Cari Kategori

Showing posts with label Penelitian Tindakan Kelas. Show all posts
Showing posts with label Penelitian Tindakan Kelas. Show all posts

PENINGKATAN KEAKTIFAN LISAN DAN HASIL BELAJAR SISWA

Pembelajaran akan efektif manakala ada dua unsur yang berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung yaitu, unsur guru dan siswa (Mansyur, 2006). Pertama, unsur guru yaitu guru membantu siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM), memberi umpan balik dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang sifatnya menantang, bisa menginspirasikan gagasan siswa, bisa merubah tingkah laku siswa, dan bisa membuat situasi kegiatan belajar mengajar (KBM) yang menyenangkan dan kondusif. Guru merupakan motor utama yang memiliki tanggung jawab langsung untuk menterjemahkan kurikulum ke dalam aktivitas pembelajaran, dan bukan satu-satunya sumber utama pengetahuan. Hal tersebut dapat dilihat dari tugas dan peran guru antara lain: sebagai komunikator, fasilitator, motivator, model, evaluator, sumber belajar, dan administator. Berkaitan dengan peran guru sebagai seorang fasilitator, bahwa tugas guru adalah memfasilitasi agar informasi baru menjadi bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. Agar informasi menjadi bermakna maka siswa harus dimotivasi untuk aktif, sebab siswa adalah pusat dari kegiatan pembelajaran sehingga siswa harus dilibatkan dalam tanya jawab yang terarah. Kedua, unsur siswa yaitu diharapkan diakhir proses kegiatan belajar mengajar (KBM) siswa aktif bertanya, mengemukakan gagasan-gagasan, mampu merancang dan menciptakan sesuatu, dan menguasi keterampilan yang diperlukan.

Untuk menumbuhkan sikap aktif dari siswa tidaklah mudah. Fakta yang terjadi adalah guru dianggap sumber belajar yang paling benar. Proses pembelajaran yang terjadi memposisikan siswa sebagai pendengar ceramah guru. Akibatnya proses belajar mengajar cenderung membosankan dan menjadikan siswa malas belajar. Sikap anak didik yang pasif tersebut ternyata tidak hanya terjadi pada mata pelajaran tertentu saja tetapi pada hampir semua mata pelajaran termasuk pelajaran fisika.

Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran fisika dapat diukur dari keberhasilan siswa yang mengikuti kegiatan tersebut. Keberhasilan itu dapat dilihat dari tingkat keaktifan, pemahaman, penguasaan materi serta hasil belajar siswa (Saraswati, 2003). Semakin tinggi keaktifan, pemahaman dan penguasaan materi serta hasil belajar maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pembelajaran. Namun dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa keaktifan dan hasil belajar fisika yang dicapai siswa masih rendah. Berkaitan dengan masalah tersebut, pada pembelajaran fisika juga ditemukan keragaman masalah sebagai berikut: 1) keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran masih belum nampak, 2) siswa jarang mengajukan pertanyaan, walaupun guru sering meminta agar siswa bertanya jika ada hal-hal yang belum jelas, atau kurang paham, 3) keaktifan dalam mengerjakan soal-soal latihan pada proses pembelajaran juga masih kurang, 4) kurangnya keberanian siswa untuk mengemukakan gagasan/pendapat dalam pembelajaran, dan 5) kurangnya keberanian siswa dalam mengerjakan soal di depan kelas (Saraswati, 2003). Hal ini menggambarkan efektifitas belajar mengajar dalam kelas masih rendah.

Dari hasil observasi awal yang dilakukan terhadap sampel penelitian yang akan diberikan tindakan, ditemukan bahwa keaktifan lisan siswa dalam pembelajaran fisika masih sangat kurang. Begitu juga dengan hasil belajar siswa yang masih rendah dan masih banyaknya siswa yang belum tuntas.

Persentase keaktifan siswa dihitung berdasarkan jumlah siswa yang aktif dalam melaksanakan kegiatan proses pembelajaran fisika. Berdasarkan klasifikasi keaktifan yang dikemukakan oleh Saraswati (2003), bahwa persentase keaktifan lisan siswa tersebut berada dalam kategori sangat kurang. Dilihat dari hasil belajar siswa, untuk ulangan harian pesawat sederhana dengan rata-rata nilai kelas 54,8 dan rata-rata nilai kelas untuk UTS adalah 59,2 serta masih ada siswa yang nilai raport di semester ganjil sama dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu sebesar 56 dan rata-rata nilai raport kelas sebesar 63,2. Dari hasil belajar di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa untuk ulangan harian pesawat sederhana masuk dalam kategori rendah, untuk hasil belajar UTS masuk dalam kategori sedang dan nilai raport semester ganjil masuk dalam kategori sedang.

Mengacu pada hasil observasi awal, wawancara dengan guru bidang studi dan hasil studi awal yang sudah dilakukan, penulis merasa tertarik untuk memberikan tindakan yang dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Untuk mengantisipasi kurang aktif dan rendahnya hasil belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar, maka perlu dicarikan formula pembelajaran yang tepat, sehingga dapat meningkatkan keaktifan lisan dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran fisika. Salah satu formula pembelajaran adalah dengan menerapkan model pembelajaran latihan inkuiri. Inkuiri merupakan sebuah strategi pengajaran yang berpusat pada siswa, yang mendorong siswa untuk menyelidiki masalah dan menemukan informasi. Menurut Mestre & Cocking (Ibrahim, 2007) dalam inkuiri siswa dimotivasi untuk terlibat langsung atau berperan aktif secara fisik dan mental dalam kegiatan pembelajaran. Lingkungan kelas dimana siswa aktif terlibat dan guru berperan sebagai fasilitator pembelajaran sangat membantu dalam mencapai tujuan belajar.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran yang lebih terencana serta sistematis dan sesuai dengan hakikat IPA. Untuk itu, penulis mencoba memberikan suatu alternatif model pembelajaran untuk mengatasi permasalahan di atas, yaitu dengan mengadakan suatu penelitian tentang penerapan model latihan inkuiri. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul "Upaya Peningkatan Keaktifan Lisan dan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran Fisika Melalui Penerapan Model Pembelajaran Latihan Inkuiri". Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keaktifan lisan dan hasil belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar dan memberikan informasi mengenai penerapan model pembelajaran latihan inkuiri agar terciptanya proses belajar fisika yang baik.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:50:00

PEMBELAJARAN IPS SEJARAH DENGAN PENGGUNAAN TEKNIK TEKA-TEKI SILANG UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

SKRIPSI PTK PEMBELAJARAN IPS SEJARAH DENGAN PENGGUNAAN TEKNIK TEKA-TEKI SILANG UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA (MATA PELAJARAN : SEJARAH) – (SMP KELAS VIII)

A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran merupakan kegiatan yang berproses dan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Maka dari itu pemahaman yang benar mengenai arti pembelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya mutlak diperlukan oleh para pengajar atau pendidik, seperti halnya dikemukakan oleh Said Hamid Hasan (2002:24) berikut ini:

Dalam menentukan cara belajar yang bagaimana, dikatakan guru memang memegang peranan yang menentukan. Dapat dikatakan bahwa cara belajar yang akan dialami oleh siswa sepenuhnya ditentukan oleh pertimbangan professional guru mengenai sifat, tujuan, materi, kemampuan awal siswa (entry behavior), sifat sumber materi dan suasana belajar.

Jika seorang pendidik mampu menguasai dan menentukan metode belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa maka proses belajar mengajar di kelas akan berlangsung dengan baik. Hal tersebut juga akan berdampak baik terhadap hasil belajar yang dicapai siswa. Dengan demikian peranan seorang pendidik (guru) dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena berhasil atau tidaknya kegiatan belajar mengajar tersebut sangat ditentukan oleh kreativitas guru dalam mengemas suatu mata pelajaran sehingga dapat menarik minat siswa untuk lebih mendalami dan mempelajari mata pelajaran tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian di kelas VIII B SMP X. Sebelum melakukan penelitian, penulis malakukan wawancara dengan beberapa orang siswa di kelas VIII B SMP X untuk mengetahui kesan mereka terhadap mata pelajaran sejarah. Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa yang kurang tertarik untuk belajar sejarah, sebagian besar siswa mengakui bahwa mereka tidak selalu memperhatikan guru ketika sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar sejarah di kelas. Hal tersebut membuktikan kurangnya motivasi siswa untuk belajar sejarah. Selain mewawancarai beberapa siswa, penulis juga mewawancarai guru mata pelajaran sejarah kelas VIII B SMP X, dari wawancara tersebut diketahui bahwa pada saat pembelajaran berlangsung, masih ada sebagian siswa yang tidak antusias mengikuti kegiatan belajar mengajar sejarah.

Berdasarkan pengamatan peneliti, umumnya banyak siswa lebih tertarik untuk melakukan hal-hal lain selain belajar, seperti mengobrol dengan temannya atau keluar kelas daripada memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan kelas. Siswa terlihat jenuh dan tidak tertarik untuk belajar. Hal tersebut karena bagi mereka sejarah identik dengan hapalan-hapalan saja, seperti halnya diungkapkan oleh Rochiati Wiriaatmadja (2002:133) dalam kutipan berikut ini:

Banyak siswa yang mengeluh bahwa pelajaran sejarah itu membosankan karena isinya hanya merupakan hafalan saja dari tahun ke tahun, tokoh dan peristiwa sejarah. Segudang informasi dijejelkan begitu saja kepada siswa dan siswa tinggal menghafalkannya diluar kepala. Memang "menghafal" atau "mengingat" adalah salah satu cara belajar seperti halnya menirukan {iminating atau copyng) mencoba-coba dengan trial and error, kadang-kadang juga kita berfikir atau merenungkan apa yang kita lihat dan kita alami dengan hasil yang berbeda-beda.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka akan berdampak buruk terhadap hasil belajar siswa. Jika hasil belajar siswa masih jauh dari yang diharapkan maka hal tersebut membuktikan tujuan pembelajaran sejarah belum dapat diwujudkan. Pembelajaran sejarah dapat dikatakan berhasil apabila adanya perubahan perilaku dan pola pikir yang lebih baik pada siswa. Banyak makna dan nilai-nilai positif yang sesungguhnya terkandung dalam sejarah yang dapat diambil hikmahnya dan dijadikan pedoman dalam manghadapi masalah-masalah, baik yang terjadi di masa kini maupun di masa yang akan datang, seperti halnya diungkapkan oleh Said Hamid Hasan (2000:8) berikut ini:

Pengalaman yang diharapkan ada pada siswa setelah pembelajaran sejarah adalah kemampuan berpikir kritis yang dapat digunakan untuk mengkaji dan memanfaatkan pengetahuan sejarah, keterampilan sejarah dan nilai suatu peristiwa sejarah dalam membina kehidupan memerlukan banyak keputusan kritis, serta terampil dalam memahami berbagai peristiwa sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi disekitarnya. Disamping itu kemampuan menyaring nilai-nilai yang ada, memilih dan mengembangkan nilai positif dan menarik pelajaran dari nilai negatif, serta meniru keteladanan dari para pelaku sejarah.

