Cari Kategori

Showing posts with label skripsi pertanian. Show all posts
Showing posts with label skripsi pertanian. Show all posts

ANALISIS BIAYA DAN HARGA POKOK PRODUKSI KAYU GERGAJIAN (SAWN TIMBER) HUTAN RAKYAT

Pembangunan ekonomi Indonesia tidak terlepas dari peran sektor kehutanan dalam menghasilkan devisa, pendorong pengembangan ekonomi wilayah dan pendukung sektor ekonomi terkait. Hasil devisa yang diperoleh dari ekspor hasil hutan tahun 2005 mencapai US $ 2,405 juta yang terdiri dari kayu gergajian sebesar US $ 3 juta, kayu lapis lapis US $ 1.374 juta, Wood Charcoal US $ 24,5 juta, Vener Sheet US $ 9,3 juta, Particle Board US $ 5,3 juta, fiber board US $ 55,09 juta dan Pulp sebesar US $ 932,7 juta (DepartemenKehutanan, 2006). Industri penggergajian cukup memberikan kontribusi dalam penerimaan devisa negara, walaupun nilainya relatif kecil dibanding dengan produk kehutanan lainnya. Maka dari itu, pembangunan dan pengembangan industri penggergajian kayu menjadi penting untuk dikembangkan sehingga diharapkan mampu menunjang peningkatan perekonomian Indonesia.

Keberlanjutan industri penggergajian kayu tidak terlepas dari ketersedian bahan baku. Beberapa tahun belakangan terlihat bahwa ada ketidakseimbangan suplai bahan baku dari hutan dengan permintaan industri kayu. Menurut data Walhi dalam Departeman Kehutanan (2007), sebanyak 1.881 unit industri pengolahan kayu yang memiliki izin operasional dari pemerintah membutuhkan bahan baku kayu bulat sebesar 63,48 juta m3, sedangkan jatah tebang yang telah ditetapkan oleh pemerintah hanya 6,892 juta m3 per tahun. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi gap yang sangat besar sehingga dapat mempengaruhi keberlanjutan industri tersebut. Disisi lain dikhawatirkan akan ada aktivitas-aktivitas yang tidak bertanggung jawab seperti illegal loging untuk mencukupi kebutuhan permintaan bahan baku kayu sehingga mengorbankan kelestarian sumberdaya hutan.

Untuk mengatasi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran bahan baku tersebut, Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis. Diantaranya adalah pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Rakyat. Realisasi pembangunan hutan tanaman industri sampai tahun 2005 sudah mencapai 5,7 juta Ha, sedangkan realisasi pembangunan Hutan Rakyat sudah mencapai 1,2 Juta Ha (Departemen Kehutanan, 2006).

Pengembangan hutan rakyat juga merupakan langkah strategis dalam mencukupi kebutuhan bahan baku industi kehutanan. Pada tahun 2005, produksi kayu bulat sebesar 24,22 juta m3, dengan perincian dari kegiatan IUPHHK/HPH sebesar 5,72 juta m3, dari kegiatan IPK sebesar 3,61 juta m3, dari hutan tanaman sebesar 13,58 juta m3 dan dari hutan rakyat sebesar 1,31 juta m3 (Departemen Kehutanan, 2006). Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa 5,4 persen sumber bahan baku industri kehutanan berasal dari Hutan Rakyat. Langkah lain yang ditempuh, sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2005-2025 adalah Mewujudkan Struktur Industri Kehutanan Indonesia yang Kompetitif dan Ramah Lingkungan. Hal ini terlihat dalam pengembangan struktur industri yang efektif dan efisien serta mampu bersaing di pasar Global. Usaha tersebut diharapkan dapat menyeimbangkan antara permintaan dan penawaran bahan baku untuk keperluan industri tanpa mengorbankan kelestarian sumberdaya hutan atau melakukan penutupan industri kayu, sehingga sangat diperlukan tindakan-tindakan penghematan bahan baku di tingkatan masing-masing undustri kehutanan yang berbahan baku kayu. Secara agregate tindakan penghematan ini dapat mengoptimal kebutuhan bahan baku, sehingga permintaan bahan baku kayu dapat ditekan.

Salah satu usaha pengoptimalan pemintaan bahan baku kayu adalah dengan meningkatkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan bahan baku di industri penggergajian kayu. Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan analisis biaya dan penetapan harga jual dari produk kayu gergajian tersebut. Dengan melakukan analisis tersebut sumber-sumber kegiatan yang inefisien dapat ditelusuri dan selanjutnya dilakukan tindakan ataupun kebijakan dalam mengatasi hal tersebut.

