Cari Kategori

PENYALURAN TENAGA KERJA PADA DISNAKER

PENYALURAN TENAGA KERJA PADA DISNAKER



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam negara berkembang seperti Indonesia yang berpenduduk besar yang menjadi salah satu masalah utama adalah pengangguran struktural yang sangat besar. Masalah ini disebabkan oleh karena struktur ekonomi yang ada belum mampu menciptakan kesempatan kerja yang sesuai dan dalam jumlah yang cukup untuk menyerap angkatan kerja yang ada. Masalah pengangguran ini antara lain dapat diatasi melalui penciptaan kesempatan kerja dan penggunaan tenaga kerja secara tepat asas dan memadai.
Berbicara tentang tenaga kerja, erat kaitannya dengan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia atau yang lebih khusus dirangkum dalam pengertian pendidikan dan pelatihan, merupakan hal yang penting bagi masyarakat Indonesia memasuki era globalisasi. Polemik mengenai hubungan antara pendidikan, pelatihan, dan ketenagakerjaan merupakan suatu yang spesifik bagi negara berkembang. Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan keterampilan atau keahlian kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan tenaga kerja.
Karena pada tahap permulaan pembangunan negara berkembang pertumbuhan industri dan kemampuan sektor swasta masih terbatas, maka masalah ketenagakerjaan dirangkul oleh sektor pendidikan. Dimana sektor pendidikan diharapkan dapat meningkatkan sumber daya manusia sehingga dapat menciptakan tenaga kerja yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia berkorelasi dengan peningkatan akselerasi pertumbuhan ekonomi serta peningkatan efisiensi pembangunan yang berkelanjutan.
Pengembangan manusia Indonesia mempunyai dua aspek, yaitu : a) Manusia Indonesia sebagai sumber daya insani, dan b) Manusia Indonesia sebagai sumber daya pembangunan yang menggerakkan roda ekonomi (Sagir; 2002 : 25). Manusia Indonesia sebagai sumber daya insani, yaitu manusia sejak lahir sampai manula perlu ditingkatkan kualitasnya. Sebagai sumber daya manusia yang menggerakkan roda kehidupan bertalian erat dengan masalah tenaga kerja. Pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menyerap, mengembangkan, dan menerapkan teknologi akan mampu mempersiapkan diri menghadapi persaingan dalam kehidupan global. Artinya adalah bahwa dengan memiliki tenaga kerja yang berkualitas akan mampu mengendalikan serta memanfaatkan teknologi yang semakin modern. Dengan adanya suatu bekal keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja dan dapat ditempatkan pada lowongan yang tersedia.
Pembangunan ketenagakerjaan merupakan upaya yang sifatnya menyeluruh di semua sektor dan daerah dan ditujukan pada perluasan lapangan kerja dan pemerataan kesempatan kerja, peningkatan mutu dan kemampuan serta perlindungan kerja. Pembangunan sektoral dan regional perlu selalu mengusahakan terciptanya lapangan kerja yang seluas mungkin.
Hal ini diperjelas dalam visi pembangunan ketenagakerjaan yang tertera dalam Dinas Tenaga Kerja yaitu : Memperluas kesempatan kerja sektoral dan regional dengan memperhatikan pendapatan yang layak, mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu yang diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kemandirian tenaga kerja, menjamin kesejahteraan perlindungan dan kebebasan berserikat.
Upaya perluasan kesempatan kerja dilaksanakan melalui pertumbuhan ekonomi juga dilaksanakan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas penempatan tenaga kerja. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang semakin baik, dicerminkan oleh pendidikan rata-rata yang semakin baik, memberi dampak positif terhadap produktivitas tenaga kerja. Begitu pula dengan upaya peningkatan keterampilan dan pelatihan tenaga kerja yang disertai dengan penerapan teknologi yang sesuai, berdampak pula terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Dengan meningkatnya produktivitas angkatan kerja akan meningkatkan produksi barang dan jasa yang pada akhirnya akan menimbulkan keuntungan-keuntungan berupa : 
1. Makin meningkatnya taraf hidup tenaga kerja dan masyarakat.
2. Makin meningkatnya nilai tambah semua sektor ekonomi yang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan ekonomi selanjutnya (Rachbini, 2001 : 75).
Angkatan kerja yang terdidik dan terlatih hanya dapat berdaya guna dan berhasil guna bila ditempatkan pada lowongan kerja yang tersedia sesuai kualifikasi pendidikan dan latihan kerja yang mereka miliki. Untuk mencapai tujuan tersebut, mekanisme perencanaan latihan kerja di Kota X khususnya dalam upaya penyediaan tenaga kerja yang terampil, disiplin dan produktif sesuai dengan kebutuhan pembangunan harus terarah dan dapat lebih ditingkatkan melalui kerjasama dengan instansi pemerintah yang dalam hal ini oleh Dinas Tenaga Kerja Kota X, yang dengan segala kemampuannya sebagai pelaksana perundangan di bidang ketenagakerjaan telah berupaya menyelesaikan seluruh permasalahan ketenagakerjaan yang sangat multi kompleks. Dinas Tenaga Kerja Kota X telah berupaya dalam pengurangan pengangguran yakni dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat tentang lowongan pekerjaan yang ada yakni melalui bursa tenaga kerja, memberikan informasi tentang perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Ini dapat dilihat pada bursa tenaga kerja yang terdapat di kantor Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Kota X. Diharapkan hal ini akan dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di kota X.
Masalah tenaga kerja yang semakin penting dan mendesak, karena diperkirakan pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan kerja. Disamping itu pendidikan, keahlian dan keterampilan dari angkatan kerja relatif sangat rendah merupakan salah satu penghambat partisipasi angkatan kerja dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung. Seperti halnya yang terjadi saat ini yakni lebih banyak pencari pekerjaan daripada lowongan kerja yang tersedia. Hal ini akan menimbulkan tingginya tingkat pengangguran.
Sadikin (1981 : 15) memberikan penggolongan jenis-jenis pengangguran sebagai berikut : pengangguran terbuka meliputi pengangguran frictional (pengangguran normal), dimana tenaga kerja keluar dari tempat kerjanya dengan harapan akan memperoleh pendapatan dan status sosial serta fasilitas yang lebih baik di tempat lain. Selanjutnya pengangguran struktural sebagai akibat pemutusan kerja. Pengangguran teknologi sebagai akibat pergantian tenaga manusia dengan mesin lebih modern, dan pengangguran cyclical timbul sebagai akibat penyusutan salah satu sektor pekerjaan, sedangkan pengangguran tidak kentara, yaitu pengangguran musiman dan tenaga kerja yang setengah menganggur.
Dari kutipan diatas, jelaslah bahwa masalah ketenagakerjaan adalah masalah yang sangat krusial. Karena dengan bekerja orang dapat memperoleh pendapatan sekaligus status sosial. Sebaliknya orang yang menganggur tidak memperoleh pendapatan dan status sosial. Oleh sebab itu dalam mengatasi pengangguran ini dituntut adanya perhatian dan campur tangan pemerintah yang lebih jauh demi kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik mengadakan penelitian yang berjudul studi tentang "PENYALURAN TENAGA KERJA PADA DINAS TENAGA KERJA".

