Cari Kategori

Showing posts with label pengembangan bahan ajar. Show all posts
Showing posts with label pengembangan bahan ajar. Show all posts

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR APRESIASI PROSA FIKSI DI SMP DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING

TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR APRESIASI PROSA FIKSI DI SMP DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang representatif, bersifat apresiatif, dan memberikan kemungkinan untuk peningkatan daya apresiasi siswa kiranya belum ada di khasanah sastra dan khasanah pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Yang ada adalah bahan ajar dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang di dalamnya hanya memasukkan sangat sedikit materi tentang prosa fiksi. Bahan ajar apresiasi prosa fiksi itu belum mencukupi dari segi keluasan dan kedalaman materi apresiasi, baik secara kognitif, afektif, terlebih-lebih untuk maksud psikomotor berupa pembacaan dan penulisan karya sastra berbentuk prosa fiksi. Karena itu, melalui bahan-bahan ajar apresiasi yang dipakai di SMP saat ini, belum dapat dilaksanakan penghayatan terhadap prosa fiksi khususnya dan sastra pada umumnya. Dengan menggunakan bahan ajar semacam itu, belum terpenuhi persyaratan untuk membentuk "the educated person" seperti yang dikemukakan oleh Moody (1989). Pengenalan secara memadai tentang bahan ajar apresiasi prosa fiksi belum dapat dipenuhi melalui bahan-bahan ajar tersebut.
Bahan ajar apresiasi prosa fiksi hendaknya dapat membantu pencapaian tujuan pembelajaran apresiasi prosa fiksi yang oleh Moody (1989 : 59) untuk (1) membantu keterampilan berbahasa; (2) meningkatkan pengetahuan budaya; (3) mengembangkan cipta dan rasa; dan (4) menunjang pembentukan watak. Melalui membaca dan mendengarkan cerita pendek, membaca ringkasan novel, menulis sinopsis dari novel yang dibaca, menceritakan kembali isi ringkasan novel yang dibaca dapat ditingkatkan daya apresiasi siswa. Bahan ajar apresiasi prosa fiksi hendaknya memungkinkan siswa tidak hanya mengapresiasi naskah (teks) cerpen atau novel, namun juga mampu membuat dialog-dialog yang ada dalam prosa fiksi tersebut ke dalam tes naskah drama yang siap untuk diperankan atau dipentaskan di atas panggung. Pembacaan dan penulisan karya sastra berbentuk prosa fiksi dapat dijadikan media aktualisasi diri bagi siswa. Dengan diberlakukannya pendekatan humanistic Maslow dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi termasuk juga KTSP, aktualisasi diri yang dianggap sebagai proses belajar yang cukup penting itu, dapat dilatihkan melalui pembacaan, penulisan, hingga pementasan atau pagelaran drama (Sunardi, 2003 : 21).
Hasil penelitian dari Depdiknas (2004 : 27) menyatakan bahwa pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi murid-murid merupakan mata pelajaran yang sukar dan bukan merupakan mata pelajaran yang menyenangkan. Salah satu penyebabnya adalah bahan ajar yang disampaikan oleh guru kurang menarik bagi siswa.
Kurikulum 2004 maupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP menandaskan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dengan filsafat konstruktivisme yang menggunakan proses belajar sebagai suatu proses aktif dalam mengkonstruksi sesuatu (Pannen, dkk., 2005 : 3). Di samping itu, konstruktivisme berpandangan bahwa subjek utama dalam pembelajaran di kelas adalah siswa dan bukan guru. Guru adalah fasilitator, dan manajer dalam proses pembelajaran.
Konstruktivisme menyatakan bahwa setiap orang membangun sendiri konstruksi pemikirannya, informasi yang diperolehnya, afeksi yang dihayati, dan gerak motorik (tingkah laku) yang akan dilaksanakan (Pannen, dkk., 2005 : 5). Lebih lanjut Suparno mengutip Henley (2000 : 17) menyatakan bahwa metode atau model yang baik dalam mengajar harus memberikan kesempatan siswa secara bebas dan seluas-luasnya untuk membangun sendiri pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya.
