Pembangunan ekonomi Indonesia tidak terlepas dari peran sektor kehutanan dalam menghasilkan devisa, pendorong pengembangan ekonomi wilayah dan pendukung sektor ekonomi terkait. Hasil devisa yang diperoleh dari ekspor hasil hutan tahun 2005 mencapai US $ 2,405 juta yang terdiri dari kayu gergajian sebesar US $ 3 juta, kayu lapis lapis US $ 1.374 juta, Wood Charcoal US $ 24,5 juta, Vener Sheet US $ 9,3 juta, Particle Board US $ 5,3 juta, fiber board US $ 55,09 juta dan Pulp sebesar US $ 932,7 juta (DepartemenKehutanan, 2006). Industri penggergajian cukup memberikan kontribusi dalam penerimaan devisa negara, walaupun nilainya relatif kecil dibanding dengan produk kehutanan lainnya. Maka dari itu, pembangunan dan pengembangan industri penggergajian kayu menjadi penting untuk dikembangkan sehingga diharapkan mampu menunjang peningkatan perekonomian Indonesia.
Keberlanjutan industri penggergajian kayu tidak terlepas dari ketersedian bahan baku. Beberapa tahun belakangan terlihat bahwa ada ketidakseimbangan suplai bahan baku dari hutan dengan permintaan industri kayu. Menurut data Walhi dalam Departeman Kehutanan (2007), sebanyak 1.881 unit industri pengolahan kayu yang memiliki izin operasional dari pemerintah membutuhkan bahan baku kayu bulat sebesar 63,48 juta m3, sedangkan jatah tebang yang telah ditetapkan oleh pemerintah hanya 6,892 juta m3 per tahun. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi gap yang sangat besar sehingga dapat mempengaruhi keberlanjutan industri tersebut. Disisi lain dikhawatirkan akan ada aktivitas-aktivitas yang tidak bertanggung jawab seperti illegal loging untuk mencukupi kebutuhan permintaan bahan baku kayu sehingga mengorbankan kelestarian sumberdaya hutan.
Untuk mengatasi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran bahan baku tersebut, Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis. Diantaranya adalah pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Rakyat. Realisasi pembangunan hutan tanaman industri sampai tahun 2005 sudah mencapai 5,7 juta Ha, sedangkan realisasi pembangunan Hutan Rakyat sudah mencapai 1,2 Juta Ha (Departemen Kehutanan, 2006).
Pengembangan hutan rakyat juga merupakan langkah strategis dalam mencukupi kebutuhan bahan baku industi kehutanan. Pada tahun 2005, produksi kayu bulat sebesar 24,22 juta m3, dengan perincian dari kegiatan IUPHHK/HPH sebesar 5,72 juta m3, dari kegiatan IPK sebesar 3,61 juta m3, dari hutan tanaman sebesar 13,58 juta m3 dan dari hutan rakyat sebesar 1,31 juta m3 (Departemen Kehutanan, 2006). Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa 5,4 persen sumber bahan baku industri kehutanan berasal dari Hutan Rakyat. Langkah lain yang ditempuh, sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2005-2025 adalah Mewujudkan Struktur Industri Kehutanan Indonesia yang Kompetitif dan Ramah Lingkungan. Hal ini terlihat dalam pengembangan struktur industri yang efektif dan efisien serta mampu bersaing di pasar Global. Usaha tersebut diharapkan dapat menyeimbangkan antara permintaan dan penawaran bahan baku untuk keperluan industri tanpa mengorbankan kelestarian sumberdaya hutan atau melakukan penutupan industri kayu, sehingga sangat diperlukan tindakan-tindakan penghematan bahan baku di tingkatan masing-masing undustri kehutanan yang berbahan baku kayu. Secara agregate tindakan penghematan ini dapat mengoptimal kebutuhan bahan baku, sehingga permintaan bahan baku kayu dapat ditekan.
