Cari Kategori

Showing posts with label hukum islam. Show all posts
Showing posts with label hukum islam. Show all posts

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

SKRIPSI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (ANALISIS PASAL 83 UU RI NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradaban manusia yang terus berkembang, selalu diikuti pula oleh pergeseran tata nilai yang ada. Kehidupan manusia yang semula penuh dengan mitos kesakralan dalam segala aspek, lama kelamaan semakin memudar seiring bangkitnya modernitas. Maka tak heran bila kemudian timbul dampak yang luar biasa dahsyat dari perubahan tersebut, baik itu yang positif maupun negatif. Salah satunya adalah fenomena kejahatan termasuk dari sekian ekses yang semakin hari jenis dan modus operandinya semakin berkembang. Selain itu, kejahatan bukan semakin jauh dari kehidupan kita, namun justru semakin dekat bahkan bisa muncul di tengah-tengah kita kapan pun dan di mana pun.
Target atau korban kejahatan pun tampaknya tidak pandang bulu, siapa saja mempunyai peluang yang sama untuk bisa menjadi korban kejahatan, termasuk anak-anak yang belum mengenal dosa sekalipun. Bahkan kejahatan terhadap anak tersebut bermacam-macam bisa berupa, penculikan, penyiksaan, penganiayaan, mempekerjakan anak di luar batas kemampuan, pelecehan seksual bahkan bisa berupa perdagangan terhadap anak.
Salah satu aspek perbudakan moderen yang memprihatinkan adalah dijadikannya kehidupan manusia sebagai komoditi perdagangan. Yakni dengan menjadikan manusia sebagai obyek perdagangan. Dan termasuk anak-anak pun tak luput menjadi korbannya. Perdagangan anak merupakan kejahatan yang dapat merugikan masa depan anak. Dalam kasus perdagangan anak, anak secara paksa direnggut dari orang tua ataupun keluarga mereka. Perdagangan anak menyebabkan terganggunya jalan pengetahuan dan nilai-nilai budaya dari orang tua kepada anaknya dan dari generasi ke generasi yang membangun pilar utama masyarakat. Di samping itu perdagangan anak dapat merusak kebutuhan dasar seorang anak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan merusak hak anak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual.
Perdagangan anak juga merupakan kejahatan berskala internasional dalam bentuk perbudakan dengan berkedok buruh migran/TKW, eksploitasi seksual, pornografi, dan pelanggaran berat hak-hak anak lainnya. Perdagangan anak yang terjadi di Indonesia selalu menempatkan posisi korban pada penderitaan ganda. Selain jadi korban, mereka dihukum secara sosial melalui stigma, pengucilan atau kriminalisasi oleh masyarakat maupun Negara.
Di Indonesia persoalan penegakan hukum mengenai kasus perdagangan anak memang terus menerus dituding. Persoalan perdagangan anak memang menjadi kasus besar di negeri ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan para korban tersebut tidak menyadari bahwa dirinya dibujuk untuk dijual karena pelakunya adalah orang-orang yang mereka percayai seperti paman, tetangga, pacar, suami, bahkan orang tua.
Perdagangan anak dan perempuan di Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) terjadi peningkatan sindikat perdagangan bayi yang angkanya lebih dari 400 bayi. Mereka diperdagangkan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Selanjutnya khusus wilayah Jawa Timur, jumlah anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersial diperkirakan 14 ribu orang. Diketahui pula sedikitnya 100 ribu anak dan perempuan setiap tahun menjadi korban perdagangan manusia. Tujuan perdagangan anak selain untuk prostitusi, juga perbudakan, adopsi illegal, narkoba, dan penjualan organ tubuh. Mereka bukan hanya dijual di dalam negeri tapi juga keluar negeri seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, HongKong, Inggris, Brunei Darussalam, Jerman, dan Kanada.
Masalah perdagangan perempuan dan anak-anak merupakan masalah serius yang harus ditangani secara sungguh-sungguh. Pasalnya, persoalan perdagangan anak dan perempuan di Indonesia sedang mendapat banyak sorotan. Bahkan Indonesia dinyatakan menempati urutan terburuk di dunia bersama dengan beberapa negara lain di Asia dalam hal perdagangan anak dan perempuan. Bahkan beberapa lembaga donor telah memberi warning dengan menyatakan akan menghentikan bantuannya ke Indonesia jika tidak dapat segera memperbaiki keadaan tersebut, hal tersebut kemudian direspon oleh pemerintah dengan merumuskan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak.
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebuah undang-undang yang dirumuskan oleh pemerintah untuk menjamin hak anak yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak. Undang-undang ini mengartikan anak sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun dan melarang eksploitasi ekonomi atau seksual serta kekerasan dan pelecehan terhadap anak. Anak mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bagi bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga. Oleh karena itu kondisi anak perlu diperlakukan secara khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya Karenanya, dibutuhkan perlindungan khusus untuk menyelamatkan mereka.
Perlindungan anak sebenarnya bagian yang terintegral dengan penegakan hak asasi manusia. Namun di Indonesia penegakan HAM nampaknya tidak begitu memperhatikan aspek perlindungan anak. Tingginya angka kejahatan perdagangan anak menunjukkan belum seriusnya upaya pemerintah terhadap pelaksanaan perlindungan anak. Hal tersebut sama artinya negara juga belum serius dalam menegakkan hak asasi manusia.
Deskripsi di atas tidak dapat dibayangkan begitu besar kerugian mental maupun moral yang ditimbulkan oleh kejahatan perdagangan anak tersebut. Bagaimana tidak, anak adalah aset penting dari generasi sebuah bangsa, artinya masa depan sebuah bangsa di masa mendatang sangat ditentukan oleh keberadaan mereka yang sekarang masih menjadi anak-anak. Maka aset ini perlu untuk mendapat perlindungan yang sepantasnya. Lalu bagaimana fenomena kejahatan perdagangan anak ini dalam kacamata hukum pidana Islam ?
Prinsip anak dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT kepada manusia. Artinya kehidupan anak harus senantiasa diperhatikan, dididik, dijaga, serta dilindungi keberadaannya dari kesengsaraan (baik dimensi dunia maupun akhirat). 
Jenis kejahatan perdagangan anak memang tidak dikenal sebelumnya dalam literatur pidana Islam, baik itu jenis pidana maupun sanksi hukumnya. Namun pada prinsipnya Islam melarang semua bentuk kejahatan apapun, artinya semua perbuatan yang menimbulkan mudharat terhadap orang lain, dalam hal ini adalah anak. Kejahatan perdagangan anak adalah kejahatan yang betul-betul mengancam eksistensi keturunan/generasi dimana dalam Islam sangat dijunjung tinggi sebagai salah satu maqasyidu al-tasyri' (tujuan ditetapkannya syari'at) yaitu menjaga dan memelihara keturunan.
Para pelaku perdagangan anak ini harus mendapat hukuman berat sesuai dengan asas keadilan yang berlaku. Hukuman dalam Islam mempunyai tujuan untuk menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap anggota masyarakat baik yang berkenaan dengan jiwa harta dan kehormatan seseorang. Selain itu hukuman ditetapkan untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib sosial. Di sisi lain pemberian suatu hukuman adalah sesuai dengan konsep tujuan syari'at hukum, yaitu merealisasikan kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.
Kejahatan perdagangan anak ini adalah masalah serius, yang bila terlambat dalam menanganinya, maka akan semakin banyak korban berjatuhan dan akibatnya akan mengancam sebagian potensi generasi bangsa. Maka dalam hal ini upaya memberikan dukungan kepada semua pihak termasuk pemerintah terhadap penanggulangan kejahatan perdagangan anak. Bagaimana hukuman pelaku kejahatan perdagangan anak ini menurut hukum pidana Islam secara tepat dan adil. Maka secara lebih mendalam penulis akan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan berjudul : TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (ANALISIS PASAL 83 UU RI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK). Masalah pelindungan anak adalah masalah yang sangat kompleks dan tidak dapat diselesaikan secara perseorangan, tetapi harus secara bersama-sama, dan penyelesaiannya menjadi tanggung jawab kita semua.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah : 
1. Bagaimana tindak pidana perdagangan anak dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Hukum Pidana Islam ?
2. Bagaimanakah Sanksi hukum bagi Pelaku tindak pidana Perdagangan anak dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Hukum Pidana Islam ?

C. Tujuan Penulisan Skripsi
1. Untuk mengetahui tindak pidana perdagangan anak dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Hukum Pidana Islam ?
2. Untuk mengetahui sanksi hukum bagi Pelaku tindak pidana Perdagangan anak dalam Pasal 83 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Hukum Pidana Islam ?

D. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan skripsi menjadi beberapa bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub bab dengan maksud untuk mempermudah dalam mengetahui hal-hal yang dibahas dalam skripsi : 
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini meliputi : Latar belakang masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Dari bab ini dapat diketahui apa yang sebenarnya melatarbelakangi perlunya pembahasan penelitian ini. Selanjutnya dapat diketahui batasan dan rumusan masalah yang relevan untuk dikaji serta tujuan dan kegunaan yang hendak dicapai. Di samping itu dapat pula dicermati metode dan pendekatan apa yang digunakan dalam penelitian ini serta sistematik penulisan.
BAB II SYARI'AT ISLAM TENTANG JARIMAH DAN HADHONAH
Dalam menjelaskan landasan teori yang akan dibahas yaitu Pengertian jarimah unsur Jarimah dan pembagiannya, Pengertian Jarimah ta'zir, macam jarimah ta'zir dan hukuman jarimah ta'zir. Serta dibahas tentang ketentuan Hadhonah dalam Islam.
BAB III KETENTUAN SANKSI HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PASAL 83 UU RI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
Meliputi : Latar Belakang lahirnya UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sistematika UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Serta menerangkan unsur-unsur dan sanksi hukum pasal 83 UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
BAB IV TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. Dimulai dengan menganalisis bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam tentang Tindak Pidana perdagangan Anak dalam Pasal 83 UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya menganalisis bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap penggolongan perdagangan anak ke dalam jarimah ta'zir dan sanksi hukum dalam ketentuan pidana Pasal 83 UU. RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang Kesimpulan Saran-saran dan Penutup yang merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:47:00

