Cari Kategori

Menuju Pendidikan Pesantren Berspektif Gender

Pendidikan Islam Pesantren:
Menuju Pendidikan Pesantren Berspektif Gender
Ditinjau sudut sosio-historisnya, banyak para pakar yang menyatakan bahwa Institusi pesantren lahir sebagai salah satu wujud pemberontakan kepada para imperialisme barat atas praktek diskriminasi terhadap keberadaan masyarakat pribumi. Tidak hanya itu, iapun lahir dari kesadaran penuh atas ghirah-nya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperjuangkan kebebasan dari segala bentuk tirani penjajahan, entah penjajahan berupa fisik maupun no-fisik. Sehingga Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid) mengistihkan pesantren sebagai intitusi indigenous, yakni institusi pendidikan yang mempunyai makna asli Indonesia.

Dalam perjalanannya, pesantren tidak jarang dicap sebagai institusi pendidikan tradisionalis, yang mempunyai kecenderungan ortodoksi dan menolak modernitas. Stempel tradisionalis tersebut lambat laun ternyata berimplikasi kuat terhadap dinamika pergumulan pesantren sebagai perannya dalam mengembangkan transformasi pendidikan. Sehingga demikian, disadari atau tidak—stempel tradisionalis itu telah membawa angin segar bagi pesantren untuk tetap survive hingga saat ini.

Berdasarkan stempel tradisionalis tersebut, yang pada akhirnya membawa pesantren untuk terus berinstrospeksi dan menata keberadaanya. Bagi pesantren yang mempunyai keterbukaan dan progresifitas, stempel tradisionalis dijadikan sebagai motivasi untuk kemudian menjadikan pesantren lebih progresif sesuai dengan kebutuhan zaman. Lain sebaliknya, bagi pesantren yang cenderung tertutup dan represif, stempel tradisionalis telah menjadikan dorongan untuk semakin menonjolkan identitas tradisionalisnya dengan menolak sejumlah tawaran modernitas.

Lepas dari itu, perhatian besar tertuju pada pesantren yang mempunyai kecenderungan terbuka dan menerima modernitas. Yakni mengembangkan proses pendidikan yang tetap melestarikan tradisi dan khazanah-khazanah Islam klasik disatu sisi dan menerima modernitas disisi lain. Keterbukaan ini bukan tanpa sebab, kaidah klasik pesantren menyatakan “al-Muhafadhotu ‘ala Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (Menjaga khazanah klasik dan menerima modernitas yang lebih baik). Prinsip keterbukaan dan progresifitas lain yang sesuai dengan kaidah diatas misalkan; “Kaifa nataqaddam duuna ‘an natakhalla ‘an al-Turats” (Bagaimana kita bisa maju dengan tanpa membongkar tradisi [khazanah pesantren]).

Prinsip menjaga khazanah klasik ini ditunjukkan dengan menjadikan khazanah kitab kuning sebagai referensi utama dalam pesantren. Namun problematikanya adalah sejauh mana pesantren dapat mendudukan kitab kuning secara proporsional, terutama, jika dihadapkan dengan konteks kekinian. Problematika tersebut misalnya, seperti apa yang tertera dalam banyak kitab kuning. Dalam kitab Uqud al-Lujain contohnya, setelah dilakukan penelian mendalam menggunakan metodologi ta’liq wa takhrij al-Hadits oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid dan kawan-kawan, tidak sedikit wacana-wacana yang tertulis dalam kitab itu, berkecenderungan bias gender. Dalam penelitiannya itu ditemukan 26 hadits lemah (dla’if) dan 35 hadits palsu (maudlu’) dari sekitar 120-an hadits dalam kitab ‘Uqud al-Lujjayn.

Tidak hanya, selain karena urusan pesantren begitu Kiai oriented, referensi yang dipelajarinya pun mendukung hal-hal yang belum mencerminkan keadilan dan kesetaraan gender. Sebut saja misalkan sejumlah kitab-kitab referensi wajib hampir seluruh pesantren khususnya di Jawa, kitab-kitab yang berpotensi bias gender selain Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zujain, karya Syekih Nawawi Banten, ada juga kitab Safinah al-Naja fi Maa Yajibu ‘alaa Abdi li Maulaahu, karya Syaikh Salim bin Abdullah bin Samir, Qurrah al-‘Uyun al-Nikah al-Syar’I bi Syarh Nazh Ibnu Yanun karya Abu Muhammad Maulana al-Tihami, Adab al-Mu’asyarah bain al-Zaujain li Tashil al-Sa’adah al-Zawjiyyah al-Haqiqisiyyah karya Ahmad bin Asymuni, dan lain sebagainya.

Berdasarkan penelitian, kaidah dan prinsip keterbukaan tersebut, pesantren seharusnya membuka mata karena ia justru dapat memacu progresifitas pesantren yang akan memberikan kontribusi positif dalam mewujukan pendidikan bagi perempuan (santriwati) di pesantren yang berperspektif gender. Memberikan kebebasan dan keleluasaan ruang gerak bagi perempuan yang telah sekian lama didiskreditkan keberadaannya. Bahwa perempuan (santriwati), (entah disadari atau tidak) atau sebagaimana sejarah dunia mencatat selalu dipersepsikan sebagai manusia bernomor dua dibelakang laki-laki, separuh harga dari laki-laki, yang keberadaannya selalu dipandang rendah dan diskriminatif.
Perempuan hanya dijadikan objek bukan subjek sebagaimana laki-laki. Perempuan dilarang untuk bersuara lantang dikancah publik. Ia dipaksa untuk hanya berdomisili diranah domestik; seputar dapur, sumur, dan kasur. Perempuan di dzolimi tidak hanya berdasarkan budaya patriarkhi atau norma-norma sosial belaka, melainkan pula melalui sejumlah interpretasi literal para Kiai atas teks-teks keagamaan yang (meskipun) bersumber dari al-Qur’an, hadits, maupun kitab-kitab klasik (kitab kuning). Teks yang terakhir ini pulalah yang telah mengakibatkan budaya patriarkhi begitu melekat di pesantren.

Jika realitas bias gender dalam referensi pesantren tersebut tidak segera dilakukan reinterpretasi, maka tidak menutup kemungkinan pesantren akan kehilangan nilai-nilai humanis dan keadilan yang sejak dulu telah melekat dalam tubuh pesantren. Kendati demikian, kita patut berbangga hati atas kemunculan Kiai “nyentrik” sekelas KH. Husein Muhammad, Kiai sarungan asal Arjawinangun ini (kalau saja perjuangannya dapat direnungkan sejenak) telah memberikan pengaruh terhadap pergulatan diskursus kesetaraan gender, khususnya bagi kalangan pesantren.

Meneladani dan melanjutkan (meng-istiqamah-kan) perjuangan kontekstual KH. Husein Muhammad adalah keharusan. Oleh sebab itu, oleh Kiai-kiai (pesantren manapun) secepatnya dapat mengilhami serangkaian tafsir bahwa Islam ramah repempuan, ini berguna (terutama) dalam pemenuhan pendidikan berperspektif keadilan gender para santri (terutama santriwati) nya. Tiada lain adalah melalui serangkaian pemahaman (pengajian) dan gerakan yang berkeadilan dan berkesetaraan gender dalam sistem pendidikan pesantren, minimalnya dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap kitab-kitab klasik yang bias gender itu. Karena sejatinya diskursus kesetaraan gender berbicara pada ranah sosio-kultural dalam mengembangkan aspek feminitas (feminity/nisaiyah) perempuan, bukan bermaksud mengungguli laki-laki Wallahu ‘alam.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 06:07:00

MEKANISME SELEKSI SISWA PENERIMA PROGRAM INDONESIA PINTAR (PIP) TAHUN 2015

Berdasarkan surat edaran Dirjen Dikdas No. 5086/C/MI/2014 tanggal 17 November 2014 tentang Pemanfaatan Data Dapodik Untuk BSM / PIP yang ditujukan kepada kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia bahwasannya, mulai tahun 2015 program Bantuan Siswa Miskin (BSM) akan dilanjutkan dengan Program Indonesia Pintar (PIP) yang diberlakukan secara nasional. Mekanisme seleksi siswa penerima Program Indonesia Pintar (PIP) akan dilakukan melalui Data Pokok Pendidikan (Dapodik).