Penetapan harga kayu gergajian sangat dipengaruhi oleh besarnya korbanan sumberdaya ekonomi dalam pelaksanaan proses produksi kayu gergajian. Maka dari itu sangat diperlukan pencatatan secara sistematis dan komprehensif setiap transaksi biaya selama daur produk kayu gergajian. Hal ini bertujuan untuk memudahkan manajemen dalam melakukan perencanaan dan pengendalian biaya, penentuan harga pokok produk kayu gergajian dengan tepat dan teliti serta pengambilan kebijakan yang bersifat strategis terutama menyangkut biaya dalam rangka peningkatan efisiensi.

Hampir 90 % anggota Indonesian Sawmill and Woodworking Association (ISWA) merupakan perusahaan usaha kecil menengah (UKM) dan tidak memiliki hak pengusahaan hutan (HPH). Jumlah perusahaan yang terdaftar di (Badan Revitalisasi Industri Kehutanan) BRIK saat ini berkisar 1600 perusahaan, namun yang aktif dari tahun ketahun menurun. Pada tahun 2006 perusahaan yang aktif hanya hanya berjumlah 602 perusahaan (Departemen Kehutanan, 2007).

CV X merupakan salah satu perusahan UKM yang bergerak dalam memproduksi kayu gergajian dengan bahan baku kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat. Perusahaan ini berdiri awal Juni 2007 (dengan umur enam bulan pada saat penelitian dilakukan).

1.2 Perumusan Masalah
Dalam penetapan harga kayu gergajian tergantung pada alur produksi kayu gergajian yang berimplikasi terhadap besar atau kecilnya korbanan biaya yang dikeluarkan. Secara umum, biaya yang terserap dalam proses produksi kayu gergajian adalah biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overheadpabrik dan biaya-biaya yang bersifat penunjang proses produksi. Kadangkala pada perusahaan penggergajian kayu berskala kecil (penggergajian kayu rakyat) tidak terlalu memperhatikan sistem akutansi yang lazim, proses pencatatan biaya tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Seringkali mengabaikan pencatatan biaya overhead pabrik dan biaya non produksi lainnya, sehingga biaya-biaya tersebut yang sebenarnya telah dikeluarkan tidak terhitung dan tidak menjadi komponen harga jual produk yang ditetapkan. Konsekuensi dari hal di atas adalah kurang telitinya penetapan harga jual dari produk yang dihasilkan, sehingga sulit melakukan pengendalian dan perencanaan dan pengambilan keputusan kurang tepat. Hal ini juga akan mengakibatkan efisiensi dan efektifitas industri kayu gergajian rendah.

Kapasitas produksi penggergajian tergantung dari kualitas bahan bakunya. Untuk bahan baku yang bagus CV X mampu mengolah lebih kurang 10 m3 bahan baku/hari sedangkan kualitas bahan baku yang kurang bagus hanya mampu lebih kurang 5 m3 bahan baku/hari.

Produk yang dihasilkan adalah kayu gergajian yang dengan berbagai dimensi ukuran mulai Balok, Kaso, Reng dan Papan. Perusahaan mengambil kebijakan penetapan harga jual dari masing produk berdasarkan harga pasar yang berlaku di daerah tersebut. Berdasarkan keterngan di atas di indikasikan bahwa CV X kurang memperhatikan serapan biaya pada proses produksi secara teliti dan cermat dalam penetapan harga jual produknya, sehingga perusahaan ini sulitnya melakukan pengendalian dan perencanaan

Pada proses pengendalian ada kemungkinan ditemukan penurunan biaya yang tidak seharusnya dikeluarkan sebagai bentuk peningkatan efisiensi. Penurunan biaya tersebut akan berdampak terhadap perubahan harga jual dari produk. Konsekuensi dari perubahan harga jual dan perubahan biaya, akan berdampak terhadap laba yang diterima oleh CV X. Pengaruh dampak perubahan biaya, harga jual dan volume penjualan terhadap perubahan laba yang diperoleh, setiap kebijakan yang telah diambil oleh CV X dapat dijadikan sebagai pedoman perencanaan yang kuat untuk memilih alternatif strategi dan tindakan pada periode produksi berikutnya. Pemilihan alternatif yang berdasar ini akan mengakibatkan pengambilan keputusan secara ekonomis rasional.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu usaha mengevaluasi industri kayu dalam hai ini CV X dalam rangka mewujudkan produk kehutanan yang kompetitif tidak terlepas dari kualitas produk kayu gergajian, sehingga mampu berkompetisi di pasar. Untuk mewujudkan produk yang kompetitif sangat tergantung seberapa besar biaya yang dikorbankan untuk memproduksi kayu gergajian dan kebijakan perusahan dalam penetapan harga jualnya. Disamping itu perlu dilakukan peningkatan efisiensi dengan melakukan pengendalian biaya sehingga CV X akan membayar serendah mungkin terhadap korbanan sumberdaya yang dikeluarkan.

Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah semua biaya yang terserap di CV X sudah tercatat secara sistematis ?
2. Apakah yang menjadi landasan dalam penetapan harga jual produk kayu gergajian (sawn timber) CV X?
3. Apakah CV X dalam memproduksi produk kayu gergajian masih mungkin melakukan pengendalian biaya dan merubah harga jual sebagai bentuk peningkatan efisiensi ?
4. Apakah dengan perubahan biaya dan perubahan harga jual masih memberikan keuntungan bagi CV X ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji struktur biaya dan landasan penetapan harga jual produk kayu gergajian di CV X.
2. Menganalisis biaya, selisih biaya dan perubahan harga jual terhadap keuntungan CV X.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan dasar pertimbangan kepada pemilik perusahaan dalam penetapan harga jual produk kayu gergajian. Disamping itu, penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk pengendalian biaya dalam rangka peningkatan efektifitas dan efisiensi proses produksi kayu gergajian sehingga perusahaan dapat melakukan perencanaan strategis akibat dari peningkatan efisiensi dan efektifitas tersebut. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai refrensi dalam penelitian-penelitian berikutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Proses produksi di CV X menghasilkan beberapa variasi dimensi produk kayu gergajian dari beberapa macam jenis bahan baku. Melihat dari prospek pengembangan hutan tanaman rakyat yang lebih cenderung memperhatikan pemilihan komoditas tanaman cepat tumbuh (fast growing) sehingga komoditas ini memiliki prospek sebagai pasokan bahan baku industri penggergajian kayu. Salah satu jenis tanaman kehutanan yang memiliki sifat fast grow tersebut adalah Sengon (Paraseriaunthes falcataria). Dengan sifat yang cepat tumbuh tersebut, memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Bogor Barat untuk menanam Sengon di kebun-kebun mereka. Hal ini diperkirakan pasokan kayu Sengon mampu menjamin ketersedian bahan baku industri penggergajian kayu.
Melihat prospek di atas penelitian ini akan dibatasi dengan menganalisis penetapan harga pokok pada beberapa produk yang diproduksi oleh CV X. Diantaranya adalah produk Kaso dari bahan baku Sengon dengan dimensi 5 cm x 7 cm x 280 cm (Kaso 57) dan produk Kaso dari bahan baku Sengon dengan dimensi 4 cm x 6 cm x 280 cm (Kaso 46).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:15:00

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI MASYARAKAT KOTA TENTANG SIFAT-SIFAT INOVASI PROGRAM PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PERKOTAAN

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI MASYARAKAT KOTA TENTANG SIFAT-SIFAT INOVASI PROGRAM PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PERKOTAAN

A. Latar Belakang
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang masih mendukung kehidupan manusia, dalam hal ini kebutuhan akan pangan. Oleh karena itu, manusia dapat melanjutkan hidup bila kebutuhan akan pangan juga terpenuhi. Akan tetapi, karena lahan pertanian yang ada juga semakin sempit akibat laju pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah dari tahun ke tahun, maka secara tidak langsung hal ini akan mengurangi pasokan kebutuhan pangan masyarakat.
Menurut Mardikanto (1994), penyusutan luas lahan pertanian dapat diartikan sebagai akibat langsung dari pertambahan penduduk. Sebab dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, semakin bertambah keperluan manusia akan tempat pemukiman (perumahan), kesempatan kerja (pembangunan industri, perkantoran dan sarana perdagangan), sarana kesejahteraan sosial (pendidikan, kesehatan, olahraga, tempat ibadah), serta sarana transportasi (jalan raya, jalan kampung, jalan lingkungan).
Demikian halnya dengan Kota X, pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah juga menyebabkan semakin sempitnya lahan pertanian, maka usaha budidaya pertanian yang selama ini ditekuni oleh masyarakat berangsur-angsur beralih ke usaha lain. Masalah kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan terbuka menyebabkan kondisi lingkungan yang semakin terasa gersang dan panas, banyak lingkungan perumahan tidak mengoptimalkan lahan pekarangan untuk usaha pertanian, disamping dapat meningkatkan pendapatan juga sebagai salah satu usaha peningkatan ketersediaan bahan pangan. Oleh sebab itu, pemanfaatan lahan pekarangan menjadi salah satu usaha alternatif dalam usaha peningkatan dan pengembangan pertanian serta peningkatan ketahanan pangan di kota X (Departemen Pertanian, 2006).

Salah satu program yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Kota X adalah peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan. Program ini mempunyai dua pokok kegiatan didalamnya yaitu ketahanan pangan dan intensifikasi lahan pekarangan. Dimana kedua kegiatan ini sama-sama mengefektifkan penggunaan lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat Kota X. Kegiatan ketahanan pangan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk lebih meningkatkan nilai gizi dan meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Sedangkan kegiatan intensifikasi lahan pekarangan bertujuan untuk membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dengan membudidayakan tanaman hias yaitu anggrek.

Pada pelaksanaan kegiatan ini juga sangat diperlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak terutama masyarakat setempat agar program ini dapat berjalan lancar. Melalui program inilah pemerintah berusaha untuk menyerap aspirasi dari masyarakat guna mendukung keberlangsungan program yang lain di masa yang akan datang. Dengan tujuan agar kekurangan yang terdapat dalam program sebelumnya tidak ditemui kembali pada program selanjutnya.