WAKAF HAK CIPTA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

WAKAF HAK CIPTA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf di Indonesia sebagai penyempurna dari peraturan perundang-undangan yang telah ada, merupakan langkah yang perlu mendapat apresiasi dari umat Islam di Indonesia. Sebab, selain sebagai penjamin kepastian hukum wakaf, undang-undang tersebut juga menjamin unifikasi (penyatuan) hukum perwakafan di seluruh Indonesia.
Terdapat dua alasan yang mendasari dibentuknya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam penjelasan Undang-Undang tersebut. Dua alasan yang dimaksud adalah : 
1. Memajukan kesejahteraan umum untuk mencapai tujuan tersebut, potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis perlu digali dan dikembangkan. Dalam hal ini di antaranya adalah wakaf, yang pada awalnya berfungsi sebagai sarana ibadah dan sosial, menjadi pranata yang memiliki kekuatan ekonomi yang diyakini dapat memajukan kesejahteraan umum.
2. Praktek yang sekarang ada pada masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien. Salah satu buktinya adalah di antara harta benda wakaf tidak terpelihara dengan baik, terlantar, bahkan beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum.
Said Agil Al-Munawwar (mantan Menteri Agama, wakil dari Pemerintah yang berkedudukan sebagai pengusul Undang-Undang Wakaf), pernah menyatakan bahwa tujuan Undang-Undang Wakaf adalah : 
1. Menjamin kepastian hukum di bidang perwakafan.
2. Melindungi dan memberikan rasa aman bagi umat Islam sebagai Waqif.
3. Sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung-jawab bagi para pihak yang mendapat kepercayaan mengelola harta wakaf.
4. Sebagai koridor hukum untuk advokasi dan penyelesaian kasus-kasus perwakafan yang terjadi di masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terdiri atas 11 (sebelas) bab, 61 (enam puluh satu) pasal, meliputi pengertian tentang wakaf, nazir, jenis harta wakaf, akta ikrar wakaf dan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan, penukaran harta benda wakaf, bantuan pembiayaan badan wakaf indonesia, pembinaan dan pengawasan, sanksi administratif, ketentuan peralihan, ketentuan penutup.
Beberapa ketentuan hukum perwakafan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada perundang-undangan sebelumnya, antara lain adalah terkait dengan obyek wakaf. Jika dalam PP. No. 28 Tahun 1977 obyek Wakaf terbatas berupa tanah milik, maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terjadi perluasan obyek wakaf. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1, Ayat (5) yang menyebutkan bahwa harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Waqif. Lebih lanjut dipertegas dalam Pasal 16 harta benda wakaf terdiri dari : ayat (1) benda tidak bergerak, ayat (2) benda bergerak selain uang. Ayat (3) benda bergerak yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah benda yang tidak bisa habis karena konsumsi, meliputi : (a) uang (b) logam mulia (c) surat berharga (d) kendaraan (e) hak atas kekayaan intelektual (f) hak sewa (g) benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan kemudian muncul terkait keabsahan mewakafkan benda bergerak berupa hak cipta menurut perspektif hukum Islam. Sebab, fikih secara sistematik belum mengangkat hak cipta keilmuan, seperti hak paten atas merek dagang/merek perniagaan sebagai hak milik perorangan atau kelompok yang tunduk pada hukum perlindungan. Produk ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan seizin atau tanpa izin dari penemunya, justru tercatat sebagai akses perolehan pahala yang tetap berlanjut pasca kematian penemu ilmu tersebut. Selain itu, keberadaan hak cipta yang tidak berwujud (immateri) membutuhkan sebuah upaya penalaran terkait kelayakannya memasuki wilayah cakupan definisi harta benda wakaf yang telah ditetapkan oleh para Ulama Fikih. Apakah definisi benda wakaf itu mengacu pada sisi materiilnya dalam pengertian 'ain al-wakaf, ataukah mengacu pada sisi substansinya dalam pengertian manfaat dan hasilnya ? Pertanyaan kemudian berlanjut, dapatkah benda tak berwujud (immateri) seperti hak cipta yang belum dikenal di era para mujtahidin dan bahkan dalam fikih.
Berpijak pada keterangan di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian terhadap permasalahan tersebut yang tertuang dalam bentuk skripsi dengan judul Wakaf Hak Cipta dalam Perspektif Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka pembahasan skripsi ini dapat diidentifikasi sebagai berikut : 
1. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang- Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
2. Kedudukan dan prosedur wakaf hak cipta.
3. Akibat hukum dari wakaf hak cipta.
4. Berakhirnya wakaf hak cipta.
5. Obyek wakaf hak cipt a.
6. Perspektif hukum Islam tentang wakaf hak cipta.
Agar dalam pembahasannya lebih fokus dan tidak melebar, maka perlu adanya suatu pembatasan masalah sebagai berikut : 
1. Kedudukan, prosedur dan akibat hukum dari wakaf hak cipta.
2. Perspektif hukum Islam tentang wakaf hak cipta.

C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah pada penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kedudukan, prosedur dan akibat hukum dari wakaf hak cipta ?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam dan perundang-undangan terhadap wakaf hak cipta ?

D. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan pada penelitian ini berdasarkan urutan bab sebagai berikut : 
Bab kesatu merupakan pendahuluan yang memuat kerangka umum penelitian. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metodologi Penelitian, sistematika pembahasan.
Bab kedua menerangkan tentang pengertian wakaf, dasar hukum wakaf, rukun wakaf, syarat wakaf, dan obyek wakaf.
Bab ketiga memaparkan pengertian hak cipta, akibat hukum hak cipta, dan berakhirnya hak cipta, obyek hak cipta, kedudukan dan prosedur hak cipta.
Bab keempat merupakan analisis dan paparan perspektif hukum islam terkait keabsahan kedudukan hak cipta sebagai obyek wakaf, prosedur hak cipta, dan akibat hukum dari wakaf hak cipta.
Bab kelima merupakan bab terakhir, menyajikan butir-butir kesimpulan yang dirangkum dari hasil analisis per bab sesuai dengan rumusan masalah, dan saran-saran yang dipandang perlu.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:46:00

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PEDOFILIA

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PEDOFILIA


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang agung lagi sempurna dalam segala ciptaan-Nya, dan manusia adalah mahluk ciptaan-Nya yang sempurna, yang dianugerahi akal budi guna mengarungi dan menjaga kehidupan ini, jelas mempunyai hajat dasar sebagai makhluk hidup untuk tetap survive. Sebagian dari hajat dasar itu adalah respirasi, nutrisi, sekresi, dan reproduksi dalam mempertahankan kehidupan ini dengan keturunan.
Dalam aktifitas reproduksi ini, berkaitan dengan kebutuhan seksual, Allah tidak hanya menciptakan organ-organnya yang sempurna dan memberikan kenikmatan karunia-Nya. Namun seiring dengan hal itu Allah SWT memberikan aturan dan batas-batasan yang tegas dalam proses pemenuhannya, sehingga akan tercapai kualitas hidup yang lebih baik.
Hal itu dikarenakan oleh hubungan seksual merupakan hubungan yang menyenangkan dan melengkapi kehidupan manusia. Tindakan seksualitas dalam al-Qur'an bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhinya adalah dengan jalan pernikahan yang sah, dan barang siapa mencari yang selain itu maka ia termasuk orang yang melampaui batas.
Salah satunya adalah kasus pemerkosaan yang banyak menimpa kaum perempuan. Kasus-kasus pemerkosaan ini telah menjadi suatu masalah yang cukup memprihatinkan, yang lebih menyedihkan lagi kasus pemerkosaan ini tidak hanya menimpa perempuan dewasa saja, akan tetapi anak-anak perempuan masih di bawah umur yang menjadi korbannya. Kasus ini terjadi karena pelaku mempunyai kelainan seksual, yang mana seseorang kecenderungan seksual terhadap anak-anak yang masih di bawah umur, dan kasus seperti ini biasa disebut dengan pedofilia.
Pornografi biasa didefinisikan secara negatif, yaitu sebagai cara atau tindakan seksual yang tidak memiliki makna spiritual dan tidak berdasarkan perasaan halus, tidak memiliki konteks dengan masalah medis dan keilmuan umumnya, atau lebih jauh merupakan penggambaran dorongan erotis tidak untuk tujuan estetika.
Dalam rumusan lain, pornografi dilihat sebagai obyek yang menampilkan cara atau tindakan seksual secara terbuka yang dipandang menyimpang oleh khalayak. Sedangkan pencabulan berada dalam konteks etika dan hukum (legal). Dalam bahasa hukum di Indonesia, disebut sebagai kejahatan dan pelanggaran kesusilaan, kegiatan yang berkaitan aspek komunitas antara lain mencangkup nyanyian, pidato, tulisan, gambar atau barang, sedangkan sifat kejahatan dan pelanggaran kesusilaan itu antara lain menyinggung rasa susila, tidak patut bagi kesopanan, membangkitkan nafsu birahi.
Kriteria kejahatan dan pelanggaran kesusilaan pada dasarnya bersifat relatif. Dengan menyinggung rasa susila atau tidak patut bagi kesopanan atas suatu materi informasi, dengan sendirinya sangat tergantung pada penafsiran, bukan suatu pembuktian empiris. Sedangkan akibat yang ditimbulkannya adalah membangkitkan nafsu birahi, terlebih lagi bersifat relatif dan subyektif.
Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisme industrialisasi dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang hyper kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal dalam batin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri, demi kepentingan sendiri dan mengganggu atau merugikan orang lain. Perilaku menyimpang ini salah satunya adalah pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang biasa diistilahkan pedofilia.
Tindak pidana pedofilia secara eksplisit tidak diatur dalam hukum Indonesia tetapi hal ini harus dipahami tentang arti pedofilia sendiri yang di mana melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, dan anak sendiri itu dilindungi dari tindakan eksploitasi seksual yang terdapat dalam Pasal 13 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu : 
“Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya".
Bahwa bagi pelaku tindak pidana pedofilia dapat dikenai Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 82 yaitu : 
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Sebelum hadirnya undang-undang No 23 tahun 2002 para pelaku pedofilia dijerat dengan pasal 292 KUHP juncto pasal 64 tentang Pencabulan. Tuntutan maksimalnya 5 tahun, hal ini dipandang oleh banyak aktivis perlindungan anak sudah tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku. Prof Dr LK Suryani Sp.Kj mencontohkan soal kasus serupa di Pengadilan Negeri Singaraja pada tahun 2002. Menurut dia, lemahnya hukuman yang dijatuhkan kepada Mario Manara, terpidana 8 bulan penjara dalam kasus sodomi terhadap puluhan anak di Pantai Lovina, Singaraja, menyebabkan ada kecenderungan pelaku-pelaku yang belum tertangkap dan terungkap melakukan hal serupa. Tidak lama kemudian, seorang mantan diplomat Australia Brown William Stuart alias Tony terlibat kasus pedofilia pada tahun 2004. Untung keputusan hakim sungguh melegakan. Tony divonis 13 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Amlapura dan akhirnya ditemukan gantung diri hanya berselang 13 jam setelah divonis. itu merupakan kasus pedofilia pertama yang diputus dengan menggunakan UU No 23/2002.
Dari latar belakang di atas maka perlu adanya perlindungan anak secara konkrit baik substansial, struktural maupun kultural yang diharapkan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan dasar dari sejak lahir sampai dewasa akan semakin mantap sebagai generasi penerus masa depan bangsa dan Negara. Dari uraian diatas, penyusun berinisiatif mengangkat, mengembangkan dan menjadikannya sebagai karya tulis yang akan meninjau persoalan hukum pidana pedofilia dalam hukum Islam.