MEKANISME SELEKSI SISWA PENERIMA PROGRAM INDONESIA PINTAR (PIP) TAHUN 2015

Sehubungan dengan hal tersebut, sekolah-sekolah agar mendata dan mengisi data siswa dari orang tuanya pemegang Kartu Perlindungan Sosial (KPS) atau Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), sesuai dengan formulir yang tersedia di aplikasi Dapodikdas versi 3.01.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh sekolah berkaitan dengan pelaksanaan program penyaluran dana Program Indonesia Pintar (PIP), adalah sebagai berikut :

1.   Melakukan identifikasi semua siswa yang orang tuanya pemegang KPS/KKS.
2.   Meminta kepada siswa untuk menyerahkan foto kopi KPS/KKS.
3. Segera melakukan pemutakhiran data dan pengiriman data siswa melalui mekanisme sinkronisasi data Dapodikdas.

Proses pemutakhiran data oleh sekolah agar dilakukan selambat-lambatnya tanggal 21 Desember 2014.

Download surat edaran tentang Pemanfaatan Data Dapodik Untuk BSM/PIP 2015 ini silahkan klik pada links situs Dirjen Dikdas Kemdikbud. Semoga bermanfaat dan terimakasih…

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 23:39:00

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DAN PROSES AKULTURASI BUDAYA KAUM URBAN

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DAN PROSES AKULTURASI BUDAYA KAUM URBAN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia sehari-hari. Komunikasi merupakan hal yang membantu manusia dalam bertumbuh dan berkembang serta menemukan pribadinya masing-masing. Ekspresi, keinginan, maksud, tanggapan serta tujuan manusia disampaikan melalui media komunikasi. Komunikasi adalah hal yang menghubungkan interaksi sosial, baik itu secara individu maupun kelompok.
Kebutuhan manusia dalam berkomunikasi tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua hal tersebut mendorong manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi dirinya sendiri, misalnya saja dengan berpindah tempat tinggal, menuju daerah yang kehidupan ekonominya lebih baik dari daerah asal.
Perpindahan penduduk dari daerah asal mereka menuju daerah yang mempunyai daya tarik ekonomi, menyebabkan terjadinya percampuran-percampuran budaya atau akulturasi antara budaya masyarakat setempat dengan masyarakat pendatang atau masyarakat urban. Sering kali hal ini menimbulkan kebiasaan-kebiasaan baru dalam kehidupan bermasyarakat, baik bagi pendatang maupun masyarakat setempat.
Komunikasi sebagai bagian dari budaya, berperan penting dalam proses akulturasi ini. Lewat komunikasi, interaksi-interaksi dari masyarakat yang berbeda budaya terjadi. Percampuran budaya ini diawali dengan adanya komunikasi antar budaya yang terjadi di masyarakat setempat dan masyarakat pendatang tersebut.
Pencampuran budaya yang terjadi dimulai dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu, misalnya penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa daerah pada kata-kata tertentu, aksen kedaerahan, ataupun nada yang digunakan dalam mengekspresikan sesuatu. Hal ini perlahan bercampur dengan budaya masyarakat setempat, kata-kata dalam bahasa daerah mulai berkurang, aksen yang perlahan menipis atau bercampur dengan aksen masyarakat asli, maupun nada suara berbeda dalam berbicara.
Komunikasi juga merupakan hal yang membuat interaksi-interaksi antara masyarakat pendatang atau masyarakat urban dan masyarakat setempat terjadi lebih dalam lagi. Percampuran budaya tersebut pada akhirnya mencapai elemen-elemen yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat pendatang dan masyarakat setempat tersebut. Hal-hal kecil seperti bahasa, aksen dan nada bicara pada akhirnya membawa kebiasaan-kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat setempat mengalami sedikit pergeseran, begitu juga sebaliknya yang terjadi pada masyarakat pendatang. Budaya-budaya lama yang dibawa dari daerah asal oleh masyarakat asal, perlahan-lahan sudah mulai bercampur dengan kebudayaan yang ada di daerah setempat.
Pola pikir masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih terpaku pada adat timur, membuat masyarakat takut untuk menjadi berbeda, takut apabila keputusan yang diambil salah, maka akan menjadi pembicaraan orang-orang sekitar. Namun di saat yang sama, masyarakat juga tidak dapat meninggalkan adat yang sudah ada dan dijalankan selama turun-temurun, karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat tersebut. Hal ini terjadi di kedua belah pihak, baik masyarakat pendatang, maupun masyarakat setempat yang sudah terlebih dahulu tinggal di daerah tersebut. Pola pikir ini juga yang mendorong pencampuran budaya untuk masuk lebih dalam lagi ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Budaya-budaya tradisional yang melekat di masyarakat, namun dilaksanakan dengan cara berbeda bagi masing-masing kebudayaan mulai dijalankan dengan cara yang berbeda pula. Acara-acara kemasyarakatan seperti tahlilan, kenduri atau selamatan, peringatan hari-hari besar keagamaan tidak luput dari pencampuran ini. Detail-detail kecil dalam kebiasaan-kebiasaan tersebut menghilang, atau bertambah seiring dengan percampuran budaya. Hal inilah yang pada akhirnya membentuk suatu kebudayaan baru, yang disebut akulturasi budaya.
Pernikahan khususnya pernikahan adat atau tradisional merupakan salah satu bentuk upacara kedaerahan yang paling jelas membuktikan terjadinya akulturasi budaya. Pernikahan adat yang cenderung unik dan memiliki ciri khas tersendiri dari setiap daerah mulai mengalami proses pergeseran. Terdapat banyak perubahan yang terjadi dalam detail-detail suatu pernikahan adat tersebut, yang disesuaikan dengan keadaan daerah serta masyarakat setempat, misalnya saja terjadi pengurangan atau penambahan unsur-unsur kebudayaan yang terkandung di dalam upacara pernikahan adat itu sendiri.
Masyarakat kelurahan X merupakan masyarakat yang heterogen. Kelurahan X merupakan kawasan perumahan nasional, dimana di kawasan ini terdapat mobilitas penduduk yang tinggi. Kelurahan X juga menjadi sasaran bagi masyarakat urban untuk memulai kehidupan baru di tanah yang baru, sebagian besar dikarenakan faktor ekonomi.
Berangkat dari kondisi tersebut, maka penulis memilih Kelurahan X sebagai lokasi penelitian. Jarak rumah bertetangga yang tidak terlalu jauh juga mendorong terjadinya kehidupan sosial yang erat antar tetangga pada masyarakat kelurahan X.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Pengaruh Komunikasi Antar Budaya terhadap Proses Akulturasi Budaya Kaum Urban Masyarakat di Kelurahan X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
"Bagaimana pengaruh komunikasi antar budaya terhadap upacara pernikahan adat sebagai proses akulturasi budaya kaum urban masyarakat di Kelurahan X ?"