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka perumusan masalah yang diajukan adalah "Bagaimanakah Penyaluran Tenaga Kerja Pada Dinas Tenaga Kerja Kota X ?".

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penyaluran tenaga kerja pada Dinas Tenaga Kerja Kota X.

D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, maka diharapkan akan memberi manfaat antara lain : 
1. Untuk memberi masukan terhadap Penyaluran Tenaga Kerja pada Dinas Tenaga Kerja Kota X. 
2. Sebagai bahan Referensi/Pemerintah yang Relevan di Kota X

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:13:00

IMPROVING STUDENT MOTIVATION TO SPEAK ENGLISH THROUGH COLLABORATIVE LEARNING

IMPROVING STUDENT MOTIVATION TO SPEAK ENGLISH THROUGH COLLABORATIVE LEARNING

1.1 Background
English is a widely spoken language, so it becomes a global language. As an international language, English has become a tool for International communication in every single life business. For the given reason, Indonesian government has decided that English becomes a compulsory subject that should be mastered by students from the elementary level to the college level.

Vygotsky (1962), in Wray (2006), in his investigating of the relationship between language and thought, he finds the unit of verbal though in word meaning. Vygotsky saw the meaning of a word representing a close relationship between language and thought. Swain (1985), in Lawtie (2006), notes that way to learning to speak is through speaking itself. It means the more practice to speaking the more oral skills will improve.

Nunan (1991), in Lawtie (2006), suggests that success in learn foreign language is measured in terms of the ability to carry out a conversation in the target language. Therefore, if students do not learn how to speak or do no get any opportunity to speak in the target language, they soon get de-motivated and loose interest in learning. Nunan adds that if the right activities are taught in the right way, it can make speaking in class can be a lot of fun. For that reason, general learner motivation will raise and the English language classroom becomes a fun and dynamic place to be.

In English study, four language skills should be mastered are listening, speaking, reading, and writing. In facts, speaking is one of the most important things in life, thus any expression of thought that comes from mind can be conveyed by speaking. For instance in daily lives most of people speak more than write. On the other hands, speaking a foreign language usually seems much harder than learning to write and read it. Often the most important problem people have with foreign languages is that they cannot speak.

Often the most important problem people have with foreign languages is that they cannot speak. Probably it happens because they shame to speak in the public. In fact, there are a vicious circle of speaking problem. First, people make mistakes when speaking, then they become afraid of speaking, and thus they never get the practice which would enable them to correct their mistakes.

While students are actively involved in the process of learning, they learn best. Students working in small groups tend to learn more of what is taught and retain it longer than when the same content is presented in other instructional formats. Students energy increases, rewarding teams of students for performance is effective, and that appearing to increase the energy of the teams while they working together (Johnson, et all., 1981, cited by Gokhale 2006). In addition, Long & Richards (1987 cited by Lawtie 1996)), present that learner centered classrooms where learners do the talking in groups and learners have to take responsibility for using communicative resources to complete a task are shown to be more conducive to language learning than teacher centered classes.
According to Vygotsky (1978, in Gokhale 2006), students are capable of performing at higher intellectual levels when asked to work in collaborative situations than when asked to work individually. It is believed one of learning approaches that deal with working together is collaborative learning. In addition, Welch (2005) states that students learn best in a classroom where they feel free to express their ideas, they feel needed, and they feel comfortable with their peers.
In nutshell speaks, some variables take part in the success of learning, it is not only the cognitive factors, but also the personality factors such as motivation. Gardner (1985 : 27, cited in Fatriyani 2005) points that in some contexts, personality variables relate to listening comprehension and oral production and it is important. In addition, Krashen (1982 : 31) cited by Fatriyani (2005) proposed three variables related to the success of the Second Language Acquisition (SLA). First is Motivation it is assumed that high motivational performance would generally do better in SLA. Second is Self-confidence, it is understood that performance tend to do better in SLA if self-confidence and good self-image involved. The final is Anxiety, it is believed that the one of good support for SLA is the measurement of anxiety as personal or classroom anxiety.

Motivation and learning are so closely bound together, so dependent upon and affected by one another. Houston in his Motivation (1997) states that learning cannot occur unless the organism who involves in learning is motivated to learn. In teaching and learning process, not all learners were motivated to perform all classroom tasks, hence motivation being one of learning substance. The learners complete the tasks not because they want to get some cognitive or affective reward from the teacher, but because they feel fun, interesting useful or challenging in it (Brown, 2001).

The writer, therefore, is fascinated to observe the using of collaborative learning in encourage students to speak. In other words, the writer would like to know whether Collaborative Learning could improve students' motivation to speak English or not.

1.2 Research Questions
In accordance with the using of Collaborative learning in improving students' motivation to speak which is the main concern of this study, writer formulated the problem statements of the study as follow :
1. Can Collaborative Learning improve students' motivation to speak English?

1.3 Scope of the Study
In relation to the statements that have been formulated above, two variables are confirmed in this study. They are the use of collaborative learning and the students' improvement to speak English in speaking class and how Collaborative Learning influence students' motivation improvement in speaking class. The scope of this research, however, is limited to investigate the effectiveness of collaborative learning in order to improve students' motivation in speaking English.

1.4 The Aims of the Study
In general, this study is designed to figure out the use of Collaborative Learning in improve students' motivation to speak English. Particularly, the study has some aims as follow :
1. To find out whether or not collaborative learning can improve students' motivation to speak English.

1.5 Significance of the study
This study is generally expected to contribute values consideration to the whole educational subjects related to the second language teaching, especially in teaching speaking English. The writer hopes that the curriculum maker and the teacher could construct the materials of speaking learning that pay attention on psychological aspect for instance motivation.

1.6 Organization of the Paper
This paper is organized into five chapters. The first chapter includes introduction which discuss, background, research questions, scope of the study, the aims of the study, significance of the study, assumption, hypotheses, method of investigation, population and sample, data collection procedure, clarifications of the key terms, and organization of the paper.

