Cari Kategori

PENGGUNAAN MACROMEDIA FLASH DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MACROMEDIA FLASH DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA (IPA KELAS IV)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan aktivitas yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Pendidikan itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari istilah belajar karena pada dasarnya belajar merupakan bagian dari pendidikan. Selain itu proses belajar merupakan suatu kegiatan yang pokok atau utama dalam dunia pendidikan. Manusia tidak akan pernah berhenti belajar karena setiap langkah manusia dalam hidupnya akan dihadapkan pada permasalahan yang membutuhkan pemecahan dan menuntut manusia untuk belajar menghadapinya. Belajar merupakan suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dari tidak bisa menjadi bisa sehingga proses belajar akan mengarah pada tujuan dari belajar itu sendiri. Usaha- usaha untuk mendidik dan mengajar dilakukan sejak manusia lahir dengan mengenalkan berbagai hal yang paling sederhana melalui stimulus lingkungan, misalnya bunyi, warna, rasa, bentuk dan sebagainya.
Guru adalah orang yang penting statusnya di dalam kegiatan belajar mengajar, karena guru memegang tugas yang paling penting yaitu mengatur dan mengemudikan bahtera kehidupan kelas. Bagaimana suasana kelas berlangsung merupakan hasil kerja dari guru. Suasana dapat hidup, siswa belajar tekun tapi tidak merasa terkekang atau sebagainya, suasana muram, siswa belajar kurang bersemangat dan diliputi suasana takut. Itu semuanya sebagai akibat dari hasil pemikiran dan upaya guru. Walaupun konsep pendidikan hari ini khususnya di Indonesia memposisikan guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran bersama siswa namun penularan jiwa pendidik oleh guru terhadap siswa tidak boleh ditinggalkan.
Masalah pendidikan dan pembelajaran merupakan masalah yang perlu diperhatikan, dimana banyak faktor yang mempengaruhinya salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah guru. Guru merupakan komponen pembelajaran yang memegang peranan penting dan utama karena keberhasilan proses belajar mengajar sangat ditentukan oleh faktor guru.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah diatur dalam undang-undang RI no : 20 tahun 2003 pada bab ke II, pasal 3 yang berbunyi : "pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Secara garis besar pendidikan adalah upaya membentuk suatu lingkungan untuk anak yang dapat merangsang perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya dan akan membawa perubahan yang diinginkan dalam kebiasaan dan sifatnya.
Proses belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang di dalamnya terjadi proses siswa belajar dan guru mengajar dalam konteks interaktif, dan terjadi interaksi edukatif antara guru dan siswa, sehingga terdapat perubahan dalam diri siswa baik perubahan pada tingkat pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan atau sikap. Sebagaimana diketahui bahwa dalam metodologi pembelajaran, ada dua aspek yang paling penting, yakni metode mengajar dan media pembelajaran sebagai alat bantu mengajar. Media pembelajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa yang pada gilirannya diharapkan mampu mempertinggi hasil belajar siswa.
Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik seperti yang di alami oleh siswa selama ini, yaitu menggunakan konsep yang abstrak dengan metode ceramah. Menurut Grinder dalam Silberum dari tiap 30 siswa, 22 diantara rata-rata dapat belajar efektif selama gurunya menghadirkan kegiatan belajar yang kombinasi antara visual auditory dan kinestetik. Dalam pembelajaran Tony stock well menyebutkan bahwa “to learn anything fast and affectively you have to see it, hear it, and feel it”. Yang artinya untuk dapat belajar dengan tepat dan efektif kamu harus melihat, mendengar dan merasakannya.
