Cari Kategori

METODE MEMBACA SURVEY, QUESTION, READ, RECITE, DAN REVIEW (SQ3R) TERHADAP PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA

Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi perkembangan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan tersebut antara lain mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, dalam hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan anggota masyarakatnya kepada peserta didik.

Tujuan pendidikan pada umumnya adalah menjadikan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda, oleh karena itu, membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula. Salah satu kemungkinan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan bagi peserta didik adalah kegiatan membaca.

Pada hakikatnya keterampilan membaca perlu dimiliki oleh setiap orang, bukan hanya pelajar atau golongan terdidik saja, tetapi masyarakat luas pun harus menempatkan keperluan membaca sejajar dengan keperluan yang lain. Dari kegiatan itulah sebenarnya banyak menggali informasi yang makin hari makin sarat dengan ide-ide pengembangan dan pembangunan.

Membaca merupakan salah satu keterampitan berbahasa yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan dan kesanggupan membaca merupakan modal dasar bagi seseorang untuk mengembangkan memajukan dirinya, yang pada akhirnya nanti diharapkan dapat membangun lingkungan dalam lingkup yang lebih besar dan kompleks. Membaca dapat mengantarkan seseorang menjadi insan cendekia (Mujianto, 1995 : 1). Karena itulah maka salah satu masalah yang dihadapi kini adalah menentukan cara-cara agar membaca itu dapat dengan baik mempromosikan kesejahteraan pribadi dan kemajuan kelompok.

Membaca di Sekolah Dasar telah diajarkan mulai dari kelas I sampai kelas VI. Pada waktu siswa belajar membaca, siswa mengenal kata demi kata, mengejanya, dan membedakannya dengan kata-kata lain. Selagi belajar, siswa diajari membaca secara struktural, yaitu dari kiri ke kanan dan mengamati tiap kata dengan seksama pada susunan yang ada. Cara tersebut memiliki keterbatasan, belum memungkinkan memanipulasi kata dari susunan kata itu dalam kalimat, oleh karena pada waktu membaca siswa melakukan kegiatan: (1) menggerakkan bibir untuk melafalkan kata-kata yang dibaca, (2) menggerakkan kepala dari kiri ke kanan; dan (3) menggunakan jari atau benda lain untuk menunjuk kata demi kata.

Secara tidak disadari, cara membaca yang dilakukan waktu kecil terutama, kelas I, II, dan III diteruskan hingga dewasa (Soedarso, 1994 : 5). Agar kebiasaan tersebut tidak diteruskan hingga kelas di atasnya, maka siswa perlu dikenalkan metode membaca dengan pendekatan sistematis, kecepatan membaca yang fleksibel, memahami isi bacaan dengan baik, efektif dan efisien, dan hasil pemahaman relatif tahan lama, maka perlu diterapkan metode membaca yang sering disebut SQ3R. Yang dimaksud dengan membaca metode SQ3R yaitu metode yang mencakup lima langkah, yaitu : 1) Survey (penelaahan pendahuluan); 2) Question (bertanya); 3) Read (membaca); 4) Recite (mengutarakan kembali); 5) Review (mengulang kembali) (Tarigan, 1991 : 56). Dengan demikian, yang dimaksud dengan SQ3R adalah suatu metode membaca untuk menemukan ide-ide pokok dan pendukungnya, serta untuk membantu mengingat agar lebih tahan lama melalui lima langkah kegiatan yaitu : Survey, Question, Read, Recite, dan Review. Metode membaca SQ3R bertujuan untuk : 1) membekali siswa dengan suatu pendekatan yang sistematis terhadap jenis-jenis kemampuan membaca; 2) meningkatkan proses belajar mengajar secara lebih mantap dan efisien untuk berbagai materi pelajaran (Ahmad S., 1988 : 65).

Motivasi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembelajaran. Untuk mencapai hasil belajar yang maksimal motivasi harus senantiasa ditumbuhkan. Hilangnya motivasi belajar pada para siswa akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Siswa akan merasa malas, mengalami kesulitan, merasa asing dan tidak akan tertarik kepada pelajaran Bahasa Indonesia. Pada dasarnya siswa akan tertarik untuk belajar suatu pelajaran jika pelajaran tersebut menarik dan akrab dengan keadaan nyata siswa. Metode membaca SQ3R adalah salah satu cara untuk meningkatkan prestasi Bahasa Indonesia siswa .

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:30:00

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

Kualitas suatu masyarakat atau bangsa tidak hanya ditentukan oleh derajat kompetensinya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tetapi juga oleh keyakinan dan sikap hidup yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan moral. Nilai-nilai keagamaan dan moralitas suatu bangsa menjadi tolok ukkur apakah bangsa itu beradab dan berbudaya tinggi atau tidak.

Memang benar bahwa masyarakat moderen telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk mengatasi berbagai masalah dalam kehidupannya. Keberhasilan modernisasi telah menunjukkan eksistensi yang sangat menjanjikan dan membanggakan. Terbukti, apa yang dulu belum dikenal manusia, sekarang sudah tidak asing lagi. Kesulitan dan bahaya alamiah yang dahulu menghambat perhubungan sekarang bukan masalah lagi. Bahaya penyakit menular yang dahulu ditakuti, sekarang sudah dapat ditangani dengan usaha-usaha medis.

