Cari Kategori

MANFAAT SHARING PENGALAMAN MENGAJAR DALAM FORUM KKG BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBUKA DAN MENUTUP PELAJARAN SERTA PENGUASAAN KONSEP GURU

MANFAAT SHARING PENGALAMAN MENGAJAR DALAM FORUM KKG BAGI PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBUKA DAN MENUTUP PELAJARAN SERTA PENGUASAAN KONSEP GURU (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu reformasi bidang pendidikan adalah meningkatkan mutu pengajar atau pendidik agar menghasilkan output yang bermutu dan mampu bersaing dengan negara-negara maju. Dalam rangka meningkatkan kompetensi mengajar guru SD agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang semakin pesat, maka perlu dilakukan peningkatan kompetensi guru. Peningkatan kompetensi dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan dan meningkatkan keterampilan mengajar. Hal tersebut dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, baik yang diupayakan oleh guru-guru sendiri maupun yang diupayakan oleh pimpinannya (kepala sekolah dan pengawas).
Proses belajar-mengajar yang berkualitas adalah guru yang memiliki kompetensi mengajar yang memadai dalam hal merencanakan dan mengelola kegiatan belajar mengajar, serta menilai hasil belajar siswa. guru sebagai pengajar berperan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Oleh sebab itu guru dituntut untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan keterampilan mengajar.
Guru merupakan komponen penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional. guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan, tidak hanya berprofesi sebagai pengajar, namun juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Berdasarkan Standar Nasional Kependidikan, guru harus memiliki empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional. Namun, kompetensi-kompetensi yang dimiliki guru saat ini masih terbatas, sehingga diperlukan suatu upaya untuk mengoptimalkan kompetensi-kompetensi tersebut. guru dapat dinilai profesional ketika dia melakukan pengembangan wawasan dan ilmu, mampu menelaah secara kritis, serta kreatif dan inovatif dalam menyampaikan materi.
Para pengamat pendidikan menilai bahwa kualitas kemampuan profesionalisme guru SD belum memadai. Karena itu perlu terus ditingkatkan. Berbagai studi tentang kualitas guru, menyimpulkan bahwa kemampuan profesionalisme guru menguasai bahan pelajaran memberikan efek yang positif terhadap prestasi belajar. Menurut Saud (2009 : 54) penelitian dalam bidang pendidikan kependidikan di Indonesia menunjukkan bahwa 26,17% dari hasil belajar siswa dipengaruhi oleh penguasaan guru dalam hal materi pelajaran. Berkaitan hal itu Purwanto (Kotten, 2005 : 77) mengemukakan kekurangmampuan guru SD menguasai bidang studi antara lain disebabkan oleh standar kualitas kelulusan guru yang menurun, sikap dan cara mengajar guru yang tidak berubah-ubah selama bertahun-tahun mengajar. Banyak guru yang tidak pernah berupaya meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya sehingga sulit menyesuaikan did dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Menurut Widodo (2007 : 17) kenyataan banyak ditemukan di banyak sekolah guru belum mampu melaksanakan salah satu keterampilan dasar mengajar yaitu membuka dan menutup pelajaran, karena hakikat dari membuka pelajaran adalah kemampuan guru untuk menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan perhatian siswa agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari.
Sedangkan menutup pelajaran adalah kegiatan yang bersifat memberikan umpan balik bagi siswa segera setelah pembelajaran usai serta memberikan penguatan maupun revisi terhadap segala sesuatu yang menjadi pengalaman belajar saat itu. Membuka dan menutup pelajaran merupakan salah satu dari beberapa keterampilan pembelajaran yang menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Seperti dimaklumi, bahwa sudah sejak lama praktik pembelajaran pada umumnya cenderung dilakukan secara konvensional yaitu melalui teknik komunikasi oral. Praktik pembelajaran konvensional semacam ini lebih cenderung menekankan pada bagaimana guru mengajar (teacher-centre) dari pada bagaimana siswa belajar (student-centre), dan secara keseluruhan hasilnya dapat kita maklumi yang ternyata tidak banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan.
Keadaan kualitas pendidikan seperti ini, menimbulkan keluhan dan kritikan dari berbagai kalangan masyarakat yang dialamatkan kepada guru. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa guru merupakan komponen yang layak mendapat perhatian, karena baik ditinjau dari posisi yang ditempati dalam struktur organisasi pendidikan maupun dilihat dari tugas yang diemban, guru merupakan pelaksana operasional terdepan yang menentukan dan mewarnai proses belajar-mengajar. Guru merupakan pusat dari produktivitas sekolah. Guru merupakan kunci bagi seluruh upaya pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan satu-satunya komponen yang dapat merubah komponen-komponen lainnya menjadi bervariasi (Arikunto, 1990).
Upaya meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yakni pendekatan internal dengan memanfaatkan guru yang lebih berpengalaman sebagai pelatih, pendekatan eksternal dengan mengirimkan guru untuk mengikuti pelatihan ataupun studi lanjut, dan dengan pendekatan kemitraan melalui kerjasama antara perguruan tinggi dan sekolah. Karakteristik program kemitraan adalah dikembangkannya prinsip kolaborasi yang memberikan keuntungan pihak-pihak yang terlibat. Prinsip kolaborasi juga dapat dilakukan antar sesama guru dalam suatu sekolah juga dapat menjadi ajang yang efektif untuk meningkatkan mutu guru.
Melalui sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG, antara guru-guru dalam sekolah, bertujuan agar para guru bergabung dalam satu kelompok saling tukar menukar pikiran dan pengalaman mengajar, saling membantu sesama guru, mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pengelolaan kegiatan belajar-mengajar (Satori, 1989 : 317). Jadi KKG merupakan suatu wadah tempat berhimpunnya guru-guru untuk membahas berbagai hal yang berhubungan dengan proses belajar-mengajar. Melalui forum KKG ini juga bisa diselenggarakan belajar bersama dalam pengajaran, dalam hal ini bukan hanya guru yang melaksanakan pembelajaran saja yang dapat memetik manfaat, namun terlebih lagi rekan sejawat yang hadir pada saat pembelajaran. Dengan mengamati kegiatan pembelajaran yang dilakukan seorang guru, pengamat didorong untuk merefleksikan pembelajaran yang dilaksanakannya dan serta memikirkan bagaimana meningkatkan kualitasnya. Oleh karena itu forum KKG ini sesungguhnya merupakan forum belajar bersama untuk saling belajar dari pengalaman mengajar guna meningkatkan kualitas pembelajaran.
Berpijak dari adanya kesadaran dan keinginan untuk meningkatkan SDM maka peranan guru khususnya di SD perlu diperkuat dan didukung oleh tersedianya tenaga kependidikan yang berkualitas yaitu guru yang sehingga dapat melaksanakan tugasnya, baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun mengevaluasi kegiatan belajar mengajar, serta terus berupaya mengembangkan diri sesuai kebutuhan perkembangan zaman.
Untuk merubah kebiasaan praktik pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang berpusat kepada siswa memang tidak mudah, terutama di kalangan guru yang tergolong pada kelompok laggard (penolak perubahan/inovasi). Dalam hal ini, melalui sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran di Indonesia menuju ke arah yang jauh lebih efektif. Hal ini sesuai pendapat Oliva (1984) bahwa upaya pengembangan tingkat pengetahuan dan keterampilan mengajar dapat dilakukan melalui in-service training.
Dari kenyataan diatas maka diperlukan sebuah alternatif untuk peningkatan kemampuan kompetensi mengajar guru dalam peningkatan kompetensi selain dalam bentuk pelatihan, salah satunya adalah dengan forum KKG sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran menuju ke arah yang jauh lebih efektif, juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan oleh sekelompok guru (Mulyasa, 2007).
Refleksi guru terhadap rekaman pembelajarannya dapat menemukan kelebihan dan kekurangannya sehingga memungkinkan ada perubahan cara mengajar guru setelah melakukan refleksi atas pembelajaran mereka yang direkam melalui video (Widodo, 2007 : 19). Tentunya semakin banyak refleksi itu dilakukan diharapkan akan mampu lebih memperbaiki profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran. Ini berarti metode ini dapat menjadi alternatif bagi peningkatan mutu pendidikan.
Pendidikan IPA seyogianya diarahkan untuk mengembangkan individu-individu yang melek sains (scientific literacy) yang meliputi pengetahuan tentang usaha ilmiah dan aspek-aspek fundamental tentang konsep, prinsip serta keterampilan ilmiah untuk memecahkan masalah sehari-hari dan dalam pengambilan keputusan (Amin, 1997). Dalam hal ini Buchori (2007 : 184) menyatakan bahwa menciptakan masyarakat yang menguasai teknologi inovatif baik dibidang produksi maupun konsumsi, hanya dapat diwujudkan apabila kepada mereka diberikan dasar kemampuan IPA yang mencukupi meliputi kemampuan : kognitif, keterampilan, sikap, atau nilai-nilai. Berkaitan dengan hal tersebut Abruscato (1982 : 19) menyatakan bahwa tujuan khusus pendidikan Sains harus mencakup tiga domain yang meliputi : kognitif, afektif, dan psikomotor.
Ada beberapa pihak yang beranggapan bahwa pembelajaran IPA harus lebih ditekankan dalam mengembangkan potensi manusia, karena IPA dianggap mampu melatih orang berpikir secara logis dan sistematis. Pada hakikatnya pembelajaran Sains harus ditekankan pada tiga hal yaitu produk, proses, dan sikap.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang menunjukkan bahwa guru sebagai pendidik harus berusaha meningkatkan terus kompetensinya, baik melalui pelatihan maupun melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) di Sekolah Dasar. Pembinaan kompetensi guru adalah usaha memberikan bantuan kepada guru agar bertambah luas pengetahuannya, meningkatkan keterampilan mengajarnya serta menumbuhkan sikap profesional sehingga guru menjadi lebih ahli dalam mengelola proses belajar mengajar untuk membelajarkan anak didik (Depdikbud, 1994).
Kompetensi untuk guru SD yang mengajarkan IPA menurut Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru mencakup : 1) Mampu melakukan observasi gejala alam baik secara langsung maupun tidak langsung. 2) Memanfaatkan konsep-konsep dan hukum-hukum ilmu pengetahuan alam dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari. 3) Memahami struktur ilmu pengetahuan alam, termasuk hubungan fungsional antar konsep, yang berhubungan dengan mata pelajaran IPA.
Pernyataan diatas mempunyai arti bahwa tugas guru SD tidaklah mudah, apalagi peranan SD sebagai jenjang pendidikan formal yang pertama dan merupakan peletak dasar usaha pendidikan yaitu pembentukan sumber daya manusia. Perlu disadari pula bahwa seorang guru terikat oleh ruang, tempat dan waktu. Oleh karena itu perlu diusahakan suatu pembinaan secara berkala, simultan dan komprehensif melalui gugus sekolah agar setiap pribadi guru tumbuh subur rasa pengabdian dan tanggung jawab, karena profesi guru adalah jabatan kunci dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Disamping itu harus tetap komitmen terhadap upaya pengembangan kualitas profesinya.
Fokus penelitian ini adalah mencoba menggali tentang manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG bagi peningkatan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep guru dalam mata pelajaran IPA SD pada materi energi dan perubahannya.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah yang telah dipaparkan, maka masalah yang akan diteliti dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : "Sejauhmanakah manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG dapat meningkatkan keterampilan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep guru pada mata pelajaran IPA SD ?".
Untuk lebih rincinya masalah yang akan diteliti dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Apakah manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG dapat meningkatkan keterampilan membuka dan menutup pelajaran ?
2. Apakah manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG dapat meningkatkan guru terhadap penguasaan konsep ?

