Cari Kategori

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU SMK MATA PELAJARAN BIMBINGAN KONSELING

TESIS EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN KOMPETENSI GURU SMK MATA PELAJARAN BIMBINGAN KONSELING (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu upaya dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas guru sebagai ujung tombak yang secara langsung berhadapan peserta didik. Upaya peningkatan kualitas guru telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang tersebut pada pasal 40 ayat 1 butir (c) pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh pembinaan karir sesuai dengan tuntutan kualitas; ayat 2 butir (b) pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pada pasal 44 ayat 1 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dengan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan kependidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Selanjutnya pada pasal 44 ayat 3 disebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. Undang-Undang tersebut menunjukkan hak dan kewajiban guru dalam meningkatkan profesionalitasnya karena apabila kemampuan guru lemah akan menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
Guru sebagai salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan karena keberhasilan penyelenggaraan pendidikan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Namun demikian posisi strategis guru dalam meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi kemampuan profesional mengajarnya.
Mengingat pentingnya guru bagi peningkatan mutu pendidikan, maka perlu adanya upaya-upaya meningkatkan kemampuan dan kesanggupan kerjanya maka dalam hal ini Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Departemen Pendidikan Nasional ditunjuk sebagai pembina/pelaksana program peningkatan mutu guru tersebut, salah satunya yaitu melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang ada di tiap propinsi.
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan X yang selanjutnya disingkat LPMP X ditunjuk menjadi unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional yang ada di Propinsi X, sejak tahun 1992 yang pada hakikatnya telah berfungsi sebagai lembaga peningkatan mutu guru hampir dua dasawarsa yang lalu. Pada masa itu masih bernama Balai Penataran Guru X (BPG) tugas pokok dan fungsi pada masa itu murni berfokus pada pelaksanaan penataran guru dan pendidikan bagi guru.
Sejalan dengan kemajuan serta tuntutan perkembangan dunia pendidikan, Balai Penataran Guru (BPG), kurang lebih empat tahun yang lalu berubah nama menjadi Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) yang berfungsi menjadi lembaga pengembangan yang menangani kegiatan-kegiatan meliputi pembinaan, fasilitasi dan pendataan jumlah dan mutu guru/tenaga kependidikan melakukan pelayanan teknis yang menyeluruh terhadap aspek-aspek yang mendukung terlaksananya proses pembelajaran di sekolah, melakukan pelayanan pada masyarakat berupa produksi dan jasa. Agar tetap bisa berkiprah dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan X menyelenggarakan program diklat/peningkatan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia. Untuk itu pemetaan kompetensi, pengkajian mutu pendidikan dan fasilitasi sumber daya pendidikan di seluruh Kabupaten/Kota Propinsi X yang telah dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan mutu profesionalisme guru-guru se-propinsi X.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X harus terus meningkatkan profesionalisme dan menciptakan terobosan-terobosan baru sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan/peningkatan kompetensi yang berkualitas dapat tercapai. Dengan dukungan personil 136 orang dengan tingkat pendidikan pegawai/karyawan baik tenaga administrasi dan tenaga edukatif dengan latar pendidikan S3 sebanyak 1 orang, S2 sebanyak 5 orang, S1 sebanyak 82 orang D3 sebanyak 11 orang, SMA sebanyak 33 orang, SMP sebanyak 1 orang dan SD sebanyak 2 orang. Sudah selayaknya penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat terlaksana dengan baik.
Namun pada kenyataannya dalam proses pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sering terbentur pada permasalahan-permasalahan teknis, seperti tingkat kesiapan pengelolaan diklat, koordinasi dengan dinas pendidikan/sekolah pengirim peserta dan lain-lain, sehingga dianggap program dan pelayanan di dalam penyelenggaraan diklat yang diberikan oleh institusi penyelenggara diklat kualitasnya dinilai rendah. Hal ini dapat terlihat dari masih adanya peserta yang tidak hadir memenuhi panggilan untuk mengikuti diklat. Kemudian dilihat dari komposisi tingkat pendidikan penatar masih relatif banyak yang berlatar belakang S1 dan beberapa berlatar belakang S2, sehingga ada kecenderungan tenaga penatar memiliki kemampuan yang relatif sama dengan peserta dan selanjutnya banyak faktor-faktor lain dari pegawai yang mempengaruhi masalah efektivitas kerja pegawai seperti kurangnya kesadaran dan kerelaan dalam melaksanakan tugas, kemampuan dan keterampilan pegawai, pengetahuan dan sikap dari pegawai itu sendiri dan pengaruh manajemen yang tidak kondusif.
Keadaan tersebut di atas, bila tidak ditindaklanjuti akan menghambat pencapaian tujuan organisasi karena efektivitas kerja pegawai bagaimanapun juga merupakan salah satu ujung tombak pemberdayaan pegawai dalam memberikan pelayanan yang prima. Sedangkan kita mengetahui bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan akan tercapai dengan baik bila dikelola dengan baik dan didukung penuh oleh seluruh potensi sumber daya yang ada secara maksimal.
Dengan mengimplementasikan manajemen yang baik dalam artian adanya cara yang sistematik dan terorganisir melalui pendekatan Total Quality Management yaitu suatu pendekatan yang seharusnya dilaksanakan oleh organisasi masa kini yang diarahkan untuk memperbaiki kualitas product-nya dan meningkatkan produktivitas kerjanya, maka diharapkan proses yang dilalui dalam penyelenggaraan diklat dapat berjalan mencapai suatu tujuan yang ditetapkan dan berpengaruh terhadap hasil diklat.
Dari uraian tersebut di atas sangat menarik untuk dikaji dan ditindaklanjuti bagaimana pelaksanaan pendidikan dan pelatihan peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling serta bagaimana hasil dari perubahan tingkah laku peserta didik setelah mengikuti diklat, apakah dapat memberikan suatu kontribusi yang bermakna terhadap institusi dimana ia bertugas. Hal ini dapat diketahui dengan pasti manakala diadakan suatu penelitian secara sistematis dan komprehensif.
Disamping itu untuk mengetahui dan mengungkap berhasil tidaknya suatu program maka diperlukan suatu evaluasi, karena hal tersebut digunakan untuk menentukan kebijakan atau tindak lanjut terhadap program pelatihan tersebut.
Mencermati evaluasi saat ini dirasa baru menekankan pada evaluasi input dan proses, karena belum tampak adanya hasil penilaian prestasi peserta pelatihan selama mengikuti pelatihan serta belum adanya monitoring dan evaluasi yang sistematik maupun terprogram untuk menindaklanjuti hasil pelatihan yang dilaksanakan (Depdiknas 2003 : 2) sehingga masih perlu dilaksanakan evaluasi penyelenggaraan diklat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan X. 
Pendekatan yang digunakan dalam mengevaluasi penyelenggaraan diklat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X merujuk pada pendekatan CIPP (Context, Input, Process, dan Product) yang dikembangkan Stuff beam dan kawan-kawan (1967) di Ohio State University. CIPP merupakan singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu; Context evaluation adalah evaluasi terhadap konteks, Input evaluation adalah evaluasi terhadap masukan, Process evaluation adalah evaluasi terhadap proses dan Product evaluation adalah evaluasi terhadap hasil. (Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar, 2004 : 29). 

B. Perumusan Masalah
Seiring dengan maraknya perubahan di berbagai bidang pendidikan, pengelolaan diklat diselenggarakan secara profesional sehingga membawa pengaruh terhadap hasil diklat. Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan diklat tersebut Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X melakukan terobosan-terobosan dalam usaha peningkatan proses pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya lembaga pendidikan kejuruan di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti dan membahas evaluasi diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling, yang merujuk pada pendekatan CIPP (Context, Input, Process and Product) yang meliputi evaluasi terhadap situasi atau latar belakang, perkiraan kebutuhan yang akan dicapai dalam diklat dan tujuan program, persiapan, penyelenggaraan, dan dampak diklat, sehingga dirumuskan masalahnya sebagai berikut : 
1. Evaluasi Context, bertujuan untuk mengetahui latar belakang, tujuan, sasaran, dampak yang ingin dicapai dalam kegiatan diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
2. Evaluasi Input, bertujuan untuk mengetahui masukan awal dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pelatihan maka permasalahan yang digali dalam hal ini adalah bagaimana kriteria input peserta diklat yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
3. Evaluasi Process, bertujuan untuk menilai proses berlangsungnya kegiatan atau pelaksanaan diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X maka permasalahan yang digali dalam hal ini adalah : 
1). Bagaimana program pembelajaran diklat yang disusun oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
2). Bagaimana proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
4. Evaluasi Product, bertujuan untuk menilai keberhasilan peserta setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan maka permasalahan yang digali dalam hal ini adalah : 
1). Bagaimana standar kompetensi lulusan diklat yang disusun oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 
2). Seberapa tinggi tingkat keberhasilan peserta diklat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 
3). Seberapa besar kinerja lulusan dalam mengikuti diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Evaluasi terhadap pendidikan dan pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru, merupakan kegiatan yang jarang dilakukan oleh setiap institusi. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui tingkat keberhasilan dari program pendidikan dan pelatihan di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X.
2. Tujuan Khusus
a. Evaluasi context untuk mengetahui latar belakang, tujuan, sasaran, dampak yang ingin dicapai dalam kegiatan diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X.
b. Evaluasi Input untuk mengetahui bagaimana kriteria input peserta diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X.
c. Evaluasi Process untuk mengetahui tentang : 
1). Program pembelajaran diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling yang disusun oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X.
2). Proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ?
d. Evaluasi Product, untuk mengetahui : 
1). Standar kompetensi lulusan diklat yang disusun oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 
2). Mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan peserta diklat di Lembaga Penjaminan Mutu (LPMP) X ?
3). Mengetahui seberapa besar kinerja lulusan dalam mengikuti diklat peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran bimbingan konseling di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) X ? 