Namun di sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang serba canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas yang mulia (al-Akhlaq al-Karimah). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seharusnya membawa kebahagiaan dan kemaslahatan yang lebih banyak kepada manusia dalam kehidupannya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan, bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh. Meskipun kemakmuran tampak terlihat namun hidup terasa semakin sulit secara material disebabkan oleh sifat konsumerisme yang diakibatkan oleh maraknya iklan di media cetak maupun elektronik. Kesulitan material kemudian berganti dengan kesukaran mental-spiritual. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga menguangi kebahagiaan.

Suatu realita dalam dunia moderen dewasa ini adalah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Hal ini disebabkan ketidak-singkronan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) atau pembangunan fisik-jasmaniah dengan kebutuhan spiritual-rohaniah (transendental).

Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang serba canggih tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas yang mulia (al-Akhlaq al-Karimah). Akhir-akhir ini terdapat fakta banyaknya peristiwa biadab di tanah air kita seerti peristiwa Ambon (Maluku), Sampit (Kalimantan), pemerkosaan, pembunuhan dengan mutilasi, dan teror bom. Hampir semua pihak sepakat bahwa krisis multidimensional di Indonesia saat ini sesungguhnya berpangkal dari krisis moral-keagamaan.

Namun demikian ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perlu secara terus menerus dikembangkan karena mempunyai manfaat sebagai penunjang kehidupan manusia. Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak segi kehidupan menjadi lebih mudah. Penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah mengantarkan manusia menemukan bentuknya, terutama memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) itu sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perlu diimbangi dengan penguatan benteng moralitas-keagamaan (dalam hal ini agama Islam).

Sebagai agama, Islam memiliki ajaran yang diakui-minimal oleh pemeluknya-lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia. Untuk mewariskan nilai-nilai keagamaan ini, di antaranya adalah melalui proses pendidikan.

Pendidikan (termasuk pendidikan agama Islam) merupakan topik yang selalu aktual untuk dibicarakan dan diperdebatkan dari zaman ke zaman. Namun demikian perbincangan dan perdebatan tentang pendidikan tidak pernah selesai, dan tidak akan pernah selesai dibicarakan. Minimal ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengapa hal ini terjadi.

Pertama, fitrah setiap orang menginginkan yang lebih baik, termasuk dalam masalah pendidikan. Kedua, teori pendidikan-dan teori pada umumnya-selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Sebab pada umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah, kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu, masyarakat merasa tidak puas dengan teori pendidikan yang ada.

Ketiga, karena pengaruh pandangan hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya. Suatu ketika ia terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula pendapatnya tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya.

Sebagai agama yang paripurna, Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan. Para peneliti sudah membuktikan bahwa al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam menaruh perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini terbukti bahwa wahyu yang pertama turun adalah perintah untuk membaca yang mana membaca merupakan salah satu proses utama untuk mendapat ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman:

Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Demikian pula dengan al-Hadith, sumber kedua ajaran Islam, diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program wajib belajar kepada umatnya. Nabi SAW bersabda:
Artinya:

Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SA W bersabda: "mencari ilmu wajib bagi setiap muslim ". (HR. Ibnu Majah)

Dari uraian di atas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadith sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al-Qur'an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.

Arah pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang mempunyai kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan serta menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk memecah belah kehidupan. Kemampuan lain yang dikembangkan dalam pendidikan Islam adalah afeksi dan psikomotor.

Di antara ke tiga ranah tersebut, yang mendapatkan prioritas utama adalah pengembangan aspek afeksi. Bahkan misi utama beliau adalah menyempurnakan aspek afeksi (akhlak) umat manusia. Rasulullah SAW bersabda:

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia".

Pendidikan Islam berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap (sesuai tuntunan ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi beragama, intelek, sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri, cinta tanah air dan sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat individual, yaitu berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah laku, aktivitas dan kehidupannya di dunian dan akhirat. Ada yang bersifat sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi, dan suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.

Ironisnya, di tengah gencarnya usaha perbaikan di dunia pendidikan (termasuk pendidikan Islam), suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dalam dunia global ini adalah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan manusia dalam hidup. Kerusakan moral di kalangan remaja, angka krimilalitas yang tinggi, peyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh agama.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama (Islam) yang selama ini diusahakan di berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal belum berhasil dengan baik. Masyarakat kemudian bertanya, "mengapa pendidikan moral-keagamaan belum berhasil", "apa yang salah di dunia pendidikan kita". Pertanyaan ini sangat wajar sebab masyarakat sudah mempercayakan pendidikan anak-anaknya di lembaga pendidikan yang ada. Tapi ironisnya dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut banyak lahir para koruptor, manipulator dan manusia-manusia yang berperilaku kotor.

Hal ini merupakan bukti empiris kegagalan pendidikan agama Islam di oleh lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Salah satu penyebabnya adalah strategi dan pengelolaan pembelajaran yang cenderung tradisional normatif dan dengan metode yang kurang senada dengan keinginan peserta didik.

Pembelajaran pendidikan Agama Islam pada umumnya lebih menekankan pengetahuan tentang sikap yang terkesan normatif, kaku, dan kurang menarik. Pengajar sering menempatkan diri sebagai pendakwah dengan memberi petunjuk, perintah, dan aturan yang membuat peserta didik jenuh dan bosan. Pengajar juga jarang memberikan keteladanan dengan sikap dan perilaku.