D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sampai sejauhmanakah manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG bagi peningkatan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep guru pada mata pelajaran IPA SD. Dalam meningkatkan kompetensi guru agar dapat menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih berkualitas. Sedangkan tujuan khusus yang lebih operasional, penulis merumuskan dalam penelitian ini sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG bagi peningkatan kemampuan membuka dan menutup pelajaran.
2. Untuk mengetahui manfaat sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG bagi peningkatan guru terhadap penguasaan konsep.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil belajar IPA di SD. Manfaat yang akan dipetik dari penelitian ini adalah dapat dijadikan pedoman upaya peningkatan keterampilan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep guru pada materi energi dan perubahannya melalui sharing pengalaman mengajar dalam forum KKG, dengan peningkatan kompetensi guru dalam hal keterampilan membuka dan menutup pelajaran serta penguasaan konsep yang nantinya akan berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:00:00

KONTRIBUSI PERILAKU KEPEMIMPINAN PENGAWAS SEKOLAH DAN IKLIM KERJA TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMK

KONTRIBUSI PERILAKU KEPEMIMPINAN PENGAWAS SEKOLAH DAN IKLIM KERJA TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU SMK 
(PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kualitas proses pembelajaran sangat ditentukan oleh faktor kinerja guru dalam memberikan pelayanan pembelajaran atau dengan kata lain, Kinerja Mengajar Guru. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang disampaikan Zamroni (2007 : 113), bahwa "kualitas proses belajar mengajar terutama ditentukan oleh kualitas guru, yakni kemampuan dan kemauan guru." Istilah kemampuan dan kemauan yang dikemukakan Zamroni tersebut dapat diartikan sebagai kinerja bila merujuk pada pendapat Keith Davis (1964 : 484) : "Human performance consists of ability and motivation." Artinya, kinerja seseorang meliputi kemampuan dan motivasi (kemauan). Jadi kinerja mengajar guru merupakan hasil persilangan antara kemampuan dan motivasi yang dimiliki guru dalam melaksanakan tugas pengajarannya di sekolah.
Menurut Zamroni kemampuan atau kompetensi guru merupakan penguasaan materi yang akan diajarkan dan penguasaan metodologi pembelajaran, sedangkan kemauan guru merupakan sifat positif guru terhadap tugas-tugas profesional mengajar yang tercermin pada dedikasi pada tugas-tugas tersebut.
Sejalan dengan pendapat Zamroni, Stephen P. Robbins (2006 : 52) mendefinisikan kemampuan sebagai kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu, sebagaimana dikemukakannya : "Ability is an individual capacity to do tasks in a certain job." Sedangkan Razik dan Swanson (1995 : 275), mendefinisikan kemauan atau motivasi sebagai upaya mewujudkan kemampuan menjadi tindakan atau tugas sebagaimana disampaikan mereka : "Motivation is the effort with which ability is applied to a task." Pendapat kedua pakar tersebut memperkuat pengertian kinerja sebagaimana juga dikemukakan oleh Zamroni di atas.
Dari pemaparan tentang kinerja tersebut dapatlah disimpulkan bahwa kinerja mengajar guru sangatlah penting karena menentukan kualitas pembelajaran di sekolah. Kinerja mengajar guru merupakan faktor yang bisa mencerminkan sikap dan karakter seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya di sekolah. Kinerja mengajar guru merupakan nilai-nilai luhur yang perlu diinternalisasikan ke dalam diri setiap guru agar ia bekerja dengan penuh gairah dalam memberikan pelayanan pembelajaran dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah, sedang, dan akan dilakukannya kepada seluruh peserta didiknya.
Kinerja mengajar guru dalam perkembangannya telah menjadi sosok penting dan menjadi objek pembahasan yang menarik. Para pakar pendidikan maupun pakar manajemen dan administrasi pendidikan tidak henti-hentinya membicarakannya dan melakukan penelitian-penelitian yang berguna yang berhubungan dengan objek tersebut, begitu pula pihak pemerintah selalu menyinggungnya untuk menentukan kebijaksanaan yang tepat yang berhubungan dengan hal itu.
Pakar manajemen atau administrasi pendidikan, Sedarmayanti (2001 : 50) menyukai pendapat August W. Smith tentang definisi kinerja, bahwa kinerja didefinisikan sebagai hasil dari suatu proses yang dilakukan manusia sebagaimana disampaikan melalui kutipannya : "performance is output derives from processes, human otherwise."
Pakar manajemen lainnya, Wibowo (2007) dalam buku "Manajemen Kinerja" mengemukakan pendapatnya, bahwa : 
"Kinerja mempunyai makna lebih luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga proses kerja berlangsung. Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya" (Wibowo, 2007 : 2).
Dari pihak pemerintah, sebuah lembaga pemerintah, LAN (Lembaga Administrasi Negara, 1992) menjelaskan bahwa "kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau hasil unjuk kerja." Dengan kata lain kinerja adalah wujud perilaku seseorang atau organisasi dengan orientasi prestasi.
Kemudian untuk mengetahui tingkat kinerja seseorang, T.R. Mitchell (1989 : 327) menentukan ukurannya. Menurutnya kinerja seseorang bisa diukur berdasarkan kriteria atau standar berikut : (1) Kualitas hasil kerja (Quality of work); (2) Prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan (Promptness-Initiative); (3) Kemampuan menyelesaikan pekerjaan (Capability); dan (4) Kemampuan membina kerjasama dengan pihak lain (Comunication).
Sedangkan standar kinerja mengajar guru pengukurannya menurut Piet A. Sahertian dalam Kusmianto (1997 : 49) harus mencakup : (1) Kualitas guru dalam melaksanakan tugasnya; (2) Bekerja dengan siswa secara individual; (3) Persiapan dan perencanaan pembelajaran; (4) Pendayagunaan media pembelajaran; (5) Melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman belajar; dan (6) Kepemimpinan yang aktif dari guru.
Selanjutnya Menteri Pendidikan Nasional membuat kebijaksanaan untuk mengukur kinerja guru dengan istilah standar kompetensi guru sebagaimana disampaikannya dalam Permendiknas RI (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, bahwa Standar Kompetensi Guru dikembangkan secara utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu : (1) kompetensi pedagogik, (2) kepribadian, (3) sosial, dan (4) profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru.
Kinerja guru yang sebenarnya diwujudkan dalam bentuk perilaku guru dalam memberikan pelayanan pembelajaran kepada peserta didiknya, atau dengan kata lain kinerja mengajar guru meliputi : (1) Merencanakan pembelajaran; (2) Melaksanakan kegiatan/proses pembelajaran; dan (3) Menilai hasil belajar.
Pengukuran atau standarisasi terhadap kinerja mengajar guru tersebut diperlukan guna memberi kesempatan bagi para guru untuk mengetahui tingkat kinerja mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Sedarmayanti (2001 : 54), bahwa "untuk dapat mengevaluasi kinerja pegawai secara obyektif dan akurat, maka perlu ada tolok ukur tingkat kinerja. Pengukuran tersebut berarti memberi kesempatan bagi para pegawai untuk mengetahui tingkat kinerja mereka."
Disamping itu hasil pengukuran terhadap kinerja guru dapat memberikan masukan kepada sekolah untuk mengetahui seberapa besar kontribusi para pegawainya (guru-gurunya) terhadap keberhasilan pendidikan dan pembelajaran yang dicapai sekolah tersebut. Kemudian informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut oleh sekolah dapat dipergunakan untuk memperhitungkan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru-gurunya sesuai dengan tingkat kesulitan mereka agar gairah kerja mereka di sekolahnya tetap meningkat.
Namun fenomena yang terjadi di lapangan sungguh berbeda, karena kinerja mengajar guru di beberapa sekolah di daerah tertentu masih belum menunjukkan kenaikan yang berarti dalam memberikan pelayanan pendidikan dan pembelajaran, meskipun ada diantara mereka telah berulang kali mendapat pendidikan dan pelatihan dari lembaga-lembaga, pusat-pusat pelatihan atau asosiasi-asosiasi profesi tersebut. Pendidikan dan pelatihan yang telah diprogramkan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi pelatihan yang dimaksud diperkirakan belum dapat mengusik hati nurani dan perilaku sebagian guru untuk berubah agar meningkatkan kinerjanya lebih tinggi dari kebiasaannya semula.
Rendahnya kinerja guru SMK dalam memberikan pelayanan pengajaran dapat berdampak pada rendahnya kualitas proses/hasil pembelajaran dan juga mutu lulusan yang dihasilkan sekolah tersebut, sehingga hal ini menimbulkan banyak masalah, seperti peserta didik yang hasil belajarnya tidak mencapai SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Minimal) atau peserta didik memiliki pengetahuan dan keterampilan di bawah standar tersebut, juga lulusan sekolah yang tidak cakap, tidak terampil, dan tidak memiliki keahlian yang cukup untuk bekal hidupnya sehingga tidak siap pakai di dunia kerja, karena lulusan tersebut tidak mencapai standar kompetensi yang memadai sesuai SKL (Standar Kompetensi Lulusan). Inilah hal-hal yang telah mengganjal dan menjadi keprihatinan dari para orang tua pemakai jasa pendidikan tersebut.
Rendahnya hasil UN/UAS di Kabupaten Z tidak berarti tidak ada upaya untuk meningkatkannya. Dinas Pendidikan Kabupaten Z telah berupaya untuk meningkatkan hasil ujian tersebut. Beberapa cara telah ditempuh oleh Dinas ini, diantaranya dengan cara memerintahkan para kepala SMK untuk mengawasi dan membina para guru dengan serius, namun hasilnya belum menggembirakan. Upaya lainnya dilakukan dengan pemberlakuan tindakan Sidak (sistem tindakan di tempat atau inspection) dengan tujuan membuat jera para pelanggar disiplin dan memberikan sanksi administratif kepada mereka. Contoh : guru atau pegawai selain guru yang melanggar disiplin pegawai seperti datang terlambat atau meninggalkan tugas pada jam-jam kerja, terkena sanksi administrasi. 
Namun cara ini tetap kurang efektif, karena pelaksanaannya tidak terkoordinasi dengan baik dan tidak ada tindak lanjutnya. Bahkan pelaksanaannya sering kali mengalami kegagalan atau kebocoran karena ada sebagian pejabat dan masyarakat yang berkepentingan dengan kebijaksanaan pendidikan di daerah ini tidak mendukung tindakan sidak karena mereka menganggap tindakan ini tidak manusiawi dan tidak realistis. Surat-surat perintah atau penugasan yang berhubungan dengan kegiatan pembinaan dan tindakan sidak ini telah diarsipkan dalam dokumen Dinas Pendidikan tersebut (Disdikab Z, 2006-2008).
Menyadari akan pengalaman kegagalan tersebut, maka diperlukan upaya lain yang lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu menurut perkiraan penulis saat ini ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu yang pertama adalah melalui pendekatan perilaku kepemimpinan yang tepat dan efektif, yang dapat dilakukan pengawas sekolah atau pengawas satuan pendidikan dalam membina guru di sekolah binaan dan yang kedua adalah dengan penciptaan iklim kerja di sekolah yang baik, sehat dan kondusif atau iklim sekolah yang terbuka bagi kepentingan semua warga sekolah dan jalinan hubungan yang terbaik diantara mereka.
Sejalan dengan hal itu Sagala (2006 : 242) mengemukakan bahwa kegiatan pengawas ini dituntut untuk dapat memberikan perhatian khusus terhadap profesionalisme guru guna memperbaiki pengajaran sehingga tercipta kualitas yang baik.
Hal itu dapat terjadi bila kegiatan pengawasan berjalan dengan efektif. Neagley dan Evans (1980 : 1) mengatakan : "Effective supervision of instruction can improve the quality of teaching and learning in the classroom." Artinya pengawasan pembelajaran yang efektif dapat memperbaiki kualitas belajar mengajar di kelas.
Pendapat dan hasil-hasil penemuan penelitian yang dikemukakan di atas, semuanya memberikan dukungan yang kuat bahwa untuk meningkatkan kinerja mengajar guru SMK diperlukan perilaku kepemimpinan yang baik dan tepat (efektif) dari seorang pemimpin pengajaran yang dapat memahami perilaku dan kebutuhan dasar guru SMK dan mampu membimbing dan mengarahkan mereka ke arah peningkatan kemampuan profesional dan motivasi berprestasi mereka, yaitu pengawas sekolah dengan perilaku kepemimpinannya yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya melakukan pembinaan dan perbaikan pengajaran di sekolah binaan. Juga diperlukan adanya iklim kerja yang terbuka yang dapat menjaga perasaan dan hubungan satu sama lain serta saling menghargai pekerjaan masing-masing dari seluruh warga sekolah. Dengan demikian cara-cara yang telah diuraikan tersebut dapat meningkatkan kualitas kinerja mengajar guru di SMK sesuai dengan harapan.
Melihat kenyataan ini penulis tergugah untuk mengangkat masalah kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru di SMK dalam suatu penelitian, maka penulis ingin meneliti dengan judul "Kontribusi Perilaku Kepemimpinan Pengawas Sekolah dan Iklim Kerja terhadap Kinerja Mengajar Guru SMK di Kabupaten Z".

