Cari Kategori

PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH TERHADAP PRESTASI KERJA

Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional tergantung dari kesempurnaan aparatur negara. Pegawai negeri merupakan aparatur negara sehingga kalau kita berbicara mengenai kedudukan pegawai negeri dalam Negara Republik Indonesia berarti kita berbicara mengenai kedudukan aparatur negara secara umum. Dalam posisi aparatur negara sebagai alat untuk melaksanakan pembangunan, diperlukan adanya pegawai yang benar-benar mampu, berdaya guna, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Pegawai Negeri Sipil mempunyai peran yang menentukan, yaitu sebagai pemikir, pelaksana, perencana, dan pengendali pembangunan. Dengan demikian, PNS mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperlancar jalannya roda pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional.

Mengingat pentingnya peranan tersebut, PNS perlu dibina dengan sebaik-baiknya agar diperoleh PNS yang setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam paradigma baru mengenai orientasi pelayanan para aparatur/birokrat adalah pemberdayaan (empowerment). Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai proses transformasi dari berbagai pihak yang mengarah pada saling menumbuhkembangkan, saling memperkuat, dan menambah nilai daya saing global yang saling menguntungkan. Tujuan dari pemberdayaan itu sendiri adalah untuk meningkatkan mutu, keterampilan, serta memupuk kegairahan dalam bekerja sehingga dapat menjamin terwujudnya kesempatan berpartisipasi dan melaksanakan pembangunan secara menyeluruh, dalam hal ini pemberdayaan terhadap aparatur pemerintah disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Usaha pemberdayaaan aparatur pemerintah harus ditingkatkan demi tercapainya tujuan organisasi/pemerintahan. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap aparatur pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerja yang lebih baik. Untuk meningkatkan prestasi kerja maka perlu diadakan peningkatan sumber daya manusia selaku tenaga kerja melalui usaha-usaha pemberdayaan. Berkaitan dengan hal itu maka seorang aparatur perlu mendapatkan pemberdayaan. Didasarkan pada adanya pemberdayaan aparatur pemerintah maka kemungkinan prestasi kerja meningkat atau sebaliknya adanya pemberdayaan tetapi prestasi kerja tetap atau bahkan menurun.

Namun, ternyata tidak seluruhnya dari para pegawai negeri sipil yang mampu menyadari akan tugas dan peranannya sebagai seorang aparatur Negara. Sebuah penelitian dari Lembaga Manajemen Publik Indonesia (LMPI) menyatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja pegawai negeri sipil masih sangat rendah. Penelitian itu menunjukkan hanya 20% total jam kerja yang dijalankan, sisanya 80% digunakan untuk santai dan berleha-leha (Pikiran Rakyat, 13 Juni 2006).

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis pada saat pra penelitian juga ditemukan fakta-fakta yang mengindikasikan minimnya prestasi kerja para pegawai negeri sipil di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X yang semakin menguatkan hasil penelitian dari LMPI tersebut yaitu banyaknya pegawai yang terlambat masuk kerja, pulang sebelum waktunya, dan minimnya semangat untuk melaksanakan tugas. Tidak jarang juga terlihat pegawai yang berada di luar kantor padahal jam kerja masih berjalan, sehingga menyebabkan sulit menemui pegawai, lambatnya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang dibebankan kepadanya padahal pekerjaan itu seharusnya dapat diselesaikan secepat mungkin, ini kemungkinan disebabkan oleh pegawai tersebut tidak memahami pekerjaan yang diberikan kepadanya, ada juga pegawai yang melimpahkan pekerjaannya kepada orang lain dengan berbagai alasan, padahal itu merupakan tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya.

Dengan berbagai permasalahan tersebut, hal ini mendorong penulis untuk mengkaji dan meneliti secara ilmiah tentang prestasi kerja aparatur pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X dalam sebuah kegiatan penelitian yang berjudul : "Pengaruh Pemberdayaan Aparatur Pemerintah Terhadap Prestasi Kerja (Studi pada kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X)".

1.2 Perumusan Masalah
Untuk dapat memudahkan penelitian ini dan agar penelitian memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
"Adakah Pengaruh Pemberdayaan Aparatur Pemerintah terhadap Prestasi Kerja pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X".

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemberdayaan aparatur pemerintah pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui prestasi kerja pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui pengaruh pemberdayaan aparatur pemerintah terhadap prestasi kerja pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis telah terima selama perkuliahan di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.
2. Bagi pihak Pemerintahan Kabupaten X, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pelaksanaan pemberdayaan aparatur pemerintah terhadap prestasi kerja pemerintahan kabupaten X.
3. Bagi Departemen Ilmu Administasi Negara, penelitian ini akan melengkapi ragam peneltian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan atau referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.

1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor, dan teknik analisa data.
BAB III (DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN)
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat gambaran umum tentang lokasi penelitian, data atau karakteristik objek penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB V ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
Bab ini memuat penyajian data-data yang diperoleh selama penelitian di lapangan atau berupa dokumen-dokumen yang akan dianalisis.
Bab ini memuat pembahasan dari data-data yang telah diperoleh, kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan korelasi hubungan antar variabel.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memuat tentang kesimpulan dari hasil-hasil penelitian dan saran-saran yang dianggap penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:39:00

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT. PLN

Pada setiap organisasi besar maupun organisasi kecil dapat dikatakan bahwa salah satu sumber daya yang penting adalah manusia yang berkedudukan sebagai karyawan, buruh ataupun pekerja. Bagaimanapun majunya teknologi dewasa ini yang mampu menggantikan sebagian besar tenaga kerja manusia, namun masih banyak kegiatan yang tidak dapat menggunakan alat perlengkapan mekanis dan sepenuhnya otomatis tersebut. Dikatakan paling berharga karena dari semua sumber yang terdapat dalam suatu organisasi, hanya sumber daya manusialah yang mempunyai harkat dan martabat yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. Selain itu, hanya sumber daya manusialah yang memiliki kemampuan berpikir secara rasional. (Notoadmodjo, 1998 : 5)

Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya. Perubahan lingkungan yang begitu cepat menuntut kemampuan mereka dalam menangkap fenomena perubahan tersebut, menganalisa dampaknya terhadap organisasi dan menyiapkan langkah-langkah guna menghadapi kondisi tersebut. Menyimak kenyataan diatas maka peran manajemen sumber daya manusia dalam organisasi tidak hanya sekedar administratif tetapi justru lebih mengarah pada bagaimana mampu mengembangkan potensi sumber daya manusia agar menjadi kreatif dan inovatif.