Ilmu pengetahuan alam (IPA) mempunyai hubungan yang sangat luas terkait dengan kalangan manusia dan berperan dalam proses pendidikan dan perkembangan teknologi, kenyataannya Ilmu pengetahuan alam (IPA) tidak diminati dan kurang diperhatikan apalagi kurangnya pendidik yang kurang menerapkan konsep IPA. Terlihat pada cara pembelajaran IPA serta kurikulum yang diberlakukan yang mempersulit pihak sekolah dan siswa. Masalah yang dihadapi oleh pendidikan IPA sendiri berupa materi/kurikulum, guru, media pembelajaran, fasilitas dan komunikasi antara guru dengan siswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru IPA, beliau menyatakan : 
"Metode yang sering saya gunakan yakni metode ceramah, di isi dengan diskusi kadang penguasaan dan tanya jawab. Saya jarang banget pakai media apa lagi dengan media/aplikasi komputer yang bisa menampilkan sesuatu yang bergerak, suara dan yang abstrak menjadi nyata. Saya yang lebih aktif menerangkan jadi siswa kebanyakan cuma mendengarkan penjelasan saya, ketrampilan berpikir dan memecahkan masalah mereka juga masih rendah, kemampuan mereka masih kurang dalam melakukan percobaan, belum semua siswa dapat menunjukkan kemampuan dalam perbuatan dan mereka di dalam kelas masih rame sendiri, malas untuk belajar".
Dari pernyataan tersebut diatas dapat disimpulkan, pembelajaran di MI X khususnya kelas IV kurang berpusat pada siswa, ketrampilan berpikir dan memecahkan masalah oleh siswa masih rendah, kemampuan dan ketrampilan siswa melakukan percobaan masih rendah, belum semua siswa dapat menunjukkan kemampuan mengolah pikirannya sehingga mampu mengaplikasikan teori ke dalam perbuatan dan karakter siswa kelas IV MI X yang rata-rata adalah siswa yang aktif namun dalam artian negatif, perlu disalurkan ke dalam kegiatan pembelajaran di kelas yang aktif dan terkontrol.
Dalam hal ini siswa tidak hanya mengetahui dan memahami materi pelajaran namun juga menerapkannya ke dalam pengalaman langsung/tingkah laku. Tingkah laku siswa selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Segala upaya yang menyangkut kegiatan atau aktifitas otak termasuk ke dalam ranah kognitif. Menurut Benjamin Bloom ada enam tingkatan dalam domain kognitif, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Pada penelitian ini peneliti memfokuskan diri pada kemampuan kognitif tergambar pada hasil belajar yang diukur dengan tes hasil belajar pada materi IPA. Dimana dalam penerapannya harus melewati tingkatan-tingkatan sebelumnya, yakni pengetahuan dan pemahaman. Namun pada dasarnya penelitian ini tidak mengesampingkan tingkatan-tingkatan setelah tingkat aplikasi, yakni analisis, sintesis dan evaluasi. Alasannya pada siswa sekolah dasar cara berpikirnya masih dalam tahap operasi konkret. Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibau, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga pendidikan harus mampu menerapkan media pembelajaran yang sudah ada. Dalam proses belajar mengajar di kelas yang ada hanya media pembelajaran dan guru sebagai sumber belajar, maka komunikasi antara guru dan siswa tidak akan berjalan secara lancar. Hal ini terkait dengan permasalahan dalam proses belajar mengajar.
Media pembelajaran merupakan salah satu unsur yang amat penting dalam proses belajar mengajar yang dapat dimuati pesan yang akan disampaikan kepada siswa yang berupa alat, selain itu media pembelajaran merupakan salah satu cara untuk peningkatan kualitas hasil belajar dan berkomunikasi dengan siswa agar
lebih efektif. Oleh karena itu penggunaan media pembelajaran saat proses belajar mengajar sangat diperlukan.