B. Identifikasi dan Batasan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian dapat diidentifikasikan dan dibatasi sebagai berikut : 
1. Identifikasi masalah
Masalah utama dalam penelitian ini adalah : "Kinerja Mengajar Guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kabupaten Z masih rendah atau belum optimal dilaksanakan sehingga kualitas proses pembelajaran di sekolah-sekolah tersebut kurang bermutu."
2. Batasan masalah
Dari hasil analisis teridentifikasi 8 (delapan) faktor yang mempengaruhi kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z, yaitu : pelatihan dan pengembangan, kesejahteraan/insentif, fasilitas pembelajaran atau alat bantu mengajar, perilaku kepemimpinan pengawas sekolah, iklim kerja di sekolah, latar belakang pendidikan, kepuasan kerja, dan keuangan sekolah.
Hasil tersebut dikonfirmasikan dengan pengamatan langsung di lapangan. Ternyata dari sekian banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja mengajar guru sekolah tersebut yang paling utama terlihat dengan kasat mata penulis adalah perilaku kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja di sekolah.
Berdasarkan pernyataan masalah tersebut, maka masalah tersebut perlu dibatasi yaitu seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran empiris tentang perilaku kepemimpinan pengawas sekolah, iklim kerja, dan kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z ?
2. Seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z ?
3. Seberapa besar kontribusi iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z ? 
4. Seberapa besar kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis : 
1. Gambaran empiris tentang perilaku kepemimpinan pengawas sekolah, iklim kerja dan kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.
2. Kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas sekolah terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.
3. Kontribusi iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.
4. Kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tentang kontribusi perilaku kepemimpinan pengawas sekolah dan iklim kerja terhadap kinerja mengajar guru SMK di Kabupaten Z, yaitu : 
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah perkembangan keilmuan di bidang administrasi pendidikan, khususnya pemahaman terhadap pengembangan aspek sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yaitu perilaku kepemimpinan pengawas sekolah yang tepat dan efektif, iklim kerja di sekolah yang terbuka, dan kinerja mengajar guru SMK yang optimal dan profesional dalam bekerja sebagai komponen input/proses dan prestasi peserta didik/siswa yang memuaskan dan kualitas lulusan/tamatan yang bermutu sebagai komponen output serta permintaan masyarakat pemakai jasa pendidikan dan tenaga kerja oleh dunia usaha (DU) dan dunia industri (DI) sebagai komponen outcome.
2. Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan dan pemikiran bagi guru dalam rangka meningkatkan mutu proses pembelajaran dan hasil belajar peserta didiknya dengan cara merefleksi diri atas perilaku kerjanya selama ini dan berupaya memperbaiki kemampuan profesionalnya dan motivasi kerjanya di tempat manapun ia bertugas.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:58:00