B. Perumusan Masalah
Kota X merupakan daerah perkotaan yang padat penduduknya, dengan berkembangnya pembangunan di daerah perkotaan yang mengakibatkan semakin sempitnya lahan pertanian akan berpengaruh terhadap usaha di bidang pertanian baik tanaman pangan, peternakan, perkebunan maupun perikanan. Sejalan dengan hal tersebut maka Pemerintah Kota X berupaya mengadakan "Program Peningkatan dan Pengembangan Pertanian Perkotaan" melalui kegiatan ketahanan pangan dan intensifikasi lahan yang dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, untuk lebih meningkatkan gizi masyarakat dan meningkatkan pendapatan (Departemen Pertanian, 2006).

Program ini merupakan satu bentuk kepedulian pemerintah setempat yang berusaha untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat. Dimana pada saat ini lahan pekarangan yang dimiliki masyarakat belum begitu optimal dimanfaatkan. Dengan pemanfaatan dan pengelolaan yang baik, maka lahan pekarangan yang ada dapat memberikan nilai tambah tersendiri bagi masyarakat dan hasil yang diperoleh akan kembali ke masyarakat.

Program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan ini merupakan salah satu program baru di masyarakat. Sehingga berhasil tidaknya program ini didukung oleh masyarakat itu sendiri melalui persepsi masyarakat mengenai program. Persepsi timbul karena adanya proses kognitif yang dialami oleh seseorang dalam memahami informasi tentang program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan melalui penglihatan, pandangan, serta perasaan masing-masing masyarakat. Persepsi itu sendiri tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal, luas pekarangan, pendapatan, kosmopolitan dan akses informasi.

Masyarakat dapat memberikan persepsi mengenai program ini melalui sifat atau karakteristik inovasi yang nampak dalam program tersebut. Karakteristik yang dapat dilihat dalam program ini antara lain yaitu keuntungan relatif yang dapat diperoleh, kerumitan, kesesuaian dengan lingkungan setempat, dapat dicoba dan dapat dilihat hasil maupun contoh.

Dari uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dikaji beberapa masalah yaitu :
1. Apa sajakah karakteristik sosial ekonomi masyarakat kota yang mempengaruhi persepsi tentang program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X ?
2. Bagaimana persepsi masyarakat kota tentang sifat-sifat inovasi yang terdapat dalam program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X ?
3. Bagaimana hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi masyarakat kota tentang sifat-sifat inovasi pada program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi masyarakat kota tentang program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X.
2. Mengetahui tingkat persepsi masyarakat kota tentang sifat-sifat inovasi yang terdapat dalam program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X.
3. Mengetahui hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi masyarakat kota tentang sifat-sifat inovasi pada program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X.

D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan suatu proses belajar yang ditempuh untuk mendapatkan banyak pengetahuan tentang persepsi masyarakat kota dengan adanya program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah penelitian dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
2. Bagi instansi terkait yaitu Dinas Pertanian Kota X, yaitu agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan dijalankannya program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah penelitian.
3. Bagi peneliti yang lain dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam bidang kajian penelitian sejenis dan untuk mendapatkan pengetahuan yang berkaitan dengan persepsi masyarakat kota tentang program peningkatan dan pengembangan pertanian perkotaan di Kota X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:45:00

PENANGKAPAN IKAN LAUT DENGAN ALAT TANGKAP PANCING PRAWAI DASAR (BOTTOM LONG LINE) OLEH NELAYAN

USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT DENGAN ALAT TANGKAP PANCING PRAWAI DASAR (BOTTOM LONG LINE) OLEH NELAYAN

A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai potensi sumber daya kelautan (perikanan) yang melimpah, negeri ini memiliki peluang yang sangat besar untuk memulihkan perekonomian nasional, khususnya dengan bertumpu pada pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan secara tepat dan optimal. Hal itu didasarkan pada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa permintaan akan hasil perikanan cenderung terus meningkat, baik untuk permintaan dari dalam maupun luar negeri. Kebutuhan ikan Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan mencapai minimal 9,5 juta ton. Peningkatan volume tersebut disebabkan konsumsi ikan masyarakat Indonesia terus meningkat dari 24 kg menjadi 32 kg per kapita per tahun. Selain itu, target nilai ekspor kelautan dan perikanan pun meningkat dari 2 miliar dolar AS (2003) menjadi 5 miliar dolar AS di tahun 2006. Kebutuhan ini meningkat sangat pesat dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan pada tahun 2001 yang mencapai 4,6 juta ton atau ekuivalen dengan 22,4 kg / kapita / tahun (Anonim, 2009).