Seperti yang dilansir dari www.elektroindonesia.com, pembangunan instalasi tenaga listrik dari tahun ke tahun semakin kompleks sejalan dengan perkembangan teknologi ketenagalistrikan. Kini, tenaga listrik tidak hanya harus memenuhi kualitas dan keandalan sistem, tetapi juga harus berwawasan lingkungan. Tuntutan akan kualitas, keandalan dan berwawasan lingkungan tersebut mengharuskan teknologi ketenagalistrikan berkembang dari tahun ke tahun dan sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia masih pada tahap pemakai teknologi ketenagalistrikan tersebut, walaupun dalam skala kecil sudah memiliki industri peralatan tenaga listrik. Program pengembangan sumber daya manusia diperlukan untuk setiap pegawai/petugas baik pada saat awal memasuki sebuah perusahaan maupun secara berkelanjutan mengikuti tuntutan pekerjaan. Pelatihan diawal pekerjaan bertujuan meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki tenaga teknik, yang merupakan persyaratan yang ditetapkan oleh perusahaan. Pelatihan lanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensinya ke jenjang keahlian yang lebih tinggi dibidangnya atau penyesuaian apabila ada teknologi baru yang harus ditangani dibidangnya atau membentuk kemampuan baru jika pindah bidang kerjanya.

Dengan profil sumber daya manusia di bidang ketenagalistrikan yang beraneka ragam, maka masalah yang menonjol saat ini adalah tidaklah mungkin suatu lembaga pendidikan formal secara spesifik dapat menyediakan sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Lulusan dari lembaga pendidikan formal tidak mungkin dapat langsung mampu bekerja sesuai dengan jenjang kualifikasi tenaga teknik. Mutu atau kualitas lulusan dari berbagai lembaga pendidikan yang setingkat juga masih sangat bervariasi sehingga pada saat awal memasuki pekerjaan sering dijumpai kesenjangan yang dapat menghambat tercapainya sasaran yang diinginkan.

Di bidang pekerjaan instalatur, masalah menonjol adalah sampai saat ini belum mempunyai sertifikasi keahlian atau keterampilan yang standar. Sedangkan masalah menonjol di bidang pembangkit tenaga listrik adalah perlu adanya sertifikasi kemampuan dan keahlian bagi sumber daya manusia kontraktor atau sub kontraktor pada proyek pembangunan pembangkit listrik. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan program pengembangan sumber daya manusia baik dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi itu sendiri, misalnya melalui lembaga pendidikan non formal untuk dapat menunjang program pendidikan formal. Program tersebut dirancang berorientasi kepada peningkatan/pengembangan kompetensi dari lulusan pendidikan formal agar dapat memasuki lapangan kerja atau melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jenjang keahliannya.

Maka jelaslah bahwa dalam setiap organisasi peranan sumber daya manusia sangatlah penting. Namun demikian, tentulah yang diharapkan adalah sumber daya manusia yang berkualitas, dalam artian memiliki kemampuan dan kecakapan serta keterampilan dalam melaksanakan tugas sehingga pelayanan dapat diselenggarakan dengan tertib dan lancar. Sorotan terhadap sumber daya manusia yang dimiliki organisasi tidak hanya ditujukan pada pemanfaatannya secara optimal, akan tetapi juga pada pengembangannya, perlakuannya, serta estafet penggantiannya. Maka dalam rangka peningkatan efisiensi kerja, perhatian utama ditujukan pada pengembangannya. Pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi merupakan hal yang perlu mendapat perhatian, karena melalui pengembangan sumber daya manusia maka diharapkan kinerja daripada orang-orang yang berada di dalam organisasi tersebut tercapai dengan baik.

Seiring dengan persaingan yang semakin tajam karena perubahan teknologi yang cepat dan lingkungan yang begitu drastis pada setiap aspek kehidupan manusia maka setiap organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kompentensi agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan bernilai. Dengan kata lain organisasi tidak hanya mampu memberikan pelayanan yang memuaskan (customer satisfaction) tetapi juga berorientasi pada nilai (customer value). Sehingga organisasi tidak sematamata mengejar pencapaian produktifitas kerja yang tinggi tetapi lebih pada kinerja dalam proses pencapaiannya. Kinerja setiap kegiatan dan individu merupakan kunci pencapaian produktivitas. Karena kinerja adalah suatu hasil dimana orang-orang dan sumber daya lain yang ada dalam organisasi secara bersama-sama membawa hasil akhir yang didasarkan pada tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan. Konsekuensinya, organisasi memerlukan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan kemampuan yang unik sesuai dengan visi dan misi organisasi.

Dengan kata lain, penilaian kinerja adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan perusahaan. Dukungan dari tiap manajemen yang berupa pengarahan, dukungan sumber daya seperti, memberikan peralatan yang memadai sebagai sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan yang ingin dicapai dalam pendampingan, bimbingan, pelatihan serta pengembangan akan lebih mempermudah penilaian kinerja yang obyektif.

Namun demikian, dalam beberapa organisasi masih sering ditemukan masalah yang berkenaan dengan kinerja pegawai. Pertama, kurangnya kecakapan yang dimiliki para pegawai. Hal ini terlihat dari masih seringnya terdapat pekerjaan yang tidak selesai tepat pada waktunya dan adanya keluhan pelanggan yang menyatakan kurang puas terhadap pelayanan yang diberikan. Misalnya : pembuatan laporan operasional dari setiap bagian yang ada terkadang tidak selesai tepat pada waktunya. Kedua, rendahnya motivasi para pegawai pelaksana. Indikasinya antara lain loyalitas, tanggung jawab, disiplin serta komitmen pegawai terhadap pekerjaan terlihat masih rendah. Pada PT. PLN (Persero) Cabang X sendiri walaupun jumlahnya relatif sedikit, namun masih terdapat pegawai yang kurang disiplin berkenaan pada masalah jam pulang kantor. Selain itu, motivasi bekerja pegawai pada bagian pengukuran dan proteksi secara umum masih rendah. Sehingga masalah yang kemudian muncul adalah maraknya aksi 'pencurian arus listrik' di tengah-tengah masyarakat kota X. Hal ini juga yang menimbulkan berbagai implikasi sehingga PT. PLN (Persero) Cabang X mengalami kerugian. Padahal dengan menyandang status sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara maka PT. PLN (Persero) Cabang X seharusnya bisa memberikan keuntungan untuk menambah kas negara. Ketiga, kurangnya personil yang terlatih. Hal ini terlihat dari masih adanya pegawai yang menunggu perintah dalam mengerjakan pekerjaannya serta masih sering terdapat pekerjaan yang tertunda. Pada sub-bagian perencanaan distribusi, tampak para pegawai masih menunggu perintah dari atasan untuk membuat rencana-rencana kerja ke depan. Keempat, sedikitnya pegawai yang memiliki keterampilan pengelolaan. Masih ada pegawai yang tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan serta tidak konsisten dalam mengerjakan tugas. Pada PT. PLN (Persero) Cabang X masalah ini secara umum dialami oleh para pegawai, namun masih dapat diatasi oleh pihak manajemen perusahaan, diantaranya melalui pelaksanaan program pengembangan sumber daya manusia. (Siagian 2003)

Pengelolaan sumber daya manusia terkait diperlukan untuk mempengaruhi kinerja organisasional dan tidak hanya terbatas pada pegawai operasional semata, namun juga meliputi tingkatan manajerial. Perumusan wewenang dan tanggung jawab yang harus dicapai pegawai harus ditetapkan dengan standar atau tolak ukur yang telah disepakati oleh bawahan dan atasan. Bawahan bersama atasan masing-masing dapat menetapkan sasaran kerja dan standar kinerja yang harus dicapai serta menilai hasil-hasil yang sebenarnya dicapai pada akhir kurun waktu tertentu. Peningkatan kinerja karyawan secara perorangan akan mendorong kinerja sumber daya manusia secara keseluruhan, yang direkflesikan dalam kenaikan produktifitas.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Pegawai PT. PLN (Persero) Cabang X."