KONTRIBUSI POLA ASUH ORANGTUA DAN BIMBINGAN GURU TERHADAP PERILAKU SOSIAL ANAK SD

KONTRIBUSI POLA ASUH ORANGTUA DAN BIMBINGAN GURU TERHADAP PERILAKU SOSIAL ANAK SD (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN DASAR)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya manusia adalah homo socius, yaitu mahluk sosial, yang mau-tidak mau pasti melakukan berbagai hubungan dan interaksi sosial dengan sesamanya dalam upayanya memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Menurut para ahli, interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu yang satu dengan individu yang lain, yang ditandai dengan adanya saling mempengaruhi, saling mengubah, dan saling memperbaiki. Adapun faktor-faktor minimal yang menjadi dasar terjadinya interaksi sosial dikemukakan oleh Bonner, sebagaimana dikutip oleh Gerungan (1988 : 56), yaitu : 1) faktor imitasi, 2) faktor identifikasi, 3) faktor sugesti, dan 4) faktor simpati (Supriatna, 2008).
Terkait interaksi sosial dalam lembaga pendidikan dan pembelajaran antara siswa dengan sesamanya atau antara siswa dengan guru di sekolah, faktor-faktor inilah yang dapat mengembangkan pola-pola interaksi sosial dalam upaya meningkatkan pengembangan diri dan pencapaian nilai-nilai yang dibutuhkan siswa, baik kognitif, afektif ataupun psikomotor, kelak ketika siswa kembali kepada lingkungan keluarga dan masyarakat atau lingkungannya.
Pengembangan diri dan nilai-nilai yang dibutuhkan siswa atau anak harus dimulai dari lingkungan keluarga, sebagai unit sosial terkecil. Keluarga harus merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama karena tugasnya meletakkan dasar-dasar pertama bagi perkembangan anak.
Sebagai salah satu lingkungan pendidikan, keluarga (dalam hal ini orang tua) berkewajiban memberikan dasar-dasar bagi perkembangan kepribadian dan potensi anak selanjutnya (kognitif, afektif, dan psikomotor), serta turut menunjang perwujudan Sumber Daya Manusia (SDM) seutuhnya, beriman, bertaqwa, berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Upaya ini harus diterapkan sejak usia dini, baik di lingkungan formal (sekolah), informal (keluarga), maupun non formal (masyarakat).
Hal ini berdasarkan pendapat Berk (2003), sebagaimana dikutip oleh Juwitaningrum (2008) yang mengemukakan bahwa : 
Masa pra-sekolah merupakan masa yang sangat penting dalam perkembangan seorang individu. Masa ini diyakini oleh para ahli psikologi sebagai sebuah periode keemasan (golden age). Segala sesuatu yang terjadi dalam fase ini diyakini akan memiliki dampak jangka panjang yang bersifat menetap pada kehidupan seorang individu.
Salah satu upaya meraih masa keemasan tersebut adalah melalui pendidikan bagi anak usia dini yang berlangsung dalam jalur formal, yaitu Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA). Hal ini tercantum dalam Penjelasan UU No. 20/2003 Pasal 28 (1), yang menyatakan bahwa : 
"TK menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan anak didik."
Berdasarkan uraian tersebut, maka terdapat dua wadah tempat berlangsungnya proses pengembangan kepribadian dan potensi anak, yaitu keluarga dan sekolah. Dua wadah ini menegaskan keberadaan peran sebagai pendidik dari orang tua dan guru dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua dan guru harus secara bersama-sama mendidik anak.
Pada posisi ini, masing-masing saling memperlakukan diri sebagai mitra yang sejajar. Artinya, di saat fungsi edukatif dari masing-masing hilang karena anak berada bukan dalam wadahnya, maka salah satu pihak adalah yang paling bertanggung jawab. Untuk itu, masing-masing harus bertindak kooperatif, koordinatif dan komunikatif dalam memfasilitasi aktivitas belajar anak.
Dengan demikian, ke duanya harus saling menjalin komunikasi, saling kerja sama, saling memberi dan menerima masukan tentang kemajuan perkembangan dan belajar anak, saling bertukar pikiran, saling berpartisipasi, saling berkontribusi, baik secara periodik atau insidental, serta saling memperhatikan harapan-harapan dan preferensi masing-masing. Harapan-harapan ini tergambar dalam eratnya hubungan dan cara interaksi antara guru dengan anak didik (siswa) sebagai hal yang sangat esensial dalam pembelajaran berbasis bimbingan, sebagaimana dikemukakan oleh Solehuddin (2008), bahwa : 
Guru harus menampilkan sikap dan perilaku yang mendukung aktualisasi berbagai potensi dan minat anak dengan cara menghargai setiap pribadi anak tanpa kecuali, memperlakukan anak secara wajar dan tidak berlebihan, memberikan dukungan positif terhadap upaya-upaya belajar anak, serta berhubungan secara hangat dan terbuka dengan anak.
Guru harus berupaya memahami sudut pandang anak dan menanggapi perilaku anak secara logis sesuai dengan kapasitas berpikir anak. Guru memperhatikan dan menghargai pendapat dan prakarsa anak, serta responsif terhadap pengalaman-pengalaman emosional anak. Guru juga bersikap permisif dengan mempersilahkan anak untuk berinisiatif, berkreasi, dan terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Dengan kata lain, semua guru, termasuk guru TK berperan penting bagi perkembangan pribadi anak, baik sosial, emosional maupun intelektualnya, sehingga mampu menumbuhkan keceriaan, kesadaran diri, identitas, serta kekuatan yang penting sebagai dasar-dasar pendidikan lebih lanjut.
Selain itu, guru TK dituntut bersikap lebih hangat, penuh senyum, sabar dan ramah melalui sikap mendidik dengan pelayanan yang ramah, menghargai dan menyayangi para siswanya, sehingga anak mampu merekam pembelajaran dengan hasil yang bagus. Apalagi potensi yang dimiliki oleh anak TK ibarat menulis di atas batu, sehingga berhasil-tidaknya orang tua dan guru dalam membimbing dan mendidik akan tercermin pada perilaku anak di kemudian hari.
Dengan demikian, di saat anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, yang ditandai dengan perubahan pola perilaku, maka guru dan orang tua harus memahami bagaimana pertumbuhan dan perkembangan perilaku sosial anak, melalui pola dan gaya pembimbingan tertentu. Untuk itulah, pembelajaran berbasis bimbingan guru dan pola asuh (peran) orang tua di TK harus mengakui bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah (guru).
Pembelajaran di rumah dan di sekolah, bukan mengembangkan kognitif semata, tapi juga memacu perkembangan motorik, emosi dan sosial. Agar perkembangan sosial anak tidak terhambat, maka orangtua perlu untuk melibatkan mereka dalam setiap aktivitas kehidupan di rumah. Tidaklah tepat untuk mengkondisikan mereka hanya untuk belajar semata, tanpa pernah memberi mereka tanggung jawab dan keterampilan sosial. Hal ini disebabkan, pendidikan anak usia TK ditekankan pada segi pengembangan berbagai potensi, pembentukan sikap dan perilaku, serta pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar sebagai bekal menghadapi kebutuhan dan tantangan hidupnya kelak di masa yang akan datang, baik di masyarakat maupun di lingkungannya.
Hal ini sesuai dengan beberapa karakteristik anak usia TK, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli psikologi, yaitu unik, egosentris, aktif dan energik, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, eksploratif, dan berjiwa petualang, mengekspresikan perilaku secara relatif spontan, kaya dengan fantasi, mudah frustasi, kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu, memiliki daya perhatian yang masih pendek, bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman, serta semakin menunjukkan minat terhadap teman (Solehuddin, 2008).
Kesalahan bimbingan guru dan pola asuh (peran) orang tua dalam memahami potensi anak dikhawatirkan akan mengakibatkan bergesernya perilaku sosial anak ke arah yang tidak diharapkan. Pergeseran ini menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sini muncul sejumlah konflik (permasalahan), yang bisa mengganggu perkembangan perilaku sosial anak di TK. Untuk itu, diperlukan konsistensi bimbingan guru dan pola asuh orangtua yang tepat dan bijak.
Konsep ini sangat sejalan dengan konsep bimbingan yang sangat peduli terhadap perkembangan anak secara menyeluruh, dan bersifat memfasilitasi perkembangan belajarnya secara individual agar mencapai taraf perkembangan yang optimal, serta berhasil melalui fase-fase perkembangan yang sukses. Berdasarkan konsep inilah, penulis beranggapan bahwa jenjang pra sekolah, yang dikenal dengan Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudatul Athfal (RA) mempunyai karakteristik tertentu, sehingga membutuhkan perlakuan tertentu juga.
Dengan demikian, dalam upaya mengembangkan perilaku sosial anak TK atau anak usia pra sekolah, guru dan orang tua tak bisa jalan sendiri-sendiri, tapi saling memberikan kontribusi pencapaian perkembangan perilaku, khususnya perkembangan perilaku sosial anak. Bimbingan guru dan pola asuh orang tua merupakan sesuatu yang terintegrasi sebagai bagian terbesar dari proses pembelajaran di TK. Untuk itu, penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan mengetahui : Seberapa besar kontribusi bimbingan guru dan pola asuh orang tua terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?

B. Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, penulis mengidentifikasi sejumlah hal atau permasalahan yang ada di TK se-Kecamatan X Kabupaten Y, di antaranya : 
1. Gambaran empiris pola asuh orang tua di rumah, bimbingan guru, dan perilaku sosial anaknya yang bersekolah di TK.
2. Pengaruh pola asuh orang tua di rumah terhadap perilaku sosial anak TK.
3. Pengaruh bimbingan guru terhadap perilaku sosial anak TK.
4. Pengaruh pola asuh orang tua dan bimbingan guru terhadap perilaku sosial anak TK.
Berdasarkan hal-hal atau masalah-masalah yang teridentifikasi di atas, penulis merumuskannya dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut : 
1. Bagaimana gambaran empiris bimbingan guru, pola asuh orangtua, dan perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?
2. Berapa besar kontribusi pola asuh orangtua terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?
3. Berapa besar kontribusi bimbingan guru terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?
4. Berapa besar kontribusi bimbingan guru dan pola asuh orangtua secara bersama-sama terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 
1. Mengetahui gambaran empiris bimbingan guru, pola asuh orangtua, dan perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y.
2. Mengetahui kontribusi pola asuh orangtua terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y.
3. Mengetahui kontribusi bimbingan guru terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y.
4. Mengetahui secara bersama-sama kontribusi bimbingan guru dan pola asuh orangtua terhadap perilaku sosial anak, pada TK se-Kecamatan X Kabupaten Y.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, di antaranya adalah : 
1. Teoritis, sebagai bahan kajian dalam teknik bimbingan guru, pola asuh orangtua, dan kontribusinya terhadap perilaku sosial anak.
2. Praktis, bermanfaat bagi : 
a. Para guru dan orang tua, sebagai penambahan wawasan pengetahuan dan kompetensi guru dalam membimbing dan mengasuh anak usia TK.
b. Para kepala sekolah, sebagai bahan pembinaan kepada para pendidik, yang terkait dengan aspek bimbingan guru dan pola asuh orangtua.
c. Bagi penulis, sebagai tambahan wawasan pengetahuan tentang aspek bimbingan, pola asuh orang tua, serta perilaku sosial anak.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:56:00

MAKALAH IPA SISTEM HORMON

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu sistem koordinasi pada manusia adalah Hormon, dimana hormon merupakan getah yang dihasilkan oleh suatu kelenjar dan langsung diedarkan oleh darah. Kelenjar tersebut tidak mempunyai saluran khusus, sehingga sering disebut sebagai kelenjar buntu/kelenjar Endokrin.
Di dalam tubuh, Hormon berperan dalam mengatur metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi dan reaksi terhadap stress serta tingkah laku. Oleh karena itu, hormon sangat dibutuhkan dalam tubuh.

B. Permasalahan
a. Pengertian Hormon
b. Apakah fungsi Hormon ?
c. Macam-macam kelenjar buntu ?

C. Tujuan
a. Mengetahui apa itu hormon dan fungsinya ?
b. Dapat mengetahui macam-macam kelenjar buntu berdasarkan cara kerjanya, aspek macam dan letaknya ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Hormon
Hormon adalah getah yang dihasilkan oleh suatu kelenjar dan langsung diedarkan oleh darah. Kelenjar tersebut tidak mempunyai saluran khusus, sehingga sering disebut sebagai Kelenjar Buntu atau Kelenjar Endokrin.
Kata Hormon berasal dari kata “Hormaein” yang berarti Memacu atau Menggiatkan. Hormon diperlukan oleh tubuh dalam jumlah sedikit, tetapi mempunyai pengaruh yang amat besar. Bila kekurangan dapat ditambah hormon sejenis dari luar. Bila kelebihan akan mengakibatkan berbagai gangguan kerja organ tubuh.
Sebagai komponen sistem koordinasi, Hormon mempunyai hubungan yang erat dengan sistem saraf. Rasa cemas atau ketakutan secara mendadak pada seseorang, disamping kerja sistem saraf juga dipengaruhi oleh hormon. Ketika seseorang merasa ketakutan, maka dia akan lari menghindar atau berusaha melawan terhadap penimbul rasa ketakutan itu sekuat-kuatnya. misalnya dengan lari secepat-cepatnya. Pada Keadaan semacam ini maka hormon adrenalin akan aktif, mempertinggi frekuensi denyut jantung dan memperkuat denyutnya.

B. Fungsi Hormon
Hormon memiliki fungsi yang sangat penting yaitu untuk mengatur Homeostatis. Selain itu, hormon berfungsi untuk memacu pertumbuhan, reproduksi, metabolisme, dan tingkah laku.

C. Macam-macam Kelenjar Buntu
1. Macam-macam kelenjar buntu menurut cara kerjanya yaitu :
a) Kelenjar yang bekerja sepanjang hayat, misalnya hormon yang memegang peranan dalam metabolisme
b) Kelenjar yang bekerjanya mulai masa tertentu. Misalnya hormon kelamin.
c) Kelenjar yang bekerja sampai masa tertentu, Misalnya hormon pertumbuhan dan hormon timus.
2. Kelenjar buntu berdasarkan aspek macam dan letaknya.
a) Kelenjar Hipofisis, terletak di dasar otak besar.
b) Kelenjar Tiroid, atau kelenjar gondok, letaknya di daerah leher.
c) Kelenjar Paratiroid atau kelenjar anak gondok, letaknya di dekat kelenjar gondok.
d) Kelenjar Pankreas atau pulau-pulau Langerhans, letaknya di sebelah bawah lambung (Ventrikulus).
e) Kelenjar Adrenal atau Suprarenalis, terdapat di atas ginjal.
f) Kelenjar Kelamin atau kelenjar Gonad, pada wanita terletak di daerah rongga perut, sedangkan pada pria terdapat di dalam buah zakar dan zakar dalam kelenjar skrotum.

1. Kelenjar Hipofisis
Kelenjar ini terletak di dalam lekukan tulang sela tursika di bagian tengah tulang baji. Hipofisis merupakan kelanjar buntu terbesar. Kelenjar ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan tulang panjang sehingga berkaitan dengan pertumbuhan tinggi seseorang.
Produksi hormon ini secara berlebihan di sebut Hiperfungsi atau Hipersekresi. Hipersekresi pada masa pertumbuhan (remaja) akan mengakibatkan pertumbuhan yang luar biasa, disebut Gigantisme.
Produksi hormon yang kurang dari normal disebut Hipofungsi, mengakibatkan pertumbuhan terhambat atau terjadi manusia kerdil.
a) Lobi Anterior atau lobi depan
Bagian ini menghasilkan bermacam-macam hormon pengatur beberapa hormon lain, diantaranya :
1). Hormon Somatotrof (STH atau Growth Hormon), kerjanya menstimulasi pertumbuhan tubuh, terutama Cakra Epifisis dari tulang pipa. Kelebihan hormon ini dapat mengakibatkan pertumbuhan raksasa atau gigantisme. Bila kelebihan ini terjadi pada saat seseorang tidak tumbuh lagi maka akan menyebabkan penebalan pada tulang wajah, tengkorak, tangan, dan kaki. Keadaan ini disebut akromegali. Kekurangan hormon ini dapat mengakibatkan kekerdilan dan kretinisme.
2). Luteotropic Hormon (LTH) atau prolaktin atau hormon laktogen, berfungsi untuk merangsang kelenjar susu untuk mensekresikan susu.
3). Thyroid Stimulating Hormon (TSH) atau hormon treotrop berfungsi untuk merangsang sekresi kelenjar tiroid.
4). Adrenocarticotropic Hormon, (ACTH) atau Hormon Adrenotropin, berfungsi untuk merangsang dan mengendalikan sekresi kelenjar korteks adrenal.
5). Gonadotropic atau Hormon Kelenjar Kelamin, berbeda untuk pria dan wanita.
a. Folikel Stimulating Hormon (FSH), terdapat pada wanita dan pria. Pada wanita. Hormon ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan folikel dalam indung telur atau ovarium, sedangkan pada pria berfungsi untuk mempengaruhi proses spermatogenesis.
b. Luteinizing Hormon (LH) atau interstitial cell stimulating hormon (ICSH), terdapat pada pria dan wanita. Pada wanita LH berfungsi untuk merangsang ovulasi atau pemasakan telur sel interstitial Leyding di dalam testis agar menghasilkan testosteron.
b) Lobi Intermedia atau lobi tengah
Pada manusia, bagian ini mengalami kemunduran atau rudimenter dan hormon yang dihasilkan fungsinya belum jelas. pada katak, bagian ini menghasilkan hormon Melanosit Stimulating Hormon (MSH) atau intermedin. Hormon ini berperan dalam mengatur perubahan warna kulit, yaitu dengan mengatur penyebaran pigmen melanin pada sel-sel melanofora kulit.
c) Lobi Posterior atau Lobi Belakang
Bagian ini menghasilkan beberapa macam hormon, yaitu vasopresin, petresin dan oksitosin. vasopresin dan petresin berfungsi untuk mempengaruhi tekanan darah. Sedangkan oksitosin berperan untuk membantu proses kelahiran.

2. Kelenjar Tiroid atau Kelenjar Gondok
Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar Tiroid ada tiga macam, yang dua macam serupa, yaitu tiroksin dan triodotironin, serta kalsitonin. Fungsi hormon ini cukup luas, yaitu :
a) Mempengaruhi metabolisme sel, proses produksi panas oksidasi di sel-sel tubuh, kecuali sel otak dan sel limfa.
b) Mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan deferensiasi jaringan tubuh.
c) Mempengaruhi dalam mengubah tirosin.
Bila hormon ini mengalami kelebihan produksi atau Hipertiroidisme akan menyebabkan morbus basedowi, yaitu meningkatnya pelupuk mata terbuka lebar, dan bola mata melotot (Eksoftalmus). Bila terjadi pada anak-anak akan mengakibatkan gigantisme.
Bila produksi Tiroksin terlalu rendah atau Hipertiroidisme, akan menyebabkan terhentinya pertumbuhan. Bila terjadi pada orang dewasa akan terjadi mixoedem, yaitu kegemukan (obesitas) yang luar biasa serta kecerdasan menurun. Kekurangan unsur yodium dapat menyebabkan terganggunya pembentukan hormon tiroksin, dengan gejala timbulnya gondok.

3. Kelenjar paratiroid atau kelenjar anak gondok
Kelenjar ini terletak di sebelah dorsal kelenjar tiroid. Hormon yang dihasilkan adalah Parathormon, berfungsi mengatur pertukaran zat kapur dan fosfor dalam darah. Bila kadar Ca ++ dalam darah lebih rendah dari normal, Parathormon diekskresikan. Akibatnya, kalsium dalam tulang akan larut dan masuk ke dalam darah berbentuk ion kalsium. Kelebihan produksi Hormon Parathormon akan berakibat kadar kalsium dalam darah meningkat, hal ini akan mengakibatkan terjadinya endapan kapur pada ginjal, disebut batu ginjal. Kekurangan hormon ini dapat menyebabkan kekejangan disebut tetanus.