The second chapter concerns on theoretical foundations that contains the related theories which is served as a basis of the investigation of research questions. The research methodology that covers population and sample, instrument, research design, and the data analysis is presented in chapter third.

The result and findings of the study is reported in chapter fourth. It consists of data interpretation, the analyzing of the data, and the interpretation of the data. The Last is chapter fifth which holds conclusion and recommendations that synchronize with the research findings.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:11:00

THE PORTRAYAL OF MULTIPLE INTELLIGENCE THEORY IN TEACHING ENGLISH TO YOUNG LEARNERS

THE PORTRAYAL OF MULTIPLE INTELLIGENCE THEORY IN TEACHING ENGLISH TO YOUNG LEARNERS

1.1 Background
English is a crucial language since it plays an important role as a bridge to exchange information among countries in this globalization era. Such condition requires people to have proficiency in English. For that reason, in Indonesia English has been taught since in primary schools.

However, teaching English in primary schools "can be both a rewarding and a demanding experience" (Halliwell, 1992 : 2). Halliwell asserts that teachers need to be clear about what they are going to do. It includes how teachers treat learners in teaching-learning process.
In a classroom, learner A might be good at understanding materials through songs while learner B might demonstrate better understanding through pictures. It may be because student A has high sensitivity in musical thing while student B does not really catch up with it. Consequently, teachers should take into account learners' strengths in designing learning activities.
Based on the explanation above, many language educators start to use a new approach to maximize learners' strengths (Armstrong, 2009). Then, Multiple Intelligence (MI) theory emerged and it has been used in Indonesia. MI theory states that someone may possess different intelligences from other people. These intelligences are linguistic, logical-mathematical, musical, spatial, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, and naturalist (Baum, Viens & Slatin, 2005; Campbell & Campbell, 1999; Fleetham, 2006; Gardner, 2003).

MI theory has been reported to be effective in developing individual capacity. Chen's work (2005) in a classroom for junior college students in Taiwan showed that MI benefitted students in encouraging them to learn English and improving their four language English skills. Other related studies conducted in Indonesian young learners' classroom settings (see Dewi, 2007; Elroy, 2008; Komariah, 2007; Marliani, 2007; Paridawati, 2007; Suhartatik, 2008; Sundusiah, 2005). Dewi (2007) explained that MI theory helped students improve their abilities, such as imitating sounds and knowing new vocabulary. Elroy (2008) and Marliani (2007) found that MI theory created a fun and meaningful English learning. Additionally, Paridawati (2007) stated that MI theory improved students' English vocabulary achievement while Sundusiah (2005) discovered that MI theory improved students' English writing. Furthermore, Komariah (2007) and Suhartatik (2008) asserted that MI-based instruction was influential in encouraging students to learn English. Therefore, MI theory can be implemented in this present study.

This study attempts to investigate if MI theory has been attended to by the observed teacher, the advantages and the barriers of MI implementation in the classroom. The results of the study are expected to contribute to the development of MI implementation in classroom. In addition, through MI theory, teachers are encouraged to conduct a teaching-learning process which emphasizes on students' strengths. The idea of MI theory can also help students at all levels recognize their highly-developed and less-developed intelligences. Therefore, they can implement MI theory in their learning activities in order to maximize their potentials.

1.2 Research Questions
The study addressed the following questions :
1. Has multiple intelligence theory been attended to by the teacher in the classroom?
2. If multiple intelligence theory has been attended to, what are the advantages and barriers of implementing it in the teaching-learning process?

1.3 Aims of the Study
This study aimed to investigate :
1. If multiple intelligence theory has been attended to by the teacher in the classroom.
2. The advantages and barriers of implementing multiple intelligence theory in the teaching-learning process.

1.4 Significance of the Study
In X, where the present study took place, few studies related to Multiple Intelligence (MI) theory implementation in the classroom have been conducted. Therefore, this study is urgent as it will contribute to the development of MI implementation in classroom, especially for the school where this study is conducted.

Even though MI is a well-known theory among language educators, not every single teacher at schools has already known about it. Some teachers may have understood about it while some others may not. Thus, this study presents a real picture on how MI-based teaching strategies are applied in classroom. Teachers can both adopt and adapt the teaching strategies for their teaching-learning process in the class.

MI theory gives teachers benefits not only in improving their pedagogical competence but also in developing their social competence. The teachers' understanding of MI theory can also affect their professionalism. MI theory encourages teachers to accommodate students' different strengths by providing a wide range of learning activities. Besides, MI theory enables teachers to assess students' performance based on their strengths. By doing so, students are given chances to demonstrate their best.

Although this study is focused on young learners, the idea of MI theory is universal. Students at all levels can implement MI theory in their learning activities. The results of this study are expected to encourage students at all levels to be aware of their highly-developed and less-developed intelligences. Therefore, they can maximize their strengths so that they are able to reach their success sooner.

1.5 Scope of the Study
The study focused on if MI theory has been attended to by the teacher in the classroom. In addition, the researcher attempts to find out advantages and barriers of implementing MI theory encountered by the teacher. This study was conducted in an elementary school located in X.

1.6 Clarification of Main Terms
a. Multiple Intelligence Theory : A theory, initially proposed by Gardner (2003), stating that someone may possess different intelligences from other people. These intelligences are linguistic, logical-mathematical, musical, spatial, bodily-kinaesthetic, interpersonal, intrapersonal, and naturalist intelligence.
b. Young Learners : in this study, young learners are defined as learners at age 6 - 8 (first and third graders of elementary school).

1.7 Organization of the paper
This study is organized into five chapters. Chapter one consists of background, research questions, aims of the study, significance of the study, scope of the study, clarification of main terms and organization of the paper.
Chapter two provides theories that are relevant to the study. Chapter three contains research methodology that consists of research design, sites and participants, data collecting techniques, and data analysis. Chapter four reveals the findings and discussions. Chapter five presents the conclusions and suggestions.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:10:00

UPAYA BADAN PERIZINAN TERPADU (BPT) DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

UPAYA BADAN PERIZINAN TERPADU (BPT) KABUPATEN X DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

A. Latar Belakang Masalah
Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan Ilmu Administrasi Publik. Hal ini disebabkan karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat, maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service.

Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari adanya beberapa lapisan kompleks tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas dalam suatu sistem demokrasi. Administrator yang bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat tidak hanya dalam perencanaan dan pelaksanaan program guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pekerjaan administrator publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada masyarakat.