D. Manfaat Hasil Penelitian
1. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan penulis dapat memberikan sumbangan berupa kajian konseptual tentang terhadap staf, penanggungjawab kegiatan, pimpinan dan pelaksanaan diklat di lingkungan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan X khususnya, dan umumnya terhadap Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) serta Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) yang ada di Indonesia. 
2. Secara praktis, akan memberikan penyajian empirik tentang faktor-faktor penting yang melatarbelakangi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan peningkatan kompetensi guru SMK mata pelajaran Bimbingan Konseling. Berdasarkan hal tersebut, hasilnya diharapkan dapat menjadikan panduan bagi penyempurnaan program berikutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:24:00

TESIS PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DI SEKOLAH DASAR NEGERI

TESIS PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DI SEKOLAH DASAR NEGERI (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan yang penuh perubahan untuk berbagai faktor, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, zaman yang semakin mengglobal, dan persaingan hidup yang makin ketat, membawa implikasi pentingnya reorientasi proses pembelajaran.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa masih banyak diantara guru-guru sekolah dasar menyelenggarakan pembelajarannya secara tidak menarik dan karenanya kurang dapat mencapai sasaran-sasaran yang diharapkan. Penggunaan metode ceramah masih mendominasi kegiatan guru sehari-hari. Peserta didik kegiatannya berulang-ulang di sekitar mendengarkan, memperhatikan penjelasan dan mencatat hal-hal yang diperintahkan guru. Kegiatan belajar telah menjadi sesuatu yang rutin, monoton dan membosankan, bukan lagi sebagai kegiatan yang menarik, menantang dan menuntut partisipasi aktif dari peserta didik.
Proses pembelajaran seperti digambarkan di atas, jelas tidak mungkin dapat mempersiapkan peserta didik yang mampu bersaing dalam kehidupan dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tantangan yang makin berat. Pembelajaran harus diorientasikan pada kemampuan bersikap dan berpikir kritis, dibangun di atas konsep-konsep dari sistem filosofis yang kuat, dilakukan melalui proses pembelajaran yang memberikan berbagai peluang dan pengalaman belajar yang penuh arti, dan dilakukannya penilaian yang benar-benar akurat, jujur, objektif, dan penuh antisipasi dalam menjawab tantangan hidup masa depan.
Wawasan pendidikan sepanjang hayat tidak boleh terabaikan dari perhatian guru dan peserta didik sebagaimana keterlibatannya (mereka) dalam proses belajar mengajar sehari-hari. Motivasi yang kuat dari peserta didik maupun guru untuk mau belajar terus mesti tumbuh, terpelihara dan dapat dikembangkan. Sikap dan etos untuk lebih keras belajar nampaknya perlu dikenalkan dan dilatihkan. Mereka sepantasnya dibiasakan untuk menghadapi masalah dan berusaha mencoba mencari jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi itu. Mereka harus benar-benar dipersiapkan untuk belajar sesungguhnya dan mampu bersaing tidak hanya dengan teman-teman sekelasnya, tetapi juga dengan siapa saja sebayanya di daerahnya, di tingkat wilayahnya, secara nasional, bahkan untuk bersaing dengan bangsa lain secara internasional.
Upaya-upaya pembaharuan di bidang pendidikan sudah sejak lama dilakukan dan digalakkan, meliputi tenaga pendidik (guru), kurikulum strategi pembelajaran yang meliputi : metode, alat, sistem penilaian, administrasi pembelajaran dan sebagainya, yang implikasi dari pembaharuan itu adalah keberhasilan proses belajar mengajar guru di kelas.
Pembelajaran yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pemahaman kurikulum, fasilitas yang tersedia, wawasan pengetahuan guru yang luas tentang semua bidang, tetapi lebih menekan pada bagaimana seorang guru mampu mengelola pembelajaran yang baik sehingga tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai dengan efektif dan efisien, serta upaya guru dalam menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang menguntungkan peserta didik, sehingga tumbuh iklim belajar yang berkualitas.
Usaha pencegahan dan tindakan perlu dilaksanakan dalam upaya menciptakan kondisi kelas yang diharapkan. Usaha pencegahan dimaksud tercipta dan dapat dipertahankannya kondisi kelas yang kondusif yang harus dirancang dan diusahakan oleh guru secara sengaja agar hal-hal yang merugikan dapat dihindari. Sedangkan upaya tindakan yaitu usaha mengembalikan kepada kondisi yang optimal apabila terjadi hal-hal yang merusak situasi pembelajaran yang disebabkan oleh tingkah laku peserta didik.
Upaya guru untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang diharapkan akan efektif bila : (1) diketahui secara tepat faktor-faktor yang dapat menunjang terciptanya kondisi-kondisi yang menguntungkan dalam proses pembelajaran, (2) diketahuinya masalah-masalah yang diperkirakan dan mungkin tumbuh yang dapat merusak iklim belajar mengajar, (3) dikuasainya berbagai pendekatan dalam manajemen kelas dan diketahui pula kapan dan untuk masalah mana satu pendekatan digunakan (M. Entang dan T. Raka Joni dalam Maman Rachman, 1999 : 2).
Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang bermaksud memfasilitasi peserta didik (siswa) agar dapat mencapai tujuan pendidikan secara langsung, sedangkan manajemen kelas merupakan serangkaian kegiatan/tindakan yang bermaksud menciptakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya pembelajaran dengan baik. Dengan demikian tampaklah jelas bahwa manajemen kelas merupakan persyaratan penting yang menentukan terciptanya pembelajaran yang efektif.
Di kelas segala aspek pembelajaran bertemu dan berproses. Guru dengan segala kemampuannya. Siswa dengan segala latar belakang dan potensinya, kurikulum dengan segala komponennya, metode dengan segala pendekatannya, media dengan segala perangkatnya, materi dengan segala sumber belajarnya, semuanya bertemu dan berinteraksi di dalam kelas, hasil interaksi (proses pembelajaran) tersebut ditentukan oleh situasi yang tercipta dalam kelas, sehingga selayaknya perlu adanya manajemen kelas yang baik, profesional, dan berkelanjutan.
Peran guru sangatlah besar dalam pengelolaan kelas, karena guru sebagai penanggung jawab kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru harus penuh inisiatif dan kreatif dalam mengelola kelas, guru lah yang mengetahui secara pasti situasi dan kondisi kelas terutama keadaan siswa dengan segala latar belakangnya.
Peran ini mewajibkan guru menyampaikan sejumlah materi pelajaran sesuai dengan Garis-garis Besar Program Pengajaran yang berupa informasi, fakta serta tugas dan keterampilan yang harus dikuasai oleh siswa (Djauzak Ahmad, 1995 : 3) Untuk itu guru harus menguasai materi pelajaran, metode, alat, teknik-teknik penilaian dan sebagainya. Dalam peran ini guru dianggap sumber informasi dan sumber belajar utama, oleh karena itu guru harus selalu menambah dan memperluas wawasannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang.
Kurikulum sebagai program pendidikan secara utuh mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan program pendidikan dan pembelajaran. Kurikulum memberikan arah dalam merencanakan kegiatan pembelajaran baik menyangkut materi, metode, media dan sebagainya sebagaimana digariskan.
Terkait dengan pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru dituntut menguasai strategi pembelajaran. Strategi dalam proses belajar mengajar dimaksudkan untuk menyiasati peserta didik agar terlibat aktif belajar. Di sini implementasi strategi belajar dan pengembangannya ditujukan bagi pembelajaran anak usia sekolah dasar yang memiliki karakteristik tersendiri.
Strategi pembelajaran secara utuh memuat beberapa aspek, yaitu pemilihan materi yang sesuai (esensial), pemilihan metode, media dan alat pelajaran, sistem penilaian yang tepat, serta memperhatikan lingkungan proses pembelajaran.
Guru sekolah dasar tidak hanya dituntut menyelesaikan bahan pelajaran yang sudah ditetapkan, tetapi harus menguasai dan menghayati secara mendalam materi-materi yang akan diajarkan, sehingga diperlukan kreativitas sehingga mampu memilih materi-materi pelajaran yang esensial.
Salah satu kelemahan mendasar yang biasanya terjadi dalam kegiatan belajar mengajar terletak pada inti aktivitas pembelajaran itu sendiri, yaitu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa serta interaksinya satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini guru harus menguasai berbagai metode mengajar, pemilihan media ataupun alat yang digunakan disesuaikan dengan kondisi siswa (kecerdasan) digunakannya tujuan yang direncanakan dapat tercapai.
Dengan memperhatikan segi individualitas dan karakteristik anak usia sekolah dasar serta berbagai dimensi perkembangannya, maka seorang guru harus penuh pertimbangan dalam mengembangkan pembelajaran di kelasnya, dengan tidak menyimpang prinsip-prinsip psikologis anak (M. Sumantri dan Johor Permana, 2000 : 14). Kenyataan tersebut menjadi alasan kuat agar sistem pembelajaran yang dikembangkan guru diharapkan akan semakin dapat melayani kebutuhan individual peserta didik/siswa (individually guided education) dan pembelajaran benar-benar menjadi menarik dan bermakna.
Seorang guru perlu memahami berbagai hal yang tidak bisa digolongkan ke dalam penyebab terjadinya kegiatan belajar. Gagne dalam M. Sumantri dan Johar Permana (2000 : 15), menerangkan bahwa proses alamiah, kedewasaan, atau keadaan organisme yang bersifat temporer seperti misalnya kelelahan, pengaruh obat-obatan, rasa takut, persepsi, motivasi dan seterusnya atau gabungan kesemuanya. Apabila peserta didik telah belajar suatu hal, maka pada dirinya akan terjadi perubahan dalam kesiapannya menghadapi lingkungan.
Namun perlu disadari bahwa proses pendidikan (di sekolah dasar) merupakan kompleksitas artinya mencakup banyak faktor diantaranya kepala sekolah, guru, siswa, lingkungan, masyarakat dan sebagainya, sehingga diperlukan usaha-usaha tertentu secara bersama dan atau mandiri agar tercapai mutu sebagaimana diharapkan. Mutu pendidikan bukan sesuatu yang statis, melainkan suatu konsep yang bisa berkembang seirama dengan tuntutan kebutuhan hasil pendidikan yang berkaitan dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang melekat pada wujud pengembangan kualitas sumber daya manusia.
Dengan demikian, pengertian mutu pendidikan di sekolah adalah : "kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma dan standar yang berlaku" (Djauzak Ahmad, 1996 : 8).
Adapun komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah tersebut dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, antara lain : siswa, guru, pembina/pengelola sekolah, sarana/prasarana dan proses belajar mengajar.
Secara sederhana pengelolaan terhadap komponen tersebut dapat memperlihatkan gambaran mutu pendidikan yang dapat dikenali melalui antara lain : keluaran/lulusan relevan dengan kebutuhan masyarakat, nilai akhir sebagai ukuran prestasi belajar siswa, prosentase lulusan dicapai secara maksimal, penampilan kemampuan dan budi pekerti.
Dari sekian banyak mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar untuk mendukung komponen penampilan kemampuan dan budi pekerti sesuai dengan usia anak salah satu yang dikembangkan adalah diajarkannya mata pelajaran muatan lokal. Khususnya di wilayah Kabupaten X muatan lokal mencakup : muatan lokal propinsi dan muatan lokal kabupaten serta muatan lokal sekolah. Untuk muatan lokal propinsi adalah bahasa Jawa, muatan lokal kabupaten adalah bahasa Inggris, muatan lokal sekolah berupa keterampilan yang antara sekolah satu dengan lainnya dimungkinkan berbeda.
Terkait dengan budi pekerti yang secara umum terintegrasi pada sejumlah mata pelajaran termasuk di dalamnya adalah bahasa Jawa bertujuan : "Memfasilitasi siswa agar mampu menggunakan pengetahuan, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai, mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya akhlak mulia dalam diri siswa serta mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari, dalam konteks sosial budaya yang Bhinneka (Udin S. Winataputra dkk., 2001 : 6).
Di dalam struktur program pendidikan dasar terdapat mata pelajaran muatan lokal yang harus diajarkan di satuan pendidikan sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang alokasi waktunya telah ditetapkan.
Pendidikan di Jawa Tengah tidak boleh terlepas dari struktur program pendidikan nasional. Oleh karena itu, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah selayaknya menetapkan jenis muatan lokal tersebut. Mata pelajaran muatan lokal ada dua macam pilihan yaitu : mata pelajaran muatan lokal wajib dan pilihan. Adapun yang wajib adalah bahasa Daerah (Jawa) dengan pertimbangan bahasa potensi ini terdapat di seluruh wilayah Jawa Tengah dan merupakan kebutuhan masyarakat yang harus dikembangkan.
Bahasa Jawa mempunyai kedudukan sebagai bahasa pertama bagi sebagian besar anak-anak masyarakat penutur Bahasa Jawa, terutama yang tinggal di pedesaan. Masyarakat penutur Bahasa Jawa yang tinggal di pedesaan masih menduduki prosentase yang cukup tinggi diantara penduduk Indonesia yang menempati wilayah Propinsi Jawa Tengah dan DIY. Dengan demikian, berarti Bahasa Jawa sebagai bahasa pertama yang menduduki tempat yang penting di kalangan anak-anak masyarakat pedesaan di wilayah Jawa Tengah dan DIY.
Di sisi lain sebagai pekerja profesional guru dituntut untuk dapat melakukan/melaksanakan tugasnya dengan keahlian yang dimiliki dalam kegiatan belajar mengajar di depan kelas. Sejalan dengan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diharapkan guru lebih kreatif dalam menggali materi pelajaran maupun strategi pembelajarannya, sehingga output pendidikan benar-benar dirasakan bagi masyarakat. Melalui KTSP diharapkan potensi yang ada pada SD tersebut dapat tergali sebagai bentuk/wujud kompetensi, termasuk di dalamnya muatan lokal Bahasa Daerah (Jawa).
Bahasa Daerah (Jawa) sebagai muatan lokal dalam KTSP tersebut merupakan satu mata pelajaran yang terpisah. Dewasa ini ada kecenderungan pendapat bahwa pelajaran Bahasa Daerah (Jawa) dianggap mata pelajaran yang tidak penting, sehingga sering dinomorduakan bahkan ada kalanya jam-jam pelajaran Bahasa Jawa digunakan untuk mata pelajaran yang lain khususnya di SD karena mengejar kompetensi mata pelajaran yang lain.
Pada hakikatnya tidak ada mata pelajaran yang tidak penting, karena semua mata pelajaran pada akhirnya berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya. Bahkan dalam pelajaran Bahasa Jawa secara tidak langsung siswa belajar memahami budi pekerti, tata krama, dan etika (unggah-ungguh), karena dalam pelajaran Bahasa Jawa baik tata bahasa, parama sastra, maupun susastra sangat menekankan pada sikap perilaku (budi pekerti), tata krama dan etika (unggah-ungguh) yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Banyak keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh kalangan orang tua yang menyebutkan bahwa banyak anak-anak sekarang yang tidak dapat menggunakan Bahasa Jawa dengan benar. Barang kali pernyataan tersebut dapat diidentikkan dengan kurangnya tata krama dan atau etika Bahasa Jawa.
Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X dialokasikan waktu 2 jam pelajaran dalam satu minggu. Jika dibandingkan dengan materi pelajaran yang lain, mata pelajaran bahasa Jawa (waktu 2 jam pelajaran) sangatlah kurang, maka dalam hal ini perlu seorang guru melakukan kiat-kiat tertentu agar kompetensi bahasa Jawa dapat tercapai sesuai dengan harapan. Keterampilan dan kreatifitas guru sangat diperlukan baik dalam perencanaan pembelajaran, pemilihan metode, maupun media/alat yang digunakan sehingga pembelajaran Bahasa Jawa berhasil baik serta bagi siswa dapat dirasakan sebagai pelajaran yang menyenangkan.
Masyarakat Desa X sebagian besar (mayoritas) dalam kesehariannya menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan dan bahasa ibu (interaksi dalam keluarga). Hal yang demikian mewarnai juga dalam lingkungan sekolah (SD). Sedangkan dalam pelajaran Bahasa Jawa materinya mengacu/berpedoman kepada Bahasa Jawa standar (Jogjakarta/Surakarta) dengan segala kulturnya.
Akhir-akhir ini sering nampak pada diri siswa kecenderungan yang beranggapan bahwa mata pelajaran Bahasa Jawa adalah pelajaran yang sulit. Contohnya tidak sedikit siswa yang mengeluh bahwa menulis Jawa merupakan hal yang sulit. Melihat hal yang demikian ada beberapa hal yang mungkin terjadi dalam diri siswa diantaranya : siswa mungkin tidak menyukai mata pelajaran Bahasa Jawa, atau mungkin justru guru yang kurang bisa memilih strategi pembelajaran Bahasa Jawa tersebut, atau diperlukan media atau peraga sehingga siswa termotivasi. Melihat realita yang demikian maka peneliti ingin mengetahui pelaksanaan pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan keadaan yang melatarbelakangi pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X tersebut di depan baik dari sisi guru, siswa, materi maupun strategi pembelajaran, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 
1. Sejauh mana ketepatan pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas dalam proses pembelajaran ?
2. Sejauh mana ketepatan strategi pembelajaran dan penilaian dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa ?
3. Sejauh mana ketepatan penggunaan metode dan alat peraga dalam pembelajaran Bahasa Jawa ?
4. Sejauh mana peran guru dalam pembelajaran Bahasa Jawa ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 
1. Ketepatan pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X
2. Ketepatan strategi pembelajaran dan penilaian dalam proses pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X
3. Ketepatan penggunaan metode dan alat peraga dalam pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X 
4. Peran guru dalam pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar Negeri X

D. Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu : 
1. Praktis
a. Bagi siswa
Dapat meningkatkan prestasi pembelajaran bahasa Jawa.
b. Bagi guru
Dapat meningkatkan keterampilan dalam pengelolaan strategi pembelajaran dan perencanaan program-program pendidikan sehingga prestasi belajar siswa dapat tercapai.
c. Bagi kepala sekolah
Dapat meningkatkan kualitas dan keterampilan manajerial serta inovasi pendidikan. 
2. Teoritis
a. Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut
b. Memberikan informasi dalam mengembangkan teori-teori yang berkaitan dengan proses pembelajaran bahasa Jawa dan mutu pendidikan secara umum.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:52:00

PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT

TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan, sehingga pengembangan rumah sakit tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan kesehatan, saling keterkaitan ini terlihat jelas dari visi pembangunan kesehatan yakni Indonesia sehat 2010 yang terwujud dalam undang-undang bidang kesehatan no 23/1992.
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI. No. 983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit adalah tempat yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar spesialistik dan subspesialistik serta memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sebagai salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting rumah sakit merupakan salah satu industri jasa. Bentuk pelayanan ini bersifat sosio ekonomi yaitu suatu usaha yang walau bersifat sosial namun diusahakan agar bisa mendapat surplus keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsip ekonomi (Djododibroto, 1997).
Pelayanan kesehatan yang kini berkembang di rumah sakit bukan saja menyangkut masalah bangunannya (seperti ukuran kompleksitas, jumlah unit, jumlah kualifikasi staf medis dan non medis, si stem keuangan serta si stem informasi) tetapi menyangkut pula pada kwalitas pekerja kesehatan dalam memberikan pelayanan.
Dalam bidang pelayanan kesehatan, pemerintah telah merencanakan visi “Indonesia Sehat 2010". Dimana dalam visi tersebut pemerintah bertekad untuk dapat meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh (Bambang, 2002). Dalam mencapai visi tersebut, salah satu strategi yang harus di lakukan adalah meningkatkan profesionalisme termasuk profesionalisme masyarakat pekerja rumah sakit. Pekerja di rumah sakit termasuk kelompok masyarakat yang turut berperan dalam mencapai" Indonesia Sehat 2010. Oleh karena itu pekerja rumah sakit merupakan sumber daya manusia yang harus dibina agar menjadi produktif dan berkualitas (Depkes RI, 2003).
Rumah sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang bersifat dasar sampai yang spesialistik dan mempunyai karakteristik pelayanan yang berbeda dengan industri jasa lainnya.
Menurut Yanuar Hamid (2004) Rumah Sakit mempunyai karakteristik sebagai berikut : 
1. Diberikan selama 24 jam terus menerus selama 365 hari dalam setahun
2. Pelayanan bersifat individual
3. Setiap saat bisa terjadi kedaruratan medik
4. Setiap saat bisa menghadapi kejadian luar biasa
5. Padat teknologi, modal dan tenaga.
Di Rumah Sakit, sumber daya manusia terbanyak yang berinteraksi secara langsung dengan pasien adalah perawat, sehingga kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat dapat dinilai sebagai salah satu indikator baik buruk nya kwalitas pelayanan di Rumah Sakit.
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Rumah sakit membuat pemisahan terhadap pelayanan perawatan pasien yaitu pelayanan pasien yang memerlukan penanganan emergensi, tidak emergensi dan yang diopname. Penanganan pada pelayanan tersebut dilaksanakan oleh pekerja kesehatan rumah sakit. Pekerja kesehatan rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang berjumlah sekitar 60% dari tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Perawat merupakan salah satu pekerja kesehatan yang selalu ada di setiap rumah sakit dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah sakit. Perawat di rumah sakit bertugas pada pelayanan rawat inap, rawat jalan atau poliklinik dan pelayanan gawat darurat.(Hamid, 2001).
Peran perawat sangat penting karena sebagai ujung tombak dirawat inap dan merupakan tenaga yang paling lama kontak dengan pasien yaitu selama 24 jam. Hal ini akan menyebabkan stressor yang kuat pada perawat di lingkungan pekerjaan nya (Anna Keliat, 1999)
Gibson dalam Heater Marr (1987) mengatakan, salah satu unsur yang sangat menentukan dan saling mempengaruhi dalam mutu pelayanan keperawatan adalah unsur proses yang dilakukan perawat, tindakan yang tidak sesuai dengan standard keperawatan akan sulit untuk mencapai kualitas mutu pelayanan keperawatan.
Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan perawatan pasien atau asuhan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang bervariasi, tergantung pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik tersebut meliputi karakteristik tugas (yang membutuhkan kecepatan, kesiagaan serta kerja shift), karakteristik organisasi, serta karakteristik lingkungan kerja baik lingkungan fisik dan sosial. Selain itu perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan kegiatan yang bukan fungsinya.
Menurut Schroder dalam Heater Marr (1991), perawat yang terlibat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan harus dapat melaksanakan pengkajian yang mendalam di area praktek nya dan dapat melaksanakan riset, memperlihatkan rasa tanggungjawab dalam menentukan aspek keperawatan sesuai dengan keahliannya, dapat berkomunikasi dengan rekan sejawat serta dapat menerapkan disiplin ilmu.
Hal ini sejalan dengan penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (2005) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas kebersihan, 63,6% melakukan tugas administratif dan lebih dari 90% melakukan tugas non keperawatan (misalnya menetapkan diagnosa penyakit, membuat resep dan melakukan tindakan pengobatan) dan hanya 50% yang melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsinya.
Seorang perawat diharapkan bersikap penuh perhatian dan kasih sayang terhadap pasien maupun keluarga pasien dalam melaksanakan tugasnya, namun pada kenyataannya di masa sekarang ini masih banyak dijumpai keluhan masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang ditulis di berbagai media masa.
Menurut Kariyoso (1994) di masa sekarang ini masih saja ada stigma yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa perawat merupakan sosok yang tidak ramah dan tidak bersikap hangat terhadap pasiennya.
Tugas dan tanggung jawab perawat bukan hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah yang bisa menimbulkan stres kerja pada perawat. Stres yang dihadapi oleh perawat di dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat (Robbins, 1998).
Sebuah survei di Prancis menyebutkan persentase kejadian stres sekitar 74% di alami perawat, mereka mengeluh dan kesal terhadap lingkungan yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan, hal ini merupakan penyebab stres Perawat (Frasser, 1997).
Tingkah laku negatif pekerja yang mengalami stres berkorelasi dengan hasil kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, tendensi mengalami kecelakaan kerja, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan merupakan hambatan baik dalam management maupun oprasional kerja serta dapat menurunkan produktivitas kerja terutama mutu pelayanan (Scholler, 1980).
Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya.
Hasil penelitian Plaut dan Friedman (1981), Baker, (1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting disease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama karena produksi sel-sel kekebalan menurun.
Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi perusahaan tempat bekerja, dimana perusahaan akan mengalami kerugian finansial karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak pekerja yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena kelambanan atau kesalahan yang berulang (Rini, 2002).
Kondisi kerja mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman sekerja, hubungan atasan dengan bawahan dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri saat melakukan pekerjaan (Anoraga, 2006).
Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu, kebisingan juga mengambil andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).
Beban kerja sebagai sumber stres disebabkan karena kelebihan beban kerja baik beban kerja kualitatif maupun beban kerja kuantitatif (French dan Kaplan, 1973). Beban kerja perawat di rumah sakit meliputi beban kerja fisik dan mental. Beban kerja bersifat fisik meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien, membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur, mendorong brankas pasien. Sedangkan beban kerja yang bersifat mental dapat berupa bekerja dengan shift atau bergiliran, kompleksitas pekerjaan (mempersiapkan mental dan rohani pasien dan keluarga terutama yang akan memerlukan operasi atau dalam keadaan kritis), bekerja dengan keterampilan khusus dalam merawat pasien, tanggung jawab terhadap kesembuhan serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.
Beban kerja yang terbagi atau mendadak tidaknya suatu tugas, kesulitan tugas, ketercukupan waktu penyelesaian, teman kerja yang bisa membantu dan kelelahan menyelesaikan tugas.
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka di katakan individu itu mengalami stres kerja. Stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq, 2008).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956). Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
Rumah sakit Umum X adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah sekitar lokasi Rumah Sakit tersebut. Unit perawatan rawat inap yang ada di Rumah Sakit Umum X, terdiri dari Ruang Perawatan Bedah, Ruang Perawatan Anak, Ruang Perawatan Kebidanan dan Perawatan Dewasa. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum X Kabupaten X terdapat 58 perawat di ruang Rawat Inap yang tersebar di ruang rawat bedah 9 orang, di ruang perawatan kebidanan 10 orang, di ruang perawatan anak 10 orang, dan di ruang perawatan dewasa 29 orang. Perawat jaga dibagi dalam 3 shift kerja yaitu pagi dari jam 08.00 WIB-14.00 WIB, siang dari 14.00 WIB-21.00 WIB, malam dari jam 21.00 WIB-08.00 WIB.
Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada perawat ruang rawat inap di rumah sakit tersebut yang mengalami stres kerja. Hal ini terlihat dengan banyaknya keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah, dan nafsu makan menurun. Menurut Anoraga (2001), hal ini merupakan gejala-gejala stres kerja. Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya suatu penelitian yang berkaitan dengan hubungan beban kerja dan kondisi kerja dengan stres kerja perawat di ruang rawat inap rumah sakit umum X Kabupaten X.

B. Permasalahan
Bagaimana pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

C. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stress kerja pada perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan pada Rumah Sakit Umum X tentang pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja pada perawat di ruang rawat inap.
2. Menambah wawasan bagi peneliti lain guna pengembangan ilmu pengetahuan tentang stres dalam lingkungan pekerjaan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:49:00

UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMP PADA KONSEP BIOLOGI YANG ABSTRAK MELALUI PENERAPAN PERTANYAAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF

UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMP PADA KONSEP BIOLOGI YANG ABSTRAK MELALUI PENERAPAN PERTANYAAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF (BIOLOGI KELAS VIII)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Konsep Biologi terdiri dari kumpulan konsep-konsep konkret dan abstrak. Konsep konkret mudah dipelajari karena merupakan konsep-konsep yang sering diobservasi, seperti ciri-ciri makhluk hidup dan lingkungan biotik. Sebaliknya dengan konsep yang abstrak, biologi sulit dipahami karena siswa tidak dapat melihat prosesnya seperti fotosintesis, sistem pencernaan, si stem pernapasan, sistem transpor, sistem ekskresi, sistem reproduksi, dan lain-lain.
Analisis hasil belajar siswa oleh beberapa guru Biologi pada umumnya menunjukkan bahwa materi Biologi yang dirasakan sulit oleh siswa SMP adalah materi kelas VIII. Konsep-konsep Biologi yang dipelajari terkesan abstrak atau prosesnya tidak terlihat. Hasil belajar siswa yang kurang memuaskan menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep tersebut rendah.
Berdasarkan fakta di lapangan, rendahnya pemahaman siswa pada konsep yang abstrak terjadi karena metode pembelajaran sering kali tidak dilakukan dengan baik. Sering pula dijumpai siswa kurang memahami materi karena dalam proses pembelajarannya penerapan pertanyaan produktif kurang optimal dan pembelajaran secara berkelompok belum dikelola dengan baik.
Metode pembelajaran yang digunakan di lapangan selama ini adalah metode ceramah, tanya jawab dan diskusi secara berkelompok, akan tetapi sering ditemukan dalam diskusi tersebut siswa yang aktif tidak merata, kegiatan belajar mengajar lebih didominasi oleh siswa yang pandai. Hal ini terjadi karena pengelompokan, pemberian tugas dan penilaiannya tidak dikelola dengan baik. Walaupun nyatanya dalam suatu proses pembelajaran sebenarnya tidak ada satu metode yang paling cocok atau tepat, namun penggunaan multimedia dan multi metode sangatlah disarankan untuk meningkatkan pemahaman siswa (Dahar, 1992).
Dari hasil analisis guru SMPN X terhadap hasil belajar siswa, muncul satu masalah yaitu rendahnya nilai IPA siswa terutama dalam konsep yang abstrak. Hal tersebut diakibatkan oleh penggunaan metode pembelajaran yang kurang tepat, kurang terlibatnya siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dan kurang digunakannya pertanyaan produktif yang dapat mengarahkan siswa untuk berfikir.
Pertanyaan produktif adalah pertanyaan yang dapat merangsang siswa untuk melakukan kegiatan produktif atau kegiatan ilmiah. Sedangkan pertanyaan nonproduktif memerlukan jawaban yang terpikir dan diucapkan, yang tidak selalu mudah dilakukan oleh siswa. Pertanyaan disampaikan pada saat pembelajaran dan tercantum dalam lembar kerja siswa (LKS) Jelly (Widodo, 2006). Adapun peranan pertanyaan produktif dalam pembelajaran IPA menurut Dahar (1992), diantaranya merangsang siswa berfikir, mengetahui penguasaan konsep, mengarahkan pada konsep, memeriksa ketercapaian konsep, menimbulkan keberanian menjawab atau mengemukakan pendapat, meningkatkan kegiatan belajar mengajar (KBM) dan memfokuskan perhatian siswa.
Model pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap dalam bekerja atau membantu sesama secara teratur.
Keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Dalam pembelajaran ini, siswa merupakan bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai hasil yang optimal dalam belajar. Melalui pembelajaran kooperatif, guru tertantang untuk lebih mengenali siswanya. Siswa akan merasa lebih dihargai bila diberikan kesempatan menjawab dan bertanya.
Selama ini beberapa peneliti sudah melakukan beberapa penelitian terhadap pembelajaran kooperatif pada siswa Sekolah Menengah Umum dengan materi pelajaran yang berbeda-beda. Ditemukan bahwa melalui pembelajaran kooperatif tersebut, hasil belajar siswa meningkat (Rosilawati, 1999). Redjeki (2000), menyimpulkan bahwa pertanyaan produktif yang diterapkan dalam pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep Biologi abstrak. Selain dapat meningkatkan hasil belajar siswa, ternyata pemberian pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif dapat memotivasi siswa untuk membaca dan belajar sebelum proses pembelajaran berlangsung, juga mereka dapat belajar bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain. Dari hasil penelitian Yuniarti (2005), pembelajaran kooperatif tipe STAD yang diterapkan pada konsep gerak tumbuhan dapat meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berkomunikasi siswa. Yuniarti (2005) menyarankan guru mengembangkan LKS yang dapat merangsang aktivitas kelompok belajar siswa.
Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, telah dilakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul : "UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA PADA KONSEP ABSTRAK MELALUI PENERAPAN PERTANYAAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN KOOPERATIF”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 
"Bagaimanakah upaya meningkatkan pemahaman siswa pada konsep yang abstrak melalui penerapan pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif ?"
Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian, rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah menerapkan pertanyaan produktif dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa pada konsep sistem pernapasan ?
2. Bagaimanakah melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam upaya meningkatkan pemahaman siswa pada konsep Sistem Pernapasan ?
3. Bagaimana peningkatan pemahaman siswa pada konsep Sistem Pernapasan Manusia setelah penerapan pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD ?