Perikanan adalah semua kegiatan yang terorganisir berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Umumnya, Perikanan ada untuk kepentingan penyediaan makanan bagi manusia, walaupun mungkin ada tujuan lain (seperti olahraga atau pemancingan yang berkaitan dengan rekreasi), mungkin juga memperoleh ikan untuk tujuan membuat perhiasan atau produk ikan seperti minyak ikan. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial atau bisnis) (Wikipedia, 2009).
Perikanan tangkap mempunvai peranan yang cukup penting, terutama dikaitkan dengan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan, menghasilkan protein hewani dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, meningkatkan ekspor, menyediakan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta mendukung pembangunan wilayah dengan tetap memperhatikan kelestarian dan fungsi lingkungan hidup (Achmad,1999).
Menurut Wikipedia (2009) penangkapan ikan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkannya. Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi permintaan akan ikan.

Perikanan tangkap Indonesia sangat khas dengan karakteristik multialat dan multispesies, tersebar di seluruh wilayah pendaratan. Dilihat dari segi kemampuan usaha nelayan, jangkauan daerah laut serta jenis alat penangkapan yang digunakan oleh para nelayan Indonesia dapat dibedakan antara usaha nelayan kecil, menengah, dan besar. Dalam melakukan usaha penangkap ikan dari tiga kelompok nelayan tersebut digunakan sekitar 15 s/d 25 jenis alat penangkap.

Keanekaragaman istilah dan definisi alat tangkap pancing yang berkembang di masyarakat nelayan, akan menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam penamaan, sehingga diperlukan standard istilah dan definisi alat tangkap pancing. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2008) pancing prawai dasar merupakan pancing yang tersusun dari rangkaian tali yang dilengkapi dengan pemberat atau jangkar yang dioperasikan secara menetap. Penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) merupakan salah satu cara pemanfaatan potensi sumber daya kelautan.

Kabupaten X merupakan salah satu bagian dari 35 kabupaten atau kota di Jawa Tengah dan barada di pesisir Pantai Utara Jawa Tengah yang memiliki garis pantai mencapai 40 km. Kondisi wilayah Kabupaten X berpotensi yang sangat besar untuk usaha di bidang perikanan, terutama perikanan laut. Perikanan di Kabupaten X meliputi usaha perikanan laut (tangkap), perikanan budidaya (tambak, sawah, kolam) dan perairan umum (waduk, sungai, danau).

Pada tahun 2008 komoditi perikanan laut mempunyai jumlah produksi yang paling besar dalam subsektor perikanan Kabupaten X dibandingkan dengan ikan tambak maupun udang tambak, yaitu sebesar 197.115,48 Kw.

Selama 7 tahun terakhir ini, produksi perikanan tangkap di Kabupaten X cenderung fluktuatif tiap tahunnya, baik di lihat dari jumlah produksi (Kg) maupun dalam nilai (rupiah).

Pada tahun 2007 produksi maupun nilai perikanan tangkap di Kabupaten X berfluktuatif. Penurunan volume produksi perikanan tangkap antara lain disebabkan oleh overfishing, kondisi cuaca alam dan kerusakan lingkungan laut. Fluktuasi nilai nominal perikanan tangkap dikarenakan adanya inflasi yang terjadi di Kabupaten X. Sehingga pada tahun 2005 dan 2007 meskipun volume produksinya mengalami penurunan, namun dari segi nilai nominal mengalami peningkatan.

Adanya potensi perikanan tangkap di Kabupaten X telah menyebabkan sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, baik sebagai juragan (nelayan pemilik kapal) maupun pandega (nelayan yang tidak mempunyai kapal). Usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (Bottom Long Line) ini mampu menyerap tenaga kerja bagi masyarakat sekitar sehingga mampu menambah pendapatan masyarakat setempat. Bagi pemilik kapal, usaha ini merupakan usaha yang menjadi sumber pendapatan pokok. Sedangkan bagi masyarakat sekitar lainnya, usaha penangkapan ikan ini merupakan salah satu contoh usaha yang berdaya serap kerja yang cukup tinggi karena dalam satu armada kapal memerlukan tenaga sekitar 30 orang sebagai anak buah kapal (ABK), tenaga pengisi bahan bakar, dan tenaga pengisi bahan pendingin. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tentang usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (Bottom Long Line) oleh nelayan dari Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Dilihat dari segi geografis, Indonesia didominasi oleh lautan sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan subsektor perikanan. Kabupaten X salah satu daerah yang memiliki garis pantai dibagian Pantai Utara Pulau Jawa dengan garis pantai sepanjang 40 Km, selebar 4 Mil sehingga ada masyarakatnya yang bermata pencaharian dibidang perikanan, baik bidang budidaya tambak maupun bidang penangkapan di laut. Hasil dari subsektor perikanan terutama perikanan tangkap Kabupaten X adalah berbagai macam ikan segar dan ikan olahan misalnya ikan asin, ikan pindang, dan ikan asap yang digunakan sebagai sumber gizi dan protein oleh masyarakat. Salah satu wujud pemanfaatan potensi subsektor perikanan di Kabupaten X adalah dengan cara mengusahakan usaha penangkapan ikan laut.