Perwujudan paradigma diatas akhirnya akan sangat bergantung pada adanya komitmen dan keinginan yang kuat dari para aparat pemerintah sehingga dapat melaksanakan pelayanan publik dengan benar dan sungguh-sungguh. Untuk menyelenggarakan pelayanan publik berdasarkan paradigma tersebut dan yang sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat di era globalisasi ini, maka pemerintah memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah untuk mengembangkan, memperbaiki dan mengelola sumberdaya yang dimilikinya, yang telah ditetapkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah: Pertama, mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kedua, bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penampilan birokrasi yang baik mensyaratkan otonomisasi, dan sebaliknya otonomisasi akan meningkatkan efektifitas dan daya tanggap administrasi terhadap kebutuhan lokal. Secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, antara lain melalui pemotongan jalur birokrasi pelayanan, sehingga masyarakat dapat lebih mudah mengakses pelayanan pemerintah, terutama pelayanan pemerintah daerah. Mayoritas dari warga negara hanya peduli pada pelayanan administrasi yang lebih baik, lebih cepat, lebih sederhana prosedurnya, lebih terbuka, dan dengan biaya yang murah.
Desentralisasi diyakini oleh banyak orang sebagai system pemerintahan yang lebih baik dari pada sentralisasi, terutama dalam pelayanan publik dilihat dari segi manajemen pemerintah desentralisasi dapat meningkatkan efektifitas, efisiensi dan akuntabilitas publik. Sedangkan dilihat dari segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan (perlombaan) antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya, dan ini mendorong pemerintah local untuk melakukan inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada warganya.

Perbaikan pelayanan tersebut akan makin baik kalau didukung oleh sistem pemerintahan yang demokratis, terbuka, akuntabel dan memberi ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat. Dengan sistem seperti itu maka tujuan akhir dari desentralisasi dan otonomi daerah berupa peningkatan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat akan dapat tercapai. Sehingga kualitas layanan aparatur pemerintah kepada masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah.

Dan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik, maka pemerintah menetapkan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang bertujuan:
1. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pi hak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
2. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
3. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
4. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Komitmen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para masyarakat sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 serta terselenggaranya otonomi daerah sesuai dengan tujuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disusun pada perencanaan strategis BPT Kab. X, Rencana strategis sangat terkait dengan BPT Kab. X, dalam upayanya utuk memaksimalkan semua potensi dan sumber daya yang dimilikinya, yaitu dengan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Kondisi lingkungan global yang penuh persaingan menuntut organisasi untuk lebih dinamis dengan perubahan lingkungannya. Sehingga setiap pegawai hams memandang, memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan.

Perencanaan strategis adalah suatu cara untuk membantu organisasi dan komunitas masyarakat dalam mengatasi lingkungan mereka yang telah berubah serta mampu berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan. Gejolak yang makin meningkat dan saling bertautan ini memerlukan tanggapan dari organisasi dan komunitas publik. Pertama, organisasi hams berpikir strategis yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Kedua, organisasi hams bisa menerjemahkan inputnya untuk strategi yang efektif guna menanggulangi lingkungan yang senantiasa bembah. Ketiga, organisasi hams mengembangkan alasan yang diperlukan untuk meletakkan landasan bagi pemakaian dan pelaksanaan strateginya. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi dan komunitas untuk memmuskan dan memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi. Selain itu, perencanaan strategis dapat pula membantu organisasi dan komunitas membangun kekuatan dan mengambil keuntungan dari peluang penting, sembari organisasi dan komunitas mengatasi atau meminimalkan kelemahan dan ancaman serius, sehingga dapat membantu organisasi dan komunitas menjadi lebih efektif dalam dunia yang penuh persaingan.

Bryson (2007:3) menyebutkan bahwa para pemimpin pemerintahan, lembaga publik dari semua jenis, organisasi nirlaba, dan komunitas menghadapi banyak tantangan sulit dalam tahun-tahun mendatang. Pembahan-pembahan tersebut misalnya pembahan demografis, pembahan nilai, privatisasi pelayanan publik, pembahan ekonomi global dan sebagainya.

Jadi baik organisasi besar maupun kecil, tetap hams menyadari adanya pergeseran yang sangat penting di dalam fokus dan kegiatan organisasi di era globalisasi. Artinya, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, hal ini disebabkan tantangan-tantangan yang semakin sulit di tahun-tahun yang akan datang tidak bisa dipandang remeh. Oleh karena itu strategi diperlukan untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Dalam kondisi seperti itu maka setiap organisasi publik atau privat, maupun masyarakat sendiri bila ingin tetap survive dan bertahan hidup harus mampu merespon perubahan itu dengan langkah-langkah yang tepat, dengan berpikir dan bertindak makin strategis, mungkin dengan menigkatkan kualitas kegiatannya atau bahkan bila perlu melakukan perubahan fokus atau kegiatannya.

Kualitas pelayanan harus menjadi kepedulian seluruh pihak yang terlibat di BPT Kab. X baik yang berada ditingkat pelaksana maupun pimpinan sesuai dengan peranannya. Mengingat Kabupaten X merupakan Kabupaten Kota yang sedang berkembang, sehingga memerlukan penanganan secara terpadu dalam bidang administrasi pelayanan perijinan.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain ditegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi adalah berupaya memberikan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Maka Pemerintah Kabupaten X membentuk Badan Pelayanan Terpadu pada tanggal 20 Juli 2006 dengan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2006. Badan Pelayanan Terpadu kemudian diubah menjadi Badan Perijinan Terpadu Kabupaten X dengan Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2008. Sehingga semua proses perijinan dilaksanakan di BPT Kab X mulai dari penerimaan berkas, pemrosesan dokumen, penandatanganan ijin sampai dengan penyerahan dokumen ijin.

