Cari Kategori

PENGARUH KOMUNIKASI ORGANISASI FORMAL DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN

PENGARUH KOMUNIKASI ORGANISASI FORMAL DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT X



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. la ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi.
Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dipungkiri, begitu juga halnya bagi suatu organisasi. Dalam mencapai suatu organisasi yang efektif salah satu faktor penentu dan sangat diperlukan adalah proses komunikasi. Komunikasi merupakan proses yang tidak dapat dihindari oleh setiap anggota organisasi.
Komunikasi penting bagi suatu organisasi karena komunikasi merupakan alat utama bagi anggota organisasi untuk dapat bekerja sama dalam melakukan aktivitas manajemen, yaitu untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sumberdaya manusia merupakan salah satu sumberdaya yang terpenting, manusia sebagai tenaga kerja mempunyai peranan yang sangat menentukan terhadap keberhasilan untuk mencapai tujuan organisasi.
Karyawan atau pegawai suatu organisasi sudah mendapatkan imbalan materi dari tempatnya bekerja, namun belum tentu merupakan jaminan untuk mencapai kepuasan kerja yang baik untuk pencapaian tujuan organisasi tersebut, karena hubungan kerja memiliki banyak sisi dan lingkup yang terjadi dalam berbagai bidang. Di samping itu juga situasi kerja dapat mempengaruhi sikap dan cara kerja karyawan, karena karyawan itu datang dari berbagai latar belakang yang mempunyai motif dan tujuan yang beraneka ragam.
Seringkali suatu organisasi mengalami beragam kesulitan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Padahal, organisasi tersebut ditunjang sumberdaya yang handal. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi, antara lain kelancaran komunikasi.
Komunikasi-komunikasi yang terjadi dalam organisasi berpengaruh dalam kepuasan kerja dari karyawan-karyawan yang terlibat dalam organisasi tersebut. Kepuasan kerja merupakan respon seseorang (sebagai pengaruh) terhadap bermacam-macam lingkungan kerja yang dihadapinya. Termasuk ke dalam hal ini respon terhadap komunikasi organisasi, supervisor, kompensasi, promosi, teman sekerja, kebijaksanaan organisasi dan hubungan interpersonal dalam organisasi. Semua variabel komunikasi berhubungan dengan bermacam-macam aspek kepuasan kerja.
Kepuasan kerja berbeda-beda bagi setiap karyawan. Banyak perusahaan berkeyakinan bahwa pendapatan, gaji atau salary merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Sehingga ketika perusahaan merasa sudah memberikan gaji yang cukup, perusahaan merasa bahwa karyawannya sudah puas. Sebenarnya kepuasan kerja karyawan tidak mutlak dipengaruhi oleh gaji semata. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya adalah kesesuaian pekerjaan, kebijakan organisasi termasuk kesempatan untuk berkembang, lingkungan kerja dan perilaku atasan.
Biasanya karyawan yang puas dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang kepuasan kerjanya rendah, cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan, sehingga ia bekerja dengan terpaksa, asal-asalan dan dapat merugikan perusahaan. Dengan tercapainya kepuasan kerja karyawan, produktivitas pun akan meningkat, kinerja lebih baik, dan suasana lingkungan kerja akan menyenangkan. Suasana lingkungan kerja yang menyenangkan akan menciptakan komunikasi yang baik antar karyawan sehingga tujuan dan target perusahaan dapat tercapai.
PT. X adalah salah satu perusahaan outsource yang menjadi pilihan banyak perusahaan dalam menyediakan tenaga kerja. PT. X memiliki sebuah paket layanan yang disebut Integrated Business Supporting Service Management yang sudah dipercaya oleh banyak perusahaan BUMN maupun swasta untuk mendukung departemen Pelayanan Pelanggan perusahaan-perusahaan mulai dari penyediaan tenaga kerja, pengelolaannya, sampai dengan menjaga kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan mereka. Dan sejak tahun 2003 salah satu klien terbesar PT. X adalah PT. PLN (Persero) yang sudah memberikan kepercayaan penuh untuk penyediaan dan pengelolaan bagian Customer Service PT. PLN (Persero) di 35 area pelayanan.
Saat ini PT. Telkomsel juga mempercayakan PT. X untuk menyediakan tenaga kerja yang di tempatkan di Call Center PT. Telkomsel. PT. Telkomsel sebagai salah satu perusahaan telekomunikasi yang tetap eksis dan berkembang berdiri pada 26 Mei 1995. PT. Telkomsel memiliki jaringan network terbesar di seluruh Indonesia yang meliputi propinsi, kabupaten dan sudah mencapai kecamatan di seluruh Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Layaknya suatu organisasi, komunikasi yang terjadi dalam lingkungan kerja karyawan PT. X, khususnya karyawan PT. X yang ditempatkan di Call Center Telkomsel X, meliputi komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal yang terjadi dalam setiap meeting group yang dilaksanakan setiap sebulan sekali antara team leader dengan Caroline officer. Dalam meeting tersebut, team leader melakukan komunikasi vertikal ke bawah. Komunikasi vertikal ke bawah yang digunakan adalah metode lisan dan tulisan. Untuk metode tulisan, disampaikan melalui memo, dan panduan pelaksanaan pekerjaan.
Komunikasi vertikal ke atas yang terjadi dalam meeting group oleh Caroline officer adalah dengan menyampaikan keluhan yang dialaminya sendiri dalam lingkungan kerja maupun menyampaikan keluhan yang diterima Caroline officer dari costumer. Dalam meeting group tersebut, juga terjadi komunikasi horizontal antar Caroline officer dengan Caroline officer dan antara team leader dengan team leader. Dalam meeting group tersebut juga dibahas mengenai kepuasan kerja antara lain mengenai gaji, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, kebijakan perusahaan, kualitas supervisi, kualitas hubungan antar pribadi dengan atasan, bawahan dan sesama serta jaminan sosial
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang bagaimana pengaruh komunikasi organisasi formal, baik komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal pada kegiatan meeting group dalam meningkatkan kepuasan kerja di kalangan karyawan PT. X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
"Sejauh manakah komunikasi organisasi formal berpengaruh dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan di PT. X ?"

C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian terlalu luas sehingga menghasilkan uraian yang sistematis, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat lebih jelas, terarah, sehingga tidak mengaburkan penelitian.
Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
a. Penelitian difokuskan pada jaringan komunikasi formal dalam organisasi yang mencakup komunikasi vertikal (komunikasi ke bawah dan komunikasi ke atas) dan komunikasi horizontal yang berlangsung antara karyawan di PT. X.
b. Komunikasi organisasi formal yang dimaksud adalah komunikasi yang berlangsung pada kegiatan meeting group yang dilaksanakan setiap bulan oleh karyawan PT. X.
c. Kepuasan kerja yang dimaksud adalah kepuasan kerja dari segi faktor hygiene
d. Objek penelitian adalah karyawan PT. X yang di tempatkan X sebagai Caroline officer dan team leader.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan arah pelaksanaan penelitian yang akan menguraikan apa yang akan dicapai, disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah
a. Untuk mengetahui kegiatan komunikasi organisasi formal dalam kegiatan meeting group karyawan PT. X.
b. Untuk mengetahui kepuasan kerja karyawan PT. X.
c. Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh komunikasi organisasi formal terhadap peningkatan kepuasan kerja karyawan di PT. X.
2. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dalam penelitian ini adalah :
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian dan pengetahuan mengenai Ilmu Komunikasi, khususnya jaringan komunikasi formal dalam organisasi.
b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif kepada Departemen Ilmu Komunikasi untuk menambah dan memperkaya bahan referensi dan bahan penelitian serta sumber bacaan.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan berupa pengukuran terhadap kinerja karyawan, khususnya dalam pelaksanaan komunikasi organisasi formal dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kemajuan PT. X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:20:00

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Menurut J.G. Starke, hukum internasional adalah suatu sistem yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara. Dengan merujuk pada praktik internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.

Sebaliknya ada juga yang berpendapat lain, terutama Prof. Georges Scelle, pakar hukum ternama dari Prancis, bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional. Para pendukung doktrin ini berpandangan bahwa bukankah tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu para individu mendapatkan perlindungan internasional. Sebagai contoh, suatu konvensi internasional yang ditandatangani oleh sejumlah negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah bebas, tidak lain berarti pemberian kebebasan kepada individu-individu agar dapat menggunakan sungai tersebut untuk keperluan usaha mereka. Aliran ini tampak benar pada isu hak asasi manusia, hak yang melekat pada individu, namun langsung diatur dalam hukum internasional.

Pada masa sekitar abad ke-18 dan 19, timbul kesadaran akan hak-hak asasi manusia yang salah satu di antaranya adalah hak untuk hidup. Perjuangan untuk melindungi hak-hak asasi manusia mencapai puncak pada abad ke-20. Deklarasi-deklarasi dan konvensi internasional serta seruan-seruan tentang hak-hak asasi manusia mulai bermunculan baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan organ-organnya maupun oleh negara-negara secara kolektif dan individual.

Pada umumnya, sepanjang negara menjalankan kewajibannya berdasarkan hukum nasional, bagaimana melakukannya tidak menjadi perhatian hukum internasional. Namun, dalam beberapa hal negara-negara bersepakat untuk menjalankan kewajiban mereka dengan cara tertentu. Inilah yang acapkali menjadi persoalan dalam bidang hak asasi manusia.

Seperti dalam hukum pidana, setiap negara berhak untuk menentukan berat atau besarnya ancaman hukuman terhadap suatu tindak atau peristiwa pidana. Namun, hukuman itu memiliki berbagai gradasi. Pada umumnya, telah diakui bahwa hukuman mati adalah merupakan jenis hukuman yang paling berat jika dibandingkan dengan jenis-jenis hukuman lainnya yang dikenal di dalam berbagai sistem hukum pidana negara-negara di dunia sebab hukuman mati merupakan pencabutan nyawa yang dengan sengaja dilakukan terhadap si terhukum untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu, sebagian kalangan berpendapat bahwa hukuman mati merupakan suatu bentuk pengikaran terhadap hak untuk hidup, sehingga dipandang tidak sesuai lagi dengan hak-hak asasi manusia.

Sebagai tambahan, hukuman mati adalah hukuman yang bersifat irreversible (tidak dapat diubah). Sudah menjadi pengetahuan di kalangan para ahli hukum bahwa Criminal Justice System is not infallible (Sistem peradilan pidana tidaklah sempurna). Peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Polisi, jaksa penuntut umum, maupun hakim adalah juga manusia yang bisa saja keliru ketika menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan hukuman mati maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal. Orang yang telah dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan lagi walaupun di kemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Negara bisa mengganti uang denda, mengembalikan hak milik yang telah dirampas, atau mengkompensasi orang yang ternyata tidak bersalah tetapi dijatuhi hukuman penjara, tetapi tidak bisa mengembalikan seseorang dari kematian akibat hukuman mati yang telah dijatuhkan.

Ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana merupakan suatu keniscayaan karena ia merupakan "hasil karya manusia". Bahkan di negara maju sekalipun seperti Amerika, kegagalan sistem pidana, untuk tidak menghukum orang yang tidak bersalah, cukup sering terjadi. Sejak tahun 1973, lebih dari 120 orang di Amerika yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati dibebaskan karena ditemukan bukti bahwa ternyata mereka sama sekali tidak bersalah.

Munculnya norma-norma internasional menyebutkan tentang pembatasan dan penghapusan hukuman mati merupakan suatu fenomena pasca Perang Dunia II. Sebagai suatu cita-cita dari negara beradab, penghapusan mulai dipropagandakan saat perumuskan isi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948, walaupun hanya berbentuk arti tersirat yang terkandung dalam pengakuan "right to life" (hak untuk hidup).

Arus yang menghimbau penghapusan hukuman mati sedang berkembang dalam masyarakat internasional. Penghapusan hukuman mati dilihat sebagai suatu elemen yang penting dalam perkembangan demokrasi di negara-negara yang ingin memutuskan hubungan dengan masa lalu yang dipenui dengan teror, ketidakadilan dan penindasan. Tren penghapusan ini terlihat dari berbagai produk hukum internasional yang dibentuk guna mendorong penghapusan hukuman mati. Selain UDHR, instrumen hukum hak asasi manusia lain yang paling mendasar adalah International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) dan Second Optional Protocol-nya serta beberapa konvensi regional lainnya. Pada tahun 2007, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengeluarkan Resolusi "Moratorium on the Use of the Death Penalty" yang menghimbau penghapusan hukuman mati.

Dewasa ini jumlah negara yang termasuk dalam kategori abolisionis terhadap hukuman mati sudah mencapai angka 129 dengan perincian 88 negara yang abolisionis untuk semua kejahatan (abolitionist for all crimes), 11 negara untuk kejahatan biasa (abolisionist for ordinary crimes only), dan 30 negara yang melakukan penangguhan hukuman mati (abolitionist in practice). Apabila dibandingkan dengan jumlah negara retensionis yang berjumlah 68 negara, maka statistik ini seperti menunjukkan adanya kecenderungan peradaban dunia untuk menghargai hak untuk hidup di atas hak-hak lain.

Selain itu, tekanan dari negara abolisionis juga bermunculan. Negara retensionis dituntut untuk setidaknya menerapkan Safeguards (upaya-upaya perlindungan) dalam peradilan dan penerapan hukuman mati. Pembuat hukum internasional juga mendesak agar pembatasan terhadap hukuman mati dengan berbagai upaya misalnya mengecualikan anak-anak di bawah umur, wanita hamil, dan orang tua dari ruang lingkup hukuman mati dan membatasinya dengan mengurangi daftar kejahatan-kejahatan serius yang diancam hukuman mati.

Masalah hukuman mati juga menjadi bahan pemikiran negara-negara di dalam penyusunan undang-undang dan perjanjian ekstradisi. Suatu negara bisa menolak untuk mengekstradisi seorang pelaku kejahatan kembali ke negara asalnya apabila setelah diekstradisi, orang tersebut akan dijatuhi hukuman mati, seperti yang terjadi pada kasus-kasus ekstradisi di Eropa dan Amerika.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:08:00

PENJASKES PERMAINAN KEPALA BERANJAU UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN TEKNIK PASSING ATAS PERMAINAN BOLA VOLI


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang sangat besar artinya bagi pembangunan generasi penerus bangsa. Dengan demikian pendidikan sangat memegang perananan yang sangat penting bagi nasib kehidupan bangsa, karena berkaitan langsung dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peranan yang teramat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Umaedi (1999) mengatakan bahwa Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri.
Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan mengadakan pembaharuan kurikulum pendidikan nasional sesuai dengan perkembangan jaman.
Pada saat ini pemerintah telah menerapkan kebijakan pelaksanaan kurikulum baru yang disesuaikan dengan tuntutan jaman. Kebijakan itu ditandai dengan pelaksanaan Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) secara nasional. Kurikulum ini menjadi pedoman bagi guru dalam kegiatan pembelajaran untuk semua mata pelajaran. Dalam Kurikulum 2004 ini terdapat standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan materi pokok untuk masing-masing mata pelajaran. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran guru harus berpedoman pada kurikulum tersebut, sehingga diharapkan siswa akan dapat mencapai standar kompetensi pada masing-masing mata pelajaran, dan tujuan dari pembelajaran tersebut dapat tercapai.
Agar tercapai tujuan tersebut guru dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam kegiatan pembelajaran, baik dalam penggunaan media maupun dalam strategi dan pendekatan pembelajaran itu sendiri.
Dengan strategi dan pendekatan pembelajaran yang tepat, guru akan dapat menciptakan suasana belajar yang bermakna dan menyenangkan bagi siswa.
Belajar akan lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa bila siswa mengalami apa yang dipelajarinya. Agar siswa dapat mengalami apa yang dipelajarinya, diperlukan pendekatan yang tepat.
Pada saat ini telah dikembangkan suatu pendekatan dimana guru dituntut untuk dapat mengkaitkan materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Pendekatan ini kita kenal dengan istilah pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL). Pendekatan kontekstual ini dapat diterapkan dalam pembelajaran untuk semua mata pelajaran, termasuk mata pelajaran Pendidikan Jasmani.
Pendidikan Jasmani pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhaan bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, ketrampilan berpikir kritis, stabilitas emosional, ketrampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga.
Dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani, guru diharapkan mengajarkan berbagai ketrampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan dan olahraga, internalisasi nilai-nilai (sportifitas, jujur, kerjasama, dan lain-lain) serta pembiasaan hidup sehat. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru dapat memberikan berbagai pendekatan agar siswa termotivasi dan tertarik untuk mengikuti pembelajaran. Cara pelaksanaan pembelajaran kegiatan dapat dilakukan dengan latihan, menirukan, permainan, perlombaan, dan pertandingan.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut diatas penulis ingin merumuskan masalah sebagai berikut :
 “Apakah pendekatan bermain dengan Permainan Kepala Beranjau mampu meningkatkan efektifitas pembelajaran teknik passing atas permainan bola voli pada siswa.”

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah adalah sebagai persyaratan seleksi guru berprestasi tahun 2006 merupakan laporan hasil pembelajaran teknik passing atas permainan bola voli dengan pendekatan bermain permainan Kepala Beranjau.

D. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
  • Guru Pendidikan Jasmani, agar dalam pembelajaran mata pelajaran pendidikan jasmani menggunakan pendekatan bermain “Permainan Kepala Beranjau” sehingga dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan bermakna bagi siswa.
  • Siswa sehingga memperoleh situasi dan pengalaman pembelajaran yang lebih konkret, bermakna serta menyenangkan.
  • Penulis untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta pengalaman dalam penulisan makalah.



BAB II
DESKRIPSI

A. Konteks Implementasi
Tempat Pelaksanaan
Tempat pelaksanaan pembelajaran yang menjadi bahan laporan penulisan Makalah ini adalah di SMP Negeri X.
Subjek
Yang menjadi subjek dalam pembelajaran ini adalah siswa kelas VII yang terdiri dari 30 siswa, laki-laki 16 siswa, dan perempuan 14 siswa. 
Waktu
Pembelajaran dilaksanakan selama 3 jam pelajaran (@ 45 menit)
Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran dalam makalah ini adalah materi pokok permainan dan olahraga, khususnya permainan bola voli teknik passing atas.
Alat/media yang digunakan
Alat yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah :
a. Bola voli
b. Bola plastik, bola dari plastik bekas
c. Ban sepeda bekas/simpai
d. Net voli
e. Peluit
f. Stopwatch
Media yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah guru dan siswa yang mempunyai kemampuan lebih, yang bertugas mendemonstrasikan teknik passing atas yang menjadi materi pembelajaran.

B. Perencanaan
Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan yang kita harapkan, maka perencanaan yang baik dan matang mutlak harus dilaksanaknan.
Perencanaan pembelajaran dilaksanakan dengan jalan melihat Standar Kompetensi mata pelajaran Pendidikan Jasmani, kemudian mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
  • Menetapkan Indikator
  • Memilih metode/pendekatan pembelajaran
  • Memilih materi pelajaran
  • Menentukan alokasi waktu
  • Menentukan alat dan sumber bahan pelajaran
  • Memilih jenis evaluasi yang dilaksanakan


C. Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan pada dasarnya menerapkan apa yang telah dilakukan pada tahap persiapan.
Pelaksanaan pembelajaran pada dasarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
1. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan kegiatan awal untuk mempersiapkan siswa baik fisik dan mental untuk menghadapi proses pembelajaran lebih lanjut. Pendahuluan dapat dilaksanakan melalui kegiatan absansi siswa, apersepsi dan pemanasan (warming up) khusus untuk mata pelajaran Pendidikan Jasmani.
2. Kegiatan Inti
Kegiatan inti merupakan kegiatan pokok yang menjadi pokok bahasan materi pembelajaran, kegiatan ini menenmpati prosentase terbesar dari kegiatan pembelajaran.
Dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Jasmani perlu memperhatikan hal-hal seperti berikut :
a. Tahapan pelaksanaan dilakukan dimulai dari yang mudah ke yang sukar, dari yang sederhana ke yang kompleks, dari jarak yang dekat ke yang jauh, dan dari tingkat kesulitan yang rendah ke yang tinggi.
b. Pengorganisasian kegiatan dilaksanakan dengan perorangan, berpasangan, kelompok kecil dan kelompok besar.
c. Cara pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan latihan, menirukan, permainan, perlombaan, dan pertandingan. (Depdiknas, 2004)
Dalam pembelajaran ini digunakan permainan Kepala Beranjau..
3. Kegiatan Penutup
Kegiatan penutup merupakan kegiatan akhir dari proses pembelajaran materi yang menjadi topik pembelajaran pada hari itu.
Kegiatan penutup dapat berupa kegiatan koreksi, evaluasi maupun refleksi. Dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Jasmani, perlu diberikan pendinginan (cooling down), dan pemberian informasi mengenai tugas untuk persiapan pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

D. Penilaian
Sesuai dengan pendekatan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran ini, maka penilaian tidak hanya dilakukan untuk menilai hasil saja tetapi juga proses pembelajaran yang dilakukan siswa juga dinilai. Penilaian hasil dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian kompetensi, tujuan penilaian
adalah menilai sejauh mana siswa mampu mencapai kompetensi hasil belajar, serta memberikan umpan balik terhadap jalannya pembelajaran.
Sesuai dengan pendekatan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran ini, digunakan penilaian yang sesungguhnya (Authentic Assesment). Penilaian tidak hanya dilaksanakan pada akhir pembelajaran saja tetapi juga dilaksanakan selama proses belajar berlangsung.
Penentuan keberhasilan siswa dalam pembelajaran ini berpedoman pada Penilaian Acuan Patokan (PAP). Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan, rumusan tujuan pembelajaran berbasis kompetensi memiliki standar keberhasilan pencapaian kompetensi dasar, dengan demikian mengarahkan pada penggunaan penilaian acuan patokan (PAP). (Hari Sudarejat : 2004)
Penialaian acuan patokan adalah penilaian yang membandingkan hasil belajar siswa kepada patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. (Nurhasan : 2001). Dalam penilaian hasil pembelajaran ini menggunakan patokan 65, artinya bahwa siswa dianggap lulus apabila telah menguasai 65 % dari seluruh materi.
Patokan ini ditetapkan atas dasar pertimbangan logis mengenai tingkat penguasaan minimum. Para siswa yang mencapai atau melebihi patokan ini, dinyatakan lulus, sedangkan siswa yang belum bmencapai patokan tersebut dianggap belum menguasai secara minimum kemampuan tersebut, atau dianggap belum lulus dan harus diberikan remedial