Diantara upaya untuk mengatasinya adalah dengan perbaikan pengelolaan pembelajaran dengan memanfaatkan hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), salah satunya adalah internet. Ada beberapa pertimbangan berkaitan penggunaan internet dalam pengelolaan pembelajaran pendidikan agama Islam. Pertama, internet merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran yang saat ini sedang menjadi tren dan disukai oleh peserta didik. Kedua, internet menyediakan informasi yang nyaris tanpa batas, termasuk yang berkaitan ajaran agama Islam. Ketiga, peserta didik menjadi trampil menggali informasi berkaitan dengan agama Islam, sehingga pemahaman yang diperoleh relatif komprehensif.

Salah satu sekolah yang menggunakan internet sebagai basis pengelolaan pembelajarannya adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) Alternatif "X" (selanjutnya disebut SMP-X) yang terletak di desa Kalibening kecamatan Tingkir kabupaten Salatiga provinsi Jawa Tengah. SMP-X merupakan salah satu lembaga pendidikan yang mendapat pengakuan oleh pakar pendidikan nasional maupun internasional. Untuk itu Penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian berkaitan pemanfaatan internet dalam pengelolaan pembelajaran pendidikan agama Islam di lembaga tersebut. Penelitian ini diberi judul "Pengelolaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Teknologi Informasi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Alternatif X"

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 21:48:00

PERANAN SUPERVISI PENGAWAS TK/SD/SDLB DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU SD PADA PEMBELAJARAN IPS SEJARAH

Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah telah membawa perubahan pada sistem pengelolaan pendidikan nasional dari sentralistik menjadi desentralistik. Menurut pasal 11 ayat 2 undang-undang nomor 22 tahun 1999, pendidikan termasuk bidang yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Dengan demikian masa depan pendidikan nasional akan sangat bergantung pada daerah kabupaten atau kota terutama dalam mengelola pelaksanaan dan mengawasi pelaksanaan pendidikan.

Di dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Kualitas mengajar guru secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran. Untuk itu diperlukan pembinaan terus-menerus dari Pengawas atau Kepala Sekolah yang antara lain melalui supervisi pengajaran. Konsep supervisi yang digunakan adalah supervisi yang bersifat ilmiah, yaitu : 1) Sistematis, artinya dilaksanakan secara teratur, terencana, dan terus menerus, 2) Objektif, artinya ada data yang didapat berdasarkan observasi nyata, bukan berdasarkan tafsiran pribadi, 3) Menggunakan alat pencatat yang dapat memberikan informasi sebagai umpan balik untuk mengadakan penilaian terhadap proses pembelajaran di kelas (Sahertian, 2000: 16)

Harris (dalam Sahertian 2000 : 20) menyatakan, bahwa supervisi pengajaran adalah segala sesuatu yang dilakukan personalia sekolah untuk memelihara atau mengubah apa yang dilakukan sekolah dengan cara yang langsung untuk mempengaruhi proses belajar mengajar dalam usaha meningkatkan proses belajar siswa.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi pengajaran adalah upaya memberi layanan kepada Kepala Sekolah dan para guru baik secara individual maupun kelompok sebagai usaha memperbaiki proses pengajaran. Kata kunci dari pemberi supervisi pada akhirnya adalah memberikan layanan dan bantuan. Supervisi pengajaran perlu diarahkan pada upaya-upaya yang sifatnya memberikan kesempatan kepada Kepala Sekolah dan para guru untuk berkembang secara profesional, sehingga mereka lebih mampu melaksanakan tugas pokoknya yaitu memperbaiki dan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran di Sekolah Dasar (SD).

Supervisi adalah suatu usaha menstimulasi, mengkoordinasi, dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru di sekolah baik secara individual maupun kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran. Dengan demikian mereka dapat mensimulasi dan membimbing pertumbuhan siswa secara kontinu serta mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi modern (Boardman dalam Sahertian 2000 : 16).

Supervisi yang baik sangat efektif dalam meningkatkan kualitas sekolah yang tercermin antara lain, melalui ; 1) kualitas manajemen sekolah, 2) kepemimpinan Kepala Sekolah, 3) pengelolaan pembelajaran, 4) ketersediaan sarana dan prasarana yang diperlukan, dan 5) hasil belajar siswa. Supervisi oleh supervisor harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas hasil belajar siswa melalui dua sasaran utama, yaitu Kepala Sekolah dan guru (Hartoyo 2006 : 72).

Supervisi pengajaran mempunyai peran penting dalam upaya peningkatan kemampuan profesional Kepala Sekolah dan para guru, yang akan berdampak terhadap peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran atau mutu pendidikan. Bagi guru supervisi pengajaran mempunyai nilai yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru, khususnya dalam mencapai kualitas profesional dalam pembelajaran

Pengertian di atas mengandung maksud bahwa guru diharapkan dapat berperan aktif sebagai organisator dalam kegiatan pembelajaran, dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik yang ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah. Pemahaman akan pengertian dan pandangan mengajar akan banyak mempengaruhi peranan dan aktivitas guru dalam mengajar. Sebaliknya aktivitas guru dalam mengajar serta aktivitas siswa dalam belajar sangat bergantung pula pada pemahaman guru terhadap mengajar. Mengajar bukan hanya sekadar menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan mengandung pengertian yang lebih luas, yakni terjadinya interaksi manusiawi dengan berbagai aspeknya yang cukup kompleks. Komponen yang paling pokok dari pekerjaan guru adalah mengajar dan pekerjaan murid ialah belajar. Namun demikian guru juga ikut bertanggungjawab terhadap hasil belajar yang dicapai oleh siswanya dengan cara memberi petunjuk cara-cara belajar yang efektif dan efisien.