Tujuan setiap pengusaha dalam menjalankan usahanya adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara memaksimalkan keuntungan, meminimumkan biaya, dan memaksimalkan penjualan. Tetapi dalam kenyataannya, seringkali pengusaha dalam menjalankan usahanya hanya berdasarkan prinsip asal usahanya bisa berjalan dengan lancar tetapi kurang memperhatikan besarnya biaya, penerimaan, keuntungan, dan efisiensi usahanya. Selain analisis tersebut, analisis risiko juga diperlukan dalam usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) oleh nelayan dari Kabupaten X. Hal ini disebabkan karena nelayan menghadapi risiko dalam menjalankan usahanya, yaitu perubahan cuaca dan iklim, perbedaan kemampuan SDM tenaga kerja maupun adanya overfishing yang terjadi di laut sekitar Indonesia.

Usaha penangkapan ikan laut di Kabupaten X mempunyai ciri khas yaitu menggunakan sistem bagi hasil (keuntungan) dalam pembagian keuntungan diantara juragan (pemilik armada kapal) maupun nelayan pandega (nelayan yang tidak punya armada kapal). Menurut Subiyanto (2009) pola bagi hasil ini setidaknya mengurangi risiko bagi pemilik kapal tidak memberi upah yang tidak sepadan bilamana hasil tangkapannya sedang buruk. Hal ini terjadi disebabkan penghasilan nelayan yang tidak dapat dipastikan, namun tergantung dari jumlah hasil tangkapan serta hasil penjualan yang dilakukannya. Dengan adanya sistem bagi hasil dari keuntungan ini maka dapat digunakan untuk analisis keuntungan dan risiko nelayan (pandega maupun juragan). Berkaitan dengan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Berapa besarnya biaya,penerimaan, keuntungan, efisiensi dan risiko usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) oleh nelayan dari Kabupaten X ?
2. Berapa besarnya keuntungan dan risiko setelah sistem bagi hasil yang diterima oleh nelayan (pandega dan juragan) dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) dari Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian usaha penangkapan ikan laut skala sedang dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) di Kabupaten X bertujuan untuk :
1. Menentukan besarnya biaya, penerimaan, keuntungan efisiensi dan risiko usaha penangkapan ikan laut dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) oleh nelayan dari Kabupaten X.
2. Menentukan besarnya keuntungan dan risiko setelah sistem bagi hasil yang diterima oleh nelayan (pandega dan juragan) dengan alat tangkap pancing prawai dasar (bottom long line) dari Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian.
2. Bagi Pemerintah Daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan terutama dalam pengembangan perikanan tangkap.
3. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau penelitian-penelitian sejenis.
4. Bagi nelayan, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan dalam rangka peningkatan usaha dan mampu memperbaiki manajemen usaha perikanan tangkap.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:48:00