C. Batasan Masalah
Untuk menjaga agar masalah tidak terlalu meluas dan menyimpang, maka beberapa hal perlu dibatasi, yaitu pada : 
1. Konsep abstrak yang diteliti hanya terbatas pada Sistem Pernapasan Manusia
2. Pembelajaran kooperatif yang digunakan adalah tipe STAD.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran peningkatan pemahaman siswa SMP pada konsep Biologi yang abstrak pada Sistem Pernapasan Manusia dengan menerapkan pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD.

E. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam upaya perbaikan pembelajaran di kelas yaitu : 
1. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi keberhasilan penerapan pertanyaan produktif dalam pembelajaran kooperatif sehingga termotivasi untuk melakukan penelitian serupa pada konsep lainnya.
2. Bagi siswa, menambah pengalaman belajar dengan model pembelajaran yang berbeda sehingga pemahamannya terhadap konsep abstrak meningkat. 
3. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:56:00

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD DENGAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD DENGAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR (FISIKA KELAS VIII) 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada jaman sekarang merupakan suatu rangkaian peristiwa yang sangat penting bagi semua orang. Peristiwa tersebut diawali dengan interaksi antar manusia yang sedang belajar untuk mendapatkan sesuatu. Dalam proses belajar, dibutuhkan seorang pengajar untuk membantu proses belajar tersebut. Sebagai seorang pengajar jika berbicara tentang belajar maka tidak dapat lepas dari kegiatan mengajar. Karena belajar dan mengajar merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan strategi pembelajaran yang diharapkan mampu memperbaiki sistem pendidikan yang telah berlangsung selama ini. Salah satu tolok ukur keberhasilan guru adalah bila dalam pembelajaran mencapai hasil yang optimal. Keberhasilan ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru untuk mengelola proses belajar mengajar. Komunikasi dua arah secara timbal balik sangat diharapkan dalam proses belajar mengajar, demi tercapainya interaksi belajar yang optimal, yang pada akhirnya membawa kepada pencapaian sasaran hasil belajar yang maksimal. Untuk mencapai kondisi yang demikian maka perlu adanya fasilitator yaitu guru, yang memiliki kemampuan untuk menciptakan situasi belajar yang melibatkan siswa secara aktif sekaligus membangun motivasi siswa.
Berdasarkan observasi awal dan wawancara dengan guru Fisika di SMPN X, diketahui bahwa siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. Hasil belajar siswa juga kurang dari nilai KKM yang telah ditentukan di SMPN X. Hal tersebut mungkin terjadi karena metode pembelajaran yang digunakan oleh guru kurang bervariasi. Kebanyakan para guru menggunakan model pembelajaran ceramah dan diskusi kelas saja. Sehingga memungkinkan siswa akan mempunyai dampak yang negatif, seperti : 
1. Siswa menjadi pasif, hanya menerima apa saja yang dijelaskan oleh guru.
2. Siswa sering bosan sehingga terjadi keramaian di kelas.
3. Siswa kurang berinteraksi dengan teman yang lain ketika membahas pelajaran, sehingga tidak ada rasa kebersamaan antar siswa yang nilainya diatas nilai KKM dengan siswa yang nilainya di bawah nilai KKM.
4. Siswa banyak yang kurang paham.
Dari kemungkinan dampak negatif tersebut, para guru di SMPN X telah melakukan upaya tersendiri seperti memberikan tugas rumah setiap akhir pertemuan, mengajak siswa untuk berdiskusi bersama di kelas. Siswa membutuhkan metode pengajaran yang berbeda dari biasanya untuk membuat siswa lebih aktif dan tidak bosan selama pelajaran berlangsung. Metode-metode pembelajaran yang masih menampilkan guru sebagai tokoh sentral di muka kelas seharusnya ditinggalkan, selain itu pembelajaran tidak harus berasal dari guru menuju siswa. Siswa juga bisa saling mengajari dengan sesama siswa lainnya, dengan melibatkan siswa yang berprestasi tinggi (tutor sebaya) dalam kelompok-kelompok belajar di kelas untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Salah satu aspek penting pembelajaran kooperatif selain membantu mengembangkan tingkah laku kooperatif yang lebih baik diantara siswa, juga membantu siswa dalam pembelajaran akademis mereka. Pembelajaran dengan tutor sebaya juga dapat melatih siswa untuk saling membantu satu sama lain. Siswa yang sebenarnya tidak paham dengan pelajaran yang dijelaskan guru, dapat bertanya dengan teman sebayanya.
Ada berbagai model pembelajaran kooperatif, diantaranya adalah : STAD (Student Team Achievement Division), Jigsaw, Investigasi Kelompok, TGT (Teams Game Tournament), dan sebagainya. STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang heterogen, beranggotakan 4-5 orang, dengan memperhatikan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan sebagainya. Siswa mempelajari materi bersama-sama melalui tutorial dan diskusi kemudian dilakukan kuis secara individual. Kuis diskor dan tiap siswa diberi skor perkembangan, kemudian berdasarkan skor perkembangan setiap anggota didapat skor tim sehingga dapat digunakan untuk menentukan kategori tim untuk tiap kuis.
Hasil penelitian Ong Eng Tek (1997) menyatakan bahwa model pembelajaran STAD mampu meningkatkan prestasi siswa di kelas. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti berupaya menerapkan model pembelajaran STAD dengan modifikasi tutor sebaya agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Penerapan model pembelajaran tipe STAD dengan tutor sebaya diharapkan agar siswa mampu memperoleh suatu pengetahuan baru yang dapat memotivasi siswa untuk mengasah kemampuan yang dimiliki. Selain itu, model ini juga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN X terhadap mata pelajaran Fisika. Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian yang berjudul ‘’PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT TEAM-ACHIEVEMENT DEVISION) DENGAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIII DI SMPN X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana proses tindakan dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya ?
2. apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya dapat meningkatkan hasil belajar siswa ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu
1. Untuk mengetahui proses tindakan dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya
2. Untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan tutor sebaya terhadap peningkatan hasil belajar siswa.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Guru
a. Sebagai umpan balik untuk mengetahui kesulitan yang dialami siswa.
b. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam memilih metode serta model pembelajaran yang bervariasi.
c. Memperbaiki kinerja guru dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.
2. Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah pengalaman dalam pembelajaran bagi peneliti selain digunakan untuk menyelesaikan tugas pembelajaran.
3. Siswa
a. Meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran Fisika.
b. Menambah rasa percaya diri dalam menyelesaikan soal-soal.
c. Menumbuhkan kemampuan dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengembangkan keterampilan berpikir yang tinggi.
4. Sekolah
a. Memberikan sumbangan yang positif dalam kegiatan pembelajaran.
b. Memberi masukan yang baik bagi sekolah untuk pembaharuan pembelajaran berikutnya.
c. Dapat dipertimbangkan untuk menyelesaikan masalah pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas para siswa.

E. Sistematika Penulisan Skripsi
Secara garis besar sistematika skripsi ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu : bagian awal, bagian isi dan bagian akhir yang masing-masing diuraikan sebagai berikut.
1. Bagian awal skripsi
Berisi judul, abstrak, lembar pengesahan, motto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.
2. Bagian isi skripsi
a. Bab I Pendahuluan
Berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan skripsi.
b. Bab II Landasan Teori
Berisi uraian teoritis, atau teori-teori yang mendasari pemecahan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan judul skripsi
c. Bab III Metode Penelitian
Berisi tentang populasi, sampel penelitian, variabel penelitian, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, dan metode analisis data.
d. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berisi semua hasil penelitian dan pembahasannya.
e. Bab V Penutup
Berisi simpulan dan saran-saran. 
3. Bagian akhir skripsi
Berisi daftar pustaka untuk memberikan informasi tentang semua buku sumber dan literatur lainnya yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran dari hasil perhitungan-perhitungan statistik, ijin penelitian, dan instrumen penelitian