Badan Perijianan Terpadu telah menerapkan sistem pelayanan satu pintu (one stop service/OSS) sejak tahun 2002, yang dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dalam mengurus perijinan yaitu dengan memberikan perijinan secara terpadu pada satu tempat/lokasi sesuai dengan kewenangan masing-masing instansi. Hal ini mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan perijinan dapat diselenggarakan secara berhasilguna dan berdayaguna serta untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai salah satu contoh bahwa dengan OSS pelayanan perijinan di BPT Kabupaten X efektif dan efisien dibandingkan dengan pelayanan sebelum OSS adalah misalnya pada perijinan 1MB (Ijin Mendirikan Bangunan). Jika dibandingkan dengan pelayanan sebelum OSS perijinan 1MB baru akan selesai hingga waktu 1 bulan dari awal permohonan diajukan, sedangkan dengan menggunakan sistem OSS Perijinan 1MB akan selesai dalam waktu 10 hari. Dilihat dari prosedur pelayanan OSS yang diawali dengan pemohon yang mengajukan berkas permohonan perijinan di loket pelayanan sesuai dengan bidang perijinan (1MB). Berkas permohonan perijinan tersebut disampaikan kepada masing-masing Instansi/Unit Kerja Teknis dan diproses dengan melalui tahap: pemeriksaan berkas, ceking lokasi, evaluasi, penetapan biaya, dan pengesahan surat perijinan oleh pejabat yang berwenang. Kemudian berkas yang telah disahkan diserahkan ke loket pengambilan yang selanjutnya dapat diambil oleh pemohon ijin setelah membayar bisya retribusi sebesar yang telah ditetapkan. Untuk penetapan biaya IMB telah ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten X Nomor 11 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Saai ini di BPT Kabupaten X dalam setiap perijinan selalu memberikan perincian biaya yang jelas dan transparan. Selain itu, pemohon dapat melakukan tindakan seperti pengecekan, pemeriksaan, pengukuran dan complain kepada petugas jika biaya maupun pelayanannya tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

Sebagai organisasi publik dalam pelayanan perijinan BPT harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan pelayanan perijinan yang dilakukan tidak satu pintu atau ketika ditangani oleh masing-masing instansi secara langsung. Efektif dan efisien ini baik dalam prosedur perijinan, waktu penyelesaian maupun biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat.

Berkembangnya arus informasi dan komunikasi yang saat ini hampir tidak terbatas oleh jarak dan waktu serta didukung pula dengan tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi membuat masyarakat semakin menuntut agar pelayanan yang diberikan bisa lebih baik atau paling tidak seimbang dengan biaya atau kontribusi yang telah diberikan masyarakat. Dalam menghadapi berbagai tuntutan masyarakat atas pelayanan publik, bagi suatu organisasi diperlukan penerapan strategi yang sesuai dengan keadaan dan kendala yang dihadapi agar mampu meningkatkan kualitas pelayanannya. Begitu pula dengan BPT Kab. X memerlukan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan agar lebih baik dari yang selama ini diberikan yaitu dengan memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Tanpa adanya penerapan strategi yang efisien dan efektif dalam upayanya meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka pelayanan perijinan yang dilakukan oleh BPT Kab. X kepada masyarakat akan statis, tidak berkembang dalam arti tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Pelayanan kepada masyarakat akan selalu terpaku pada kebiasaan yang terjadi sehari-hari tanpa memperhatikan perubahan-perubahan yang dihadapi oleh BPT Kab. X

Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai upaya apa saja yang telah dilakukan BPT Kab. X dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik serta hambatan-hambatannya.

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ini bertujuan untuk memberikan rumusan yang jelas dari permasalahan yang ada untuk memecahkan pembahasan dalam bentuk pertanyaan. Adapun perumusan masalah dari uraian latar belakang diatas adalah:
"Bagaimana Upaya Badan Perijinan Terpadu (BPT) Kabupaten X dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik ?"

C. Tujuan Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan penulis mampu mengetahui berbagai upaya yang diambil oleh Badan Perijinan Terpadu (BPT) Kabupaten X dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk :
1. Sebagai umpan balik yang dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam rangka penyusunan rencana strategis yang lebih baik di masa yang akan datang.
2. Memberi masukan bagi pemerintah Kabupaten X khususnya BPT Kab. X dalam meningkatkan pelayanan publik.
3. Melatih kepekaan peneliti terhadap berbagai perubahan sosial dan lingkungan sekitarnya.
4. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan berkaitan dengan upaya dan strategi BPT Kab. X dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik beserta seluruh permasalahannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 18:36:00

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN TERHADAP KEPUASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN LOYALITAS MAHASISWA