B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dapat dirumuskan sebagai berikut : 
Bagaimana kriteria dan pertanggungjawaban tindak pidana pedofilia menurut hukum pidana Islam ?

C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan Penelitian
a. Ingin mendeskripsikan kriteria dan pertanggungjawaban tindak pidana pedofilia dalam hukum pidana Islam.
2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai sumbangan bagi pengembangan hukum Islam dan hukum positif, khususnya yang berkenaan dengan tindak pidana pedofilia.
b. Untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk memerangi tindak kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual.
c. Dapat menjadi wacana atau rujukan bagi penelitian berikutnya.

D. Sistematika Pembahasan
Rangkaian pembahasan pada skripsi ini tersusun dalam lima bab. Pada bab pertama, sebagaimana lazimnya dimulai dengan pendahuluan yang berisi Latar belakang masalah, yang memaparkan secara ringkas hal-hal yang menjadi latar belakang munculnya masalah pedofilia dan sanksi terhadap pelakunya, yang dilanjutkan dengan pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka yang memaparkan isi dari buku-buku yang menjadi referensi penelitian ini, kemudian kerangka teori, metode penelitian serta sistematika pembahasan.
Pembahasan dimulai pada bab kedua, pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum tentang pedofilia, yang meliputi pengertian dan dasar hukumnya, kriteria tindak pidana pedofilia dan kemudian bagaimana pertanggungjawabannya dalam hukum pidana Indonesia. 
Pada bab ketiga menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai zina, dan sanksi atau hukuman bagi pelaku zina.
Pada bab keempat akan menguraikan analisa penulis mengenai tindak pidana pedofilia dari segi kriteria tindak pidana pedofilia dalam Hukum pidana Islam. Kemudian analisis dari segi sanksi terhadap pelaku tindak pidana pedofilia dalam hukum pidana Islam.
Bab kelima penutup, yang berisi kesimpulan sebagai hasil dari analisis masalah, saran dan masukan sebagai catatan atas masalah dan bisa digunakan sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang terkait maupun untuk penelitian selanjutnya. 

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:42:00

KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

SKRIPSI KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Secara alamiah manusia tidak mungkin dilepaskan dari kemajuan teknologi yang tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupannya, secara alamiah pula manusia tidak mungkin dilepaskan dari hukum yang tujuannya adalah menjaga eksistensi keberadaannya. Bagi manusia, teknologi tanpa disertai dengan hukum akan berakibat pada kekacauan (Chaos), yang pada gilirannya akan merusak pada kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya hukum yang semata-mata membatasi kemajuan teknologi akan memasung keberadaban manusia. Di sinilah perlunya keseimbangan antara hukum dan teknologi.
Perkembangan teknologi informasi yang melanda dunia dewasa ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipungkiri pula, bahwa perkembangan tersebut mempengaruhi tatanan aktifitas manusia. Kurang diimbangi dengan pemahaman yang baik dan memadai mengenai teknologi khususnya dalam perspektif hukum. Hal ini disebabkan, penekanan yang digunakan dewasa ini sangat Technology Minded (mengandalkan teknologi), padahal idealnya kita harus melihatnya secara holistik dengan berbagai sudut pandang tentunya, baik dari sudut teknologi, hukum, bisnis, maupun sosial. Sehingga transformasi teknologi dan industri yang kita harapkan dapat terlaksana.
Internet dengan berbagai kelebihannya ternyata banyak pula diperdebatkan. Perdebatan-perdebatan yang muncul ke permukaan, misalnya mengenai istilah-istilah hukum yang terkait dengan telematika itu sendiri, pendekatan apakah yang digunakan untuk menjawab perdebatan-perdebatan semacam ini apakah pendekatan formulatif atau aplikatif. Kemudian masalah pembuktian data elektronik, yang baru dikenal dalam sistem hukum kita yaitu Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masalah yuridiksi tentang pembajakan hak intelektual di internet dan permasalahan-permasalahan lainnya.
Eksistensi internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama budaya dunia lebih ditegaskan lagi dengan maraknya perniagaan elektronik (e-commerce) yang diprediksikan sebagai "bisnis besar masa depan" (the next big thing). E-commerce ini bukan saja telah menjadi mainstream budaya negara-negara maju, tetapi juga telah menjadi model transaksi termasuk Indonesia.
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian, tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan cyber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara. Aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik bagi pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik baru saja terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia. Dalam kenyataannya data yang dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah, di sadap, di palsukan dan di kirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat. Teknologi informasi telah menjadi instrument efektif dalam perdagangan global.
Persoalan yang lebih luas juga terjadi untuk masalah-masalah keperdataan, karena saat ini transaksi e-commerce (perniagaan secara elektronik) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Contoh kongkrit adalah untuk membayar zakat, atau berkorban pada saat Idul Adha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat pribadi, orang cukup melakukannya melalui internet. Bahkan untuk membeli majalah orang juga dapat membayar tidak dengan uang, tapi cukup dengan mendebit pulsa telepon seluler melalui fasilitas SMS. Pernyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukan hak cipta dan paten baru di bidang teknologi informasi.
Kondisi yang demikian pada satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat, karena memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktivitasnya, terutama dalam pemanfaatan informasi. Akan tetapi, fenomena tersebut dapat memicu lahirnya berbagai bentuk konflik di masyarakat sebagai akibat dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang cyber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengategorikan sesuatu dengan ukuran kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan dan objek perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber sangat berdampak nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus diklasifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum yang nyata.
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah pendekatan teknologi, kedua adalah pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum.
Kecanggihan teknologi komputer telah memberikan kemudahan-kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi komputer menyebabkan munculnya juga jenis kegiatan-kegiatan baru, yaitu dengan memanfaatkan komputer sebagai modus operandi. Penyalahgunaan komputer dalam perkembangannya menimbulkan permasalahan yang sangat rumit, terutama kaitannya dengan proses pembuktian tindak pidana (factor yuridis). Apalagi penggunaan komputer untuk tindak kejahatan itu memiliki karakteristik tersendiri atau berbeda dengan kejahatan yang dilakukan tanpa menggunakan komputer (konvensional). Perbuatan atau tindakan, pelaku, alat bukti ataupun barang bukti dalam tindak pidana biasa dapat dengan mudah diidentifikasi, tidak demikian halnya untuk kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan komputer.
Kemudahan yang diperoleh melalui internet tentunya tidak menjamin jaminan bahwa aktifitas yang dilakukan di media tersebut adalah aman dan tidak melanggar norma. Di situlah kita harus jeli dalam melihat permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat. Pengaturan cyber law Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Seperti di Asia Tenggara, Indonesia merupakan Negara yang bam memiliki perundang-undangan yang khusus mengenai cyber law. Salah satu isu dari cyber law yang semakin marak akhir-akhir ini adalah cybercrime atau kejahatan yang memiliki keterkaitan erat dengan teknologi informasi. Kejahatan yang terjadi melalui jaringan publik (internet) merupakan salah satu konsekuensi negatif dari suatu dunia yang tidak mengenai batas yurisdiksi. Kejahatan yang dikenal sebagai cybercrime ataupun computer crime Indonesia sebenarnya masih dapat ditangani dengan perundang-undangan pidana Indonesia yang masih berlaku (KUHP). Namun seringkali timbul pertanyaan mengenai relevansi pengaturan tersebut dengan jenis tindak pidana yang berkembang sekarang. 
Perbuatan melawan hukum di dunia cyber sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan hukum positif konvensional, Indonesia saat ini baru merefleksikan diri dengan Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau Negara maju seperti Amerika Serikat dan Negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi hukum cyber ke dalam hukum positif nasionalnya.
Salah saru implikasi teknologi informasi yang saat ini menjadi perhatian adalah pengaruhnya terhadap eksistensi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) disamping terhadap bidang-bidang lain seperti transaksi bisnis (elektronik) kegiatan e-government(sistem informasi pemerintah), dan Iain-lain, Kasus-kasus terkait dengan pelanggaran hak cipta dan merek melalui sarana internet dan media komunikasi lainnya adalah contoh yang marak terjadi saat ini.
Pembuktian tentang benar tidaknya melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting secara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan, sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat.
Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental yang lain, menganut bahwa hakim lah yang menilai alat bukti yang di ajukan dengan keyakinan nya sendiri dan bukan dari juri seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Anglo Saxon, Di Negara-negara tersebut, belakangan juri yang umum nya terdiri dari orang awam itulah yang menentukan salah tidak nya seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana.
Hukum pembuktian, yang tercantum dalam buku IV (keempat) dari Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengandung segala aturan pokok pembuktian dalam perdata, pembuktian dalam BW semata-mata hanya berhubungan dengan perkara saja, ada beberapa definisi yang di kemukakan oleh para sarjana hukum yang dapat dijadikan acuan, menurut Pitlo pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya, menurut Subekti yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan.
Berkenaan dengan bukti surat, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1867 KUHPer dikenal dengan pembagian katagori "tertulis" yakni : a) Akta otentik dan b) Akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dengan akta otentik lebih kuat dibanding dengan akta di bawah tangan karena mempunyai kekuatan, pembuktian formil, pembuktian mengikat, dan pembuktian keluar. Hal ini mengingat bahwa dalam pasal 1868 KUHPer dinyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk undang-undang, oleh dan di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu.(contoh akta jual beli tanah). dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008, menyatakan akan keabsahan alat bukti yang bersifat elektronik yaitu terangkum dalam Bab III pasal 5 ayat 1 : "Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah". dan pasal 5 ayat 2 : "informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagamana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia". Dalam pada pasal itu ada yang membahas tentang "informasi elektronik merupakan alat bukti yang sah " di sini dapat digarisbawahi bahwa yang merupakan alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan seperti apa yang dimaksudkan dengan pasal 1868 tersebut yaitu sama dengan akta otentik, hal ini diperinci oleh pasal 16 ayat 1 point (b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu "Dapat melindungi ketersediaan keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut".
Pembuktian dalam hukum acara pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam acara perdata, di mana dalam acara pidana pembuktian bersifat materiil sedangkan untuk acara perdata bersifat formil. Oleh karena itu, sekiranya dicurigai terhadap alat bukti telah dipalsukan. Persidangan acara perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut, Dalam hukum acara perdata pembuktian formil yang dimaksud pada pokok nya adalah cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak.
Alat bukti dahulu diatur dalam pasal 295 HIR yang macam nya sebagai berikut : 
a. Keterangan saksi/kesaksian-kesaksian
b. Surat-surat
c. Pengakuan
d. Petunjuk/isyarat-isyarat
Lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP, Alat-alat bukti yang dikenal hukum acara pidana adalah : 
a. Surat
b. Keterangan saksi
c. Petunjuk
d. Keterangan ahli, dan
e. Sumpah 
Sementara itu, untuk acara perdata pasal 164 HIR (Herizein Inlands Reglement), atau RIB (Reglement Indonesia yang Diperbarui) staatsblaad 1941 No. 44 dan 1866 KUHPer adalah (a) Surat, (b) Pengakuan, (c) Persangkaan, (d) Bukti saksi, dan (e) Sumpah. Berdasarkan hal tersebut, Jika kita cermati keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem tersebut berjalan baik tanpa gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir sebagaimana mestinya.
Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem informasi yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan dengan dua jenis kekuatan pembuktian, valid dan tidak valid, atau layak atau tidak untuk di percaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri, jika ia memenuhi kriteria standar, sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, Sistem telah dapat dijamin sebagaimana mestinya dan output informasi dapat dinyatakan valid dan otentik secara substansial sehingga informasi tekstual tersebut dapat diakui di persidangan dan layaknya diterima paling tidak sebagai alat bukti surat atau bukti tulisan.
Ternyata pemerintah Indonesia dengan serius akan menindaklanjuti ke setiap website (situs informasi) untuk selalu menjaga norma-norma dan etika dalam penggunaan fasilitas dunia maya (cyber space) ini terlihat dari berbagai situs-situs yang oleh pemerintah Indonesia di blokir, dengan hal tersebut, banyak pengguna Internet menganggap situs resmi pemilik saham.
Salah satu konsep pembuktian dalam hukum islam adalah adanya alat bukti petunjuk (karinah) dan keterangan saksi (syahadah). Dari teori tersebut akan terlihat jelas bagaimana hukum pidana islam ternyata sudah mempunyai alur sistem pembuktian hingga zaman kemajuan dalam teknologi.
Dalam berbagai kasus cybercrime di Indonesia seperti sejumlah pemuda dari Medan yang memasang iklan  di web yang sangat terkenal "yahoo" yaitu dengan menjual mobil mewah Ferrari dan Lamborghini dengan harga murah sehingga menarik minat seorang pembeli dari Kuwait. Steven Haryanto seorang hacker dari Bandung ini sengaja dengan membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia (BCA). Dani Hermansyah tahun 2004 melakukan deface (perubahan pada tampilan ataupun penambahan materi pada suatu website yang dilakukan oleh hacker) dengan mengubah nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id. Yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu. Dan terakhir adalah kasus Erick Jazier Adriansjah yang menyebarkan berita bohong mengenai lima Bank yang mengalami krisis likuiditas dengan menyebarkan lewat e-mail, faks dan pesan pendek kepada sejumlah kantor dan nasabah. Semua pelaku tersebut diatas ditangkap oleh kepolisian dengan petunjuk.
Dari berbagai permasalahan diatas maka penulis sangat tertarik untuk membahas akan permasalahan tersebut dengan membuat skripsi dengan judul. "KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF"