Interaksi yang efektif antara siswa dan guru merupakan cara penting bagi keberhasilan belajar, seperti yang dikemukakan oleh Lozanov (1978 : 189). Quantum teaching menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan terbuka untuk interaksi guru dan siswa seperti yang dituntut Lozanov tersebut. Menurut De Potter (2003 : 4), interaksi antara guru dan siswa dan antara siswa dan siswa merupakan proses yang mengubah energi menjadi cahaya yang menyebabkan proses pengajaran menarik dan menyenangkan bagi siswa. Energi di sini yang dimaksud adalah model, sarana, dan prasarana yang menyebabkan situasi pembelajaran kondusif bagi pengembangan diri siswa.
Pendekatan Quantum Teaching oleh De Potter (Degeng, 2005) dinyatakan sebagai orkestra yaitu penciptaan suasana menyenangkan seperti orkes yang menumbuhkan motivasi dan pencapaian hasil belajar secara optimal.
Karena di masa depan semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus diarahkan kepada kompetensi dalam bidangnya, yang membentuk kemampuan life-skills pada siswa seperti halnya ketentuan dalam kurikulum (KBK maupun KTSP), maka pendekatan atau basis yang digunakan dalam penyusunan bahan ajar haruslah berlandaskan pada basis kompetensi (Mulyasa, 2002 : 71). Basis kompetensi mengarahkan siswa untuk dapat memiliki life skills. Pembentukan kemampuan life skills dalam pengajaran apresiasi prosa fiksi berarti memungkinkan siswa mampu mencari nafkah melalui antara lain : menulis cerpen, menulis novel, membuat sinopsis ringkasan novel terkenal, menulis resensi novel, berakting, mendramatisasikan cerita dalam cerpen atau novel, dan jika dikembangkan lebih lanjut dapat memungkinkan siswa kelak menjadi penulis naskah cerpen dan novel yang andal.
Cerita pendek (cerpen), novel adalah karya sastra dan karya seni (Bakdi Sumanto, 2001). Sebagai karya sastra, naskah cerpen atau novel dalam sastra Indonesia sangat digemari untuk dibaca oleh siswa. Dalam penelitiannya di daerah Jawa Barat, Yus Rusyana (1989) mendapatkan hasil bahwa perbandingan pembacaan/apresiasi prosa : puisi : drama adalah 6 : 3 : 1. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan siswa dalam prosa termasuk prosa fiksi sangat sering. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan cerpen atau novel yang dimuat di koran.
Berdasarkan pandangan di atas, pendekatan quantum learning dalam pengembangan bahan ajar prosa fiksi kiranya merupakan pendekatan yang dapat membantu meningkatkan daya tarik, minat, dan sikap positif siswa kepada seni sastra, khususnya prosa fiksi. Dalam penelitian ini, pendekatan quantum learning dijadikan pendekatan di dalam memberikan variasi pemilihan bahan ajar prosa fiksi di SMP, khususnya SMPN X. Melalui pendekatan tersebut, bahan ajar prosa fiksi yang berbentuk cerpen maupun novel dapat disajikan secara lebih menarik, dan memotivasi siswa karena bahan-bahan ajar tersebut disajikan dengan iringan musik.