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:54:00

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MATERI POKOK KALOR DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MATERI POKOK KALOR DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (FISIKA KELAS VIII) 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abad XXI dikenal sebagai abad globalisasi dan abad teknologi informasi. Perubahan yang sangat cepat ini merupakan fakta dalam kehidupan siswa sehingga siswa perlu dibekali dengan kompetensi yang memadai agar menjadi peserta aktif dalam masyarakat. Pendidikan Sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pengembangan kemampuan siswa dalam bidang sains merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan memasuki dunia teknologi termasuk teknologi informasi untuk kepentingan pribadi, sosial, ekonomi dan lingkungan (Depdiknas, 2003 : 1).
Menanggapi hal tersebut pemerintah sudah banyak berupaya untuk membenahi proses pembelajaran seperti penataran guru-guru Sains, membentuk musyawarah guru bidang studi, bantuan alat-alat laboratorium, dan juga melakukan penyusunan kurikulum baru pada setiap jenjang dan sistem pendidikan. Sesuai dengan amanat Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menetapkan kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004, yang telah dilakukan mulai tahun pelajaran 2004/2005. Perubahan kurikulum ini tentunya harus diikuti dengan penggunaan pendekatan atau strategi pembelajaran yang sesuai oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas.
Pendidikan Sains diarahkan untuk "mencari tahu" tentang alam secara sistematis yaitu dengan "berbuat" karena Sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Oleh karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam menyajikan pembelajaran Sains adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk sains. Fisika merupakan bagian dari sains yang merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisir tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian poses ilmiah.
Dari hasil observasi awal di SMPN X diperoleh data sebagai berikut : 
1. Fisika merupakan mata pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa sehingga membuat siswa kurang berminat terhadap mata pelajaran Fisika, hal ini terlihat pada rendahnya nilai rata-rata ulangan harian materi pokok sebelumnya yaitu sebesar 63,34 (lampiran 23).
2. System pengajaran yang masih cenderung bersifat tradisional yaitu dengan menekankan pada hafalan-hafalan sehingga cenderung siswa lebih cepat bosan dan mudah lupa.
3. Siswa jarang praktik di laboratorium karena keterbatasan waktu, mengejar materi, dan sarana prasarana yang kurang memadai seperti : banyaknya alat yang rusak dan jumlah alat yang sedikit, sehingga peralatan di laboratorium jarang dimanfaatkan.
Permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan hasil belajar fisika kurang maksimal yang berdampak tidak tercapainya ketuntasan belajar secara klasikal maupun individu. Untuk meminimalisasi dan mengantisipasi permasalahan tersebut diperlukan sebuah strategi pembelajaran lain yang lebih memberdayakan siswa dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku saat ini yaitu CTL. Sebuah strategi yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta, rumus-rumus tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka. Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yang harus diterapkan dalam pembelajarannya, yaitu : konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflecting), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas, 2003 : 10). Oleh sebab itu proses pembelajaran dapat menggunakan pendekatan CTL.
Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis mengadakan penelitian tindakan kelas tentang : UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FISIKA MATERI POKOK KALOR DENGAN PENDEKATAN CTL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) PADA SISWA KELAS VIII SMPN X.

B. Permasalahan
Sesuai dengan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah : "Apakah dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching And Learning) dapat meningkatkan hasil belajar fisika pokok bahasan kalor siswa kelas VIII SMPN X ?".

C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar mata pelajaran fisika pokok bahasan kalor dengan pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning).

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Bagi siswa, memudahkan siswa dalam memahami dan menguasai fisika melalui pengalaman nyata dalam pembelajaran.
2. Bagi guru, memberi konsep yang jelas mengenai pendekatan CTL sebagai upaya untuk mengembangkan ilmu pendidikan. 
3. Bagi sekolah, penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini meliputi tiga bagian, yaitu : 
1. Bagian pendahuluan, berisi : halaman judul, halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan, abstrak, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran. 
2. Bagian isi dibagi menjadi lima bab, antara lain : 
Bab I Pendahuluan 
Berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, sistematika skripsi. 
Bab II Landasan Teori
Mengemukakan tentang kajian teori-teori yang mendasari dalam penulisan skripsi ini. 
Bab III Metode Penelitian. 
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini meliputi hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian. 
Bab V Simpulan dan Saran
Berisikan simpulan dari hasil penelitian serta saran.
3. Bagian akhir skripsi ini adalah daftar pustaka, tabel-tabel yang digunakan, dan lampiran-lampiran yang melengkapi uraian pada bagian isi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:53:00

TESIS PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL DI SEKOLAH DASAR

TESIS PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL DI SD PLUS X (PRODI : MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemahaman dan pandangan tentang mutu pendidikan selama ini sangat beragam. Orang tua memandang pendidikan yang bermutu adalah lembaga pendidikan yang megah, gedung sekolah yang kokoh dengan genting yang memerah bata, taman sekolah yang indah dan seterusnya. Para ilmuwan memandang pendidikan bermutu adalah sekolah yang siswanya banyak menjadi pemenang dalam berbagai lomba atau olimpiade di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Repatriat mempunyai pandangan yang berbeda lagi. Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memberikan mata pelajaran bahasa asing bagi anak-anaknya. Orang kaya tentu memiliki pandangan yang berbeda pula. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang diperoleh anaknya dengan membayar uang sekolah yang tinggi untuk memperoleh berbagai paket kegiatan ekstra kurikuler. Berbagai predikat lembaga pendidikan sekolah telah lahir, seperti sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus, kelas unggulan. Ada pula berbagai predikat lembaga pendidikan yang juga muncul bak jamur di musim penghujan, seperti boarding school, full day school, sekolah nasional berwawasan internasional, sekolah alam dan sekolah berwawasan internasional. Semua sebutan itu tidak lain untuk menunjukkan aspek mutu pendidikan yang akan diraihnya.
Sekolah ternyata, tidak saja menjadi laboratorium masyarakat1 sebagaimana diungkapkan oleh John Dewey, tapi adakalanya juga menjadi korban masyarakat. Dikatakan korban masyarakat karena ada beberapa sekolah yang didesain untuk menyiasati kondisi masyarakat yang happen saat itu. Ketika para orang tua sudah mulai kekurangan waktu untuk mendidik anak-anak mereka, sebagian sekolah tampil menyiasati kesenjangan itu dengan menambah jam sekolah.
Bagi sebagian orang mungkin full day school memiliki manfaat yang sangat signifikan. Terutama untuk orang yang memiliki sisa uang banyak untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah tersebut. Pertama, anak-anak jelas akan mendapatkan metode pembelajaran yang bervariasi dan lain daripada sekolah dengan program reguler. Kedua, orang tua tidak akan merasa khawatir, karena anak-anak akan berada seharian di sekolah yang artinya sebagian besar waktu anak adalah untuk belajar. Ketiga, orang tua tidak akan takut anak akan terkena pengaruh negatif. Keempat, obsesi orang tua akan keberhasilan pendidikan anak (karena mereka berpikir jika anak mau pandai harus dicarikan sekolah yang bagus, dan sekolah bagus itu adalah yang mahal) memiliki peluang besar untuk tercapai. Jelas kondisi-kondisi tersebut akan muncul dan menjadi pilihan yang menjanjikan bagi anak dan orang tua.
Tapi di sisi lain dari kacamata anak-anak, hanya anak 'hebat' yang kuat dengan stimulus sekolah yang beragam dan mendominasi waktu mereka sehari-hari. Mereka rela kehilangan waktu bermain dan mengeksplor hal-hal lain yang lebih liar tanpa dibatasi aturan-aturan formal yang seringkali menjemukan bagi anak. Sistem pendidikan tersebut memang seolah-olah menyesuaikan dengan karakteristik perkembangan anak, tapi penerapan full day sendiri sebenarnya sudah tidak adaptif lagi dengan karakteristik perkembangan anak-anak. Anak-anak akan banyak kehilangan waktu di rumah dan belajar tentang hidup bersama keluarganya. Sore hari anak-anak akan pulang dalam keadaan lelah dan mungkin tidak berminat lagi untuk bercengkrama dengan keluarga. Padahal sesungguhnya sekolah terbaik itu ada di dalam rumah dan pada keluarga.