Masalah tersebut merupakan tantangan bagi para guru sejarah untuk mengembangkan keterampilan dan kreatifitasnya, sehingga mampu mengubah kesan negatif siswa terhadap pelajaran sejarah agar siswa dapat memberikan respon yang positif terhadap pelajaran sejarah dan memperoleh hasil belajar yang baik, seperti yang dikemukakan oleh Said Hamid Hasan (1999:2) berikut ini:

Dalam praktek di kelas guru sejarah adalah orang yang harus dapat menjelaskan bahan pelajaran, melatih siswa dalam menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai, menjadi inovator, serta memberi kemudahan untuk berlangsungnya interaksi siswa dengan guru dalam kegiatan belajar mengajar, menghadirkan peristiwa atau kisah masa lalu dihadapan para siswa sebagai kekhasan sejarah dan lain-lain.

Atas dasar hal tersebut, penulis ingin menyumbangkan sebuah gagasan baru dalam teknik pembelajaran sejarah sebagai bagian dari metode pembelajaran, sejarah agar siswa dapat lebih antusias dalam mengikuti proses pembelajaran sejarah, serta mempermudah siswa untuk menyerap berbagai informasi penting yang terkandung dalam pelajaran sejarah.

Dalam penelitian ini penulis menerapkan penggunaan teknik teka-teki silang dalam pembelajaran sejarah dengan tujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Adapun alasan penulis memilih teknik ini adalah, untuk mengurangi rasa jenuh yang dialami siswa ketika mengikuti proses belajar mengajar sejarah di kelas. Dengan menggunakan teknik teka-teki silang dalam pembelajaran sejarah, siswa akan merasakan suasana yang berbeda ketika sedang belajar sejarah. Siswa tidak lagi hanya duduk, diam dan mendengarkan cerita dari guru saja, tetapi mereka akan dilibatkan dalam sebuah permainan namun permainan tersebut bersifat mendidik, karena selain akan mengasah kemampuan berfikir juga akan mempermudah siswa untuk memahami konsep-konsep yang terkandung dalam mated pelajaran sejarah, seperti juga diungkapkan oleh Suyatno. (2008). Mengajar dengan Teka-Teki Silang (TTS). [Online]. Tersedia: http://www.garduguru.blogspot.com.alm.html/2008. [13 Oktober 2008] cobalah teka-teki silang digunakan untuk pembelajaran di kelas terutama untuk menguatkan pencantolan konsep ke dalam memori.

Di samping itu, dengan menggunakan teknik teka-teki silang dalam pembelajaran sejarah dapat melatih kemandirian siswa dalam menggali informasi mengenai sejarah dari berbagai sumber sehingga siswa akan menjadi lebih aktif dan antusias dalam mengikuti proses pembelajaran sejarah, peningkatan aktifitas belajar tersebut akan berdampak pula pada peningkatan hasil belajar siswa, hal senada diungkapkan oleh Ardy widyarso. (2008). (http://www.smk3ae.wordpress.com.alm.html/16-10-2008) yang menjelaskan bahwa dengan menggunakan teka-teki silang, persentase keterlibatan siswa dalam belajar akan menjadi tinggi, karena guru mencoba membangun pemahaman siswa dari pengalaman belajarnya berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Pembelajaran dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan, siswa mencoba menemukan dan mencari, sehingga terjadi perpindahan dari mengamati menjadi memahami, menemukan jawaban dengan berpikir kritis melalui keterampilan belajarnya.

B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah "Bagaimana meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang". Secara lebih khusus, fokus permasalahan yang akan diteliti terdapat dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Bagaimana perencanaan pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X?
2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X?
3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X?
4. Bagaimana hasil belajar dengan menggunakan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai pembelajaran sejarah dengan penggunaan teknik teka-teki silang dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan perencanaan pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X.
2. Mengkaji pelaksanaan pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X.
3. Menemukan kendala-kendala yang dihadapi dalam pembelajaran IPS-sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang serta upaya-upaya untuk mengatasinya di kelas VIII B SMP X.
4. Mengetahui hasil belajar IPS-sejarah dengan menggunakan teknik teka-teki silang di kelas VIII B SMP X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teori, melalui pembelajaran sejarah dengan penggunaan teknik teka-teki silang, diharapkan dapat menggali segala potensi yang dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran sejarah sehingga akan meningkatkan mutu dan efektifitas pembelajaran sejarah di sekolah.
2. Bagi siswa untuk mengembangkan daya pikir siswa dalam memahami pelajaran sejarah dan meningkatkan minat siswa dalam mendalami mata pelajaran sejarah melalui penggunaan teknik teka-teki silang.
3. Bagi guru sejarah, dengan penggunaan teknik teka-teki silang dalam pembelajaran sejarah diharapkan dapat memberikan suatu alternatif dalam metode pembelajaran sejarah di kelas, sehingga tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dapat tercapai dengan baik.
4. Bagi peneliti/dosen, akan berdampak pada pengembangan kualitas diri dan profesionalitas, untuk terus meningkatkan keilmuan, khususnya pengembangan proses pembelajaran dan pendidikan sejarah.
5. Bagi lembaga Universitas Pendidikan Indonesia akan meningkatkan prestasi dan nama baik dengan memberikan sumbangan bagi peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran di tingkat sekolah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 06:33:00

PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD DALAM UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (MATA PELAJARAN : SEJARAH) – (SMA KELAS XI)

A. Latar Belakang
Pendidikan dapat dikatakan sebagai upaya sadar dan terencana dari manusia untuk mengenyam ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya seperti keterampilan dan pengetahuan berfikirnya. Pendidikan merupakan modal dasar bagi manusia untuk menjalani berbagai aktivitas yang bermanfaaat dalam kehidupannya. Selain itu sebagai makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakat dan negara memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Supaya pembangunan bangsa semakin meningkat, dibutuhkan sumber daya manusia yang baik pula untuk menunjang pelaksanaannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah peningkatan mutu pendidikan, baik prestasi belajar siswa maupun kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global.

Sejarah merupakan pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini (Depdiknas, 2003 : 1). Lebih lanjut Ismaun (2001 : 114) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah agar peserta didik mampu memahami sejarah, memiliki kesadaran sejarah, dan memiliki wawasan sejarah yang bermuara pada kearifan sejarah.

Berdasarkan pernyataan di atas, mata pelajaran sejarah memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk pemahaman, kesadaran dan wawasan sejarah sehingga siswa dapat menyikapi masalah dalam kehidupannya dengan bijak. Oleh karena peranan mata pelajaran sejarah di sekolah sangat penting, sehingga diharapkan dapat menjadi suatu mata pelajaran yang menarik karena mengajarkan kepada siswa berbagai peristiwa yang dialami oleh manusia dalam ruang dan waktu yang berbeda sehingga siswa dapat merasakan perubahan yang dialami oleh manusia dalam kehidupan. Akan tetapi pada kenyataannya di sekolah tidak demikian. Masalah dalam mata pelajaran sejarah adalah sejarah dianggap pelajaran yang membosankan. Akibat dari anggapan bahwa pelajaran sejarah itu membosankan menyebabkan siswa merasa tidak senang terhadap mata pelajaran sejarah. Oleh sebab itu sejarah dianggap sebagai mata pelajaran yang sepele, maka guru sejarah hendaknya mampu mengubah paradigma siswa yang mengganggap sejarah merupakan mata pelajaran yang dianggap membosankan menjadi mata pelajaran yang menyenangkan.

Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian mengenai pendapat siswa tentang pelajaran sejarah, banyak siswa yang mengungkapkan bahwa pelajaran sejarah membosankan dan menjenuhkan, karena materinya terlalu menekankan pada hal-hal yang faktual seperti angka tahun, nama tokoh, nama peristiwa, dan tempat di mana suatu peristiwa terjadi. Penyampaian materi yang tidak berkorelasi akan menambah kejenuhan siswa dalam menerima materi pelajaran sejarah.

Berbagai perlakuan dapat dilakukan siswa berkaitan dengan keberadaan pengajaran yang masih banyak dilakukan secara konvensional (pembelajaran terpusat pada guru). Perasaan jenuh yang dialami siswa dengan pembelajaran seperti itu mengurangi konsentrasi belajar siswa dan mengalihkan perhatiannya pada hal-hal yang dapat menghilangkan kejenuhan tersebut, seperti mengobrol di kelas, melamun, mengerjakan tugas mata pelajaran selain sejarah bahkan sengaja tidur di kelas.

Dalam Kurikulum tahun 2006, para guru dituntut untuk melibatkan siswa secara aktif sebagai subjek pembelajaran. Strategi yang sering digunakan untuk mengaktifkan siswa yaitu dengan melibatkan siswa dalam diskusi di kelas. Akan tetapi terkadang diskusi ini kurang efektif walaupun guru sudah berusaha mendorong siswa agar ikut berpartisipasi aktif dalam proses diskusi. Banyak guru mengeluhkan bahwa hasil belajar dengan diskusi tidak seperti yang mereka harapkan. Para siswa bukannya memanfaatkan kegiatan tersebut untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka, akan tetapi kebanyakan dari mereka bermain, bergurau dan sebagainya.

Keadaan di atas memberikan dampak yang sangat besar terhadap prestasi belajar dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran sejarah. Berdasarkan hasil ujian dengan nilai kriteria kelulusan minimum 65, hanya 30% yang dinyatakan lulus dari jumlah siswa sebanyak 36.

Melihat kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa kurang terampil dalam menjawab pertanyaan atau bertanya tentang konsep dan materi yang diajarkan.