SKRIPSI PERANAN KELOMPOK TANI DALAM PENINGKATAN STATUS SOSIAL EKONOMI PETANI PADI SAWAH

(KODE PRTANIAN-0001) : SKRIPSI PERANAN KELOMPOK TANI DALAM PENINGKATAN STATUS SOSIAL EKONOMI PETANI PADI SAWAH




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pembangunan seringkali diartikan pada pertumbuhan dan perubahan. Jadi pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Seperti diketahui sektor pertanian di Indonesia dianggap penting. Hal ini terlihat dari peranan sektor pertanian terhadap penyediaan lapangan kerja, penyedia pangan, penyumbang devisa negara malalui ekspor dan sebagainya. Oleh karena itu wajar kalau biaya pembangunan untuk sektor pertanian ini selalu tiga besar diantara sektor-sektor yang lain (Soekartawi,1993).
Menjelang abad ke-21, di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, terjadi suatu perubahan paradigma pembangunan secara drastis. Pada masa-masa awal sesudah memperoleh kemerdekaannya, paradigma pembangunan yang dominan di negara-negara tersebut adalah industrialisasi. Selain diharapkan dapat mengangkat harkat hidup penduduk di negara-negara yang sedang berkembang, secara politis industrialisasi juga akan menyejajarkan kedudukan negara-negara tersebut dengan negara-negara Barat, yang sebagian besar adalah negara-negara yang pernah menjajah mereka. Akibat dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan, maka pembangunan sektor pertanian relatif ditelantarkan. Bahkan ada anggapan bahwa indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah mengecilnya sumbangan sektor pertanian pada total pendapatan negara. Sebaliknya, apabila jumlah kontribusi sektor pertanian pada pendapatan nasional tetap tinggi, maka negara tersebut tetap dianggap sebagai negara yang terbelakang (Soetrisno, 2006).
Namun, tidak demikian dengan sektor pertanian, sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir dari para perencana pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Jika semula industrialisasi diandalkan sebagai suatu model pembangunan yang akan mampu memecahkan masalah keterbelakangan negara yang sedang berkembang, setelah krisis menimpa negara-negara tersebut, pembangunan sektor pertanian kemudian menjadi harapan baru dalam pembangunan di negara dunia ketiga (Soetrisno,2006).
Peran sektor pertanian yang merupakan dasar bagi kelangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan diharapkan mampu memberikan pemecahan permasalahan bagi bangsa Indonesia. Karena sektor pertanian mempunyai 4 fungsi yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa yaitu :
1. Mencukupi pangan dalam negeri
2. Penyediaan lapangan kerja dan berusaha
3. Penyediaan bahan baku untuk industri, dan
4. Sebagai penghasil devisa bagi negara
Kondisi sosial budaya petani merupakan masalah utama dalam fungsi sektor pertanian di dalam pembangunan nasional dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing pada abad yang akan datang. Berdasarkan data statistik yang ada, saat ini sekitar 75% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. Lebih dari 54% diantaranya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, dengan pendapatan yang relatif rendah jika dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di perkotaan. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan produktifitas para petani Indonesia, yang tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor, antara lain luas lahan yang dimiliki, kebijakan pemerintah dalam hal pemberian insentif kepada petani dan sebagainya.
Selama dasawarsa 1950an, masalah dasar yang dihadapi oleh pertanian rakyat di Indonesia tetap saja memproduksi pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang meningkat pesat. Produksi padi/gabah pada tahun 1951 di Jawa dan Madura diperkirakan 6,5 ton dengan hasil rata-rata 2,2 ton/hektar. Total produksi padi di Indonesia diperkirakan sekitar 10 juta ton. Banyak program dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan produksi padi/gabah, diantaranya program Bimas Gotong Royong. Namun pada tahunl986 Indonesia mencapai swasembada beras oleh karena keberhasilan adopsi varietas unggul berproduksi tinggi dan penggunaan pupuk yang lebih banyak (Oudejans, 2006).
Petani memainkan peranan sebagai inti dalam pembangunan pertanian. Petanilah yang memelihara tanaman dan menentukan bagaimana usaha taninya harus dimanfaatkan. Petanilah yang harus mempelajari dan menerapkan metoda-metoda baru yang diperlukan untuk membuat usaha taninya lebih produktif. (Mosher, 1985).
Sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang memadai untuk dapat memahami permasalahan mereka, memikirkan pemecahannya, atau memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuan mereka. Ada kemungkinan pengetahuan mereka berdasarkan kepada informasi yang keliru karena kurangnya pengalaman, pendidikan atau faktor budaya lainnya. Disini diperlukan peran penyuluhan untuk meniadakan hambatan tersebut dengan cara menyediakan informasi dan memberikan pandangan mengenai masalah yang dihadapi.
Metode penyuluhan yang lebih menguntungkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan petani adalah metode kelompok karena ada umpan balik yang memungkinkan pengurangan salah pengertian antara penyuluh dan petani. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok (Van Den Ban, 2003).
Ide membuat suatu kelompok berasal dari kenyataan bahwa setiap individu tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan seorang diri. Individu terutama dalam masyarakat modern, merasa kurang mampu, kurang tenaga, kurang waktu dan tidak berdaya bila harus memenuhi sendiri kebutuhan dasar atas makanan, naungan dan keselamatan. Bekerja bersama dalam kelompok adalah lebih murah dari pada kunjungan individu. Penyuluh pembangunan (PP) jelas terbatas yang berarti bekerjasama dengan kelompok adalah lebih rendah biayanya. Alasan terbentuknya suatu kelompok adalah oleh karena beberapa orang mempunyai persoalan yang sama (Rusdi, 1999).
Pendekatan pengembangan kelompok bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan dan kebutuhannya. Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah terbiasa bekerja berkelompok dengan bentuk yang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal yang ada. Dari sisi masyarakat, dengan berkelompok akan lebih mudah mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, dibandingkan dengan bekerja sendiri. Kelompok merupakan wadah belajar bersama dimana masyarakat bisa saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Selain itu kelompok membangun solidaritas sesama warga desa. Pengembangan kelompok merupakan serangkaian proses kegiatan memampukan/memberdayakan kumpulan anggota masyarakat yang mempunyai tujuan bersama (Kartasapoetra, 1991).
Sasaran pengembangan kelompok adalah siapa saja yang berminat terutama mereka yang kerapkali terabaikan, seperti kelompok masyarakat yang miskin, kaum perempuan, mereka yang berpendidikan rendah, dan juga mereka yang cacat serta kelompok lainnya. Mereka yang terabaikan merupakan bagian dari masyarakat, mereka juga mempunyai potensi dalam memecahkan permasalahan yang ada. Setiap anggota kelompok dapat berpartisipasi dalam pengembangan kelompok dengan segala potensi dan keterbatasan yang mereka miliki (Sastraatmadja, 1993).
Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Pembinaan kelompok tani diarahkan pada penerapan sistem agribisnis, peningkatan peranan, peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya, dengan menumbuhkembangkan kerjasama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk mengembangkan usaha taninya. Selain itu pembinaan kelompok tani diharapkan dapat membantu menggali potensi, memecahkan masalah usaha tani anggotanya secara lebih efektif, dan memudahkan dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya (Dinas Pertanian Kota X, 2008).
Sejak dulu, diantara tanaman bahan makanan, padi merupakan tanaman utama para petani Indonesia. Padi dapat ditanam di lahan kering (up-land) maupun lahan basah atau biasa disebut sawah (wet-land). Sawah berperan dominan dalam produksi padi karena pada umumnya padi memang ditanam di lahan jenis ini. Peningkatan produksi padi bermula pada awal dan berlangsungnya Pelita I, terutama hingga tingkatan swasembada. Usaha peningkatan produksi padi tersebut berkat usaha bimbingan teknis oleh pemerintah kepada para petani secara serius, juga didukung oleh perbaikan infrastruktur secara fisik (jalan desa dan irigasi) maupun prasarana ekonominya. Beras dianggap sebagai komoditi strategis yang dominan dalam ekonmi Indonesia karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia. Kebutuhan beras setiap tahun bertambah sesuai pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat dan juga karena kebutuhan per kapita meningkat. Meningkatnya kebutuhan per kapita disebabkan oleh beralihnya penduduk bukan pemakan beras menjadi pemakan beras sebagai makanan pokoknya (Adiratma Roekasah, 2004).
Tren naik dan turunnya produksi padi sangat ditentukan oleh dua faktor yaitu luas panen dan produktifitas, dimana produksi merupakan hasil perkalian antara luas panen dengan produktifitas dalam suatu musim tanam atau periode tertentu. Petani di Kecamatan X pada umumnya adalah petani tanaman pangan khususnya tanaman padi sawah. Berdasarkan sensus pertanian diketahui produksi padi sawah di kecamatan tersebut masih rendah (7.871 ton) dengan luas lahan 1.537 Ha meskipun di daerah tersebut sudah ada kelompok tani. Berikut adalah luas lahan sawah dan rata-rata produksi padi di Kecamatan X:

