PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA GURU SD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi pada hakekatnya adalah penahanan pribadi manusia, yang meliputi pengembangan pengetahuan sikap dan perilaku. Donald F. Klein menyatakan bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat yang mampu menguasai dan mendayagunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Dalam kaitan tersebut (Naisbit dan Aburdence, 1990) meyakini bahwa keberhasilan akan dicapai pada dekade yang akan datang jika dilakukan berbagai perubahan dengan optimisme dan komitmen yang tinggi dari para pelakunya. Disamping itu, berbagai perubahan tersebut akan berhasil dengan baik apabila disertai dengan pola kepemimpinan yang kuat dalam mengorganisasikannya.
Untuk dapat merubah tatanan kehidupan seperti yang disampaikan oleh para ahli di atas, diperlukan adanya pendidikan yang dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus {continuous quality improvement). Pendidikan berusaha mengembangkan potensi individu agar mampu berdiri sendiri. Untuk itu individu diberi berbagai pengetahuan dalam pengembangan berbagai hal, seperti konsep, prinsip, kreativitas, tanggung jawab dan keterampilan, Brodjonegoro, et. al. (Fasli Jalal & Dedi Supriadi, 2001).
Pendidikan merupakan wahana strategis dalam memfasilitasi terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas. Pengelolaan sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal utama suatu bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam dinamika era globalisasi. Sumber daya manusia yang handal merupakan salah satu modal penggerak produktivitas dan efisiensi, disamping dana dan penguasaan teknologi, yang merupakan faktor penentu keberhasilan usaha dalam pasar terbuka.
E.F. Schumacher, (Sedarmayanti, 2001 : 40) mengatakan bahwa, pendidikan adalah yang paling terpenting, serta dilihat dari perannya, pendidikan adalah kunci untuk segalanya. Hasil pendidikan disebut bermutu dari segi produk, jika mempunyai ciri antara lain peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap materi yang hams dikuasai sesuai dengan tujuan dan sasaran pendidikan. Diantaranya adalah hasil belajar akademis yang dinyatakan dalam prestasi belajar.
Ciri lainnya, hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupannya, sehingga dengan belajar, peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu melainkan dapat melakukan sesuatu yang fungsional untuk kehidupannya. Sedangkan suatu pendidikan disebut bermutu dari segi proses jika proses belajar berlangsung secara efektif, dan peserta mengalami proses pembelajaran yang bermakna, ditunjang oleh sumber daya yang wajar. Proses pendidikan yang bermutu tersebut akan menghasilkan produk yang bermutu pula. Hal ini menuntut kepada para pendidik atau guru untuk senantiasa mengembangkan potensi sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia.
(Budiyanto, Pelita 19 September 2006), untuk mewujudkan kualitas sumber daya manusia maka peran guru harus menjadi pribadi yang efektif yang didukung oleh lima unsur secara utuh yang meliputi : pertama, penalaran. Penalaran merupakan kemampuan untuk memfungsikan akal pikiran secara efektif dengan bentuk bertanya, mencari, menguji dan menjawab berbagai fenomena sehingga menjadi sesuatu yang bermakna. Potensi penalaran didukung pula oleh lima kecakapan yang terdiri dari : 1) keterampilan konseptual; 2) berpikir logis; 3) berpikir kreatif; 4) berpikir holistik; 5) komunikasi. Kedua, sumber manusia. Ketiga, pengetahuan. Keempat, fungsi-fungsi utama. Kepribadian efektif akan tercermin dari keseluruhan perilaku yang dilandasi dan dibimbing oleh nilai-nilai yang berakar pada keyakinannya. Kelima, kualitas watak. Sebab berkualitas tidaknya proses pendidikan sangat tergantung pada kreativitas dan inovasi yang dimiliki guru.
Pullias and Young (1988), Manan (1990), serta Yelon Weinstein (1997) yang dikutip oleh (Mulyasa, 2008 : 37) mengidentifikasikan sedikitnya sembilan belas peran guru, yakni guru sebagai pembaharu (innovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa ceritera, aktor, emansipator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator. Oleh karena itu guru harus mempunyai kemampuan dasar dan life skill dalam mengorganisasikan materi pembelajaran yang esensial, merumuskan proses pembelajaran, mengembangkan bahan pelajaran (perangkat lunak dan keras) dan merumuskan sistem evaluasi berbasis kompetensi.