Siswa kurang bisa bekerjasama dalam kelompok diskusi sehingga kurang bisa menyelesaikan tugas yang diberikan. Mereka cenderung belajar sendiri-sendiri.

Hasil pengamatan di lapangan selama peneliti PPL di SMA X, menunjukkan bahwa siswa kelas XI IPS I dalam proses pembelajaran di kelas lebih banyak dilakukan secara individual, pola hubungan yang terjadi antar siswa diwarnai atas dasar kegiatan belajar individual. Padahal belajar tidak harus merupakan suatu kegiatan individual, walaupun sekilas sistem belajar individual memberikan kesan positif untuk membentuk daya saing yang tinggi untuk kehidupan di masa mendatang. Hasan (1996 : 8) menjelaskan :

"Realita yang ditunjukkan di masyarakat membuktikan bahwa setiap individu terlibat kerjasama dengan individu lain dalam suatu sistem. Persaingan yang terjadi antar individu hanyalah sebatas sistem itu, sementara keberhasilan dalam sistem tadi lebih memberikan kesempatan dan jaminan akan keberhasilan individu dan anggotanya".

Johnson dan Smith dalam (Lie, 2007 : 5) mengemukakan bahwa pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa. Maksud dari pernyataan tersebut adalah kegiatan pendidikan merupakan suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain menjalin komunikasi dan membangun pengetahuan bersama.

Berpijak dari pendapat di atas, untuk menciptakan interaksi pribadi antar siswa, dan interaksi antar guru dan siswa, maka suasana kelas perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lainnya. Guru perlu menciptakan suasana belajar yang memungkinkan siswa bekerjasama secara gotong royong. Salah satu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas kerja sama antar siswa serta prestasi belajar siswa adalah metode cooperative learning. Dengan menggunakan metode cooperative learning dapat menyediakan lingkungan belajar yang kondusif untuk terjadinya interaksi belajar mengajar yang lebih efektif, sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya.

Shounara (2003, 17) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa metode cooperative learning ini dapat diterapkan untuk pembelajaran sejarah di kelas, terutama dalam upaya meningkatkan berpikir kritis siswa. Dijelaskan lebih lanjut untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam pembelajaran sejarah di kelas, Shounara menyarankan menggunakan metode cooperative learning dalam kelompok kecil. Melalui metode cooperative learning siswa belajar lebih aktif dibandingkan dengan hanya menerima informasi dari guru saja, dapat terjadi interaksi antar siswa dan siswa dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka.

Sesuai dengan latar belakang dan fokus permasalahan di atas, maka perlu adanya perbaikan dalam sistem pembelajaran di kelas. Untuk itu perlu disusun suatu pendekatan dalam pembelajaran yang lebih komprehensif. Atas dasar itu peneliti mencoba menerapkan model pembelajaran cooperative learning dalam pembelajaran sejarah dengan tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions).

Metode pembelajaran cooperative learning merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berperan aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar, tidak hanya itu siswa juga bisa saling mengajar dengan siswa lainnya. Selain itu metode cooperative learning menanamkan pada siswa bahwa mereka memiliki peranan yang sama untuk mencapai tujuan akhir belajar, penguasaan materi pelajaran dan keberhasilan belajar yang tidak semata-mata dapat ditentukan oleh guru, tapi merupakan tanggung jawab bersama. Slavin (2009 : 4) mengemukakan bahwa cooperative learning pada dasarnya merupakan suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerjasama dalam kelompok-kelompok kecil serta kolaboratif anggotanya terdiri dari 4-6 orang, dengan struktur kelompok yang heterogen. Sagala (2005 :216) mengemukakan dampak positif dari belajar kelompok adalah dapat menimbulkan kesadaran akan adanya kompetitif yang sehat, sehingga membangkitkan kemauan belajar yang sungguh-sungguh. Bahkan Hasan dalam Mabroer (2006 : 13) mengemukakan bahwa Cooperative learning akan menghasilkan "cooperative behaviours and attitudes that contributed to be success and/of failure of these group". Maksud dari pengertian ini adalah bekerjasama menghasilkan sikap dan perilaku yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap keberhasilan dan/atau kegagalan kelompok tersebut dalam mencapai tujuan belajar.

Aspek lain yang dapat berkembang dalam pelaksanaan metode cooperative learning menurut Stahl dalam Mabroer (2006 : 4) adalah sikap saling tolong menolong dan tolong menolong merupakan salah satu sikap positif dalam perilaku sosial seseorang.

Pembelajaran kooperatif dikatakan lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran biasa, karena melalui kooperatif siswa lebih leluasa untuk saling memberi dan menerima materi tanpa rasa segan. Sesuai yang dikatakan Lie (2007 : 12) bahwa :
"Banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru dikarenakan mereka memiliki schemata yang hampir sama dibandingkan dengan schemata guru..."

Tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions) merupakan salah satu alternatif yang diterapkan oleh guru kepada siswa dalam pembelajaran. STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkins, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Tipe ini digunakan untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa. Selain itu model STAD juga menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk lebih memperdalam mengenai pengaruh model cooperative learning dengan tipe STAD terhadap hasil belajar siswa menjadi sebuah penelitian. Adapun judul yang peneliti angkat dalam penelitian ini adalah "Penerapan Metode Cooperative Learning Tipe Student Teams Achievement Division (STAD) dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran Sejarah (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas XI IPS 1 SMA X)".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : " Bagaimana upaya peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran sejarah melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD"

C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana kondisi awal pembelajaran sejarah di kelas sebelum diterapkan metode kooperatif tipe STAD?
2. Bagaimana guru sejarah merencanakan metode kooperatif tipe STAD dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah?
3. Bagaimana pelaksanaan metode kooperatif tipe STAD dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran sejarah?
4. Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa setelah menggunakan metode kooperatif tipe STAD?
5. Bagaimana upaya mengatasi kendala yang dihadapi dalam menerapkan metode kooperatif tipe STAD pada pembelajaran sejarah?

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah dan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :
1. Mendeskripsikan mengenai kondisi awal pembelajaran sejarah sebelum metode kooperatif tipe STAD.
2. Mendeskripsikan perencanaan guru sejarah dalam menggunakan metode kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran sejarah.
3. Mendeskripsikan pelaksanaan metode kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran sejarah.
4. Mendeskripsikan dan mengkaji peningkatan hasil belajar setelah menggunakan tipe STAD dalam mata pelajaran sejarah.
5. Menganalisis kendala dan upaya mengatasinya dalam penerapan tipe STAD pada pembelajaran sejarah.

E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian dikatakan berhasil apabila dapat memberikan manfaat pada dunia pendidikan. Dalam penelitian ini, penulis mengharapkan adanya manfaat atau kegunaan, khususnya bagi peneliti sendiri dan umumnya bagi yang berkepentingan di bidang pendidikan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Guru
Manfaat penelitian ini bagi guru adalah sebagai motivasi guru untuk meningkatkan ketrampilan memilih setrategi pembelajaran yang sesuai dan bervariasi. Guru dapat lebih termotivasi untuk terbiasa mengadakan penelitian sederhana yang bermanfaat bagi perbaikan dalam proses pembelajaran serta meningkatkan kemampuan guru itu sendiri.
2. Bagi Siswa
Manfaat penelitian bagi siswa adalah untuk melatih daya pikir untuk meningkatkan hasil belajar dan aktifitas siswa. Keberanian siswa mengungkapkan ide, pendapat, pertanyaan dan saran meningkat. Menumbuhkan semangat kerjasama antar siswa.
3. Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah untuk menambah wawasan dan pengalaman yang dapat dijadikan bekal untuk menghadapi tugas di lapangan.

F. Definisi Operasional
Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau untuk mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Bukanlah cooperative learning jika siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan mempersilakan salah seorang di antaranya untuk menyelesaikan pekerjaan seluruh kelompok.
Salah satu tipe dari metode kooperatif adalah tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions). STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Tipe ini digunakan untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa. Selain itu model STAD juga menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut :
1. Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing terdiri atas 4 atau 5 anggota kelompok. Tiap kelompok mempunyai anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnik maupun kemampuannya (prestasinya)
2. Guru menyampaikan materi pelajaran
3. Guru memberikan tugas kepada kelompok dengan menggunakan lembar kerja siswa dan kemudian saling membantu untuk menguasai materi pelajaran yang telah diberikan melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok.
4. Guru memberikan pertanyaan atau kuis kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab pertanyaan atau kuis dari guru siswa tidak boleh saling membantu.
5. Setiap akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap bahan akademik yang telah dipelajari
6. Tiap siswa dan tiap kelompok diberi skor atas penguasaan terhadap materi pelajaran, dan kepada siswa secara individual atau kelompok yang meraih prestasi tinggi atau memperoleh skor sempurna diberi penghargaan.
Hasil belajar adalah evaluasi terhadap nilai pretes dan post test siswa kelas XI IPS I SMA X dalam pembelajaran sejarah. Pada hakikatnya, hasil belajar siswa meliputi tiga aspek yaitu aspek afektif, aspek kognitif dan aspek psikomotor. Dalam penelitian ini peneliti hanya mengukur aspek kognitif saja, artinya peneliti hanya mengukur kemampuan siswa dari nilai pretes dan posttes saja.