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN TERHADAP KEPUASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN LOYALITAS MAHASISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang memiliki intelektual dan unggul, mampu bersaing dalam bidangnya maka tidak terlepas dari peranan Perguruan Tinggi sebagai institusi pendidikan. Perguruan Tinggi bertugas menghasilkan alumni-alumni yang berkualitas. Proses belajar dan mengajar saja tidak cukup tetapi perlu didukung dengan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya terutama perpustakaan. Karena perpustakaan adalah tempat dimana masyarakat, pelajar, dan mahasiswa dapat memperoleh informasi dan belajar mandiri guna untuk meningkatkan kualitasnya. Sebagai pusat informasi, perpustakaan tidak hanya sebatas gedung dan buku. Perpustakaan yang modern memiliki tugas dan fungsi untuk mencari, mengumpulkan, mengorganisasikan, mendokumentasikan dan menyajikan informasi kepada pengguna baik dalam bentuk cetakan maupun dalam bentuk elektronik.
Bagi kebanyakan masyarakat, perpustakaan selalu dipersepsikan identik dengan ruangan yang sepi, koleksi yang out of date dan tidak menarik. Segala kekurangan ini masih ditambah dengan keluhan pelayanan yang diberikan kadang kurang profesional dan kurang simpatik
Perlu diketahui bahwa status Perpustakaan di Indonesia keberadaannya masih terpinggirkan. Ada yang menganggap penting tapi masih sebatas retorika. Sebuah perpustakaan, merupakan salah satu ukuran dalam menilai sejauh mana kualitas knowledge yang dimiliki dan dihasilkan oleh institusi tersebut. Karena itu perpustakaan menjadi sumber yang sangat penting dalam pengembangan knowledge di institusinya, begitu juga dengan peranan perpustakaan perguruan tinggi.
Perpustakaan sebagai organisasi publik nonprofit memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat pemakainya dengan mengutamakan kepuasan pelanggan. Berbeda dengan organisasi bisnis yang memberikan layanan umum dengan mengutamakan keuntungan (profit). Namun di antara organisasi profit dan nonprofit terdapat kesamaan tugas, yakni melayani masyarakat pengguna. Perpustakaan adalah pelayanan. Tidak ada perpustakaan jika tidak ada pelayanan. Karena itu sebenarnya perpustakaan identik dengan pelayanan. Maka perpustakaan dan petugas perlu mengubah pola pikir bahwa pemakai adalah pelanggan (customers). Kepuasan pelanggan menjadi salah satu tujuan pelayanan suatu perpustakaan.
Untuk mencapai tujuan pelayanan yang berkualitas, perpustakaan dituntut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penggunanya. Tidak saja terpenuhinya sumber-sumber informasi tetapi perlu juga diperhatikan fasilitas-fasilitas fisik, kualitas pelayanan, dan teknologi yang dapat membantu proses pelayanan sehingga tercapainya kepuasan pemakai, karena kepuasan dan loyalitas adalah berkaitan, walaupun keterkaitannya ada, tidak selalu beriringan.
PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa perpustakaan merupakan unsur penunjang pendidikan tinggi. Secara harfiah, unsur penunjang dapat diartikan sebagai sesuatu yang harus ada untuk kesempurnaan yang ditunjang. Peran strategis ini juga terlihat jelas dalam proses akreditasi sebuah pendidikan tinggi, dimana perpustakaan merupakan unsur utama, walau bukan yang pertama. Jika suatu lembaga pendidikan tinggi ingin mendapatkan akreditasi resmi, maka perpustakaan dan segala isinya wajib ada. Artinya, akreditasi tidak akan diperoleh jika lembaga tersebut tidak memiliki perpustakaan. Secara teori, perpustakaan sebetulnya memiliki peran strategis dalam eksistensi pendidikan tinggi. Sebagai unsur penunjang penting, perpustakaan tidak dapat diabaikan, khususnya dalam hal pencapaian visi. Jika sebuah universitas ingin menjadi 'universitas bertaraf internasional', otomatis perpustakaan juga harus ikut menjadi 'perpustakaan bertaraf internasional'.
Ketidakstabilan frekuensi kunjungan dan jumlah pinjaman setiap bulannya, menunjukan bahwa minimnya kualitas pelayanan yang ada di Perpustakaan Universitas X. Kualitas pelayanan perpustakaan adalah salah satu variabel yang sangat menentukan untuk mencapai kepuasan dan loyalitas mahasiswa terhadap pemanfaatan perpustakaan, untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan tersebut terhadap kepuasan mahasiswa serta keeratan hubungan antara kepuasan dengan loyalitas mahasiswa, peneliti mencoba melihat pengaruh tersebut berdasarkan pada lima dimensi, yaitu : Bukti fisik, adalah aspek-aspek nyata yang bisa dilihat dan diraba, termasuk sumber daya manusia. Kehandalan, adalah aspek-aspek kehandalan sistem pelayanan yang diberikan oleh perpustakaan, apakah jasa yang diberikan sesuai dengan standar-standar umum atau kemampuan mewujudkan jasa sesuai dengan yang telah dijanjikan secara cepat. Ketanggapan, adalah keinginan untuk membantu mahasiswa dan menyediakan jasa yang dibutuhkan atau kecepat-tanggapan dari pustakawan dalam memberikan jasa serta dapat menangkap aspirasi-aspirasi yang muncul dari mahasiswa. Jaminan, adalah bahwa jasa yang diberikan memberikan jaminan kenyamanan, kemampuan sumber daya dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar. Empati, adalah kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, keramahan, komunikasi, dan kemampuan memahami kebutuhan mahasiswa.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dirumuskan masalah sebagai berikut : 
a. Sejauhmana pengaruh kualitas pelayanan perpustakaan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati terhadap kepuasan mahasiswa Universitas X
b. Bagaimana hubungan kepuasan mahasiswa dengan loyalitas mahasiswa dalam memanfaatkan Perpustakaan Universitas X.

C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan perpustakaan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati terhadap kepuasan mahasiswa Universitas X.
b. Untuk mengetahui variabel yang paling dominan dari kualitas pelayanan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa Universitas X
c. Untuk mengetahui hubungan kepuasan dengan loyalitas mahasiswa Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi;
a. Perbaikan kepada Manajemen Perpustakaan Universitas X dalam menentukan kebijakan dan perencanaan ke depan guna untuk meningkatkan kualitas pelayanan
b. Dapat memberikan sumbangan (contribution) empirik bagi para akademisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang kualitas pelayanan yang mempengaruhi kepuasan dan hubungannya dengan loyalitas mahasiswa terhadap perpustakaan Universitas X
c. Bagi peneliti, dapat melatih dan berpikir secara ilmiah serta menambah wawasan pengetahuan di bidang manajemen pemasaran, khususnya yang berkaitan dengan kualitas pelayanan .
d. Bagi akademisi dan peneliti lanjutan, dapat menjadi bahan referensi atau bahan acuan untuk penelitian selanjutnya terutama yang berminat untuk meneliti tentang kualitas pelayanan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:39:00

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KESENJANGAN WILAYAH DI INDONESIA