1.2. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : "Seberapa besar Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor PT. PLN (Persero) Cabang X?"

1.3. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengembangan sumber daya manusia pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.
2. Untuk mengetahui bagaimana kinerja pegawai pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.
3. Untuk memperoleh kejelasan bagaimana pengaruh pengembangan sumber daya manusia terhadap kinerja pegawai pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.

1.4. Manfaat Penelitian.
Manfaat yang diharapkan oleh penulis dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis, sebagai usaha untuk melatih, meningkatkan, mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui penulisan karya ilmiah.
2. Bagi PT. PLN (Persero) Cabang X sebagai masukan dalam meningkatkan kinerja pegawai.
3. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , sebagai penambahan kualitas dan kuantitas referensi di bidang ilmu sosial lainnya khususnya dalam bidang Ilmu Administrasi Negara.

1.5. Sistematika Penulisan.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional dan sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sample, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisi gambaran umum tentang objek atau lokasi penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini berisi hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau berupa dokumen yang akan dianalisis.
BAB V ANALISA DATA
Bab ini berisi tentang uraian data-data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian.
BAB VI PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan yang dianggap penting bagi pihak yang membutuhkan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:38:00

STUDI KOMPETENSI PENDIDIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PROSES PEMBELAJARAN METODE BCCT PADA KELOMPOK PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)

Sumber daya manusia yang unggul merupakan aset yang paling berharga bagi setiap Negara. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak ke-3 di dunia, memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat besar. Apabila diberdayakan dengan sebaik-baiknya maka dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Salah satu upaya Pemerintah dalam memberdayakan sumber daya manusia adalah mengelola sektor pendidikan menjadi lebih profesional. Sektor pendidikan yang paling dasar dalam pembentukan pribadi sumber daya manusia (SDM) di Indonesia, adalah melalui program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

PAUD sangat di perlukan sebagai sarana pemenuhan hak anak seperti tertera pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, butir 14 : "PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut". Hadirnya teori baru tentang multiple intellegence mengingatkan kepada kita bahwa setiap anak akan memiliki beberapa potensi kecerdasan, potensi kecerdasan tersebut akan berkembang secara optimal bila dikembangkan sejak dini melalui layanan pendidikan yang tepat dan sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

Keberhasilan membina saat ini merupakan kesuksesan bagi masa depan anak. Sebaliknya kegagalan dalam penangganan anak usia dini akan merupakan bencana bagi kehidupan anak di masa yang akan datang. Menurut Undang-undang Sisdiknas pasal 28, tentang PAUD terdiri dari tiga jalur pendidikan, yaitu jalur formal yang meliputi Taman kanak-kanak (TK), Raudhatul Atfhal (RA) atau bentuk lain yang sederajat, jalur non-formal meliputi kelompok bermain (KB) taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Dan jalur informal meliputi pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Kegiatan pembelajaran PAUD diselenggarakan melalui bermain, karena anak usia pra-sekolah sangat membutuhkan keleluasaan untuk bermain dalam mengembangkan fungsi fisiologis dan psikologisnya yang berkenaan dengan permainan.

Bermain adalah hal yang penting bagi seorang anak, permainan dapat memberikan kesempatan untuk melatih keterampilan dan dapat mengembangkan ide-ide sesuai dengan cara dan kemampuannya sendiri. Menurut Bredkamp (dalam Solehudin, 200 : 47), bagi anak usia 0-6 tahun, bermain, selain menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, juga memberikan kesenangan dan mengembangkan imajinasi. Gerakan-gerakan fisiknya tidak sekadar penting untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan fisik, melainkan juga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan, rasa harga diri, bahkan perkembangan kognisi. Pemahaman anak terhadap suatu konsep hampir sepenuhnya bergantung pada pengalaman-pengalaman yang bersifat langsung.

Jika pengertian bermain dipahami dan sangat dikuasai oleh pendidik, maka kemampuan itu akan berdampak positif pada cara kita dalam membantu proses belajar anak. Kegiatan bermain dapat membantu anak mengembangkan kreatifitas sekaligus memupuk sikap kerjasama, sportifitas, sosialisasi, menahan diri, imajinasi, intelegensi, tenggang rasa, persuasif, dan emosional. Karl Buhler, dalam teori fungsi menyatakan bahwa anak-anak bermain oleh karena harus melatih fungsi-fungsi jiwa raganya untuk mendapatkan kesenangan di dalam perkembangannya dan dengan permainan itu anak mengalami perkembangan semaksimal mungkin.

Perkembangan PAUD cukup pesat di Indonesia, apalagi setelah perhatian pemerintah pada kesejahteraan guru-guru PAUD melalui sertifikasi profesi sebagai guru diberlakukan. Bahkan saat ini ada suatu metode pembelajaran yang digunakan untuk PAUD berupa pemahaman pembelajaran bermain dengan cara beraneka ragam. Salah satunnya dengan menggunakan Beyond Center and Circles Time (BCCT) yang telah digunakan di berbagai provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah PAUD dan pengguna BCCT terbanyak di Indonesia (Diknas, 2008).

BCCT atau pendekatan sentra dan lingkaran adalah suatu metode atau pendekatan dalam penyelenggaraan PAUD. Metode ini dikembangkan berdasarkan hasil kajian teoritik dan pengalaman empirik yang merupakan pengembangan dari pendekatan Montessori, High/Scope, dan Reggio Emilia. Metode ini dikembangkan oleh Creative Center for Childhood Research and Training (CCCRT) Florida, USA dan diterapkan di Creative Pre-School Florida, USA sejak tahun 80-an, baik untuk anak normal maupun untuk anak berkebutuhan khusus. Metode BCCT dilakukan melalui permaianan yang edukatif. Penggunaannya dinilai memberikan konstribusi positif terhadap kesuksesan belajar anak.

BCCT efektif dalam menerapkan pembelajaran pada anak usia dini, antara lain karena dilakukan dengan permainan, sehingga anak merasa senang dalam melakukan kegiatan belajar. Adapun pendekatan BCCT ini telah di terapkan secara baik di Sekolah Al Falah Jakarta Timur dan TK Istiqlal Jakarta. Sedangkan Kelompok Bermain X Kecamatan X sebagai pilot project yang pertama. Oleh karena itu penulis bermaksud meneliti aplilkasi pendekatan BCCT pada pembelajaran anak usia dini, yang di harapkan dapat meningkatkan potensi kreatifitas anak usia dini di Kecamatan X tersebut.