Dalam proses belajar mengajar ini ada salah satu fungsi media pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi, iklim, kondisi dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Oleh karena itu, proses belajar mengajar yang di selenggarakan di sekolah atau lembaga formal, dimaksudkan untuk mengarahkan perubahan diri siswa secara terencana, baik perubahan dalam pengetahuan, pemahaman dan ketrampilan atau sikap. Proses belajar mengajar di sekolah atau di lembaga formal sangat dipengaruhi oleh lingkungan belajar. Lingkungan belajar tersebut antara lain meliputi : siswa, guru, karyawan sekolah, bahan atau materi pelajaran (buku paket, majalah, makalah dan sebagainya), sumber belajar lain yang mendukung dan fasilitas belajar (laboratorium, pusat sumber belajar, perpustakaan yang lengkap dan sebagainya).
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, disamping guru dituntut mampu menggunakan alat-alat yang digunakan, guru dituntut juga mampu mengembangkan media pembelajaran yang akan digunakan, karena media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar, demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penggunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar. Penggunaan media pembelajaran dalam tahap orientasi pembelajaran akan membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan, isi pelajaran pada saat itu.
Bersamaan dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju dan juga mendorong guru untuk mengadakan upaya pembaharuan dalam proses belajar dan memanfaatkan hasil-hasil teknologi. Guru di tuntut untuk mampu menggunakan alat-alat yang bisa memudahkannya dalam menjalankan proses belajar mengajar dan memudahkan siswa dalam belajar, baik alat bantu yang sesuai dengan perkembangan zaman seperti komputer, slide dan sebagainya. Ataupun alat bantu mengajar yang sederhana, murah dan efisien seperti gambar, grafik, video dan animasi. Untuk mencapai tujuan pembelajaran di samping guru di tuntut mampu menggunakan alat-alat tersebut, guru juga di tuntut untuk mampu mengembangkan media pembelajaran yang akan digunakan tetapi tersedia, karena media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pembelajaran. Sehingga seorang guru disamping menguasai keilmuan pendidikan juga harus multi fungsi termasuk mengusai tata cara pengoperasian seluruh media pembelajaran pendidikan.
Media pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar banyak sekali, begitu juga dalam pembelajaran IPA juga bisa menggunakan media pembelajaran untuk memudahkan guru, siswa dalam belajar. Media yang dimanfaatkan dalam pembelajaran IPA, antara lain : laptop, LCD, video, gambar dan sebagainya. Media-media tersebut mempunyai karakteristik tersendiri, sehingga dapat memudahkan dalam mempelajari mata pelajaran IPA yang ada di sekolah-sekolah terutama di lembaga formal. Penggunaan macromedia flash dalam pembelajaran dapat menampilkan materi IPA pokok bahasan daur hidup beragam jenis makhluk hidup kelas IV dengan lebih jelas karena disertai gambar dan animasi yang berkaitan dengan materi. 
Disini macromedia flash di maksud adalah media yang dimanfaatkan dalam pembelajaran IPA, yang berupa suatu program aplikasi yang digunakan untuk mengolah gambar vektor dan animasi. Objek-objek yang dapat diolah untuk membuat animasi selain gambar vektor (yang dibuat secara langsung dari flash) adalah gambar-gambar bitmap yang diimpor serta objek suara (sound) dan objek yang berekstensi. Kemampuan flash dalam mengolah dalam berbagai jenis objek kemudahan dalam proses pembuatan animasi, serta kecilnya ukuran file animasi. Media tersebut mempunyai karakteristik tersendiri, sehingga dapat memudahkan dalam mempelajari mata pelajaran IPA yang ada di sekolah-sekolah terutama di lembaga formal. Selain itu penggunaan macro media flash dalam pembelajaran dapat meringankan biaya pendidikan. Adapun kekurangan media pembelajaran ini adalah hanya bisa di jalankan melalui media komputer maupun laptop dan tidak adanya efek suara berupa narasi. Selain itu media ini hanya bisa digunakan di sekolah yang memiliki fasilitas seperangkat keras komputer (hardware) ataupun lab komputer.