Berdasarkan pendapat di atas, guru merupakan faktor penentu dalam proses pembelajaran, karena mutu pendidikan suatu sekolah akan sangat bergantung pada tingkat profesionalisme guru, hal ini jelas tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional bahwa : pendidik hams memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik untuk guru SD dan SMP atau sederajat adalah sekurang-kurangnya diploma (D-IV) atau sarjana (S1) berlatar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru kurang memahami dan menguasai kurikulum, pelaksanaan evaluasi belajar, pengembangan bahan ajar, serta keterampilan dalam menggunakan metode dan media pembelajaran. Apabila dilihat secara nasional, sebagian besar guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB masih kurang layak mengajar sesuai dengan kualifikasi minimal yang ditetapkan. Data Balitbang tahun 2002/2003, dari 2,7 juta guru di Indonesia, 1,8 juta guru belum memenuhi syarat akademis S1. Ditingkat sekolah menengah 62,08 telah mengantongi ijazah S1. Akan tetapi ditingkat sekolah dasar, terutama SD kondisinya sangat memperhatikan yaitu dari sekitar 1,3 juta guru SD, hanya 8,3 persen yang telah memenuhi kualifikasi akademik S1. Program masalisasi peningkatan derajat akademik guru SD menjadi D-II pun selama belasan tahun hanya mencapai 40 persen. Kebanyakan guru SD hanya berkualifikasi D-I atau di bawahnya (Sriyanto, Kompas 4 Desember 2006).
Masih banyak guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik, guru SD yang mencapai D2 bam 40%. Padahal, UU mensyaratkan guru SD hams lulusan D4. Sedangkan untuk guru SMP bam 25% berlatar belakang pendidikan D3, padahal UU mensyaratkan hams lulusan S1. Begitu juga dengan guru SMA, guru lulusan S1 bam mencapai 73%.
Nanang Fattah (Pikiran Rakyat, 15 Oktober 2005), mengungkapkan berkenaan dengan tingkat kesesuaian guru mengajar, 15% guru mengajar tidak sesuai dengan bidang keahlian yang digelutinya. Padahal, menurutnya guru yang mengajar sesuai bidang studinya pun masih banyak yang tidak menguasai materi ajar yang disampaikan. Dengan mismatch tersebut berdampak guru tidak dapat memberdayakan dan mengembangkan diri secara baik, sehingga kompetensi lulusan tidak akan terwujudkan karena mengajar juga tidak kompeten. Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Pembinaan dan Pelatihan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Sumarna Surapranata, (Antologi Artikel 2006-2007) skala persentase miss match tenaga guru di sekolah-sekolah mencapai 30 persen. Mereka mengajar tidak sesuai bidang yang dikuasainya. Jika ini dibiarkan akan berdampak pada kualitas guru, jika kualitas guru rendah maka kinerja juga akan rendah. Sebab kinerja guru tidak terlepas dari kemampuan guru itu sendiri. seperti yang dikemukakan oleh Natawidjaja (1992 : 4) mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek kemampuan guru yaitu : 1) Kemampuan pribadi; 2) Kemampuan Profesional; 3) Kemampuan Kemasyarakatan atau sosial.
Berdasarkan pendapat dan fenomena yang dikemukakan di atas, guru dituntut memiliki kemampuan yang dapat merealisasikan harapan dan keinginan semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak didik, karena di dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya, jika kinerja guru tidak baik akan berpengaruh pada hasil belajar siswa. Untuk itu kinerja guru dalam mengajar menjadi tuntutan penting dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Sebab secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi keberhasilan dari kemampuan guru. Kemampuan guru meliputi penguasaan materi pelajaran, penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya, disamping itu guru hams merupakan pribadi yang berkembang dan bersifat dinamis.
Hal ini, tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Harapan dalam Undang-Undang tersebut menunjukkan adanya perubahan paradigma pola mengajar guru yang pada mulanya sebagai sumber informasi bagi siswa dan selalu mendominasi kegiatan dalam kelas berubah menuju paradigma yang memposisikan guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran dan selalu terjadi interaksi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dalam kelas. Kenyataan ini mengharuskan guru untuk selalu meningkatkan kemampuannya terutama memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Hammond LD dan Brasford, (2005 : 8l8) menjelaskan bahwa guru yang baik memahami siswa dimanapun, dan dapat menggambarkan bagaimana melakukan, sehingga siswa dapat memahami dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing guru memiliki karakter yang spesifik. Kesesuaian karakter guru dengan lingkungan kerja, sistem manajemen sekolah akan membentuk kinerja guru.