Jean Piaget (1972 : 27) dalam mengomentari tentang bagaimana anak belajar, mengatakan bahwa : "Anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri. Guru, tentu saja, bisa menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat, tetapi yang terpenting agar anak dapat memahami sesuatu, ia harus membangun pengertian itu sendiri, ia harus menemukannya sendiri".

Pelatihan PAUD dewasa ini semakin gencar diselenggarakan di Jawa Barat. Banyak inovasi program pelatihan yang diluncurkan untuk memperbaiki serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan, baik dari sisi metode, sarana dan prasarana, maupun dari segi peningkatan kualitas kinerja pendidik. Kota X, dalam hal ini menjadi penggerak utama PAUD di Jawa Barat, sehingga pengembangan inovasi program pelatihan semua PAUD di kabupaten/ kota yang lain dipusatkan di Kota X. Terkait dengan pendidik pada PAUD, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005, tentang standar pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan pada PAUD wajib memiliki latar belakang pendidikan S1 atau D4, sementara itu undang-undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional yang di peroleh melalui pendidikan profesi. Jadi guru wajib memiliki pendidikan S1/D4 di tambah pendidikan Profesi Guru. 

Menurut Sudjana (1987), pembelajaran adalah penyiapan suatu kondisi agar terjadinya belajar. pembelajaran adalah upaya logis yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan belajar anak. Pembelajaran sangat bergantung kepada pemahaman guru tentang hakikat anak sebagai peserta atau sasaran belajar. Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja, akan tetapi juga sistem pembelajaran. Sistem pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas atau di sekolah, belajar di luar halaman dan belajar di lingkungan tempat anak tinggal. Dengan demikian, diharapkan anak mampu berkembang dengan baik karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan. Tak berbeda dengan itu.

Hartati (2005), memandang pembelajaran anak usia dini merupakan proses interaksi antara anak, orang tua, atau orang dewasa lainnya, dalam suatu lingkungan, untuk mencapai tugas perkembangan. Interaksi yang dibangun tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan interaksi tersebut mencerminkan suatu hubungan di antara anak, akan memperoleh pengalaman yang bermakna, sehingga proses belajar dapat berlangsung dengan lancar. Menurut Vigotsky, bahan pengalaman interaksi sosial merupakan hal yang penting bagi perkembangan proses berpikir anak. Aktivitas mental yang tinggi pada anak dapat terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.

Melihat kondisi di atas, maka kebutuhan penyiapan pendidik yang mampu mengasuh dan membimbing anak usia dini sejak lahir sampai 6 tahun merupakan suatu keharusan, pendidik anak usia dini di sebut guru PAUD, baik yang mengajar di Taman Kanak-kanak (TK) maupun Kelompok Bermain (Kober) dan Tempat menitipan Anak (TPA). Merujuk Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 pasal 1 ayat 1 di nyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi anak pada jalur pendidikan formal, serta pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah, termasuk pendidikan anak usia dini. Oleh karena itu sebutan guru PAUD tidak hanya berlaku bagi pendidik yang bertugas di jalur pendidikan formal saja, tetapi juga di pendidikan nonformal, dan informal kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebutan bagi pendidik Kober oleh anak di sebut juga "guru" Para pendidik PAUD yang profesional hendaknya mengetahui mengenai Kompetensi.

Kompetensi merupakan kemampuan dan penguasaan dalam melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan. Kompetensi merupakan penampilan yang rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang di wujudkan dalam pembiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dapat dikenali melalui sejumlah indikator yang dapat diukur dan diamati.

Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara konstektual (kurikulum 2004).

Kompetensi dasar adalah jenis-jenis kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh seseorang dalam bidang profesi tertentu. Pendidik adalah pihak yang memberikan, menyampaikan, membimbing, melatih dan menfasilitasi peserta didik untuk menguasai pengetahuan, sikap dan ketrampilan tertentu. Kemampuan pendidik tidak terlepas dari tiga komponen yang secara bersama-sama membentuk norma berfikir dan berperilaku seorang pendidik. Komponen-komponen tersebut adalah a) Pengetahuan adalah memberikan wawasan dan kerangka berpikir sebagai landasan untuk menguasai dan membentuk suatu keterampilan pendidik. b) Sikap adalah sumber dorongan dalam mendayagunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya pada konteks tahapan pengelolaan, dan c) Keterampilan adalah memberikan kecakapan pengetahuan dan sikap yang dimiliki pendidik dalam melaksanakan tugasnya.

Pembelajaran berfokus pada anak sebagai subjek "pembelajar," pendidik hanya berperan sebagai motivator dan fasilitator. Pembentukan perilaku dan kemampuan dasar tersebut dicapai melalui tema-tema yang dikembangkan tenaga pendidik. Hal ini dilakukan dengan tujuan : 1) Merangsang perkembangan kreatifitas dan inovasi anak, 2) Merangsang anak untuk melakukan eksplorasi dengan menggunakan alat permainan edukatif di sekitarnya, 3) Mengembangkan kecakapan hidup anak mengarah kepada kemandirian, disiplin, mampu bersosialisasi dan memiliki keterampilan dasar yang berguna bagi kehidupannya kelak, dan 4) Mengembangkan berbagai aspek perkembangan/kecerdasan anak.

Metode merupakan cara dalam rangka pencapaian tujuan. Dihubungkan dengan pembelajaran PAUD, metode digunakan dalam rangka mengembangkan kemampuan fisik, motorik, sosial, emosi, kognitif dan bahasa anak. Dengan metode BCCT ini diharapkan anak mampu mengembangkan potensi perkembangan kognitif, bahasa, afektif yang dimilikinya, sesuai dengan tingkatan usia anak, dengan demikian diharapkan tujuan penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia dini akan terwujud sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan meneliti sejauh mana kompetensi pendidik berperan pada keberhasilan menerapkan pembelajaran metode BCCT pada Anak Usia Dini kelompok bermain X di Kecamatan X tersebut.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka ada beberapa masalah dalam penelitian ini yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Masih terbatasnya jumlah pendidik profesional yang terlatih yang memiliki kompetensi yang memadai sebagai salah satu agen pengubah yang menjadi ujung tombak keberhasilan penerapan BCCT program PAUD di lapangan.
2. Di lapangan, khususnya di Kecamatan X, tenaga pendidik yang mampu menerapkan metode BCCT tersebut masih kurang.
3. Kondisi objektif PAUD, termasuk fasilitas dan sarana prasarana, masih belum memadai dalam menerapkan metode BCCT.
4. Penerapan pembelajaran metode BCCT masih belum optimal.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan umum penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut, Apakah kompetensi pendidik PAUD menunjukkan pengaruh yang berarti dalam penerapan pembelajaran metode BCCT pada anak usia dini ? Untuk menjawab perumusan masalah tersebut secara khusus, diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi objektif PAUD di Kecamatan X dilihat dari kelebihan dan kekurangannya dalam penerapan metode BCCT tersebut ?
2. Bagaimana kadar kompetensi yang dimiliki Pendidik PAUD pada kelompok bermain X?
3. Bagaimana penerapan pembelajaran melalui Metode BCCT pada PAUD kelompok bermain X di Kecamatan X?
4. Bagaimana pengaruh kompetensi pendidik terhadap proses pembelajaran metode BCCT, pada PAUD kelompok bermain X di Kecamatan X?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban terhadap rumusan masalah yaitu untuk mengetahui kompetensi pendidik serta pengaruhnya terhadap pembelajaran metode BCCT pada anak usia dini, di PAUD Kecamatan X tersebut. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut secara khusus penelitian ini akan mendeskripsikan permasalahan sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan kondisi objektif PAUD Kecamatan X, dilihat dari kelebihan dan kekurangan yang ada di kelompok bermain X.
2. Mendeskripsikan kadar kompetensi yang dimiliki para pendidik Anak Usia Dini.
3. Mendeskripsikan penerapan pembelajaran melalui Metode BCCT pada PAUD X.
4. Mengetahui pengaruhnya terhadap pembelajaran anak usia dini dari penerapan pembelajaran Metode BCCT.