Penelitian ini bermaksud menghasilkan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikemas dengan pendekatan quantum learning, yang khususnya digunakan untuk bahan ajar apresiasi prosa fiksi di SMPN X. Penelitian dilaksanakan melalui tahapan atau prosedur : (1) studi pendahuluan atau eksplorasi untuk mengetahui kebutuhan para siswa maupun guru bahasa Indonesia di SMPN X akan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang perlu diajarkan; (2) pengembangan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang sesuai dengan kebutuhan siswa maupun guru atau stakeholders; (3) penyajian model bahan ajar apresiasi prosa fiksi melalui uji coba terbatas dan luas untuk mengetahui tingkat efektivitas bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dihasilkan; (4) mengetahui tanggapan para siswa atau guru maupun stakeholders yang lain tentang kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang sudah diuji efektifitasnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas, masalah penelitian pengembangan bahan ajar apresiasi prosa fiksi ini dirumuskan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dibutuhkan siswa dan guru bahasa Indonesia di SMPN X ?
2. Bagaimanakah pengembangan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi menjadi bahan ajar apresiasi prosa fiksi dengan pendekatan quantum learning di SMPN X ?
3. Bagaimanakah hasil uji keefektifan bahan ajar prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning diajarkan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa di SMPN X ?
4. Bagaimanakah tanggapan siswa, guru, maupun stakeholders lain terhadap kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X ?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu kepada rumusan masalah di atas, tujuan penelitian pengembangan bahan ajar ini adalah untuk : 
1. Mendeskripsikan kebutuhan guru dan siswa SMPN X akan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang perlu diajarkan.
2. Mengembangkan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi menjadi bahan ajar yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X.
3. Menguji keefektifan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa di SMPN X.
4. Mendeskripsikan tanggapan siswa, guru, dan stakeholders yang lain terhadap kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang berupa tersusunnya model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk siswa SMPN X ini akan mendatangkan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. 
1. Manfaat Teoretis
Dengan dihasilkannya model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk siswa SMPN X ini, penelitian pengembangan ini dapat memberikan sumbangan terhadap teori pengajaran apresiasi sastra Indonesia, khususnya pengajaran apresiasi prosa fiksi (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis cerpen atau novel). Dengan memanfaatkan bahan ajar apresiasi prosa fiksi tersebut, diharapkan dapat dipakai sebagai pendukung terwujudnya apresiasi prosa fiksi siswa, yaitu dengan meningkatnya kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa tersebut. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah keilmuan khususnya dalam bidang pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mendorong peneliti lain untuk melaksanakan penelitian sejenis yang lebih luas pada masa-masa mendatang.
2. Manfaat Praktis
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi tentang model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning. Dari temuan ini secara praktis dapat digunakan acuan bagi : 
a. Para Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMPN X
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi tersebut, guru dapat meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa.
b. Pimpinan Sekolah dan Pengawas
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning, pimpinan sekolah dan pengawas mendapatkan pencerahan konsep orientasi pengajaran apresiasi sastra yang baru, khususnya apresiasi prosa fiksi sehingga kemampuan apresiasi siswa terhadap prosa fiksi (cerpen, novel) dapat ditingkatkan. Dengan temuan tersebut, maka pihak pimpinan sekolah dan pengawas perlu memberi dukungan pada perubahan cara dalam memilih atau menentukan bahan ajar apresiasi yang akan diajarkan pada siswa yang betul-betul apresiatif, menyenangkan dan menggembirakan.
c. Siswa-siswa SMPN X
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning menuntut siswa untuk berapresiasi sambil diiringi musik sehingga antusias, semangat, gairah, dan motivasi belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran apresiasi prosa fiksi bisa terwujud.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:31:00

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPS BERBASIS PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI SEKOLAH DASAR

TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPS BERBASIS PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILL) DI SEKOLAH DASAR (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan akan pendidikan menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan seseorang, hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan dapat menunjukkan kualitas sumber daya yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan. Dewasa ini, pendidikan telah mengalami perkembangan yang semakin pesat, hal ini mengakibatkan adanya persaingan yang sangat ketat di dunia pendidikan, karena itu untuk menghadapinya diperlukan kualitas pendidikan yang bermutu dan semakin meningkat.