Sejauh ini dapat disimpulkan bahwa rendahnya kinerja mengajar guru, disebabkan oleh pola kepemimpinan kepala sekolah yang tidak jelas. Kepemimpinan selalu diperlukan sebagai aktivitas untuk mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan suatu tindakan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan pada situasi tertentu. Menurut Hersey & Blanchard (1988) kadar upaya pemimpin adalah membina hubungan pribadi antara mereka sendiri dan dengan para anggota kelompok mereka (pengikut) dengan membuka lebar saluran komunikasi, menyediakan dukungan sosio emosional, dan pemudahan perilaku.
Nanang Fattah, (2008 : 88) yang mengungkapkan bahwa pemimpin pada hakekatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakannya. Salah satu model kepemimpinan yang dapat digunakan oleh kepala sekolah adalah model kepemimpinan dengan pendekatan perilaku. Pada dasarnya model kepemimpinan dengan pendekatan perilaku mengemukakan dua dimensi gaya kepemimpinan, yaitu gaya yang berorientasi tugas (task oriented) dan gaya yang berorientasi pada orang (people oriented).
The Ohio State Leadership Studies sebagai salah satu studi yang mengemukakan kepemimpinan dengan pendekatan perilaku, menyebut dua dimensi kepemimpinan yang terkandung didalamnya sebagai initiating structure dan consideration. Initiating structure menunjukkan kecenderungan pemimpin untuk mendefinisikan dan menyusun tugas atau peran para bawahan. Consideration menunjukkan kecenderungan pemimpin untuk memberikan perhatian kepada para bawahan. Kenneth N. Wexley & Garry Yukl (2005 : 192) mendefinisikan initiating structure adalah tingkat dimana seorang pemimpin mendefinisikan dan merancang peran dirinya dan peran-peran para bawahannya ke arah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok. Consideration adalah tingkat dimana seorang pemimpin bertindak dalam cara yang hangat dan supportive serta menunjukkan perhatian kepada bawahan.
Selain pola kepemimpinan kepala sekolah, faktor lain yang mempengaruhi kinerja antara lain kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Nwachukwu Prince Ololube (2003) pada Rivers State of Nigeria hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kepuasan kerja dan motivasi yang berdampak pada kinerja guru dalam pembelajaran. Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal, ketika seorang merasakan kepuasan kerja dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dalam kenyataannya, kepuasan kerja secara menyeluruh belum mencapai tingkat maksimal.
Untuk meningkatkan kinerja mengajar guru hanya akan terlaksana secara bermakna apabila faktor-faktor yang mempengaruhi dapat diidentifikasi secara ilmiah. Untuk itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru dipandang perlu untuk dipelajari, ditelaah dan dikaji secara mendalam agar dapat memberikan gambaran yang jelas. Salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja guru, adalah dengan adanya gaya kepemimpinan kepala sekolah yang tepat dan Kepuasan yang di peroleh ditempat kerja
B. Batasan Masalah
Inti kajian ini adalah kinerja mengajar guru, banyak faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi perilaku kepemimpinan kepala sekolah, dan kepuasan kerja. Berdasarkan hal tersebut pokok masalah yang diungkap dalam penelitian ini adalah seberapa besar pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dan kepuasan kerja terhadap kinerja mengajar guru.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Seberapa besar pengaruh Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah terhadap Kinerja Mengajar Guru SD Negeri di Kecamatan X ?
2. Seberapa besar pengaruh Kepuasan kerja terhadap Kinerja Mengajar Guru SD Negeri di Kecamatan X ?
3. Seberapa besar pengaruh Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja secara parsial maupun secara simultan terhadap Kinerja Mengajar Guru SD Negeri di Kecamatan X ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis :
1. Besarnya Pengaruh Perilaku Kepemimpinan Kepala sekolah terhadap Kinerja Mengajar guru SD Negeri di Kecamatan X.
2. Besarnya Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Mengajar Guru SD Negeri di Kecamatan X.
3. Besarnya Pengaruh Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja baik secara parsial maupun secara simultan terhadap Kinerja Mengajar Guru SD Negeri di Kecamatan X.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu :
1). Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan pengembangan keilmuan Administrasi pendidikan, memberikan bukti empiris tentang pengaruh pendekatan perilaku kepemimpinan dan kepuasan kerja, juga sebagai bahan kajian bagi penelitian berikutnya.
2). Manfaat Praktis.
Secara operasional, bagi Kepala Sekolah bagaimana meningkatkan Kinerja Mengajar guru dan bagi Dinas Pendidikan Kecamatan Kota Ternate sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya mencapai Kinerja Mengajar Guru yang tinggi, khususnya melalui Perilaku kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kepuasan Kerja.