E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teori
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, konsep teori Pendidikan Luar Sekolah pada umumnya, Manfaat bagi akademik, sebagai bagian pengembangan ilmu pengetahuan pada pendidik PAUD khususnya. Mengembangkan teori dan konsep yang telah ada mengenai kompetensi pendidik serta konsep pembelajaran metode BCCT/ pendekatan sentra dan lingkaran pada Anak Usia Dini pada kelompok bermain PAUD X Kecamatan X.
2. Secara Praktis.
a. Di harapkan dapat bermanfaat bagi penentu kebijakan sebagai bahan dalam perumusan program pembinaan anak usia dini. serta berguna bagi praktisi yang secara langsung dilapangan bagi para pendidik PAUD.
b. Manfaat bagi penyelenggara PAUD, sebagai bahan pedoman dalam menerapkan pembelajaran metode BCCT pada anak usia dini.
c. Sebagai masukan dan informasi tambahan bagi para birokrasi akademisi dan praktisi dalam menjalankan tugas dan perannya masing-masing sehingga program PAUD dapat berjalan secara optimal dan hasilnya dapat dirasakan masyarakat secara luas.
d. Memberi masukan kepada pendidik PAUD agar dapat merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan bermain pada anak dengan benar serta memiliki kemampuan menerapkan konsep bermain, dan pembelajaran melalui bermain, evaluasi perkembangan anak, konsep dasar PAUD.
3. Untuk Penelitian Selanjutnya
a. Sebagai salah satu informasi bagi peneliti lain yang menggeluti bidang PAUD.
b. Sebagai pendukung maupun penemuan terbaru dari hasil penelitian mengenai kompetensi pendidik dalam menerapkan pembelajaran metode BCCT pada anak usia dini tersebut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:12:00

PERAN DPPKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH (STUDI TENTANG PENGELOLAAN PAD)

PERAN DPPKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH (STUDI TENTANG PENGELOLAAN PAD) KABUPATEN X


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Salah satu tuntutan Reformasi 98’ adalah Otonomi Daerah. Lahirnya tuntutan ini bisa dimaknai sebagai strategi atau solusi atas maraknya isu disintegrasi daerah. Ada banyak sebab lahirnya tuntutan itu. Salah satunya karena cara-cara penyelesaian problem kebangsaan oleh pemerintah yang militeristik. Padahal militeristik adalah ciri fasisme. Selain itu, otonomi daerah ini adalah bentuk kompromi dari pertikaian panjang antara dua konsep bentuk negara dengan akar historis dan filosofis sangat berbeda. Kedua konsep itu adalah bentuk negara federal dan bentuk Negara kesatuan yang masing-masing diadopsi dan dipertahankan oleh Muhammad Hatta dan Soekarno.
Reformasi telah membawa suasana baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prestasi reformasi (Chrisnandi, 2008) ditandai dengan rezim lama diturunkan dan digantikan rezim baru. Politik otoritarianisme digantikan politik demokrasi. Sentralisme dikubur dengan desentralisasi. Konstitusi lama (UUD 1945) diamandemen sebanyak empat kali. Multipartai menyediakan ruang bagi setiap orang untuk berkumpul dan mendirikan partai politik. Dibentuk lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui asas desentralisasi, otonomi daerah hadir untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sendiri urusan pemerintahan dalam upaya meningkatkan kemandirian daerah.
Desentralisasi merupakan sebuah proses di mana pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menjalankan segala urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang berkaitan dengan urusan Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional, dan Agama. Karena itu adalah urusan pemerintahan yang hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Urusan itu meliputi : (a) perencanaan dan pengendalian pembangunan, (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, (c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (d) penyediaan sarana dan prasarana umum, (e) penanganan bidang kesehatan, (f) penyelenggaraan pendidikan, (g) penanggulangan masalah sosial, (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan, (i) fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, (j) pengendalian lingkungan hidup, (k) pelayanan pertanahan, (l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipl, (m) pelayanan administrasi umum pemerintahan, (n) pelayanan administrasi penanaman modal, (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 
Selanjutnya, dalam urusan keuangan, diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintah Daerah didasarkan atas penyerahan tugas kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
Otonomi Daerah telah lama menjadi wacana publik Indonesia. Meski demikian, dalam pelaksanaan otonomi daerah ini belum berjalan sebagaimana tujuan awalnya. Terdapat banyak ketimpangan dalam upaya pengimplementasian konsep otonomi daerah. Beragam realitas empirik dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Keban (Fakrulloh dkk, 2004), ada beberapa hal yang dapat mengganggu kinerja pencapaian tujuan otonomi daerah yaitu (1) adanya kesalahan strategis dalam perwujudan otonomi daerah, (2) perbedaan persepsi dan pemahaman tentang konsep otonomi daerah, (3) perbedaan paradigma otonomi daerah yang dianut oleh para elit politik, (4) paradigma birokrasi masih kuat.
Selain itu, salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan PAD. Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya PAD. Kecenderungan berpikir ini tidak lahir begitu saja tanpa landasan rasional dan empiris mengingat masih banyak daerah otonom yang masih mengandalkan dana perimbangan sebagai sumber utama keuangan daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Artinya, daerah-daerah itu belum mampu menjalankan desentralisasi.
Merujuk pada hasil penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, Syarifuddin Tayeb menyatakan bahwa dari 292 Daerah Kabupaten yang diteliti menunjukkan rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah. Berikut rinciannya :
- 122 Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53%-10%
- 86 Daerah Kabupaten berkisar antara 10%-20%
- 43 Daerah Kabupaten berkisar antara 20,1%-30%
- 17 Daerah Kabupaten berkisar antara 31,1%-50%
- 2 Daerah Kabupaten berkisar di atas 50%
Rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan yang mampu memenuhi hanya sekitar 20%-30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70%-80% didrop dari pusat.
Mengingat banyaknya sumber-sumber PAD yang bisa dioptimalkan, daerah otonom tidak perlu mengandalkan dana perimbangan dalam pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Apalagi dalam konteks Kabupaten X yang memiliki banyak kekayaan sumber daya alam. Pengelolaan kekayaan alam itu berbanding lurus dengan peningkatan jumlah wajib pajak dan retribusi daerah.
Kabupaten dengan visi “Menuju Kabupaten Agribisnis 2012" ini menyimpan kekayaan alam di sektor perkebunan, pertanian, peternakan, kelautan, pertambangan, dan pariwisata yang melimpah yang bisa dikelola untuk menambah sumber-sumber PAD dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai secara mandiri urusan rumah tangga daerah. Sektor-sektor potensial ini jika dikelola secara maksimal akan membantu mempercepat pertumbuhan perekonomian masyarakat yang pada gilirannya akan menambah jumlah objek PAD. Misalnya, di sektor pertambangan dan perkebunan yang cukup mendominasi di Kabupaten X, para pengusaha pertambangan dan perkebunan untuk melaksanakan usahanya pasti mengurus Surat Izin Usaha dan dokumen-dokumen lain yang dikenakan pajak maupun retribusi. Sebagai gambaran, pada tahun 2010 sektor pertambangan nikel memberikan kontribusi ke PAD sebesar Rp 4 M.
Terkait dengan itu, ada beberapa hal yang relevan untuk dipertanyakan. Misalnya apakah secara aktual aparat DPPKAD Kabupaten X dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan sebagaimana Peraturan Daerah ?
Dalam hal strategi, apakah Pemerintah Daerah telah mengubah strategi mengenai teknis operasional lapangan terutama sistem pendataan ulang dalam rangka menjaring semaksimal mungkin obyek pajak maupun subyek pajak sebagai dasar perhitungan dan pengenaan pajak ? Untuk mengatasi permasalahan tersebut, apakah Pemerintah Kabupaten X melalui DPPKAD telah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap seluruh sumber penerimaan daerah, telah mengidentifikasi secara optimal sumber-sumber PAD yang baru ?
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian tentang bagaimana peran salah satu SKPD yang banyak bergelut dalam pengelolaan keuangan daerah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten X, dengan judul “Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah (Studi Tentang Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten X”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul penelitian ini, rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X ?
1.2.2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X ?