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berawal dari banyaknya permasalahan yang ada dalam pembahasan tentang perkara Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penulis membatasi ruang lingkup skripsi ini hanya pada beberapa pokok masalah terpenting saja baik dari segi Normatif yaitu : hanya membahas tentang kekuatan bukti-bukti elektronik yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan hukum Islam, Serta peraturan lain yang di anggap relevan, Maupun dari segi aplikasinya atau penerapan pasal-pasal tersebut dalam tatanan hukum pidana Indonesia saat ini.
Untuk mencapai hasil yang maksimal, perlu adanya rumusan-rumusan masalah sebagai berikut : 
1. Apa yang dimaksud dengan Pembuktian elektronik ?
2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti elektronik tersebut dalam hukum positif ?
3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap alat bukti elektronik tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan alat-alat bukti elektronik dalam hukum positif dan hukum Islam
2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan alat-alat bukti elektronik dalam proses peradilan serta dampaknya bagi kehidupan manusia
3. Memperoleh gambaran relevansi Normatif dari Perundang-undangan yang mengatur masalah alat-alat bukti elektronik.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : 
a. Segi Teoritis
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pandangan hukum positif dan hukum Islam tentang alat-alat bukti Elektronik yang terus berkembang di Indonesia.
b. Segi Praktis
Mengetahui bagaimana korelasi pasal-pasal dalam hukum positif dan hukum Islam mengenai implementasi penerapan alat bukti elektronik di peradilan. 

D. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut : 
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II Menguraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan tinjauan umum tentang alat-alat bukti elektronik, sistem pembuktian, dan alat-alat bukti dalam kaedah hukum positif dan hukum islam .
BAB III Dalam bab ini penulis membahas tentang pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara pidana, sekilas tentang elektronik, alat bukti elektronik, modus operandi kejahatan dunia maya (cyber crime), penyidikan tindak pidana, dan berbagai kebijakan/ peraturan alat bukti elektronik.
BAB IV Dalam bab ini penulis menguraikan kajian hukum yang berkaitan tentang, Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Positif. Kekuatan alat bukti elektronik dalam hukum islam, Pendapat para imam mazhab berkaitan dengan alat bukti elektronik. Dan pendapat penulis berkaitan dengan kekuatan alat bukti elektronik.
BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran 

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 14:12:00

ANALISIS FATWA MUI TENTANG PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

SKRIPSI ANALISIS FATWA MUI TENTANG PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam dan syari'at Islam mengatur semua aspek kehidupan, etika, dan sosial, dan meliputi perkara-perkara pidana maupun perdata. Syari'at bersifat komprehensif, mencakup seluruh aktifitas manusia, menentukan hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Hubungan dengan sesama manusia adalah dengan bermuamalah, salah satu diantara ajaran Islam kepada umatnya dalam bermuamalah ialah tentang hak milik.
Islam mengakui hak milik pribadi dan menjadikan dasar bangunan ekonomi. Itu akan terwujud apabila ia berjalan pada porosnya dan tidak keluar dari batasan Allah, diantaranya adalah memperoleh harta dengan jalan yang halal yang disyariatkan dan mengembangkannya dengan jalan yang halal yang disyariatkan pula. Karena itulah hak tersebut wajib dilindungi, salah satu hak yang wajib dilindungi yaitu hak cipta, yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual. Hak Cipta adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak cipta yang orisinal dan bermanfaat digolongkan sebagai harta yang sangat berharga. Indonesia dikenal sebagai salah satu 'surga' peredaran barang-barang bajakan dan ilegal. Segala barang bajakan dan tiruan dapat ditemukan dengan mudah di negeri ini. Di banyak pusat perniagaan aneka produk bajakan alias palsu seperti : barang elektronik, buku, kaset musik, film, software, hingga obat sekalipun dijual bebas. Tak heran, jika Indonesia pada 2007 tercatat berada di urutan lima besar negara dengan tingkat pembajakan dan pelanggar terbesar hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Potensi kerugian dari praktik tersebut sangatlah besar. Untuk produk software (perangkat lunak) saja, berdasarkan data International Data Corporation (IDC), potensi penghasilan yang raib mencapai 544 juta dolar AS per tahun. Sebetulnya, langkah penertiban dan penindakan kerap dilakukan. Nyatanya, praktik pembajakan masih tetap saja dilakukan.
Padahal secara yuridis, Indonesia cukup produktif dalam membuat perangkat undang-undang khususnya Tentang Hak Kekayaan Intelektual, diantaranya UU hak cipta (UUHC) No. 6 tahun 1982 mengatur tentang Hak Cipta. Saat ini pengaturan tentang hak cipta dapat kita temukan dalam Undang-Undang yakni : UU No. 19 tahun 2002 mengatur tentang Hak Cipta, UU No. 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek.
Adanya beberapa ketentuan dari perundang-undangan di atas dinyatakan bahwa Indonesia telah memberikan perlindungan terhadap hak Kekayaan Intelektual khususnya dibidang Hak Cipta. Dibentuknya beberapa undang-undang tersebut sebagai hukum yang berlaku di Indonesia dan untuk melindungi hak cipta. Namun Dalam enam bulan, yakni selama Januari-Juni 2009, sebanyak 146 kasus telah disidik polisi," Sementara itu, terhadap pelanggaran hak cipta yang menggunakan sarana optical disk, telah ditindak sebanyak 128 kasus, dengan 138 tersangka dan barang bukti sebanyak 385.659 keping CD, termasuk 47.126 keping CD porno. Dari 128 kasus itu, sebanyak 21 kasus sudah P-21, sedangkan sebanyak 107 kasus masih dalam proses.
Atas keprihatinan terhadap perlindungan hak cipta, maka aparat dan masyarakat harus memiliki kesadaran bersama dari mulai penegak hukum sampai pada pelaku ekonomi atau masyarakat bawah terhadap pentingnya perlindungan terhadap hak cipta. Salah satu dari mereka adalah lembaga para ulama yang ada di Indonesia, yakni Majelis Ulama Indonesia. Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang terdiri dari berbagai ulama dan cendikiawan muslim, lewat ketua komisi fatwa MUI, KH. Ma'ruf Amin, secara resmi mengumumkan fatwa tentang haramnya produk-produk bajakan. Hal ini Termaktub dalam fatwa MUI Nomor : 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, yang ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H. 29 Juli 2005 M.
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul dari hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia dan diakui oleh Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual dari yang bersangkutan sehingga memberikan hak privat baginya untuk mendaftarkan, dan memperoleh perlindungan atas karya intelektualnya. Dalam hal ini melihat penduduk Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, maka dengan jelas dikatakan bahwa umat Islam wajib mengambil sesuatu itu dari yang halal, bukan dari hasil memalsu.
Seperti disebutkan dalam firman Allah SWT, dalam surat An-Nisa ayat 29, yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Inti dalil diatas dijelaskan bahwa larangan memakan harta orang lain secara batil (tanpa hak) dan larangan merugikan hak orang lain.
Sampai disini perlindungan terhadap hak cipta sama pentingnya dengan perlindungan ekonomi, terutama dalam bidang perdagangan. Kasus-kasus terkait dengan pelanggaran hak cipta dan merek melalui sarana internet dan media komunikasi lainnya adalah contoh yang marak terjadi saat ini. Disamping memberikan manfaat, tingginya pengguna teknologi informasi justru telah memberi akibat berupa ancaman terhadap eksistensi karya cipta dan hasil temuan yang ditemukan oleh para penemu hak kekayaan intelektual. Karya-karya intelektual berupa program komputer dan objek-objek hak cipta yang ada di media internet dengan sangat mudah dilanggar, dimodifikasi dan digandakan. Selain itu objek HKI lainnya, seperti merek juga menjadi objek pelanggaran terus-menerus di internet, hal yang terakhir ini bahkan seringkali berkembang menjadi perbuatan persaingan tidak sehat.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam bentuk skripsi mengenai Bagaimana pandangan Fatwa MUI terhadap layanan foto copy buku berhak cipta. Serta Untuk mengetahui ketentuan hukum Fatwa MUI No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 terhadap pelanggaran hak cipta.