TESIS DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP TINGKAT KESENJANGAN WILAYAH DI INDONESIA (PROGRAM STUDI : EKONOMI KEBIJAKAN PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak tanggal 1 Januari 2001 Indonesia memasuki era baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai dengan mulai diberlakukannya otonomi daerah. Implementasi pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan adanya perubahan struktur pemerintahan yang menjadi lebih terdesentralisasi. Secara teoritis terdapat empat tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi ekonomi, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Sidik : 2002). Penerapan sistem desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan secara bersamaan dengan penerapan sistem otonomi daerah yang ditandai dengan diterapkannya Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang mengatur pelimpahan wewenang di bidang fiskal (desentralisasi fiskal). Dalam perkembangannya, undang-undang tersebut kemudian direvisi dengan Undang-undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Desentralisasi Fiskal dapat didefinisikan sebagai penyerahan sebagian kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkat pemerintahan di bawahnya. Berdasarkan definisi ini maka daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dengan dukungan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau menganut prinsip Money follows function. Hal ini berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Desentralisasi fiskal menjadi penting untuk diterapkan karena beberapa alasan. Pertama, semakin langkanya sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan. Kedua, mengurangi ketergantungan daerah pada Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga, banyak sumber penerimaan daerah yang besar dikelola oleh pemerintah tingkat propinsi, bahkan pungutan pada level pemerintahan propinsi lebih besar daripada subsidi yang diberikan kepada kabupaten dan kota (Ermaya dalam Makmun : 2004).
Dengan demikian, maka pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan menghasilkan manfaat seperti : a). Mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan; b). Mendorong pemerataan hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Pemerataan hasil pembangunan, yang ditunjukkan oleh makin meratanya distribusi pendapatan ataupun berkurangnya tingkat kesenjangan ekonomi antar wilayah, menjadi penting dikaji karena merupakan salah satu masalah pokok pembangunan, selain masalah pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan (Arsyad : 2004). Disamping itu juga, kesenjangan antar wilayah juga dapat menimbulkan berbagai macam masalah seperti kecemburuan antarwilayah serta berbagai masalah kependudukan seperti migrasi, urbanisasi, pengangguran, dan Iain-lain. Pada gilirannya, masalah-masalah tersebut akan berpengaruh pada stabilitas nasional.
Dalam kenyataannya, terdapat dua macam pandangan yang sangat berbeda mengenai pengaruh atau dampak dari penerapan desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan wilayah. Pandangan yang pertama, yang lebih dikenal dengan pandangan konvensional menyatakan bahwa desentralisasi fiskal kemungkinan besar dapat meningkatkan kesenjangan wilayah. 
Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dengan diterapkannya desentralisasi fiskal, maka wewenang pemerintah pusat dalam menerapkan kebijakan distribusi pendapatan antar wilayah akan semakin mengecil, sehingga menyebabkan makin meningkatnya kesenjangan wilayah. Namun, belakangan ini timbul kontroversi terhadap pandangan tersebut, yang menyatakan bahwa penerapan desentralisasi fiskal justru dapat mendorong terjadinya pemerataan atau mengurangi tingkat kesenjangan antar wilayah. Pandangan kedua ini didasari pemikiran bahwa dengan diterapkannya desentralisasi, maka pemerintah daerah akan menghadapi kendala dalam hal pembiayaan pembangunan daerahnya. Hal ini mendorong pihak pemerintah daerah untuk dapat meningkatkan penerimaan daerah dengan usahanya sendiri, sehingga kesenjangan yang terjadi antar daerah menjadi semakin berkurang.
Dalam prakteknya di Indonesia, keberhasilan proses desentralisasi dalam mengurangi kesenjangan ekonomi/pendapatan antar daerah tersebut masih menjadi pertanyaan. Dalam hal ini telah dilakukan beberapa studi di tingkat propinsi di Indonesia, namun hasilnya bervariasi dalam artian ada yang mendukung pandangan pertama (konvensional) maupun pandangan kedua. Pandangan konvensional diperkuat oleh beberapa hasil studi dari Shovie (2004), Wijayanti (2006), Astuti (2007) dan Antonius (2007). Berdasarkan temuan dari Astuti dan Wijayanti, ada hubungan positif antara desentralisasi dengan pendekatan Penerimaan (Pendapatan Asli Daerah/PAD maupun total penerimaan) dengan kesenjangan ekonomi antar wilayah. Hal ini berarti bahwa desentralisasi fiskal makin melebarkan kesenjangan ekonomi antar wilayah. Sedangkan pandangan kedua, juga diperkuat oleh beberapa studi seperti hasil studi dari Suhartono (2005), Wijayanti (2006) dan Widhiyanto (2006). Suhartono (2005) menyatakan bahwa penerapan desentralisasi fiskal, yang diukur dengan indikator transfer fiskal, telah memberikan efek berkurangnya kesenjangan ekonomi antar daerah (Suhartono dalam Wijayanti : 2006). Selain itu, Wijayanti (2006) dalam tesisnya juga menemukan bahwa ada hubungan negatif antara desentralisasi dengan pendekatan pengeluaran (total expenditure maupun total expenditure dan revenue) dengan kesenjangan ekonomi antar daerah. Hal ini berarti bahwa upaya pemerintah untuk membantu daerah melalui dana perimbangan cukup berhasil secara signifikan dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah. Studi terbaru yang mendukung pandangan kedua ini dilakukan oleh Widhiyanto dalam tesisnya, dengan menggunakan rasio antara pendapatan dengan pengeluaran pemerintah daerah sebagai indikator desentralisasi fiskal.
Dari segi ruang lingkup waktu, pada umumnya studi-studi yang telah dilakukan tersebut hanya mengkaji kesenjangan antar wilayah pada saat kebijakan desentralisasi fiskal telah diberlakukan. Padahal untuk mendapatkan gambaran yang cukup lengkap, perlu juga dikaji bagaimana kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah baik sebelum maupun setelah kebijakan desentralisasi fiskal tersebut telah diberlakukan. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan desentralisasi fiskal, seperti halnya studi evaluasi terhadap dampak dari suatu kebijakan yang biasa dilakukan, perlu dilakukan analisa kondisi pada saat sebelum (pra) dan sesudah (post) kebijakan tersebut diterapkan.
Dari segi indikator desentralisasi fiskal, dalam studi-studi terdahulu sudah tercakup pendekatan baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Namun belum ada studi yang mencoba melihat desentralisasi fiskal dari sisi alokasi penggunaan dana oleh pemerintah daerah itu sendiri, yang merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah daerah. Dalam tesis ini akan ditambahkan indikator tersebut.
Berdasarkan uraian diatas serta untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar wilayah propinsi di Indonesia, menjadikan studi ini menarik untuk dibahas. Apakah penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berhasil menurunkan atau justru makin meningkatkan kesenjangan wilayah di tiap propinsi di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 
1) Bagaimana profil kesenjangan ekonomi di tiap-tiap wilayah propinsi di Indonesia dalam era sebelum  dan setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan
2) Bagaimana dampak/pengaruh desentralisasi fiskal, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran, terhadap kesenjangan ekonomi antar wilayah di tiap propinsi di Indonesia

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 
1) Mengetahui profil kesenjangan ekonomi/penerimaan di tiap-tiap wilayah propinsi di Indonesia dalam era sebelum dan setelah desentralisasi fiskal
2) Mengetahui dampak/pengaruh kebijakan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kesenjangan ekonomi di tiap wilayah propinsi di Indonesia

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini secara umum dapat disampaikan sebagai berikut : 
1) Sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu kebijakan publik, pengambil kebijakan serta peminat masalah-masalah perekonomian daerah, khususnya yang berkaitan dengan bidang desentralisasi fiskal dan kesenjangan ekonomi regional
2) Sebagai bahan referensi penelitian lainnya yang berkaitan dengan bidang desentralisasi fiskal dan kesenjangan ekonomi regional di Indonesia