G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :
Bab satu, merupakan pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah yang berisi pemaparan penulis dalam rangka upaya untuk menuju permasalahan yang akan dikaji yaitu mengenai penerapan metode cooperative learning tipe STAD (Student Teams Achievemens Divisions) dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Agar dalam pembahasannya lebih terfokus maka dirumuskanlah beberapa masalah penelitian beserta tujuan diadakannya penelitian. Selain itu dalam bab ini juga dijelaskan mengenai manfaat penelitian, definisi operasional, serta sistematika penulisan.
Bab dua, merupakan landasan teoritis yang meliputi pembahasan dari judul penelitian berdasarkan rujukan dari teori-teori yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian.
Bab tiga, merupakan metodologi penelitian yang meliputi langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Dalam bab ini dipaparkan mengenai pendekatan penelitian, metode dan desain penelitian yang berisi perencanaan pelaksanaan tindakan kelas dan pelaksanaan penelitian, subjek penelitian, prosedur penelitian, serta teknik-teknik yang digunakan dalam pengolahan data.
Bab empat, merupakan pembahasan masalah dan analisis data berdasarkan hasil penelitian dari keseluruhan instrumen penelitian serta keseluruhan tindakan yang telah dilakukan oleh peneliti. Dalam bab ini diuraikan mengenai pembahasan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah. Hasil penelitian diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif berdasarkan metode penelitian tindakan kelas yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab lima, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan hasil yang telah dilakukan dan saran-saran atau rekomendasi bagi pihak-pihak yang terkait dan bagi pengembangan penelitian selanjutnya. Kesimpulan menguraikan sintesis dan interpretasi dari hasil penelitian dan pembahasan, sedangkan saran berupa kekurangan-kekurangan yang diperoleh dari hasil penelitian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 06:31:00

PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA) – (SMP KELAS VII)


1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), standar kompetensi bahan kajian bahasa Indonesia diarahkan kepada penguasaan empat keterampilan berbahasa, yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan ini menjadi faktor pendukung dalam menyampaikan pikiran, gagasan, dan pendapat, baik secara lisan maupun secara tertulis, sesuai dengan konteks komunikasi yang harus dikuasai oleh pemakai bahasa.

Keterampilan menulis merupakan kemampuan yang paling sulit untuk dikuasai siswa dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Selain itu, pembelajaran keterampilan menulis tampaknya belum menggembirakan. Salah satu realitas konkret yang mendukung pernyataan tersebut adalah kondisi pembelajaran keterampilan menulis di kelas SMP Negeri X. Berdasarkan pengalaman guru peneliti dan hasil observasi terhadap keadaan pembelajaran menulis di sekolah tersebut serta wawancara awal yang dilakukan dengan sejumlah guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut, diperoleh informasi bahwa motivasi dan kemampuan menulis, termasuk menulis karangan narasi siswa masih sangat rendah yang ditandai siswa sering merasa jenuh jika disuruh mengarang, tidak ada siswa yang mempunyai kemampuan yang menonjol dalam pembelajaran mengarang, dan hasil karangan narasi siswa sangat memperihatinkan yang dibuktikan dengan hasil tes mengarang siswa yang hanya sekitar 40% siswa mencapai target standar presentase 7,0, karangan narasi siswa masih agak singkat (rata-rata V2 halaman), ide atau gagasan siswa kurang berkembang, kosakata yang digunakan sederhana dan terbatas, penggunaan kalimat dan organisasi tulisan narasi masih kurang terarah.

Fenomena lain yang tampak berdasarkan observasi awal di sekolah SMP N X yang diteliti adalah sistem pembelajaran menulis yang diterapkan oleh guru cenderung monoton (didominasi oleh penggunaan metode ceramah), pembelajaran dengan sistem klasikal yang mengarah pada komunikasi satu arah (guru -> siswa), dan lebih berorientasi penghafalan materi pembelajaran.

Masalah yang timbul dalam proses pembelajaran menulis serta kemampuan siswa dalam menulis/mengarang yang belum memadai (masih rendah) sebagaimana uraian tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: faktor siswa dan faktor strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Adapun faktor yang berasal dari siswa, antara lain: (1) motivasi siswa dalam menulis sangat minim; (2) konsep atau bahan yang dimiliki siswa untuk dikembangkan jadi tulisan sangat terbatas; (3) kemampuan siswa menafsirkan fakta untuk ditulis sangat rendah; (4) kemampuan siswa menuangkan gagasan atau pikiran ke dalam bentuk kalimat-kalimat yang mempunyai kesatuan yang logis dan padu serta diikat oleh struktur bahasa. Adapun faktor yang berasal dari luar diri siswa, antara lain: (1) pokok bahasan menulis tidak memperoleh perhatian serius dari guru; (2) sarana dan metode atau strategi pembelajaran menulis belum efektif; (3) kurangnya hubungan komunikatif antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa lainnya sehingga proses interaksi menjadi vakum. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa dibutuhkan pembenahan dalam pembelajaran menulis.

Kompetensi siswa dalam menulis karangan narasi dapat ditingkatkan dengan membenahi segala hal yang menjadi titik kelemahan siswa dalam menulis. Secara umum, menulis merupakan suatu proses sekaligus suatu produk/hasil. Menulis sebagai suatu proses berupa pengelolaan ide atau gagasan dari tema atau topik yang dipilih untuk dikomunikasikan dan pemilihan jenis wacana tertentu yang sesuai atau tepat dengan situasi dan konteksnya. Kemampuan menulis yang menuntut kemampuan untuk dapat melahirkan dan menyatakan kepada orang lain tentang hal yang dirasakan, dikehendaki, dan dapat dipikirkan dengan bahasa tulisan.

Keterampilan menulis bukanlah kemampuan yang diwarisi secara turun-temurun dan tidak datang dengan sendirinya. Keterampilan ini menuntut perlatihan yang cukup dan teratur serta pembelajaran yang terprogram. Program-program tersebut disusun dan direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam proses belajar menulis (mengarang), berbagai kemampuan itu tidak mungkin dikuasai siswa secara serentak. Semua kemampuan itu dapat dikuasai siswa melalui suatu proses, setahap demi setahap. Karena kemampuan itu tidak bisa dikuasai secara serentak, untuk mempermudah mempelajarinya perlu dibuat skala prioritas. Penentuan prioritas ini diharapkan dapat digunakan sebagai strategi dasar untuk memulai belajar menulis. Sebagai strategi dasar, perioritas yang dimaksud tentu saja tidak hanya berupa suatu rangkaian kemampuan yang mengarah pada terbentuknya sebuah tulisan.

Karangan merupakan pernyataan gagasan atau ide yang bersumber dari pengalaman, pengamatan, imajinasi, pendapat, dan keyakinan dengan menggunakan media tulis sebagai alatnya. Menyusun sebuah karangan bukanlah hal yang mudah. Adakalanya siswa memiliki pengetahuan, gagasan, dan ide yang luas, namun sangat susah menuangkannya dalam bentuk tertulis. Siswa kadang tidak mampu merangkai kata-kata untuk membentuk sebuah paragraf, apalagi wacana. Siswa kadang kurang menyadari hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Akhirnya, sering ditemukan beberapa kalimat sumbang. Kalimat sumbang dalam sebuah paragraf dapat menimbulkan kekaburan makna atau isi sebuah karangan. Sebaliknya, sebuah karangan akan lebih mudah dipahami jika kalimat-kalimatnya tersusun rapi, jelas kohesi dan koherensi antara kalimatnya.

Sebuah tulisan pada dasarnya merupakan perwujudan hasil penalaran siswa. Penalaran ini merupakan proses pemikiran untuk memperoleh ide yang logis berdasarkan avidensi yang relevan. Penalaran ini terutama terkait dengan proses penafsiran fakta sebagai ide dasar untuk dikembangkan menjadi tulisan. Setiap penulis harus dapat menuangkan pikiran atau gagasannya secara cermat ke dalam tulisannya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memunculkan ide adalah dengan curah gagasan. Curah gagasan digunakan untuk menuntun siswa mengembangkan idenya berdasarkan fakta yang ada di sekitar siswa atau peristiwa yang pernah dialami siswa.

Selain itu, untuk memperoleh bahan informasi atau bahan yang akan ditulis oleh siswa, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menuntun siswa mencermati suatu bentuk teks dan menyajikannnya kembali dalam bentuk teks yang berbeda, misalnya dari teks wawancara menjadi karangan narasi . Hal itu merupakan salah satu kompetensi dasar menulis yang diharapkan dan dimiliki oleh siswa kelas VII SMP sebagai hasil dari pembelajaran menulis, yaitu kemampuan mengubah jenis tulisan (wacana) yang satu ke jenis tulisan (wacana) yang lain, termasuk pengubahan teks wawancara yang berbentuk dialog ke dalam bentuk wacana yang berbentuk monolog, seperti karangan narasi .

Wawancara dengan narasumber merupakan salah satu sumber informasi yang aktual. Mewawancarai seseorang merupakan salah satu teknik untuk memperoleh informasi sebagai bahan tulisan. Hasil wawancara dapat diubah dan disajikan dalam bentuk paragraf-paragraf. Paragraf-paragraf tersebut selanjutnya disusun menjadi sebuah tulisan yang utuh.

Keberhasilan pembelajaran menulis karangan narasi juga ditentukan oleh faktor lingkungan dan iklim pembelajaran. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembelajaran faktor lingkungan dan iklim pembelajaran pun haruslah menarik dan menyenangkan dari segi psikologis peserta didik. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika diciptakan belajar alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Hal ini dikemukakan pula oleh Iis Handayani (2007:2) dalam skripsinya yang berjudul Pembelajaran Karangan Narasi Sugestif dengan Strategi Field-Trip (karyawisata) berdasarkan Pengalaman Pribadi Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran 2006/2007 menunjukkan bahwa berdasarkan pengamatan di SMPN 1 Lembang masih banyak siswa yang belum menguasai ke empat keterampilan berbahasa terutama keterampilan menulis. Siswa merasakan kesulitan menuangkan ide-ide karena keterbatasan penguasaan kosakata siswa juga merasakan situasi pembelajaran menulis yang membosankan. Pembelajaran menulis yang sering diterapkan pada siswa sekadar teori saja dan selalu terfokus di dalam kelas. Hal ini mengakibatkan siswa tidak mau berlatih dan malas menulis.

Ike Febrika (2009:1) dalam skripsinya yang berjudul Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Narasi dengan Menggunakan Metode Konstruktivisme (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa kelas VII SMP N 12 Bandung Tahun Ajaran 2008/2009) menunjukkan bahwa siswa pada umumnya kurang menguasai bahkan tidak tahu sama sekali tentang karangan narasi. Siswa masih bingung membedakan berbagai jenis karangan. Untuk memulai menulis pun siswa masih kesulitan. Banyak alasan yang muncul mulai dari menemukan ide sampai bingung harus memulai tulisan dari mana.

I ketut Adnyana Putra dalam jurnal Pendidikan dan Pengajaran (2003:73) menyatakan bahwa penggunaan media, lebih-lebih media gambar berseri dalam pembelajaran keterampilan menulis narasi, akan dapat memotivasi siswa dalam proses pembelajaran. Sebagaimana yang dinyatakan Gagne (1988), gambar-gambar bisa memberikan motivasi belajar, walaupun bukan satu-satunya. Sejalam dengan pernyataan tersebut, Wright (1992) mengatakan bahwa gambar memiliki beberapa peran di dalam keterampilan seperti dapat memotivasi siswa, berkontribusi terhadap konteks bahasa yang digunakan, dapat digunakan untuk menjelaskan secara objektif atau menginterpretasikan, dan dapat memberikan informasi.