Istilah Ilmu pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu Paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Paedagogie berarti pendidikan, sedangkan Paeda artinya Ilmu Pendidikan. Paedagogiek atau Ilmu Pendidikan ialah yang menyelidiki, merenung tentang gejala-gejala perbuatan mendidik.
Semua ilmu yang ada di muka bumi ini mempunyai tujuan, baik itu ilmu pendidikan maupun ilmu yang lainnya. Setiap kegiatan pendidikan diharapkan untuk menuju tujuan yang jelas, tujuan-tujuan ini ditentukan oleh tujuan akhir yang harus dicapai oleh peserta didik dalam mengikuti semua mata pelajaran atau bidang studi yang diberikan oleh pendidik.
Tujuan Pendidikan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3, menyebutkan bahwa "Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Mutu pendidikan yang ada di Indonesia telah lama dilakukan perbaikan dari waktu ke waktu dengan menggunakan berbagai strategi. Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan berbagai upaya guna memperbaiki mutu pendidikan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan perubahan kurikulum secara berkala diantaranya adalah diterapkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum 2004 sebelum ditetapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum 2006. Upaya perbaikan kurikulum melalui pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Semakin berkembangnya dunia pendidikan, guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar dituntut menggunakan berbagai strategi pembelajaran yang mengaktifkan interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa serta siswa dengan lingkungannya. Dengan demikian, paradigma pembelajaran dapat dikatakan bergeser dari teacher centered ke student centered. Paradigma tersebut memberikan dasar bahwa peranan guru juga mengalami pergeseran dari satu-satunya sumber ilmu di kelas bergeser menjadi fasilitator bagi siswa. Siswa, buku-buku pelajaran, lingkungan sekitar dan teman sejawat untuk dijadikan sebagai sumber belajar.
Pelajaran yang bersifat teacher centered mengharuskan guru yang lebih aktif melatih dan menentukan apa yang harus diketahui subjek didik atau siswa. Namun, hal itu berbeda kondisinya dengan student centered yang lebih memfokuskan situasi belajar pada peranan siswa dan peranan guru hanyalah sebagai fasilitator bagi siswa dalam proses pembelajaran. Tugas guru yang utama bukan lagi menyampaikan pengetahuan, melainkan memupuk pengertian, membimbing mereka untuk belajar sendiri.
Tidak hanya itu saja tetapi selama ini peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia terus dilakukan dengan berbagai inovasi, misalnya perbaikan kurikulum, peningkatan kualitas SDM, pengadaan sumber belajar dan sarana dan prasarana lainnya. Seminar, pelatihan, dan berbagai program sosialisasi dan pembinaan telah dilakukan, namun upaya ini belum menampakkan hasil yang berarti.
Dari studi komparasi internasional menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia kurang menggembirakan. Hasil studi Human Development Index (HDI) dengan 17 indikator, Indonesia menduduki peringkat ke 112 dari 175 negara yang disurvei, dan tiga tingkat dibawah Vietnam. Demikian pula The Political Economic Risk Consultant (PERC) melaporkan Indonesia ada pada peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvei dan satu tingkat lagi dibawah Vietnam. Sedangkan berdasarkan laporan UNDP tahun 2004 posisi dari 177 negara, Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), Filipina (83), Indonesia (111), Vietnam (112), Kamboja (130), Myanmar (132), dan Laos (135). Hal ini dapat dimaklumi karena memang permasalahan dunia pendidikan sangat kompleks, permasalahan yang masih menjadi beban/pemikiran adalah a) masalah relevansi pendidikan, b) pemerataan pendidikan, c) masih tingginya angka drop-out dan juga mahalnya biaya pendidikan, d) tingginya jumlah siswa yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan e) tantangan globalisasi.