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:33:00

ANALISIS PRO POOR GROWTH DI INDONESIA MELALUI IDENTIFIKASI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

TESIS ANALISIS PRO POOR GROWTH DI INDONESIA MELALUI IDENTIFIKASI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN (PROGRAM STUDI : EKONOMI KEBIJAKAN PUBLIK)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Sedangkan tujuan yang paling penting dari suatu pembangunan adalah pengurangan tingkat kemiskinan yang dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan/atau melalui redistribusi pendapatan (Kakwani dan Son, 2003). Hal ini dilandasi pada teori trickle-down effect yang dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954) dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968). Teori tersebut menjadi salah satu topik penting di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (Least Develop Countries/LDCs) pada dekade 1950-an dan 1960-an.
Teori trickle-down effect menjelaskan bahwa kemajuan yang diperoleh oleh sekelompok masyarakat akan sendirinya menetes ke bawah sehingga menciptakan lapangan kerja dan berbagai peluang ekonomi yang pada gilirannya akan menumbuhkan berbagai kondisi demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi yang merata. Teori tersebut mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh aliran vertikal dari penduduk kaya ke penduduk miskin yang terjadi dengan sendirinya. Manfaat pertumbuhan ekonomi akan dirasakan penduduk kaya terlebih dahulu, dan kemudian pada tahap selanjutnya penduduk miskin mulai memperoleh manfaat ketika penduduk kaya mulai membelanjakan hasil dari pertumbuhan ekonomi yang telah diterimanya. Dengan demikian, maka pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan angka kemiskinan merupakan efek tidak langsung oleh adanya aliran vertikal dari penduduk kaya ke penduduk miskin. Hal ini berarti juga bahwa kemiskinan akan berkurang dalam skala yang sangat kecil bila penduduk miskin hanya menerima sedikit manfaat dari total manfaat yang ditimbulkan dari adanya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini dapat membuka peluang terjadinya peningkatan kemiskinan sebagai akibat dari meningkatnya ketimpangan pendapatan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih memihak penduduk kaya dibanding penduduk mi skin.
Oleh sebab itu, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berdampak positif bagi pengurangan kemiskinan bilamana pertumbuhan ekonomi yang terjadi berpihak pada penduduk miskin (pro-poor growth/PPG). Siregar (2006) juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan, sedangkan syarat kecukupannya (sufficient condition) adalah pertumbuhan ekonomi tersebut harus efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, hal itu berarti diperlukan pemerintah yang cukup efektif me redistribusi manfaat pertumbuhan.
Kasus di beberapa negara cukup membuktikan kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Kesuksesan negara-negara Asia Timur di tahun 1970-an dan 1980-an menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi yang dikombinasi dengan rendahnya ketimpangan pendapatan dapat secara signifikan mengurangi kemiskinan (World Bank, 1993 dalam Cord, 2007). Analisa yang dilakukan oleh Kakwani dan Son (2006) terhadap beberapa negara Asia menunjukkan bahwa selama tahun 1990-an pertumbuhan ekonomi Korea dan Vietnam tergolong pro-poor. Analisa yang menggunakan data panel negara-negara berkembang di tahun 1980-an dan 1990-an juga menunjukkan pentingnya pertumbuhan ekonomi bagi penurunan kemiskinan (Dollar dan Kraay, 2002; Kraay 2005). Terkait dengan hal tersebut, maka saat ini pro-poor growth menjadi salah satu konsep pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara khususnya negara sedang berkembang, dimana pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai salah satu alat untuk mengurangi kemiskinan.
Meskipun hingga sebelum krisis jumlah penduduk miskin selalu mengalami penurunan, namun ketika pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali meningkat ke pertumbuhan positif sebesar 0.79% dan tahun berikutnya kembali meningkat menjadi 4.92 %, kondisi ini belum mampu menciptakan lapangan kerja dan menyerap tambahan angkatan kerja. Akibatnya, jumlah pengangguran meningkat sebesar 9.76 juta orang pada tahun 2001 hingga 2004. Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah pengangguran mengakibatkan jumlah penduduk miskin belum dapat diturunkan setelah paska krisis, tercatat bahwa pada tahun 2002 penduduk miskin sebesar 38.4 juta jiwa (18.2 persen) dimana angka ini lebih besar jika dibandingkan sebelum krisis, yaitu sebesar 22.5 juta jiwa (11.34 persen) pada tahun 1996. Bahkan sampai pada tahun 2008, persentase penduduk miskin pun masih lebih besar dibanding sebelum krisis ekonomi yaitu 15.4 persen atau 34.54 juta. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, jelas sekali bahwa penanggulangan kemiskinan di Indonesia belum mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi kemiskinan ini diperburuk dengan adanya kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan, paling tidak sejak 2002, saat Indonesia mulai mencoba keluar dari krisis.
Kondisi kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia tersebut bertolak belakang dengan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 1981 hingga 2008 menunjukkan bahwa Indonesia tergolong mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu hampir mencapai angka 5 persen (4.82 persen). Bahkan selama kurun waktu 1989 hingga 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran angka 7 persen. Kondisi ini terkait dengan konsep pembangunan trickle down effect yang dianut oleh pemerintahan orde baru. Strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah saat itu terpusat pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, akselerasi pembangunan yang dilakukan pemerintah paska krisis juga belum menyentuh golongan bawah. Pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat dan mendekati angka 5 persen di tahun 2002, ternyata justru diikuti oleh meningkatnya ketimpangan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat paska krisis pun tidak diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam konteks kebijakan, penelitian mengenai pro-poor growth di Indonesia melalui analisa pengaruh pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan menjadi hal yang menarik dan penting untuk dilakukan. Dengan mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan, perencanaan dan kebijakan ekonomi dapat dibuat lebih baik dan lebih terarah. Jika pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama ini ternyata tidak pro-poor (tidak mengurangi ketimpangan dan tingkat kemiskinan secara signifikan), maka pemerintah harus mulai berpikir untuk dapat mengarahkan kebijakannya pada pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Saat ini pro-poor growth menjadi konsep yang menjadi dasar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara khususnya di negara sedang berkembang. Sebagai negara berkembang, Indonesia pun seharusnya menerapkan konsep pro-poor dalam pertumbuhan ekonominya. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Namun demikian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia masih dihadapkan pada masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan meskipun pertumbuhan ekonomi yang dicapai tergolong cukup tinggi. Data regional pada tingkat propinsi juga menunjukkan hal yang cukup menarik yaitu terdapat propinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tingkat kemiskinan pun cenderung sangat tinggi dan terdapat pula propinsi yang pertumbuhan ekonominya tidak terlalu tinggi tetapi tingkat kemiskinannya rendah.
Oleh sebab itu, maka pertanyaan-pertanyaan penting yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan ?
2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan ?
3. Apakah pertumbuhan ekonomi di Indonesia pro-poor ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan yang ingin dijawab, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan
2. Menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan
3. Menganalisa keberpihakan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.

D. Manfaat Penelitian
Tesis ini diharapkan akan memberikan manfaat, terutama bagi pemerintah sebagai policy maker. Hasil dari tesis ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang salah satu alternatifnya bisa distimulasi melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan tesis ini diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih efektif dan tepat sasaran. Tesis ini juga bermanfaat bagi bidang keilmuan karena akan memperkaya khasanah kajian mengenai pro-poor growth di Indonesia.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:30:00