Cari Kategori

Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts

PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA DIABETES MELITUS (DM) DENGAN PEMANFAATAN KLINIK DIABETES MELITUS

PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA DIABETES MELITUS (DM) DENGAN PEMANFAATAN KLINIK DIABETES MELITUS

Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan hasil dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak, meskipun kadang bisa dicegah atau dihindari. Konsep sehat sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor di luar kenyataan klinis yang mempengaruhi terutama faktor sosial budaya. Jadi, sangat penting menumbuhkan pengertian yang benar pada benak masyarakat tentang konsep sehat dan sakit karena dengan konsep yang benar maka masyarakat pun akan mencari alternatif yang benar pula untuk menyelesaikan masalah kesehatannya (Foster, 2006).

Pengetahuan masyarakat tentang konsep sehat dan sakit yang benar akan membuat masyarakat mengerti bagaimana memberdayakan diri untuk hidup sehat dan kebiasaan mereka untuk mempergunakan fasilitas kesehatan yang ada. Hal ini merupakan dua dari empat grand strategy yang dilakukan Departemen Kesehatan untuk mewujudkan visinya yaitu "memandirikan masyarakat untuk hidup sehat" dengan misi "membuat masyarakat sehat" (Depkes RI, 2009).

Pemerintah sering dihadapkan pada berbagai masalah di bidang kesehatan, masalah yang cukup menjadi perhatian para ahli belakangan ini adalah assessment faktor risiko penyakit tidak menular. Salah satu penyebabnya adalah karena penyakit tidak menular sekarang ini memperlihatkan tendensi peningkatan. Peningkatan penyakit tidak menular ini banyak terjadi di negara berkembang karena perkembangan ekonominya mulai meningkat. Karena itulah maka terjadi peralihan bentuk penyakit yang hams dihadapi, yaitu dari penyakit menular dan infeksi menjadi penyakit tidak menular dan kronis. Proses tersebutlah yang kerap dikenal sebagai transisi epidemiologi (Bustan, 1997).

Transisi penyakit di Indonesia mulai ditandai dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular yang dirawat inap di beberapa rumah sakit. Peningkatan ini menempatkan penyakit tidak menular menjadi penyakit utama rawat inap di berbagai fasilitas kesehatan. Karena itu seharusnya transisi epidemiologi juga menyebabkan terjadinya transisi kebijakan yang menyeluruh (Soegondo, 2004).

Penyakit tidak menular sering disebut sebagai penyakit kronis. Penyakit tidak menular memberikan kontribusi bagi 60 persen kematian secara global. Di berbagai negara yang termasuk negara berkembang, peningkatan penyakit ini terjadi secara cepat dan memberikan dampak yang sangat signifikan pada sisi sosial, ekonomi dan kesehatan. WHO sendiri memperkirakan bahwa pada tahun 2020, penyakit tidak menular akan menyebabkan 73 persen kematian secara global dan memberikan kontribusi bagi penyebab kematian secara global atau global burden of disease sebesar 60 persen. Permasalahannya adalah sekitar 80 persen dari penyakit tidak menular ini justru terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah atau yang sering disebut sebagai low and middle income countries (Mirza, 2008).

Perubahan pola hidup manusia seperti gaya hidup, sosial ekonomi, urbanisasi dan industrialisasi pada akhirnya akan meningkatkan prevalensi penyakit tidak menular, khususnya penyakit degeneratif. Kecenderungan untuk beralih dari makanan tradisional menjadi makanan cepat saji dan berlemak, terutama di daerah urban mengakibatkan perubahan penyakit yaitu menurunnya penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit non infeksi (degeneratif). Hal ini menunjukkan telah terjadi transisi epidemiologi. Tentu saja penyakit ini akan menimbulkan suatu beban bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian suatu negara karena memerlukan biaya yang besar untuk perawatannya (Bustan, 1997).

Salah satu jenis penyakit tidak menular yang ternyata menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi adalah penyakit diabetes melitus. Penyakit ini bukanlah penyakit yang baru, hanya saja kurang mendapat perhatian di tengah-tengah masyarakat khususnya yang memiliki resiko tinggi untuk menderita penyakit tersebut. Ketidaktahuan akan gambaran penyakit diabetes melitus dan kurangnya perhatian masyarakat, serta minimnya informasi akan mempengaruhi perilaku serta anggapan yang salah akan penyakit ini (Mirza, 2008).

Berdasarkan Laporan WHO tahun 1995, prevalensi penyakit diabetes melitus di dunia adalah sebesar 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan meningkat menjadi 5,4%. Di negara maju, jumlah penyakit diabetes melitus pada tahun 1995 adalah sebesar 51 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2025 akan meningkat mencapai 72 juta orang. Sementara itu, di negara sedang berkembang jumlah penderita diabetes melitus akan meningkat dari 84 juta orang menjadi 228 juta orang. Diperkirakan jumlah tersebut akan naik melebihi 250 juta orang pada tahun 2025 (Wiyono, 2004).

Diabetes melitus yang dikenal sebagai non communicable dissease adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus diabetes melitus tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Penyakit tidak menular seperti diabetes melitus semakin hari semakin meningkat, dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kejadian penyakit tersebut di masyarakat (Soegondo, 2004).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia jumlahnya sangat luar biasa. Pada tahun 2000 jumlah penderita 8.400.000 jiwa, pada tahun 2003 jumlah penderita 13.797.470 jiwa dan diperkirakan tahun 2030 jumlah penderita bisa mencapai 21.300.000 jiwa. Data jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 24 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun yang akan datang (Soegondo, 2005).

Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Data Surveilans Terpadu Penyakit (STP) tahun 2008 terlihat jumlah kasus yang paling banyak adalah penyakit diabetes melitus dengan jumlah kasus 1.717 pasien rawat jalan yang dirawat di rumah sakit dan puskesmas Kabupaten/Kota. Untuk rawat jalan penyakit diabetes melitus ini mencapai 918 pasien yang dirawat di 123 rumah sakit dan 998 pasien yang dirawat di 487 puskesmas yang ada di 28 Kabupaten/Kota seluruh X. Sedangkan pada tahun 2009 mencapai 108 pasien yang dirawat di rumah sakit dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni 2009. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penderita diabetes melitus di X masih sangat tinggi (STPTM Dinas Kesehatan Propinsi X, 2008).

Penyakit diabetes melitus di X, sampai September 2009 merupakan penyakit dengan penderita terbanyak, yang terus mengalami peningkatan jumlahnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota X tahun 2009 terlihat jumlah kasus yang terbanyak setelah hipertensi adalah kasus diabetes melitus. Hingga September 2009 ada 10347 penderita diabetes melitus yang berobat ke 39 Puskesmas di kota X. Data tersebut menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus di Kota X sangat tinggi (STPTM Dinas Kesehatan Kota X, 2009).

Dari data tersebut di atas, dapat dilihat trend penyakit diabetes melitus di Indonesia menunjukkan prevalensi yang meningkat. Prediksi yang diajukan oleh semua ahli epidemiologi menyebutkan angka prevalensi yang makin meningkat di masa yang akan datang, sehingga menempatkan diabetes melitus sebagai The Global Epidemy (PERKENI, 2009).

Diabetes melitus apabila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi dengan penyakit serius lainnya, diantaranya: jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal, dan kerusakan sistem syaraf. Jika positif menderita diabetes melitus, maka sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter dan mengikuti anjuran dokter dengan penuh disiplin. Selain itu cara yang efektif yang diterapkan pada diabetes melitus adalah perencanaan makan (diet), latihan (olahraga), pemantauan glukosa darah, terapi (bila diperlukan) dan lain-lain yang dapat diperoleh di klinik khusus diabetes melitus. Klinik khusus diabetes ini memberikan pelayanan khusus kepada setiap pasien diabetes melitus dan juga membantu pasien dalam merubah kebiasaan dan gaya hidupnya, melalui terapi perilaku, dukungan kelompok dan penyuluan gizi yang berkelanjutan (Soegondo, 2004).

Puskesmas X yang merupakan puskesmas satu-satunya yang memiliki klinik diabetes melitus di Kota X mencatat bahwa penderita diabetes melitus yang ada di wilayah kerjanya ada sekitar 105 orang, akan tetapi yang mau datang berobat dan mengikuti program-program yang ada di klinik tersebut hanya 12-15 orang (17-21%) tiap minggunya (klinik diabetes melitus buka pada hari Kamis saja), tidak sesuai dengan harapan petugas yaitu 45-50% dari jumlah penderita. Pihak klinik diabetes melitus sendiri merasa telah memberikan pelayanan yang baik, namun ternyata belum sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen (penderita diabetes melitus). Hal tersebut menyebabkan penanganan diabetes melitus tidak optimal sehingga faktor resiko diabetes melitus akan tetap tinggi di masa yang akan datang.

Kondisi ini membuat klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas X membuat visi yang terkait dengan kondisi kesehatan Indonesia yaitu memberikan pelayanan diabetes melitus yang berkualitas dan terjangkau ditingkat puskesmas. Untuk mencapai visi tersebut maka ditetapkan misi yaitu : 1. Memberikan edukasi agar pasien diabetes melitus dapat mengatur diet sendiri, 2. Mendidik pasien agar terhindar dari komplikasi diabetes melitus, 3. Memberikan penyuluhan kepada pasien dan masyarakat yang mempunyai faktor resiko penyakit diabetes melitus agar tidak tercetus penyakit diabetes melitus (Profil Puskesmas X, 2009).

Melalui survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada beberapa penderita diabetes melitus di lokasi penelitian alasan penderita diabetes tidak datang lagi berobat pada waktu yang ditentukan adalah karena pada pemeriksaan terakhir mereka memiliki kadar glukosa darah mendekati nilai normal dan akan kembali datang lagi berobat apabila merasa kadar glukosa darahnya sudah tidak normal lagi. Selain itu ada juga yang lupa minum obat karena cara minum obat diabetes harus sesuai dengan anjuran dokter, sehingga masih banyak obat yang tersisa dan mereka menunggu sampai obat tersebut habis.