BAB III
PEMBAHASAN

Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perceptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka system pendidikan nasional. (Depdiknas, 2003)
Tujuan dan fungsi pendidikan jasmani antara lain adalah :
a. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri, dan demokratis, melalui aktivitas jasmani.
b. Mengembangkan ketrampilan gerak dan ketrampilan teknik serta strategi berbagai permainan dan olahraga, aktivitas pengembangan, senam, aktivitas ritmik, akuatik (aktivitas air) dan pendidikan luar kelas (out door education).
Untuk dapat mencapai tujuan siswa dapat mengembangkan ketrampilan gerak dan ketrampilan teknik, dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, guru harus memilik dan menerapkan berbagai strategi pembelajaran maupun pendekatan, serta mampu menggunakan alat-alat pembelajaran yang tersedia, maupun menciptakan atau memodifikasi bentuk-bentuk permainan yang menarik siswa dalam mengikuti pembelajaran.
Dalam makalah ini akan dibahas satu bentuk permainan hasil dari modifikasi penulis dalam pembelajaran pendidikan jasmani khususnya permainan bola voli teknik passing atas.
Berdasarkan pengamatan penulis sebagai guru pendidikan jasmani, penguasaan teknik dasar passing atas bagi siswa dirasakan agak susah, dikarenakan biasanya siswa akan merasakan takut dalam melaksanakan latihan passing atas. Apalagi apabila dalam pelaksanaannya guru langsung menggunakan bola voli yang sebenarnya. Siswa akan merasakan takut cedera jari-jari tangannya. Oleh karena itu penulis mencoba menggunakan bola hasil modifikasi siswa maupun bola karet yang ringan, sehingga siswa tidak akan merasakan takut dalam melakukan latihan passing atas.
Dalam pembelajaran ini, guru memanfaatkan alat-alat atau benda bekas berupa ban bekas, bola yang dibuat dari sampah plastik, dan bola karet.

Dalam pelaksanaan pembelajaran teknik dasar passing atas ini digunakan satu bentuk pendekatan bermain dengan permainan “Kepala Beranjau.”

Tujuan Permainan :
1. Melatih keberanian dalam melakukan passing atas
2. Melatih ketepatan passing atas
3. Melatih kerjasama tim
4. Melatih sportifitas

Alat yang digunakan :
1. Bola voli atau bola karet/plastik
2. Ban sepeda bekas/simpai
3. Bangku

Pelaksanaan permainan :
  • Siswa dibagi kedalam kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang.
  • Masing-masing kelompok harus menyediakan dua buah bangku, satu buah ban sepeda bekas, dan satu buah bola voli atau bola karet.
  • Dua orang pemain bertugas memegangi ban sepeda bekas dengan cara dipegang dengan dua tangan dan diangkat diatas kepala, dan berdiri diatas bangku dengan cara berhadap-hadapan. Lingkaran ban sepeda/simpai menghadap keatas. Ban sepeda/simpai ini berfungsi sebagai sasaran.
  • Satu orang melakukan gerakan pasing atas dengan cara berdiri menghadap sasaran sejauh 2 meter. (Jarak dapat disesuaikan). Pemain berusaha mamasukan bola yang dipasing kedalam ban sepeda/simpai yang dipegangi oleh temannya. Satu orang bertugas mengambilkan bola untuk diberikan kepada teman yang melakukan passing atas. Satu orang menjadi juri untuk kelompok lain, bertugas mengawasi agar kelompok yang lain melakukan permainan dengan sportif, sekaligus mencatat hasil dari pasing atas yang berhasil masuk kedalam sasaran ban sepeda/simpai.
  • Bola tidak boleh mengenai kepala dari dua orang yang memegangi ban sepeda/simpai sebagai sasaran. Apabila bola mengenai kepala, maka permainan akan berhenti dan kelompok tersebut dinyatakan gugur.
  • Permainan ini dilaksanakan selama 1 menit untuk setiap anggota regu secara bergiliran. Regu yang telah gugur tidak diperkenankan untuk mengikuti permainan lagi. Setiap bola yang berhasil masuk kedalam sasaran diberi nilai 1. Penentuan pemenang adalah hasil nilai yang terbesar yang dicapai oleh kelompok tersebut.

Berdasarkan pengamatan penulis sebagai guru, dalam mengikuti pembelajaran passing atas ini, siswa sangat antusias dan termotivasi untuk melakukan latihan passing atas tanpa merasakan takut. Dengan permainan “Kepala Beranjau,” tanpa sadar siswa telah melakukan latihan teknik dasar passing atas, dan akhirnya siswa dengan sendirinya dapat menguasai penguasaan gerak dasar passing atas melalui pelaksanaan permainan “Kepala Beranjau” ini.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari proses pembelajaran passing atas permainan bola voli yang telah dilaksanakan, ternyata dapat diambil satu kesimpulan bahwa pembelajaran teknik passing atas permainan bola voli efektif diajarkan dengan menggunakan pendekatan bermain, khususnya menggunakan “Permainan Kepala Beranjau.”
Hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai siswa setelah dilaksanakan evaluasi pada akhir pembelajaran. Hasil rata-rata nilai siwa diambil dari dua aspek penilaian yaitu nilai proses serta nilai kinerja (unjuk kerja) siswa dalam melakukan teknik dasar passing atas.
Rata-rata nilai dari hasil penilaian sebesar 80.60, nilai terendah sebesar 76, serta ketuntasan 100 %, sehingga tidak ada siswa yang harus diremidial dalam pembelajaran teknik dasar passing atas ini.

B. Saran 
Berdasarkan hasil pembelajaran passing atas permainan bola voli dengan menggunakan pendekatan bermain dengan menggunakan permainan Kepala Beranjau yang telah dilaksanakan, maka disarankan :
1. Bagi pengajar mata pelajaran Pendidikan Jasmani dapat menerapkan pendekatan kontekstual dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan dan menggunakan berbagai permainan, khususnya permainan Kepala Beranjau karena dapat menjadikan proses pembelajaran menjadi menarik bagi siswa.
2. Bagi pengajar mata pelajaran Pendidikan Jasmani agar dapat menggunakan segala fasilitas yang ada disekolah masing-masing, sehingga kendala kekurangan sarana dalam pembelajaran tidak akan mengganggu proses pembelajaran.
3. Agar dapat diadakan penelitian yang bertujuan untuk membandingkan hasil pembelajaran pendidikan jasmani dengan pendekatan kontekstual dan pembelajaran pendidikan jasmani yang menggunakan pendekatan yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Kleinmann, Theo & Kruber, Dieter. 1990. Bola Volley Pembinaan Teknik, Taktik dan Kondisi Pengantar untuk Pelatih/Pendidik. Jakarta : PT. Gramedia
Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta : Depdiknas
Nurhasan, 2001. Tes dan Pengukuran dalam Pendidikan Jasmani : Prinsip-prinsip dan Penerapannya. Jakarta : Depdiknas
Roji. 2004. Pendidikan Jasmani untuk SMP Kelas VII. Jakarta : Erlangga
Suderajat, Hari. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pembaharuan Pendidikan dalam Undang-undang Sisdiknas 2003. Bandung : CV Cipta CekasGrafika
Suherman, Adang. 2001. Asesmen Balajar dalam Pendidikan Jasmani Evaluasi Alternatif untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta : Depdiknas
Syarifudin. 1998. Pokok-Pokok Pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Jasmani. Jakarta : Depdikbud
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah Sebuah Pendekatan Baru Dalam Pengelolaan Sekolah untuk Peningkatan Mutu. Jakarta : Depdikbud

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:16:00

PEMBELAJARAN TERPADU PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana kita lihat bahwa rentang usia TK (4 – 6 th) disebut dengan masa usia dini, yang merupakan masa keemasan bagi seseorang karena masa inilah seluruh informasi dapat diserap dengan mudah dan cepat oleh anak melalui seluruh panca indranya. Sebagai analoginya bahwa anak ibarat spons (karet busa) yang mampu menyerap air tanpa peduli apakah air itu bersih atau kotor, oleh karena itu masa ini sering disebut dengan masa kritis untuk memperkenalkan dan menanamkan segala hal yang positif dan berguna bagi perkembangan anak dimasa selanjutnya.
Dengan pesatnya perkembangan pada seluruh aspek yang disebabkan oleh perkembangan otaknya yang dapat mencapai 90% dari otak orang dewasa. Oleh karena itu tugas utama dari seorang guru disekolah untuk menyediakan berbagai pengalaman belajar yang menentang anak untuk terus bereksplorasi. Pendekatan pembelajaran terpadu dinilai sesuai untuk digunakan pada anak usia TK karena karakteristik usia TK adalah senang bermain dan dengan bermain mereka belajar. Dengan pembelajaran terpadu anak diajak untuk bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain. Disini peranan guru sangat penting dan sangat menentukan keberhasilan atau tercapainya tujuan sesuai dengan yang ditetapkan.


