumah Sakit X telah banyak mengalami pembahan terlihat dari bangunan begitu mewah dan fasilitas yang sudah memenuhi standart. Sampai saat ini pasien rawat inap yang datang menggunakan kartu JAMKESMAS semakin meningkat jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa mmah sakit ini sudah melaksanakan tujuannya sebagai mmah sakit mjukan.

Berdasarkan survei awal di RSUD X Kabupaten X dapat diketahui indikator pelayanan rawat inap berikut yaitu pada tahun 2009 BOR (88,17%), AvLOS (4,12%), BTO (6,53%), TOI (0,58%), GDR (51,68%) dan NDR (36,03%) dan pada tahun 2010 mulai dari januari sampai juni BOR (78,40%), AvLOS (3,61%), BTO (6,77% ), TOI (0,98%), GDR (54,73%) dan NDR (13,86%). Pasien JAMKESMAS yang dirawat inap pada tahun 2009 adalah 2565 orang dan pada tahun 2010 sampai bulan juni sebesar 1034 orang. Pasien rawat inap biasanya dirawat antara 3-7 hari dengan keluhan yang berbeda-beda.

Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan, penulis menemukan beberapa permasalahan yang menyangkut pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD X Kabupaten X kepada pasiennya. Hal ini terungkap karena penulis sering kali mendengar keluhan dari beberapa pasien umum bahwa belum memuaskannya pelayanan yang diberikan baik dari segi kualitas perlengkapan maupun kualitas pelayanan lainnya seperti pelayanan medik, pelayanan obat-obatan, dan pelayanan administrasi.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa RSUD X Kabupaten X selaku lembaga yang melaksanakan pelayanan kesehatan terindikasi kurang memberikan pelayanan kesehatan yang memuaskan kepada pasien umum yang menanggung biaya rumah sakit sendiri. Bila pasien yang Non JAMKESMAS saja pelayanan yang diberikan kurang memuaskan bagaimana lagi layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien yang termasuk pengguna JAMKESMAS.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan pelayanan rawat inap di RSUD X.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan pelayanan rawat inap di RSUD X Kabupaten X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui faktor internal yang mempengaruhi persepsi pasien JAMKESMAS (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan jenis penyakit) yang dirawat inap di RSUD X Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan meliputi tangibles/nyata, reliability/keandalan, responsveness/ketanggapan, assurance/jaminan dan empaty/sikap peduli pelayanan rawat inap di RSUD X Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan kepada RSUD X Kabupaten X dalam menanggulangi dan meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap pasien JAMKESMAS.
2. Sebagai bahan masukan bagi penulis dalam menambah kemampuan dan pengetahuan selama menempuh pendidikan.
3. Sebagai bahan masukan untuk peneliti-peneliti yang akan datang.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:48:00