Penelitian ini terfokus kepada Puskesmas X mengingat lokasi penelitian yang merupakan bagian dari Puskesmas X. Puskesmas X adalah puskesmas satu-satunya yang memiliki klinik diabetes melitus di Kota X. Sehingga dengan diadakannnya penelitian di wilayah kerja Puskesmas X ini akan memberikan gambaran tentang perilaku penderita diabetes melitus terhadap pelayanan klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas X Kecamatan X Tembung dan bagaimana cara mereka memandang klinik diabetes melitus tersebut sehingga bisa dilakukan tindakan preventif dan rehabilitatif terhadap kondisi di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang perilaku penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X Kecamatan X Tembung sehingga dapat diketahui seberapa maksimal pelayanan yang dilakukan klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas X dan tindakan yang dilakukan oleh penderita diabetes melitus untuk memanfaatkan pelayanan yang seharusnya diterimanya dari Puskesmas.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus yang ada di Puskesmas X.

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
2. Untuk mengetahui pengetahuan penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
3. Untuk mengetahui sikap penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
4. Untuk mengetahui tindakan penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
5. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
6. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
7. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
8. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
9. Untuk mengetahui hubungan antara pendapatan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
10. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
11. Untuk mengetahui hubungan antara sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Puskesmas X dan Dinas Kesehatan Kota X dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat.
2. Sebagai acuan bagi pihak lain yang ingin melanjutkan penelitian ini ataupun melakukan penelitian yang sehubungan dengan penelitian ini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:46:00

TINJAUAN PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT (JAMKESMAS) DI RSUD

TINJAUAN PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT (JAMKESMAS) DI RSUD

1.1. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 H, menetapkan bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga Negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin.

Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang sesuai amanat pada perubahan UUD 1945 Pasal 34 ayat 2, yaitu yang menyebutkan bahwa Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial dalam perubahan UUD 1945, dan terbitnya UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), menjadi suatu bukti yang kuat bahwa Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Karena melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

Berdasarkan konstitusi dan Undang-Undang tersebut, Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005 telah melaksanakan program jaminan kesehatan sosial, dimulai dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin/JPKM (2005) atau lebih dikenal dengan program Askeskin (2005-2007) yang kemudian berubah nama menjadi program Jamkesmas sampai dengan sekarang. Kesemuanya memiliki tujuan yang sama yaitu melaksanakan penjaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan prinsip asuransi kesehatan sosial.

Pada tahun 2011 dilaksanakan perbaikan berbagai aspek dalam program Jamkesmas, salah satu nya adalah aspek pelayanan yaitu pelayanan kesehatan secara gratis untuk pengobatan thalasemia dan obat kanker. Pada tahun 2011 diperkenalkan paket INA-CBG'S. Selain itu pada tahun 2010 Menteri Kesehatan telah menandatangani kesepakatan dengan 4 (empat) BUMN farmasi untuk menjamin ketersediaan obat dan alat yang dibutuhkan oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Jamkesmas dengan harga yang terjangkau sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasien atau masyarakat yang berhak memperoleh pelayanan Jamkesmas adalah mereka masyarakat miskin yang memenuhi kriteria keluarga atau RTM (Rumah Tangga Miskin) menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dan jika minimal memenuhi 9 variabel yang telah menjadi kriteria maka dikategorikan sebagai RTM (Rumah Tangga Miskin).
Pelayanan Kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggrakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memudahkan perseorangan, kelompok dan ataupun masyarakat (Azwar, 1995 : 1). Dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kesehatan, terjangkau oleh semua lapisan lapisan masyarakakat, dan sebagai wujud ketegasan perintah dalam menjalankan kewajibannya dalam menciptakan derajat kesehatan yang tinggi dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (UU tentang Rumah Sakit BAB l pasal 1).

Rumah Sakit didirikan sebagai sentral pelayanan kesehatan terutama kuratif dan rehabilitatif bagi masyarakat disekitarnya termasuk bagi mereka masyarakat miskin yang menjadi peserta Jamkesmas. Paradigma yang dikembangkan dalam tradisi seni pengobatan menjadi karakteristik khas yang seharusnya ada pada setiap aktivitas RS. Pasien adalah manusia yang setara kedudukannya secara fitrawi dengan dokter dan paramedik lain, sehingga relasi yang terbangun antar mereka mestinya bersifat humanis, bukan eksploitatif. Dalam konteks relasi dokter-pasien ini, berbagai ketimpangan dan ketidakpuasan selalu muncul dan dirasakan oleh kedua belah pihak. Idealnya, dalam harapan banyak orang, ketika masuk RS kita akan mendapat pengobatan dan perawatan yang baik sehingga dapat segera sembuh dan sehat kembali.

Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti ingin melakukan penelitian di RSUD X. Penelitian dilakukan dengan meninjau pelaksanaan program Jamkesmas. Dalam satu bulan RSUD X mampu melayani pasien peserta Jamkesmas sebanyak 1000 hingga 1400 pasien yang terbagi dari pasien Jamkesmas RJTL, RITL dan IGD. Diharapkan dengan melakukan penelitian di RSUD X maka didapatkan data yang representative mengenai keefektifan pelayanan Jamkesmas yang dilihat dari ketepatan sasaran program, ada atau tidaknya cost sharing dan untuk pasien Rawat Inap memiliki surat rujukan atau tidak.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota X Tahun 2010 jumlah peserta Jamkesmas Kota X adalah 7.419 RTM atau 29.568 Jiwa. Jumlah yang cukup besar tersebut mengundang pertanyaan apakah kepesertaannya telah sesuai pedoman pelaksanaan Jamkesmas yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan, berdasarkan pengalaman yang diperoleh ketika magang, menemukan seorang peserta secara fisik dan penampilan tidak sesuai kriteria miskin yang berhak memperoleh Jamkesmas namun kenyataannya orang tersebut berobat dengan menggunakan Jamkesmas. Berkaitan dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian tinjauan pelaksaan program Jamkesmas yang kemudian akan diketahui ketepatan sasaran program Jamkesmas,ada atau tidaknya cost sharing untuk pasien Rawat Inap dan pasien Rawat Inap memiliki surat rujukan atau tidak, kecuali untuk pasien masuk melalui IGD tidak harus memiliki rujukan.

1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah pasien yang datang sebagai peserta Jamkesmas RSUD X, Lampung adalah mereka yang benar berhak memperoleh pelayanan Jamkesmas sesuai kriteria rakyat miskin dari BPS, penghuni lapas, gelandangan, pengemis dan peserta Program Keluarga Harapan (PKH).
2. Apakah pasien Rawat Inap memiliki surat rujukan sebagai salah satu prosedur memperoleh pelayanan kesehatan dengan menggunakan kartu Jamkesmas atau pasien masuk melalui IGD.
3. Apakah ada cost sharing pada pasien peserta Jamkesmas Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) RSUD X.

1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengelolaan program Jamkesmas yang sesuai dengan Panduan Pelaksanaan (Manlak) di RSUD. X.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui prosedur mendapatkan pelayanan kesehatan melalui Program Jamkesmas di RSUD X. Pasien memiliki surat rujukan atau tidak.
2. Mengetahui ada atau tidak ada cost sharing pada pasien peserta Jamkesmas rawat inap tingkat lanjut RSUD X.
3. Mengetahui ketepatan sasaran kepesertaan Jamkesmas.

1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang berharga dan sebagai wadah penerapan ilmu yang telah dipelajari selama perkuliahan untuk meningkatkan profesionalisme.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai evaluasi untuk perbaikan pelaksanaan program Jamkesmas di RSUD X dimasa mendatang.
3. Bagi Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten atau Kota
Sebagai evaluasi untuk perbaikan program Jamkesmas di masa datang di wilayahnya.
4. Bagi PT. Askes sebagai penanggung jawab kepesertaan Jamkesmas
Sebagai evaluasi untuk perbaikan kepesertaan program Jamkesmas dalam hal pemberian/ penerbitan kartu di masa datang oleh PT. Askes.
5. Bagi Pemerintah Daerah
Selaku pihak yang memutuskan dan menetapkan masyarakat miskin berdasarkan data BPS yang berhak memperoleh Jaminan Kesehatan Masyarakat, skripsi ini dapat menjadi bahan evaluasi ketepatan kepesertaan program Jamkesmas di masa datang.
6. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menjadi bahan bacaan atau sumber bacaan yang bersifat ilmiah, dan sebagai bahan masukan bagi studi selanjutnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan program Jamkesmas.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:06:00

BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien serta semakin luas penyebarannya. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun. Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga terjadi peningkatan aktifitas vektor dengue pada musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit DBD pada manusia melalui vektor Aedes. Sehubungan dengan morbiditas dan mortalitasnya, DBD disebut the most mosquito transmitted disease (Djunaedi, 2006).