B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang memerlukan pembahasan yang mendalam. Adapun permasalahan yang penulis angkat adalah : 
1. Bagaimana latar belakang lahirnya Fatwa MUI No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ?
2. Bagaimana pengaruh Fatwa MUI No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 terhadap pelaksanaan layanan foto copy buku berhak cipta ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini diharapkan penulis mampu mengkaji dan memberi jawaban secara jelas dari kedua permasalahan diatas, yaitu : 
1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Fatwa MUI No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual copy buku berhak cipta, kemudian membuat kesimpulan akhir berdasarkan data-data yang telah diperoleh dan telah diolah.
2. Untuk mengetahui pengaruh Fatwa MUI No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 terhadap pelaksanaan layanan foto copy buku berhak cipta.

D. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dan mengetahui dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut : 
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Pada bagian ini akan dibahas tentang hak milik dan hak cipta dalam hukum Islam yang didalamnya akan dibahas tentang pengertian, sebab-sebab, serta macam-macam kepemilikan dalam hukum Islam.
BAB III : Merupakan pembahasan tentang Fatwa MUI No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di dalamnya dibahas mengenai profil lembaga MUI, pengertian fatwa, pelaksanaan fatwa tentang HKI dalam kasus layanan foto copy buku berhak cipta, dalam bab ini juga dicantumkan tentang isi dari Fatwa MUI No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
BAB IV : Berisi tentang Analisis latar belakang lahirnya fatwa MUI Fatwa MUI No. 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, dan pengaruh fatwa MUI terhadap pelaksanaan layanan foto copy buku berhak cipta.
BAB V : Merupakan bagian penutup dari rangkaian penulisan skripsi yang penulis buat, yang akan diuraikan tentang kesimpulan seputar penulisan skripsi, saran-saran yang berkaitan dengan penulisan skripsi, dan penutup. 