Full day school adalah salah satu karya cerdik para pemikir dan praktisi pendidikan untuk menyiasati minimnya control orang tua terhadap anak di luar jam-jam sekolah formal sehingga sekolah yang awalnya dilaksanakan 5 sampai 6 jam berubah menjadi 8 bahkan sampai 9 jam. Namun demikian, problema-problema pendidikan bukan berarti selesai sampai di situ, melainkan timbul problem-problem baru yang perlu dikaji secara serius sehingga pendidikan dapat memproses bibit-bibit generasi (input) menjadi pribadi-pribadi (out put) yang mempunyai kematangan mental, intelektual dan skill yang mumpuni.
Menurut Sismanto, full day school merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa. Biasanya jam tambahan tersebut dialokasikan pada jam setelah sholat Dhuhur sampai sholat Ashar, sehingga praktis sekolah model ini masuk pukul 07.00 WIB pulang pada pukul 16.00 WIB. Sedangkan pada sekolah-sekolah umum, anak biasanya sekolah sampai pukul 13.00 WIB. Definisi di atas tidak sepenuhnya benar, karena faktanya jam-jam tambahan agama tidak mesti dilaksanakan setelah shalat Dhuhur. Bahkan di beberapa sekolah full day, jam mengaji terbimbing dilakukan sebelum Dhuhur.
Pada dasarnya, kita boleh berasumsi bahwa Pendidikan tidak pernah dapat dipisahkan dari keadaan sosial, karena sejatinya para praktisi di Pendidikan adalah pelaku sosial. Kalau kita memahami Pendidikan sebagai sub sistem kita dapat menginternalisasikan nilai-nilai kepada peserta didik dengan diadakannya beberapa kebiasaan menjalankan perintah-perintah agama bersama di sekolah, seperti; shalat berjama'ah di sekolah, kebiasaan berdo'a bersama di pagi hari sebelum dan sesudah proses belajar mengajar berlangsung secara independen. Namun pada kenyataannya ternyata ada batasan-batasan tertentu dimana Pendidikan kita berada dibawah pengawasan kekuatan eksternal yang nyata, seperti; Komite Sekolah, pemerintah dan pengaruh kekuatan eksternal lainnya,3 yang itu semua juga turut ikut andil dalam menentukan kebijakan terhadap pendidikan.
Jadi sekolah full day school sebenarnya memiliki kurikulum inti yang sama dengan sekolah umumnya, namun mempunyai kurikulum lokal seperti leadership, Green Education, Teknologi Informatika, mengaji dan lain-lain. Dengan demikian kondisi anak didik lebih matang dari segi materi akademik dan non akademik. Dengan berbagai strategi yang dikembangkan oleh sekolah full day school, peserta didik lebih rileks, tidak terburu-buru dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan memberikan pengalaman yang bervariasi. Sedangkan guru dapat memberikan kesempatan untuk mengukur dan mengobservasi perkembangan anak secara leluasa, dan terbinanya kualitas interaksi antara figur guru dan murid secara lebih baik, sehingga tidak akan muncul murid takut dengan guru, bahkan figur guru benar-benar seseorang yang dapat digugu dan ditiru.
Sekolah full day secara historis merupakan pengembangan dari sekolah unggul (excellent school) yang muncul pada pertengahan tahun 1990 an. Selain menjadi sekolah full day, sekolah unggul (excellent school) juga berevolusi menjadi sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan "unggul". Sekolah-sekolah tersebut memiliki ciri dan karakteristik yang hampir mirip yaitu biaya yang tinggi, fasilitas yang serba mewah, elitis, eksklusif, dan dikelola oleh tenaga-tenaga yang di asumsikan profesional.
Secara umum, full day school didirikan karena beberapa tuntutan, diantaranya adalah: Pertama, minimnya waktu orang tua di rumah, lebih-lebih karena kesibukan di luar rumah yang tinggi (tuntutan kerja). Hal ini kalau tidak disiasati dengan tambahan jam sekolah maka akan berimplikasi pada kurangnya kontrol orang tua terhadap anak di rumah (di luar jam sekolah). Kedua, perlunya formalisasi jam-jam tambahan keagamaan karena dengan minimnya waktu orang tua di rumah maka secara otomatis pengawasan terhadap hal tersebut juga minim. Ketiga, perlunya peningkatan mutu pendidikan sebagai solusi alternatif untuk mengatasi berbagai problematika kehidupan. Peningkatan mutu tidak akan tercapai tanpa terciptanya suasana dan proses pendidikan yang representatif dan profesional. Maka kehadiran full day school diharapkan dapat mengakomodir tuntutan-tuntutan di atas.
SD Plus X, merupakan salah satu sekolah yang melaksanakan model full day school. Sistem full day di SD Plus X dilaksanakan melalui pendekatan integrated curriculum dan integrated activity. Dengan pendekatan ini maka seluruh program dan aktivitas anak di sekolah mulai dari belajar, bermain, makan dan ibadah dikemas dalam suatu sistem pendidikan. Dengan sistem ini pula diharapkan mampu memberikan nilai-nilai kehidupan yang islami pada anak didik secara utuh dan terintegrasi dalam tujuan pendidikan. Konsep pendidikan yang dijalankan sebenarnya adalah konsep "effective school," yakni bagaimana menciptakan lingkungan yang efektif bagi anak didik. Sebagai konsekuensinya, anak-anak didik diberi waktu lebih banyak di lingkungan sekolah. Perpanjangan waktu inilah yang kemudian disebut full day school (sekolah sepanjang hari), karena siswa menghabiskan waktunya di sekolah hampir sepanjang hari. Dengan demikian, diharapkan bahwa lingkungan luar sekolah tidak banyak mempengaruhi peserta didik.
SD Plus X juga menawarkan keunggulan tertentu, yakni mendidik siswa berakhlakul karimah dan berprestasi akademik secara maksimal. Dari sini, X tampil dengan sejumlah konsep unggulan seperti jaminan mutu, yang dirumuskan dalam beberapa poin berikut; siswa dapat membaca al-Qur'an dengan baik, dapat menghafal Juz 'Amma dengan baik yang merupakan modal untuk berdakwah, seperti siswa dapat menjadi imam shalat di masjid-masjid, siswa dapat menguasai Bahasa Arab untuk dapat memahami al-Qur'an dan Hadis. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, X adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah banyak berprestasi. Hal ini telah terbukti dengan banyaknya prestasi kejuaraan yang diperoleh.
Kurikulum SD Plus X memadukan antara Kurikulum Diknas dan kurikulum khas. Kurikulum Diknas meliputi PPKN, IPA, IPS, Bhs. Indonesia dan Matematika, ditambah dengan materi penunjang yaitu Pendidikan Jasmani, Keterampilan-Kesenian dan Bhs. Inggris. Adapun Kurikulum khasnya adalah al-Qur'an, Bhs. Arab Tarjamah dan Ibadah Praktis. Disamping itu, untuk menyalurkan bakat dan minat siswa dilaksanakan program Ekstra Kurikuler.
Penerapan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari dikemas sedemikian rupa sehingga siswa tidak merasa jenuh. siswa memulai pelajarannya dengan membaca al-Qur'an setiap hari yang dibimbing oleh wali kelas. Demikian juga dengan praktis shalat Dhuha, Dhuhur dan Ashar berjama'ah4
Kendati demikian, sekolah full day bukan berarti tidak mempunyai problem atau - kalau kita melihatnya dengan kacamata apriori - sekolah full day sendiri adalah bagian dari problematika pendidikan Indonesia. Ada beberapa kasus yang perlu ditelaah lebih jauh: Pertama, kurangnya eksplorasi anak di dunia bebas, dunia yang tidak terikat dengan desain pendidikan. Padahal di dunia itu anak sering kali menemukan dan mengembangkan talentanya. Menurut teori piaget pikiran anak bukanlah suatu kotak yang kosong sebaliknya anak memiliki sejumlah gagasan tentang dunia fisik dan alamiah, yang berbeda dengan gagasan orang dewasa. Anak-anak datang ke sekolah dengan gagasan-gagasan mereka sendiri. pada dasarnya anak adalah makhluk yang berpengetahuan yang selalu termotivasi untuk memperoleh pengetahuan. Cara terbaik untuk memelihara motivasi akan pengetahuan ini ialah membiarkan anak untuk secara spontan berinteraksi dengan lingkungan. Pendidikan harus menjamin bahwa pendidikan tidak akan menumpulkan rasa keingintahuan anak dengan menyusun suatu kurikulum yang sangat kaku yang merusak irama dan langkah belajar anak itu sendiri5 Kedua, ada sebagian sekolah full day yang kurang memperhatikan kondisi fisik dan psikis anak. Penulis melihat adanya materi-materi yang lebih beroreintasi kognitif pada jam-jam siang. Ketiga, adanya sebagian sekolah full day yang minim fasilitas, sehingga kemungkinan terjadinya kebosanan belajar tinggi. Keempat, Mahalnya biaya pendidikan sekolah full day, menyebabkan terjadinya dikotomi pendidikan; sekolah eksklusif dan sekolah biasa. Masyarakat berekonomi lemah jelas-jelas tidak mungkin melirik sekolah full day. Kelima, kerja guru diforsir 8 sampai 9 jam di sekolah. Apakah hal tersebut juga dimungkinkan terjadi di SD Plus X, khususnya terkait dengan perkembangan sosial peserta didik? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan suatu penelitian.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut yang menjadi fokus penelitian ini adalah problematika pelaksanaan Full Day School di SD Plus X. Kemudian fokus penelitian tersebut terinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana problematika pelaksanaan Full Day School di SD Plus X, khususnya terhadap perkembangan sosial peserta didik?
2. Apa saja yang melatarbelakangi timbulnya masalah perkembangan sosial peserta didik?
3. Kendala yang dihadapi guru dalam membantu perkembangan sosial peserta didik?
4. Bagaimana solusinya yang dilakukan guru untuk membantu perkembangan sosial peserta didik?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan problematika pelaksanaan Full Day School di SD Plus X, khususnya terhadap perkembangan sosial peserta didik
2. Untuk mendeskripsikan latarbelakang terjadinya masalah perkembangan sosial peserta didik
3. Untuk mendiskripsikan kendala yang dihadapi guru dalam membantu perkembangan sosial peserta didik
4. Untuk mendeskripsikan solusi apa saja yang dilakukan guru dalam membantu perkembangan sosial peserta didik