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 
a. Untuk mengetahui kegiatan komunikasi antar budaya masyarakat pendatang dan masyarakat setempat di Kelurahan X. 
b. Untuk mengetahui peranan komunikasi antar budaya terhadap pernikahan adat sebagai proses akulturasi masyarakat urban/pendatang terhadap masyarakat setempat di Kelurahan X 
c. Untuk mengetahui bagaimana proses akulturasi masyarakat pendatang dan masyarakat setempat di Kelurahan X 
2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademis, agar dapat memperkaya sumber ilmu pengetahuan dan bacaan.
2. Secara teoritis, penelitian ini dapat membantu penulis menerapkan ilmu yang didapat selama masa kuliah dan memperluas cakrawala pengetahuan.
3. Secara praktis, penelitian ini dapat membantu memperluas ilmu pengetahuan serta menjadi sumber literatur khususnya dalam bidang komunikasi antar budaya dan proses akulturasi budaya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 16:00:00

MAKALAH BIOLOGI SEL


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perikanan merupakan suatu bidang ilmu yang terus berubah dan berkembang. Sebagian ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan penangkapan, pemiaraan, dan pembudidayaan ikan, ilmu perikanan sangat membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional, yakni masyarakat maritim. Sebagaimana ilmu-ilmu terapan yang lain, pengembangan ilmu dan teknologi perikanan sangat ditentukan oleh pengetahuan dasar yang memadai, antara lain fisiologi. Fisiologi sebagai salah satu cabang biologi perikanan yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan dapat lebih mudah dipahami, jika organisasi dan fungsi sel diketahui. 
Fisologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari fungsi, mekanisme dan cara kerja dari organ, jaringan dan sel-sel organisme. Fisiologi mencoba menerangkan faktor-faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi seluruh proses kehidupan. Tiap-tiap jenis kehidupan, mulai dari mahluk hidup sederhana seperti virus yang bersel satu sampai manusia yang mempunyai susunan sel yang lebih rumit, mempunyai sifat-sifat fungsional tersendiri. Salah satu ilmu yang dipelajari dalam fisiologi adalah ilmu mengenai sel. 
Unit dasar tubuh, mulai virus sampai manusia adalah sel, dan tiap-tiap organ sebenarnya merupakan kumpulan banyak sel yang tidak sama, yang bersama-sama digabungkan oleh struktur penyokong interasel. Tiap-tiap jenis sel secara khusus beradaptasi untuk melakukan suatu fungsi tertentu, misalnya sel-sel yang menyusun lamela insang di satu pihak, bertugas dalam pertukran gas dan di pihak lain bertugas pula sebagai tempat pertukaran ion-ion dan air. Sel darah merah berfungsi mengangkut oksigen dari insang ke jaringan, sel hati berperan sebagai mesin pembaru bagi bahan-bahan yang sudah rusak sehingga dapat dipergunakan kembali bagi tubuh dan lain-lain. 
Sel mampu untuk hidup, tumbuh, dan melakukan fungsi-fungsi khususnya selama tersedia oksigen, glukosa, berbagai ion, asam amino, dan asam lemak yang sesuai dalam lingkungan internal sel. Selanjutnya semua kehidupan sel pada hakikatnya mempunyai lingkungan yang sama, yaitu cairan ekstrasel mengandung ion natrium, klorida dan bikarbonat dalam jumlah besar, serta nutrien untuk sel, seperti oksigen, glukosa, asam lemak, asam amino, juga karbondioksida yang selanjutnya diangkut ke insang untuk dieksresi. 

1.2 Tujuan
Siswa (i) mengetahui tentang pengertian, sejarah penemuan, siklus sel, dan perbedaan sel hewan, tumbuhan dan bakteri.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sel
Sel merupakan unit terkecil yang menjadi dasar kehidupan dalam arti biologis. Semua fungsi kehidupan diatur dan berlangsung di dalam sel. Karena itulah, sel dapat berfungsi secara autonom asalkan seluruh kebutuhan hidupnya terpenuhi. Makhluk hidup (organisme) tersusun dari satu sel tunggal (uniselular), misalnya bakteri, Archaea, serta sejumlah fungi dan protozoa) atau dari banyak sel (multiselular). Pada organisme multiselular terjadi pembagian tugas terhadap sel-sel penyusunnya, yang menjadi dasar bagi hirarki hidup.
Struktur sel dan fungsi-fungsinya secara menakjubkan hampir serupa untuk semua organisme, namun jalur evolusi yang ditempuh oleh masing-masing golongan besar organisme (Regnum) juga memiliki kekhususan sendiri-sendiri. Sel-sel prokariota beradaptasi dengan kehidupan uniselular sedangkan sel-sel eukariota beradaptasi untuk hidup saling bekerja sama dalam organisasi yang sangat rapi.

2.2 Sejarah Penemuan Sel
Pada awalnya sel digambarkan pada tahun 1665 oleh seorang ilmuwan Inggris Robert Hooke yang telah meneliti irisan tipis gabus melalui mikroskop yang dirancangnya sendiri. Kata sel berasal dari kata bahasa Latin cellula yang berarti rongga/ruangan.

2.3 Pertumbuhan Dan Perkembangan Sel
Pertumbuhan dan perkembangan umumnya terjadi pada organisme multiseluler yang hidup.
2.3.1 Siklus sel
Siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk menghasilkan jumlah DNA kromosom yang cukup banyak dan mendukung segregasi untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berulang (siklik).
Pertumbuhan dan perkembangan sel tidak lepas dari siklus kehidupan yang dialami sel untuk tetap bertahan hidup. Siklus ini mengatur pertumbuhan sel dengan meregulasi waktu pembelahan dan mengatur perkembangan sel dengan mengatur jumlah ekspresi atau translasi gen pada masing-masing sel yang menentukan diferensiasinya.

2.3.2 Fase pada siklus sel
1. Fase S (sintesis): Tahap terjadinya replikasi DNA
2. Fase M (mitosis): Tahap terjadinya pembelahan sel (baik pembelahan biner atau pembentukan tunas)
3. Fase G (gap): Tahap pertumbuhan bagi sel. 
a. Fase G0, sel yang baru saja mengalami pembelahan berada dalam keadaan diam atau sel tidak melakukan pertumbuhan maupun perkembangan. Kondisi ini sangat bergantung pada sinyal atau rangsangan baik dari luar atau dalam sel. Umum terjadi dan beberapa tidak melanjutkan pertumbuhan (dorman) dan mati.
b. Fase G1, sel eukariot mendapatkan sinyal untuk tumbuh, antara sitokinesis dan sintesis. 
c. Fase G2, pertumbuhan sel eukariot antara sintesis dan mitosis.
Fase tersebut berlangsung dengan urutan S > G2 > M > G0 > G1 > kembali ke S. Dalam konteks Mitosis, fase G dan S disebut sebagai Interfase.

2.4 Regenerasi dan Diferensiasi Sel
Regenerasi sel adalah proses pertumbuhan dan perkembangan sel yang bertujuan untuk mengisi ruang tertentu pada jaringan atau memperbaiki bagian yang rusak. Diferensiasi sel adalah proses pematangan suatu sel menjadi sel yang spesifik dan fungsional, terletak pada posisi tertentu di dalam jaringan, dan mendukung fisiologis hewan. Misalnya, sebuah stem cell mampu berdiferensiasi menjadi sel kulit.
Saat sebuah sel tunggal, yaitu sel yang telah dibuahi, mengalami pembelahan berulang kali dan menghasilkan pola akhir dengan keakuratan dan kompleksitas yang spektakuler, sel itu telah mengalami regenerasi dan diferensiasi.