Agar kegiatan supervisi dapat berjalan efektif dan optimal, diperlukan kiat-kiat tertentu, antara lain: 1) Supervisi pengajaran harus disosialisasikan kepada semua kepala sekolah dan guru, 2) Supervisi pengajaran dilaksanakan dengan efektif, 3) Mengoptimalkan supervisi pengajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu dengan melaksanakan supervisi melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut. Tahap tindak lanjut sangat diperlukan karena hal ini merupakan salah satu bentuk pembinaan yang diberikan oleh Kepala Sekolah/Pengawas TK/SD/SDLB sebagai supervisor kepada para guru. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Pengawas TK/SD/SDLB secara efektif dan optimal dapat meningkatkan profesionalisme guru, yang akan berdampak kepada peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran (Depdiknas 2006 : 7 ).

Peranan guru yang begitu besar dalam pendidikan menjadi faktor penting dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas hasil belajar. Posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesionalnya, motivasi kerja, kompetensi paedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian serta kesejahteraannya. Kedudukan guru yang strategis sebagai agen transformasi dalam dunia pendidikan harus mampu menjalankan tugas utamanya yakni mengajar dan mendidik. Realisasi dari tugas guru tersebut secara nyata akan tampak dari kinerjanya, sebagai bukti profesionalismenya, karena dengan melihat sikap profesionalnya itu dapat dilihat kualitas dalam pembelajarannya.

Sesuai dengan amanat yang diberikan oleh Kurikulum 2006, bahwa usaha peningkatan profesionalisme guru merupakan tuntutan kebutuhan di tingkat satuan pendidikan, utamanya dalam pembelajaran IPS sejarah, guru dituntut untuk mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif, karena kurikulum ini tidak hanya menuntut kemampuan kognitif siswa saja, tetapi juga kemampuan psikomotorik dan afektif, sehingga sangat diperlukan seorang guru yang profesional. Sedangkan syarat guru yang profesional harus menguasai empat komponen standar kompetensi yaitu Kompetensi Paedagogik (penguasaan akademik dalam pengelolaan pembelajaran), Kompetensi Profesional (pengembangan profesional), Kompetensi Kepribadian, dan Kompetensi Sosial (dalam pergaulan dengan masyarakat). Dengan berdasar pada uraian di atas maka penelitian ini akan memfokuskan pada supervisi yang dilaksanakan oleh Pengawas TK/SD/SDLB dalam meningkatkan profesionalisme guru SD pada pembelajaran IPS Sejarah di Kecamatan X Kabupaten X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:31:00

SINERGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Sampai saat ini, Pemerintah dan Pemerintah Daerah di Indonesia masih menghadapi permasalahan kemiskinan yang bersifat multidimensional. Kemiskinan menjadi sebab dan akibat dari lingkaran setan (vicious cyrcle)-rangkaian permasalahan pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia, dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut digambarkan dengan masih tingginya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran terbuka, serta masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Indonesia) Indonesia dibanding mayoritas negara-negara lain. Kualitas sumber daya manusia ditandai oleh indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI). Indeks pembangunan manusia merupakan indikator komposit status kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup saat lahir, taraf pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf penduduk dewasa dan gabungan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi, serta taraf perekonomian penduduk yang diukur dengan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita dengan paritas daya beli.

Merujuk data dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, perkembangan jumlah penduduk miskin, jumlah pengangguran, dan indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia antara tahun 2004-2009 sebagai berikut:

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan data dalam Surat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas, P3AKB) Kota X Nomor 511.1/662/VIII/2009 tentang Permohonan Alokasi Raskin Bulan Agustus 2009; dan data Bagian Administrasi Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota X, diketahui bahwa Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima raskin : tahun 2008 sebanyak 26.521 KK, tahun 2009 sebanyak 22.729 KK dan tahun 2010 sebanyak 21.954 KK yang terdiri dari 11.251 rumah tangga hampir miskin, 7.135 rumah tangga miskin, dan 3.568 rumah tangga sangat miskin. Merujuk data dari Bappeda Kota X dan Bapermas, P3AKB Kota X, bahwa jumlah penduduk miskin di Kota X pada tahun 2009 mencapai 104.988 jiwa, ditambah jumlah gakin di Panti Sosial, Diffabel, total penduduk miskin di Kota X sebanyak 106.389 jiwa.

Untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, berbagai program penanggulangan kemiskinan telah digulirkan oleh Pemerintah sejak era Orde Baru hingga saat ini. Beberapa program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan yaitu : Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Industri Kecil (KIK), Kredit Candak Kulak (KCK), Inpres Desa Tertinggal (IDT), Padat Karya, Jaring Pengaman Sosial- Program Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (JPS-PDMDKE), Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD), P4K, TPSP-KUD, Unit Ekonomi Desa dan Simpan Pinjam (UEDSP), Pengembangan Kawasan Terpadu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).

Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (Kabinet Indonesia Bersatu I), Pemerintah menetapkan salah satu prioritas dan arah kebijakan pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, khususnya berkaitan dengan agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat, salah satu sasarannya yaitu : menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% dan pengurangan pengangguran menjadi 5,1% dari total angkatan kerja pada tahun 2009.