Salah satu usaha pengoptimalan pemintaan bahan baku kayu adalah dengan meningkatkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan bahan baku di industri penggergajian kayu. Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan analisis biaya dan penetapan harga jual dari produk kayu gergajian tersebut. Dengan melakukan analisis tersebut sumber-sumber kegiatan yang inefisien dapat ditelusuri dan selanjutnya dilakukan tindakan ataupun kebijakan dalam mengatasi hal tersebut.
Penetapan harga kayu gergajian sangat dipengaruhi oleh besarnya korbanan sumberdaya ekonomi dalam pelaksanaan proses produksi kayu gergajian. Maka dari itu sangat diperlukan pencatatan secara sistematis dan komprehensif setiap transaksi biaya selama daur produk kayu gergajian. Hal ini bertujuan untuk memudahkan manajemen dalam melakukan perencanaan dan pengendalian biaya, penentuan harga pokok produk kayu gergajian dengan tepat dan teliti serta pengambilan kebijakan yang bersifat strategis terutama menyangkut biaya dalam rangka peningkatan efisiensi.
Hampir 90 % anggota Indonesian Sawmill and Woodworking Association (ISWA) merupakan perusahaan usaha kecil menengah (UKM) dan tidak memiliki hak pengusahaan hutan (HPH). Jumlah perusahaan yang terdaftar di (Badan Revitalisasi Industri Kehutanan) BRIK saat ini berkisar 1600 perusahaan, namun yang aktif dari tahun ketahun menurun. Pada tahun 2006 perusahaan yang aktif hanya hanya berjumlah 602 perusahaan (Departemen Kehutanan, 2007).
CV X merupakan salah satu perusahan UKM yang bergerak dalam memproduksi kayu gergajian dengan bahan baku kayu-kayu yang berasal dari hutan rakyat. Perusahaan ini berdiri awal Juni 2007 (dengan umur enam bulan pada saat penelitian dilakukan).
1.2 Perumusan Masalah
Dalam penetapan harga kayu gergajian tergantung pada alur produksi kayu gergajian yang berimplikasi terhadap besar atau kecilnya korbanan biaya yang dikeluarkan. Secara umum, biaya yang terserap dalam proses produksi kayu gergajian adalah biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overheadpabrik dan biaya-biaya yang bersifat penunjang proses produksi. Kadangkala pada perusahaan penggergajian kayu berskala kecil (penggergajian kayu rakyat) tidak terlalu memperhatikan sistem akutansi yang lazim, proses pencatatan biaya tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Seringkali mengabaikan pencatatan biaya overhead pabrik dan biaya non produksi lainnya, sehingga biaya-biaya tersebut yang sebenarnya telah dikeluarkan tidak terhitung dan tidak menjadi komponen harga jual produk yang ditetapkan. Konsekuensi dari hal di atas adalah kurang telitinya penetapan harga jual dari produk yang dihasilkan, sehingga sulit melakukan pengendalian dan perencanaan dan pengambilan keputusan kurang tepat. Hal ini juga akan mengakibatkan efisiensi dan efektifitas industri kayu gergajian rendah.
Kapasitas produksi penggergajian tergantung dari kualitas bahan bakunya. Untuk bahan baku yang bagus CV X mampu mengolah lebih kurang 10 m3 bahan baku/hari sedangkan kualitas bahan baku yang kurang bagus hanya mampu lebih kurang 5 m3 bahan baku/hari.