2.5 Empat Proses Esensial Pengkonstruksian Embrio
Regenerasi dan diferensiasi sel hewan ditentukan oleh genom. Genom yang identik terdapat pada setiap sel, namun mengekspresikan set gen yang berbeda, bergantung pada jumlah gen yang diekspresikan. Misalnya, pada sel retina mata, tentu gen penyandi karakteristik penangkap cahaya terdapat dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada ekspresi gen indera lainnya.
Pengekspresian gen itu sendiri mempengaruhi jumlah sel, jenis sel, interaksi sel, bahkan lokasi sel. Oleh karena itu, sel hewan memiliki 4 proses esensial pengkonstruksian embrio yang diatur oleh ekspresi gen, sebagai berikut:
1. Proliferasi sel = menghasilkan banyak sel dari satu sel
2. Spesialisasi sel = menciptakan sel dengan karakteristik berbeda pada posisi yang berbeda
3. Interaksi sel = mengkoordinasi perilaku sebuah sel dengan sel tetangganya
4. Pergerakan sel = menyusun sel untuk membentuk struktur jaringan dan organ
Pada embrio yang berkembang, keempat proses ini berlangsung bersamaan. Tidak ada badan pengatur khusus untuk proses ini. Setiap sel dari jutaan sel embrio harus membuat keputusannya masing-masing, menurut jumlah kopi instruksi genetik dan kondisi khusus masing-masing sel. Sel tubuh, seperti otot, saraf, dsb. tetap mempertahankan karakteristik karena masih mengingat sinyal yang diberikan oleh nenek moyangnya saat awal perkembangan embrio.

2.6 Perbedaan Sel Tumbuhan, Sel Hewan, dan Sel Bakteri
Sel tumbuhan, sel hewan, dan sel bakteri mempunyai beberapa perbedaan seperti berikut :
Sel Tumbuhan :
• Sel tumbuhan lebih besar daripada sel hewan.
• Mempunyai bentuk yang tetap.
• Mempunyai dinding sel (cell wall) dari selulosa. 
• Mempunyai plastida. 
• Mempunyai vakuola (vacuole) atau rongga sel yang besar.
• Menyimpan tenaga dalam bentuk butiran (granul) pati. 
• Tidak Mempunyai sentrosom (centrosome).
• Tidak memiliki lisosom (lysosome). 
• Nukleus lebih kecil daripada vakuola.
Sel Hewan :
• Sel hewan lebih kecil daripada sel tumbuhan
• Tidak mempunyai bentuk yang tetap.
• Tidak mempunyai dinding sel (cell wall).
• Tidak mempunyai plastida. 
• Tidak mempunyai vakuola (vacuole), walaupun terkadang sel beberapa hewan uniseluler memiliki vakuola (tapi tidak sebesar yang dimiliki tumbuhan). Yang biasa dimiliki hewan adalah vesikel atau (vesicle).
• Menyimpan tenaga dalam bentuk butiran (granul) glikogen. 
• Mempunyai sentrosom (centrosome).
• Memiliki lisosom (lysosome). 
• Nukleus lebih besar daripada vesikel.
Sel Bakteri :
• Sel bakteri sangat kecil
• Mempunyai bentuk yang tetap.
• Mempunyai dinding sel (cell wall) dari lipoprotein.
• Tidak mempunyai plastida. 
• Tidak mempunyai vakuola. 
• Tidak Mempunyai sentrosom (centrosome). 
• Tidak memiliki nukleus dalam arti sebenarnya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sel merupakan unit terkecil yang menjadi dasar kehidupan dalam arti biologis. Semua fungsi kehidupan diatur dan berlangsung di dalam sel. Karena itulah, sel dapat berfungsi secara autonom asalkan seluruh kebutuhan hidupnya terpenuhi. Struktur sel dan fungsi-fungsinya secara menakjubkan hampir serupa untuk semua organisme, namun jalur evolusi yang ditempuh oleh masing-masing golongan besar organisme (Regnum) juga memiliki kekhususan sendiri-sendiri. Sel-sel prokariota beradaptasi dengan kehidupan uniselular sedangkan sel-sel eukariota beradaptasi untuk hidup saling bekerja sama dalam organisasi yang sangat rapi.
Jaringan komunikasi antara satu sel dengan yang lain menghasilkan suatu koordinasi untuk mengatur pertumbuhan, reproduksi, osmoregulasi, dan lain-lain pada berbagai jaringan maupun organ.sistem komunikasi ini selain dilakukan oleh sistem saraf, juga dilakukan oleh sistem endokrin,atau bahkan sistem saraf bersama-sama dengan sistem endokrin mengontrol aktivitas organ atau jaringan tubuh.kedua sistem ini saling mengisi secara fungsional yang demikian luar biasa, sehingga unsur-unsur saraf dan endokrin sering dianggap menyusun sistem neuroendokrin.


DAFTAR PUSTAKA

Yunus, A. 2009. Komunikasi Antar Sel. http://askar.perikanan.umi.com/
Kirei. 2008. Fisiologi Hewan. http://wikimedia.commons