Pemerintah meluncurkan tiga kelompok (kluster) program penanggulangan. Dalam materi presentasi Deputi Menkokesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (2008) yang berjudul "Harmonisasi Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat" dan Buletin Sambung Hati 9949 edisi bulan November 2009, terdapat tiga kluster program untuk penanggulangan kemiskinan yaitu :

1. Program-Program dalam kluster program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Kelompok program ini bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin. Program ini dianalogikan dengan pemberian ikan kepada masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya seperti kaum miskin, lansia, korban bencana dan konflik, penyandang cacat, komunitas adat terkecil, yang jumlahnya 19,1 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS) secara nasional. Program-program dalam Kluster ini meliputi : Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin), Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan untuk Pengungsi/Korban Bencana, Bantuan untuk Penyandang Cacat dan Bantuan untuk Kelompok Lansia. Bantuan untuk Penyandang Cacat diberikan kepada penyandang cacat permanen, dalam arti tidak dapat menghidupi diri sendiri dan sepenuhnya tergantung kepada orang lain dalam melakukan aktivitas. Pemerintah memberikan bantuan dana jaminan sosial bagi penyandang cacat berat dengan indeks Rp 300.000 per orang per bulan selama 12 bulan. Bantuan pelayanan dan jaminan sosial lansia terlantar diberikan kepada masyarakat yang tidak berdaya secara fisik, ekonomi, dan sosial. Bantuan Lansia dikirim lewat PT POS Indonesia dan para pendamping bertugas mengantar dana bantuan tersebut kepada penerima yang berhak. Pemerintah memberikan bantuan dana jaminan sosial bagi Lansia dengan indeks Rp 300.000 per orang per bulan selama 12 bulan. Anggaran dan Sasaran Program-Program Bantuan dan Perlindungan Sosial tercantum dalam tabel berikut :

2. Program-Program Pemberdayaan Masyarakat. Kluster ini diibaratkan sebagai kail, dimana pemerintah melaksanakan program-program yang tergabung dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri yang diluncurkan pemerintah pada 30 April 2007. Melalui Program ini dibangun infrastruktur seperti jalan kampung, jembatan, irigasi, air bersih, sarana pendidikan, sarana kesehatan, bantuan dana bergulir untuk usaha, unit ekonomi produktif (UEP), simpan pinjam perempuan (SPP) dan sebagainya. Anggaran PNPM Mandiri tahun 2007 sebesar Rp 2,794 triliun, tahun 2008 sebesar Rp 5,924 triliun, dan tahun 2009 sebesar Rp 7,647 triliun. Tahun 2008 untuk PNPM Penguatan mencakup 3,999 kecamatan dan 47.954 desa dan Sasaran 500.000 RTSM di Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur. 700.000 RTSM 13 provinsi. Enam provinsi tambahan adalah NAD, Sumatera Utara, DIY, Banten, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan.

3. Program UMKM untuk Kemandirian Masyarakat. Dalam upaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemerintah melaksanakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kluster ini diibaratkan sebagai perahu, di mana UMKM mendapat kredit usaha dari bank-bank milik negara yaitu Bank BRI, Bank BNI, Bank Mandiri, dan Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin dan Bank BTN. Hingga Oktober 2009 KUR yang telah disalurkan sebesar Rp 8.332.161.000.000 dengan jumlah nasabah 2.236.926 orang. Pada tahun 2008, KUR menciptakan lapangan kerja untuk 4,59 juta orang. Pada tahun 2009 diperkirakan akan membuka lapangan kerja untuk 6 juta orang.

Alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu : pada tahun 2004 mencapai Rp 19 triliun, tahun 2005 meningkat 26.3 % menjadi Rp 24 triliun, tahun 2006 meningkat 70.8 % menjadi Rp 41 triliun, tahun 2007 meningkat 24.4% menjadi Rp 51 triliun dan tahun 2008 meningkat 13.7 % menjadi Rp 58 triliun dan tahun 2009 meningkat 12 % menjadi 66,2 triliun.

Berbagai program penanggulangan kemiskinan dengan dukungan peningkatan anggaran untuk pengentasan kemiskinan yang cukup signifikan sejak tahun 2004 hingga tahun 2009, mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia walaupun tidak secara drastis. Tingkat kemiskinan yang pada tahun 2007 sebesar 16,58 persen, pada tahun 2008 sudah menurun menjadi sebesar 15,42 persen, pada tahun 2009 tingkat kemiskinan menurun lagi menjadi 14,15 persen. Tetapi, target yang ditetapkan dalam RPJMN Tahun 2004-2009 untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009 tidak tercapai.

Dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (Kabinet Indonesia Bersatu II), Pemerintah tetap menetapkan salah satu prioritas dan arah kebijakan pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, sasaran bidang penanggulangan kemiskinan dan pemerataan pembangunan adalah menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar 8-10% pada akhir 2014.

Untuk mencapai sasaran tersebut, arah kebijakan dan prioritas program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan Pemerintah tahun 2010-2014 dalam tabel berikut yaitu : Pertama, meningkatkan pertumbuhan pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dan efektif menurunkan kemiskinan. Kedua, Meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan dalam rangka mempercepat penurunan kemiskinan. Ketiga, meningkatkan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah khususnya daerah tertinggal dan korban bencana.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, kelompok program penanggulangan kemiskinan terdiri dari kelompok program : berbasis bantuan dan perlindungan sosial, berbasis pemberdayaan masyarakat, dan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil.

Untuk menanggulangi kemiskinan di Kota X, beberapa program Pemerintah Pusat yang dilaksanakan antara lain : Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri-Perkotaan (PNPM Mandiri Perkotaan), Program Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (PPFM-BLPS) atau dikenal dengan Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE), dan Padat Karya Produktif serta Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Menindaklanjuti pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dan dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, Pemerintah Daerah berperan besar untuk menanggulangi kemiskinan. Pemerintah Daerah dengan didukung stakeholders dan masyarakat, dapat mengembangkan prakarsa untuk menyusun berbagai kebijakan dan melaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemerintah Daerah juga dapat berperan dengan menyediakan dana atau program pendamping untuk pelaksanaan program-program dari Pemerintah Pusat.