** tabel sengaja tidak ditampilkan **

Kecamatan X terdiri dari 30 desa, dimana ada beberapa desa yang Luas Lahan padi sawah kurang dari 10 Ha dengan produksi rata-rata 2 ton/ha. Hal ini disebabkan karena beberapa desa tersebut menanam tanaman perkebunan dan juga karena beberapa desa ada yang irigasinya sudah tidak baik lagi sehingga petani terpaksa tidak menanam padi sawah.
Sementara beberapa desa lainnya memiliki luas lahan 70 ha dengan produksi 5 ton/ha. Desa Y luas lahan 100 ha dengan produksi sekitar 6 ton/ha. Desa Z luas lahan 70 ha dengan produksi sekitar 4,5 ton/ha. Desa X luas lahan 70 ha dengan produksi sekitar 5 ton/ha. Berdasarkan hasil sensus tersebut peneliti terdorong untuk mengetahui sudah sejauh mana peranan kelompok tani dalam peningkatan ststus sosial ekonomi petani padi sawah khususnya di desa X Kecamatan X maka perlu diadakan penelitian secara ilmiah.

B. Identifikasi Masalah
Masalah yang perlu diteliti adalah 1) kegiatan yang dilakukan kelompok tani dalam peningkatan status sosial ekonomi petani, 2) perbedaan tingkat kosmopolitan, perbedaan tingkat adopsi teknologi padi sawah petani, 3) perbedaan produktifitas petani, perbedaan pendapatan petani, 4) perbedaan perubahan pola konsumsi petani sebelum dan sesudah menjadi anggota kelompok tani X selama 3 tahun terakhir, 5) kendala yang dihadapi petani dalam menjalankan usaha tani serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah diatas.

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui 1) kegiatan yang dilakukan kelompok tani dalam peningkatan status sosial ekonomi petani, 2) menganalisis perbedaan tingkat kosmopolitan, tingkat adopsi teknologi padi sawah petani, produktifitas petani, pendapatan petani, serta perbedaan perubahan pola konsumsi petani sebelum dan sesudah menjadi anggota kelompok tani X, 3) mengetahui kendala yang dihadapi petani dalam menjalankan usaha tani serta upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut.

D. Kegunaan Penelitian
1) Sebagai bahan masukan bagi Badan Penyuluhan Pertanian (BPP) dalam membuat program penyuluhan pertanian untuk meningkatkan status sosial ekonomi petani.
2) Sebagai bahan referensi atau sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.
3) Sebagai bahan untuk membuat skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian Universitas X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 04:49:00