D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran berupa masukan dan evaluasi untuk proses pendidikan selanjutnya
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan khazanah keilmuan yang bermanfaat, sebagai tolak ukur maupun referensi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan khususnya yang terkait dengan pendidikan
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti yang lain khususnya yang terkait dengan pendidikan

E. Penelitian Terdahulu
Pendidikan sebagai obyek yang dapat ditelaah dari berbagai perspektif memberikan daya tarik tersendiri terhadap para peneliti untuk melakukan penelitian atau kajian tentang pendidikan tersebut. Sejauh penelusuran penulis terhadap beberapa literatur sebelumnya baik berupa buku, jurnal, artikel, dan lain-lain, dalam paparan mereka hanya diungkapkan sekilas mengenai peranan full day school. Hal itu sebagaimana yang ditulis oleh: Bairus (Makalah)6, None (Skripsi)7, Nur Mahfudlorin (Skripsi)8, Uswatun Hasanah (Skripsi)9, Ainul Yaqin H.A (Skripsi)10, Sehudin (Skripsi)11, Muhammad Abdul Hofir (Skripsi)12
Adapun penelitian ini secara fokus dan mendalam berusaha menelusuri dengan lebih detail dan terinci mengenai problematika pelaksanaan full day school khususnya tentang perkembangan sosial peserta didik.