BAB II
PERANAN GURU TK DALAM PEMBELAJARAN TERPADU

1. Peranan Guru Tk Sebagai Perencana
Peranan guru sebagai perancana dalam pembelajaran terpadu adalah guru merencanakan suatu kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan bersama anak didik. Bentuk-bentuk perencanaan dalam proses pembelajaran di TK adalah :
a) Perencanaan Tahunan
Dalam perencanaan tahunan sudah ditetapkan dan disusun kemampuan keterampilan dan pembiasaan-pembiasaan yang diharapkan dicapai oleh anak didik dalam satu tahun. Perencanaan tahunan dan semester juga memuat tema-tema yang sesuai dengan aspek perkembangan anak dan minat anak serta sesuai dengan lingkungan sekolah setempat. Perencanaan tahunan dibuat bersama antara guru-guru dan kepala sekolah.
b) Perencanaan Semester
Perencanaan semester merupakan program pembelajaran yang berisi jaringan tema, bidang pengembangan, kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator yang ditata secara urut, serta sistematis, alokasi waktu yang diperlukan untuk setiap jaringan tema dan sebarannya kedalam semester I dan semester II.
c) Perencanaan Mingguan (Satuan Kegiatan Mingguan)
Perencanaan mingguan disusun dalam bentuk satuan kegiatan mingguan (SKM). SKM merupakan penjabaran dari perencanaan semester yang berisi kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai indikator yang telah direncanakan dalam satu minggu sesuai dengan keluasan pembahasan tema dan sub tema.
d) Perencanaan Harian (Satuan Kegiatan Harian)
Perencanaan harian disusun dalam bentuk satuan kegiatan harian (SKH). SKH merupakan penjabaran dari satuan kegiatan mingguan (SKM). SKH memuat kegiatan-kegiatan pembelajaran, baik yang dilaksanakan secara individual, kelompok, maupun klasikal dalam satu hari. SKH terdiri atas kegiatan awal, kegiatan inti, istirahat.makan dan kegiatan akhir.
Kegiatan awal merupakan kegiatan untuk pemanasan dan dilaksanakan secara klasikal. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain : misalnya berdoa/mengucapkan salam, membicarakan tema atau sub tema. Kegiatan ini merupaka kegiatan yang dapat mengaktifkan perhatian kemampuan sosial dan emosional anak. Kegiatan ini dapat dicapai melalui kegiatan yang memberi kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi dan bereksperimen sehingga dapat memunculkan inisiatif, kemandirian dan kreativitas anak. Serta kegiatan yang dapat meningkatkan pengertian-pengertian, konsentrasi dan mengembangkan kebiasaan bekerja yang baik. Kegiatan inti merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara individu/kelompok. Istirahat/makan merupakan kegiatan yang digunakan untuk mengisi kemampuan anak yang berkaitan dengan makan : misalnya mengenalkan kesehatan makanan yang bergizi, tata tertib makan yang diawali dengan cuci tangan kemudian makan dan berdoa sebelum makan. Setelah kegiatan makan selesai, anak melakukan kegiatan bermain dengan alat permainan diluar kelas dengan maksud untuk mengembangkan motorik kasar anak dan bersosialisasi. Kegiatan ini sesuai dengan kemauan anak, anak makan kemudian bermain atau sebaliknya anak bermain terlebih dahulu baru setelah itu makan.
Kegiatan akhir merupakan kegiatan penenangan yang dilaksanakan secara klasikal. Kegiatan akhir yang dapat diberikan misalnya membacakan cerita dari buku, mendramatisasikan suatu cerita, mendiskusikan tentang kegiatan satu hari atau menginformasikan kegiatan esok harinya, menyanyi, berdoa dan sebagainya. Sebagai seorang perencana, guru TK harus memahami langkah-langkah perencanaan dalam pembelajaran terpadu. Sebaiknya perencana pembelajaran disusun untuk waktu tidak kurang dari dua minggu dan dapat diperluas untuk beberapa minggu setelah itu. Sebelum memulai langkah-langkah penyusunan, sebaiknya guru telah memilih dan menentukan tema serta menjabarkannya kedalam sub tema serta menentukan kemampuan yang akan dikembangkan.
Langkah-langkah penyususanan perencanaan pembelajaran terpadu seperti yang disarankan oleh Kostelnik adalah sebagai berikut :
a. Menuangkan ide kedalam tulisan, masukkan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan tema kedalam rencana kita. Pertimbangkan waktu untuk melaksanakannya dan siapkan kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan dengan tema untuk memberikan kesempatan kepada anak yang tidak menyukai atau tidak tertarik dengan tema yang telah ditetapkan.
b. Periksa rencana pembelajaran tersebut, pastikan bahwa paling sedikit ada tiga jenis kegiatan yang berhubungan dengan tema dalam satu hari. Pastikan dalam satu minggu seluruh aspek perkembangan yang akan dicapai sudah tercantum dan akan dilalsanakan.
c. Jika dalam perencanaan kita terdapat kerjasama dengan ahli lain seperti dokter, guru musik, guru tari maka pastikan bahwa kita telah menyampaikan isi tema yang akan kita terapkan pada kegiatan pembelajaran agar kegiatan yang akan dilakukan dalam bidang tersebut dapat mendukung dan sejalan dengan kegiatan pembelajaran yang akan kita laksanakan.
d. Persiapkan bahan, alat, media, narasumber dan sarana prasarana.
e. Organisasikan kegiatan dengan baik sehingga setiap anak dapat terfokus pada tema.
f. Pastikan bahwa dalam rencana kita seluruh konsep, istilah, fakta dan prinsip telah dikembangkan dengan baik dan kegiatan yang akan dilaksanakan cukup bervariasi.
g. Ciptakan suasana tematik dalam kelas.

2. Peranan Guru Sebagai Pelaksana
Setelah rencana pembelajaran selesai disusun maka tugas guru selanjutnya adalah melaksanakan apa yang telah direncanakan dalam kegiatan pembelajaran dikelas. Agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan secara efektif, sebaiknya guru memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Kembangkan rencana yang telah kita susun dan perhatikan kejadian atau peristiwa spontan yang ditunjukkan oleh anak terhadap materi yang dipelajari pada hari itu.
b) Melaksanakan penilaian terhadap minat dan pemahaman anak mengenai tema tersebut dengan menggunakan pengamatan, wawancara, diskusi kelompok maupun contoh hasil kerja anak.
c) Bantu anak untuk memahami tentang isi dan proses kegiatan pembelajaran.
d) Lakukan percakapan dengan anak tentang hal-hal yang berkaita dengan tema sehingga kita dapat mengetahui seberapa jauh pemahaman anak tentang tema yang dipelajari pada hari itu. Bantu dan doronglah anak untuk memuaskan rasa ingin tahunya tentang hal-hal yang ingin diketahuinya dengan cara menjawab pertanyaannya atau memberikan kesempatan pada anak untuk mencari dan menemukan jawaban melalui kegiatan eksplorasi terhadap lingkungan sekitarnya.
e) Adakan kerjasama dengan orang tua atau keluarga secara timbal balik mengenai kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan, informasikan tema kepada pihak oang tua atau keluarga sehingga orang tua ikut serta mendukung pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

3. Peranan Guru Tk Sebagai Evaluator
Peranan guru TK sebagai evaluator adalah melakukan penilaian terhadap proses kegiatan belajar dan penilaian hasil kegiatan. Penilaian dilakukan secara observasi dan pengamatan terhadap cara belajar anak baik individual atau kelompok. Tujuan penilaian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan yang dicapai oleh anak. Hasil karya anak dapat kita pajang ditempat pemajangan sebagai tanda hasil kegiatan yang telah dilakukan, hal ini dapat membangun rasa kebanggaan pada diri anak dan dapat memotivasi untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Evaluasi harus mampu memperdayakan guru, anak dan orang tua. Guru sebagai evaluator harus melihat penilaian sebagai suatu kesempatan untuk menggambarkan pengalaman anak didik serta sebagai alat untuk mengetahui kemajuan proses maupun belajar anak didik.
Setelah mempelajari dan memahami penjelasan mengenai peranan guru, tampaklah bahwa tugas dan tanggung jawab seorang guru TK tidaklah mudah dalam kegiatan pembelajaran terpadu. Peranan lain yang harus dilakukan guru sebagai pendidik, pembimbing dan pelatih adalah :
a. Korektor
Guru harus bisa membedakan nilai yang baik dan mana nilai yang buruk, sehingga guru dapat menilai dan mengoreksi semua tingkah laku, sikap dan perbuatan anak didik. Jadi peran guru TK sebagai korektor ialah mengembangkan kemampuan berprilaku melalui kebiasaan-kebaiasaan yang baik dan menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk.
b. Inspirator
Guru harus dapat memberikan ilham yang baik bagi kemajuan belajar anak didik. Disini peran guru ialah menuangkan ide-ide atau gagasan atau melakukan inovasi pembelajaran guna kemajuan anak didik. Misalnya menciptakan atau mengembangkan berbagai media, alat maupun metode-metode pembelajaran.
c. Informator
Guru memberikan informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain materi yang telah diprogramkan sesuai kurikulum. Kemudian guru harus mengembangkan dirinya dengan terus belajar tentang kemajuan-kemajuan teknologi agar tidak “gagap teknologi (gatek)” dan memiliki yang luas diberbagai hal.
d. Organisator
Guru memiliki kegiatan pengelolan akademik, menyusun tata tertib sekolah dan menyusun kalender akademik. Semua kegiatan harus diorganisasikan dengan baik sehingga tercapai efektivitas dan efesiensi pembelajaran.
e. Motivator
Guru hendaknya dapat mendorong anak didik agar lebih bersemangat dan aktif dalam belajar, motivasi ini lebih efektif bila dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan anak.
f. Inisiator
Peran guru sebagai pencetus ide-ide dalam kemajuan pendidikan dan pembelajaran. Guru harus mampu mengembangkan dan memberi sumbangsih pemikiran demi kemajuan pendidikan mulai dari yang terkecil seperti dalam kelas dan sampai yang terbesar dalam lingkup sekolah maupun wilayah yang lebih luas lagi.
g. Fasilitator
Sebagai fasilitator guru hendaknya menyediakan fasilitas yang memudahkan kegiatan belajar dan dapat menyenangkan atau bisa membangkitkan anak didik untuk bereksplorasi serta menyalurkan minat dan keingintahuannya secara aktif.
h. Pembimbing
Bimbingan yang diberikan guru sebaiknya sesuai dengan kebutuhan anak didik. Jika dilihat anak tersebut mampu melaksanakan tugasnya, namun dia tampak manja atau tidak mau melakukannya maka cobalah untuk bersikap tegas dengan meminta anak untuk mencoba melakukannya sendiri dahulu sampai anak itu benar merasa membutuhkan bantuan barulah guru membantunya.
i. Demonstrator
Dalam kegiatan pembelajaran tidak semua materi pelajaran dapat dipahami oleh anak mengingat kemampuan setiap anak berbeda-beda. Untuk materi yang sulit dipahami oleh anak didik, sebaiknya guru memperagakan sehingga dapat membantu anak yang belum memahami materi tersebut. Untuk materi yang cukup berbahaya dilakukan oleh anak sendiri, sebaiknya guru bertindak sebagai demonstrator.
j. Pengelola Kelas
Pengelolan kelas menunjukkan pada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar-mengajar, termasuk pengaturan tempat duduk, ventilasi, pengauran cahaya dan pengaturan penyimpanan barang.
k. Mediator
Guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik media material amaupun nonmaterial. Sehingga guru dapat menentukan media yang paling sesuai untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Selain sebagai mediator, guru juga sebagai penengah dalam proses belajar anak didik khususnya saat kegiatan diskusi kelompok.
l. Supervisor
Guru dapat membantu, memperbaiki dan menilai secara kritis terhadap proses pembelajaran. Kelebihan yang dimiliki supervisor selain posisinya ada juga karena pengalaman, pendidikan, kecakapan atau keterampilan yang dimilikinya atau memiliki sifat-sifat kepribadian yang menonjol dari pada orang-orang disupervisinya. Dengan peran guru sebagai supervisor, guru juga harus memilki kesadaran untuk dapat menilai kinerjanya sendiri untuk meningkatkan kegiatan pembelajarannya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Peranan guru sangat penting demi tercapainya tujuan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan pembelajaran dengan pendekatan, peranan guru dalam pembelajaran terpadu adalah sebagai perencana, pelaksanan dan sekaligus evaluator. Peranan lain yang harus dilakukan guru sebagai pendidik, pembimbing dan pelatih adalah sbagai korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator, fasilisator, pembimbing, pengelola kelas, demonstrator, mediator dan supervisor.


DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Siti. (2008). Pembelajaran Terpadu Buku materi Pokok PGTK2501/25KS/Modul 1-6. Jakarta: Universitas Terbuka.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:05:00

PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS


1. Pendahuluan
Tindak kekerasan oleh massa dalam bentuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, pada saat ini telah menjadi fenomena baru dalam masyarakat. Fenomena ini terus bermunculan, seiring dengan bergulirnya gerakan reformasi. Harian Kompas mencatat selama 1 tahun terakhir hanya di wilayah Jabotabek saja telah terjadi 46 peristiwa kekerasan dengan korban tewas dan dibakar massa sebanyak 67 orang. Korban tersebut semuanya adalah pelaku tindak kriminal, seperti pencurian sepeda motor, perampasan mobil/taksi, pencurian ternak dan sebagainya.
Salah satu contoh yang sangat tragis adalah ketika empat pelaku kejahatan di Pondok Gede yang sudah ada di atas mobil patroli Polisi, kemudian diseret, dianiaya dan dibakar oleh massa. Menyikapi kejadian tersebut, komentar yang muncul dari salah satu anggota masyarakat adalah: “ … kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar dan kembali nodong”. Komentar ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum telah hilang dan juga menunjukkan rendahnya kemampuan polisi untuk mencegah tindakan main hakim sendiri tersebut.
Peristiwa main hakim sendiri ini tidak hanya terjadi di Jakarta yang karakteristik penduduknya sangat beragam. Di Cilacap yang masyarakatnya dikategorikan lebih tradisional, selama kurun waktu lima bulan tercatat 13 pelaku kejahatan tewas dihakimi massa. Sembilan diantaranya tewas dengan cara dibakar dan salah satunya adalah pelaku pencurian satu ekor ayam.
Mencermati perilaku masyarakat dalam menyikapi berbagai tindak pidana kejahatan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah mengapa masyarakat berperilaku demikian ? Tidak mampukah peraturan hukum sebagai sarana kontrol sosial mencegah tindakan main hakim sendiri ? Makalah ini akan menguak fenomena perilaku main hakim sendiri dari aspek sosiologis.

2. Hukum dan masyarakat
Untuk mengatur ketertiban dan kepatuhan terhadap norma kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu norma hukum. Hoeber (dalam Schur, 1968) menyebutkan empat fungsi dasar hukum sebagai sarana kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu :
a. Untuk menetapkan hubungan-hubungan antar anggota masyarakat, dengan menunjukan jenis-jenis perilaku apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang;
b. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang mewakili kewenangan untuk melakukan pemaksaan, serta siapa saja yang harus mentaatinya. Sekalipun memilihkan sanksi-sanksi yang tepat dan efektif;
c. Menyelesaikan sikap sengketa; dan
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan antar anggota masyarakat. Apabila fungsi-funsgi ini dijalankan dengan benar dan kosekuen, dapat diharapkan perilaku manusia dan tata kehidupam masyarakat akan sesuai dengan kaidah, norma, nilai dan aturan yang berlaku secara universal.

Namun demikian untuk menjalankan fungsi hukum tersebut menurut Parsons (1971) terdapat beberapa masalah penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu :
a. Masalah legitimasi, yang berkaitan daengan landasan bagi pentaatan kepada peraturan;
b. Masalah interpretasi, yang menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subjek melalui proses penerapan peraturan;
c. Masalah sanksi, berkaitan dengan penegasan sanksi-sanksi yang akan timbul apabila terdapat pentaatan atau pelanggaran peraturan, serta menegaskan siapa yang berhak menerapkan sanksi tersebut;
d. Masalah yirisdiksi, yaitu berkaitan dengan penetapan garis kewenangan tentang siapa yang akan berhak menegakan norma-norma hukum dan apa saja yang akan diatur oleh norma hukum tersebut (perbuatan, orang, golongan dan peranan).
Keempat masalah ini menjadi amat penting, karena produk hukum yang berupa peraturan hukum harus memenuhi dan menjamin sara keadilan masyarakat. Oleh karenanya, melihat fungsi hukum yang demikian, antara hukum dan kehidupan sosial masyarakat tidaklah dapat dipisahklan. Peraturan hukum dapat digunakan sebagai sarana kontrol sosial dalam hubungan antara manusia maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hubungan yang erat antara hukum dan masyarakat ini oleh Durkheim (1964) ditunjukan oleh perbedaan bentuk dan cara pelaksanaan hukum dalam suatu struktur sosial masyarakat yang berbeda. Dalam teorinya tentang solidaritas sosial, Durkheim membadakan masyarakat dalam dua jenis yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik ditandai oleh pembagian kerja yang rendah, kesadaran kolektif kuat, idividualisme rendah, hukum yang sifatnya represif sangat dominan, konsendus terhadap pola-pola normatif sangat penting, keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang sangat besar, dan bersifat primitif atau pedesaan. Dengan ciri yang demikian, maka hukum ini mendefinisikan setiap perilaku kejahatan sebagai ancaman terhadap solidaritas. Oleh karenanya pemberian hukum di sini dilakukan tanpa harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang menimpa masyarakat dan juga bukan merupakan pertimbangan yang diberikan utuk menyesuaikan hukuman dengan kejahatannya. Hukuman tersebut cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Sedang solidaritas organik ditandai oleh perbagian kerja yang tinggi, kesadaran kolaktif rendah, hukum yang sifatnya restitutif lebih dominan, individualis tinggi, lebih mementingkan konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum, badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang, dan bersifat industrial-perkotaan. Penerapan hukuman dalam solidaritas mekanik lebih bertujuan untuk memulihkan perilaku masyarakat agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Kemajuan pembangunan yang dicapai oleh masyatrakat Indonesia saat ini secara umum dapat dikategorikan pada struktur masyarakat bentuk solidaritas organik. Dengan kemajuan ini tentunya norma hukum yang dianut lebih bersifat restritutif. Namun melihat perilaku nain hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penerapan hukum yang berlaku pada masyarakat yang memiliki karakteristik solidaritas mekanik. Ketidakselarasan antara kemajuan zaman dengan praktik pelaksanaan hukum ini selanjutnya dapat dikategorikan sebagai penyimpangan. Penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam masyarakat ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie (Durkheim, 1964). Yaitu suatu keadaan dimana niali-nilai dan norma-norna semakin tidak jelas lagi dan kehilangan relevansinya. Tindakan main hakim sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan sebagai anomie, atau dalam kasus main hakim sendiri ini terjadi ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan oleh masyatakat. Pelasanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipadang oleh masyatakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri. Berlarutnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan perangkat hukum.
Belum selesai penanganan hukum terhadap kasus 27 Juli, kasus Bank Bali dan kasus mantan presiden Soeharto, sebagai contoh, telah memberikan inspirasi kepada masyarakat untuk tidak lagi mempercayai hukum, di samping menumbuhkan kemarahan dan kekecewaan masyarakat terhadap lembaga hukum sebagai lembaga kontrol sosial. Oleh karenanya Smelser (1963) melihat gejala kekerasan massa ini sebagai perwujudan dari ledakan kemarahan dan akumulasi kekecewaan masyarakat. Sebagai akibatnya, ketika pengendalian atau kontrol sosial oleh pemerintah melalui peraturan atau pranata hukum dianggap tidak berfungsi, maka pengendalian sosial dalam bentuk lain akan muncul (Black, 1976). Tindakan individu atau massa untuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial oleh masyarakat.
Keberanian masyarakat untuk mengambil alih proses pengendalian sosial dalam bentuk main hakim sendiri ini, mau tidak mau dapat dinyatakan sebagai buah dari gerakan reformasi. Gerakan reformasi telah mewariskan kepada masyarakat, baik yang positif maupun negatif, kebebasan, keberanian, keterbukaan informasi, demokrasi, dan sebagainya, yang kemudian menumbuhkan “kekuasaan dalam masyarakat. Rasa memiliki kekuasaan inilah yang kemudian menjadi pendorong munculnya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Di sini kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk melegitimasikan setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk melakukan tindakan hukum. Di sini berlaku suatu asumsi, bahwa penguasalah pemilik hukum".

3. Hukum dan kekuasaan
Keterkaitan hukum dan kekuasaan ini dapat dibuktikan melalui sejarah pemerintahan orde baru. Kekuasaan yang sangat besar yang dimiliki oleh pemerintah orde baru, mendorong pelaksanaan sistem hukum sesuai dengan selera dan kebutuhan penguasa. Di sini mengandung artibahwa para pemilik kekuasan pada umumnya berusaha mempertahankan “status quo” melalui berbagai tindakan yang tersembunyi di balik instrumen dam peraturan hukum. Tindakan ini oleh Galtum (1996) disebut sebagai kekuasan “punisif”, yang memiliki sumber legitimasinya pada kemampuan untuk memberikan sanksi “kejahatan” terhadap mereka yang berada di bawah kekuasaannya, guna menciptakan “rasa takut”. Kekuasaan ”punitif” ini memiliki kecenderungan mewujudkan tujuannya melalui berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikologis melalui penyiksaan, ancaman, tekanan dan sejenisnya.
Pemerintahan orde baru dengan kekuasaanya itu telah memperaktikan apa yang dilansir oleh Galtum tersebut. Pemberian stigma politik kepada para demonstran atau kepada kelompok yang berwawasan kritis, penggusuran tanah atas nama pembangunan, merupakan contoh jelas dari upaya untuk mempertahankan kekuasaan melalui instrumen hukum. Oleh karenanya menjadi benar apabila Max Weber (1922) menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.
Mengapa penguasa (pemerintah) mampu menguasai rakyat yang sebenarnya memiliki kekuasaan fisik yang jauh lebih besar? Menurut Hume (dalam Aubert, 1973) ini disebabkan oleh kemampuan dan keberhasilan penguasa untuk menguasai opini. Yaitu dengan melakukan tekanan-tekanan, kekerasan dan berbagai bentuk penciptaan rasa takut lainnya, secara terus menerus sehingga memunculkan kepatuhan. Kepatuhan ini timbuk secara terus menerus untuk selalu tunduk dan pasrah, yang dilandasi oleh perasaan superioritas sang penguasa ataupun perasaan takut. Oleh karena hanya di atas opini sajalah kekuasaan dapat ditegakkan, maka penggalangan dan pembentukan opini terus menerus di lalukan guna mempertahan kekuasaan.
Seiring dengan jatuhnya kekuasaan orde baru, masyarakat kemudian merasa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, masyarakat kemudian mengadopsi dan meniru pola atau model penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Masyarakat telah belajar banyak dari kemampuan pemerintah orde baru dalam menggunakan kekuasaannya, yang selanjutnya dipraktikan dalam bentuk pengadilan jalanan. Tindakan main hakim sendiri ini merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan opini kepada pemerintah maupun kepada masyarakat lain secara lebih luas, guna menunjukkan kekuasaanya, meskipun tindakan tersebut disadari telah melanggar hukum.