Syukur Heryasumirat dalam jurnal yang berjudul upaya peningkatan keterampilan Menulis Narasi Melalui Metode Kerja Kelompok Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Di kelas x TKJ2 smk negeri i cibinong kabupaten bogor menyatakan Salah satu metode pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menulis narasi pada siswa adalah dengan menerapkan metode kerja kelompok dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di SMKN I Cibinong Kabupaten Bogor dengan waktu penelitian yang penulis lakukan dimulai sejak bulan Januari 2009 sampai dengan Maret 2009. Penggunaan metode pembelajaran dan penjelasan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Bimbingan dan pemberian contoh mendorong siswa lebih aktif dalam belajar. Keberanian siswa dalam menjawab soal dan latihan-latihan.

Pendekatan kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada masyarakat belajar (learning community) yang menganggap bahwa siswa lebih mudah menentukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tesebut dengan temannya. Hal ini dapat membantu para siswa meningkatkan sikap positif siswa terhadap pembelajaran keterampilan menulis, khususnya menulis karangan narasi . Hasil pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif diharapkan mampu memberikan pengalaman bermakna sehingga sukar dilupakan oleh siswa. Melalui pembelajaran ini, siswa akan terlatih berpikir dan menghubungkan hal yang mereka pelajari dengan situasi dunia nyata sehingga menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.

Berdasarkan permasalahan di atas peneliti bermaksud mengadakan penelitian yang berjudul PENINGKATAN KOMPETENSI MENULIS KARANGAN NARASI FAKTUAL DENGAN METODE CURAH GAGASAN (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas VII-L SMP Negeri X)

1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian adalah titik tolak yang penting agar hendak dikajinya memperoleh sasaran yang tepat dan terarah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Adapun perumusan masalah yang penulis ambil diantaranya sebagai berikut.
1) Bagaimana perencanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan?
2) Bagaimana pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan?
3) Bagaimana hasil pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan?

1.3 Pemecahan Masalah
Rencana tindakan yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah penelitian adalah penerapan metode curah gagasan yang mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a. Tahap 1, guru memberi pemahaman awal kepada siswa tentang cara melakukan wawancara/mengajukan pertanyaan sederhana untuk menggali hal-hal yang pernah dialami siswa lain, lalu mengubah hasil tanya jawab (dialog) tersebut menjadi bentuk monolog yang bersifat narasi.
b. Tahap 2, siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, tetapi diberi kebebasan untuk mengembangkan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara. Alternatif tindakan untuk tahap ini adalah siswa di bawah bimbingan guru menetapkan tema materi wawancara, yaitu "tokoh idola", lalu bersama-sama melakukan curah gagasan (Brainstorming) untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara.
c. Tahap 3, setiap siswa dalam setiap kelompok membuat karangan narasi dengan mengembangkan teks hasil wawancara yang telah dibuatnya. Jika dianggap informasi yang diperoleh belum lengkap, siswa dapat bertanya kepada narasumbernya.
d. Tahap 4, karangan siswa dipertukarkan untuk dinilai atau dikoreksi oleh teman sekelompoknya dengan menggunakan pedoman penilaian karangan narasi, lalu karangan tersebut dikembalikan kepada pemiliknya untuk disempurnakan.
e. Tahap 5 setiap kelompok mengunjungi, menilai, dan memilih karya yang dianggap terbaik dengan aturan:
1) kelompok pada baris bangku I mengunjungi kelompok pada baris III;
2) kelompok pada baris bangku II mengunjungi kelompok pada baris IV;
3) kelompok pada baris bangku III mengunjungi kelompok pada baris II;
4) kelompok pada baris bangku IV mengunjungi kelompok pada baris I
f. Tahap 6, pemberian penghargaan terhadap karya siswa yang terbaik.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Mendeskripsikan perencanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan
2) Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan
3) Mendeskripsikan hasil pembelajaran menulis karangan narasi faktual dengan menggunakan metode curah gagasan
1.4.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut :
a. Manfaat teoretis, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan teori yang telah ada yaitu metode curah gagasan.
b. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan atau pengalaman dalam melakukan penelitian tindakan kelas, khususnya yang terkait dengan cara meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan narasi siswa kelas VII-L SMP Negeri X dengan metode curah gagasan.
c. Bagi guru, sebagai bahan masukan tentang cara menerapkan curah gagasan untuk meningkatkan kompetensi mengubah hasil wawancara menjadi karangan narasi siswa kelas VII-L SMP Negeri X.
d. Bagi siswa, yaitu melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, inovatif; meningkatkan motivasi dan rasa kesetiakawanan sosial siswa; menumbuhkan kebiasaan dan mengembangkan kemampuan siswa dalam menulis.

1.5 Definisi Operasional
Agar tidak menimbulkan kesalahan dalam penafsiran judul penelitian dan rumusan masalah, maka penulis membuat definisi operasional yang merupakan penjelasan dari istilah-istilah yang terdapat di dalam judul dan rumusan masalah penelitian ini.
Definisi operasional istilah-istilah judul rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1) Peningkatan kompetensi menulis adalah proses atau cara untuk meningkatkan salah satu berbahasa khususnya menulis.
2) Karangan Narasi faktual adalah bentuk wacana yang berusaha menyajikan sesuatu peristiwa atau kejadian sehingga peristiwa itu tampak seolah-olah dialami sendiri oleh para pembaca.
3) Metode Curah Gagasan (Brainstorming) adalah suatu metode untuk melahirkan ide dengan cara siswa diminta untuk memunculkan ide sebanyak mungkin yang berhubungan dengan topik yang menjadi sumber untuk dijadikan petunjuk ketika mengembangkan kalimat atau paragraf.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 06:29:00

UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI TEKNIK BERCERITA DI KELAS V (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA) – (SD KELAS V)

A. Latar Belakang Masalah
Pentingnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar sudah tidak diragukan lagi, megingat bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional Negara Republik Indonesia, juga sebagai bahasa pemersatu di Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia sangat mudah dipelajari dari mulai anak usia dini sampai orang dewasa.

Kesadaran akan pentingnya pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah menuntut guru untuk lebih memperkenalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu di negeri sendiri dan lebih mempopulerkan bahasa Indonesia dengan cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa sehari-hari.

Untuk itu, pemerintah melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) memberikan standar kemampuan yang harus dicapai oleh siswa dari mulai tingkat sekolah dasar sampai tingkat menengah ke atas, kemudian dapat dikembangkan oleh guru untuk lebih meningkatkan keterampilan berbahasa siswa.

Keterampilan berbahasa meliputi keterampilan mendengarkan (menyimak), membaca, berbicara, dan menulis. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa untuk pembelajaran bahasa Indonesia lebih dititikberatkan pada performansi berbahasa daripada sekedar memiliki pengetahuan tentang kebahasaan, yakni berupa unjuk kerja mempergunakan bahasa dalam konteks tertentu sesuai dengan fungsi komunikatif bahasa.

Tarigan (1983:1) mengungkapkan keterampilan berbahasa dalam bahasa Indonesia meliputi empat aspek, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut disebut juga sebagai "catur tunggal" keterampilan berbahasa, karena keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan, dan tidak bisa dilepaskan, namun berbeda antara satu dengan yang lainnya dan juga berbeda dari segi prosesnya.

Pelajaran bahasa Indonesia dewasa ini ditujukan pada keterampilan siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan konteksnya atau bersifat pragmatis. Dengan kata lain, secara pragmatis-komunikatif bahasa Indonesia lebih merupakan suatu bentuk performansi daripada sebagai suatu sistem ilmu. Pandangan ini membawa konsekuensi bahwa pembelajaran bahasa Indonesia harus lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi daripada pembelajaran tentang ilmu atau pengetahuan kebahasaan.

Namun kenyataan di lapangan, kemampuan berbahasa Indonesia terutama keterampilan berbicara siswa sekolah dasar, tepatnya siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y masih rendah. Hal ini dilihat dari masih rendahnya nilai bahasa Indonesia siswa (sekitar 71 % siswa yang memperoleh nilai bahasa Indonesia di bawah KKM), siswa terbiasa menggunakan bahasa daerah (bahasa Sunda), malu untuk berbicara di depan kelas, dan materi pembicaraan yang belum dikuasai siswa.

Tampak pada saat pembelajaran berlangsung, siswa hanya duduk dan mendengarkan penjelasan dari guru tidak berani mengajukan pertanyaan apalagi mengeluarkan pendapat. Ketika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau berkomentar siswa hanya diam, tidak jelas sudah mengerti atau belum. Tidak hanya itu, ketika siswa diminta untuk menceritakan pengalaman pribadi di depan kelas, masih tampak kesulitan, bahkan ada siswa yang sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun saat diminta untuk bercerita di depan kelas.

Hal ini menjadi suatu acuan untuk memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar dalam hal ini kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y agar anak memiliki perbendaharaan kata yang banyak sehingga siswa memiliki keberanian untuk mengungkapkan ide, pikiran, pendapat serta mudah dalam mengkomunikasikan perasaan maupun pengalaman pribadi. Selain itu, Siswa diharapkan terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia terutama dalam keterampilan berbicara. Salah satunya melalui bercerita. Bercerita dianggap cocok diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa dengan alasan :
1. Bercerita memberikan pengalaman psikologis dan linguistik pada siswa sesuai minat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa sekaligus menyenangkan bagi siswa,
2. Bercerita dapat mengembangkan potensi kemampuan berbahasa siswa melalui pendengaran kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih ketrampilan siswa dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan,
3. Bercerita merupakan kegiatan yang menyenangkan dan tidak membosankan,
4. Bercerita memberikan sejumlah pengetahuan dan pengalaman,
5. Siswa aktif.

Seperti yang diungkapkan Susilawani, D. (2009) manfaat bercerita meliputi : menjadi fondasi dasar kemampuan berbahasa, meningkatkan kemampuan komunikasi verbal, meningkat kemampuan mendengar, mengasah logika berpikir dan rasa ingin tahu, menanamkan minat baca dan menjadi pintu gerbang menuju ilmu pengetahuan, menambah wawasan, mengembangkan imajinasi dan jiwa petualang, mempererat ikatan batin orang tua dan anak, meningkatkan kecerdasan emosional, dan alat untuk menanamkan nilai moral, etika, dan membangun kepribadian.