Beberapa program berbasis pemberdayaan masyarakat yang diluncurkan oleh Pemerintah Kota X meliputi : Program bantuan perbaikan/rehap Rumah Tidak Layak Huni (RTLH); Sanitasi Masyarakat (Sanimas); Bantuan operasional Posyandu Balita dan Lansia; Kegiatan pendidikan ketrampilan, pembangunan tempat usaha, pinjaman modal bergulir untuk koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM); Solo Techno Park; Pengembangan Wisata Kuliner-Galabo, alokasi Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) dan Program Terpadu Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Gender (P2MBG).

Program-program pemberdayaan dari Pemerintah dan Pemerintah Kota X yang dilaksanakan di tingkat kelurahan meliputi : PNPM Mandiri Perkotaan, BLPS- P2FM (KUBE), Bantuan Rehap RTLH, P2MBG, Padat Karya Produktif dan DPK.

Untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan dalam rangka mempercepat penurunan kemiskinan, salah satunya melalui sinkronisasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, serta harmonisasi antar pelaku. Berbagai program pemberdayaan masyarakat dari Pemerintah dan Pemerintah Kota X memerlukan sinergi baik dalam tataran kebijakan, kelembagaan dan implementasi program. Penanggulangan kemiskinan memerlukan perubahan yang cukup sistemik dan menyeluruh, namun penanganannya selama ini cenderung parsial sektoral, tidak terintegrasi, dan belum sinergis.

Dalam dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Di Kota X (2008:3), disebutkan : tindakan penanganan kemiskinan menghadapi permasalahan dan tantangan, antara lain : 1) Indikator atau tolok ukur kriteria penduduk miskin masih banyak perbedaan diantara beberapa SKPD, sehingga data yang dihasilkan juga berbeda. 2) Belum sepenuhnya memberdayakan masyarakat. 3) Terjadi salah sasaran. 4) Tidak optimalnya pengelolaan dana. 5) Usaha yang dipilih tidak berorientasi pasar. 6) Distribusi dana kurang mendasarkan pada kebutuhan nyata. 7) Belum terpadunya pelaksanaan kegiatan. 8) Mental dan perilaku, pola ketergantungan pada bantuan dan lemahnya motivasi untuk melakukan usaha produktif. 9) Perilaku budaya masyarakat yang senang menerima bantuan sehingga apabila ada pendataan untuk bantuan jumlah masyarakat miskin selalu bertambah. 10) Program yang bergulir di masyarakat setelah selesai tidak ada mekanisme monitoring dan evaluasinya. 11) Lemahnya koordinasi masing-masing SKPD saat menyusun intervensi kemiskinan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penelitian tentang Sinergi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Di Kota X relevan dan menarik untuk dilakukan. Program-program pemberdayaan masyarakat yang diteliti mencakup : PNPM Mandiri Perkotaan, KUBE, Bantuan Rehap RTLH, P2MBG, dan DPK.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:29:00

PEMBERLAKUAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada undang-undang nomor 22 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 juncto undang-undang nomor 33 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dengan sistem pemerintahan desentralisasi sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.

Desentralisasi melahirkan otonomi daerah yang bertujuan untuk memaksimalkan pelayanan dan lebih mendekatkan fungsi pemerintahan kepada masyarakat. Kebijakan otonomi daerah yang dirancangkan pemerintah pusat tangal 1 januari 2001 menciptakan terbentuknya pemerintah daerah otonom di Indonesia yang diharapkan mampu meningkatkan percepatan pembangunan dalam usaha pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur. Sebagaimana yang telah dikemukan oleh Bratakusumah dan Solihin (2004) :

"Bahwa setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan saran serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Untuk itu sangat dibutukan regulasi dalam manajemen keuangan pemerintah yang profesional".

Dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 nuansa akuntansi mulai diperkenalkan dalam sistem manajemen keuangan daerah. Secara beruntun, pemerintah dalam rangka reformasi manajemen keuangan daerah mengeluarkan PP.No 105 Tahun 2005 Tentang Pengolahan dan Pertanggungjawaban keuangan daerah sekaligus memberlakukan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan Pendekatan Kinerja.

Melalui PP.No 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No.29 Tahun 2002 yang sekarang telah diganti menjadi Permendagri No. 13 tahun 2006, Pemerintah melakukan perubahan-perubahan besar. Perubahan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan mendasar dalam PP No. 105 tahun 2000 terutama dalam sistem penganggaran dari sistem tradisional menjadi sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budget) yang diikuti perubahan dalam bentuk dan struktur APBD. Selain itu, laporan Pertanggungjawaban kepala daerah yang dahulunya menggunakan instrumen tunggal yaitu nota perhitungan APBD diubah menjadi laporan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan keuangan daerah yang terdiri dari empat instrumen, yaitu neraca, laporan arus kas, laporan perhitungan APBD dan nota Perhitungan APBD.

Perubahan juga dapat dilihat pada Anggaran Rutin Pembangunan Pemerintahan daerah Kabupaten X sebelum dan sesudah menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja pada tahun 2001 (sebelum) dan 2003 (sesudah) yang tersaji pada tabel 1.2 sebagai berikut:

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Analisis prestasi dalam hal ini adalah kinerja dari pemerintah daerah itu sendiri dapat didasarkan pada kemandirian dan kemampuannya untuk memperoleh, memiliki, memelihara dan memanfaatkan keterbatasan sumbersumber ekonomis daerah untuk memenuhi seluas-luasnya kebutuhan masyarakat di daerah. Konsep kinerja pemerintah daerah yang merupakan otonom daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dalam rangka menciptakan pemerintahan yang baik (good governance).