Produk yang dihasilkan adalah kayu gergajian yang dengan berbagai dimensi ukuran mulai Balok, Kaso, Reng dan Papan. Perusahaan mengambil kebijakan penetapan harga jual dari masing produk berdasarkan harga pasar yang berlaku di daerah tersebut. Berdasarkan keterngan di atas di indikasikan bahwa CV X kurang memperhatikan serapan biaya pada proses produksi secara teliti dan cermat dalam penetapan harga jual produknya, sehingga perusahaan ini sulitnya melakukan pengendalian dan perencanaan
Pada proses pengendalian ada kemungkinan ditemukan penurunan biaya yang tidak seharusnya dikeluarkan sebagai bentuk peningkatan efisiensi. Penurunan biaya tersebut akan berdampak terhadap perubahan harga jual dari produk. Konsekuensi dari perubahan harga jual dan perubahan biaya, akan berdampak terhadap laba yang diterima oleh CV X. Pengaruh dampak perubahan biaya, harga jual dan volume penjualan terhadap perubahan laba yang diperoleh, setiap kebijakan yang telah diambil oleh CV X dapat dijadikan sebagai pedoman perencanaan yang kuat untuk memilih alternatif strategi dan tindakan pada periode produksi berikutnya. Pemilihan alternatif yang berdasar ini akan mengakibatkan pengambilan keputusan secara ekonomis rasional.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu usaha mengevaluasi industri kayu dalam hai ini CV X dalam rangka mewujudkan produk kehutanan yang kompetitif tidak terlepas dari kualitas produk kayu gergajian, sehingga mampu berkompetisi di pasar. Untuk mewujudkan produk yang kompetitif sangat tergantung seberapa besar biaya yang dikorbankan untuk memproduksi kayu gergajian dan kebijakan perusahan dalam penetapan harga jualnya. Disamping itu perlu dilakukan peningkatan efisiensi dengan melakukan pengendalian biaya sehingga CV X akan membayar serendah mungkin terhadap korbanan sumberdaya yang dikeluarkan.
Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah semua biaya yang terserap di CV X sudah tercatat secara sistematis ?
2. Apakah yang menjadi landasan dalam penetapan harga jual produk kayu gergajian (sawn timber) CV X?
3. Apakah CV X dalam memproduksi produk kayu gergajian masih mungkin melakukan pengendalian biaya dan merubah harga jual sebagai bentuk peningkatan efisiensi ?
4. Apakah dengan perubahan biaya dan perubahan harga jual masih memberikan keuntungan bagi CV X ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji struktur biaya dan landasan penetapan harga jual produk kayu gergajian di CV X.
2. Menganalisis biaya, selisih biaya dan perubahan harga jual terhadap keuntungan CV X.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan dasar pertimbangan kepada pemilik perusahaan dalam penetapan harga jual produk kayu gergajian. Disamping itu, penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk pengendalian biaya dalam rangka peningkatan efektifitas dan efisiensi proses produksi kayu gergajian sehingga perusahaan dapat melakukan perencanaan strategis akibat dari peningkatan efisiensi dan efektifitas tersebut. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai refrensi dalam penelitian-penelitian berikutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Proses produksi di CV X menghasilkan beberapa variasi dimensi produk kayu gergajian dari beberapa macam jenis bahan baku. Melihat dari prospek pengembangan hutan tanaman rakyat yang lebih cenderung memperhatikan pemilihan komoditas tanaman cepat tumbuh (fast growing) sehingga komoditas ini memiliki prospek sebagai pasokan bahan baku industri penggergajian kayu. Salah satu jenis tanaman kehutanan yang memiliki sifat fast grow tersebut adalah Sengon (Paraseriaunthes falcataria). Dengan sifat yang cepat tumbuh tersebut, memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Bogor Barat untuk menanam Sengon di kebun-kebun mereka. Hal ini diperkirakan pasokan kayu Sengon mampu menjamin ketersedian bahan baku industri penggergajian kayu.
Melihat prospek di atas penelitian ini akan dibatasi dengan menganalisis penetapan harga pokok pada beberapa produk yang diproduksi oleh CV X. Diantaranya adalah produk Kaso dari bahan baku Sengon dengan dimensi 5 cm x 7 cm x 280 cm (Kaso 57) dan produk Kaso dari bahan baku Sengon dengan dimensi 4 cm x 6 cm x 280 cm (Kaso 46).