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu Esti Dewi Septiana, bahwasanya hasil analisis data uji coba perseorangan dapat diketahui tingkat validitas media pembelajaran yang dikembangkan sebesar menurut ahli materi, ahli media, uji kelompok kecil dan uji kelompok besar didapatkan rata-rata persentase 89,20%. Angka ini pada tabel kriteria kelayakan memenuhi kriteria valid dan secara keseluruhan dinyatakan baik serta dapat digunakan dalam pembelajaran. Sedangkan tinjauan terdahulu yang pernah dilakukan oleh Novita Restuti, sesungguhnya hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata nilai kelas eksperimen adalah 77,31 sedangkan kelas kontrol adalah 65,38. Hal ini menunjukkan kelas yang di ajar dengan menggunakan macromedia flash profesional 8 mempunyai prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada kelas yang diajar dengan tidak menggunakan media pembelajaran macromedia flash profesional 8.
Melihat kondisi pengelolaan kelas di dunia pendidikan sejak dulu sampai sekarang memang masalah yang tidak pernah absen dari agenda kegiatan guru. Semua itu tidak lain guna kepentingan belajar anak didik. Media merupakan salah satu alat yang sangat penting digunakan oleh seorang guru dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, karena dengan adanya media yang cocok yang digunakan oleh guru siswa diharapkan raj in belajar dan tidak merasa bosan pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, mengingat mata pelajaran IPA adalah merupakan ilmu yang mempunyai hubungan yang sangat luas terkait dengan kalangan manusia dan berperan dalam proses pendidikan dan perkembangan teknologi. Namun kenyataan yang ada di Madrasah Ibtidaiah X dari hasil pengamatan peneliti, siswa kelas IV masih rendah hasil belajarnya terutama pada mata pelajaran IPA karena guru pendidikan IPA sangat jarang sekali menggunakan media yang dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa. Selain itu terkadang siswa selalu menganggap sulit pelajaran IPA sehingga mereka malas untuk belajar sehingga hasil belajarnya rendah karena siswa dapat belajar dengan tepat dan efektif itu harus melihat, mendengar dan merasakannya, siswa dalam mengorganisasikan materi yang telah di ketahui juga masih rendah, dan masih banyak siswa yang kurang bisa mengolah pikirannya sehingga mampu mengaplikasikan teori ke dalam perbuatan. Hal inilah yang membuat hasil belajar siswa masih rendah dan malas untuk belajar pada mata pelajaran IPA.
Dengan adanya deskripsi tersebut, peneliti menggunakan penelitian tindakan kelas ke dalam pembelajaran IPA pada Madrasah Ibtidaiah (MI) X dengan media macromedia flash, dan ditekankan pada materi daur hidup beragam jenis makhluk hidup. Dengan harapan penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan kognitif pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) khususnya materi daur hidup beragam jenis makhluk hidup. Peneliti mencoba meneliti lebih lanjut dalam penelitian tindakan kelas dengan judul "PENGGUNAAN MACROMEDIA FLASH DALAM PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA KELAS IV MI X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 
1. Bagaimana perencanaan penggunaan macro media flash dalam pembelajaran IPA untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa kelas IV MI X ?
2. Bagaimana pelaksanaan penggunaan macro media flash dalam pembelajaran IPA untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa kelas IV MI X ?
3. Bagaimana penilaian penggunaan macro media flash dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa kelas IV MI X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Mengetahui perencanaan penggunaan macro media flash dalam
pembelajaran IPA untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa kelas IV MI X.
2. Mengetahui pelaksanaan penggunaan macro media flash dalam pembelajaran IPA untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa kelas IV MI X.
3. Mengetahui penilaian penggunaan macro media flash dalam pembelajaran IPA dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa kelas IV MI X.