1.3. Tujuan Penelitian 
1.3.1. Untuk mengetahui Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X.
1.3.2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan studi ilmiah untuk mengetahui Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah dan secara spesifik pengelolaan PAD Kabupaten X.
b. Sebagai bahan studi perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah dan secara spesifik pengelolaan PAD Kabupaten X beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
c. Sebagai bahan studi pustaka di almamater peneliti.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan kajian praksis bagi DPPKAD Kabupaten X untuk mengevaluasi kinerjanya.
b. Sebagai bahan kajian praksis bagi DPPKAD Kabupaten X untuk merumuskan desain strategi dalam upaya pengelolaan PAD Kabupaten X ke depannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:10:00

PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH

PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Strategi Pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia disegala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.
Penyelenggaraan pembangunan nasional merupakan suatu proses yang memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang matang. Salah satu aspek yang sangat penting dan menunjang adalah kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan sangat bergantung pada kemampuan manusia pelaksananya. Sebab apapun yang dimiliki oleh suatu bangsa; kekayaan alam, sosial, budaya, dan lain-lain tidak akan berarti bila tidak di tangani oleh manusia-manusia berkualitas. Baik itu berkualitas dari segi moral intelektual maupun dari segi mental spiritual. Sumber daya manusia yang berkualitas adalah yang bisa tetap bertahan dari iklim persaingan yang sangat ketat dewasa ini.
Kelancaran pembangunan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan tergantung dari kesempurnaan aparatur pemerintah yang pada pokoknya tergantung pula pada kesempurnaan pegawai negeri sipil (PNS). Dalam usaha mencapai tujuan nasional di perlukan adanya PNS sebagai unsur aparatur pemerintah dan abdi masyarakat yang penuh kesetian dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, berdaya guna dan sadar akan tanggung jawab dalam menyelenggarakan tugasnya.
Guna lebih mengembangkan peran ini, pembangunan aparatur pemerintah diarahkan untuk meningkatkan kualitas aparatur agar lebih bersikap arief dan bijaksana serta berdedikasi yang tinggi terhadap pengabdian, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal sesuai tuntutan perkembangan zaman yang berlangsung selama ini.
Oleh karena itu, maka urusan penyelenggaraan pemerintahan yang hampir semuanya dilaksanakan melalui pusat sudah mulai didistribusikan kepada daerah berdasarkan kewenangan daerah yang diatur dalam undang-undang, hal ini mengingat volume dan aneka ragam urusan pemerintahan dan pembangunan yang diselenggarakan di daerah sedemikian kompleksnya serta memerlukan penyelesain yang cepat dan tepat, diperlukan adanya pengawasan yang intensif. Hal ini dimaksudkan guna menjamin terselenggaranya urusan pemerintahan dan pembangunan dalam kerjasama yang serasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah tingkat atasnya.
Pengawasan erat sekali kaitannya dengan perencanaan, yang artinya harus ada sesuatu obyek yang diawasi, jadi pengawasan hanya akan berjalan kalau ada rencana program/kegiatan untuk diawasi. Rencana digunakan sebagai standar untuk mengawasi, sehingga tanpa rencana hanya sekedar meraba-raba. Apabila rencana telah ditetapkan dengan tepat dan memulai pengawasannya begitu rencana dilaksanakan, maka tidak ada hal yang menyimpang. 
Pada umumnya pengawasan terdiri dari 3 (tiga) langkah yaitu :
1. menentukan standar,
2. mengukur hasil atas dasar standard
3. mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan
Standar pengukuran yang dipakai biasanya sudah ditentukan oleh penanggung jawab program/kegiatan, yang selanjutnya pengawas mengukur hasil-hasilnya dengan mengacu kepada standar tersebut. Hasil pengukurannya sebagai dasar untuk apakah pelaksanaan kegiatan telah diselenggarakan secara efisien, efektif, ekonomis dan tertib aturan. Pengawasan akan sia-sia tanpa tindakan perbaikan, apabila dalam pengukuran hasil ditemukan keadaan tidak sesuai standar yang direncanakan, maka pengawas harus menganjurkan tindakan perbaikan. Mengetahui adanya ketidakberesan, maka pengawas berkewajiban melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Oleh karena itu dengan pelaksanaan pembentukan kualitas aparatur pemerintahan, maka ditunjuklah inspektorat selaku badan pengasawan internal pemerintah kabupaten/kota, yang berfungsi untuk mengawasi kinerja pemerintah, pada kegiatan pembangunan, kegiatan kepegawaian, dan pelayanan pada masyarakat. Agar tercipta pemerintahan yang baik (Good Governance), dan bersih di daerah.
Demikian pula halnya dengan pelaksanaan pengawasaan pemerintahan di Kantor Bupati X, dalam hal ini tugas dan fungsi inspektorat sebagai salah satu bagiannya sudah diterapkan sebagai pengawas fungsional. Namun menurut pengamatan penulis pelaksanaan tugas dan fungsi inspektorat terhadap pegawai negeri sipil pada umumnya dan pada badan kepegawaian yang dimana bagian ini menjadi tempat urusan menengenai kepegawaian tentu saja akan berbeda dengan yang lain, sehingga tentu saja konsep pengawasaan yang ditgunakan akan membawa sesuatu yang berbeda terhadap Pegawai Negeri Sipil di instansi tersebut.
Memahami pentingnya pelaksanaan fungsi pengawasan yang diterapkan terhadap pegawai negeri sipil sebagai aparat pemerintah dan unsur penyelengaran pemerintahan di Kantor Bupati X terkhusus pada Badan Kepegawaian Daerah, maka penulis tertarik untuk memilih judul ; “Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Inspektorat Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X”.