Mengingat begitu pentingnya keterampilan berbicara sebagai salah satu kemampuan dalam gagasan atau pesan secara lisan serta masih rendahnya kemampuan berbahasa siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y terutama dalam aspek berbicara, maka penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul "Upaya meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik bercerita di SDN X Kabupaten Y" (Penelitian Tindakan Kelas terhadap siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka secara umum penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: "Bagaimanakah upaya meningkatkan keterampilan berbicara melalui teknik bercerita di SDN X Kabupaten Y? (Penelitian Tindakan Kelas terhadap siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y)
Untuk memperjelas masalah, maka permasalahan di atas dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik bercerita di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?
2. Apakah teknik bercerita dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?
3. Hambatan atau kesulitan apakah yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan teknik bercerita dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran secara umum tentang teknik bercerita dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui gambaran secara umum mengenai persiapan dan pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik bercerita di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y
2. Mengetahui hasil yang diperoleh dari teknik bercerita dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y
3. Mengetahui hambatan atau kesulitan apakah yang dihadapi guru dan siswa dalam melaksanakan teknik bercerita dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.

D. Manfat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Guru
Memberikan kajian dan informasi tentang teknik bercerita untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa sehingga pembelajaran bahasa Indonesia dapat lebih menyenangkan dan bermakna serta kualitas pembelajaran bahasa Indonesia lebih meningkat.
2. Siswa
Memberikan pengetahuan dan pengalaman kepada siswa sehingga siswa memiliki wawasan, dapat tampil lebih percaya diri, terutama keterampilan berbicara siswa lebih meningkat.
3. Peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang relevan terhadap variabel-variabel yang belum tersentuh dalam penelitian ini

E. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami konsep-konsep utama yang digunakan dalam penelitian ini, berikut dijelaskan konsep-konsep utama tersebut.
1. Keterampilan berbicara
Keterampilan berbicara dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan Berbicara, meliputi pelafalan dan intonasi, pilihan kata/kosa kata, dan struktur kata. Isi cerita, meliputi hubungan isi cerita dengan topik, struktur isi cerita dan kualitas isi cerita. Penampilan, meliputi gerak-gerik & mimik, dan volume suara.
2. Teknik bercerita
Teknik bercerita dalam penelitian ini diarahkan pada kemampuan anak menceritakan pengalaman/kejadian dengan urut, menceritakan kembali isi buku cerita secara urut, dan bercerita tentang gambar dengan urut dan bahasa yang jelas.

F. Hipotesis Tindakan
Melalui teknik bercerita diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V (lima) SDN X Kabupaten Y.

G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Reaserch dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengurupulan data yang penulis gunakan adalah tes lisan dan observasi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:01:00

MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK TK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA BONEKA TANGAN

MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK TK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA BONEKA TANGAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak usia taman kanak-kanak adalah anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang mempunyai karakteristik yang unik. Salah satu karakteristik yang unik tersebut yaitu mempunyai rasa ingin tahu yang besar serta antusias terhadap sesuatu yang ada di sekelilingnya. Pada usia ini anak akan selalu banyak bertanya, memperhatikan, dan membicarakan semua hal yang didengar maupun yang dilihatnya. Ketika akan melihat suatu yang menarik perhatiannya, maka secara spontan anak akan langsung bertanya. Rasa ingin tahu dan antusias terhadap sesuatu tersebut akan diungkapkan melalui kata-kata atau yang disebut berbicara.

Kemampuan berbicara merupakan anugerah yang sangat berharga dari Tuhan Yang Mahakuasa. Iqra, itulah firman Allah Swt, yang pertama disampaikan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw, hal ini memberi makna bahwa manusia harus memiliki kemampuan untuk membaca agar dapat memaknai kehidupan, sebagai khalifah di muka bumi.

Berbicara merupakan salah satu aspek dari keterampilan berbahasa yang sangat diperlukan bagi perkembangan bahasa anak. Pada usia ini perkembangan bahasa anak akan tumbuh dengan cepat, menyebabkan anak aktif berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya, anak tertarik pada kata-kata baru, hal ini akan menambah kosa kata anak, kemampuan mengungkapkan isi pikiran melalui bahasa lisan, dan pada usia ini anak sudah dapat menceritakan pengalamannya yang sederhana kepada guru, teman sebaya maupun orang lain.

Anak yang dapat berbicara atau berkomunikasi dengan lancar mempunyai kemampuan yang dapat dibanggakan, seperti seorang presenter anak di tv, atau ketika kita menyaksikan seorang anak perempuan Palestina yang begitu lancar bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya dan seorang anak perempuan imigran Srilanka yang akan menuju ke Australia begitu lancar bercerita tentang, mengapa dia meninggalkan negaranya menuju negara baru dengan harapan untuk masa depan. Contoh yang paling sederhana adalah bagaimana anak di lingkungan sekitar kita bisa berkomunikasi dengan lancar sesuai tahapan perkembangannya.

Anak yang memiliki kemampuan berbicara telah menunjukkan kematangan dan kesiapan dalam belajar, karena dengan berbicara anak akan mengungkapkan keinginan, minat, perasaan, dan menyampaikan isi hati secara lisan kepada orang lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suhendar (1992 : 16) : 

"Berbicara sebagai suatu proses komunikasi, proses perubahan wujud ujaran atau bunyi bahasa yang bermakna, yang disampaikan kepada orang lain.Berbicara merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud (ide, pikiran, perasaan) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan (ujaran) sehingga maksud tersebut dapat dipahami orang lain."

Pendapat tersebut diperkuat oleh Endang dan Maliki (2009 : 36), yang mengatakan bahwa keterampilan verbal dalam berbicara lisan merupakan kemampuan mengekspresikan bahan pembicaraan dalam bahasa kata-kata yang dimengerti banyak orang dan mudah dicerna. Demikian juga, menurut Elizabeth Hurlock (1995 : 176), bahwa bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud.

Begitu banyak peranan berbicara pada aspek perkembangan anak. Selain berperan pada kemampuan individunya, anak yang memiliki kemampuan berbicara ini pun berpengaruh pada penyesuaian diri dengan lingkungan sebaya, agar dapat diterima sebagai anggota kelompok. Kemampuan berbicara anak juga akan berdampak pula pada kecerdasan. Biasanya anak yang memiliki kecerdasan yang tinggi akan belajar berbicara dengan mudah, cepat memahami pembicaraan orang lain dan mempunyai kosa kata yang lebih banyak. Namun, kemampuan untuk menguasai keterampilan berbicara ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya, tetapi harus melalui proses pembelajaran dan stimulus dari lingkungan terdekat anak.

Berbicara erat kaitannya dengan lingkungan sekitar anak, dimulai dari lingkungan keluarga terutama orang tua. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dapat menumbuhkan kemampuan berbicara anak, dan merupakan pembelajaran bahasa yang alamiah serta model atau contoh yang pertama ditiru. Masitoh, at.al. (2005) memaparkan bahwa anak memperoleh pengetahuan dan keterampilan tidak hanya dari kematangan, tetapi lingkungan memberikan kontribusi yang berarti dan sangat mendukung proses belajar anak.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Yusuf (Hartini, 2005 : 19), yang menjelaskan bahwa kemampuan menyebutkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (terutama orang tua).

Setelah memasuki taman kanak-kanak, peran teman sebaya sangat berperan membantu perkembangan bahasa anak. Melalui interaksi dalam kegiatan belajar maupun bermain, anak secara tidak langsung belajar untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya. Hal ini akan terus berlangsung sesuai dengan kemampuan bicara anak seusianya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Isah Cahyani (2004 : 65), bahwa "Anak belajar berbicara dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya, selain itu lingkungan memberikan pelajaran pula terhadap tingkah-laku, ekspresi, dan menambah perbendaharaan kata".

Pendidik atau guru seyogyanya memfasilitasi dengan cara menggunakan model kegiatan yang dapat merangsang minat anak untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pendidik atau guru mengidentifikasi dan mengeksplorasi sumber belajar untuk dijadikan media bagi peningkatan keterampilan berbicara anak, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, karena guru yang kreatif akan senantiasa mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada media atau sumber belajar yang monoton, melainkan memilih media pembelajaran yang menarik, bermakna dan menyenangkan sesuai dengan kebutuhan anak.

Sejak masih bayi, seorang manusia telah mulai belajar untuk berkomunikasi dengan orang sekelilingnya. Hal ini terlihat ketika bayi mengungkapkan keinginannya, bayi akan menangis. Ketika menangis, hal ini menunjukkan bahwa bayi tersebut lapar, haus, atau kedinginan. Kemudian bentuk komunikasi bayi diteruskan melalui bahasa isyarat, celotehan, dan ekspresi emosional. Sulit diketahui sejak kapan bayi memulai untuk belajar berbicara, namun berawal dari celotehan bayi memulai belajar berbicara.

Seiring dengan bertambahnya usia anak, dapat mengucapkan beberapa kata, pada usia dua tahun kosa kata anak lebih dari 1.500 buah dan kemampuan berbicaranya akan berkembang pesat ketika anak memasuki taman kanak-kanak. Pada usia ini, hasrat anak untuk belajar menjadi dorongan yang kuat untuk mempelajari kata-kata baru dan tentunya melalui stimulasi dari lingkungan taman kanak kanak.
Taman kanak-kanak dianggap sebagai tempat yang tepat untuk menumbuhkan kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa anak TK terlihat dari minat yang tinggi pada huruf-huruf dan angka-angka, sudah dapat mengingat kembali pengertian berdasarkan kata-kata, kosa kata anak lebih dari 2.500. Dan, program pengembangan keterampilan berbicara di taman kanak-kanak banyak memberi kesempatan anak untuk berbicara, menceritakan pengalamannya secara sederhana. Anak dibiasakan untuk bertanya, menjawab pertanyaan, dan mengekspresikan keinginannya.

Sesuai dengan tujuan pengembangan berbahasa anak TK, menurut Soemantri (Hartini : 2005), yaitu agar anak mampu mengungkapkan melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunikasi secara efektif dengan lingkungan dan membangkitkan minat untuk dapat berbahasa Indonesia dengan baik.