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 14:10:00

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA

SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dampak globalisasi menciptakan dunia usaha semakin kompetitif, kosmopolit (kesejagatan) dan munculnya berbagai macam inovasi baru. Aspek globalisasi yang mendatangkan perhatian cukup besar dari para pakar adalah apa yang berkaitan dengan globalisasi ekonomi, karena pentingnya ekonomi di masa kita sekarang ini dan pengaruhnya terhadap politik nasional, dan internasional. Dampak globalisasi terhadap ekonomi sangat jelas dapat dilihat oleh semua orang yang pengaruhnya sangat dirasakan oleh produsen, konsumen, pasar dan distributor.
Untuk mengantisipasi kondisi yang demikian, salah satu upaya yang ditempuh manusia adalah dengan bekerja dan berusaha. Bekerja dan berusaha, termasuk berwirausaha, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam, karena keberadaannya sebagai khalifah di bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Hud (11) ayat 61 : 
Artinya : “Dia (Allah) telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya". (QS. Hud 11. Ayat : 61)
Islam telah mengatur ekonomi secara spesifik. Hal ini dimaksudkan agar umatnya dapat melakukan kegiatan ekonomi tidak keluar dari aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Bentuk dan jenis kegiatan ini bermacam-macam, diantaranya jual beli (bai'), gadai (rahn), perseroan dagang (syirkah), pinjam-meminjam ('ariyah), penggarapan tanah (muzaro'ah dan mukhabaroh) dan sebagainya. Islam membebaskan kepada pemeluknya untuk melakukan kerja sesuai dengan minat dan bakatnya, atau sesuai dengan keahliannya, namun juga harus dalam koridor hukum dan aturan yang telah ditetapkan.
Bentuk dari kerja dan usaha manusia baik perseorangan maupun kelompok dan kelembagaan adalah salah satunya dengan mengadakan kerjasama atau kemitraan (musyarakah) dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam menjalankan perusahaan.
Sedemikian pentingnya kerjasama di dunia global itu, hingga tidak ada lagi orang, lembaga atau perusahaan yang berhasil dengan bekerja sendiri tanpa bekerja sama dengan pihak lain. Namun perlu disadari bahwa kerjasama baru bisa mendatangkan keuntungan, kemajuan, dan keselamatan bagi kedua belah pihak, bila keduanya menjalankan hak dan kewajibannya dalam kerjasama itu, di samping adanya komitmen yang tinggi dalam memelihara kerjasama yang telah terjalin.
Dalam melakukan suatu usaha tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, apalagi untuk meraih kesuksesan, perlu adanya proses yang panjang di samping dibutuhkan keuletan, kesabaran dan lain sebagainya. Banyak perusahaan yang pailit bahkan gulung tikar oleh sebab pemilik perusahaan yang tidak memilki semangat bertahan (survive) dan keuletan terhadap rintangan dan derasnya persaingan bisnis, serta kurangnya kesabaran dalam menghadapi dan menyikapi segala hal yang mungkin atau bahkan sering terjadi dalam berbisnis, seperti sikap terhadap beraneka ragam perilaku konsumen yang tidak selalu menyenangkan hati, promosi yang tidak efektif, mitra bisnis yang bermasalah dan sebagainya. Intinya semua itu membutuhkan sikap-sikap positif untuk menghadapi segala permasalahan yang muncul dalam berbisnis. Namun demikian ada banyak perusahaan yang berkembang pesat baik dalam skala nasional maupun internasional. Meskipun tingkat persaingan usaha semakin lama semakin ketat, namun selalu ditemukan perusahaan-perusahaan baru yang bergerak di berbagai bidang usaha seperti jasa, transportasi, rumah makan, dan lainnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sedang melakukan ekspansi dalam dan luar negeri.
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu perusahan tidak bisa lepas dari berbagai macam faktor yang mempengaruhinya. Di antara faktor yang banyak itu dapat dikelompokkan ke dalam dua faktor besar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya produk atau jasa yang ditawarkan, sumber day a manusia termasuk sikap mental pengusaha dan pekerjanya, finansial, alam dan lainnya yang dimiliki. Sedangkan faktor eksternal adalah besarnya pasar, perkembangan ekonomi, sosial, politik (lokal maupun global), tingkat persaingan dan sebagainya.
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dan mutlak diperlukan adalah seberapa besar jaringan (network) yang dimiliki oleh perusahaan (katakan kalau itu adalah sebuah perusahaan). Secara sederhana bisa kita ibaratkan sebuah jaringan usaha adalah jaring laba-laba. Semakin besar jaring laba-laba, maka kemungkinan mendapatkan tangkapan (mangsa) juga lebih besar. Demikian juga jika semakin besar jaringan (network) yang dimiliki oleh sebuah perusahaan maka kemungkinan untuk sukses lebih besar, karena peluang dan kesempatan akan jauh lebih terbuka. Dapat dicontohkan apabila Seorang pengusaha memiliki relasi bisnis maupun non-bisnis seperti pejabat, politisi, hakim, pengacara dan lain-lain kemungkinan akan sukses semakin besar. Relasi bisnis berguna untuk mengembangkan bisnisnya sehingga perusahaan akan semakin besar dan bonafid. Perusahaan juga kemungkinan akan menghadapi persoalan-persoalan yang menyangkut hukum, pembebasan tanah, sengketa, dan kasus lain yang -tanpa melihat tendensi baik atau buruknya cara yang digunakan -membutuhkan orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Dengan memiliki relasi di berbagai bidang, maka dengan lebih mudah seorang pengusaha melancarkan usahanya menuju kesuksesan.
Bagi usaha kecil yang mempunyai modal mepet, membutuhkan lompatan besar untuk menjadi besar. Dengan mengadakan kerjasama atau membuat network dengan orang lain atau badan usaha lain tentu persoalan modal atau dana akan lebih terbantu.
Salah satu bentuk kerjasama yang populer di era sekarang ini adalah bentuk kerjasama yang sering disebut dengan franchising/ waralaba. Usaha kecil kadangkala dapat tumbuh melalui suatu kinerja yang dikenal sebagai franchise. Dalam pengaturannya, perusahaan yang berhasil memberi wewenang kepada seseorang atau sekelompok kecil usahawan untuk menggunakan namanya dan produknya, dengan pertukaran sejumlah prosentase keuntungan hasil penjualannya. Perusahaan pendiri meminjamkan ahli-ahli penjualan dan reputasinya, sedangkan usahawan yang menerima bantuan waralaba ini mengusahakan outlet-nya secara individu, dan menanggung urusan keuangan dan resiko saat melakukan ekspansi.
Meskipun memasuki usaha waralaba agak lebih mahal dibanding memulai usaha sejak dari awal, tetapi biaya operasional waralaba lebih kecil dan kemungkinan gagal juga lebih kecil. Hal ini karena sebagian keuntungan skala ekonomi yang diperoleh waralaba, berasal dari periklanan, distribusi dan pelatihan. Di samping itu juga terdapat beberapa mitos, bahwa orang yang memasuki dunia bisnis waralaba akan sukses, karena bisnis ini adalah bisnis yang aman, penerima waralaba berada dalam bisnisnya sendiri dan senantiasa didukung oleh pemberi waralaba.
Waralaba memang sedemikian kompleks, dan jauh bertebaran sehingga orang tidak mempunyai gambaran yang tepat mengenai usaha ini. Di Amerika Serikat diperkirakan ada sekitar 535.000 usaha waralaba pada tahun 1992, termasuk dealer mobil, pom bensin, restoran, real estate, hotel dan motel serta usaha laundry. Ini meningkat 35 persen dibanding tahun 1970. Kenaikan penjualan outlet waralaba antara tahun 1975 dan tahun 1990 jauh melampaui outlet yang non-waralaba, dan bisnis waralaba diduga menyerap sekitar 40 persen angka penjualan ritel di Amerika Serikat pada tahun 2000.
Directory Franchise Indonesia yang diterbitkan oleh Asosiasi 10 Franchise Indonesia (2002) mengungkapkan; bahwa di Indonesia sampai Mi 2001 terdapat 230 waralaba asing dan 42 waralaba local, dengan perbandingan 5 : 1. Pada tahun sekarang dan akan datang diperkirakan bisnis sistem franchise/waralaba juga akan semakin banyak. Perusahaan lokal sampai perusahaan asing berebut untuk mencari pangsa pasar di negeri kita ini. Kita mengenal adanya Mc Donald, Pizza Hut, Coca - Cola, Kentucky Fried Chicken, CFC, Es lilin 77, Indomaret, dan tidak ketinggalan adalah Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Semua bentuk usaha di atas adalah menerapkan sistem franchise/waralaba.
Ada banyak cara untuk membuka usaha, ada banyak pula jalan dan strategi yang bisa ditempuh para pengusaha supaya bisnisnya bisa bergulir. Bisa dengan cara konvensional, yakni mengembangkan usaha sendiri tanpa perlu melakukan perkongsian, yang penting bisa mengaktualisasikan jiwa kewirausahaannya. Seperti halnya mahasiswa yang ingin menambah uang sakunya dengan cara jualan nasi kucing di malam hari, atau jualan buku di kampus ketika ada momen -momen tertentu. Ada juga orang yang membuat toko di rumahnya dan berjualan barang-barang kelontong. Semuanya itu adalah contoh bisnis dengan cara konvensional.
Bisnis menjual nama besar perusahaan atau merek yang sukses, rupanya cukup ampuh menggoda para pelaku bisnis untuk memilih model waralaba. Pihak pemilik merek (franchisor) tidak perlu repot-repot menyediakan modal untuk ekspansi. Sementara, pihak yang memakai merek (franchisee) juga tidak perlu kerja keras membangun merek yang biasanya memakan waktu cukup lama dan biaya yang relatif besar. Bisa dibayangkan apabila memasang iklan di TV, dalam durasi sekian detik saja memakan biaya ratusan bahkan miliaran rupiah. Belum lagi sosialisasi kepada masyarakat tentang produknya itu tentu tidak hanya satu atau dua kali, tetapi harus berulang kali dan terus - menerus agar mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat. Dengan mengadakan kerjasama melalui bisnis waralaba, maka pihak franchisor akan berkewajiban mensosialisasikan produknya sehingga pihak franchisee tidak perlu bersusah payah untuk bersosialisasi. Jadi di sini dapat dilihat bahwa antara keduanya terjadi hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Waralaba sebenarnya adalah bagian dari strategi marketing seperti halnya retailing, multilevel marketing, direct selling, dan sebagainya, yang semuanya bertujuan untuk memperluas jaringan usaha. Ada benang merah yang membedakan antara waralaba dengan strategi marketing lainnya, yaitu terdapat mekanisme hubungan kemitraan yang berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan.
Rumah Makan "Ayam Bakar Wong Solo" merupakan salah satu dari sekian banyak perusahaan lokal yang menerapkan sistem Waralaba. Ketertarikan Puspo Wardoyo sebagai pendiri Rumah Makan Wong Solo ini tak lepas dari prospek warung makannya yang semakin diminati oleh konsumen dan keinginannya untuk mendirikan cabang, bukan hanya di kota Medan, melainkan juga di kota-kota lain. Karena hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka Puspo melirik bisnis waralaba, dan ternyata setelah beberapa tahun, bisnisnya semakin melaju pesat. Ada sekitar 40 outlet lebih tersebar di Indonesia bahkan di luar negeri. Keberadaannya yang semakin berkembang, tentunya tidak lepas dari dua faktor di atas, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
Ada faktor yang sangat penting dalam hubungannya dengan mengadakan bisnis waralaba ini, yaitu akad perjanjian. Sebenarnya akad perjanjian ini tidak hanya terdapat dalam bisnis waralaba saja, melainkan harus ada dalam setiap kerjasama (bisnis). Harus ada kesepakatan yang jelas antara para pihak agar tidak terjadi perselisihan atau tindakan wanprestasi yang dapat merugikan salah satu pihak.
Pengalaman menunjukkan banyak sekali kerjasama yang telah membawa pelakunya menuju kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Namun banyak pula kerja sama yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan menekan pihak lain, jika bukannya akan menghancurkan keduanya. Itulah sebabnya masalah kerjasama, terutama dalam dunia perusahaan menjadi salah satu aspek yang sangat penting untuk dibicarakan dan dikaji secara mendalam.
Penulis, dalam hal ini, tertarik untuk membahas masalah perjanjian (akad), karena mau tidak mau, hal ini menjadi sangat penting demi kemaslahatan antar pihak yang melakukan kerjasama dan menghindarkan terjadinya ketidakadilan serta cacat hukum. Penulis memfokuskan kajian ini dan mengambil obyek bisnis waralaba Warung Makan "Ayam Bakar Wong Solo", yaitu perjanjian waralaba antara Puspo Wardoyo sebagai pemilik merek dagang dengan Dicky Margono Budi sebagai pembeli merek dagang. Penulis menitikberatkan permasalahan kerjasama ini ditinjau dari hukum Islam, melihat bahwa rumah makan "Wong Solo" menggunakan brand Islam untuk menilai produknya (halalan thayyiban) dan telah mengklaim dirinya menggunakan kaidah-kaidah Islam (syari'ah), diantaranya adalah Wong Solo wajib menginfakkan sepuluh persen dari hasil outlet untuk kepentingan umat, dan setiap outlet yang akan menjalankan operasinya setiap hari diawali dengan pemberian mau'idlah kepada karyawan, agar pengetahuan tentang agama lebih dimengerti dan betul-betul menjadi ciri khas "Wong Solo". Para karyawan wanitanya pun diharuskan memaki jilbab.
Ketika pertama kali penulis melakukan pra-riset di rumah makan "Wong Solo", penulis merasakan adanya hal yang cukup berbeda, mulai dari sambutan yang ramah, suasana yang Islami dan ruangan yang bernuansa jawa yang indah. Ini merupakan salah satu strategi dalam menarik konsumen dan upaya dakwah untuk mensosialisasikan islam melalui bisnis.
Di antara para pembeli waralaba "Wong Solo" adalah bukan semuanya berasal dari kalangan orang asing, artinya mereka sebelumnya tidak ada hubungan bahkan tidak kenal dengan Puspo ataupun "Wong Solo", tetapi ada kalangan yang berasal dari teman-teman beliau ketika kecil dulu. Bahkan ada sopir pribadi beliau yang ikut memiliki saham di outlet yang berada di Sragen.
Meskipun praktek bisnis waralaba telah berkembang pesat baik di dalam negeri maupun di luar negeri, namun dalam Islam sendiri belum ada kepastian hukum mengenai praktek waralaba yang dibolehkan, yang ada hanyalah mengkiyaskan dengan praktek bisnis yang telah dilakukan oleh rasul maupun yang disetujui oleh rasul, itu pun dalam kerangka yang amat sederhana, sedangkan sekarang ini muncul dan berkembang berbagai macam bisnis yang belum bahkan sama sekali berbeda dengan apa yang ada pada zaman dulu. Apalagi kalau berbicara masalah kontrak atau akad yang dibuat, tentu akan didapati bermacam-macam akad yang dibuat berdasarkan kepentingan masing-masing, meskipun telah ada peraturan negara yang mengaturnya. Namun sekali lagi itu hanya merupakan garis-garis besar yang perlu ditafsirkan lagi ketika berhadapan dengan dunia praktis.
Berpijak pada hal inilah penulis ingin mengetahui bagaimana praktek bisnis waralaba yang dijalankan oleh Wong Solo, serta bagaimanakah Hukum Islam melihat hal tersebut.