Data tersebut menggambarkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih dipertanyakan. Sementara dari sisi perilaku keseharian siswa, banyak berdampak terhadap ketidakpuasan masyarakat. Tawuran antar siswa kini sudah menjadi berita biasa. Tawuran antar siswa kini sudah menjalar sampai ke SMP/MTs di kota kabupaten. Dari dunia usaha juga muncul keluhan bahwa bekal lulusan SD/MI kurang baik untuk memasuki SMP/MTs, kalangan SMA/MA merasa lulusan SMP/MTs tidak siap mengikuti pembelajaran di Sekolah Menegah, dan kalangan Perguruan Tinggi merasa bekal lulusan SMA/MA belum cukup untuk mengikuti perkuliahan.
Problema tentang kesiapan lulusan sekolah kita semakin berat ketika dihadapkan pada era globalisasi. Terbukanya arus informasi, komunikasi, dan transformasi peradaban dunia pada era global merupakan tantangan mereka agar siap menghadapi hidup semakin kompetitif. Lebih-lebih setelah berlakunya AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) sejak 1 Januari 2003 persaingan dunia semakin ketat, baik persaingan dunia kerja yang semakin terbuka. Konsekuensinya mereka harus mampu bersaing secara terbuka dengan tenaga kerja asing. Jika tidak, mereka akan tersisih dalam hal ini akan menambah jumlah pengangguran yang sampai saat ini belum teratasi. Keadaan seperti ini akan lebih fatal jika lulusan sekolah kita tidak memiliki kesiapan mental spiritual dan bimbingan moral agama untuk bangkit berusaha, tidak putus asa, dan tetap teguh berada pada jalan hidup yang benar.
Berbagai problematika diatas menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia mempunyai banyak kendala yang perlu diperbaiki baik dari aspek kurikulum, manajemen, strategi pembelajaran, sistematika pembelajaran maupun profesionalisme guru. Dengan demikian agar pendidikan di Indonesia mengalami perubahan yang lebih baik perlu adanya upaya langkah-langkah penyempurnaan mendasar konsisten dan sistematika paradigma pendidikan yang kita bangun sesuai dengan paradigma tersebut. Penyempurnaan ini adalah pendidikan dimana dapat mengembangkan potensi anak didik agar berani menghadapi tantangan hidup sekaligus tantangan global, tanpa ada rasa tertekan, pendidikan kita harus mampu mendorong anak didik memiliki pengetahuan, keterampilan, memiliki percaya diri yang tinggi yang mampu cepat beradaptasi dengan lingkungan. Pendidikan yang ingin diwujudkan ke depan adalah pendidikan yang dapat mengarahkan dan membekali kehidupan anak didik dan tidak berhenti pada penguasaan materi secara tertulis.
Sementara hasil survei dari Balitbang Diknas tahun 2000 menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia belum menggembirakan, tantangan masa depan sangat berat. Di dalam negeri, krisis ekonomi menyebabkan angka pengangguran terus meningkat hingga mencapai 40 juta. Di dalam dunia pendidikan sendiri, tercatat 12,3% tamatan SD tidak melanjutkan, 34,4% tamatan SLTP tidak melanjutkan, dan 53,12% tamatan Sekolah Menengah tidak melanjutkan. Mereka perlu diperhatikan agar tidak menambah jumlah deretan angka pengangguran. Belum lagi para lulusan SD, SLTP, dan Sekolah Menengah, bahkan Perguruan Tinggi yang terdampar sebagai pengangguran karena tidak mampu bersaing di pasar kerja dan tidak mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Hal ini berarti bahwa perlu dipikirkan bagaimana pendidikan dapat berperan mengubah manusia beban menjadi manusia produktif. Bekal apa yang harus diberikan kepada peserta didik agar dapat memasuki dunia kerja atau menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sehingga mampu menghidupi diri sendiri, syukur dapat menghidupi keluarga dan lingkungannya.