Proses penyusunan anggaran sektor publik umumnya disesuaikan dengan peraturan lembaga yang lebih tinggi. Sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, lahirlah tiga paket perundang-undangan, yaitu UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang telah membuat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengaturan keuangan, khususnya Perencanaan dan Anggaran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Kemudian, saat ini keluar peraturan bam yaitu PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang akan menggantikan Kepmendagri nomor 29 tahun 2002.

Dalam reformasi anggaran tersebut, proses penyusunan APBD diharapkan menjadi lebih partisipatif. Hal tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pasal 17 ayat 2, yaitu dalam menyusun arah dan kebijakan umum APBD diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat, berpedoman pada rencana strategis daerah dan dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan daerah, serta pokok-pokok kebijakan nasioanal dibidang keuangan daerah. Selain itu sejalan dengan yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang perimbangan keuangan negara akan pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik agar penggunaan anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya oleh masyarakat.

Undang-undang Nomor 17 menetapkan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini perlu perlu dibangun suatu sistem yang dapat menyediakan data dan informasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja. Anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Adapun kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik, tetapi dalam mengimplementasikan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 tersebut masih banyak pemerintah daerah yang mengalami kesulitan karena kurangnya pelatihan dan pendampingan dari pemerintah pusat. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa belanja aparatur lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Rencananya tahun depan Permendagri 13/2006 sudah akan mulai efektif dilaksanakan.

Peneliti memilih judul pemerintahan daerah kabupaten X sebagai Objek penelitian karena telah diterapkannya sistem anggaran berbasis kinerja di pemerintah ini. Sistem ini hendaknya semakin baik hingga dapat sejalan dengan peningkatan kinerja pemerintahan. Tetapi masih terdapat pertentangan tujuan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja. Anggaran yang disusun sangat erat kaitannya dengan publik (masyarakat). Pemerintahan daerah dituntut untuk mampu mengelolah keuangannya dengan prinsip pengukuran kinerja (value for money). Hal ini penting untuk dievaluasi mengingat sudah banyaknya peraturan tertulis yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat sampai pada kebijakan pemerintah daerah itu sendiri. Realisasi dari anggaran berbasis kinerja diharapkan mampu menghilangkan pandangan negatif masyarakat mengenai kinerja pemerintahan daerah. Kondisi ini menarik bagi peneliti untuk mencari tahu Apakah Pemberlakuan Anggaran Berbasis Kinerja Berpengaruh Terhadap peningkatan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:27:00

DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA LANGSUNG

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa lepas dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Otonomi daerah adalah hasil dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi. Hal ini harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratisasi, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik

Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang secara demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintahan yang sesungguhnya. Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah (Pramela, 2009).

Otonomi daerah yang diberikan kepada daerah merupakan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab (Soekarwo, 2003:93). Dalam pelaksanaan otonomi tersebut pemerintah daerah harus memiliki wewenang dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, serta didukung oleh perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan persyaratan dalam sistem pemerintahan daerah. Dalam konteks desentralisasi, daerah provinsi memiliki wewenang sebagaimana pemerintah pusat. Wewenang tersebut antara lain adalah melakukan pengawasan terhadap peraturan daerah kabupaten/kota dan keputusan kepala daerah.

Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru terhadap anggaran daerah yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada kepentingan umum, yang dikelola dengan berdaya guna dan berhasil guna serta mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Lingkungan anggaran menjadi relevan dan penting di lingkungan pemerintah daerah karena hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap kinerja pemerintah yaitu sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan penelitian di bidang anggaran pada pemerintah daerah menjadi relevan dan penting.

Masyarakat mengharapkan adanya peningkatan pelayanan di berbagai sektor terutama sektor publik dalam era desentralisasi fiskal. Peningkatan layanan publik ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah. Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila upaya serius dari pemerintah untuk memberikan fasilitas pendukung (investasi). Konsekuensinya, pemerintah perlu untuk memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini, dalam hal ini erat kaitannya dengan belanja langsung. Desentralisasi fiskal di satu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah, tetapi disisi lain memunculkan persoalan bam, dikarenakan tingkat kesiapan fisakal daerah yang berbeda-beda.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian dari Dana Bagi Hasil (DBH) yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Di samping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan Iain-lain pendapatan. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Seharusnya dana transfer dari pemerintah pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel. Pemerintah dalam perkembangannya memberikan dana perimbangan untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar. Salah satu komponen dana perimbangan tersebut adalah dana alokasi umum.

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, adanya konsekuensi penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.

Pendapatan Asli Daerah merupakan cermin kemandirian suatu daerah dan penerimaan murni daerah yang merupakan modal utama bagi daerah dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Dalam menjalankan otonomi daerah kabupaten/kota di X dituntut untuk mampu meningkatkan PAD yang merupakan tolak ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah.

Hampir semua provinsi dan kabupaten dan kota di Indonesia memiliki masalah ketimpangan fiskal. Provinsi X yang terdiri atas 19 kabupaten/kota merupakan salah satu provinsi yang memiliki masalah ketimpangan fiskal dalam sumber pendanaan dari PAD pada beberapa kabupaten dan kota. Ketimpangan fiskal dalam hal ini daerah tidak mampu mencukupkan belanja dan biaya daerah melalui sumber pendanaan asli daerah secara murni. Dengan demikian, tingkat ketergantungan pemerintah daerah cukup tinggi terhadap pemerintah pusat.

