Cari Kategori

Showing posts with label tesis hukum kesehatan. Show all posts
Showing posts with label tesis hukum kesehatan. Show all posts

TESIS HAK PASIEN ATAS INFORMASI OBAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK DOKTER

HAK PASIEN ATAS INFORMASI OBAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK DOKTER (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Kedokteran berkembang dengan semakin pesat, seiring dengan kemajuan teknologi. Banyak didapatkan perkembangan baru yang mutakhir, baik meliputi alat-alat medis, teknik pemeriksaan dan penegakan diagnosa suatu penyakit, maupun penemuan obat-obat baru, sehingga banyak menimbulkan manfaat secara umum bagi dunia kedokteran dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan.
Perkembangan teknologi dapat berdampak positif, yaitu meningkatnya mutu pelayanan kesehatan, karena penelusuran suatu diagnosa penyakit menjadi lebih cepat dan akurat. Tetapi, dampak negatifnya juga ada, yaitu kecenderungan para dokter menggunakan alat-alat canggih untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit, dan juga penggunaan obat-obat baru untuk pengobatan, sehingga biaya pengobatan menjadi semakin mahal.
Seiring dengan banyaknya penemuan baru untuk teknik pengobatan, obat-obat baru juga banyak didapatkan, terutama untuk beberapa penyakit yang pada waktu dulu sulit untuk diobati ataupun dianggap tidak ada obatnya, misalnya untuk HIV/AIDS, hepatitis kronik, beberapa jenis tumor ganas, dan lain sebagainya. Untuk masa mendatang, para ahli sedang mengadakan penelitian terhadap obat-obat farmakogenomik (obat-obat yang sesuai dengan konstitusi genetik setiap orang), sehingga angka keberhasilan pengobatan diharapkan akan semakin tinggi.
Penggunaan obat-obat untuk terapi, tentunya tidak terlepas dari hubungan dokter-pasien. Pada waktu yang lalu, hubungan dokter-pasien dibangun atas dasar hubungan Paternalistik (kekeluargaan), atas dasar kepercayaan. Model hubungan seperti ini memiliki keunggulan komparatif dibandingkan model hubungan yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum semata, namun jika terjadi konflik, maka konsep penyelesaiannya tidak jelas, karena tidak memiliki instrumen yang memadai guna menyelesaikan konflik serta tidak memiliki kekuatan hukum untuk memaksakan kehendaknya.
Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan dokter-pasien berubah menjadi hubungan terapeutik, dan termasuk hubungan kontraktual. Oleh karena itu, semua asas yang berlaku dalam hubungan kontraktual juga berlaku dalam hubungan terapeutik. Asas-asas tersebut adalah :
1. Asas Konsensual : masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya.
2. Asas Itikad baik (Utmost of Good Faith) : merupakan asas yang paling utama dalam setiap hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Oleh sebab itu, dokter ataupun pasien harus sama-sama beritikad baik, sebab tanpa dilandasi asas itu hubungan terapeutik tidak syah demi hukum.
3. Asas bebas : masing-masing pihak bebas menentukan apa saja yang akan menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang hal itu disepakati.
4. Asas tidak melanggar hukum : isi kesepakatan tidak boleh melanggar hukum.
5. Asas Kepatutan dan Kebiasaan : para pihak yang mengadakan perikatan tidak hanya tunduk pada hal-hal yang telah disepakati saja, tetapi juga pada hal-hal yang sudah menjadi kepatutan dan kebiasaan yang berlaku di dunia kedokteran.
Pada hubungan dokter-pasien, terbentuk hubungan hukum yang disebut dengan nama perikatan (verbintenis), dimana akan timbul hak dan kewajiban yang timbal balik, hak pasien menjadi kewajiban dokter dan kewajiban pasien menjadi hak dokter. Mengenai bentuk prestasi yang menjadi kewajiban dokter, tidak dapat dilepaskan dari konsep tentang perikatan yang terjadi dalam hubungan terapeutik, yaitu inspanning verbintenis (perikatan upaya), dan bukan resultaat verbintenis (perikatan hasil).
Jadi, prestasi dokter dalam hubungan terapeutik hanyalah memberikan upaya medik yang layak dan benar berdasarkan teori Kedokteran yang telah teruji kebenarannya (evidence based medicine).
Menurut Prof H.J.J Leenen, tindakan medik/upaya medik disebut legeartis jika tindakan tersebut telah dilakukan sesuai Standar Profesi Dokter.
Dapat dirumuskan sebagai berikut : "Suatu tindakan medik seorang dokter sesuai dengan standar profesi kedokteran, jika dilakukan secara teliti sesuai ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medik yang sama dengan sarana upaya yang memenuhi perbandingan yang wajar (proporsional) dibanding dengan tujuan konkrit tindakan medik tersebut".
Jadi, bila seorang dokter sudah melakukan upaya medik/tindakan medik sesuai dengan standar profesi kedokteran (sesuai dengan standar pelayanan medik dan standar prosedur operasional), kemudian hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan, apalagi dalam hal pemberian obat-obatan kepada pasien, dokter tersebut tidak dapat begitu saja dianggap melakukan kelalaian atau mal praktik.
Walaupun hubungan terapeutik antara dokter-pasien sudah semakin membaik dan mempunyai konsep hukum yang jelas, tetap saja pihak pasien berada pada posisi yang " lemah ", terutama dalam menerima jenis dan jumlah obat yang akan dipakai. Hal ini disebabkan pemberian informasi tentang obat tidak pernah dilakukan oleh para dokter.
Upaya perlindungan terhadap konsumen obat/pasien di Indonesia dinilai oleh berbagai kalangan masih sangat minim, yang dinilai dari :
1. Pasien masih sangat tergantung pada dokter dalam hal penggunaan obat, termasuk jenis dan macam obat.
2. Minimnya informasi tentang obat yang sebetulnya merupakan hak pasien.
3. Belum adanya kejelasan standarisasi harga obat.
Ketua Yayasan Lembaga Indonesia (YLKI) pada tanggal 30 Agustus 2006 di Jakarta menjelaskan, bahwa saat ini ada beberapa permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia mengenai obat, yaitu (harian umum Kompas, 31 Agustus 2006) :
1. Pemahaman konsumen terhadap komposisi dan khasiat obat masih sangat minim.
2. Pasien dan keluarganya sangat tergantung pada dokter berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit, termasuk jenis obat yang dikonsumsi.
3. Peran Apotik yang hanya sebagai toko obat, karena di Jakarta saja baru 30 persen dari total semua apotik yang memiliki Apoteker.
Artinya, di apotik tersebut tidak ada petugas yang kompeten dan bisa ditanya atau menjelaskan kandungan atau kegunaan obat.
Dengan adanya beberapa hal tersebut di atas, menimbulkan suatu permasalahan, yaitu suatu kondisi masyarakat yang berobat kepada dokter sering mendapatkan reaksi yang tidak diharapkan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya akibat penggunaan obat yang diberikan. Hal inilah yang akhir-akhir ini sering menimbulkan permasalahan hukum terhadap dokter.

B. Perumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan hak pasien mengenai informasi obat menurut peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini ?
2. Apakah yang dimaksud dengan perlindungan hukum untuk dokter dalam hal pemberian informasi obat kepada pasien ?
3. Apakah dengan dipenuhinya hak pasien mengenai informasi obat akan dapat memberikan perlindungan hukum untuk dokter ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam mengadakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan gambaran mengenai hak pasien tentang informasi obat yang merupakan salah satu dari kewajiban profesi seorang dokter.
2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai pelindungan hukum terhadap dokter dan hubungannya dalam hal pemberian informasi obat kepada pasien.
3. Untuk mendapatkan gambaran mengenai perundang-undangan yang ada saat ini tentang informasi obat yang merupakan hak pasien dan perlindungan hukum untuk dokter.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat terhadap kalangan Kedokteran, diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan pengetahuan dibidang hukum tertentu, khususnya dalam permasalahan hubungan antara pemberian informasi mengenai obat yang merupakan hak pasien dan perlindungan hukum untuk dokter, sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan praktik sehari-hari, baik di sarana pemberi pelayanan kesehatan, dalam praktik pribadi maupun dalam pelaksanaan pengobatan ataupun pemberian vaksinasi/imunisasi masal.
2. Manfaat terhadap Pembuat Kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang perlunya dibuat suatu peraturan pelaksanaan mengenai obat.