Dari urian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia kini menghadapi masalah yang serius, yakni (1) banyaknya peserta didik yang putus sekolah, (2) banyaknya lulusan SD, SLTP, SMU/K yang tidak mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka pelajari di sekolah ke dalam dunia kerja, sehingga mereka terasing di lingkungannya sendiri, (3) Sementara AFTA akan segera diberlakukan, tenaga kerja asing akan masuk ke Indonesia dan menggusur tenaga kerja Indonesia yang tidak profesional. Kita akan menjadi pecundang di negara sendiri.
Mengingat fungsi utama dari tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan). Dengan demikian diperlukan adanya pematangan peserta didik untuk mampu bersaing dan mempunyai peran aktif dalam lingkungan masyarakat. Terutama peserta didik dituntut untuk lebih mempersiapkan dirinya dengan berbagai keahlian (skill) yang kompeten dengan era globalisasi.
Era reformasi ini oleh para ahli dipandang telah menggantikan era industri. Dengan dukungan IPTEK era reformasi mampu mengubah pola kehidupan dan mempercepat pekerjaan. Kini orang harus siap menghadapi berbagai kemungkinan perubahan pada pekerjaan yang selama ini telah ditekuni. Untuk itu penyesuaian diri terhadap perubahan selalu diperlukan dengan meningkatkan kecakapan yang kompeten. Sementara semangat kompetensi yang cenderung individualistis, kini telah bergeser ke arah kolektivistik yang memerlukan kesadaran untuk bekerjasama, saling mengerti dan saling membantu. Dengan demikian perkembangan aspek sosial perlu mendapat perhatian dari pendidikan disamping aspek mental spiritual, personal, intelektual dan pekerjaan (vocational).
Problem-problem sosial-pendidikan sebagaimana telah disebutkan perlu diatasi dengan peningkatan kualitas program pendidikan yang lebih tepat guna dan efektif dalam mempersiapkan lulusan sebagai generasi yang berkepribadian tangguh, memiliki kemandirian, keberanian, dan kemampuan mencari alternatif dan memecahkan permasalahan hidup secara bertanggung jawab. Peningkatan kualitas program pendidikan ini harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya baik jasmani maupun rohani, dengan mengembangkan aspek-aspek spiritual, moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga dan perilaku.
Selain itu, untuk bahan ajar untuk semua mata pelajaran yang beredar untuk kalangan SD/MI khususnya pada mata pelajaran IPS hanya menyangkut pelajaran IPS itu sendiri dan belum adanya berbasis yang mencerminkan tentang pendidikan Life Skill. Dimana konsep dari pendidikan Life Skill itu diintegrasikan melalui semua mata pelajaran yang ada di sekolah. Kemudian untuk sosialisasi dari pendidikan Life Skill untuk guru mengenai implementasi dan evaluasi belum sepenuhnya terealisasikan, sehingga pendidikan Life Skill itu sendiri belum optimal pelaksanaannya di sekolah. Sedangkan, untuk siswanya sendiri masih belum banyak yang mengerti mengenai pendidikan Life Skill dan diperlukan adanya penjelasan dan pemahaman terlebih dahulu.
Pengembangan aspek-aspek tersebut haruslah didasarkan pada kerangka dan bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life skills) diwujudkan melalui pencapaian berbagai kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri dan berhasil di masa mendatang, serta dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan yang menyentuh seluruh jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian dalam rangka peningkatan mutu pendidikan madrasah/sekolah, perlu dilakukan pengembangan dan penyempurnaan kurikulum pada masa jenjang pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan berbasis masyarakat luas (Broad Based school), berorientasi pada kecakapan untuk hidup (life skills), tetapi tidak mengubah sistem pendidikan yang ada. Orientasi kecakapan hidup ini merupakan sebuah paradigma dalam analisis kurikulum yang ada, sebagai alternatif pembaharuan pendidikan yang prospektif untuk mengantisipasi tuntutan masa depan. Dengan titik berat pendidikan pada kecakapan untuk hidup, diharapkan pendidikan benar-benar dapat meningkatkan taraf hidup dan martabat masyarakat.
