Cari Kategori

Showing posts with label otentisitas akta. Show all posts
Showing posts with label otentisitas akta. Show all posts

PEMBACAAN AKTA OLEH NOTARIS SEBAGAI SYARAT OTENTISITAS AKTA

 PEMBACAAN AKTA OLEH NOTARIS SEBAGAI SYARAT OTENTISITAS AKTA (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembacaan akta oleh Notaris merupakan suatu syarat dari otentisitas suatu akta. Pembacaan akta juga merupakan salah satu dari syarat verlijden dari suatu akta (Pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris), serta merupakan kewajiban dari Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. Pembacaan akta yang merupakan kewajiban ini ternyata menimbulkan persepsi bukan menjadi sesuatu yang wajib. Hal ini disebabkan karena adanya aturan pada Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris. Adanya kelonggaran pada kewajiban Notaris dalam pembacaan akta inilah yang melatarbelakangi penelitian ini.
Telah dipahami bersama bahwa peran dan tanggung jawab Notaris sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai sebagai upaya Negara dalam menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat, demikian sebagaimana ternyata dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang berbunyi : 
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
Profesi Notaris adalah pekerjaan yang unik. Kewenangannya untuk membuat akta otentik diberikan oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, Notaris dianggap menjalankan sebagian kekuasaan Negara. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah seorang Notaris harus melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab sebagai pejabat Negara.
Akta otentik, sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuhi, berperan penting dalam setiap hubungan hukum dalam masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, perbankan, kegiatan sosial dan lain sebagainya, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum di berbagai sektor. Akta otentik juga menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, yang diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa.
Pembacaan akta oleh Notaris merupakan keharusan dalam setiap pembuatan akta otentik. Menurut Pasal 28 Staadblad Nomor 3 Tahun 1860 dan Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pembacaan ini merupakan bagian dari verlijden atau peresmian akta (pembacaan dan penandatanganan). Oleh karena akta tersebut dibuat oleh Notaris, maka harus dibacakan juga oleh Notaris yang bersangkutan. Tidak dilakukan oleh orang lain seperti asisten atau pegawai Notaris.
Apabila notaris sendiri melakukan pembacaan dari akta itu, para penghadap di satu pihak mempunyai jaminan, bahwa mereka menandatangani apa yang mereka dengar sebelumnya dibacakan oleh Notaris dan di lain pihak para penghadap dan juga Notaris memperoleh keyakinan, bahwa akta itu benar-benar berisikan apa yang dikehendaki oleh para penghadap.
Jika dihubungkan dengan fungsi akta otentik tersebut dalam pembuktian, maka terlihatlah bahwa memang sesungguhnya dalam pembuatan akta oleh Notaris yang merupakan akta otentik harus demikian. Hal ini juga untuk melindungi para pihak yang terkait dalam pembuatan akta tersebut, termasuk Notaris sendiri, apabila terjadi sengketa atau gugatan atas perbuatan hukum dalam akta tersebut di kemudian hari.
Pelanggaran terhadap tidak dibacakannya akta oleh Notaris sendiri kepada para penghadap akan dikenakan sanksi seperti yang tercantum pada Pasal 28 ayat (5) Staadblad Nomor 3 Tahun 1860 yaitu akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta di bawah tangan, atau dengan kata lain akta akan kehilangan otentisitasnya. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, hal ini tercantum dalam Pasal 84 yang menyatakan bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris termasuk tidak membacakan aktanya sendiri akan mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris tersebut.
Pengaturan kewajiban pembacaan akta oleh Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dapat menimbulkan persepsi seakan-akan pembacaan akta oleh Notaris sudah tidak menjadi wajib karena adanya aturan dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN, yang bunyinya sebagai berikut : 
Pembacaan akta sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membacanya sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Jika dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas, tidak berlebihan kiranya dikhawatirkan menjadi celah bagi Notaris untuk tidak melakukan kewajibannya dalam membacakan akta. Dengan demikian apabila Notaris dalam menjalankan tugasnya membuat akta otentik, tidak membacakan akta tersebut dengan berdasarkan Pasal 16 ayat (7) UUJN tersebut, apa yang terjadi dengan keotentikan aktanya ? Sedangkan sudah diketahui bahwa Undang-Undang mengatur bahwa apabila dalam pembuatan akta tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, kekuatan pembuktiannya akan menjadi akta di bawah tangan.
Pentingnya aturan yang jelas dalam Undang-Undang kenotariatan sangat diperlukan demi terciptanya kepastian dan tidak menimbulkan salah penafsiran dan keraguan dalam pelaksanaannya. Sehingga diharapkan tidak menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang beritikad tidak baik dan tidak bertanggung jawab.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pokok-pokok permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana seharusnya para Notaris mengartikan dan menyikapi aturan pembacaan akta yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN ?
2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuatnya apabila tidak dibacakan ?

C. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk menelaah asas-asas hukum dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat preskriptif.
Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, dikarenakan pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yang lebih banyak dilakukan pada data sekunder yang terdapat di perpustakaan.
Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah meliputi : 
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat khususnya di bidang kenotariatan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku, artikel-artikel dari berbagai majalah dan media berita lainnya tentang kenotariatan.
3. Bahan hukum tersier, yaitu kamus mengenai istilah-istilah hukum sebagai penunjang untuk mendapatkan data mengenai masalah yang akan dibahas.
Untuk menganalisis data dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang disajikan dalam bentuk penelitian deskriptif analisis yaitu mencari jawaban atau solusi dari permasalahan yang diteliti.

D. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini merupakan pengantar untuk memasuki bab-bab selanjutnya yang menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pokok. Bab ini dibagi menjadi empat sub bab, yaitu pertama latar belakang yang merupakan latar belakang penulis membahas hal tersebut. Kedua pokok, Ketiga metode penelitian yang digunakan, Keempat sistematika penulisan.
BAB II Pembahasan
Bab ini meliputi tiga sub bab yaitu landasan teori, analisa pembahasan hukum.
BAB III Penutup
Bab ini berisi simpulan dan saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 06:05:00