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 13:57:00

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini nyaris di temukan diseluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan.
Menurut Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2, 5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010).
Di Asia Tenggara termasuk Indonesia epidemik DBD merupakan problem abadi dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai pada anak-anak di bawah usia 15 tahun, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan proporsi penderita DBD pada golongan dewasa dan tidak dikemukakan perbedaan signifikan dalam kerentanan terhadap serangan DBD antar gender (Djunaedi, 2006).
Penyakit DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim penghujan atau beberapa minggu setelah hujan. Pada awalnya kasus DBD memperlihatkan siklus lima tahun sekali selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan perubahan iklim dan kelembaban, terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis penyakit virus dengue atau dari pedesaan ke perkotaan terutama pada daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu (Soegijanto, 2008).
Kota X merupakan salah satu wilayah endemis DBD yang mempunyai mobilitas penduduk cukup tinggi yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya KLB penyakit DBD. Berdasarkan data dari Bidang PMK Dinas Kesehatan Kota X pada tahun 2007 angka kesakitan DBD di Kota X adalah sebesar 132, 12 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan kenaikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tahun 2008 angka kesakitan DBD di kota X sebesar 101.72 per 100.000 penduduk, dimana dari angka tersebut terjadi penurunan bila dibandingkan tahun 2007. Pada tahun 2009, angka kesakitan DBD di kota X sebesar 61, 4 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi mengalami peningkatan yang sangat berarti bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 243, 7 per 100.000 penduduk, kasus tertinggi ditemukan di kecamatan X dengan 216 kasus, sedangkan pada tahun 2011 angka kesakitan DBD sebesar 60, 16 per 100.000 penduduk (142 kasus) mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya (Profil Kesehatan Kota X, 2011).
Berdasarkan hasil pencatatan Penyakit Menular Kesehatan (PMK) Dinkes Kota X (2011) seluruh kecamatan di Kota X berstatus endemis DBD. Kecamatan yang paling sering mengalami peningkatan kasus DBD adalah Kecamatan X, dimana rata-rata angka IR demam berdarah dengue lima tahun terakhir jauh diatas target IR nasional yaitu < 55/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD di Kecamatan X tahun 2007 sebesar 198, 4 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebesar 163, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2009 sebesar 50, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 400, 5 per 100.000 penduduk, dan tahun 2011 sebesar 100, 1 per 100.000 penduduk.
Diduga tingginya angka kejadian DBD ini disebabkan masih banyaknya tempat perindukan nyamuk yang berupa bak mandi, ember, gentong, TPA yang bukan untuk keperluan sehari-hari misalnya vas bunga, ban bekas, tempat sampah, tempat minum burung, dan Iain-lain, serta tempat penampungan air alamiah yaitu lubang pohon, pelepah daun keladi, lubang batu, dan Iain-lain (Depkes, 2005).
Meningkatnya jumlah kasus DBD serta bertambah luasnya wilayah yang terjangkit dari waktu ke waktu di Indonesia disebabkan multi faktorial antara lain semakin majunya sarana transportasi masyarakat; kian padatnya pemukiman penduduk; perilaku manusia seperti kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk; kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air yang tertampung di dalam wadah-wadah dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3M Plus; dan terdapatnya nyamuk Aedes Aegipty sebagai vektor utama penyakit DBD hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus Dengue yang bersirkulasi setiap sepanjang tahun (Ginanjar, 2008 & Kemenkes RI, 2004).
Demikian juga menurut Soegijanto (2006) banyak faktor yang memengaruhi kejadian penyakit DBD di Indonesia antara lain faktor hospes, lingkungan (environment), dan respon imun. Faktor hospes yaitu kerentanan (susceptibility), dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, kebiasaan, sosial ekonomi penduduk, jenis dan kepadatan nyamuk sebagai vektor penular penyakit. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue yang hingga saat ini diketahui ada 4 jenis seroptipe vims Dengue yaitu Dengue 1, 2, 3, 4.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka kejadian DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penelitian Rose (2008) tentang hubungan sosio demografi dan lingkungan fisik dengan kejadian DBD di Kota Pekan Baru, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan fisik seperti jarak rumah, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dengan kejadian DBD (OR= 1, 79. dan OR= 0, 34). Demikian juga halnya dengan penelitian Marsaulina (2005) menyatakan penampungan air terhadap kejadian DBD (dengan OR 5, 8 dan 4, 6). Penelitian Fathi, et.al, (2005) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan antara keberadaan kontainer dengan kejadian KLB penyakit DBD, dan penelitian Nugrahaningsih (2010) menunjukkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk penular DBD adalah keberadaan kontainer.
Faktor kebiasaan masyarakat seperti kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari, dan kebiasaan menggantung pakaian juga berpotensi menimbulkan tingginya kejadian DBD. Sebagaimana hasil penelitian Sitio (2008) tentang hubungan prilaku PSN dan kebiasaan keluarga dengan kejadian DBD tahun 2008 mengungkapkan bahwa ada hubungan signifikan antara kebiasaan keluarga memakai anti nyamuk di siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian siap pakai dengan kejadian DBD (p = 0, 026 ; OR = 4, 34 dan p = 0, 018; OR = 5, 50).
Departemen Kesehatan telah mengupayakan pelbagai strategi untuk mengatasi peningkatan kejadian DBD ini. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD menurut Depkes adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larva sida yang ditaburkan ke tempat penampungan air. Namun kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambah jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan virus vaksin untuk membunuh virus Dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah DBD ialah dengan PSN melalui gerakan 3M Plus yaitu menguras, menutup dan mengubur, ikanisasi di kolam/bak-bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, menggunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, yang dilaksanakan oleh masyarakat secara teratur setiap minggunya.
Berdasarkan kajian tersebut diduga kuat ada pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Kecamatan X merupakan wilayah berstatus endemis DBD dimana angka kejadian DBD terus menerus meningkat dan berfluktuasi setiap tahunnya dan sampai saat ini belum diketahui faktor risiko yang memengaruhi kejadian DBD serta keeratan hubungannya. 

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut : 
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kota X melalui Dinas Kesehatan Kota X dalam merencanakan strategi yang tepat dalam pengendalian dan pencegahan penyakit DBD di Kota X.
2. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue.
3. Menambah referensi ilmiah tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:45:00

PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MIN)