4. Alternatif pencegahan
Perilaku menyimpang dan anomali dalam bentuk main hakim sendiri, sebagai suatu penyakit masyarakat, tentunya harus segera diobati. Untuk menemukan obat yang tepat pertama kali perlu dikenali akar permasalahan munculnya tindak kekerasan atau main hakim sendiri tersebut. Apabila akar masalahnya adalah ketidakpercayaan terhadap pranata hukum, maka fungsi hukum seperti yang dikemukakan olehHoeber di muka perlu dilaksanakan secara konsekuen. Upaya ini pada akhirnya akan menumbuhkan kewibawaan dan kepastian hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sedangkan apabila tindak kekerasan itu berakar pada ketidakadilan dan ketertidakpastian masyarakat oleh struktur kekuasaan (penguasa), maka obat yang tepat untuk itu adalah “pencairan” struktur kekuasaan yang menjadi sumbernya. Di sinilah kemudian dituntut demokratisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Untuk dapat melaksanakan ini semua, maka berbagai masalah yang dikemukakan oleh Parsons di muka perlu diselesaikan terlebih dahulu.
Berbagai masalah tersebut dapat diatasi dengan berbagai tindakan antara lain adalah :
a. Hukum danperaturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan baik dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepribadian, jujur, tidak memihak, serta memiliki kemampuan;
b. Peraturan perundang-undangan sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat mengharuskan;
c. Sanksi yang diancamkan di dalam perundang-undangan haruslah sebanding dengan sifat perundang-undangan yang dilanggar;
d. Lembaga hukum harus dibebaskan dari berbagai kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif, utamanya kekuasaan eksekutif; dan
e. Para pelaksana hukum harus menafsirkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tafsir yang dilakukan oleh aparat pelaksana hukum. Melalui tindakan-tindakan ini dan menentukan akar permasalahan timbulnya tindakan main hakim sendiri, diharapkan tindak kekerasan oleh massa dapat dihentikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:57:00

PENDUDUK DAN KETENAGAKERJAAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia. Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia, dengan lebih dari 107 juta jiwa tinggal di daerah dengan luas sebesar New York.
Indonesia memiliki budaya dan bahasa yang berhubungan namun berbeda. Sejak kemerdekaannya Bahasa Indonesia (sejenis dengan Bahasa Melayu) menyebar ke seluruh penjuru Indonesia dan menjadi bahasa yang paling banyak digunakan dalam komunikasi, pendidikan, pemerintahan, dan bisnis. Namun bahasa daerah juga masih tetap banyak dipergunakan.
Dari segi kependudukan, Indonesia masih menghadapi beberapa masalah besar anatara lain :
• Penyebaran penduduk tidak merata, sangat padat di Jawa - sangat jarang di Kalimantan dan Irian.
• Piramida penduduk masih sangat melebar, kelompok balita dan remaja masih sangat besar.
• Angkatan kerja sangat besar, perkembangan lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah penambahan angkatan kerja setiap tahun.
• Distribusi Kegiatan Ekonomi masih belum merata, masih terkonsentrasi di Jakarta dan kota-kota besar dipulau Jawa.
• Pembangunan Infrastruktur masih tertinggal; belum mendapat perhatian serius
• Indeks Kesehatan masih rendah; Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi masih tinggi

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakgn yang ada penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana laju pertumbuhan penduduk di Indonesisa?
2. Bagaimana karateristik kependudukan Indonesia?
3. Bagaimana pandangan umum tentang ketenagakerjaan di Indonesia?
4. Bagaimanakah pekerjaan dan tingkat upah yang berlaku diIndonesia? 
5. Bagaimana campur tangan pemerintah tentang kependudukan dan tenagakerjaaan?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui jumlah, kepadatan, dan laju pertumbuhan penduduk.
2. Untuk mengetahui karakteristik kependudukan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui ketenagakerjaan di Indonesia.
4. Untuk mengetahui angkatan kerja dantingkat upah di Indonesia.
5. Untuk mengetahui kebijaksanaan kependudukann dan ketenagakerjaan.


BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Penduduk di Indonesia
Dalam wikipedia dijelaskan bahwa penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan untuk menetap. Angka Jumlah penduduk Indonesia dapat dijumpai pada hasil Sensus Penduduk terbitan Biro Pusat Statistik

2.1.1 Laju Pertumbuhan Penduduk 
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada tahun 2000 menjadi 273,2 juta pada tahun 2025. Walaupun demikian, pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2000-2025 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam dekade 1990-2000, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 persen per tahun, kemudian antara periode 2000-2005 dan 2020-2025 turun menjadi 1,34 persen dan 0,92 persen per tahun. Turunnya laju pertumbuhan ini ditentukan oleh turunnya tingkat kelahiran dan kematian, namun penurunan karena kelahiran lebih cepat daripada penurunan karena kematian. Crude Birth Rate (CBR) turun dari sekitar 21 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 15 per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi, sedangkan Crude Death Rate (CDR) tetap sebesar 7 per 1000 penduduk dalam kurun waktu yang sama. 
Salah satu ciri penduduk Indonesia adalah persebaran antar pulau dan provinsi yang tidak merata. Sejak tahun 1930, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, padahal luas pulau itu kurang dari tujuh persen dari luas total wilayah daratan Indonesia. Namun secara perlahan persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa terus menurun dari sekitar 59,1 persen pada tahun 2000 menjadi 55,4 persen pada tahun 2025. Sebaliknya persentase penduduk yang tinggal di pulau pulau lain meningkat seperti, Pulau Sumatera naik dari 20,7 persen menjadi 22,7 persen, Kalimantan naik dari 5,5 persen menjadi 6,5 persen pada periode yang sama. Selain pertumbuhan alami di pulau-pulau tersebut memang lebih tinggi dari pertumbuhan alami di Jawa, faktor arus perpindahan yang mulai menyebar ke pulau-pulau tersebut juga menentukan distribusi penduduk.
Jumlah penduduk di setiap provinsi sangat beragam dan bertambah dengan laju pertumbuhan yang sangat beragam pula. Bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan periode 1990-2000, maka terlihat laju pertumbuhan penduduk di beberapa provinsi ada yang naik pesat dan ada pula yang turun dengan tajam (data tidak ditampilkan). Sebagai contoh, provinsi-provinsi yang laju pertumbuhan penduduknya turun tajam minimal sebesar 0,50 persen dibandingkan periode sebelumnya (1990-2000) adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Papua. Sementara, provinsi yang laju pertumbuhannya naik pesat minimal sebesar 0,40 persen dibandingkan periode sebelumnya adalah Lampung, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta dan Maluku Utara.

2.2 Karakteristik Kependudukan Indonesia
Struktur umur penduduk Indonesia masih tergolong muda, walaupun dari hasil sensus dan survei-survei yang lalu proporsi penduduk muda tersebut menunjukkan kecenderungan makin menurun. Susunan umur penduduk juga menunjukkan pola yang sama. Asumsi tentang penurunan tingkat kelahiran dan kematian Indonesia seperti diuraikan di atas sangat mempengaruhi susunan umur penduduk. Proporsi anak-anak berumur 0-14 tahun turun dari 30,7 persen pada tahun 2000 menjadi 22,8 persen pada tahun 2025. 
Dalam kurun yang sama mereka yang dalam usia kerja, 15-64 tahun meningkat dari 64,6 persen menjadi 68,7 persen dan mereka yang berusia 65 tahun ke atas naik dari 4,7 persen menjadi 8,5 persen. Perubahan susunan ini mengakibatkan beban ketergantungan (dependency ratio) turun dari 54,70 persen pada tahun 2000 menjadi 45,50 persen pada tahun 2025. Menurunnya rasio beban ketergantungan menunjukkan berkurangnya beban ekonomi bagi penduduk umur produktif (usia kerja) yang menanggung penduduk pada umur tidak produktif.

2.3 Ketenagakerjaan
Untuk keperluan analisis ketenagakerjaan, secara garis besar penduduk suatu negara dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga Kerja adalah setiap orang laki-laki atau wanita yang sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (www.tempointeraktif.com). 
Masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia saat ini menurut analisis kami berangkat dari 4 (empat) soal besar, yaitu;
1. tingginya jumlah penggangguran massal;
2. rendahnya tingkat pendidikan buruh;
3. minimnya perlindungan hukum
4. upah kurang layak.

2.3.1 Konsep dan Definisi
Tenaga kerja dipilah pula kedalam dua kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Yang termasuk angkatan kerja ialah adalah penduduk berumur 15 tahun keatas yang selama seminggu sebelum pencacahan bekerja atau punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan mereka yang tidak bekerja tetapi mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mencari kerja (www.tempointeraktif.com).
Angkatan kerja itu sendiri dibedakan menjadi dua yaitu pekerja dan pengangur. Yang dimaksud dengan pekerja adalah adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja pada pengusaha dengan menerima upah (www.tempointeraktif.com). Pengangguran merupakan usaha mendapatkan pekerjaan yang tidak terbatas dalam jangka waktu seminggu yang lalu saja, tetapi bisa dilakukan beberapa waktu sebelumnya asalkan masih dalam status menunggu jawaban lamaran, dalam kurun waktu seminggu sebelum pencacahan. Penganguran semacam ini oleh BPS dinyatakan sebagai penganggur terbuka.
Berikut ini adalah macam jenis & macam pengangguran yang lain:
1. Pengangguran Friksional/Frictional Unemployment
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan.
2. Pengangguran Struktural/Structural Unemployment
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Pengangguran Musiman/Seasonal Unemployment
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.
4. Pengangguran Siklikal 
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.

2.3.2 Angkatan Kerja Indonesia 
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2004 dan Februari 2005 Jumlah angkatan kerja pada bulan Februari 2005 mencapai 105,8 juta orang, bertambah 1,8 juta orang dibandingkan bulan Agustus 2004 yang besarnya 104,0 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja dalam 6 bulan yang sama hanya bertambah 1,2 juta orang, dari 93,7 juta menjadi 94,9 juta orang, yang berarti menambah jumlah penganggur baru sebesar 600 ribu orang.
Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada bulan Februari 2005 mencapai 10,3 persen, lebih tinggi sedikit dibanding TPT pada bulan Agustus 2004 yang besarnya 9,9 persen. Jumlah penduduk yang bekerja tidak penuh (underemployment) pada bulan Februari 2005 mencapai 29,6 juta orang atau 31,2 persen dari seluruh penduduk yang bekerja, angka ini lebih tinggi dari keadaan Agustus 2004 sebesar 29,8 persen.
Jumlah pekerja informal pada Februari 2005 mencapai 60,6 juta orang atau 63,9 persen dari seluruh penduduk yang bekerja, angka ini lebih tinggi dari keadaan Agustus 2004 sebesar 63,2 persen.