1.2. Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian tersebut maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi inspektorat kabupaten X terhadap badan kepegawaian daerah kabupeten X ?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi inspektorat kabupaten X dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penilitian
1.3.1.Tujuan Penelitian
Penelitian ini di laksanakan dengan tujuan, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seberapa tepat inspektorat dalam melaksanakan tugas dan fungsi.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja inspektorat dalam melaksanankan fungsi dan tugasnya.
1.3.2.Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat baik pada tataran theoritis akademis maupun pada hal praktis yang utamanya adalah efektifitas kinerja lembaga pengawasan agar bisa menekan tingkat penyimpangan.
1. Manfaat Teoritis Akademis.
Manfaat secara teoritis akademis diharapkan dapat menjadi referensi baru dalam bidang pengawasan, untuk memperkaya bahan kajian pengawasan. Selain itu memberikan kesadaran kolektif dan menumbuhkan kesadaran moral bagi masyarakat mengenai arti pentingnya pengawasan yang perlu dibangun untuk terjadinya sinergi yang baik antara aparat pengawas formal pada lingkup pemerintahan dengan stakeholder’s yang punya kepedulian.
2. Manfaat Praktis.
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi unit kerja pengawasan, para pimpinan unit kerja pelaksana dan perencanaan untuk terwujudnya peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintahan dan pembangunan lingkup sub bagian kepegawaian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:06:00

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang handal dan memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi dan sikap profesionalisme tinggi yang dapat dicapai melalui pendidikan.
Pendidikan yang baik dapat menghasilkan SDM yang berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 31 ayat (2) setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya serta ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Hal ini sejalan dengan undang-Undang Bab IV Bagian Kesatu dijelaskan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, pasal 5 ayat 1 menyebutkan "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Masih di bab yang sama, pada bagian keempat ihwal Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 (1) berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Suatu kebijakan pendidikan di daerah dalam konteks otonomi daerah dikaitkan dengan kebijakan publik desentralisasi (UU 32 Tahun 2004) bahwa urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan, dan kebijakan pendidikan nasional (UU No. 20 tahun 2003). Dalam kebijakan pendidikan nasional ada dua hal khusus yang berkenaan dengan hal tersebut adalah pertama menetapkan alokasi dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% baik pada APBN dan APBD, kedua UU no. 20 tahun 2003 pasal 11 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintahan daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan baik setiap warga Negara. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan gratis bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun yang dikenal sebagai wajib belajar sembilan tahun.
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan aparat dalam merumuskan program/kebijakan untuk dilaksanakan oleh aparat pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat yang ikut serta bersama-sama melaksanakan program/kebijakan yang telah diputuskan, yang harusnya didukung oleh sarana dan prasarana yang ada.
Sejalan dengan adanya program pemerintah Kabupaten X yang mengarahkan pada kebijakan Pendidikan gratis sebagai salah satu program andalan. Dalam perspektif pembangunan daerah dewasa ini, seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, maka daerah dituntut agar mampu mengembangkan daerahnya sendiri secara mandiri yang ditandai dengan semakin besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten X dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini sangat baik dalam hal peningkatan pendidikan anak-anak usia sekolah, sehingga tingkat buta huruf atau tidak bersekolah dapat berkurang. Program pendidikan gratis ini, pada awal pelaksanaannya diatur dalam peraturan peraturan daerah No.10 tahun 2008 tentang pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pemerintah Kabupaten X yakni gerakan membangun X menuju masyarakat maju dan mandiri dengan meneruskan layanan pendidikan gratis yang semakin dimantapkan.
Keunikan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pendidikan gratis di Kabupaten X adalah satu-satunya kabupaten yang ada di yang membuat dan melaksanakan program tersebut yang bukan hanya untuk siswa wajib belajar 9 tahun sebagaimana program nasional tetapi juga pada SMA. Selain itu pemberian subsidi ini bukan hanya sekolah negeri tetapi juga sekolah swasta dan Madrasah (dalam naungan Departemen Agama).
Fenomena yang terjadi di Kabupaten X berdasarkan hasil survey pendahuluan pada awal September berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat dan kepala sekolah bahwa kebijakan pemerintah daerah tentang pendidikan gratis dalam pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai, masih adanya pungutan dana di sekolah, banyak keluhan dari beberapa sekolah akan minimnya dana, alokasi dana yang tidak merata antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya, tersendatnya pencairan dana, kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah ke masyarakat sehingga pemahaman tentang pendidikan gratis itu semua gratis pada hal hanya beberapa item saja yang digratiskan (pemberian subsidi biaya pendidikan).
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis memandang perlu mengkaji lebih lanjut berbagai masalah yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X. sehingga mendorong penulis memilih judul : “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X ?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X .
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X .