TESIS PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MIN) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan madrasah di Indonesia merupakan fenomena budaya yang telah berusia satu abad lebih. Sebagai bagian dari budaya, Madrasah dengan sendirinya menjadi proses sosialisasi yang relatif sangat cepat dan intensif.
Secara teknis Madrasah tidak berbeda dengan Sekolah, hanya dengan lingkup kultur Madrasah mempunyai spesialisasi. Di lembaga ini siswa memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk beluk Agama dan keagamaan, sehingga dalam penggunaan kata Madrasah sering dikonotasikan dengan sekolah Agama.
Madrasah dalam perjalanannya mengalami realitas yang cukup panjang. Transisi perubahan Madrasah disebabkan fenomena yang ada yaitu pendudukan kolonial Belanda yang mendiskreditkan Islam, yang kemudian menimbulkan dikotomi ilmu umum dan ilmu Agama.
Dalam pengembangan dan inovasi Madrasah, secara formal dirintis oleh Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali 1971-1978 dengan terobosan SKB iga Menteri yang mewajibkan kurikulum di Madrasah Mata pelajaran umum 70% dan Agama 30%. Inovasi tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan, iklim belajar mengajar yang tepat sebagaimana layaknya pendidikan modern. 
Dalam implementasi inovasi di atas masih banyak kendala yang dihadapi, baik dari segi kelembagaan, tenaga guru, kurikulum, maupun sarana dan prasarana. Dalam pada itu kehadiran Madrasah masih sangat dibutuhkan karena Madrasah mampu melahirkan peserta didik yang memiliki budi pekerti luhur serta kesadaran beragama yang lebih tinggi. Keunggulan Madrasah tersebut dirasa sangan sesuai dan relevan untuk mengantisipasi sebagai akses dan pengaruh pendidikan modern seperti sikap sekularistik, materialistic, dan cenderung mengabaikan persoalan moral.
Bagi remaja usia sekolah mengabaikan masalah moral dan spiritual mengakibatkan banyak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang yang sering terjadi akhir-akhir ini. Dengan keunggulan Madrasah tersebut, orang tua merasa tenang jika anaknya belajar di Madrasah.
Dari fenomena di atas, yang terpenting adalah membentuk Madrasah yang berkualitas yang mampu bersaing dengan sekolah umum. Adapun gagasan mengenai pembentukan Madrasah yang berkualitas memiliki landasan yang cukup kuat, diantaranya : 
1. Dengan keluarnya UU No 20/2003 tentang USPN yang menyatakan tidak ada pembedaan antara Madrasah dan sekolah
2. UU No 20/2003 Pasal 8 ayat 2 yang menyebutkan bahwa warga Negara Indonesia yang memiliki kemampuan dan kecerdasan berhak memperoleh perhatian khusus.
Meski demikian madrasah oleh sebagian masyarakat masih dipandang sebelah mata atau dianggap sebagai lembaga pendidikan "kelas dua", faktanya walaupun secara yuridis diakui dan sejajar dengan formal lainnya, Madrasah hanya diminati oleh siswa-siswa yang kemampuan intelegensi dan tingkat ekonomi orang tua yang pas-pasan, sehingga upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Madrasah selalu mengalami hambatan.
Di sisi lain, kebijakan yang dibuat pemerintah justru terasa mempersulit upaya-upaya pengembangan madrasah. Kualitas pendidikan relative kurang didukung disbanding dengan sekolah formal lainnya, karena kebanyakan bidang studi yang diajarkan sementara kualitas tenaga didik masih rendah, manajemen kurang professional, sarana dan prasarana pas-pasan, serta jumlah siswa yang sedikit dan kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu (Fajar : 1999 : 18).
Kita menyadari dalam dinamika dan peradaban global saat ini, Madrasah menghadapi tantangan yang sangat berat, yakni masyarakat kita mulai terjebak oleh pandangan hidup yang positivism dan kapitalisme, sehingga segala sesuatu yang dianggap tidak mempunyai keuntungan, manfaat dan peluang akan ditinggalkan. Bertolak dari pandangan di atas bahwa Madrasah dianggap marjinal oleh sebagian masyarakat memang cukup beralasan. Masyarakat berpersepsi bahwa Madrasah kurang professional, tidak berkualitas, NEM dibawah rata-rata, out put tidak mampu berkompetisi, serta lemah dalam sisi manajemen.
Menurut Mastuhu (1999 : 59) ada lima kelemahan system pendidikan madrasah, yakni 1) mementingkan materi disbanding metodologi, 2) mementingkan memori di atas analisis dan dialog, 3) mementingkan otak ‘kiri' dibandingkan otak 'kanan', 4) materi pelajaran agama yang diberikan tidak menyentuh aspek social karena bercorak tradisional, 5) mementingkan orientasi 'memiliki' daripada 'menjadi'.
Akibat mendirikan madrasah yang hanya mementingkan kuantitas bukan kualitas, dengan pengelolaan yang asal-asalan, Madrasah swasta khususnya, tidak mampu memberikan pembaharuan dan pencerahan bagi pendidikan Islam.
Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi sorotan utama, ketidak mampuan pemimpin untuk menggerakkan, mempengaruhi dan mendorong serta memanfaatkan sumberdaya manusia yang ada kelemahan manajemen inilah yang menyebabkan Madrasah sulit berkembang.
Dalam teori sosial (Adam Ibrahim. 1989 : 19) dikatakan, bahwa suatu organisasi yang tidak mampu berinovasi, berperan dan ber konteks dengan lingkungannya, maka cepat atau lambat organisasi tersebut akan ditinggalkan lingkungannya. Lembaga pendidikan dalam hal ini Madrasah sebagai lembaga social harus mampu merespon tuntutan masyarakat yang selalu berubah yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan zaman.
Hal-hal yang perlu dilakukan inovasi dalam pengelolaan Madrasah dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) pembinaan tenaga guru (2) pembinaan staf (3) prilaku dan kedisiplinan (4) melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait (stake holders) (5) hubungan dan komunikasi serta iklim Madrasah (6) strategi pembelajaran (7) pembelajaran/media pembelajaran (8) keuangan (9) sarana dan prasarana. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa upaya inovasi yang telah dirintis sejak dulu, utamanya peningkatan kualitas pendidikan Madrasah tidak sesuai dengan harapan ?.
Inovasi menurut Adam Ibrahim (1989 : 21) adalah upaya pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Dan apabila dikaitkan dengan fungsinya sebagai institusi social terbuka, maka Madrasah dituntut untuk melakukan inovasi sebagai bentuk kepedulian terhadap tuntutan masyarakat yang selalu berubah jika tidak maka Madrasah akan ditinggalkan masyarakatnya. Hal ini diperkuat oleh Ibrahim Bafadhol (1988; 16) bahwa inovasi Madrasah adalah suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme pendidikan dalam menatap masa depan. Aspek-aspek yang perlu di inovasi menurutnya adalah (1) pembinaan personalia (2) banyaknya personal dan wilayah kerja (3) fasilitas fisik (4) penggunaan waktu (5) perumusan tujuan (6) prosedur (7) peran yang dimiliki (8) bentuk hubungan antar bagian (9) hubungan dengan system yang lain dan strategi : desain, kesadaran, dan perhatian, evaluasi, percobaan. Dari sinilah inovasi pendidikan Madrasah harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Meski demikian sudah ada Madrasah yang mampu mengaktualkan diri sebagai sekolah unggulan dan favorit yang dapat memberi nuansa baru terhadap pendidikan Islam ke depan.
H.A. R. Tilaar (1999; 33) berpendapat bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih memiliki berbagai problem yang harus dipecahkan : Distribusi pendidikan belum merata, mutu pendidikan masih rendah diberbagai jenjang dan jenis pendidikan, efisiensi internal dan eksternal system pendidikan masih rendah, aplikasi manajemen masih kurang professional dan lemahnya sumberdaya manusia, serta menurunnya akhlak dan moral. Permasalahan tersebut disebabkan karena system pendidikan yang dilakukan selama ini masih bersifat missal dan cenderung memberikan perlakuan yang standar dan merata kepada semua peserta didik, sehingga kurang memberikan perhatian kepada peserta didik yang memiliki kemampuan, kecerdasan, minat dan bakat yang lebih dalam. Oleh karena itu, system tersebut tidak akan menunjang upaya pengoptimalan pengembangan potensi sumberdaya manusia secara tepat.
Menurut Mukti Ali (dalam Maksum, 1999l : 40), realitas pendidikan Islam dari sejak munculnya lembaga pendidikan Islam sampai dengan sekarang masih diliputi oleh problema-problema yang seakan tidak pernah selesai.
Dalam pengembangan madrasah yang merupakan lembaga yang berciri khas Islam sampai saat ini masih dipertanyakan kualitas pendidikannya. Secara jujur harus diakui keberadaan Madrasah masih belum mampu mencapai kualitas yang diharapkan dan perannya di tengah masyarakat masih perlu diadakan pembenahan. Dari sisi kualitas, pendidikan di Madrasah jelas masih jauh dari yang kita harapkan, baik dari faktor profesionalisme tenaga pengajar, sarana dan prasarananya, maupun input dan outputnya serta faktor finansialnya. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar memeluk Agama Islam, tentu menaruh harapan besar pada Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu menjawab pelbagai tantangan zaman di era global ini. Bukan hal yang berlebihan apabila masyarakat mengharapkan generasi yang memiliki tingkat moralitas yang tinggi yang memiliki konsistensi terhadap Agamanya atau kesolehan spiritual sekaligus kesolehan social.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mukti Ali (1999 : 41) "sudah saatnya pemerintah dan umat Islam memberi perhatian serius terhadap lembaga pendidikan keagamaan seperti Madrasah, pondok pesantren ataupun lembaga keagamaan lainnya. Menurut Bukhori (dalam Muhaimin, 2005; 41) bahwa kegagalan lembaga pendidikan Agama Islam disebabkan karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan faktor kognitif dan mengabaikan faktor afektif dan kognatif, yakni kemauan dan tekat yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai Agama, akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan. Madrasah masih sibuk dengan berputar-putar pada masalah tenaga pengajar dan sumber dana. Sering laki para pengajar di Madrasah merasa kebingungan dengan inovasi pendidikan terutama dalam bidang kurikulum (Muhaimin, 2005 : VI). Jika hal ini dibiarkan tidak mustahil Madrasah akan ditinggalkan oleh masyarakat Islam sendiri.
Dari pelbagai problematika pendidikan khususnya Madrasah. MIN X sebagai obyek penelitian ini yang apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam lain masih jauh kalah bersaing. Akan tetapi MIN X jika di bandingkan dengan Madrasah-Madrasah yang ada di X, terutama di Kecamatan X dari segi sarana-prasarananya, financial dan sumberdaya manusianya masih lebih baik. Tetapi, dengan pelbagai keunggulan yang ada di MIN X tidak mampu menempatkan diri sebagai Madrasah yang diminati atau menjadi pilihan masyarakat, masih kalah dengan Madrasah atau sekolah swasta yang notabene sumberdaya manusianya dan sisi finansialnya jauh di bawahnya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas dan meraih kembali simpati masyarakat, dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar di daerah X, namun semua masih jauh dari harapan. MIN X yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat, kini nasibnya sangat memilukan. Dari fenomena yang terjadi di MIN X tersebut, menarik peneliti untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi serta apa makna dari kajian tersebut.