Kenyataannya pengembangan keterampilan berbicara anak di taman kanak-kanak belum maksimal dan cenderung mendapat hambatan. Tidak semua anak mampu menguasai keterampilan berbicara. Ketidakmampuan anak berkomunikasi secara lisan ini dikarenakan beberapa alasan, salah satu alasan tersebut, yaitu kegiatan pembelajaran yang kurang memperhatikan aspek aspek perkembangan anak.
Rendahnya kemampuan berbicara anak terlihat dari kemampuan anak yang sulit berkomunikasi dengan bahasa lisan, sulit mengemukakan pendapat dengan sederhana, sulit memberi informasi, sulit menjawab pertanyaan, malu untuk bertanya, sulit untuk menceritakan pengalaman yang sederhana, dan kemampuan kosa kata anak pun masih terbatas.

Berdasarkan pengamatan yang terjadi di lapangan khususnya di TK X. Dalam beberapa aktivitas di kelas terlihat adanya kegiatan yang kurang memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan berbicara. Demikian pula pemanfaatan media pembelajaran yang kurang memperhatikan aspek-aspek perkembangan anak, bahkan hampir tidak pernah digunakan. Sementara itu, anak hanya duduk diam mendengarkan ceramah guru, anak hanya melaksanakan tugas yang diberikan dan jika ada anak yang bersuara, maka guru langsung menegurnya.

Berkaitan dengan media pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berbahasa anak, Isah Suryani (2004 : 99) memaparkan bahwa kemampuan guru dalam mendekatkan anak pada bahasa yaitu kemampuan guru dalam mencari cara atau media komunikasi yang sesuai dengan karakteristik anak. Biasanya, cara yang dapat diterima anak, yaitu cara-cara yang paling menyenangkan bagi anak, alamiah, dan tidak banyak intervensi orang dewasa. Dengan cara-cara tersebut di samping pembelajaran yang tampak alamiah dan merangsang minat anak, juga keterlibatan anak dalam pembelajaran bahasa semakin tinggi. Demikian pula, Menurut Suhartono, (2005 : 143), kegiatan pengembangan berbicara anak pada umumnya dilakukan dalam bentuk interaksi belajar mengajar. Kegiatan itu dapat berjalan dengan baik jika didukung oleh adanya media atau sarana prasarana. .

Media pembelajaran berfungsi sebagai alat yang menarik perhatian dan untuk menumbuhkan minat anak berperan serta dalam proses pembelajaran dan media pembelajaran juga berfungsi sebagai alat untuk menghindari verbalisme. Salah satu media pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan media boneka tangan.

Boneka adalah media yang sangat akrab dengan dunia bermain anak. Menurut Gallahue (Cahaya, S.I : 2007), bermain adalah suatu aktivitas langsung dan spontan di mana seorang anak menggunakan orang lain atau benda-benda di sekitarnya dengan senang, sukarela, dan dengan imajinatif, menggunakan perasaannya, tangannya, atau seluruh anggota tubuhnya. Dengan melalui penggunakan media boneka tangan secara tidak langsung anak akan belajar mengenai keterampilan berbicara tanpa disadari.

Dengan melalui boneka tangan diharapkan anak akan lebih tertarik untuk mencoba menggunakan dan senang memainkannya secara langsung dengan jari-jari tangannya. Boneka tangan sangat populer bagi dunia bermain anak, seperti yang ditampilkan di media elektronik, yaitu boneka si unyil pada acara "Laptop si Unyil". Dengan menggunakan media boneka tangan diharapkan akan meningkatkan minat anak untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran.

Dalam rangka mengembangkan persoalan tersebut di atas, penulis mencoba untuk melakukan penelitian tentang bagaimana meningkatkan keterampilan berbicara anak taman kanak-kanak melalui penggunakan media boneka tangan, yang penulis rumuskan dalam judul penelitian, 

"UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK TK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA BONEKA TANGAN".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka perlu adanya suatu penelitian bagaimana cara meningkatkan keterampilan berbicara anak taman kanak-kanak melalui penggunakan media boneka tangan, yang secara khusus dapat dipaparkan dalam bentuk pertanyaan di bawah ini :
1. Bagaimana kondisi obyektif keterampilan berbicara anak di TK X?
2. Bagaimana implementasi penggunaan media boneka tangan dalam meningkatkan keterampilan berbicara anak di TK X ?
3. Bagaimana keterampilan berbicara anak TK X setelah melalui penggunakan media boneka tangan ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan Umum dari penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan keterampilan berbicara anak taman kanak-kanak melalui penggunaan media boneka tangan.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengetahui kondisi obyektif tentang kemampuan berbicara anak taman kanak-kanak di TK X.
2) Untuk mengetahui implementasi penggunaan media boneka tangan dalam meningkatkan keterampilan berbicara anak di TK X.
3) Untuk mengetahui keterampilan berbicara anak setelah menggunakan media boneka tangan.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak, seperti guru, lembaga pendidikan, orang tua, dan bagi peneliti selanjutnya. Untuk lebih spesifik penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut :
a. Bagi guru
Guru lebih mudah mengajarkan keterampilan berbicara anak , karena memakai media yang menarik, menyenangkan, dan bermakna bagi anak. Memotivasi peranan guru dalam meningkatkan kemampuan berbicara anak untuk menciptakan media yang menarik, menyenangkan, dan bermakna agar anak banyak terlibat dalam kegiatan aktivitas berbicara.
b. Bagi lembaga pendidikan
Hasil penelitian diharapkan maenjadi sumbangsih kepada seluruh lembaga pendidikan pada umumnya, dan khususnya bagi TK X dalam rangka meningkatkan kualitas belajar, terutama keterampilan berbicara anak taman kanak-kanak.
c. Bagi orang tua
Penelitian ini diharapkan menjadi alternatif dalam meningkatkan keterampilan berbicara sebagai bahan bacaan dan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari hari.
d. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan sebagai acuan untuk kajian pendidikan selanjutnya dan menjadi inspirasi serta motivasi bagi kemajuan pengembangan pendidikan bagi anak usia dini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:27:00

UPAYA GURU MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI MELALUI PERMAINAN KARTU KATA

UPAYA GURU MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI MELALUI PERMAINAN KARTU KATA

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk Pendidikan anak usia dini yaitu anak yang berusia empat sampai dengan enam tahun. Pendidikan TK memiliki peran yang sangat penting untuk mengembangkan kepribadian anak serta mempersiapkan mereka untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Dengan kata lain, Pendidikan usia dini Khususnya TK sangat mengutamakan pendidikan yang berpusat pada anak atau "child centre". Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (2003) pada pasal 1 ayat (14) menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan agar anak memasuki pendidikan lebih lanjut. Tugas utama TK adalah mempersiapkan anak dengan memperkenalkan berbagai pengetahuan, sikap/perilaku, keterampilan dan intelektual agar dapat melakukan adaptasi dengan kegiatan belajar yang sesungguhnya di sekolah dasar.

Pandangan ini mengisyaratkan bahwa TK merupakan lembaga Pendidikan pra-skolastik dan pra-akademik. Dengan demikian TK tidak mengemban tanggung j awab utama dalam membina kemampuan skolastik atau akademik anak seperti kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Namun alur pemikiran tersebut tidak selalu sejalan dan terimplementasikan dalam praktek kependidikan di Indonesia. Pergeseran tanggung jawab pengembangan kemampuan skolastik (akademik) dari sekolah dasar ke Taman Kanak-Kanak terjadi dimana-mana baik secara terang-terangan maupun terselubung, dengan mengajarkan anak cali stung dan beberapa TK yang memberikan bentuk penugasan "pekerjaan rumah" pada anak-anak.

Hal tersebut terjadi karena banyak sekolah dasar (umumnya swasta dan sebagian negeri) sering kali mengajukan persyaratan atau tes masuk dengan menggunakan konsep akademik, salah satunya adalah kemampuan anak dalam membaca, menulis dan menghitung (calistung). Gejala ini mendorong lembaga Pendidikan TK maupun orang tua berlomba membimbing kemampuan akademik anak dengan mengadopsi pola-pola pembelajaran di sekolah dasar. Akibatnya tidak jarang Taman Kanak-Kanak tidak lagi menjadi taman yang indah tempat bermain tetapi beralih fungsi menjadi "pesekolahan dini". Sehingga pembelajaran membaca di TK lebih merupakan pembelajaran membaca seperti di SD demikian halnya dengan menulis, tidak mengindahkan aspek alami anak.

Kondisi demikian menjadikan masyarakat yang telah menyekolahkan anak-anaknya di TK berharap, bahkan mengharuskan agar kelak setelah selesai mengikuti program di TK, anak-anak mereka terampil membaca dan menulis. Namun pada kenyataannya masih banyak anak-anak lulusan TK yang belum mampu membaca dan menulis dengan baik. Pada akhirnya TK yang bertujuan untuk meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang di perlukan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perkembangan selanjutnya berubah menjadi sekolah baca tulis dengan metode yang sering kali mengenyampingkan aspek-aspek perkembangan dan pertumbuhan anak.

TK yang harusnya berfungsi sebagai tempat bermain yang indah, nyaman, gembira dan menarik bagi anak untuk mewujudkan berbagai aktifitasnya dalam masa bermain, bersosialisasi dengan teman sebaya, beradaptsi dengan lingkungan baru setelah rumah, dan mengembangkan potensi dasar yang anak miliki, menjadi tempat yang kurang nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak-anak merasa tertekan, dan merasakan beban yang berat, sehingga keceriaan mereka berkurang, dan mengalami ketidakseimbangan perkembangan pada aspek keterampilan dan kreatifitasnya.

Berdasarkan temuan Orstein Bateman, (1990) dalam Solehudin (1997) seorang guru besar di University of California menunjukan bahwa :
Masing-masing belahan otak manusia menangani aktivitas mental yang berbeda. Belahan otak kiri menangani aktivitas-aktivitas mental yang berhubungan dengan matematika, bahasa, logika, analisis, menulis dan aktivitas-aktivitas lain yang sejenis, sedangkan belahan otak kanan menangani aktivitas-aktivitas mental yang berhubungan dengan imajinasi, warna, musik, irama, berkhayaldan aktivitas-aktivitas lain yang sejenis. temuan Orstein tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang sudah dilatih untuk menggunakan suatu belahan otak secara eksklusif relatif tidak mampu menggunakan belahan otak lainnya. Selain itu temuan juga bahwa jika bagian otak yang lebih lemah dirangsang dan didorong untuk bekerja bersama-sama dengan bagian yang lebih kuat , maka hasilnya adalah adanya suatu peningkatan dalam keseluruhan kecakapan.