4. Kelenjar Efifise
Kelenjar ini menghasilakn hormon yang fungsinya belum jelas.

5. Kelenjar Timus atau Kelenjar Kacangan
Kelenjar ini bertugas menimbun hormon Somatotrop atau hormon pertumbuhan. Hormon ini hanya berfungsi pada masa pertumbuhan. Kekurangan hormon ini pada masa muda akan menyebabkan kekerdilan. Kelebihan hormon ini pada masa pertumbuhan akan menunjukkan pertumbuhan raksasa. Bila setelah dewasa hormon ini tetap berfungsi maka akan menyebabkan aromegali.

6. Kelenjar Suprarenalis atau Kelenjar anak ginjal
Kelenjar ini sering disebut juga kelenjar adrenal. Kelenjar adrenal terdiri atas bagian kulit atau bagian korteks dan bagian dalam atau medulla.
Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar Adrenal adalah Hormon Adrenalin atau Epineprin.
Fungsi Hormon Adrenalin, yaitu sebagai berikut :
a) Memacu aktivitas jantung dan menyempitkan pembuluh darah kulit dan kelenjar mukosa.
b) Mengendurkan otot polos batang tenggorok sehingga melapangkan pernafasan.
c) Mempengaruhi pemecahan glikogen (Glikogenesis) dalam hati sehingga menaikkan kadar gula darah.

7. Kelenjar Langrhans
 Kelenjar Langerhans atau Pankreas menghasilkan hormon insulin yang berfungsi antagonis dengan hormon adrenalin, yaitu untuk mengubah gula menjadi glikogen di dalam hati dan otot.
Kekurangan hormon insulin dapat mengakibatkan kencing manis atau diabetes mellitus. Insulin dan adrenal bekerja bersama mengatur kadar gula darah dalam tubuh.
Pengeluaran gula melalui ginjal menyebabkan kadar gula darah turun, badan menjadi lemas dan lapar, sehingga penderita banyak makan. Pada penderita kencing manis juga banyak membuang air seni, sehingga mudah terasa haus.
Banyaknya glukosa yang dikeluarkan dan tidak dapat disimpan, memungkinkan perubahan protein dan lemak tubuh menjadi glukosa. Metabolisme lemak menghasilkan senyawa asam. Dalam jangka lama zat tersebut dapat merusak jantung dan ginjal. Agar badan tetap sehat, penderita diabetes mellitus harus berolahraga dengan teratur sesuai anjuran dokter.

8. Kelenjar Usus dan Lambung
Kelenjar usus menghasilkan hormon skretin dan kolesistokinin. Sedangkan kelenjar lambung menghasilkan hormon gastrin. Hormon-hormon tersebut berperan dalam merangsang sekresi getah lambung.

9. Kelenjar Kelamin
Kelenjar kelamin mampu menghasilkan hormon dan sel-sel kelamin. Kelenjar ini dibedakan atas kelenjar kelamin pria dan wanita.
a) Kelenjar kelamin pria (Testis) menghasilkan hormon kelamin pria atau androgen dan sel sperma. Di antara androgen yang terpenting adalah Testosteron, yang berfungsi untuk :
1. Mempertahankan proses spermatogenesis
2. Memberi efek negatif terhadap sekresi LH oleh Hipofisis.
b) Kelenjar kelamin perempuan (ovarium) menghasilkan sel telur (ovum) dan hormon perempuan yang meliputi estrogen dan progesteron.
1. Estrogen dihasilkan oleh sel folikel de graaf
2. Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum, yaitu bekas folikel yang telah ditinggalkan sel telur. Fungsi progesteron, yaitu :
a. Mengatur pertumbuhan ari-ari (plasenta)
b. Menghambat produksi FSH oleh Hipofisis
c. Pada ibu yang habis melahirkan progesteron bersama laktogen berfungsi memperlancar produksi air susu.
d. Mengatur pertumbuhan endometrium dan pembuluh darah dari dinding rahim.

D. Hormon Estrogen Dan Progesteron Dalam Teknologi
Gerakan KB (Keluarga Berencana) yang diprogramkan pemerintah antara lain merupakan usaha untuk menjarangkan kelahiran dan membatasi ledakan penduduk. Salah satu cara adalah dengan menggunakan hormon.
KB secara hormonal dilakukan dengan cara meminum Pil KB. Pil tersebut merupakan hormon estrogen dan progesteron sintetik. Hormon sintetik ini berpengaruh pada penebalan endometrium rahim dan menghambat produksi LH (Luitinizing Hormon) dan FSH (Folikel Stimulating Hormon) oleh Hipofisis. Bila LH dan FSH tidak diproduksi, maka tidak akan terjadi ovulasi (pemasakan sel telur). Akibatnya tidak mungkin terjadi fertilisasi (pembuahan)

E. Hubungan Hormon Dan Saraf
Baik sistem hormon dan saraf berkaitan dengan proses penyampaian informasi melali sinapsis listrik. Sedangkan pada sistem hormon melalui zat kimia di sebut Neurotransmitter.
Kerjasama antara sistem hormon dan sistem saraf antara lain tampak pada keadaan yang menyebabkan seseorang kekurangan air atau dehidrasi. Keadaan ini akan dilacak oleh saraf tertentu pada Hipotalamus, terus ke hipofisis. Selanjutnya Hipofisis akan menghasilkan hormon antiaeuretika yang menghambat produksi urine


BAB III
PENUTUP 

A. Kesimpulan
Kata hormon berasal dari kata Hormon yang berarti memacu atau menggiatkan. Jadi hormon adalah getah yang dihasilkan oleh kelenjar buntu atau kelenjar endokrin dan langsung diedarkan oleh darah. Hormon berfungsi untuk mengatur homeostatis, memacu pertumbuhan, reproduksi, metabolisme dan tingkah laku.

B. Saran
a. Diharapkan agar siswa mampu memahami apa itu sistem hormon.
b. Dapat mengetahui hubungan hormon dan saraf
c. Diharapkan kepada pembaca untuk memberi kritikan dan saran untuk perbaikan makalah yang akan kami buat berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Madigan M.T., Martinko J.M., dan Parker J. 2000. Brock. Biology of Microorganisms. Edisi ke-9.

Sumber : 4shared (F. Rolando Waruwu)

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:02:00

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN

A. Latar Belakang
PASI adalah singkatan dari Pengganti Air Susu Ibu (PASI), dan umumnya berupa susu formula. PASI merupakan makanan bayi yang dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. (www.asuh.wikia.co. 2009). PASI dapat diberikan dalam keadaan dimana bayi harus dipisahkan dari ibunya, misalnya jika si ibu menderita sakit parah atau menular, bayi dapat diberi ASI sesuia petunjuk dokter atau tim kesehatan.

Berdasarkan rekomendasi dari WHO dan UNICEF di Geneva pada tahun 1979 menyusui merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Susu formula mudah terkontaminasi oleh kuman dan dalam pemberian susu formula harus disesuaikan dengan takaran susu dan umur bayi. Apabila takaran susu tidak sesuai maka mengakibatkan diare (Sarwono, 1999).

Bayi yang diberi susu formula mengalami kesakitan diare 10 kali lebih banyak yang menyebabkan angka kematian bayi juga 10 kali lebih banyak, infeksi usus karena bakteri dan jamur 4 kali lipat lebih banyak, sariawan mulut karena jamur 6 kali lebih banyak. Penelitian di Jakarta memperlihatkan persentase kegemukan atau obesitas terjadi pada bayi yang mengkonsumsi susu formula sebesar 3,4% dan kerugian lain menurunnya tingkat kekebalan terhadap asma dan alergi (Dwinda, 2006).

Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) (2003), angka kematian bayi di Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran hidup. Angka kesakitan dan angka kematian bayi ditimbulkan salah satunya disebabkan dari dampak susu formula tersebut.

Menurut profil Dinkes Sumut 2005, pemberian ASI Eksklusif di 9 kabupaten Sumatera Utara yang tidak memberikan ASI eksklusif, Asahan 90%, Tanjung Balai 84%, Tobasa 81%, Tapsel 68,5%, Sibolga 68%, Taput 58,5%, Tapteng 46%, dan Labuhan Batu 39%.

Tidak semua bayi dapat menikmati ASI secara eksklusif dari ibu, hal ini dikarenakan oleh berbagai keadaan tertentu misalnya, keluarga ibu yang memutuskan untuk tidak menyusui bayi karena adanya suatu penyakit, misalnya: tuberculosis (TBC), atau Acuired Immunodeficiency Syndrom (AIDS). Dengan keadaan tersebut cara lain untuk memenuhi kebutuhan gizi pada bayi adalah dengan memberikan susu formula sebagai Pengganti Air Susu Ibu (PASI) (Roesli, 2000).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cohen dan kawan-kawan di Amerika pada tahun 1995 diperoleh bahwa 25% ibu-ibu yang memberikan ASI secara eksklusif pada bayi dan 75% ibu-ibu yang memberikan susu formula pada bayi. Bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih jarang terserang penyakit dibandingkan dengan bayi yang memperoleh susu formula, karena susu formula memerlukan alat-alat yang bersih dan perhitungan takaran susu yang tepat sesuai dengan umur bayi. Hal ini membutuhkan pengetahuan ibu yang cukup tentang dampak pemberian susu formula (Roesli, , 2000).