1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis : penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam ilmu pemerintahan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu tentang kebijakan pendidikan gratis, sehingga dapat mengembangkan konsep-konsep mengenai kebijakan pendidikan gratis.
2. Secara praktis : hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintahan Kabupaten X agar daerah tersebut kedepanya lebih baik dan pemerintah setempat lebih memperhatikan dan meningkatkan pendidikan masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:04:00

PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK

PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK DI KOTA X


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi keseharian yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyarakat tertentu. Pemerintah dan aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor makro tersebut yang wajib ditekankan sebagai salah satu faktor penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat. Masalah yang mendera juga satu per satu datang pasca kedatangan sistem pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan tekanan sebagai institusi berwenang menyelesaikan setiap persoalan.
Salah satu wacana mengemuka mengenai kota X ialah mengenai beberapa peristiwa yang menarik pandangan nasional hingga internasional adalah kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan masyarakat Indonesia kini beranggapan bahwa kekerasan di kota X telah menjadi hal yang lazim terjadi. Ada anekdot sehari-hari yang mengatakan bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi di kota ini telah tergambar dari nama kota X itu sendiri.
Menurut Budi Hardiman sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya. Karena itu, pertanyaan mengenai mengapa perkelahian antar kelompok itu terjadi sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.
Yang ganjil dalam perilaku massa adalah ciri psikologis yang ditimbulkan, para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dimana moralitas tersebut dibangun. Berjarak dari peristiwa itu, beberapa analis yang ahli dalam bidang ini maupun masyarakat biasa pemerhati persoalan sosial lalu mengatakan bahwa individu terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Seperti kesadaran in group yang diungkapkan oleh sosiolog sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo Soemardjan Individu yang terlibat dalam kekerasan massa secara massif dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Penulis menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif walaupun dalam beberapa analisis ada juga yang menyebutnya sebagai ruang massa.
Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa perkelahian antar kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas dari heterogennya sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan seperti di kota X pun memiliki kecenderungan tingkat kekerasan massa yang tinggi ketimbang dengan daerah lain yang belum begitu terjejal arus modernisasi.
Kehidupan perkotaan yang lebih dekat dengan kebijakan pemerintah pusat kemudian akan sangat mudah terciptanya arus balik dari masyarakat di dalamnya. Tanggapan dari masyarakat akan lebih cepat timbul belum lagi ketika kita meminjam teori Johan Galtung mengenai korelasi antara kekerasan itu sendiri dengan kekerasan struktural, dalam teorinya dikatakan bahwa kekerasan yang selama ini terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota tak terlepas dari wujud kekerasan rezim penguasa setempat terhadap rakyatnya, Kemarahan rakyat pun terlontar dalam bentuk beragam, dimulai dengan aksi protes hingga bentuk-bentuk destruktif berupa pengrusakan yang dilakukan oleh massa.
Pemerintah kota X sebagai institusi kuasa yang berada di kota ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini, tugas pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara seyogyanya diperankan dengan maksimal. Sebenarnya pemerintah kota X sudah melakukan banyak upaya penanggulangan maraknya terjadinya kekerasan massa. Dalam program X Great Expectation9, kasus kekerasan yang kerap terjadi di jalanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menjadi titik perhatian mengingat, bahwa kejadian tersebut bisa merusak wajah X sebagai pintu gerbang di Indonesia bagian timur.
Fokus pada penelitian ini akhirnya mengambil salah satu bentuk kekerasan massa yang cukup meresahkan. Perkelahian antar kelompok merupakan penyakit masyarakat yang sering menjadi bahan pembicaraan di kota ini. Tak jarang dengan menggunakan senjata tajam yang berujung pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok pun mengalir dengan berbagai motif dari pelakunya. Sebagian besar dari pelakunya didominasi oleh kaum remaja.
Berbagai penelitian sosial menganalisa perilaku keterlibatan remaja dalam perkelahian antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa dilepas oleh mereka yang telah melewati masa remaja. Maraknya perkelahian antar kelompok yang melibatkan masyarakat miskin atau mereka yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, menjadi salah satu indikasi bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu bentuk kekerasan massa diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang akibat pembangunan tidak berimbang di sebuah kota besar.
Ada pula beberapa contoh kasus yang memberikan bantahan terhadap “postulat” pelaku perkelahian antar kelompok diatas. Masuknya perkelahian tersebut ke ranah institusi pendidikan seperti kampus dan sekolah memberikan contoh yang setidaknya mendobrak pernyataan mengenai tingkat pendidikan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kekerasan.
Dalam banyak kasus kekerasan yang terjadi, banyak pertanyaan yang timbul dalam diri penulis mengenai apakah sebenarnya peran pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi masyarakatnya. Untuk itu diperlukan korelasi antara apa yang menjadi faktor antar kelompok yang kerap terjadi dengan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya.
Ketertarikan penulis membahas persoalan ini, dengan harapan tidak ada lagi sikap menduga-duga dari masyarakat pada umumnya mengenai apakah pemerintah kota mengambil sikap dan berperan menanggulangi kasus yang terjadi. Lemahnya peran institusi pemerintah dalam mengambil langkah dalam beberapa penyelesaian kasus perkelahian terus berulang terlontar ketika kecelakaan sosial ini kembali muncul dipermukaaan. Perkelahian antar kelompok setiap saat bisa saja terjadi dengan berbagai potensi yang diredam untuk beberapa saat saja. Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka, sontak massa pun kembali mengambil posisi dalam menyelesaikan persoalan yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bahasa verbal.
Adanya disparitas antara penyelesaian kasus kekerasan dengan faktor penyebabnya cenderung membuat perkelahian tersebut hanya selesai pada permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan. Perkelahian antar kelompok dapat ditanggulangi ketika akar penyebab kekerasan itu terjadi sudah diketahui, banyak referensi yang bisa dijadikan acuan dalam menelaah akar kekerasan seperti ini yang kerap terjadi sebagai suatu produk sosial masyarakat kota.
Pemerintah kota yang melakukan berbagai upaya penanggulangan akan diteliti perannya oleh penulis sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka persoalan yang sudah dibahas sebelumnya dengan memfokuskan penelitian dalam judul : Analisis Peran Pemerintah Kota terhadap Perkelahian antar Kelompok.

I.2 Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa perkelahian antar kelompok merupakan persoalan esensial yang patut bagi pemerintah daerah untuk segera memaksimalkan potensi dan peran yang dimiliki dengan membuat perencanaan strategis untuk menanggulangi sirkulasi kekerasan yang merebak di masyarakat. Bilamana telah terjadi penurunan angka perkelahian antar kelompok, maka patut pula untuk mengetahui upaya apa yang telah dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan ke depannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab perkelahian antar kelompok di Kota X ?
2. Bagaimana peran pemerintah kota X dalam menanggulangi persoalan perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi ?

I.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengakarnya pandangan masyarakat yang hanya bisa menerka penyebab timbulnya perkelahian, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok di kota X.
2. Untuk memperoleh gambaran dan penjelasan tentang peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok.

I.4 Manfaat Penelitian
1. Dari segi teoritis, memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok. Selain itu juga memberikan sedikit gambaran mengenai penyebab kekerasan massa yang kerap terjadi di masyarakat. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah ilmu pemerintahan terutama kajian tentang strategi peran pemerintah dalam menangani kasus tertentu.
2. Dari segi metodologis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberi nilai tambah yang selanjutnya dapat dikomparasikan dengan penelitian-penelitian ilmiah lainnya, khususnya yang mengkaji masalah peran strategis pemerintah dan penanggulangan kekerasan massa di masyarakat.
3. Dari segi praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi masyarakat tentang peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap mengganggu. Terkhusus bagi pemerintah khususnya Pemerintah kota X, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam perumusan kebijakan dalam rangka penanggulangan perkelahian antar kelompok.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:02:00