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Berdasarkan obyek penelitiannya, baik tempat maupun sumber datanya, maka penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research), sehingga metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, artinya obyek penelitian tidak hanya didekati pada hal-hal yang empirik saja, tetapi juga mencakup fenomena yang tidak menyimpang dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu diluar subyek, ada sesuatu yang transendent disamping yang aposteriotik.13 Jenis penelitian ini adalah studi deskriptif dimana seorang peneliti berusaha menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada obyek tertentu secara jelas dan sistematis.14 Dalam hal ini, pelaksanaan pendidikan sepanjang hari (full day school) X sebagai gejala yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau pelaku yang dapat diamati.15 dan dalam situasi lapangan yang bersifat wajar sebagaimana adanya tanpa manipulasi.16 Dengan demikian, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini lebih berbentuk kata atau gambar daripada angka-angka.17
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi. Pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya yang terjadi dalam satu situasi-situasi tertentu, maka menurut pemahaman pandangan tersebut peneliti harus masuk dalam dunia konseptual obyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian itu dibangun.18
2. Jenis dan sumber data
Dalam penelitian dengan paradigma naturalistik, data di kumpulkan terutama oleh peneliti sendiri dengan memasuki lapangan. Peneliti menjadi instrumen utama yang terjun ke lokasi serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi melalui observasi, atau wawancara.19 Pada penelitian ini data utamanya adalah berupa orang yang diamati atau diwawancarai. Data tersebut diperoleh melalui kegiatan mengamati dan bertanya.20
Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah tempat atau gudang yang menyimpan data orisinil dan merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi mata.21 Data primer berupa keterangan-keterangan yang langsung dicatat oleh penulis bersumber dari Kepala sekolah, para guru, orang tua, peserta didik dan juga masyarakat. serta para informan yang mengetahui secara jelas dan rinci tentang permasalahan yang diteliti. Sedangkan data sekunder adalah catatan tentang adanya sesuatu yang jaraknya telah jauh dari sumber orisinil.22
Data ini bersumber dari data (non-lisan) berupa catatan-catatan rekaman dan dokumen-dokumen yang dapat digunakan sebagai data pelengkap.
3. Teknik pengumpulan data
Dalam pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut: observasi langsung, wawancara terbuka, dan studi dokumen.
Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.23 Hal ini dipergunakan untuk memperoleh data dengan melalui pengamatan secara langsung terhadap obyek yang sedang diteliti. Observasi pertama kali dilakukan secara menyeluruh terhadap fenomena yang akan diteliti dengan melakukan penelusuran terhadap penelitian terdahulu melalui kajian pustaka dan fenomena lapangan yang akan diteliti guna memperoleh fokus penelitian dan mempertajam masalah penelitian.
Wawancara, yaitu dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara,24 seperti kepala sekolah dan guru sebagai orang yang terlibat langsung dalam melaksanakan tugas di sekolah.Wawancara yang terjadi dibiarkan berlangsung secara alami dan direkam dalam bentuk catatan lapangan (field note) ataupun dalam bentuk rekaman elektronik. Data yang dihasilkan melalui wawancara dari satu subyek setelah diinterpretasi peneliti, kemudian diperiksakan kembali pada subyek lain. Demikian seterusnya sampai menemui kejenuhan yakni sumber data yang didatangi tetap memberikan data yang berkisar pada data yang telah dimiliki.
Dokumentasi, adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.25 Hal ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang kondisi obyektif pelaksanaan pendidikan dengan model full day school. Dokumen sebagai sumber data akan berfungsi sebagai indikator dari produk tingkat komitmen subyek yang diteliti dan sebagai informasi sekunder yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Pengambilan data dilakukan secara simultaneous cross sectional (studi yang singkat tetapi dapat menjangkau populasi yang relatif lebih luas) atau member chek (dalam arti berbagai kegiatan kelakuan subyek penelitian tidak diambil pada subyek yang sama namun pada subyek yang berbeda), kemudian diinterpretasi berdasarkan kemampuan peneliti melihat kecenderungan, pola, arah, interaksi faktor-faktor serta hal lainnya yang memacu atau memperhambat perubahan untuk merumuskan hubungan baru berdasarkan unsur-unsur yang ada.26
Yang dijadikan informan dalam penelitian ini kepala sekolah dan guru yang mengajar di SD Plus X dan juga siswa, akan tetapi dalam proses pelaksanaan di lapangan tidak mungkin secara keseluruhan satu persatu akan di mintai keterangan atau informasi tentang data yang diperlukan. Oleh sebab itu sistem snowball sampling sangat diperlukan untuk diterapkan, sehingga peneliti akan mendapatkan petunjuk awal tentang data yang akan diperoleh dari siapa, ada di mana, dan tentang apa yang kemudian dikumpulkan untuk dianalisa.
4. Teknik analisis data
Dalam penelitian ini terdapat dua corak analisis. Pertama; analisis saat mempertajam keabsahan data melalui simultaneous cross sectional, dan kedua; melalui interpretasi data secara keseluruhan yang bertujuan untuk menangkap makna dari sudut pandang pelaku dengan menghayati kejadian tersebut melalui pengamatan peneliti yang bersifat partisipatoris. Pada analisis corak pertama dilakukan penyusunan data, yakni penyusunan paparan (transkrip) hasil wawancara dengan kepala sekolah, para guru, siswa yang menjadi informan hasil observasi dan dokumen-dokumen, berdasarkan kategorisasi yang sesuai dengan masalah penelitian.
Berdasarkan data yang diperoleh dikembangkan penajaman data melalui pencarian data selanjutnya. Dalam penelitian ini, data tidak dianggap sebagai error reality yang dipermasalahkan oleh teori yang ada sebelumnya, tapi dianggap sebagai another reality. Dalam hal ini peneliti mencatat data apa adanya, tanpa intervensi dari teori yang terbaca atau paradigma peneliti yang selama ini dimiliki.27 Secara rinci langkah-langkah analisis data dilakukan dengan mengikuti cara yang disarankan oleh Miles dan Huberman yaitu: reduksi data, display data dan mengambil kesimpulan, dan verifikasi.28
Reduksi data ialah proses penyederhanaan data, memilih hal-hal yang pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. sehingga dapat dianalisis dengan mudah. Reduksi data ini bukanlah suatu kegiatan yang terpisah dan berdiri sendiri dari proses analisis data, akan tetapi merupakan bagian dari proses analisis itu sendiri.
Display data ialah suatu proses pengorganisasian data sehingga mudah dianalisis dan disimpulkan. Proses ini dilakukan dengan cara membuat matrik, diagram, atau grafik. Dengan demikian peneliti dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data yang begitu banyak.
Mengambil kesimpulan dan verifikasi merupakan langkah ketiga dalam proses analisis. Langkah ini dimulai dengan mencapai pola, tema, hubungan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang mengarah pada konsep pelaksanaan pendidikan dengan full day school dan diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil temuan lapangan. Kesimpulan yang pada awalnya masih sangat tentatif, kabur, dan diragukan, maka dengan bertambahnya data, menjadi lebih sistematis (grounded). Proses ini dilakukan mulai dari pengumpulan data dengan terus menerus dilakukan verifikasi sehingga kesimpulan akhir didapat setelah seluruh data yang diinginkan didapatkan.
Dalam rangka menghilangkan bias pemahaman peneliti dengan si pelaku diadakan pengecekan berupa triangulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.29 Metode pengecekan dilakukan dengan bentuk pertanyaan yang berbeda atau dengan cara pengamatan yang berlainan, sehingga dengan upaya tersebut diharapkan dapat melahirkan kebenaran yang betul-betul konvergen sebagai akibat dari proses pemeriksaan silang, dan pensiklusan kembali.
5. Pemeriksaan keabsahan data
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan paradigma naturalistik, pengecekan keabsahan data menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap tingkat kepercayaan dan kebenaran hasil penelitian. Agar memperoleh temuan penelitian yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka hasil penelitian perlu diuji keabsahannya. Ada tujuh teknik pengujian keabsahan data yaitu;
a. Perpanjangan kehadiran peneliti;
b. Observasi yang di perdalam;
c. Trianggulasi;
d. Pembahasan sejawat;
e. Analisis kasus negatif;
f. Kecukupan referensial;
g. Dan pengecekan anggota.
Namun karena keterbatasan waktu dan lain-lain, maka dalam penelitian ini hanya menempuh beberapa teknik saja dalam pemeriksaan keabsahan data yaitu: triangulasi, dan pengecekan anggota (member chek).
Dalam rangka menghilangkan bias pemahaman peneliti dengan si pelaku diadakan pengecekan berupa triangulasi, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.30 Metode pengecekan dilakukan dengan bentuk pertanyaan yang berbeda atau dengan cara pengamatan yang berlainan, sehingga dengan upaya tersebut diharapkan dapat melahirkan kebenaran yang betul-betul konvergen sebagai akibat dari proses pemeriksaan silang, dan pensiklusan kembali
6. Langkah-langkah penelitian
Berikut dikemukakan langkah-langkah penelitian yang telah dilakukan mulai dari tahap pra survei hingga tahap pengujian validitas data penelitian yaitu:
a. Pra survei di SD X
b. Wawancara dan observasi
c. Triangulasi31
d. (Pengecekan anggota) Member chek
e. Studi dokumentasi
f. Pengolahan data
g. Penulisan laporan

G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam memahami hasil penelitian secara sistematis dan agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan menyeluruh dalam penelitian ini, maka penulis perlu menguraikan sistematika pembahasan. Adapun sistematika susunan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama membahas pendahuluan. Pendahuluan di sini, sebagai pertanggung jawaban secara metodologi. Pada bab ini terdiri dari beberapa sub bab yaitu di antaranya; (1) latar belakang masalah yang mengupas tentang pelaksanaan full day school sehingga menimbulkan pemikiran tentang pentingnya masalah ini untuk dikaji; (2) identifikasi dan batasan masalah yang menyajikan permasalahan yang dikaji dalam konteks yang diinginkan oleh peneliti sehingga memperjelas wilayah kerja penelitian; (3) rumusan masalah yang berisi permasalahan spesifik yang dikaji oleh obyek penelitian tujuan penelitian, kegunaan penelitian; (4) tujuan penelitian yang berisi hal-hal yang ingin dicapai dalam penelitian; (5) kegunaan penelitian yang menyajikan nilai penting penelitian bagi berbagai pihak; (6) penelitian terdahulu yang menyajikan kajian sebelumnya yang serupa sehingga memberikan perbedaan yang jelas dengan penelitian yang akan dilakukan; (7) metode penelitian; (8) sistematika pembahasan.
Bab kedua membahas landasan teori. Landasan teori berfungsi sebagai basis atau komparasi analisis dalam melakukan penelitian, meliputi; (1) Kajian tentang full day school; (2) Dampak pelaksanaan full day school terhadap perkembangan sosial peserta didik.
Bab ketiga membahas penyajian data. Penyajian data berfungsi memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan Paparan hasil penelitian yang telah penulis temukan di lapangan setelah melalui proses pengamatan langsung, wawancara dan dokumentasi yang penulis terima, disini membahas tentang gambaran umum obyek penelitian yang meliputi; lokasi, letak geografis SD Plus X, Struktur organisasi, Visi dan Misi, Sejarah berdirinya, tujuan pembelajaran, program unggulan, Struktur kurikulum, Sarana dan Prasarana pendidikan, keadaan peserta didik dan pendidik, kegiatan belajar pembiasaan, susunan program pengajaran, system pengajaran, bimbingan belajar dan tahap pelaksanaan kurikulum, Dampak full day school terhadap perkembangan sosial peserta didik, apa saja yang melatarbelakangi masalah perkembangan social peserta didik, kendala yang dihadapi guru serta bagaimana solusinya sehingga dapat memberikan pemahaman mendalam tentang kasus yang diteliti dengan obyek penelitian
Bab keempat membahas analisis data. Data yang diperoleh kemudian dianalisis oleh penulis yang terdiri dari empat sub bab, sub bab pertama mencakup problematika pelaksanaan Full Day School di SD Plus X Dan sub bab ke kedua adalah apa saja yang melatarbelakangi masalah perkembangan sosial peserta didik di SD Plus X. Sub bab ketiga kendala apa saja yang dihadapi guru SD Plus X sub keempat bagaimana solusinya. Analisis data yang menyajikan bahasan tentang konsep pendidikan full day school. Pada analisis ini akan diketahui juga indikasi positif dan negatifnya penerapan sistem full day school sehingga mampu dikaji efektifitasnya dan keberhasilannya
Bab kelima penutup. Penutup, merupakan kumpulan terakhir dari tesis secara keseluruhan yang meliputi kesimpulan, saran, daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:52:00