Angka kejadian dan kematian akibat diare pada anak-anak di negara-negara berkembang masih tinggi, lebih-lebih pada anak yang sedang mendapat susu formula dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI. Meningkatnya penggunaan susu formula dapat menimbulkan barbagai masalah, misalnya kekurangan kalori protein tipe marasmus, moniliasis pada mulut, dan diare karena infeksi (Soetjiningsih, 1997).

Di Indonesia masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayi, karena kaum ibu lebih suka memberikan susu formula dari pada memberikan ASI. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan ibu, penyakit ibu serta ibu-ibu yang beranggapan bahwa apabila ibu menyusui maka payudaranya tidak indah lagi sehingga suami tidak sayang (Soetjiningsih, 1997).

Presentasi kaum ibu-ibu yang berada di pedesaan yang memberikan ASI pada bayinya sebesar 80-90% sampai bayi berumur lebih dari 1 tahun. Tetapi dengan adanya iklan dan sumber informasi tentang susu formula maka kecendrungan masyarakat untuk meniru gaya hidup modern. Di Jakarta lebih dari 50% bayi yang berumur 2 bulan telah mendapat susu formula karena pada awalnya calon ibu tidak diberikan penjelasan dan penyuluhan tentang pemberian ASI eksklusif (Soetjiningsih, 1997).

Berdasarkan profil kesehatan Kecamatan Sibolga Sambas tahun 2008 menunjukkan bahwa 54 bayi dinyatakan 32 bayi mendapatkan susu formula. Sedangkan dari hasil tersebut menunjukkan bahwa masih ada ibu-ibu di Kecamatan Sibolga Sambas yang memberikan susu formula kepada bayi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan Di Di Rumah Sakit X.

B. Masalah Penelitian
Pada penelitian RISDAYATI, 2008, mengenai perbedaan lama hari rawat inap diare pada anak (7-24 bulan) yang diberi ASI eksklusif degan yang diberi PASI di RS. X. dengan jumlah sampel 48 orang. Hasil penelitian sebanyak 34 (70,8%) dirawat dengan Diare, diberi PASI.
Dari data diatas peneliti ingin menegtahuai sejauhmana kontribusi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan. Secara khusus masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik responden
a. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
b. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
c. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
d. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
3. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
4. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
5. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahuai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku PASI Ibu dengan klien diare pada anak 1-24 bulan Di Rumah Sakit X.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden
1) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
2) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
3) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
4) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
b. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
c. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
d. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
e. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

D. Manfaat penelitian
1. Bagi ibu
Penelitian ini akan menjadi informasi dan masukan dalam meningkatkan pengetahuan ibu mengenai perilaku pemberian susu formula pada anak dalam mencegah diare.
2. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan ilmu metode penelitian dan menambah wawasan pengetahuan tentang perilaku PASI yang baik untuk mencegah diare.
3. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau sumber informasi untuk penelitian berikutnya dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:29:00

HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X

HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RUMAH SAKIT

A. Latar Belakang
Sehat menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan baik pada seluruh badan serta bagian-bagiannya. Menurut UU no 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. WHO mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.

Menurut Kisanti (2008), kesehatan anak penting sekali artinya bagi keluarga, ibaratnya kesehatan anak merupakan kebahagiaan bagi orangtua. Jika anak sakit hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kesehatan anak menentukan kualitas anak dikemudian hari, karena keberhasilan anak dimasa yang akan datang akan tergantung dari bagaimana anak menjalani tahap awal kehidupannya yaitu usia bayi, toddler, prasekolah dan sekolah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam pemenuhan kebutuhan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan anak (Supartini, 2004).

Dalam proses perkembangan anak usia prasekoah ada ciri- ciri yang melekat pada anak-anak tersebut. Menurut Snowman (dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak. Pertama pada ciri fisik, anak prasekolah terlihat lebih aktif sehingga membutuhkan kontrol pada tubuhnya untuk istirahat yang cukup. Hal ini dikarenakan anak prasekolah seringkali tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat yang cukup. Kedua pada ciri sosial, pada tahap ini anak prasekolah lebih cepat bersosialisasi dengan teman-temannya. Ketiga pada ciri emosi, dimana pada tahap ini anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sedangkan pada ciri perkembangan kognitif anak prasekolah umunya terampil dalam berbahasa.

Pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dicapai secara optimal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak diantaranya pemberian nutrisi yang adekuat, memfasilitasi kegiatan bermain, dan melakukan upaya pemeliharaan kesehatan untuk pencegahan penyakit. Salah satu upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit adalah dengan pemberian imunisasi. Dimana imunisasi merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja, memberikan kekebalan pada anak prasekolah sehingga terhindar dari penyakit. Masalah kesehatan yang sering dijumpai pada anak prasekolah diantaranya adalah infeksi (Supartini, 2004).

Saat anak prasekolah dirawat di rumah sakit, kondisi ini memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan rumah yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan serta hilangnya waktu bermain bersama teman-teman sepermainannya. Adapun reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah selama dirawat di rumah sakit adalah dengan menolak makan, sering bertanya kepada orang tuanya tentang hal-hal yang tidak dipahaminya, menangis dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.

Dampak dari perpisahan yang dialami anak prasekolah saat dirawat di rumah sakit akan menimbulkan rasa kecemasan pada anak tersebut. Kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dalam merespon sesuatu yang baru dan belum pernah dialami. Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan kecemasan bagi anak maupun orang tua. Faktor yang mempengaruhi kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit antara lain lingkungan rumah sakit, bangunan fisik, bau khas rumah sakit, obat-obatan, alat-alat medis, petugas kesehatan, warna seragam, dan sikap petugas kesehatan seperti dokter dan perawat (Moersintowati, dkk 2008). Menurut Supartini (2004), perawatan di rumah sakit seringkali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah, cemas dan takut. Anak juga sering merasa takut pada hal-hal yang tidak logis, seperti takut gelap, monster, dll. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak usia prasekolah yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah. Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan serta lingkungan rumah sakit (Wong, 2000). Penelitian Isle of Wight yang dilaporkan oleh Rutter dan kawan-kawan (dalam Nelson, 2000) menemukan prevalensi gangguan kecemasan adalah 6,8%. Sekitar sepertiga anak ini adalah cemas berlebihan, dan sepertiga lainnya menderita ketakutan spesifik atau fobia yang merupakan cacat. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Furi Seftiani yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Caring Dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Klien Anak di Ruang Perawatan Anak RS Sentra Medika Cimanggis (2008), didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap caring perawat dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada klien anak di ruang perawatan anak.

Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak antara lain yang pertama melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam. Jika tidak mungkin, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka. Yang kedua melakukan modifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru. Upaya yang ketiga adalah peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat), dimana diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat harus menghargai sikap anak karena selain orang tua perawat adalah orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak menolak orang asing (perawat), namun perawat harus tetap memberikan dukungan dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak menggunakan suara bernada tenang, pilihan kata yang tepat, kontak mata dan sentuhan secara empati (Wong, 2008).

Komunikasi merupakan upaya individu dalam menjaga dan mempertahankan individu untuk tetap berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi adalah kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih, dalam bentuk pembagian ide, pikiran dengan menggunakan lambang, memiliki tujuan tejadi perubahan pada orang lain (Tamsuri, 2008). Effendy (2002) dalam Suryani (2004) menyatakan lima komponen dalam komunikasi yaitu komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003). Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang mempunyai efek penyembuhan. Karena komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan membina hubungan saling percaya terhadap klien, sehingga klien akan merasa puas dengan pelayanan yang diterimanya. Apabila perawat dalam berinteraksi dengan klien tidak memperhatikan sikap dan teknik dalam komunikasi terapeutik dengan benar dan tidak berusaha untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik, maka hubungan yang baik antara perawat dengan klienpun akan sulit terbina (Anggraini, 2009). Cara berkomunikasi pada anak berbeda dengan komunikasi terapeutik pada orang dewasa. Komunikasi terapeutik pada anak hendaknya selalu memperhatikan nada suara, jarak interaksi dengan anak, sentuhan yang diberikan kepada anak harus atas persetujuan anak (Mundakir, 2006).

Dalam komunikasi terapeutik ada beberapa sikap dan teknik komunikasi yang harus dipahami oleh perawat. Sikap komunikasi terapeutik pada anak prasekolah antara lain memberitahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksa yang akan digunakan, bicara lambat, hindari sikap mendesak untuk dijawab, hindari konfrontasi langsung, salaman pada anak (untuk mengurangi kecemasan). Sedangkan teknik komunikasi terapeutik dengan anak yang harus dipahami oleh perawat antara lain teknik non verbal teknik orang ketiga, bercerita, dan teknik verbal menulis, menggambar, bermain (Tamsuri, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.Aziz A.Hidayat (2003) yang berjudul Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Perawat Dalam Komunikasi Terapeutik Pada Anak Usia Prasekolah di RSUD Dr.Soetomo Surabaya (2003), didapatkan hasil penegetahuan perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr.Soetomo adalah 56,3% berpengetahuan baik dan 43,8% berpengetahuan kurang. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr. Soetomo adalah 65,6% bersikap positif dan 34,4% bersikap negatif.