B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini mengungkap penyebab utama terjadinya kemunduran drastic lembaga pendidikan MIN X. Adapun pertanyaan yang peneliti ajukan untuk mengungkap hal tersebut adalah : 
1. Mengapa MIN tersebut mengalami kemunduran ?
2. Apa saja problem yang dihadapi oleh MIN X tersebut ?
3. Upaya apa yang dilakukan MIN X untuk mengatasi problemnya ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan dan batasan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui penyebab utama dari kemunduran MIN X
2. Untuk mengetahui problem yang dihadapi MIN X
3. Upaya apa yang dilakukan oleh Min X untuk mengatasi problemnya ?

D. Manfaat penelitian
Penelitian tentang problematika manajemen pendidikan diajukan dari aspek manajemen dan kepemimpinan tentu sangat banyak, namun tetap memiliki daya tarik tersendiri. Sebab dari beberapa penelitian tentang kepemimpinan Kepala Madrasah tentu ada perbedaan dalam pendekatan settingnya oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menemukan hal-hal baru dalam bidang kepemimpinan dan manajemen untuk lembaga pendidikan.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi berharga bagi inovasi aspek fisik dan non fisik bidang manajemen dan kepemimpinan. Kedua hal di atas diperlukan dalam rangka untuk pemberdayaan Madrasah dan mempersiapkan Madrasah sebagai lembaga alternative yang inovatif dan berkualitas. Di samping itu juga sebagai sumbangan pemikiran kepada Departemen Agama Kabupaten X khususnya dalam rangka mengembangkan inovasi pendidikan Madrasah di masa yang akan dating.
Hasil penelitian juga akan bermanfaat bagi MIN X dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikannya. Manfaat lain dari penelitian ini diharapkan dapat memberdayakan Madrasah pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:26:00

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zakat sebagai salah satu elemen dari rukun islam tidak hanya memiliki dimensi ibadah namun lebih dari itu, zakat memiliki dampak yang lebih luas terhadap kehidupan social dan ekonomi masyarakat. Zakat sebagai salah satu instrumen ibadah terlihat dari sejumlah perintah zakat dalam Al Quran yang selalu disandingkan dengan perintah sholat. Setidaknya, terdapat delapan puluh dua perintah zakat yang selalu dikaitkan dengan perintah sholat.
Dan dirikanlah sholat, bayarlah zakat. Dan rukuk lah bersama sama orang yang rukuk (QS, Al Qur'an 2 : 43)
Zakat dalam aspek sosial ekonomi merupakan suatu instrument yang dapat meredistribusikan pendapatan antara mereka yang kaya dengan mereka yang miskin. Dengan ini, maka kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dapat diminimalkan. Bagaimanapun, ukuran kaya dan miskin dalam Islam sangat jelas dilihat dari garis nisab nya. Jika kepemilikan seseorang berada di bawah garis nisab maka termasuk dalam kategori miskin (mustahik). Sebaliknya jika berada di atas garis nisab, maka termasuk dalam kelompok non miskin yang berarti wajib menunaikan zakat (muzakki).
Terlepas dari hal itu, dalam tataran individu, zakat akan merangsang individu untuk melakukan tabungan akherat dan bermakna pula menggugurkan kewajiban zakat sebagai salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi. Selain itu zakat sebagaimana artinya membersihkan menyucikan dan menyuburkan, maka dengan zakat berarti telah memberikan bagian harta si miskin yang ada dalam hartanya. Lebih dari itu, zakat bisa menjadi motivasi bagi individu untuk meningkatkan kinerjanya sehingga selalu termotivasi untuk merubah dirinya dari mustahik menjadi muzakki..
Zakat sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan telah dipraktikkan pada masa pemerintahan Rasulullah dan para sahabat dimana Zakat menjadi salah satu instrumen dalam kebijakan fiscal yang dialokasikan untuk menyantuni orang miskin dan juga menyediakan fasilitas dan segala kebutuhan bagi masyarakat miskin Praktik ini sejalan dengan perintah untuk mengumpulkan zakat oleh Negara sebagaimana yang termaktub dalam surat At Taubah ayat 103, dimana disebutkan bahwa : 
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Perintah ambillah zakat dalam hal ini jelas ditujukan kepada Negara untuk mengambil zakat dari masyarakatnya. Hal ini berarti pula bahwa zakat merupakan satu satunya ibadah muamalah yang mempunyai petugas yaitu amil zakat. Cerita sukses zakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan dapat kita lihat dari sejarah kejayaan masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz. Pada masa pemerintahannya tidak lagi ditemukan masyarakat miskin yang berhak menerima zakat sehingga zakat dikirimkan ke negara tetangga yang membutuhkan.
Di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jika dilihat dari besaran jumlah penduduk, maka dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta, dan dengan asumsi penduduk yang beragama Islam sebesar 87 persen, dan dikalikan 20 persennya atau 38,54 juta orang berkewajiban menunaikan zakat sebesar minimal Rp. 170 ribu per tahun, sehingga dapat terkumpul dana zakat sebesar Rp. 6,21 triliun. Pihak Departemen Agama (Depag) memperkirakan potensi zakat hingga ke unit pengumpul zakat di tingkat kecamatan mencapai Rp. 12,7 triliun.
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PPB) UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation yang mencakup 1.500 responden yang tersebar di 11 provinsi, 200 masjid, 50 lembaga ZIS pemerintah, dan 50 lembaga ZIS swasta mengungkapkan, jumlah filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp. 19,3 triliun. Nilai ini terdiri dari Rp. 5,1 triliun dalam bentuk barang dan Rp. 14,2 triliun dalam bentuk uang. Dari sejumlah dana yang terkumpul itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah, yaitu Rp 6,2 triliun, dan sisanya zakat harta Rp. 13,1 triliun.
Namun, jika data-data potensi zakat hasil perhitungan ini dibandingkan dengan data realisasinya, maka jumlah zakat yang terkumpul masih sangat kecil dibandingkan dengan data potensinya. 
Adanya kesenjangan antara potensi dengan realisasi ini tentunya mengindikasikan adanya suatu masalah dalam usaha-usaha proses pengumpulan zakat di tanah air. Penelitian ini akan mencoba untuk mengidentifikasi masalah-masalah terkait dengan pengorganisasian pengumpulan dan pendistribusian zakat dan selanjutnya merumuskan masalah penelitian yang relevan yang selengkapnya dibahas di sub bab berikutnya.