D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 
1. Bagi siswa
- Membantu siswa yang bermasalah atau mengalami kesulitan pelajaran.
- Memungkinkan siswa terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar.
- Mengembangkan daya nalar serta berpikir lebih kreatif, sehingga siswa termotivasi untuk mengikuti proses pembelajaran.
2. Bagi guru
Sebagai masukan dalam merancang kegiatan belajar mengajar serta dalam memberikan bimbingan kepada siswa untuk dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam meraih prestasi belajar siswa, serta memperhatikan media-media yang akan diterapkan dalam pembelajaran
3. Bagi Sekolah
- Sebagai bahan masukan bagi para pendidik tentang perlunya media pembelajaran IPA dalam meningkatkan kemampuan kognitif siswa khususnya di kelas IV MI X.
- Adanya inovasi pembelajaran.
- Tercapainya pengembangan kurikulum tingkat sekolah.
- Peningkatan profesionalisme guru.
4. Bagi peneliti
Sebagai pengalaman yang berharga dan menambah wawasan dan khasanah keilmuan pada khususnya, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dengan wawasan yang lebih luas baik secara teoritis maupun secara praktis. 

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:12:00

VIP KAN GURU-GURU KITA! - KEMDIKBUD : ANIES BASWEDAN

Berapa jumlah guru yang masih hidup?” itu pertanyaan Kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di tanah Jepang.

Kisah itu beredar luas. Bisa jadi itu mitos, tetapi narasi itu punya konteks yang valid: pemimpin ”Negeri Sakura” itu memikirkan pendidikan sebagai soal amat mendasar untuk bangkit, menang, dan kuat. Ia sadar bukan alam yang membuat Jepang menjadi kuat, melainkan kualitas manusianya. Pendidikan jangan pernah dipandang sebagai urusan sektoral. Pendidikan adalah urusan mendasar bangsa yang lintas sektoral. Hari ini 53 persen penduduk bekerja kita hanya tamat SD atau lebih rendah, yang berpendidikan tinggi hanya 9 persen. Pendidikan bukan sekadar bersekolah, melainkan fakta itu gambaran menampar yang membuat kita termenung.

Dari sisi kuantitas, penduduk Indonesia di urutan keempat dunia, tetapi dari segi kualitas di urutan ke-124 dari 187 negara. Bangsa ini telah secara ”terencana” membuat sebagian besar penduduknya dicukupkan untuk berlevel pendidikan rendah. Tak aneh jika kini serba impor karena memang sebagian besar penduduk bekerja kita hanya bisa menghasilkan produk bernilai tambah yang rendah.

Selama bangsa dan para pemimpinnya bicara pendidikan secara sambil lalu, dan selama masalah pendidikan dianggap bukan masalah kepemimpinan nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berwibawa. Kunci kekuatan bangsa itu pada manusianya. Jangan hanya fokus pada infrastruktur penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya!

Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara orangtua dan anak, antara guru dan murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Guru adalah inti dari proses pendidikan. Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan.

Berhenti memandang soal guru sebagai ”sekadar” soalnya kementerian atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!

Ya, penyesuaian kurikulum itu penting, tetapi lebih penting dan mendesak adalah menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan guru. Guru merupakan ujung tombak. Kurikulum boleh sangat bagus, tetapi bakal mubazir andai disampaikan oleh guru yang diimpit sederetan masalah. Tanpa penyelesaian masalah-masalah seputar guru, kurikulum nyaris tak ada artinya.

Guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai pelajarannya.

VIP KAN GURU-GURU KITA! - KEMDIKBUD : ANIES BASWEDAN
Anies Baswedan
Kita pasti punya banyak guru yang dulu mengajar. Ada yang masih diingat dan ada yang terlupakan. Artinya, setiap guru punya pilihan, mau jadi pendidik yang dikenang karena inspirasinya atau menjadi pendidik yang terlupakan atau malah diingat karena perilakunya negatif. Guru harus sadar diri. Ia pegang peran besar, mendasar, dan jangka panjang sifatnya. Jika seseorang tak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru. Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan bangsa. Ini statement keras, tetapi para pendidik dan pengelola pendidikan harus sadar soal ini. Kepada para guru yang mendidik dengan hati dan sepenuh hati, bangsa ini berutang budi amat besar.

Tiga persoalan besar

Paling tidak ada tiga persoalan besar mengenai guru kita.