2.3.3 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Pada kondisi Pebruari 2005, di Indonesia terdapat 155,5 juta penduduk usia kerja, sekitar 60,61 persen dari mereka berada di Pulau Jawa. Bagian dari tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi disebut angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 angkatan kerja.
TPAK Indonesia pada Pebruari 2005 sebesar 68,02 persen, berarti telah mengalami kenaikan sebesar 0,48 persen dibandingkan dengan kondisi Agustus 2004 yang besarnya 67,54 persen. Kenaikan TPAK ini antara lain disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi nasional yang belum setabil, sehingga memberikan pengaruh terhadap faktor-faktor produksi di Indonesia. Secara langsung naik turunnya faktor produksi ini akan membeirikan dampak terhadap tinggi rendahnya faktor permintaan dan penawaran tenaga kerja.
TPAK antar propinsi mempunyai variasi yang cukup besar. Pada Februari 2005, provinsi Maluku mempunyai TPAK terendah 59,22 persen dan tertinggi Nusa Tenggara Timur 79,45 persen. Sejalan dengan angka tersebut, Tingkat Penggangguran Terbuka (TPT) antar provinsi juga bervariasi cukup besar, dengan provinsi DKI dan Jawa Barat memiliki persentase tertinggi sebesar 14,73 persen dan terendah di provinsi Bali sebesar 4,03 persen.
Selama bulan Agustus 2004 sampai dengan Februari 2005 terdapat beberapa provinsi yang mengalami peningkatan TPAK yang sangat besar, antara lain terdapat tiga provinsi masing-masing sebagai berikut : NAD (Nanggru Aceh Darussalam) 6,18 persen, Kalimantan Timur 3,72 persen, dan Sumatera Utara 3,38 persen. Khusus provinsi NAD, peningkatan TPAK yang besar diikuti oleh TPT yang besar pula, yaitu dengan peningkatan TPT sebesar 3,15 persen. Sementara itu propinsi lain yang mengalami peningkatan TPT yang cukup nyata adalah Sulawesi Utara 3,49 persen, Jambi 2,55 persen, Sulawesi Tengah 1,78 persen, dan NTB (Nusa Tenggara Barat) 1,45 persen.
Menurut golongan umur terlihat bahwa TPAK terendah pada kelompok umur 15-19 tahun, yaitu 38,79 dan meningkat seiring bertambahnya umur. Sedangkan TPAK tertinggi pada kelompok umur 45-59 tahun sebesar 80,88. Selanjutnya pada kelompok umur yang lebih tua, TPAK akan berangsur-angsur mengalami sedikit penurunan. Pada kelompok lansia (umur 60 +). TPAK turun tajam menjadi hampir 52,20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dari 100 orang lansia, yang aktif dalam kegiatan ekonomi sekitar 50 orang.

2.4 Pekerjaan dan Tingkat Upah
Sebaran pekerjaan angkatan kerja dapat ditinjau dari tiga aspek yaitu :
• Lapangan pekerjaan 
• Status pekerjaan
• Jenis pekerjaan


BAB III
STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus
Kasus ketenagakerjaan-tenaga lepas
Ada seseorang HR di sebuah perusahaan garment bercerita bahwa dia merekrut beberapa orang karyawan harian lepas untuk menyelesaikan order dari luar, sistem pembayaran harian tetapi dibayar seminggu sekali, suatu saat ordernya berhenti entah apa sebabnya, akhirnya semua pekerja harian lepas tersebut diberhentikan, namun tidak disangka orang-orang tersebut menolak dan minta uang jasa atau dalam bahasa sunda “uang kadeudeuh”, kebetulan salah seorang yang agak rebelling sedikit mengerti hukum ketenagakerjaan karena pernah ikut serikat pekerja melakukan protes dan berasumsi bahwa dimata hukum mereka sama dengan permanen dan dia melaporkan hal ini ke depnaker setempat, akhirnya dilakukan mediasi, dalam mediasi tersebut dipertanyakan mana perjanjian kerja harian lepasnya? Mana bukti bahwa dia dibayar secara harian?
Ujung-ujungnya ketika diberikan bukti pembayaran ditanya lagi mana pembayaran jamsosteknya? Bukti potongan dan setoran pajaknya mana? Beberapa terdapat exceeding working hour diatas 3 jam melanggar dan tidak dibayar, dst.
Akhirnya Depnaker memberikan anjuran kepada pekerja untuk menerima tapi juga menganjurkan kepada pengusaha untuk memberi sedikit “uang kadeudeuh” karena alasannya karyawan tertipu dijanjikan sebagai karyawan normal nyatanya harian lepas (itupun tidak ada bukti tertulis), selain itu juga ada kabar burung bahwa merekapun meminta uang ala kadarnya. 
(http://www.mail-archive.com/buni@yahoogroups.com/msg00124.html)

Pembahasan
Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa tanpa perjanjian kerja sangat riskan sekali karena hubungan antara pekerja dan pengusaha menjadi terbuka, kedua pihak bisa saling memanfaatkan. Dalam regulasi tenaga kerja kita memiliki beberapa hak harian lepas yang harus dipenuhi semacam THR/jamsostek/kesehatan (dalam istilahnya selalu 'karyawan' yaitu yang menerima upah artinya harian lepas juga dong?) yang jarang dipenuhi pengusaha, selain itu kadang juga pengusaha membiarkan harian lepas bekerja lebih dari 3 bulan dan tanpa benefit apapun. Hal ini akan sangat melemahkan posisi pengusaha dalam kasus yang berhubungan dengan perselisihan industrial. Selain itu jika ada kasus menjadi memakan waktu dan tenaga yang seharusnya berjalan lancar sesuai rencana.

Kasus uang pesangon yang rendah
Akhirnya keluar juga putusan PHK dari manajemen tapi tidak semua anggota Serikat diPHK tetapi hanya 20 orang. Sedikit bercerita, tadi pagi jam 9 pertemuan tripartit kedua antara Serikat, manajemen perusahaan dan sebagai mediator dari pihak Disnaker. Dari perusahaan sendiri sudah mewakilkan ke pengacara. Singkat cerita bapak pengacara itu membaca 20 nama yang diPHK, 5 diantaranya adalah pentolan Serikat termasuk ketua, SekJend, Bendahara (penulis studi kasus) dan Divisi Advokasi. Dari pihak yang diPHK sudah menerima putusan tersebut karena memang kita mengharapkan hal tersebut. Yang tidak bisa kita terima adalah masalah kompensasi, bayangkan saja pihak perusahaan menawarkan kompensasi 1 bulan gaji dibayarkan mulai 15 Oktober 2008 secara bertahap. ”Kalo cuma 1 bulan gaji mendingan saya ikhlaskan saja untuk perusahaan deh untuk beli bahan produksi biar bisa jalan lagi deh.. ikhlas…” kata penulis studi kasus. Disnaker pun setelah mendengar besarnya kompensasi secara langsung malah mencibir “mbok ora usah diwenehi sisan wae”.
Mana hati nurani anda bapak pimpinan CV. Magetan Putera penerima penghargaan primaniyarta dari Presiden SBY ?
(http://redys.wordpress.com/2008/09/11/perkembangan-kasus-tenaga-kerja-dikantorku-5/)

Pembahasan
Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa perusahaan tidak punya perasaan dengan memberi uang pesangon yang sedikit, padahal perusahaan sudah menerima penghargaan dari bapak persiden (artinya kan bukan perusahaan yang kecil). Jika uang pesangonnya tetap sebesar itu dan tidak ditambah, lebih baik tidak usah diberi uang pesangon saja. Dari pihak yang diPHK juga tidak menerima keputusan itu dan mereka tetap menuntut sesuai yang terdapat di UU No 13 Th 2003 tentang ketenagakerjaan. Selain itu juga perusahaan sebesar itu seharusnya sudah ada JAMSOSTEK, jika tidak ada JAMSOSTEK maka itu termasuk tindakan pidana yang mana berdasarkan pasal 29 UU Jamsostek hukumannya penjara maksimal 6 bulan atau denda maksimal 50 juta.
Daripada ribut masalah uang pesangon, sebaiknya perusahaan sadar diri dan memenuhi tuntutan mereka (menaikan jumlah uang pesangon). Itupun juga demi nama baik perusahaan.


BAB IV
KESIMPULAN

Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia. Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia, dengan lebih dari 107 juta jiwa tinggal di daerah dengan luas sebesar New York.
Pertumbuhan rata-rata per tahun penduduk Indonesia selama periode 2000-2025 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Dalam dekade 1990-2000, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,49 persen per tahun, kemudian antara periode 2000-2005 dan 2020-2025 turun menjadi 1,34 persen dan 0,92 persen per tahun
Struktur umur penduduk Indonesia masih tergolong muda, walaupun dari hasil sensus dan survei-survei yang lalu proporsi penduduk muda tersebut menunjukkan kecenderungan makin menurun. 
Dalam kurun yang sama mereka yang dalam usia kerja, 15-64 tahun meningkat dari 64,6 persen menjadi 68,7 persen dan mereka yang berusia 65 tahun ke atas naik dari 4,7 persen menjadi 8,5 persen. Perubahan susunan ini mengakibatkan beban ketergantungan (dependency ratio) turun dari 54,70 persen pada tahun 2000 menjadi 45,50 persen pada tahun 2025. Menurunnya rasio beban ketergantungan menunjukkan berkurangnya beban ekonomi bagi penduduk umur produktif (usia kerja) yang menanggung penduduk pada umur tidak produktif. 


DAFTAR PUSTAKA

http://aricloud.wordpress.com/2008/03/14/standar-gaji-dan-umr-dki-jakarta/
http://elektrojoss.wordpress.com/2007/06/12/tiga-faktor-mendasar-penyebab-masih-tingginya-pengangguran-di-indonesia/
http://id.wikipedia.org/wiki/Upah_Minimum_Regional  
http://organisasi.org/pengertian-pengangguran-dan-jenis-macam-pengangguran-friksional-struktural-musiman-siklikal  
http://redys.wordpress.com/2008/09/11/perkembangan-kasus-tenaga-kerja-dikantorku-5/
http://www.angelfire.com/id/edicahy/ceritakami/cerkam10.htm  
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/919/934/
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/313/313/1/1/
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/920/936/
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/920/936/1/1/
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/920/936/1/2/
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/920/936/1/3/
http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/920/936/1/4/
http://www.kapanlagi.com/h/0000156200.html  
http://www.mail-archive.com/buni@yahoogroups.com/msg00124.html 

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:47:00

COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING (CLT) APPROACH IN IMPROVING STUDENTS SPEAKING ABILITY IN EFL

COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING (CLT) APPROACH IN IMPROVING STUDENTS SPEAKING ABILITY IN EFL



CHAPTER I 
INTRODUCTION

This chapter describes the general issues related to the present study. These include the background of the study, limitation of the problem, formulation of the problem, hypothesis of the study, definition of the key terms, the purposes and significance of the research. 