E. Sistematika Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 5 BAB yang meliputi :
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini dimulai dengan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika Penelitian.
BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini dimulai dengan menguraikan mengenai Hubungan Hukum Antara Dokter-Pasien Dalam Hal Pelayanan Kesehatan, lalu diikuti uraian mengenai Ketentuan Hukum Tentang Pemberian Obat, dan selanjutnya ditutup dengan Hak Pasien Atas Informasi Obat Dan Perlindungan Hukum Untuk Dokter.
BAB III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang Metode Pendekatan, Spesifikasi Penelitian, Jenis Data, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data.
BAB IV. GAMBARAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang Gambaran Kasus yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah X dan Dinas Kesehatan Kabupaten X beserta pembahasannya.
BAB V. PENUTUP
Bab ini memuat Kesimpulan serta Sara dan selanjutnya Penelitian ini akan ditutup dengan Daftar Pustaka.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:58:00

PENERAPAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN YANG IDEAL DALAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN MELALUI PROGRAM JAMKESMAS

PENERAPAN PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN YANG IDEAL DALAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN MELALUI PROGRAM JAMKESMAS (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya, termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Demikian juga halnya dalam Konvensi International Labour Organization (Konvensi ILO) Nomor 102 Tahun 1952 yang menganjurkan semua negara untuk memberikan perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Pembentukan Sistem Jaminan Sosial Nasional, direalisasikan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang mempunyai program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Jaminan sosial ini merupakan upaya pemerintah dalam menangani krisis moneter. Sebagaimana diketahui krisis dimulai sejak tahun 1997 sampai sekarang, disebabkan oleh faktor multidimensi di antaranya pengalihan program subsidi bagi masyarakat miskin berupa subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk sektor kesehatan bagi masyarakat miskin menjadi program Jaring Pengaman Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM).
Untuk dapat melanjutkan hidupnya manusia memerlukan beberapa kebutuhan pokok dan terdapat beberapa kebutuhan pokok yang minimal sangat dibutuhkan sehingga manusia dapat hidup terus. Salah satu di antara kebutuhan yang dimaksud adalah kesehatan.
Kebutuhan pokok minimal yang semakin sulit didapat bagi sebagian warga, terutama warga miskin, harus diupayakan dicapai oleh pemerintah dengan berbagai cara. Salah satu upaya yakni dengan program asuransi sosial bagi masyarakat miskin. Dalam program ini masyarakat miskin akan didata terlebih dahulu degan beberapa kriteria yang telah ditentukan sebelumnya agar terdapat keseragaman dalam melaksanakan pendataan tersebut. Pada pelaksanaannya pendataan yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan sebelumnya karena berbagai kendala. Kendala yang dimaksud antara lain kriteria yang menjadi acuan tidak terlalu jelas batasan yang menjadi acuan bagi para pendata, sehingga terkesan pendataannya seperti tidak tepat sasaran. Selain itu kondisi geografi yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ada daerah yang sulit untuk dijangkau sehingga pendataan tidak sampai sasaran. Faktor ekonomi yang tidak kunjung membaik, hal ini tampak dari laporan Bank Dunia yang memperhitungkan 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin.
Sehat menurut definisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 1 butir 1 adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Sebagaimana diketahui kesehatan adalah hak setiap individu tanpa membeda-bedakan yang mampu maupun yang tidak mampu. Oleh karena itu menjadi tugas negara untuk menyediakan segala fasilitas yang diperlukan agar rakyatnya tetap sehat sehingga sudah sewajarnya kesehatan mendapatkan subsidi yang besar. Sebab pada dasarnya kesehatan merupakan sebuah investasi sehingga patut mendapat perhatian dari pemerintah. Bila rakyat suatu negara sehat maka pembangunan dalam berbagai bidang dapat dilaksanakan secara optimal.
Untuk mendapatkan asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin ada beberapa syarat atau kriteria yang harus dipenuhi, namun perlu juga dikemukakan di sini bahwa ada pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung oleh PT Askes, seperti untuk general check up, prothesis gigi tiruan, kosmetika, pengobatan alternative, penunjang diagnosa canggih, kecuali untuk penyelamatan jiwa (life saving), serta infertilitas.
Adanya keterbatasan pelayanan kesehatan membawa dampak bagi warga miskin yakni rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena pada umumnya golongan masyarakat ini mempunyai gizi buruk, pengetahuan tentang kesehatan kurang, perilaku kesehatan kurang, lingkungan pemukiman buruk, biaya kesehatan tidak tersedia serta kurang mendapat akses informasi kesehatan.
Pada hakekatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pemerintah propinsi/kabupaten/kota berkewajiban memberi kontribusi sehingga menghasilkan pelayanan yang optimal.
Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin.
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak Tahun 1998 Pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dimulai dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) Tahun 1998-2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) Tahun 2001 dan Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Tahun 2002-2004. Program-program tersebut di atas berbasis pada pelaksana kesehatan artinya dana disalurkan langsung ke Puskesmas dan Rumah Sakit yang berfungsi ganda yaitu sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan juga mengelola pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Kondisi seperti ini menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya defisit di beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di Puskesmas.
Untuk itu pada tahun 2004, dengan mengacu kepada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan Aseskin sebagai jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin, yang kemudian pada tahun 2008 yang lalu program tersebut berganti menjadi Jamkesmas sebagaimana diatur dalam S.K. Menkes No. 125 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jamkesmas Tahun 2008.
Adanya pembatasan-pembatasan pelayanan yang diterapkan dalam penyelenggaraan program JPKMM ini (misalnya pembatasan biaya kaca mata, alat bantu dengar, tongkat/alat bantu berjalan bagi mereka yang lumpuh) menyebabkan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan sekali alat bantu tersebut menjadi terhambat. Disamping pembatasan masih ada lagi jenis pelayanan yang tidak ditanggung sama sekali oleh program Jamkesmas ini sebagaimana tercantum dalam S.K. Menkes No. 125 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jamkesmas Tahun 2008 tersebut.
Program JAMKESMAS ini sebenarnya cukup baik tujuannya namun dalam pelaksanaannya tidak semua masyarakat miskin dapat merasakan manfaatnya karena keterbatasan dana pemerintah sehingga pemerintah menetapkan kuota tertentu untuk perlindungan masyarakat miskin yang dibiayai dari APBN, sedangkan sisanya yang tidak termasuk dalam kuota JAMKESMAS diserahkan ke pemerintah daerah setempat untuk ditanggulangi oleh dana yang berasal dari APBD masing-masing daerah.

B. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Apakah adanya ketentuan tentang pembatasan pelayanan kesehatan bagi warga miskin melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan ? Karena tidak semua sarana pelayanan kesehatan dapat digunakan oleh masyarakat miskin, kecuali keadaan gawat darurat (emergency) serta adanya ketentuan pelayanan kesehatan yang di batasi dan yang tidak di jamin. Pada dasarnya setiap warga Negara baik yang kaya atau yang miskin mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatannya, sehingga dari hal-hal yang melatarbelakangi permasalahan kesehatan bagi warga miskin tersebut dapat dibuat identifikasi masalah yakni :
1. Bagaimana wujud pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang ideal ?
2. Bagaimana hubungan pelayanan kesehatan masyarakat miskin melalui program JAMKESMAS dan pelayanan kesehatan masyarakat miskin yang ideal ?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang ideal;
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang analisis hubungan pelayanan kesehatan masyarakat miskin melalui program JAMKESMAS dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang ideal.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara teoritis.
Dari hasil penelitian ini dapat melakukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam menelaah jaminan kesehatan bagi masyarakat khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah serta bermanfaat dalam meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Dengan melaksanakannya melalui penerapan standar pelayanan kesehatan dengan bimbingan teknis teratur dan berkesinambungan baik di puskesmas maupun rumah sakit dengan akreditasi. Yang dimaksud dengan akreditasi adalah pengaturan formal kepada suatu lembaga untuk melaksanakan kegiatan.
2. Secara praktis.
Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan dan pengelola program Askeskin dalam melakukan pembatasan pembatasan pelayanan kesehatan terhadap warga miskin sehingga tidak melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 serta bermanfaat untuk :  a. Terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin sesuai standar dengan kendali mutu dan biaya.
b. Terselenggaranya sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kontrak dengan PT. Askes (Persero).
c. Terselenggaranya sarana pelayanan kesehatan yang tidak mengadakan kontrak dengan PT. Askes (Persero) bagi masyarakat miskin untuk kasus gawat darurat.
d. Terselenggaranya pelayanan kesehatan dengan konsep pelayanan dokter keluarga, konsep pelayanan rujukan, konsep pelayanan wilayah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:53:00