1.1. Latar Belakang
Kesehatan adalah hal mutlak yang harus diperhatikan untuk kemajuan suatu bangsa selain pendidikan dan ekonomi. Derajat kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang saling mendukung satu sama lain mulai dari lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan hingga genetika yang ada di masyarakat.
Lingkungan adalah salah satu faktor yang memengaruhi derajat kesehatan tersebut. Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbulnya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satunya adalah sebagai reservoir bibit penyakit. Reservoir adalah tempat hidup yang paling sesuai bagi bibit penyakit. Timbul atau tidaknya penyakit pada manusia tergantung dari sifat-sifat yang dimiliki oleh bibit penyakit atau penjamu (Hiswani, XXXX).
Berkaitan dengan lingkungan, salah satu penyakit menular berbasis lingkungan yang masih menjadi masalah kesehatan dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian anak-anak di Indonesia adalah diare. Diare hingga kini masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian. Epidemiologi penyakit diare dapat ditemukan pada seluruh daerah geografis dunia dan kasus diare dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Di negara berkembang anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali dalam setahun, dan menjadi penyebab kematian dengan Case Fatality Rate 15% sampai dengan 34% dari semua kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak (Aman, XXXX).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun XXXX, menunjukkan angka kematian akibat diare adalah 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita adalah 75 per 100 ribu balita (Depkes RI, XXXX).
Menurut Depkes RI (XXXX), insiden diare berkisar antara 400 kasus per 100 penduduk, di mana 60-70% di antaranya anak-anak di bawah umur 5 tahun. Setiap anak mengalami diare rata-rata 1 sampai 2 kali setahun dan secara keseluruhan, rata-rata mengalami 3 kali episode diare per tahun (Bela dkk, XXXX).
Pada tahun XXXX, terjadi KLB di 16 provinsi dan 44 daerah tingkat dua di Indonesia, dan salah satunya adalah Provinsi X. Jumlah penderitanya sebesar 10.980 dan 77 penderita meninggal dunia akibat penyakit tersebut (Depkes RI, XXXX).
Berdasarkan survei yang dilakukan Bela dkk (XXXX), diare merupakan penyakit yang sering terjadi di wilayah Puskesmas X selama tahun XXXX dengan rincian sebagai berikut
* Tabel sengaja tidak ditampilkan *
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kejadian angka insidens paling tinggi terjadi di Kelurahan X pada kelompok umur 0-5 tahun sebanyak 46,75 orang per 1000 penduduk .
Tingginya kasus diare dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan perilaku masyarakat karena penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan (Depkes RI, 2000). Perilaku masyarakat erat kaitannya dengan tindakan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat dalam meminimalisir terjadinya diare.
Beberapa ahli kesehatan kemudian menemukan bahwa ada dua faktor penting dari keadaan lingkungan yang memengaruhi timbulnya diare, yaitu keadaan air untuk rumah tangga dan fasilitas jamban (Suharyono, 1980; WHO, 1985). Risiko kejadian diare dan diare berulang lebih besar pada keluarga yang tidak mempunyai jamban keluarga, sedangkan penyediaan jamban umum dapat menurunkan prevalensi diare daripada yang tidak mempunyai jamban, begitu juga dengan penyediaan fasilitas air bersih sedekat mungkin dengan pemakai dapat menurunkan risiko diare (Munir, 1983).
Dari profil Kecamatan X diketahui bahwa 88,14 % KK di Kelurahan X masih menggunakan sumur sebagai sumber air bersihnya, dan 1,34 % masih menggunakan air sungai. Adapun untuk sarana jamban keluarga masih ada 3,73% KK yang belum mempunyai jamban keluarga.
Selain lingkungan, tindakan pencegahan diare juga dipengaruhi oleh pengetahuan ibu. Berdasarkan hasil penelitian Pratama (XXXX) di Bali, ibu balita yang mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah beresiko mengalami kejadian diare.
Menurut Handayani (XXXX) pengetahuan ibu memengaruhi tindakan ibu terhadap pencegahan penyakit diare. Pengetahuan responden yang berada dalam kategori baik berbanding lurus dengan tindakan terhadap pencegahan.
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh. Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam interpretasi. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya (Notoatmodjo, XXXX).
Menurut Wolinsky (1998) bahwa masyarakat mengembangkan pengertian sendiri tentang sehat dan sakit sesuai dengan pengalaman hidupnya atau nilai-nilai yang diturunkan oleh generasi sebelumnya, maka pencegahan penyakit diare yang sering dilaporkan terjadi akibat lingkungan yang buruk tergantung persepsi masyarakat tentang diare. Artinya, jika diare dipersepsikan sebagai suatu penyakit tidak serius dan tidak mengancam kehidupannya maka perilaku pencegahan akan penyakit diare pun tidak terlalu serius dilakukan. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa diare merupakan masalah kesehatan yang perlu diwaspadai, otomatis mereka akan bereaksi serius terhadap penyakit ini dengan mengembangkan perilaku-perilaku pencegahan.
Menurut Soemarno (1995), didapatkan persepsi ibu yang salah tentang diare di Boyolali. Menurut ibu penyebab diare ada yang langsung terhadap anak yaitu masuk angin, terlalu lama mandi, makan makanan rasa asam (kecut), dan tidak langsung bila ibu menyusui masuk angin atau makan makanan yang pedas-pedas, air susu menjadi jelek dan anak menderita mencret. Tidak ada kepercayaan bahwa diare disebabkan oleh roh halus. Sehingga persepsi ibu yang salah tentang diare dan penyebabnya menghasilkan perilaku pengobatan diare pada anak sebagai berikut, mula-mula ditangani sendiri dengan ramuan tradisional, bila tidak sembuh diobati dengan pil Ciba yang dijual bebas di warung-warung yang tersebar di desa, bila tetap belum sembuh baru dibawa ke petugas kesehatan.
Menurut Luthans (XXXX), persepsi berperan penting dalam perilaku seseorang, persepsi berhubungan dengan bagaimana individu menanggapi individu lain. Karakteristik penilai dan orang yang dinilai menunjukkan kompleksitas persepsi sosial.
Menurut Rosenstock dalam Muzaham (1995), kesiapan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan orang itu terhadap bahaya penyakit tertentu dan persepsi mereka terhadap kemungkinan akibat (fisik dan sosial) bila terserang penyakit tersebut.
Berdasarkan data dan hasil penelitian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX".
1.2. Permasalahan
Dari latar belakang di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa penyakit diare khusus pada anak balita merupakan masalah yang cukup penting hari ini mengingat angka kesakitannya yang tinggi, dan hal tersebut tidak terlepas dari peran ibu sebagai pengasuh terdekat dengan balita untuk melakukan melakukan pencegahan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah apakah ada pengaruh persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan persepsi ibu balita tentang penyakit diare terhadap tindakan pencegahan diare di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
1.4. Manfaat Peneltian
1. Manfaat bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan dapat memberikan informasi tentang permasalahan terkait sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan untuk pencegahan dan penanganan kejadian diare.
2. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat memberikan informasi baru tentang penelitian terkait sehingga dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian pengembangan berikutnya
3. Untuk pengembangan ilmu, penelitian ini dapat membuktikan teori yang berkaitan sekaligus dapat membuka wacana berpikir untuk pengembangan teori yang sudah ada.
Post a Comment