Penyakit DBD di Indonesia pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968, dan di Jakarta dilaporkan pada tahun 1969. Pada tahun 1994 kasus DBD menyebar ke 27 provinsi di Indonesia. Sejak tahun 1968 angka kesakitan kasus DBD di Indonesia terus meningkat, tahun 1968 jumlah kasus DBD sebanyak 53 orang (Incidence Rate (IR) 0.05/100.000 penduduk) meninggal 24 orang (42,8%). Pada tahun 1988 terjadi peningkatan kasus sebanyak 47.573 orang (IR 27,09/100.000 penduduk) dengan kematian 1.527 orang (3,2%) (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Provinsi Jawa Timur baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung mengalami peningkatan jumlah kasus maupun kematiannya. Seperti KLB, DBD secara nasional juga menyebar di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur. Penyebaran kasus DBD di Jawa Timur terdapat di 38 kabupaten/kota (semua kabupaten/kota) dan juga di beberapa kecamatan atau desa yang ada di wilayah perkotaan maupun di pedesaan. Jumlah kasus dan kematian akibat penyakit DBD di Jawa Timur selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. 
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kabupaten X tahun 2007 kasus DBD di daerah tersebut dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 KLB DBD terjadi di semua Kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten X, dan kasus terbanyak terjadi di Kecamatan X pada wilayah kerja Puskesmas Y. Dalam profil dinas kesehatan disebutkan jumlah kasus DBD dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 ditemukan 82 kasus, tahun 2006 ditemukan 156 kasus, pada tahun 2007 ditemukan 362 kasus dan pada tahun 2008 ditemukan 449 kasus. Pada tahun 2007 jumlah kematian akibat penyakit DBD ditemukan sebanyak 2 orang, attack rate 0,07%, CFR 0,55% dan pada tahun 2008 jumlah kematian ditemukan sebanyak 4 orang, attack rate 0,083% dan CFR 0,75%. Dari standar WHO, sebuah daerah dapat dikatakan baik penanganan kasus DBD bila nilai CFR-nya di bawah 1%. Jadi penanganan kasus DBD di Kabupaten X dapat dikatakan baik. Sesuai dengan indikator keberhasilan propinsi Jawa Timur untuk angka kesakitan DBD per-100.000 penduduk adalah 5 (Dinkes Jatim, 2006).

Berdasarkan data penyebaran kasus DBD per desa dari Dinas Kesehatan X selama 3 tahun terakhir jumlah kasus DBD di Puskesmas Y terus mengalami peningkatan, mulai dari tahun 2006 ditemukan sebanyak 72 kasus, tahun 2007 sebanyak 132 kasus dan tahun 2008 ditemukan kasus DBD sebanyak 218 kasus. Wilayah kerja Puskesmas Y yang melayani 15 desa/kelurahan merupakan daerah dengan jumlah kasus DBD terbanyak tiap tahunnya. Dari 15 desa/kelurahan terdapat 3 desa yang selama 3 tahun terakhir mengalami peningkatan jumlah kasus DBD nya yaitu Kelurahan Y pada tahun 2005 ditemukan 1 kasus, tahun 2006 ditemukan 25 kasus, tahun 2007 ditemukan 22 kasus dan tahun 2008 ditemukan 14 kasus; Kelurahan X pada tahun 2005 ditemukan 1 kasus, tahun 2006 ditemukan 5 kasus, tahun 2007 ditemukan 19 kasus dan tahun 2008 ditemukan 45 kasus; dan Kelurahan X tahun 2005 tidak ada kasus, tahun 2006 ditemukan 10 kasus, tahun 2007 ditemukan 32 kasus dan tahun 2008 ditemukan 37 kasus.

Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kelurahan dengan jumlah kasus DBD paling banyak tiap tahunnya adalah Kelurahan X. Melihat jumlah kasus DBD 3 tahun terakhir di Kelurahan X yang selalu meningkat, hal ini disebabkan karena lokasi rumah warga yang dekat pasar, lingkungan sekitar rumah yang dekat dengan kebun, masyarakat masih terlihat membuang sampah sembarangan, peran serta masyarakat dalam pelaksanaan PSN kurang (JUMANTIK tidak berjalan), kurangnya penyuluhan tentang DBD. Sehingga dapat digambarkan bahwa perilaku masyarakat X khususnya kepala keluarga kurang memperhatikan kebersihan lingkungan dan belum melakukan pencegahan serta pemberantasan sarang nyamuk (PSN-DBD) dengan mengendalikan nyamuk vektor Aedes aegypti.

Dari beberapa faktor lingkungan yang ada di kelurahan X peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai beberapa faktor lain yang berhubungan dengan kejadian DBD di kelurahan X yang meliputi keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer, kebiasaan menggantung pakaian, ketersediaan tutup pada kontainer, frekuensi pengurasan kontainer dan pengetahuan responden tentang DBD, sehingga dapat membantu dalam menurunkan jumlah kesakitan dan kematian akibat penyakit DBD serta membantu masyarakat untuk lebih memperhatikan faktor-faktor apa saja yang bisa menjadi penyebab penularan penyakit DBD.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Adakah hubungan antara keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?
2. Adakah hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?
3. Adakah hubungan antara ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?
4. Adakah hubungan antara frekuensi pengurasan kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?
5. Adakah hubungan antara pengetahuan responden tentang DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.
2. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.
3. Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.
4. Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi pengurasan kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.
5. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan responden tentang DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan X Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam pemecahan masalah pada program kesehatan bidang penyakit menular, khususnya masalah pencegah penyakit DBD agar dapat dijadikan sebagai monitoring dan evaluasi program pemberantasan penyakit menular (P2M).
2. Bagi Masyarakat
Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD.
3. Bagi Peneliti lain
Menambah pengetahuan dan pengalaman khusus dalam melakukan penelitian ilmiah terhadap beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kasus DBD.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 05:56:00

TINJAUAN PELAKSANAAN MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

SKRIPSI TINJAUAN PELAKSANAAN MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DI PT. X


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja ("K3 masih Dianggap Remeh," Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan.
Pada tahun 2005, Kantor Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya 2,2 juta orang meninggal karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Angka kematian akibat kerja pun meningkat. Selain itu diperkirakan bahwa setiap tahun terjadi 270 juta kecelakaan akibat kerja yang tidak bersifat fatal (setiap kecelakaan sedikitnya menyebabkan tiga hari absen dari pekerjaan) dan 180 juta orang mengalami penyakit akibat kerja.
Kecelakaan kerja tidak harus dilihat sebagai takdir, karena kecelakaan itu tidaklah terjadi begitu saja terjadi. Kecelakaan pasti ada penyebabnya. Kelalaian perusahaan yang semata-mata memusatkan diri pada keuntungan, dan kegagalan pemerintah meratifikasi konvensi keselamatan internasional atau melakukan pemeriksaan buruh, merupakan dua penyebab besar kematian terhadap pekerja. Negara kaya sering mengekspor pekerjaan berbahaya ke negara miskin dengan upah buruh yang lebih murah dan standar keselamatan pekerja yang lebih rendah juga. Selain itu, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, undang-undang keselamatan kerja yang berlaku tidak secara otomatis meningkatkan kondisi di tempat kerja, disamping hukuman yang ringan bagi yang melanggar peraturan. Padahal meningkatkan standar keselamatan kerja yang lebih baik akan menghasilkan keuangan yang baik.
Pengeluaran biaya akibat kecelakaan dan sakit yang berkaitan dengan kerja merugikan ekonomi dunia lebih dari seribu miliar dollar (850 miliar euro) diseluruh dunia, atau 20 kali jumlah bantuan umum yang diberikan pada dunia berkembang. Di Amerika Serikat saja, kecelakaan kerja merugikan pekerja puluhan miliar dollar karena meningkatnya premi asuransi, kompensasi dan menggaji staf pengganti. (Rudi Suardi, 2005)
Angka keselamatan dan kesehatan kerja (k3) perusahaan di Indonesia secara umum ternyata masih rendah. Berdasarkan data ILO, Indonesia menduduki peringkat ke-26 dari 27 negara.
Sumber : Rudi Suardi, "Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja". Kewajiban untuk menyelenggarakan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui Undang-Undang ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai 190 milyar rupiah di tahun 2009, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan. (www.ftsl.itb.ac.id).
Kinerja penerapan K3 di perusahaan-perusahaan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Padahal kalau kita menyadari secara nyata bahwa volume kecelakaan kerja juga menjadi konstribusi untuk melihat kesiapan daya saing. Jika volume ini masih terus tinggi, Indonesia bisa kesulitan dalam menghadapi pasar global. Jelas ini akan merugikan semua pihak, termasuk perekonomian kita juga.
Disamping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus. (www.ftsl.itb.ac.id).
Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada kegiatan konstruksi. Tenaga kerja disektor jasa konstuksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja diseluruh sektor, dan menyumbang 6.45% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia. Sedangkan menurut Occupational Health and Safety Administration (OSHA), Fatality injury rate untuk industri konstruksi jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan industri-industri lainnya. (www.osha.gov). Sektor jasa konstruksi adalah salah satu yang paling beresiko terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan dan pertambangan.
Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang, 53% diantaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun. Sebagian besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan konstruksi. King and Hudson (1985) menyatakan bahwa pada proyek konstruksi di negara-negara berkembang, terdapat tiga kali lipat tingkat kematian dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Sektor konstruksi merupakan bidang jasa yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional untuk mendukung keberhasilan sektor-sektor lainnya. Disamping itu sektor konstruksi melibatkan jumlah tenaga kerja yang sangat besar dan berpotensi terkena bahaya kecelakaan. Karena itu penanganan keselamatan kerja disektor konstruksi perlu mendapat perhatian khusus. Untuk mengetahui hal ini lebih dalam, kami mencoba mempelajari Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dijalankan oleh sektor konstruksi. Salah satu contoh kegiatan sektor konstruksi adalah di PT. X.
PT. X merupakan salah satu perusahaan kontraktor minyak terbesar di Indonesia yang bergerak dibidang engineering, fabrication, installation, procurement, research, manufacturing, enviromental systems dan project management. Luas total area fabrikasi mencapai 110 hektar dengan jumlah pekerja hingga pertengahan 2008 memiliki lebih kurang 3500 pekerja lokal dan sekitar 200 tenaga asing.
PT. X mempunyai komitment yang kuat dalam memperhatikan kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan karyawan serta melindungi lingkungan dan asset perusahaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan data safety Statistic pada bulan Maret 2008 yaitu Nihil Lost Time Injury (LTI) dengan total man hours 8,300,922 sejak Recordable Injury terakhir pada tanggal 21 Mei 2007.
Melihat karakterisitk pekerjaan yang dimiliki oleh PT. X yang sangat beresiko tinggi, maka penulis ingin melakukan penelitian untuk melihat pelaksanaan manajemen K3 perusahaan, selanjutnya dibandingkan dengan standar Sistem Manajemen K3 Indonesia (Permenaker RI PER.05/MEN/1996).