Berdasarkan temuan Orstein di atas, bisa ditafsirkan bahwa kegiatan pembelajaran yang hanya menitikberatkan kepada penguasaan baca tulis, dan hitung merupakan suatu yang tidak lengkap dan dapat berdampak negatif terhadap perkembangan anak karena hanya mengembangkan sebagian aspek dari kecakapan individu sembari "mematikan" pengembangan sebagian kecakapan lainnya. Dengan demikian, yang lebih dikehendaki adalah suatu pendekatan dan strategi pendidikan bagi anak yang lebih integratif dan komprehensif serta sesuai dengan dunia dan kebutuhannya.

Berkenaan dengan kenyataan di atas, maka National Assosiation for the Education of Young Children Amerika Serikat (NAEYC) dalam Solehudin (1997 : 77) menerbitkan suatu panduan pendidikan bagi anak usia dini (usia 8 tahun ke bawah) yang salah satunya menekankan penerapan bermain sebagai alat utama belajar anak. Sejalan dengan itu, kebijakan Pemerintah Indonesia dibidang pendidikan prasekolah (1994/1995) juga menganut prinsip "bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain".
Beberapa para ahli (Hughes dan Fergus P, 1995) dalam buku "Children, play & Development" mengatakan bahwa bermain sangat bermanfaat bagi perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikis. Berbagai teori pun menyorotinya. Misalnya Teori Surplus Energy dari H. Spencer, mengatakan bahwa bermain bermanfaat untuk mengisi kembali energi anak yang telah melemah. Teori Practice for Adulthood dari K.Groos (1991) mengatakan bahwa bermain merupakan peluang bagi pengembangan keterampilan dan pengetahuan anak, yang sangat penting fungsinya bagi mereka pada saat menjelang dewasa. Teori Psychoanalytic dari Sigmund Freud mengatakan bahwa bermain berguna untuk mengurangi kecemasan anak dengan mencoba mengekspresikan berbagai dorongan impulsifnya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan. Sementara Jean Piaget melalui teori Cognitive-developmental mengemukakan bahwa bermain amat penting bagi perkembangan kognitif seorang anak dengan melatih kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya dalam suasana yang menyenangkan. Kemudian Weininger dan Fitzgerald melalui teori Neuropsycological mengemukakan peranan penting bermain bagi upaya mengintegrasikan fungsi belahan kanan dan kiri otak anak secara seimbang.

Bermain merupakan suatu kegiatan yang melekat pada dunia anak. Bermain adalah kodrat anak. Solehudin (1997) menyatakan bahwa : "Pada intinya bermain dapat dipandang sebagai suatu kegiatan yang bersifat voluntir, spontan terfokus pada proses, memberi ganjaran secara instrinsik, menyenangkan aktif dan fleksibel" hal yang tidak bisa dipungkiri lagi bermain memang merupakan bagian utama dari kehidupan anak, dan sebagian aktifitas kehidupan anak adalah bermain.

Berdasarkan kondisi awal di TK X hasil observasi dan wawancara dengan guru kelas kelompok B, kemampuan anak dalam kegiatan membaca dini masih rendah dan masih belum menunjukan taraf membaca kata. Anak baru memasuki pengenalan huruf, beberapa anak belum bisa mengenal perbedaan huruf, anak belum bisa merangkai huruf menjadi kata dan belum bisa membaca kata sederhana. Kegiatan yang selama ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan membaca dini di TK X adalah melalui pemberian tugas seperti kegiatan mewarnai huruf abjad dan membuat huruf mengikuti garis titik (dotline). Dalam mengerjakan tugas yang diberikan anak duduk diam dikursi dengan sangat tertib. Guru memberikan tugas mewarnai huruf dan membuat huruf mengikuti garis titik, anak terkesan hanya mengerjakan tugas dari guru tanpa mengenal bentuk humf yang diwarnainya. Kegiatan membaca dini belum terlihat pencapaian yang maksimal karena para guru belum menemukan cara yang terbaik untuk meningkatkan kemampuan membaca yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak, agar anak tidak tertekan dalam kegiatan membaca, sehingga anak dapat menyenangi kegiatan membaca dini. Berdasarkan kondisi tersebut untuk membuat anak menyenangi kegiatan membaca dini tanpa membuat anak tertekan maka disepakati bersama untuk meningkatkan kemampuan membaca dini di TK X akan dilaksanakan kegiatan melalui permainan kartu kata.

Permainan kartu kata mempakan permainan yang menyenangkan bagi anak tanpa membuat anak tertekan didukung oleh pernyataan Betty Root (2004) Permainan kartu kata dapat memberikan situasi belajar yang santai dan informal, bebas dari ketegangan dan kecemasan. Anak- anak dengan aktif dilibatkan untuk memberikan tanggapan dan keputusan. Langkah ini akan membiasakan anak untuk lebih mudah mengekspresikan gagasan dan idenya, serta memperkuat daya imjinasi anak. Langkah ini bermanfaat ketika anak- anak belajar menulis, yaitu kemampuan untuk menuangkan gagasan. Kartu kata dapat menjadi sarana untuk mengakrabkan anak dengan huruf.

Mampu membaca lebih awal sebelum anak masuk sekolah dasar (SD), juga menjadi sebuah kebutuhan tersendiri, karena pada kenyataannya sekolah dasar-sekolah dasar saat ini seakan mensyaratkan agar ketika anak masuk sekolah dasar (SD) mereka harus sudah bisa membaca dan menulis. Hal ini dapat kita lihat pada buku-buku pelajaran kelas satu SD yang tidak lagi berisi tentang belajar membaca dan menulis, tetapi sudah berisi tentang hal-hal yang dapat dipahami dan dilakukan oleh anak (bila anak telah mampu membaca dan menulis)

Dalam rangka menghadapi era globalisasi, program pendidikan harus mampu memberikan bekal kepada anak untuk memiliki daya saing yang tinggi dan tangguh. Daya saing yang tangguh dapat terwujud jika anak memiliki kretivitas, kemandirian, kemampuan dasar dan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dunia pendidikan. Untuk memenuhi kebutuhan dan masa peka anak pada aspek membaca dini dapat disusun, dikembangkan dan dikemas menarik dalam berbagai kegiatan bermain.

Dalam mengimplementasikan kegiatan bermain sebagai wahana belajar anak di kelas, ada dua cara utama yang dapat digunakan oleh guru (Solehudin, 1997 : 81). Pertama bermain di implementasikan secara tidak langsung, yaitu dengan cara melengkapi ruang bermain (play center) atau ruang kelas dengan alat permainan pendidikan. Kedua, bermain diimplementasikan secara langsung sebagai suatu metode pembelajaran. Untuk meningkatkan kemampuan membaca dini peneliti memilih cara yang kedua, yaitu guru menggunakan langsung aktivitas bermain sebagai metode pembelajaran bagi anak. Dalam hal ini guru dan peneliti berkolaborasi menyajikan suatu permainan (game) dengan menggunakan permainan kartu huruf, kartu kata, dan kartu kalimat diharapkan kegiatan membaca dini dengan cara bermain dapat meningkatkan kemampuan anak dalam membaca dini sehingga kegiatan membaca dini menjadi cara yang menyenangkan bagi anak.

Berdasarkan latar belakang masalah merupakan sebagaian dari gambaran yang perlu diteliti kebenarannya sehingga mendapatkan perubahan dan peningkatan ke arah yang lebih baik. Berangkat dari permasalahan maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian tindakan kelas dengan judul. "Upaya Guru meningkatkan kemampuan membaca dini melalui permainan kartu kata".

B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas maka permasalahan pokok yang akan dipaparkan dan dirumuskan melalui beberapa pertanyaan penelitian untuk meningkatkan kemampuan membaca dini di TK X adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran membaca dini di TK X saat ini ?
2. Bagaimana langkah-langkah pelaksanaan permainan kartu kata untuk meningkatkan kemampuan membaca dini pada anak di TK X ?
3. Bagaimana Kemampuan membaca dini anak TK X setelah melalui kegiatan permainan kartu kata ?

C. Tujuan Penelitian
Perumusan tujuan dalam suatu penelitian merupakan hal yang paling penting, karena tujuan yang jelas akan mengarahkan penelitian dalam mencapai sasaran yang tepat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kondisi objektif tentang kemampuan membaca dini di TK X yang saat ini dilaksanakan.
2. Untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah pelaksanaan permainan kartu kata untuk meningkatkan kemampuan membaca dini pada anak di TK X ?
3. Untuk mengetahui bagaimana perubahan yang terjadi setelah anak mengalami pembelajaran membaca dini melalui permainan kartu kata ?

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak khususnya guru TK, Program pendidikan guru pendidikan anak usia dini (PGPAUD), bagi peneliti selanjutnya, dan umumnya bagi orang tua didik dan semua pihak yang memerlukan sehingga dapat memberikan nilai positif untuk meningkatkan kualitas Pendidikan yang baik. Lebih spesifik manfaat yang diharapkan tersebut diantaranya :
1. Bagi guru TK, hasil penelitian ini dapat membuka cakrawala dunia anak dan menambah pengetahuan dan wawasan sehingga termotivasi untuk menjadi guru yang inisiator
2. Bagi jurusan PGPAUD, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan memberikan inspirasi dalam peningkatan kemampuan pengembangan bahasa dalam kemampuan membaca dini bagi anak TK usia dini
3. Bagi peneliti sendiri dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan pengetahuan dan wawasan sehingga dapat memanfaatkan dan mengembangkan suatu cara dalam pembelajaran membaca dini pada anak.
4. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan dapat menjadikan para orang tua mengerti bagaimana pembelajaran yang semestinya di Taman Kanak-Kanak.
Sehingga kebebasan anak untuk berkarya dan menikmati dunia anak yang sesungguhnya sangat menyenangkan menjadi lebih terbentang luas dalam kegiatan bermain melalui permainan kartu kata.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:26:00