Fenomena utama dari penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar kontribusi DAU dan PAD terhadap Belanja Langsung. Total DAU dan PAD di provinsi X terus meningkat dari tahun ke tahun dan bersamaan dengan itu terjadi pula peningkatan belanja langsung.

* tabel sengaja tidak ditampilkan

Melihat semakin meningkatnya jumlah DAU dan PAD dari tahun ke tahun yang diiringi dengan peningkatan belanja langsung yang ada di provinsi X maka penulis ingin melihat apakah peningkatan DAU dan PAD tersebut berpengaruh terhadap peningkatan belanja langsung.

Terkait dengan hal ini, Sihite (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai pengaruh terhadap belanja langsung dengan sampel pemerintahan kab/kota di X. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa secara parsial DAK, PAD dan DBH masing-masing berpengaruh signifikan positif terhadap belanja langsung sedangkan secara simultan ketiga variabel independen berpengaruh positif terhadap belanja langsung secara bersama-sama. Penelitian terdahulu memiliki keterbatasan dimana penggunaan sampel penelitian hanya terbatas pada kab/kota di X. Oleh karena keterbatasan penelitian terdahulu tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian replikasi dengan mengambil sampel pada pemerintahan kab/kota di X.

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk membuat suatu karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul "Pengaruh Dana Alokasi Umum Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota Di X."

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:26:00

DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TERHADAP UPAYA PAJAK DAERAH

Pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (dalam perkembangannya kedua regulasi ini diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004) menjadi babak baru terkait dengan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah (kabupaten dan kota) diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Peningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal lebih cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya di indikasikan dengan meningkatnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Salah satu kendala yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah adanya disparitas (kesenjangan) fiskal antar daerah.

Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat memberikan bantuan (transfer) kepada pemerintah daerah, salah satunya pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang kecil. Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat mengurangi disparitas fiskal horizontal, daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kontribusi publik terhadap pajak (misal : membayar pajak atau retribusi). Kemandirian daerah menjadi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi.

Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa dalam perkembangannya daerah tidak menunjukkan adanya peningkatan kemandiran. Penelitian Susilo dan Adi (2007), serta Setiaji dan Adi (2007) memberikan fakta empirik tidak adanya peningkatan kontribusi {share) PAD terhadap belanja daerah. Daerah justru lebih mengandalkan sumber pendanaan lain dalam pembiayaan. Abdullah dan Halim (2003) memberikan bukti bahwa DAU mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap belanja daerah daripada pengaruh PAD terhadap belanja daerah. Daerah cenderung mempertahankan penerimaan DAU dikarenakan jumlahnya yang sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan sendiri. Adi (2007) memberikan indikasi kurang seriusnya daerah dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki, lebih mengandalkan penerimaan DAU yang bersifat hibah. Bisa jadi sebagai pertimbangan praktis upaya ini lebih dipilih daripada meningkatkan PAD secara signifikan, namun disisi lain sebagai konsekuensinya DAU yang diterima menjadi lebih kecil. Dengan kata lain pemberian DAU ini justru memberikan dampak negatif terhadap peningkatan upaya pajak (tax effort) daerah. Pemberian DAU yang semula bertujuan untuk mengurangi disparitas horizontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah untuk mengupayakan peningkatan kapasitas fiskal. Upaya pajak menjadi lebih rendah, harapan adanya peningkatan kemandirian daerah justru menjadi semakin jauh.

Demikian juga dengan kondisi pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi X, belum ada satupun pemerintah daerah yang mampu untuk mengelola keuangan daerahnya tanpa bantuan pemerintahan diatasnya, ditandai dengan besarnya penerimaan daerah yang bersumber dari transfer pemerintah pusat. Contoh kasus seperti di Kabupaten Y tahun 2005 memperoleh Dana Alokasi Umum sebesar Rp 188.714.000.000, Dana Alokasi Khusus sebesar Rp 8.000.000.000, upaya pajaknya sebesar 0.921964456. Pada tahun 2006 jumlah DAU sebesar Rp 303.501.000.000, DAK sebesar Rp 32.378.383.000, upaya pajaknya sebesar Rp 0.716681908. Tahun 2007 jumlah DAU yang diterima sebesar Rp 344.516.000.000, DAK sebesar Rp 39.038.000, upaya pajaknya sebesar Rp 0.473153896. Upaya pajak dapat dihitung dengan membandingkan realisasi anggaran PAD dan Anggaran PAD. Berdasarkan contoh kasus diatas terlihat penerimaan DAU dan DAK dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tetapi disisi lain tidak diikuti oleh peningkatan upaya pajak. Hal ini tidak sesuai dengan harapan bahwa pemberian DAU untuk mengatasi disparitas fiskal horizontal. Daerah cenderung bergantung pada DAU yang jumlahnya sangat besar daripada mengupayakan peningkatan pendapatan asli daerahnya. Kenyataannya, belum semua pemerintah daerah mampu mengalokasikan sumber penerimaan ini sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan kemampuan daerah dalam mengembangkan wilayahnya melalui peningkatan pembangunan dan investasi. Pemberian DAU yang seharusnya menjadi stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah. Daerah pada akhirnya tidak menjadi lebih mandiri, bahkan semakin bergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:25:00