Oleh karena itu kurikulum pada semua jenjang pendidikan dan jenis sekolah haruslah mengarah pada Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills education) dengan porsi dan kadar yang serasi. Berbasis kecakapan hidup pada pendidikan tingkat dasar (MI/SD dan MTs/SMP) sudah tentu berbeda dengan arahnya dengan tingkat MA/SMA atau sekolah kejuruan (Vocational School). Selain itu relevansi dengan kebutuhan masyarakat dan geografisnya, sosio-budaya nasional dan lokal, serta tentang waktu ikut dipertimbangkan.
Berbasis pendidikan kecakapan hidup dalam kurikulum yang dimaksud bukanlah menempel sejumlah kecakapan hidup sebagai unsur baru, tetapi menjadikan kecakapan-kecakapan tersebut sebagai kompetensi yang mendasari dan mengarahkan pengembangan kurikulum.
Pengembangan bahan ajar pembelajaran Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) mata pelajaran IPS ini dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan antara kondisi ideal dengan kondisi riil yang ada di lapangan. Kondisi ideal yang dimaksud adalah (1) Tersedianya model buku ajar pembelajaran Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) untuk mata pelajaran IPS sesuai dengan karakteristik konsep bidang ilmu IPS untuk meningkatkan hasil pendidikan yang terpadu tidak hanya dari segi kognitif (pengetahuan), Afektif (sikap), maupun psikomotorik akan tetapi ada berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) sehingga diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran nilai-nilai dan mempunyai kecakapan-kecakapan hidup untuk membekali peserta didik lebih mandiri dalam menghadapi problema hidup yang terjadi. (2) Hadirnya buku ajar IPS yang mengakomodir faktor-faktor yang diharapkan ada dalam sebuah buku ajar yang baik dan efektif. (3) Mengatasi kondisi pembelajaran IPS melalui ketersediaan bahan ajar yang dapat meningkatkan keefektifan, efisiensi, dan kemenarikan pembelajaran di sekolah.
Dalam studi pendahuluan yang telah dilakukan, teridentifikasi bahwa buku ajar pembelajaran IPS yang sudah dilakukan dalam proses pembelajaran adalah "IPS Terpadu Untuk Sekolah Dasar Kelas IV yang penerbit Erlangga". Adapun hasil temuan ketika dilakukan review terhadap buku ajar tersebut ditemui bahwa buku ajar yang digunakan belum menunjukkan adanya berbasis kecakapan dengan indikasi bahwa kurang memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam buku ajar yang baik dari faktor isi maupun desain.
Dari segi isi terlihat hanya mengutamakan ranah kognitif dan psikomotorik dalam pembelajaran IPS, akan tetapi belum adanya pembelajaran mengenai penanaman nilai (sikap) dan berbasis kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh peserta didik. Sehingga kesan yang ditunjukkan hanya mengutamakan pembelajaran pengetahuan yang harus dicapai oleh peserta didik, sedangkan untuk pembelajaran mengenai penanaman sikap dan kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh siswa dalam menghadapi berbagai macam problematika kehidupan belum berbasis sepenuhnya.
Dari segi desain, ilustrasi yang digunakan cenderung menampilkan gambar pendukung materi ulasan yang disajikan secara keseluruhan dalam bentuk animasi, sementara yang diharapkan adalah bahwa gambar pendukung materi yang digunakan selain mengakomodir gambar animasi sesuai ulasan juga terdapat gambar pendukung materi yang riil dalam rangka untuk memberikan pengetahuan yang nyata tentang sesuatu hal terhadap peserta didik. Dalam segi tampilan narasi atau teks yang ditampilkan terlalu padat dalam satu halaman dan penggunaan font yang terlalu kecil ukurannya sehingga terkesan padat isinya dalam satu halaman sehingga membuat peserta didik jenuh untuk membacanya. Warna yang digunakan kurang bervariasi, ragam bahasa yang digunakan cenderung menggunakan bahasa baku, sementara yang diharapkan adalah penggunaan bahasa komunikatif, karena pada dasarnya bahasa komunikatif menginginkan pembaca diajak berdialog secara intelektual melalui sapaan, pertanyaan, ajakan, dan penjelasan yang seakan berdialog dengan orang kedua itu benar-benar terjadi. Penggunaan bahasa komunikatif akan membuat siswa merasa seakan berinteraksi dengan gurunya sendiri melalui tulisan-tulisan yang disampaikan dalam buku ajar.