B. Perumusan Masalah
Rendahnya realisasi pengumpulan zakat di Indonesia tentunya merupakan suatu masalah tersendiri. Zakat, jika dikembalikan kepada perintahnya sebagaimana tertera pada surat At Taubah jelas perintah untuk mengumpulkan zakat oleh amil zakat dari orang-orang yang memiliki kemampuan. Pada masa pemerintahan Rasulullah dan juga para khalifah sesudahnya, perintah ini menjadi tanggung jawab negara untuk mengumpulkannya, ditempatkan di Baitul Maal sebagai salah satu sumber pendapatan negara, untuk kemudian didistribusikan ke masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan 8 ashnaf sebagaimana digariskan oleh Al Quran, surat at Taubah ayat 60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di Indonesia, zakat meskipun memiliki potensi yang besar namun bukan termasuk dalam salah satu sumber penerimaan negara. Akibatnya tidak ada kekuatan yang memaksa masyarakat untuk menunaikan zakat karena Undang-Undang tentang zakat Nomor 38 Tahun 1999 hanya mengatur perihal Badan dan Lembaga zakat saja tanpa mencantumkan sanksi hukum bagi muslimin yang tidak menunaikan kewajiban zakatnya. Dan potensi zakat yang mestinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerimaan negara dan pengentasan kemiskinan akhirnya dikelola secara parsial, dan separatis. Saat ini, masalah pengumpulan zakat diserahkan kepada Badan amil zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam perkembangannya terdapat sejumlah LAZ/BAZ dan ada satu forum zakat (FOZ). Meski demikian belum ada suatu kekuatan sinergis yang dapat memberdayakan zakat di Indonesia.
Selain itu kelemahan dari keberagaman amil zakat dan juga lembaga zakat yang terpencar ini mengakibatkan efek dari dana zakat ini menjadi tidak dapat dilihat secara langsung. Meski pun saat ini telah terdapat sejumlah lembaga amil zakat (LAZ) atau BAZ yang dikelola secara profesional namun agaknya masih banyak masyarakat yang menyerahkan zakatnya secara langsung kepada pihak yang membutuhkan. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Islam Nasional (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya (PPB) UIN (2001) menemukan suatu hal yang menarik terkait dengan kebiasaan masyarakat dalam menunaikan zakat. Dari penelitian itu diketahui bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid, BAZ pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta LAZ swasta hanya 4 persen zakat maal. Selain itu, penelitian tentang besaran dan efektifitas dana ZIS di enam negara termasuk Indonesia dilakukan juga oleh Amelia (2000) Hasil penelitiannya menyebutkan kecenderungan masyarakat untuk memberikan ZIS hanya berdasarkan kewajiban dan keinginan untuk menyumbang saja, tanpa diiringi oleh manajemen yang profesional untuk mengelola dana tersebut menjadi lebih produktif dan berorientasi jangka panjang bagi umat.
Sebagai lembaga yang bergerak di sektor volunter, yang mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada 8 ashnaf yang membutuhkan, pengelolaan ZIS membutuhkan profesionalitas. Hal ini terkait dengan masalah kredibilitas dan legalitas lembaga zakat. Ke-tidak-transparan-an dan tidak akuntabilitas pengelolaan zakat akan menjadi penyebab sehingga masyarakat mengurungkan niatnya untuk menunaikan zakat. Mengacu kepada hasil penelitian UIN (2001) dimana hampir 70 persen dana zakat masyarakat disalurkan melalui Masjid menggambarkan bahwa masyarakat masih menaruh kepercayaan yang besar kepada lembaga Masjid. Mestinya kepercayaan masyarakat yang besar ini diimbangi dengan upaya mengoptimalkan peran Masjid sebagai lembaga ekonomi sebagaimana peran Masjid di jaman Rasulullah yang tidak hanya menjadikan Masjid sebagai tempat ibadah namun juga sebagai basis dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Di Indonesia, masjid masih digunakan hanya sebatas tempat ibadah. Kalaupun digunakan untuk tempat pengumpulan zakat dan sedekah biasanya sifatnya hanya insidental, yaitu pada saat pembayaran zakat fitrah dan pada saat ada acara pengajian, selebihnya masjid tidak diberdayakan secara ekonomi. Hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 98% motivasi masyarakat menyumbang dikarenakan melaksanakan ajaran agama mestinya diimbangi oleh keberadaan masjid yang mampu melakukan pengelolaan zakat dan memiliki fungsi sosial yang lebih luas. Selanjutnya jika fungsi tersebut telah dijalankan oleh Masjid, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengkolaborasikan masjid dengan sikap transparansi dan juga profesional.
Salah satu model dalam memanfaatkan masjid sebagai lembaga ekonomi dan memadukan peran pemerintah dalam mengumpulkan zakat adalah dengan menjadikannya Baitul Mal pada Masjid sebagai Basis kegiatan penyelenggaraan Zakat pada tingkat RW. Model tersebut juga sekaligus dapat melihat lebih dekat seberapa besar dampak dan manfaat dana zakat bagi masyarakat yang membutuhkannya di RW tersebut. Seperti kita ketahui bahwa jajaran RW dengan populasi penduduk sekitar 2.500 sampai 3.000 orang dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) antara 350-400 (KK) maka dapat dipastikan bahwa terdapat tingkat distribusi pendapatan masyarakat yang heterogen. artinya pada masyarakat di lingkungan RW tersebut terdapat para muzakki yang secara langsung dapat mempercayakan kewajiban zakatnya kepada Baitul Maal yang berbasiskan Masjid, di sisi lain para muzakki dapat melihat dan mengontrol langsung serta melihat manfaat pendistribusian zakat tersebut yang di berikan kepada para mustahik yang ada dalam lingkungan RW tersebut. Pembentukan Masjid sebagai tempat Baitul Mal, yang bertujuan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah ini telah dilakukan di Baitul Maal Masjid X.
Setelah beroperasi selama sekitar 5 tahun memperlihatkan banyak kemajuan dalam Baitul Maal ini. Meski mengalami banyak kemajuan, namun saat ini dari sekitar 400 KK muslim yang menghuni RW 05 Kelurahan X, hanya 300 KK yang terdaftar sebagai muzakki. Dan dari 300 KK ini hanya 100 KK yang aktif menunaikan zakat setiap bulannya. Perumusan masalah dalam tesis ini adalah rendahnya partisipasi masyarakat diatas nisab, dalam menunaikan zakat Untuk meningkatkan keaktifan muzakki lainnya, tentunya perlu diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi intensitas muzakki dalam menunaikan zakat, sehingga dengan hasil penelitian itu akan dapat dilakukan sejumlah kebijakan yang dapat meningkatkan keaktifan warga dalam menunaikan zakat. Dari perumusan masalah tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 
1. Faktor-faktor apa yang menjadi daya tarik bagi muzakki sehingga muzakki secara intensitas menunaikan zakat ke baitul maal yang ada di lingkungan RW 05
2. Bagaimana karakteristik responden yang menunaikan zakat di Baitul Maal Masjid X

C. Batasan Penelitian
Penelitian ini hanya merupakan sebuah studi kasus di salah satu Masjid yang telah memiliki baitul mal yaitu Baitul Mal Masjid X. Fokus penelitian adalah untuk melihat bagaimana efektifitas kebijakan yang diambil oleh Baitul Mal dan juga apa saja yang mempengaruhi Intensitas minat masyarakat untuk menunaikan zakat, serta bagaimana pemanfaatan zakat yang dirasakan oleh mustahik.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, setidaknya ada 2 tujuan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu : 
1. Melihat faktor apa saja yang mempengaruhi minat muzakki untuk menunaikan zakat ke baitul mal sehingga semakin intens dalam menunaikan zakat yang dilakukan Baitul Mal berbasiskan Masjid setingkat RW. Faktor-faktor ini menjadi penting untuk diketahui terutama jika dikaitkan dengan usaha replikasi model ini di tempat lain.
2. Untuk melihat karakteristik responden yang menunaikan zakat di Baitul Mal Masjid X

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada : 
1. Penulis untuk melengkapi pemahaman teori ekonomi yang berkaitan dengan zakat yang didapat selama kuliah, dan ingin membuktikan secara ilmiah tentang pengalaman empiris dalam pengelolaan Zakat berbasiskan masjid pada tingkat RW.
2. Penulis, sebagai syarat kelulusan pada Program Pasca Sarjana.
3. Bagi akademisi lain sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.
4. Bagi pengambil kebijakan untuk dapat dijadikan alternatif menerapkan model pengelolaan zakat melalui Baitul Mal berbasiskan Masjid pada tingkat RW guna mendukung perkembangan syariah islam.
5. Bagi pengelola Masjid dan masyarakat umum, sebagai wacana dan wahana untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang model dalam pengelolaan zakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:08:00