1.2 Perumusan Masalah
Pelaksanaan K3 disektor konstruksi belum berjalan dengan baik, yang dapat dilihat dari masih tingginya angka kecelakaan. Salah satu penyebabnya adalah belum diimplementasikannya Sistem Manajemen K3 dengan baik dan sesuai dengan standart yang berlaku. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang penerapan K3 untuk mengetahui apakah pelaksanaan K3 disektor konstruksi, khususnya di PT. X telah memenuhi standart K3 yang baku. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Sistem Penerapan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT.X dan membandingkannya dengan standar yang berlaku yaitu Permenaker No. 05 Tahun 1996.

1.3 Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimanakah Gambaran pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. X.
b. Bagaimanakah tingkat kinerja Kesehatan dan Keselamatan Kerja di PT. X dan perbandingannya dengan Standart Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Permenaker No. 05 Tahun 1996.
c. Apakah tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. X dan bagaimanakah upaya PTMI dalam menyiasati tantangan tersebut

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. X.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui bagaimana pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. X.
b. Mengetahui bagaimana tingkat kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. X dan perbandingannya dengan Standart Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Permenaker No. 05 Tahun 1996.
c. Untuk mengertahui tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. X dan bagaimanakah upaya PTMI dalam menyiasati tantangan tersebut

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukan dalam mengembangkan Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. X, sekaligus sebagai bahan pembanding dalam upaya peningkatan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja secara continous improvement.
1.5.2 Manfaat Bagi Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Sebagai sarana untuk membina hubungan dan kerjasama dengan institusi lain dibidang K3, dalam hal ini dengan PT.X.
1.5.3 Manfaat Bagi Penulis
Kajian ini sebagai sumber ilmu dan pengetahuan untuk menambah wawasan dan profesionalisme dalam K3.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:02:00

SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X

(KODE KES-MASY-0034) : SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Tujuan Pembangunan Kesehatan sebagaimana yang tercantum didalam Sistem Ketahanan Nasional (SKN) adalah untuk tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk Indonesia sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya memperluas pelayanan kesehatan pada masyarakat secara menyeluruh, terpadu, merata, dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu daya saing generasi yang mempunyai Sumber Daya Manusia (DepkesRI, 1999).
Salah satu hal yang penting diupayakan dalam peningkatan sumber daya manusia oleh pemerintah adalah memperbaiki gizi anak balita. Pada usia 0 sampai dengan 59 bulan (Balita) atau dengan istilah lain pada usia anak prasekolah, merupakan pola dasar dalam menciptakan tumbuh kembangnya anak. Karena pada masa ini pertumbuhan anak dipengaruhi oleh aspek ketahanan makanan (Food Security) dan aspek lain, adanya keamanan makanan (Food Safety) yang di konsumsi untuk anak (Soetjiningsih, 2003).
Memiliki anak yang sehat, cerdas dengan gizi yang seimbang adalah dambaan semua orangtua. Untuk mewujudkannya tentu orangtua harus selalu memperhatikan, mengawasi dan merawat anak pada umur balita. Proses alamiah dalam pertumbuhan anak tergantung pada perilaku orangtua. Apalagi pada masa usia balita merupakan periode penting dalam perkembangan yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis maupun intelegensianya (Sulistijan, 2001).
Umumnya anak pada usia balita, yang mempengaruhi proses pertumbuhan anak adalah masalah gizinya. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada tahun 2004. Sehingga mengelompokkan berdasarkan prevalensi gizi kurang, kedalam 4 kelompok yaitu rendah (dibawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%) dan sangat tinggi (30%). Dengan menggunakan pengelompokkan gizi kurang berdasarkan WHO, Indonesia tahun 2004 tergolong negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (atau 28,47%) dari 17.983.244 balita di Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung meningkat pada tahun 2005-2006 (Nurasiyah, 2007).
Selanjutnya, data dari Departemen Kesehatan RI menyebutkan, pada tahun 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 % kabupaten dan 56 % kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada tahun 2003 sebanyak 5 juta anak balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 %) termasuk kelompok gizi kurang dan buruk. (www.Depkes.go.id, 2006). Demikian juga data dari laporan Dinas Kesehatan Provinsi X tahun 2007 bahwa terdapat 18 % (7.002) balita di X masih menderita gizi kurang dan buruk, dari jumlah 38.900 balita (Dinkes X, 2007).
Munculnya kasus gizi buruk pada anak-anak balita dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara langsung dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita, anak tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai dan anak menderita penyakit infeksi. Kemiskinan juga merupakan salah satu penyebab munculnya kasus gizi buruk terkait ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga (Depkes RI, 2000).
Masalah gizi buruk bila tidak ditangani secara serius akan mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami lost generation. Dampak lain yang ditimbulkan dari anak penderita gizi buruk adalah kesakitan, kematian, dan penurunan produktivitas yang diperkirakan antara 20-30% (Depkes RI, 2006). Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80% terjadi pada masa balita yakni dalam kandungan sampai usia 2 tahun (www. gizi net).
Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI (2004) yang disalurkan lewat seluruh kabupaten dan kota, telah berupaya menanggulangi masalah gizi buruk dengan melakukan pemanfaatan kembali Posyandu, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memantau tumbuh kembang balita, meningkatkan kemampuan petugas kesehatan, mewujudkan keluarga sadar gizi dan memberikan makanan tambahan, MP ASI dan pemberian kapsul vitamin A, menggalang kerjasama lintas sektoral dan kemitraan serta mengaktifkan kembali Si stem Kewaspadaan Dini Gizi Buruk.
Semua upaya-upaya pemerintah diatas, terkadang dalam melaksanakan programnya dilapangan sering terkendala oleh dana, perubahan perilaku kesehatan masyarakat yang dibatasi oleh faktor ekonomi, pengetahuan, sikap tidak mendukung program kesehatan dan kurangnya sosialisasi program perbaikan gizi. Demikian juga posyandu yang ada di desa-desa banyak tidak berfungsi, partisipasi masyarakat yang kurang pada dibidang kesehatan apalagi masalah gizi anak balita, sehingga semakin sulit berjalannya program penyuluhan kesehatan dan pemberian makanan tambahan (Www. Gizi. net).
Demikian juga data yang dilaporkan oleh Lembaga PBB Unicef tahun 2008, yang dijaring dari berbagai Kabupaten di Provinsi X. Ratusan Anak Balita ditemukan umumnya gizi kurang, bahkan lebih disayangkan lagi anak-anak tersebut ada yang taraf gizinya menderita gizi buruk. Ardi (2008) "Communication officer UNICEF" Kabupaten X, mengungkapkan bahwa hasil jaringan UNICEF dari ribuan posyandu di Provinsi X, diantaranya ada 3 kabupaten di X yang terdapat balita gizi kurang bahkan ada yang gizi buruk.
Unicef juga melakukan penanganan bagi para balita yang menderita gizi buruk di Provinsi X dengan cara anak balita yang mempunyai status gizi buruk diberikan terapi dengan pemberian Plumpy Nut, dan untuk mengetahui perkembangan selanjutnya dilakukan pengukuran perkembangan status gizi anak pada setiap bulannya di puskesmas terhadap semua balita yang terjaring.
Hasil survei awal (2009) berdasarkan laporan Unicef dan laporan tahunan Dinkes X bahwa Kabupaten X pada tahun 2007 dan 2008 merupakan Kabupaten paling banyak anak yang menderita gizi buruk dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi X. Padahal kabupaten ini mempunyai sumber daya alam laut cukup luas, panjang pantainya 60 km dan lahan pertanian seluas 14.000 hektar serta perkebunan sawit seluas 15.000 hektar, sementara jumlah penduduknya baru 120.000 orang pada tahun 2008 (Disbun X, 2008).
Pemerintah Kabupaten X melalui Dinas Kesehatan mengumpulkan data anak penderita gizi buruk dari 10 puskesmas, bahwa terdapat balita yang gizi buruk laki-laki berjumlah 130 orang, gizi kurang balita laki-laki 353 orang, sedangkan balita yang gizi buruk perempuan berjumlah 147 orang, gizi kurang balita perempuan sebanyak 343 orang. Sehingga balita yang mengalami gizi buruk di X berjumlah 277 orang yang tersebar di 8 kecamatan dalam Kabupaten X (Dinkes X, 2008).
Untuk mengatasi gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten X, upaya yang sudah pernah dilakukan pemerintah daerah, antara lain membuat tim Operasi Sadar Gizi (OSG) yang di ketuai oleh Ibu PKK, melaksanakan sistim kewaspadaan dini yang intensif dilakukan oleh Dinas Kesehatan, memberikan makanan tambahan balita selama enam bulan berturut-turut MP ASI berupa susu, kacang hijau, memberikan penyuluhan gizi dan kesehatan melalui 132 posyandu. Disamping itu, Ibu PKK dan Dinkes X terus mengamati perkembangan anak-anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk dari minggu ke minggu, sehingga diharapkan anak-anak balita mengalami pemulihan pertumbuhan fisik dan berat badannya (Dinkes X,2007).
Selanjutnya laporan Dinas Kesehatan X (2008), umumnya anak-anak mengalami gizi buruk di X disebabkan oleh faktor keterbatasan pengetahuan orangtua, faktor kemampuan ekonomi rumah tangga yang tidak memadai dan ada faktor penyakit infeksi serta faktor tradisi/kebiasaan orangtua di daerah pedesaan X, bahwa adanya budaya karena terdesak oleh ketidak mampuan untuk membeli ikan, membatasi anak-anak untuk mengkonsumsi ikan berlebihan diyakini dapat mengakibatkan perut buncit dan cacingan, padahal ikan mempunyai protein yang tinggi. Namun diantara 4 faktor tersebut yang dominan adalah faktor perilaku yaitu keterbatasan pengetahuan, sikap dan tindakan orangtua terhadap anak-anak balita penderita gizi buruk yang belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dari uraian diatas, ternyata di Kabupaten X masih banyak terdapat anak balita penderita gizi buruk, walaupun berbagai upaya sudah dilakukan, dan ini merupakan tantangan dalam bidang kesehatan, sehingga tertarik untuk meneliti "Gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimanakah gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui gambaran sikap orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di kabupaten X.
3. Untuk mengetahui gambaran tindakan orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat:
1. Sebagai masukan bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam membuat program kebijakan kesehatan untuk mengatasi anak balita penderita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi mengenai gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.
3. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang melanjutkan penelitian ini ataupun melakukan penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:42:00

SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X

(KODE KES-MASY-0033) : SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya hams melibatkan berbagai sektor yang terkait. Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang masih didominasi oleh masalah kurang energi protein (KEP), masalah anemia besi, masalah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), masalah kurang vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar yang perlu ditanggulangi. Disamping masalah tersebut, diduga ada masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zink yang sampai saat ini belum terungkapkan, karena adanya keterbatasan iptek gizi. Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN lainnya (Supariasa,dkk 2002).
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmic kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan kurang energi dan marasmic kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein.
KEP umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang, E, 2000).
Pudjiadi (1990) juga menyatakan bahwa penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur lima tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan mortalitas yang tinggi terdapat pada penderita KEP berat, hal tersebut dapat terjadi karena pada umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Pada penderita KEP berat, tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan zat gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatis angularis, dan Iain-lain.
Anak yang mengalami gizi buruk disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut penyebab langsung yaitu tidak mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita dan penyakit infeksi dan penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan lingkungan (Dinkes Propsu, 2006).
Berdasarkan data Depkes RI (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 5 juta anak (27,5%) kurang gizi. 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok adalah: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%). Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari (Arifin, 2007).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi X (2009), ditemukan gizi buruk sebanyak 447 balita (0,6%), sementara balita yang gizi kurang sebanyak 6.545 balita (8,9%). Kasus gizi buruk tertinggi di kota X terdapat di Kecamatan X yang mencapai 55 balita dan gizi kurang sebanyak 174 balita. Sementara di daerah X Timur ada 7 balita gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 16 balita.
Anak balita gizi buruk umumnya akan di rawat di rumah sakit, karena di rumah sakit terdapat upaya untuk mengobati penyakit penderita (kuratif), disamping upaya-upaya lain seperti promotif, preventif dan rehabilitatif. Dalam melakukan perawatan anak balita gizi buruk, RS X merupakan rumah sakit rujuk tertinggi di wilayah X, baik bagi pengunjung rawat inap maupun rawat jalan. Berdasarkan data RS X tahun 2009, ditemukan sebanyak 34 anak balita gizi buruk yang di rawat inap dan 16 balita gizi buruk rawat jalan pada bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2009.
Anak balita gizi buruk yang menjalani perawatan dari pelayanan kesehatan rumah sakit, status gizi anak balita gizi buruk tersebut setidaknya akan mengalami peningkatan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan dari gizi buruk menjadi gizi kurang atau bahkan bisa berubah menjadi normal. Namun demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya penumnan status gizi yang lebih parah lagi dalam kumn waktu beberapa minggu atau bulan karena pada kumn waktu tersebut adanya perubahan status gizi akan dapat dilihat kembali. Perubahan status gizi tersebut disebabkan oleh faktor tertentu seperti komplikasi penyakit dan pemberian makanan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: bagaimana perubahan berat badan anak balita gizi buruk tahun 2009 yang dirawat di RS X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan berat badan anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui status gizi anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
2. Mengetahui komplikasi penyakit anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
3. Mengetahui jumlah pemberian energi dan protein anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
4. Mengetahui terapi diet dan penyakit anak balita gizi buruk.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi kepada pihak mmah sakit tentang perubahan berat badan anak balita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi kepada pihak rumah sakit mengenai status gizi anak balita gizi buruk pada awal dan akhir rawat inap.
3. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi semua pihak yang terkait dalam meningkatkan pelayanan terhadap anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 15:41:00

SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

(KODE KES-MASY-0032) : SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Penyakit diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 atau lebih per hari) dan berlangsung kurang dari 14 hari yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari penderita. Penyakit diare merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak balita dengan disertai muntah dan mencret, penyakit diare apabila tidak segera diberi pertolongan pada anak dapat mengakibatkan dehidrasi (Depkes RI, 2002).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare (www.esp.or.id).
Berdasarkan data profil Kota X Tahun 2007, jumlah balita yang terkena diare sebanyak 26.888 jiwa sedangkan untuk wilayah Kecamatan X ada 1.434 balita yang terkena diare. Jumlah penderita balita diare di Kecamatan X termasuk urutan ketiga tinggi dari 12 Kecamatan yang ada di Kota X. Berdasarkan data profil Puskesmas X Tahun 2006-2008 bahwa jumlah penderita balita diare meningkat, yaitu sebanyak 1.547 menjadi 2.980 kasus.
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempat-tempat yang lembab dan kotor, seperti sampah. Selain hinggap, lalat juga menghisap bahan-bahan kotor dan memuntahkan kembali dari mulutnya ketika hinggap di tempat berbeda. Jika makanan yang dihinggapi lalat akan tercemar oleh mikroorganisme baik bakteri, protozoa, telur/larva cacing atau bahkan virus yang dibawa dan dikeluarkan dari mulut lalat-lalat dan bila dimakan oleh manusia, maka dapat menyebabkan penyakit diare (Andriani, 2007).
Pada pola hidup lalat, tempat yang disenangi lalat adalah tempat yang basah, benda-benda organik, tinja, kotoran binatang. Selain itu, tempat yang disenangi oleh lalat adalah timbunan sampah yang sebagai tempat untuk bersarang dan berkembangbiak.
Sampah merupakan suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia atau benda-benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang (Notoatmodjo, 2007). Volume timbulan sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat meningkat terus sehingga terjadi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Timbulan sampah dapat memburuk bila pengelolaan di masing-masing daerah masih kurang efektif, efisien, dan berwawasan lingkungan. Keberadaan sampah dapat juga mengganggu kesehatan masyarakat karena sampah merupakan salah satu sumber penularan penyakit. Sampah juga menjadi tempat yang ideal untuk sarang dan tempat berkembangbiaknya vektor penyakit.
Kota X sebagai salah satu kota yang berkembang dengan pesat juga tak luput dari permasalahan penanganan sampah. Timbulan sampah yang terdapat di Kota X merupakan sampah domestik yaitu sampah yang berasal dari pemukiman dengan jumlah 3.408 ton/hari, sampah pasar/pertokoan 438 m3/hari, dan jumlah sampah lain-lain 719 m3.
Penanganan akhir dari sampah Kota X yaitu dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah X yang berdekatan dengan pemukiman penduduk Kelurahan Sumur Batu. TPA X mempunyai luas area 12 ha dengan kapasitas 3408 m3/hari.
Sistem penanganan sampah yang digunakan pada TPA X adalah sistem control landfill yang merupakan pengembangan dari pengeolahan open land dumping. Sistem control landfill sampah memiliki kelemahan, salah satunya menjadi tempat berkembangbiaknya lalat.
Menurut hasil pencatatan pengukuran tingkat kepadatan lalat yang dilakukan oleh Sie Penyehatan Lingkungan Dinkes X tahun 2004 di lingkungan TPA X dan sekitarnya adalah sangat padat.
Pengukuran rata-rata yang dilakukan seperti pada jarak 100 meter dari kantor masuk TPA berjumlah 22,6 ekor/grill, pemukiman RT 04/04 kelurahan Sumur Batu berjumlah 18,6 ekor/grill, dan pemukiman pemulung berjumlah 31,4 ekor/grill.
Jarak lokasi penanganan sampah akhir dengan pemukiman rumah penduduk ± 200 meter sedangkan jarak terbang lalat efektif adalah 450-900 meter sehingga mempermudahkan lalat untuk hinggap dimana saja, terutama di pemukiman penduduk.