A. Background of the study
The recent change of our national curriculum has a great effect on the instructional procedures and material contents in Primary school, Junior High School and Senior High School. Especially in Junior High School, the curriculum change from Competence-Based Curriculum to School-Based Curriculum has given opportunities for teachers to plan and make the curriculum based on the set of competences. Teachers are obliged to be creative and innovative (Karnadi & Ansyar, 2007) in developing the curriculum and portraying lessons in classroom.
Karnadi (2006) stated that the Education Ministerial regulation no. 22, 23 and 24 year 2006, dated May 23, about School-Based Curriculum giving a broad opportunities for schools as well as the teachers to determine and develop the curriculum. The curriculum developed by the school should refer to national standard of education, and operationally should be in line with the standard of content and competence arranged by BSNP (The Board of National Standard of Education). In such a way, school has a full authority to determine and develop the syllabus, curriculum and indicators in order to show the schools' potentials and competitions (Bambang Wasito Adi, The head of Information centre of BSNP). Principally, it is always intended to have teaching and learning process that finally can lead to have better learning outcome.
The goal of teaching English in Junior High School level is to communicate in English at the level of literacy performative competence and literacy functional competence (PERMEN 22 in 2006). The literacy performative competence level leads the students to be able to read, write, listen and speak English in simple symbols. The literacy functional competence level encourages the students to communicate in English orally and written for their daily activity needs.
As such, the way of teaching and learning process of English should be taken more emphasize on communicative approach. This approach gives focus on communicative proficiency rather than on mere mastery of structure (Richards, 1986 : 64). It is in line with the function of language that is to communicate opinion, ideas, information, etc. So that language is to communicate meaning as effectively as possible in concrete situation.
Nowadays, communication becomes more and more important in our daily life, because they are indispensable as a means of communication for Indonesia international activities. But it has been a big problem for Indonesian learners of English to develop communicative competence. This is partly because we have few opportunities to use English in a real world and partly because we usually regard English as knowledge instead of a mean of communication. As English is not the main approach for the people to transfer information with each other in Indonesia, it's mainly as the way of finding a good job and passing an examination. As a result, reading skills and linguistic competence are emphasized in school. What is more, Indonesia and English are completely different languages in many aspects, so it's difficult for the students to learn English. Also in Indonesia, there are a few opportunities for students to speak and listen to English; there is no real language environment for students to improve their communicative competence.
Additionally, there are two reasons why we should teach speaking skills in the classroom, they are;
- Motivation
Many students equate being able to speak a language as knowing the language and therefore view learning the language as learning how to speak the language, or as Nunan (1991) wrote, "Success is measured in terms of the ability to carry out a conversation in the (target) language." Therefore, if students do not learn how to speak or do not get any opportunity to speak in the language classroom they may soon get de-motivated and lose interest in learning. On the other hand, if the right activities are taught in the right way, speaking in class can be a lot of fun, raising general learner motivation and making the English language classroom a fun and dynamic place to be.
- Speaking is fundamental to human communication.
Just think of all the different conversations we have in one day and compare that with how much written communication we do in one day. Which do we do more of ? In our daily lives most of us speak more than we write, yet many English teachers still spend the majority of class time on reading and writing practice almost ignoring speaking and listening skills. Do we think this is a good balance ?
If the goal of our language course is truly to enable our students to communicate in English, then speaking skills should be taught and practiced in the language classroom.
In case of teaching English as a foreign language, the goal of teaching as stated above is accordance with the standard and basic competence in school based curriculum (PERMEN 22 in 2006), especially for the eight-year of junior high school level, which take more emphasize on the students' communicative competence in speaking skill, as in the following that;
- The ability to express meaning in a simple short dialog with other people in transactional and interpersonal conversation. 
- The ability to express meaning in a simple short functional and monolog in descriptive and recount texts for interacting and communicating with other people.
- The ability to express meaning orally in transactional and interpersonal for interacting and communicating with other people.
- The ability to express meaning in a simple short functional and monolog in recount and narrative texts for interacting and communicating with other people.
Additionally, the standard of competence as stated above encourages the students to have the basic competence (PERMEN 22, 2006) as in the following;
- Expressing meaning in transactional (to get things done) and interpersonal conversation (socialization) to ask for and give things.
- Expressing meaning in transactional (to get things done) and interpersonal conversation (socialization) to ask and give opinions (make questions).
Expressing meaning in transactional (to get things done) and interpersonal conversation (socialization) to invite people, agree and disagree, and talk about past experience.
- Expressing meaning in transactional (to get things done) and interpersonal conversation (socialization) to express admiration and congratulation ask for and give ideas and ask for information.
- Expressing meaning in transactional (to get things done) and interpersonal conversation (socialization) to talk about favorite tales, ask for a favor, ask and offer things.
- Expressing meaning in transactional (to get things done) and interpersonal conversation (socialization) to get information, ask and give opinion, predict and retell the story.
- Expressing meaning in transactional (to get things done) and interpersonal conversation (socialization) to ask for and give agreement, respond to a statement, talk about one's biography.
- Expressing meaning in transactional (to get things done) and interpersonal conversation (socialization) to make a telephone call, leave and take messages, make an appointment, and tell funny experience.
This paradigm shifting has happened in English teaching in Junior High School especially in SMPN X where the goal of teaching is aimed at teaching English for communication. However, the application of teaching in the field is still far from satisfying. For instance; it often can be seen that English teaching still emphasize on language form. It also can be observed that many Junior High School students who have been studying English for more than 3 years are not able to speak English, even though it is in a simple conversation. Their English mark in their final examination (NEM) is considered low and their communicative proficiency is also poor. 
The students' achievement nationally makes parents as well as teachers unhappy. The unsatisfactory results make people then turn more intention to the implementers in the fields. The teachers become the scapegoat of the failure because they directly face the students in class. This phenomenon is concluded that English teaching result is still far from satisfaction. It means that the problem of English teaching still can not be overcome maximally. The implementation of the normative approach underlying the curriculum is considered on the teachers' hand. Teachers as the teaching implementers in the field should be able to understand the curriculum as part of the system, since it should be understood as guideline that give direction towards the target decided. Their understanding will very much determine their preparation and their actual implementation in class. But the case is not like what it has been expected. Teachers as the spearhead are not well prepared. They are predicted of not having enough knowledge or experience about the approach.
The purpose of English teaching in Indonesia is very often limited to the four language skills (reading, writing, listening and speaking). And all the classroom activities are designed around the four language skills. However this is not necessarily the case. Many teachers and learners get accustomed to traditional teaching methodology and neglect the nature of language and language teaching. To avoid such misunderstanding the thesis insists that the aim of English teaching is to develop the learners' communicative competence.
In Indonesia, some existing problems, of which dumb English and low efficiency are most evident. Generally, the learners have spent at least three years or so studying English before entering senior high school. During such long learning span too much emphasis has been put on rote learning and accumulation of English knowledge, such as the mastery of usage words and grammatical rules. Many learners with many years experience in English learning still have considerable difficulty coping with English in its normal oral communicative use. Therefore, it is of great significance and urgency to further discuss the objective of language teaching and the approach in English language teaching is most self-evident. The learners are required to develop the comprehensive ability to communicate orally in English. In the process of improving the comprehensive proficiency the teaching should focus on the learners' proficiency instead of the presentation of abstract linguistic forms.
The objective of the English teaching is to develop the learners' English communicative competence likewise. Viewing English as a kind of meaning potential and a functional system, its learning should be the realization of English behavior potential. English teaching will focus on how to use English grammatically and appropriately. In a word, our English teaching will concentrate on the knowledge and ability to use. In addition to the ability to produce and understand grammatical utterances the learners are to develop the ability to know when to select a particular grammatical sequence that should be appropriate to the context, both linguistic and situational.
The common problems encountered by teachers with the teaching of English, especially teaching of speaking skills in junior high school can be seen in the following that; 
1. Students won't talk or say anything
One way to tackle this problem is to find the root of the problem and start from there. A reason for student silence may simply be that the class activities are boring or are pitched at the wrong level. Very often our interesting communicative speaking activities are not quite as interesting or as communicative as we think they are and all the students are really required to do is answer 'yes' or 'no' which they do quickly and then just sit in silence or worse talking noisily in their L1.
2. When students work in pairs or groups they just end up chatting in their own language.
This problem is mostly happen when the activity or the task is not interesting to students. If students do not have something to say or do, or don't feel the need to speak, we can be sure it won't be long before they are chatting away in their L1.
3. Passive class
A common problem for EFL teachers is dealing with a passive class, where students are unresponsive and avoid interaction with the teacher. This is especially true when a teacher seeks interaction in a teacher-class dialog, such as asking questions to the class as a whole, expecting at least one student to respond. This can be a frustrating experience for both parties. Obviously, there will be times when no student can answer a teacher's question, but often students do not answer even if they understand the question, know the answer, and are able to produce the answer. Furthermore, students can often be very reluctant to give feedback or ask the teacher a question in front of the class.
This condition interests the researcher to investigate the effectiveness of CLT to EFL teaching in order to overcome those problems, to help students to learn English more effectively and efficiently, especially in improving students' speaking ability.

B. Limitation of the Problem
It has been previously stated in the background that students with many years experience in English learning still have considerable difficulty coping with English in its normal oral communicative use. In the other hand, students who have been studying English for more than 3 years are not able to speak English, even though it is in a simple conversation. Their English mark in their final examination (NEM) is considered low and their communicative proficiency is also poor.
Concerning the outcome that has not made us happy yet, it is necessary to take a look at the communicative language teaching approach to the teaching of English as a foreign language. Through this study the researcher will investigate the effectiveness of Communicative Language Teaching (CLT) in the English Foreign Language (EFL) classroom, especially in improving students' speaking ability in SMPN X.

C. Formulation of the Problem
The problem that will be observed in this research is;
1. Is Communicative Language Teaching (CLT) approach effective in improving students' speaking ability ?
2. Is there any significant difference between the speaking ability of the respondents who are trained on applying CLT with those who are not ?

D. Hypothesis of the Study
The researcher sets the hypothesis as follows that students who are taught using Communicative Language Teaching (CLT) approach get higher speaking ability than those who are taught using the conventional method.

E. Definition of the Key Terms
Communicative Language Teaching (CLT) is an approach to the teaching of second and foreign languages that emphasizes interaction as both the means and the ultimate goal of learning a language. In other words, Communicative language teaching (CLT) is the way of teaching language that takes more emphasize on communicative approach (Wilkins, 1980s). CLT refers to the process of learning which makes use of real-life situation that necessitate communication (Ann Galloway, center for applied linguistics). The teacher sets up a situation that students are likely to encounter in real life. Unlike the audio-lingual method of language teaching, which relies on repetition and drills, the communicative approach can leave students in suspense as to the outcome of a class exercise, which will vary according to their reactions and responses. The real-life simulations change from day to day. Students' motivation to learn comes from their desire to communicate in meaningful ways about meaningful topics.
Communicative language teaching (CLT) refers to both processes and goals in classroom learning. The central theoretical concept in communicative language teaching is ‘‘communicative competence,’’. Competence is defined in terms of the expression, interpretation, and negotiation of meaning (Sauvignon, 1971). Sauvignon (1971) used the term ‘‘communicative competence’’ to characterize the ability of classroom language learners to interact with other speakers, to make meaning, as distinct from their ability to recite dialogues or perform on discrete-point tests of grammatical knowledge.
Approach, according to Anthony as quoted by Richards (1986) is a set of correlative assumptions dealing with the nature of language and learning. Following Richards (1986), states that approach is theories about the nature of language and language learning that serve as the source of practices and principles in language teaching. Additionally, approach refers to the beliefs and theories about language, language learning and teaching that underlie a method. While speaking is an interactive process of constructing meaning that involves producing and receiving and processing information (Brown; Burns & Joyce, 1997). Its form and meaning are dependent on the context in which it occurs, including the participants themselves, their collective experiences, the physical environment, and the purposes for speaking.

F. The Purpose of the Research
There are two purposes of the research : 
1. To investigate whether CLT is effective in improving students' speaking ability.
2. To find out the improvement of students' speaking ability after being trained compared to those who are not trained.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:43:00