Terkait dengan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) mata pelajaran IPS yang dikembangkan melalui buku ajar akan mengakomodasi analisis kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dengan memberikan berbagai macam kecakapan yaitu kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan ini dimaksudkan untuk memberikan solusi mengenai pemantapan diri peserta didik dan penanaman nilai untuk mencapai kematangan diri peserta didik untuk lebih mandiri.
Dengan demikian dengan ketersediaan buku ajar yang dikembangkan diharapkan akan membantu para guru untuk dapat memberikan yang terbaik dalam pembelajaran di kelas khususnya pembelajaran IPS, karena sebelumnya para guru belum sepenuhnya menggunakan model pembelajaran IPS dengan berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) sesuai dengan karakteristik pembelajaran IPS dimana tujuan utama yang diajarkan kepada peserta didik adalah bagaimana mengatasi masalah secara mandiri, berkelompok dan mampu berinteraksi dengan baik.
Dari beberapa temuan yang ditemukan dalam studi pendahuluan, maka diasumsikan bahwa pengembangan terhadap buku ajar pembelajaran IPS dengan berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) sesuai dengan karakteristik konsep bidang studi yaitu pembelajaran IPS.
Bertolak dari masalah tersebut, perlu konsolidasi agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yakni keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan perlu mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang. Dengan bekal kecakapan hidup tersebut diharapkan para lulusan sekolah akan mampu memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari dan menciptakan pekerjaan. Sehingga berdasarkan permasalahan diatas, maka dipandang perlu untuk diadakan penelitian tentang "PENGEMBANGAN BAHAN AJAR IPS BERBASIS PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS) DI SD X".

B. Fokus Masalah
Mengacu dari penjelasan latar belakang diatas maka penulis dapat menguraikan beberapa fokus masalah, diantaranya : 
1. Apakah bahan ajar mata pelajaran IPS berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) yang dikembangkan untuk kelas IV di SD X sudah efektif untuk diterapkan ?
2. Apakah bahan ajar mata pelajaran IPS berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) yang dikembangkan untuk kelas IV di SD X sudah menarik dan sesuai untuk digunakan ?

C. Tujuan Pengembangan
Berdasarkan fokus masalah yang diambil maka penulis dapat menjelaskan tujuan dari penelitian, diantaranya : 
1. Untuk menganalisis tingkat efektivitas bahan ajar mata pelajaran IPS berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) yang dikembangkan untuk kelas IV A di SD X.
2. Untuk menganalisis tingkat kemenarikan dan kesesuaian bahan ajar mata pelajaran IPS berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) yang dikembangkan untuk kelas IV A di SD X.

D. Kegunaan Pengembangan
Dengan penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap pengembangan pendidikan, yaitu sebagai berikut : 
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan untuk menambah pengetahuan dalam meningkatkan dan mengembangkan proses pendidikan kecakapan hidup (Life Skills) pada umumnya melalui proses belajar mengajar pendidikan kecakapan hidup (Life Skills) pada mata pelajaran IPS di kelas pada khususnya. 
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Sekolah Dasar (SD) maupun Madrasah Ibtidaiah (MI) pada umumnya kemudian dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan General Life Skills siswa pembelajaran berbasis kecakapan hidup (Life Skills) yang akan digunakan untuk proses belajar mengajar mata pelajaran IPS di kelas di SD X pada khususnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:28:00