1.2 Rumusan Masalah
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kota X terletak berdekatan dengan rumah penduduk di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X. Dari observasi pendahuluan di rumah penduduk di sekitar lokasi TPA terlihat masih banyak lalat dan beradasarkan data Dinkes Kota X kepadatan lalat pada sekitar lokasi TPA termasuk kategori padat. Disisi lain, Kecamatan X merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kota X dimana kasus diare menjadi masalah karena jumlah kasusnya yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 2.890 kasus

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya angka gambaran kepadatan lalat di rumah penduduk balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
2. Diketahuinya gambaran kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
3. Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
4. Diketahuinya faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA, meliputi: karakteristik balita (status gizi, imunisasi campak, dan pemberian ASI eksklusif), perilaku ibu balita (mencuci tangan dan menutup makanan), dan sumber air (air bersih dan air minum)

1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan penyusunan program lintas sektoral dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan TPA X.
2. Berguna dalam perencanaan dan penyusunan program pemberantasan penyakit diare dan antisipasi terhadap kejadian penyakit diare pada balita sekitar TPA X.
3. Sebagai wahana dalam pengembangan intelektual serta menambah pengalaman penulis

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TPA X, Kecamatan X Kota X. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni tahun XXXX dengan populasi penelitian adalah balita yang tinggal di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X Kota X. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional, dimana pengukuran tingkat kepadatan lalat dan penyakit diare diukur secara bersamaan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan wawancara kepada responden dan pengukuran tingkat kepadatan lalat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:56:00

SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0031) : SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dalam GBHN 1993 disebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dalam rangka memperbaiki kualitas hidupnya. Pada Repelita VI tercantum bahwa tujuan pokok dari pembangunan kesehatan antara lain pengurangan angka kesakitan, kecacatan dan kematian serta peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terjangkau dan dapat diterima masyarakat. Salah satu target yang ingin dicapai dengan pembangunan kesehatan adalah penurunan angka kesakitan dan kematian pada kelompok rentan, salah satunya pada kelompok anak-anak di bawah lima tahun. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur adalah 280/1000 penduduk dan pada golongan balita adalah 1,5 kali pertahun (Depkes RI. 2000).
Dengan adanya rumusan tersebut, maka lingkungan yang diharapkan pada masa depan adalah lingkungan yang konduksif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa dan agama (Depkes RI, 1999).
Lingkungan yang tidak sehat akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Lingkungan juga sangat berperan terhadap tersedianya air bersih yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Air bersih yang dipergunakan oleh masyarakat harus memenuhi kualitas air yang diatur dalam Permenkes No. 416 Tahun1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan Kepmenkes No. 907 Tahun 2002 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2001, diare menduduki peringkat pertama penyebab kematian anak dengan persentase sebesar 35%. Di Indonesia sendiri dapat ditemukan sekitar 60 juta penderita diare setiap tahunnya dimana 70-80% dari penderitanya adalah anak dibawah lima tahun dengan masih tingginya angka kesakitan yang dilaporkan, yaitu 23,35 per 1000 penduduk pada tahun 1998 meningkat menjadi 26,13 per 1000 penduduk pada tahun 1999. (Profil Kesehatan Indonesia, 2004).
Secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita yaitu 55%. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur pada tahun 2000 adalah 301/1000 atau 3,01%, cenderung meningkat dibanding angka kesakitan diare pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alidan (2002) yang meunjukan bahwa cakupan air bersih dan insiden diare mempunyai hubungan yang sedang r = 0,365 dan berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pValue < α (0,048) dan berdasarkan hasil penelitian Sutomo (1986) yang mengemukakan bahwa penggunaan air tidak tercemar dan penggunaan fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat dapat mengurangi angka kejadian diare dan kematian diare.
Berdasarakan data Kecamatan X pada tahun XXXX-XXXX mengenai cakupan program kesehatan lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas X sebagai berikut :

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas X kasus diare tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 2.629 kasus dengan jumlah prevalensi 5,12% dan pada tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 3.265 kasus dengan jumlah prevalensi sebesar 5,36%.

1.2 Perumusan Masalah
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja (jamban), apabila kedua faktor tersebut tidak sehat atau tidak memenuhi syarat kesehatan, maka dapat menimbulkan kejadian diare. Puskesmas X sebagai institusi yang berperan penting dalam deteksi dini kejadian penyakit dan pencegahan kejadian penyakit diwilayah kerjanya, telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare sesuai peraturan atau sesuai dengan syarat kesehatan, namun kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur sebesar 5,12% pada tahun XXXX dan 5,36% di Puskesmas X tahun XXXX. Karena itu diperlukan suatu identifikasi mengenai hubungan jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan jamban dengan kejadian diare agar upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare dapat berlangsung dengan baik.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
2. Diketahuinya jenis sumber air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
3. Diketahuinya kondisi fisik air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
4. Diketahuinya karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
5. Diketahuinya perilaku responden tentang kebiasaan mencuci tangan (sebelum dan sesudah makan, setelah BAB) menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
6. Diketahuinya perilaku responden tentang mencuci peralatan makan menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
7. Diketahuinya jenis jamban di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
8. Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
9. Diketahuinya hubungan antara kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
10. Diketahuinya hubungan antara karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
11. Diketahuinya hubungan antara perilaku responden tentang mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dan setelah BAB dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
12. Diketahuinya hubungan antara jenis jamban dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, terutama untuk :
1. Didapatnya informasi tentang jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan kejadian diare sebagai bahan evaluasi bagi Puskesmas dan sebagai bahan intervensi dalam pencegahan diare dan sebagai dasar pengambilan kebijakan pada tahun yang akan datang.
2. Sumber literatur bagi mahasiswa yang membutuhkan dan dapat menambah wacana penelitian dalam bidang kesehatan masyarakat dan tentang jenis dan kondisi air bersih dan kejadian diare.
3. Peneliti dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang di dapat selama pendidikan, menambah pengalaman dalam bidang penelitian dan mengetahui kondisi sanitasi dasar yang merupakan salah satu faktor untuk mencapai derajat kesehatan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah analisa data primer dan analisa data sekunder pada jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih serta kejadian diare. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder diperoleh dari data yang ada pada laporan Program Kesehatan Lingkungan dan Laporan Tahunan Diare Puskesmas X dan kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember XXXX dengan desain penelitian Cross Sectional dan analisa yang digunakan adalah analisa Univariat dan analisa Bivariat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:55:00

SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

(KODE KES-MASY-0030) : SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sebelas tahun terakhir merupakan tahun-tahun terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0,74°C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan (IPCC, 2007).
Pada dasarnya iklim bumi senantiasa mengalami perubahan. Hanya saja perubahan iklim di masa lampau berlangsung secara alamiah, kini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia, sehingga sifat kejadiannya pun menjadi lebih cepat dan drastis. Hal itu kemudian mendorong timbulnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan pada proses alam (Depkes, XXXX).
Masalah yang kini dihadapi manusia adalah sejak dimulainya revolusi industri 250 tahun yang lalu, emisi gas rumah kaca (GRK) semakin meningkat dan menebalkan selubung GRK di atmosfer dengan laju peningkatan yang signifikan. Hal tersebut telah mengakibatkan adanya perubahan paling besar pada komposisi atmosfer selama 650.000 tahun. Iklim global akan terus mengalami pemanasan dengan laju yang cepat dalam dekade-dekade yang akan datang kecuali jika ada usaha untuk mengurangi emisi GRK ke atmosfer (IPCC, 2007).
Efek rumah kaca merupakan fenomena dimana atmosfir bumi berfungsi seperti atap kaca pada sebuah rumah kaca. Sinar matahari dapat tembus masuk, namun panasnya tidak dapat keluar dari rumah kaca tersebut. Akibatnya, lama-kelamaan temperatur bumi terus meningkat dan terjadilah pemanasan global. Seperti es yang meleleh karena panas, salju di kutub pun mencair akibat memanasnya suhu bumi dan menimbulkan perubahan-perubahan di alam. Perubahan inilah yang kemudian memberikan dampak yang nyata pada kehidupan kita (Depkes, XXXX).
Dengan meningkatnya emisi dan berkurangnya penyerapan, tingkat gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi lebih tinggi daripada yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah. Badan dunia yang bertugas memonitor isu ini Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat (IPCC dalam UNDP, 2007).
Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi dan akan meningkatkan risiko baik bagi yang muda maupun para lansia karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya (Sintorini, 2007). Perubahan iklim memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru. Hal itu sudah terjadi di tahun El Niño 1997 ketika nyamuk berpindah ke dataran tinggi di Papua. Suhu lebih tinggi juga menyebabkan beberapa virus bermutasi, yang tampaknya sudah terjadi pada virus penyebab demam berdarah dengue, yang membuat penyakit ini makin sulit diatasi. Tingkat penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi. Kasus demam berdarah dengue di Indonesia juga sudah ditemukan meningkat secara tajam di tahun-tahun La Niña (UNDP, 2007).
Menurut ramalan cuaca dari Pusat Ramalan Iklim (CPC), Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA), curah hujan di Indonesia akan berada di atas rata-rata selama Januari-Maret 2009, sebagai dampak dari fenomena La Nina, yang kini sedang berkembang di Belahan Bumi Utara Khatulistiwa. La Nina merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan suhu muka laut di kawasan Timur ekuator di Lautan Pasifik. Berdasarkan observasi dan kecenderungan-kecenderungan akhir-akhir ini, kondisi La Nina tampaknya akan terus berkembang di musim Semi 2009 di Belahan Bumi Utara. Salah satu dampak dari La Nina adalah curah hujan di Indonesia dia atas rata-rata.
Sejak berjangkit di Indonesia pada tahun 1968 penyakit DBD cenderung menyebar luas dan meningkat jumlah penderitanya. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan kepadatan penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi dan tersebar luasnya virus dengue serta nyamuk penularnya di berbagai wilayah (Ditjen P2M&PL, XXXX).
Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (vektor primer), Aedes albopictus (vektor sekunder) dan Aedes scutellaris (Indonesia Timur). Data WHO (2000) menunjukkan diperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia berisiko terinfeksi virus dengue.
Di Asia Tenggara, penyakit DBD telah dikenal selama 40 tahun. Kasus terbanyak dilaporkan dari Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Ketiga negara tersebut telah memiliki sistem surveilans yang komprehensif. Setiap dekade, jumlah kasus DBD di Asia Tenggara meningkat dari 50.000 kasus per tahun (1970), 165.000 kasus per tahun (1980), dan 200.000 kasus per tahun (1990) (CDC).
Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 1996 menyebutkan insiden DBD di Indonesia dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2070. Tanpa pengendalian yang efektif Demam Berdarah akan mengganggu perekonomian negara dan bangsa. Kunci pengendalian demam berdarah adalah pengendalian DBD berbasis wilayah, yakni pengendalian kasus dan berbagai faktor risiko secara simultan (Achmadi, 2007).
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam timbul dan penyebaran penyakit DBD, baik lingkungan biologis maupun fisik. Pengaruh iklim misalnya berupa pengaruh hujan, yang dapat menyebabkan kelembaban naik dan menambah jumlah tempat perindukan (Kusumawati, 2007). Menurut Soegijanto S. (2003), faktor lingkungan fisik yang berperan terhadap timbulnya penyakit DBD meliputi kelembaban nisbi, cuaca, kepadatan larva dan nyamuk dewasa, lingkungan di dalam rumah, lingkungan di luar rumah dan ketinggian tempat tinggal. Unsur-unsur tersebut saling berperan dan terkait pada kejadian infeksi virus dengue.
Variabel iklim antara lain fenomena El Niño, kenaikan permukaan air laut dan perubahan vegetasi setiap musim berpengaruh pada berkembangbiaknya populasi nyamuk Aedes aegypti ataupun Aedes albopictus.. Kenaikan permukaan air laut dan perubahan vegetasi setiap musim sangat berpengaruh pada penyerapan dan kelembaban tanah. Kenaikan permukaan air laut di daerah Pasifik sangat terkait dengan perkembangbiakan nyamuk penyebab Demam Berdarah. Perubahan iklim menjadi penyebab penting terjadinya penyakit. (Fuller, 2009).
Lebih jauh lagi, iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap penyakit yang berbeda dengan cara yang berbeda. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria dan demam kuning berhubungan dengan kondisi cuaca yang hangat (Sintorini, 2007). Banyak yang menduga bahwa KLB DBD yang terjadi setiap tahun hampir di seluruh Indonesia terkait erat dengan pola cuaca di Asia Tenggara. Tingkat penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi (Burke dalam Sintorini, 2007).
Daerah Khusus Ibukota Jakarta menempati peringkat pertama sebagai daerah yang rentan perubahan iklim se-Asia Tenggara berdasarkan survei Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA). Wilayah Jakarta sangat rentan terhadap bencana yang terkait perubahan iklim, salah satunya akibat dari tingginya angka kepadatan penduduk. Hampir semua wilayah DKI masuk wilayah paling rentan dengan perubahan iklim. Dari 530 wilayah kota di tujuh negara yang dikaji seperti Indonesia, Thailand, Kamboja, Laos PDR, Vienam, Malaysia dan Philipina, lima wilayah kota administrasi di DKI Jakarta masuk dalam 10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim. Dari 10 besar tersebut, tiga wilayah kota administrasi di DKI Jakarta menempati tiga urutan tertinggi, yaitu Jakarta Pusat menempati urutan pertama, posisi kedua Jakarta Utara, posisi ketiga Jakarta Barat. Sedangkan X masuk dalam urutan kelima, dan Jakarta Selatan masuk dalam urutan kedelapan. Sementara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tidak masuk dalam wilayah rentan perubahan iklim (www.metro.vivanews.com).
Dalam 25 tahun terakhir ada beberapa unsur mengalami perubahan diantaranya suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0,17°C suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7°C-0,9°C dibandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), kelembaban juga lebih kecil 3%-7% dari pinggiran (rural), curah hujan akibat aliran konvektif sering terjadi di kota Jakarta sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural) yaitu sebesar 1-3 hari, serta arah dan kecepatan angin juga mengalami perubahan. Di Jakarta angin dengan laju angin rata-rata 4 knots sering bertiup, sedangkan kecepatan angin lebih besar dari 6 knots jarang terjadi. Hal ini diakibatkan adanya gedung-gedung tinggi yang menghambat laju kecepatan angin (BMG).
Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota, sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakit-penyakit yang menular lewat air seperti diare dan kolera. Suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru, menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah dengue (UNDP, 2007).
Peningkatan hujan dapat meningkatkan keberadaan vektor penyakit dengan memperluas ukuran habitat larva yang ada dan membuat tempat pemberantasan nyamuk baru. Di tempat dengan iklim tropis basah, musim kemarau dapat menyebabkan arus sungai melambat dan menjadikannya kolam stagnan yang menjadi habitat ideal bagi vektor untuk tempat pemberantasan nyamuk. Sedangkan kelembaban dapat mempengaruhi transmisi vektor serangga. Nyamuk akan lebih mudah mengalami dehidrasi dan pertahanan hidup menurun pada kondisi kering (WHO, 2003).
Selain itu, DBD merupakan penyakit musiman yang biasanya berhubungan dengan cuaca lebih hangat dan lebih lembab. Suhu ekstrim mengancam ketahanan hidup virus penyebab penyakit, tetapi perubahan pada suhu memungkinkan efek bervariasi. Suhu berhubungan dengan perubahan dinamika siklus hidup organisme vektor dan virus yang kemudian mampu meningkatkan transmisi potensial pada kejadian penyakit demam berdarah dengue. Jika suhu rendah dengan adanya sedikit peningkatan suhu akan meningkatkan perkembangan, inkubasi dan replikasi virus. Selain itu, suhu dapat memodifikasi pertumbuhan vektor pembawa penyakit dengan mengubah tingkat gigitan mereka. Sama seperti mempengaruhi dinamika populasi vektor dan mengubah tingkat kontak dengan manusia. Pergantian suhu dapat mengubah musim transmisi. Vektor pembawa penyakit bisa beradaptasi pada perubahan suhu dengan mengubah distribusi geografis (WHO, 2003).
Pada musim pancaroba, kasus DBD sangat meningkat, hal ini disebabkan oleh kelembapan udara yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dalam menggigit. Suhu udara yang lebih tinggi kemungkinan memperpendek masa inkubasi ekstrinsik, yang berarti meningkatkan peranannya dalam penularan virus dengue. Di seluruh dunia diasumsikan setiap tahunnya terdapat 50 sampai 100 juta penderita demam dengue (DD) dan 250 hingga 500.000 penderita DBD. Di samping itu, DBD merupakan penyebab utama perawatan dan kematian anak di Asia (www.menkokesra.go.id).
Demam berdarah dengue sudah empat puluh tahun ada di Indonesia, sejak tahun 1968 dan sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia karena terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah maupun wilayahnya. Letak geografis dan iklim tropis di Indonesia sangat mendukung semakin berkembangnya penyakit ini. Penyakit DBD telah menjadi penyakit endemik di kota-kota besar di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh Indonesia. Hingga saat ini jumlah kasus DBD dan daerah terjangkit terus meningkat. Setiap tahun terjadi KLB DBD dibeberapa provinsi.
Wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) hingga saat ini masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat DKI Jakarta. X masih tercatat sebagai wilayah yang masih berada di "zona merah", dengan jumlah pasien tertinggi. Pada tahun XXXX, di X tercatat 6.869 kasus, merupakan yang tertinggi di antara lima wilayah DKI yang lain. Demikian pula pada tahun 2005, kasus DBD di seluruh wilayah DKI Jakarta pada tahun XXXX lebih tinggi dari 2005, tetapi jumlah kasus tertinggi tetap terjadi di X, yaitu 6.732 kasus. Begitu juga pada tahun 2006-XXXX, jumlah kasus DBD di X terus meningkat dengan angka incidence rate (IR) 363,02 per 100.000 (tahun 2006), 445,13 (2007) dan 420,53 per 100.000 (XXXX). Pada bulan Februari 2009, X menempati urutan kedua dengan 14 kelurahan zona merah, yaitu, Jatinegara, Penggilingan, Pulo Gebang, Ciracas, Duren Sawit, Klender, Pondok Bambu, Pondok Kelapa, Bidara Cina, Rawa Bunga, Cawang, Makasar, Pekayon, dan Kayu Putih (Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X, 2009).

1.2 Rumusan Masalah
Dalam 25 tahun terakhir suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0,17°C, suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7°C-0,9°C dibandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), kelembaban juga lebih kecil 3%-7% dari pinggiran (rural) dan curah hujan juga sering terjadi di kota Jakarta, sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural). Begitu juga dengan rata-rata suhu udara di Kota Administrasi X mengalami peningkatan, 27,4°C (XXXX) menjadi 27,5°C (XXXX), sedangkan rta-rata kelembaban mengalami penurunan 78% (XXXX) menjadi 74,2% (XXXX) dan rata-rata curah hujan terus mengalami fluktuasi pada setiap tahunnya (BMKG, 2005). Angka kejadian kasus DBD di X, juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006-XXXX, jumlah kasus DBD di X terus meningkat dengan angka incidence rate (IR) 363,02 per 100.000 (tahun 2006), 445,13 per 100.000 (2007) dan 420,53 per 100.000 (XXXX). Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan perubahan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) dapat meningkatkan risiko kejadian DBD di X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah "Apakah ada hubungan antara kejadian demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara)".

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.
2. Diperolehnya distribusi kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.
3. Diperolehnya hubungan antara kejadian kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Penulis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan serta pengetahuan tentang hubungan kejadian kasus demam berdarah dengue dengan faktor iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara), serta dapat menyajikan suatu studi di bidang kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan lingkungan dengan menggunakan kaidah ilmiah sebagai latihan untuk menerapkan disiplin ilmu yang sudah dipelajari dalam bentuk tulisan ilmiah.
1.5.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini menjadi bahan tambahan ilmu untuk pengembangan kompetensi mahasiswa, khususnya mahasiswa kesehatan lingkungan. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan dan dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pemberantasan dan pencegahan penyakit demam berdarah dengue.
1.5.3 Bagi Pemerintah Kota Administrasi X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kejadian penyakit demam berdarah dengue dan faktor-faktor iklim yang mempengaruhinya, sehingga dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembuatan program-program pencegahan dan pemberantasan DBD yang sesuai dengan keadaan lingkungan pada tahun-tahun yang akan datang.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan curah hujan, kelembaban dan suhu udara dengan kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Administrasi X pada tahun XXXX-XXXX. Desain penelitian ini merupakan studi ekologi menurut waktu. Unit analisis penelitian ini adalah semua penderita demam berdarah dengue dan parameter kualitas udara ambien (curah hujan, kelembaban dan suhu udara). Data yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada data sekunder yaitu data angka tersangka kasus demam berdarah dengue tahun XXXX-XXXX yang berasal dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X dan data iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) tahun XXXX-XXXX yang berasal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Meteorologi X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:54:00