Berdasarkan survey awal peneliti yang dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2009, peneliti mendapatkan informasi bahwa sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian di rumah sakit ini mengenai komunikasi terapeutik pada anak di rumah sakit X . Di rumah sakit X terdapat dua ruang perawatan anak (satu ruangan kelas satu dan dua, satu ruangan kelas tiga) dengan kapasitas 30 tempat tidur, data kunjungan ke rumah sakit X khususnya pasien anak setiap bulannya cukup banyak, tiga bulan terakhir sekitar 74 pasien anak yang dirawat di rumah sakit X. Hasil studi pendahuluan terhadap anggota keluarga dari anak yang dirawat mengungkapkan bahwa waktu kunjungan terbatas dan jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu juga terbatas, kecemasan anak bertambah selama dirawat karena anak harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya. Selain itu dari hasil wawancara dengan orang tua anak yang dirawat dua hari di ruang rawat anak rumah sakit X mengungkapkan dari sejak pertama kali masuk dan dirawat anak sering menangis, terlihat gelisah, juga takut jika didekati perawat dan jika akan diberikan suatu tindakan keperawatan. Sedangkan 3 dari 5 orang tua anak yang anaknya telah dirawat selama 5 hari mengungkapkan awal-awal dirawat anaknya juga sering menangis jika didekati perawat tetapi sekarang sudah tidak takut lagi kecuali jika akan diberikan tindakan tertentu (seperti dipasang infus). Menurut beberapa orang tua anak yang dirawat, komunikasi yang diterapkan perawat baik kepada anak maupun kepada orang tua sudah cukup baik, walaupun ada beberapa perawat yang dirasakan belum menerapkan cara-cara atau teknik komunikasi ke anak. Hasil wawancara kepada pihak managemen rumah sakit X yang dilakukan peneliti pada tanggal 16 Februari 2010 didapatkan data dari hasil angket yang diberikan pihak rumah sakit kepada pasien tingkat kepuasan pasien yang dirawat selama 3 bulan terakhir cukup bagus (85% pasien puas dengan pelayanan yang rumah sakit berikan). Selain itu penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit X sudah diterapkan, dan di rumah sakit X selalu dilaksanakan pelatihan tentang penerapan komunikasi terapeutik kepada semua karyawan termasuk kepada perawat.

Dari permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah yang diruang perawatan rumah sakit X .

B. Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan adalah apakah ada hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan rumah sakit X
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang karakteristik (jenis kelamin dan lama hari rawat) pasien anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
b. Memperoleh gambaran tentang kecemasan pasien prasekolah anak di ruang perawatan anak rumah sakit X
c. Menganalisis hubungan antara sikap komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
d. Menganalisis hubungan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah yang di ruang perawatan anak rumah sakit X

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti : Dapat memperkaya ilmu keperawatan khususnya tentang komunikasi terapeutik agar dapat diterapkan dengan baik dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien di rumah sakit.
2. Bagi Perawat : Dapat menjadi pendorong agar memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien khususnya pasien anak, sehingga masalah psikologis pada anak dapat teratasi juga dapat membantu proses penyembuhan.
3. Bagi Institusi Pendidikan : Dapat menjadi tambahan informasi tentang pentingnya komunikasi terapeutik bagi pasien anak pra sekolah dan sebagai bahan informasi perawat untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan sikap dalam berkomunikasi secara terapeutik.
4. Bagi Rumah Sakit : Dapat menjadi masukan yang digunakan untuk penerapan komunikasi terapeutik kepada pasien anak prasekolah sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
5. Bagi Pasien : Dapat menjadi informasi sebagai pertimbangan memilih pelayanan kesehatan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:26:00

SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA

PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA

1. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO, 1965). Menjadi tua (lanjut usia) merupakan peristiwa yang sangat alamiah dan normal terjadi pada setiap manusia. Setiap manusia tentunya berharap dapat menjalani masa tuanya dengan bahagia. Ketika memasuki masa tua tersebut, sebagian lansia dapat menjalaninya dengan bahagia, namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami hal sebaliknya, masa tua dijalani dengan rasa ketidakbahagiaan, sehingga menyebabkan rasa ketidaknyamanan (Dana, 2007). Ketidakbahagiaan tersebut bisa disebabkan karena kondisi lingkungan, kurangnya perawatan, perhatian ataupun kepedulian dari orang-orang di sekitar lansia, .terutama keluarga. Sebagian lansia tinggal bersama dengan keluarga sendiri dan ada juga yang tinggal di Panti Werdha atau tempat lainnya, tetapi menurut Tachman (1999), tempat yang paling baik bagi lansia adalah tempat tinggalnya sendiri dengan anggota keluarga lainnya. Perawatan yang dilakukan oleh anak sendiri diduga memberikan rasa aman dan nyaman karena mereka lebih toleran terhadap lansia dibandingkan kerabat atau orang lain, sehingga kebutuhan fisik, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual lansia bisa terpenuhi dengan baik.

Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta, dengan usia rata-rata 60 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1, 2 milyar (Nugroho, 2000). Berdasarkan data penduduk mutakhir, jumlah lansia di Indonesia sekarang sekitar 16 juta jiwa (Sabdono, 2007). Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, dan hampir seperempat dari jumlah penduduk tersebut atau sekitar 62, 4 juta jiwa tergolong sekelompok penduduk lanjut usia. Bahkan, jika menggunakan model proyeksi penduduk PBB, jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2050 menjadi dua kali lipat atau sekitar 120 juta jiwa lebih (Sardjunani, 2007). Sedangkan di Provinsi X berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2007, jumlah penduduk yang berumur 60 tahun ke atas mencapai 693.494 jiwa, atau 5,4% dari jumlah penduduk di Provinsi X (12.834.371 jiwa). Dan jumlah penduduk lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y sebanyak 213 jiwa (Laporan Kepala Desa Z, 2009).

Peningkatan persentase penduduk lanjut usia membawa implikasi terhadap berbagai sektor pembangunan lainnya. Pergeseran struktur penduduk dari muda ke tua tersebut antara lain berdampak terhadap perubahan kebijakan pemerintah, tidak saja di sektor kependudukan tetapi juga di sektor kesehatan, sosial dan bahkan ke sektor ekonomi. Hal ini tentunya membawa implikasi pada kebijakan yang dibuat harus dapat mengakomodasi keberadaan lanjut usia dengan segala karakteristiknya baik dari aspek demografi, sosial dan ekonomi. Faktor-faktor seperti demografi, sosial dan ekonomi banyak melatarbelakangi lanjut usia melakukan aktivitas yang beragam, baik yang bernilai ekonomi maupun yang tidak bernilai ekonomi (Mundiharno, 1997).

Masalah kesehatan lanjut usia tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses kemunduran yang panjang. Ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap, dan pada waktu kompensasi terhadap penurunan ini dapat dilakukan, dikenal sebagai "senescence", yaitu masa proses menjadi tua. Seseorang akan menjadi semakin tua pada awal atau akhir usia enam puluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mentalnya, dan juga tergantung pada masing-masing individu yang bersangkutan. Penyebab fisik dari kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus, tetapi karena proses menua. Akibatnya terjadi penurunan pada peranan-peranan sosial dan timbulnya gangguan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain. Kemunduran juga bisa terjadi oleh karena faktor psikologis. Sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan pada umumnya dapat menuju ke keadaan seseorang yang menjadi eksentrik, kurang perhatian dan terasing secara sosial sehingga penyesuaian dirinya menjadi buruk, akibatnya orang menurun secara fisik dan mental sehingga mengalami penurunan dalam melakukan aktivitasnya. Seseorang yang mengalami ketegangan dan stres hidup akan mempengaruhi laju kemunduran tersebut. Demikian juga, bahwa motivasi memainkan peranan penting dalam kemunduran. Dengan adanya gangguan tersebut, menyebabkan lanjut usia menjadi tidak mandiri dan membutuhkan orang lain untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Hurlock, 2002).

Dalam menghadapi kemunduran, mereka membutuhkan bantuan untuk mencapai rasa tentram, nyaman, kehangatan dan perlakuan yang layak dari lingkungannya. Memberikan perhatian pada lanjut usia dan mengupayakan agar mereka tidak terlalu tergantung pada orang lain, mampu membantu diri sendiri, itu semua adalah kewajiban keluarga dan lingkungan (Supartondo, 2003).

Berdasarkan data dari Kantor Kepala Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y terdapat 213 jiwa lanjut usia di Desa Zi Kecamatan X Kabupaten Y dan jumlah keluarga yang memiliki lanjut usia sebanyak 173 keluarga. Dari data yang didapat, tidak semua kemunduran yang dialami lanjut usia sama, tetapi tergantung dari cara perawatan keluarga terhadap lanjut usia itu sendiri.

Berdasarkan kondisi di atas, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti bagaimana perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y dalam mencegah atau menanggulangi kemunduran yang dialami oleh lanjut usia.

2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, adapun pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y?

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ditujukan pada Praktek Keperawatan, Pendidikan Keperawatan, Penelitian Keperawatan dan Keluarga Lansia.
- Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan intervensi keperawatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sebagai upaya meningkatkan kebutuhan perawatan keluarga terahadap lansia.
- Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence base yang diintegrasikan dalam wahana pembelajaran keperawatan keluarga, khususnya perawatan gerontik tentang materi pembelajaran gambaran perawatan keluarga tehadap lansia, sehingga informasi ini dapat dikembangkan dalam praktek belajar lapangan.
- Penelitian Keperawatan
Hasil penelian ini dapat digunakan sebagai informasi lanjutan pada penelitian selanjutnya yang meneliti tentang perawatan keluarga terhadap lansia, baik lansia yang sehat maupun lansia dengan berbagai gangguan kesehatan.
- Keluarga Lansia
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi keluarga dalam merawat lansia untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dan agar lansia dapat menjalani hari tua dengan rasa aman, nyaman dan menyenangkan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:24:00