B. Rumusan masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan diatas, ada beberapa rumusan masalah yang bisa diambil : 
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian bisnis Waralaba (Franchising) Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo dalam kaca mata Hukum Positif Indonesia ?
2. Bagaimana landasan hukum Islam terhadap konsep perjanjian bisnis waralaba (Franchising) yang dijalankan oleh Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo ?

C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan di atas, maka dalam menyusun skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai penulis, di antaranya sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan akad perjanjian bisnis Waralaba di Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo.
2. Untuk mengetahui landasan hukum konsep bisnis waralaba Pada Warung Makan Ayam Bakar Wong Solo.

D. Sistematika Penulisan
Sebagai jalan untuk memahami persoalan yang dikemukakan secara runtut atau sistematis maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut : 
Bab I terdiri dari Pendahuluan, Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Telaah Pustaka dan, Sistematika Penulisan. 
Bab II yaitu tentang Teori Akad dalam Islam, yang terdiri dari sub bab : terminologi akad dan Dasar Hukumnya, Syarat dan Rukun Akad, obyek akad, tujuan akad, Hal yang Membatalkan Akad, Tinjauan Umum tentang Waralaba, dan Konsep Syirkah Sebagai Bentuk Awal dari Waralaba. 
Bab III yaitu membahas tentang Perjanjian Waralaba (Franchising) Rumah Makan Wong Solo, dengan sub bab profil Wong Solo dan Prosedur bisnis waralaba Wong Solo. 
Bab IV, penulis akan memaparkan Analisis Hukum Islam Terhadap Perjanjian Waralaba (Franchising) Rumah Makan Wong Solo. Di dalamnya akan dibahas tentang Pelaksanaan Perjanjian Wong Solo dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia dan Analisis Hukum Islam Terhadap Akad Bisnis Waralaba (Franchising) Rumah Makan Wong Solo serta Analisis Penerapan Hukum Islam Dalam Praktek Waralaba (Franchising) Rumah Makan Wong Solo. 
Bab V yang berisi Penutup, yang terdiri atas sub bab Kesimpulan, Saran-Saran dan Penutup.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:09:00

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK MENGENAI KEKERASAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA

SKRIPSI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK MENGENAI KEKERASAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap anak yang dilahirkan ke dunia adalah dalam keadaan suci, maka orang tua dan lingkunganlah yang akan membentuk karakternya. Apakah karakternya baik atau jelek tergantung bagaimana didikan orang tuanya dan lingkungan mana dia tinggal. Karena pada periode-periode awal kehidupannya, anak akan menerima arahan dari kedua orang tuanya. Maka tanggung jawab untuk mengarahkan anak kepada kebaikan, berada di atas pundak orang tua. Sebab periode-periode awal dari kehidupan anak merupakan periode yang paling penting dan sekaligus rentan .
Anak adalah karunia Allah Yang Maha Kuasa yang harus kita syukuri. ia merupakan penerus garis keturunan yang dapat melestarikan pahala bagi orang tua sekalipun orang tua sudah meninggal. Ia adalah Amanat Allah yang wajib ditangani secara benar. Karena dalam dirinya melekat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hatinya yang suci merupakan permata tak ternilai harganya, masih murni dan belum terbentuk. Dia bisa menerima bentuk apa pun yang diinginkan dan corak manapun yang diinginkan. Jika dia dibiasakan pada kebaikan dan diajarinya, tentu ia akan tumbuh pada kebaikan dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Akan tetapi, jika dia diabaikan dibiarkan seperti layaknya hewan, maka ia akan menderita dan rusak. Karena seorang anak tidak melihat kecuali orang-orang di sekitarnya dan tidak meniru kecuali orang-orang di sekitarnya pula.
Sedangkan hak yang paling mendasar dalam masalah hak asasi manusia adalah hak hidup. Hak asasi anak ini merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak anak. Dari segi berbangsa dan bernegara anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita. Penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa yang akan datang.
Agar setiap anak kelak memikul tanggung jawab sebagai tunas, potensi dan generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa, maka ia perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk hidup dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, social serta berakhlak mulia. Untuk mewujudkan semua itu, perlu dilakukan upaya perlindungan dan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa kekerasan dan diskriminasi.
Dalam kenyataan yang kita hadapi di tanah air sekarang, permasalahan mengenai anak sudah sangat memilukan hati dan mengkhawatirkan. Bahkan telah jatuh ke titik nadir yang paling dalam. Anak yang seharusnya dipelihara, dibina dan dilindungi malah dijadikan sebagai objek perbuatan-perbuatan tak terpuji. Misalnya yang banyak terjadi sekarang anak dimakan oleh orang tua sendiri (Bapak) untuk memuaskan nafsunya. Di jalanan, di kereta api, di bis-bis, di pasar-pasar dan pabrik anak di suruh ngamen, mengemis dan bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Sehingga yang ada bukanlah ketentraman yang didapatkan oleh seorang anak melainkan malapetaka yang sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani sang anak. Di sisi lain masyarakat belum menganggap kekerasan terhadap anak sebagai persoalan serius yang membutuhkan penanganan secara bersama-sama dan masalah anak dianggap sebagai masalah pribadi dalam keluarga, bukan sebagai tanggung jawab sosial dan pemerintah.
Oleh sebab itu seorang anak harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dari seluruh aspek kehidupan. Dalam kehidupan manusia, anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Akibat dari belum matangnya individu anak maka sangat dibutuhkan perlindungan penuh dari orang dewasa. Dan juga perlu adanya sebuah usaha untuk membangun kesadaran masyarakat tentang masalah kekerasan terhadap anak.
Menurut pandangan syari'at Islam walaupun anak tersebut masih berada dalam kandungan adalah merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggap sebagai suatu wujud yang hidup dan wajib di jaga. Cinta kasih, mawaddah, dan rahmah yang dianugerahkan kepada sepasang suami istri (ayah dan Ibu) adalah karunia yang besar untuk satu tugas berat yaitu membangun rumah tangga dengan tugas dan peran masing-masing antara kewajiban dan hak-haknya.
Dalam pemenuhan hak anak, agar mekanisme nasional berjalan dengan baik diperlukan sinergi dari setiap komponen yang menyelenggarakan upaya-upaya kemajuan hak anak, baik dari aspek legislasi, edukasi, pengawasan, dan kebijakan, sehingga penyelenggaraan langsung pemajuan hak anak dan perlindungan anak. Upaya itu tidak akan terwujud tanpa adanya political will dari pemerintah, partisipasi aktif dari masyarakat serta peran kritis dan kontribusi dari LSM untuk merealisasikan hak anak dalam semangat desentralisasi dan otonomi daerah.
Demikian pula perundang-undangan yang ada di Indonesia tentang perlindungan anak bahwa segala kegiatan adalah untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan khusus dari kekerasan fisik, psikis dan seksual.
Dunia internasional juga telah bersepakat untuk membuat sebuah aturan yang mengatur tentang perlindungan anak. Maka pada tanggal 28 November 1989 Majelis umum PBB telah mengesahkan Konvensi Hak Anak (KHA), setahun setelah KHA disahkan, maka pada tanggal 25 Agustus 1990 pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tersebut melalui Keputusan Presiden No.36 Tahun 1990 dan mulai berlaku sejak 5 Oktober 1990. Dengan ikutnya Indonesia dalam mengesahkan konvensi tersebut maka Indonesia terikat dengan KHA dan segala konsekuensinya. Artinya, setiap menyangkut tentang kehidupan anak harus mengacu pada KHA dan tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan dan menghormatinya maka akan memiliki pengaruh yang negatif dalam hubungan internasional. Dalam mewujudkan pelaksanaan KHA maka pemerintah Indonesia telah membuat aturan hukum dalam upaya melindungi anak. Aturan hukum tersebut telah tertuang dalam UU No 23. TAHUN 2002 tentang perlindungan anak yang disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002. Jadi jelaslah bahwa perlindungan anak mutlak harus dilakukan karena mulai dari tingkat internasional dan nasional sudah memiliki instrumen hukum.
Dengan adanya ketentuan khusus yang berkaitan dengan seorang anak, maka sudah seyogyanya para pengasuh, baik orang tuanya atau bukan, harus memahami ketentuan baik yang ada dalam Islam ataupun perundang-undangan yang ada di Negara Indonesia ini.
Dari uraian diatas, penulis ingin mengadakan penelitian, mengenai kekerasan terhadap anak adalah sebagai suatu pelanggaran terhadap hak anak baik itu dalam perspektif hukum Islam maupun dalam UU No 23 TAHUN 2002 tentang perlindungan anak. Oleh karena itu penulis mencoba merumuskan dalam penelitian ini dengan judul : 
"PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP KEKERASAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA (STUDI PENANGANAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PUSAT PELAYANAN TERPADU/PPT)" 

B. Rumusan Masalah
Berawal dari paparan latar belakang diatas, maka yang akan menjadi pokok bahasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana perspektif hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 mengenai kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga di Kabupaten X ?
2. Apa saja faktor-faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga di Kabupaten X ?
3. Bagaimana upaya meminimalisir terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga di Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 mengenai kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga di Kabupaten X 
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya meminimalisir terjadinya kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga di Kabupaten X

D. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka untuk mempermudah dalam memahami dan mempelajari pembahasan yang ada dalam skripsi ini. Maka penulisan penelitian ini nantinya akan menggunakan sistematika sebagai berikut : 
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan : a) Latar Belakang Masalah, b) Rumusan Masalah, c) Tujuan Penelitian., d) Kajian Pustaka e) Kegunaan Penelitian, f) Ruang Lingkup Penelitian, g), Definisi Operasional, h) Metode Penelitian, i) Sistematika Pembahasan.
BAB II : KONSEP HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK DARI KDRT
a. Rumah Tangga Dalam Pandangan Hukum Islam, b) Kewajiban dan Hak Anak kepada Orang Tua. c) Tinjauan Undang-Undang No 23 Tahun 2002.
BAB III : KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA
a) Pengertian Kekerasan. b) Macam Kekerasan c) Sebab-Sebab Timbulnya Kekerasan. d) Dampak Kekerasan Terhadap Korban. profil Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Kabupaten X e). Beberapa Kasus yang Ditangani Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Kabupaten X. f) Jenis Pelayanan dan Persyaratan bagi Korban . g) Alasan-alasan tentang PPT ditempatkan di rumah sakit. h) jenis-jenis pelayanan korban PPT.
BAB IV : UPAYA MEMINIMALISIR KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA
Bab ini memuat tentang : a) Analisa Hukum Islam Terhadap Penanganan Kasus Tindakan Kekerasan Terhadap Anak. b) Langkah-langkah Antisipatif terhadap timbulnya tindakan kekerasan. c). sosialisasi Undang-undang. d) Penyuluhan Agama. e) Pemberdayaan SDM Orang Tua. f). Kerjasama Pemerintah dan Masyarakat.
BAB V : PENUTUP
a) Kesimpulan b) Saran-saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:04:00

NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA

NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga kekekalan keturunan mereka. Dengan adanya dorongan syahwat seksual yang terpendam dalam diri laki-laki dan perempuan, mereka akan berfikir tentang pernikahan. Allah telah mengikat antara laki-laki dan perempuan dengan ikatan cinta dan kasih sayang, sehingga daur kehidupan akan terus berlangsung dari generasi ke generasi. Jaminan kelangsungan hidup itu sebagaimana telah disebutkan dalam Firman Allah swt : 
Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
Pernikahan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal antara satu dengan yang lain, sehingga akan membuka jalan untuk saling tolong-menolong. Selain itu, pernikahan merupakan institusi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sarana awal untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat dan keluarga sebagai pilar penyokong kehidupan bermasyarakat. Melalui pernikahan akan menimbulkan beberapa konsekuensi, maka dibuat aturan dan prosedur guna menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif yang merugikan. Di Indonesia, prosedur dan aturan yang dibuat bagi masyarakat Islam adalah bahwa pernikahan harus dicatat secara resmi dan dipublikasikan.
Dalam syari'at Islam, aturan tentang adanya pencatatan nikah baik dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah pada mulanya memang tidak diatur secara konkrit. Lain halnya dengan ayat muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatkan. Namun, sesuai perkembangan zaman dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, Islam di Indonesia mengatur pencatatan perkawinan melalui perundang-undangan dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Melalui pencatatan perkawinan, suami istri akan memiliki akta nikah sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka suami atau istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.
Pada kenyataannya, tidak semua masyarakat Islam di Indonesia mengikuti prosedur atau aturan yang berlaku. Hal ini terbukti bahwa sebagian masyarakat masih melaksanakan praktik nikah yang tidak tercatat secara resmi dan tidak dipublikasikan yang dikenal dengan sebutan nikah sirri dan sebagian ada yang menyebutnya nikah agama atau nikah di bawah tangan. Namun sampai saat ini, sebagian ulama dan masyarakat umumnya masih belum memiliki kesamaan rumusan yang menimbulkan perbedaan persepsi terhadap nikah sirri. Secara normatif, ada yang menilai bahwa praktik nikah sirri itu sah dan dapat menimbulkan hikmah positif, sebaliknya ada yang menilai tidak sah dan dapat menimbulkan implikasi negatif. Dan apabila dilihat dari perspektif hukum positif dan norma sosial, nikah sirri dianggap sebagai suatu deviasi atau penyimpangan.
Di kalangan masyarakat ada yang berasumsi bahwa istilah "nikah sirri" dan "nikah di bawah tangan" tersebut sama artinya. Maka, terlebih dahulu perlu mengidentifikasikan pengertian kedua istilah tersebut untuk menyamakan persepsi agar tidak terjadi kerancuan istilah yang menyebabkan kesalahpahaman. Dari segi etimologi, kata "sirri" berasal dari bahasa Arab, yang artinya harfiyahnya "rahasia". Jadi, nikah sirri artinya nikah rahasia (secret marriage). Menurut terminologi fiqih Maliki, nikah sirri ialah : "Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat."
Sedangkan menurut Mahmud Syalthut yang dikutip oleh Dadi Nurhaedi, Nikah sirri merupakan jenis pernikahan di mana dalam akadnya tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (I'lanu nikah), tidak tercatat secara resmi dan suami istri tersebut hidup secara sembunyi-sembunyi dan hanya mereka berdua yang mengetahuinya.
Para Fuqoha' sepakat bahwa nikah sirri seperti itu tidak sah (batal) karena tidak ada kesaksian. Namun apabila para saksi telah berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, para Fuqoha' sepakat bahwa hukumnya makruh dan mengenai keabsahannya masih kontroversial. Suatu pernikahan tidak disebut sirri dan sah menurut syari'at apabila dalam akad nikah dihadiri oleh para saksi dan dipublikasikan. Dalam hal kesaksian, ada yang berasumsi bahwa keberadaan para saksi dalam akad nikah itu berarti telah keluar dari sirri dan kesaksian itu berarti terang-terangan. Jadi, akad nikah yang disebabkan adanya wasiat atau pesan kepada para saksi untuk merahasiakannya tidak mempengaruhi sah dan tidaknya suatu akad nikah. Ada juga yang berasumsi bahwa akad nikah yang tidak dihadiri para saksi maupun para saksi hadir namun disertai pesan untuk merahasiakannya, maka akad nikah tersebut dianggap batal dan makruh.
Pendapat Syalthut di atas diangkat dari fenomena sosial Mesir atau Timur Tengah. Dalam konteks Indonesia, konsep nikah sirri telah mengalami pergeseran arti dan berbeda dengan yang dimaksud oleh fiqih. Nikah sirri yang dipahami selama ini adalah nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun nikah serta diketahui banyak orang, tetapi tidak dicatatkan.
Sedangkan menurut Miftah Faridl, nikah sirri bisa berarti nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun sesuai ketentuan syari'at Islam, tetapi tidak dicatatkan kepada pencatat nikah atau nikah sesuai dengan ketentuan syari'at Islam dan dicatatkan, tetapi tidak dipublikasikan. Konsep nikah sirri seperti itu sah secara agama sepanjang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syari'at Islam, namun tidak sah menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia. Namun dalam pelaksanaan nikah tersebut masih terdapat kekurangan, yaitu sesuai pesan Nabi SAW agar nikah itu dipublikasikan, diwalimahkan, dan disebarluaskan kepada keluarga dan tetangga.
Menurut Masjfuk Zuhdi, nikah di bawah tangan muncul sejak diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 yang berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan tidak menurut undang-undang perkawinan, dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan perlindungan hukum. Dan pada dasarnya nikah di bawah tangan adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum, dan nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Pernikahan sebagai suatu perbuatan hukum mempunyai akibat-akibat hukum bagi suami, istri dan anak yang dilahirkan. Akibat hukum yang timbul dari pernikahan tersebut antara lain mengenai penyelesaian harta bersama, sah atau tidaknya seorang anak, pencabutan kekuasaan orang tua, asal-usul anak, penguasaan anak, biaya pendidikan anak, kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, dan kewarisan.
Untuk terlaksana dan sahnya perkawinan, maka pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dan sebagai perbuatan hukum diperlukan adanya kepastian hukum, maka pasal 2 ayat (2) menyebutkan : "Tiap-Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Sedangkan dalam KHI Pasal 4 menyebutkan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan".
Mengenai pengertian yuridis tentang sahnya suatu perkawinan ada yang berpendapat bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut, yakni dilaksanakan menurut ketentuan syari'at Islam dengan memenuhi syarat dan rukunnya secara sempurna, sedangkan mengenai pencatatan nikah, bukan sebagai syarat sah nikah, tetapi hanya kewajiban administratif. Pendapat yang lain, bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan Undang-Undang perkawinan Pasal 2 ayat (1) mengenai tata cara agama dan Pasal 2 ayat (2) mengenai pencatatan nikah. Jadi, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, yaitu bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut syari'at Islam disertai pencatatan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN).20 Perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan sebutan "nikah di bawah tangan".
Namun, mengapa nikah di bawah tangan masih banyak dipraktikkan ?, apakah motif yang melatarbelakanginya sehingga merahasiakan pernikahannya ? Untuk mengungkap fakta dan makna praktik nikah tersebut, karena persoalan ini merupakan fenomena sosial, maka cukup proporsional jika didekati dengan kajian sosiologis. Karena itulah guna mencari informasi yang faktual dari pelaku nikah di bawah tangan dan orang-orang yang melakukan pemaknaan terhadap kasus ini, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lapangan dari realitas sosial untuk memperoleh informasi seobyektif mungkin tentang nikah di bawah tangan. Dalam hal ini, penulis mengadakan penelitian di Desa X yang disinyalir masih banyak terdapat praktik nikah di bawah tangan, sehingga penulis akan membahas skripsi ini dengan judul : "NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA (STUDI KASUS DI DESA X)".

B. Permasalahan
Dengan mencermati berbagai permasalahan yang berkaitan dengan nikah di bawah tangan, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah praktik nikah di bawah tangan yang terjadi di Desa X ?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya nikah di bawah tangan di Desa X ?
3. Bagaimanakah hukum nikah di bawah tangan menurut hukum Islam dan hukum positif ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah : 
1. Untuk mengetahui praktik nikah di bawah tangan yang terjadi di Desa X.
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya nikah di bawah tangan di Desa X.
3. Untuk mengetahui hukum nikah di bawah tangan menurut hukum Islam dan hukum positif.

D. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi tersusun sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut : 
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menggambarkan isi dan bentuk penelitian yang meliputi : Latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
Dalam bab ini memuat gambaran umum tentang pernikahan, antara lain mengenai : Pengertian dan dasar hukum perkawinan, Rukun dan syarat perkawinan dan Pencatatan Perkawinan.
BAB III : PELAKSANAAN NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA DI DESA X 
Bab ini meliputi keadaan desa tersebut, bagaimana praktik nikah di bawah tangan di desa tersebut, dan faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan tersebut.
Bab IV : ANALISIS NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA DI DESA X 
Dalam bab ini merupakan pemaparan bagian-bagian dari analisa secara umum yang meliputi analisis Hukum Positif dan Hukum Islam, serta faktor-faktor penyebab nikah di bawah tangan di Desa X.
BAB V : PENUTUP
Bab ini meliputi : kesimpulan, saran, penutup.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 21:31:00