SKRIPSI HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN LANSIA BINAAN PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0029) : SKRIPSI HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN LANSIA BINAAN PUSKESMAS X



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pada dekade belakangan ini populasi lanjut usia meningkat di negara-negara sedang berkembang, yang awalnya hanya terjadi di negara maju. Demikian halnya di Indonesia populasi lanjut usia juga mengalami peningkatan (Tanaya, 1997).
Di negara-negara yang sudah maju, jumlah lansia relatif lebih besar dibanding dengan negara-negara berkembang, karena tingkat perekonomian yang lebih baik dan fasilitas pelayanan kesehatan sudah memadai (wordpress.com, XXXX). Salah satu ciri kependudukan abad ke-21 antara lain adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk lanjut usia yang sangat cepat. Pada tahun 2000 penduduk lanjut usia diseluruh dunia diperkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8 persen. Jumlah ini akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2025 yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau sekitar 9,7 persen dari total seluruh penduduk dunia (Wirakusumah, 2000).
Berdasarkan laporan data demografi penduduk Intemasional yang dikeluarkan oleh Bureau af the Census USA (1993, dikutip oleh Darmojo, 1999) bahwa di Indonesia pada kurun waktu tahun 1990-2025 akan terjadi kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414 %, suatu angka kenaikan tertinggi di seluruh dunia. Adanya peningkatan jumlah lansia, masalah kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi semakin kompleks, terutama yang berkaitan dengan gejala penuaan (Amiruddin dalam unair.ac.id, 2003).
Sedangkan data dari Menkokesra.go.Id tahun 1998 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Lansia di Indonesia pada tahun 1980 hanya 7,9 juta orang (5,45%) dengan usia harapan hidup 52,2 tahun. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lansia sekitar 11,3 juta (6,29%) dengan usia harapan hidup 59,8 tahun. Sedangkan pada tahun 2000, jumlahnya meningkat menjadi 7,18% (14,4 juta orang) dengan usia harapan hidup 64,5 tahun. Pada tahun 2006 angkanya meningkat hingga lebih dua kali lipat menjadi sebesar kurang lebih 19 juta (8,9%) dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun.
Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging struktured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Provinsi yang mempunyai jumlah penduduk Lansianya sebanyak 7% adalah di pulau Jawa dan Bali. Peningkatan jumlah penduduk Lansia ini antara lain disebabkan antara lain karena 1) tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, 2) kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, dan 3) tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat (Menkokesra.go.id, 1998).
Jumlah lansia terbesar di Indonesia adalah Propinsi Jawa Timur dengan 3.740.000 penduduk, Propinsi Jawa Barat berjumlah 2.850.000 penduduk dan Propinsi Sulawesi Selatan berjumlah 771.500 penduduk. (BPS 1995-2005 dalam Anonim, 2000). Sedangkan di Kota X jumlah Lansia pada tahun 2007 adalah 194.452 jiwa.
Angka mortalitas (kematian) penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan gambaran mengenai derajat kesehatan penduduk secara umum. Pada tahun 1999 penduduk Kota X yang mati berjumlah 7.266 jiwa, terdiri atas wanita sebesar 562 jiwa dan laki-laki sebesar 704 jiwa. (Status Lingkungan Hidup (SoE) Kota X, Jawa Barat).
Sedangkan menurut data status kesehatan yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota X menggambarkan bahwa dari seluruh puskesmas yang ada di kota X, yaitu sebanyak 31 buah puskesmas, yang status kesehatan pada lansia nya paling rendah pada periode bulan Agustus-Desember 2007 adalah pada puskesmas X. (Tabel 1 terlampir)
Masalah kesehatan lansia sangat bervariasi, selain erat kaitannya dengan degeneratif juga secara progresif tubuh akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, disamping itu juga sesuai dengan bertambahnya usia muncul masalah-masalah psikologis yang menuntut adanya perubahan secara terus menerus. Di dalam suatu keluarga, lansia merupakan anggota keluarga yang rawan dipandang dari sudut kesehatan karena kepekaan dan kerentanannya yang tinggi terhadap gangguan kesehatan dan ancaman kematian (Dinkes Prop. Jabar, 2000).
Sejalan dengan bertambahnya umur mereka, mereka sudah tidak tidak produktif lagi, kemampuan fisik maupun mental mulai menurun, tidak mampu lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat, memasuki masa pensiun, ditinggal pasangan hidup, stress menghadapi kematian, munculnya berbagai macam penyakit, dan lain-lain. Karena sel-sel mengalami degeneratif maka fungsi dari sistem organ juga mengalami penurunan. Kulit menjadi keriput, rambut putih dan menipis, gigi berlubang dan tanggal, fungsi penglihatan, pendengaran, pengecapan atau pencernaan mulai menurun, osteoporosis, gangguan sistem kardiovaskuler dan lain-lain (wordpress.com, XXXX).
Menurut Bustan (1997), Penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelompok lansia adalah:
- Gangguan pembuluh darah (dari hipertensi sampai stroke)
- Gangguan metabolik (Diabetes Mellitus)
- Gangguan persendian (arthritis, encok dan terjatuh)
- Gangguan psikososial (kurang penyesuaian diri dan merasa tidak berfungsi lagi)
Dari hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia (Lansia) yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita Lansia adalah penyakit sendi (52,3%), hipertensi (38,8%), anemia (30,7%) dan katarak (23 %). Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia (kompas, XXXX).
Pada lansia terjadi kemunduran sel-sel lantaran proses penuaan yang dapat berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai macam penyakit terutama penyakit degeneratif. Hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan, sosial dan membebani perekonomian baik pada lanjut usia maupun pemerintah karena masing-masing penyakit itu perlu dana untuk terapi dan rehabilitasi (kompas.com, XXXX).
Untuk itu, rencana hidup seharusnya sudah dirancang jauh sebelum memasuki masa lanjut usia, paling tidak individu sudah punya bayangan aktivitas apa yang akan dilakukan kelak sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Diharapkan, para lansia melakukan pola hidup sehat yakni dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang, beraktivitas fisik atau olahraga secara teratur dan tidak merokok (kompas.com, XXXX).
Usia lanjut adalah suatu fenomena alamiah akibat proses penuaan. Oleh karena itu fenomena ini bukan lah suatu penyakit, melainkan keadaan yang wajar yang bersifat universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologik serta sosiobudaya. Walaupun demikian beberapa hal telah dapat diungkapkan, misalnya menjadi tua untuk sebagian orang ditentukan secara genetik dan dapat dipengaruhi oleh nutrisi, gaya hidup serta lingkungan (wordpress.com, XXXX).
Selain itu kerentanan yang dialami lanjut usia ditunjang oleh gaya hidup masyarakat yang berbeda (mengalami perubahan) dibanding zaman dahulu. Baik saat bekerja hingga aktivitas sehari-hari, dimana masyarakat sekarang terutama para lansia kurang melakukan aktivitas bila dibandingkan orang zaman dahulu. Kemajuan teknologi turut membantu kerentaan tersebut. Dalam hal pola makanan dan kebiasaan beristirahat pun demikian mengalami perubahan. Namun tidak perlu menghindari pada satu jenis makanan tertentu. Sepanjang orang tersebut dalam keadaan sehat atau tidak menderita suatu penyakit. Terpenting adalah selalu menerapkan pola hidup maupun pola makan yang sehat (Hariani dalam balipost.co.id, 2007).
Dari gambaran tersebut diatas, jelas terlihat bahwa sebagian orang lanjut usia banyak mengalami masalah-masalah yang dihadapi seiring bertambahnya usia mereka, terutama dalam masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh gaya hidup, yang berpengaruh pada status kesehatan pada lansia itu sendiri, dan belum banyaknya perhatian terhadap permasalahan pada lansia, khususnya masyarakat ilmiah di Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas X. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti tentang "Hubungan Antara Gaya Hidup Dengan Status Kesehatan Lansia Binaan Puskesmas X, Kota X Tahun XXXX".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan data status kesehatan yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota X yang menggambarkan bahwa dari seluruh puskesmas yang ada di kota X, yaitu sebanyak 34 buah puskesmas, yang status kesehatan pada lansia nya paling rendah pada periode bulan Agustus-Desember 2007 adalah pada puskesmas X. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengetahui hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lanjut usia binaan Puskesmas X, Kota X tahun XXXX.

1.3. Pertanyaan Penelitian
- Bagaimana gambaran status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X?
- Bagaimana hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan Lansia binaan Puskesmas X?

1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana hubungan gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X Kota X tahun XXXX.
1.4.2. Tujuan Khusus
- Di peroleh gambaran status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara pola makan dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara aktivitas fisik dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara kebiasaan merokok dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara kebiasaan istirahat dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Aplikatif (Program)
Memberi masukan pada institusi pendidikan, khususnya program promosi kesehatan, tentang hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lanjut usia, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk menyusun langkah-langkah strategi dalam mencegah terjadinya penurunan status kesehatan pada Lansia, yang nantinya dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan materi perkuliahan.
1.5.1. Manfaat Teoritis (Pengembangan Ilmu)
Hasil penelitian dapat memperkuat informasi tentang hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lansia, sehingga faktor-faktor yang berhubungan dengan status kesehatan pada lansia dapat diperhatikan dan apabila faktor-faktor tersebut berdampak buruk, maka dapat diminimalkan dengan metode yang efektif dan efisien.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Masalah kesehatan lansia sangat luas dan universal, karena tidak hanya menyangkut masalah degeneratif saja, tetapi juga menyangkut masalah psikologi, sosial ekonomi, dan masih banyak lagi yang dapat mempengaruhi status kesehatannya. Maka dari itu pada penelitian ini penulis hanya akan membahas mengenai gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) terhadap status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X tahun XXXX.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:50:00