Pertama, distribusi penempatan guru tidak merata. Di satu tempat kelebihan, di tempat lain serba kekurangan. Kekurangan guru juga terjadi di kota dan di desa yang dekat kota. Ini harus dibereskan.

Kedua, kualitas guru yang juga tidak merata. Kita harus mencurahkan perhatian total untuk meningkatkan kualitas guru. Mudahkan dan berikan akses bagi guru untuk mengembangkan potensi diri dan kemampuan mengajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar pascasarjana, melainkan soal guru makin matang dan terbuka luas cakrawalanya.

Ketiga, kesejahteraan guru tak memadai. Dengan sertifikasi guru telah terjadi perbaikan kesejahteraan, tetapi ada konsekuensi administratif yang sering justru merepotkan guru dan perlu dikaji ulang. Selain soal guru honorer, guru bantu yang masih sering diperlakuan secara tak honored (terhormat). Semua guru harus dijamin kesejahteraannya.

Melihat kondisi sebagian besar guru hari ini, kita seharusnya malu. Kita titipkan masa depan anak-anak kepada guru, tetapi kita tak hendak peduli nasib guru-guru itu. Nasib anak-anak kita serahkan kepada guru, tetapi nasib guru amat jarang menjadi perhatian kita, terutama kaum terdidik, yang sudah merasakan manfaat keterdidikan. Bangsa Indonesia harus berubah. Negara dan bangsa ini harus menjamin nasib guru.

Menghormati guru

Mari bangun kesadaran kolosal untuk menghormati-tinggikan guru. Pemerintah harus berperan, tetapi tanggung jawab besar itu juga ada pada diri kita setiap warga negara, apalagi kaum terdidik. Karena itu, VIP-kan guru-guru dalam semua urusan!

Guru pantas mendapat kehormatan karena mereka selama ini menjalankan peran terhormat bagi bangsa. Saya ajukan dua ide sederhana menunjukkan rasa hormat kepada guru: jalur negara dan jalur gerakan masyarakat. Pertama, negara harus memberikan jaminan kesehatan bagi guru dan keluarganya, tanpa kecuali. Kedua, negara menyediakan jaminan pendidikan bagi anak- anak guru.

Bangsa ini harus malu jika ada guru yang sudah mengajar 25 tahun, lalu anaknya tak ada ongkos untuk kuliah. Jaminan kesehatan dan pendidikan keluarganya adalah kebutuhan mendasar bagi guru. Kita harus mengambil sikap tegas: amankan nasib guru dan keluarganya sehingga guru bisa dengan tenang mengamankan nasib anak kita.

Di jalur masyarakat, Gerakan Hormat Guru harus dimulai secara kolosal. Misalnya, para pilot dan awak pesawat, gurulah yang menjadikanmu bisa ”terbang”, sambutlah mereka sebagai penumpang VIP di pesawatmu, undang mereka boarding lebih awal. Para dokter dan semua tenaga medis, gurulah yang mengajarimu sehingga bisa berseragam putih, sambutlah mereka sebagai VIP di tempatmu merawat. Pada pemerintah dan dunia usaha di berbagai sektor, semua prestasi yang dikerjakan adalah buah didikan guru di masa lalu, VIP-kan guru, jadikan mereka customer utama, berikan mereka kemudahan, berikan mereka diskon. Bukan hanya besaran kemudahan atau diskon, melainkan ekspresi kepedulian itu yang menjadi bermakna bagi guru.

Dan semua sektor lainnya, ingatlah bahwa guru merupakan modal awal untuk meraih masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera itu dibangun. Di setiap kata dalam pesan pendek (SMS) yang ditulis, di sana ada tanda pahala guru. Bangsa ini akan tegak dan disegani saat guru-gurunya terhormat dan dihormati. Bagi anak-anak muda yang kini berbondong-bondong memilih pendidikan guru, ingat tujuan menjadi guru bukan cari tingginya rupiah.

Anda pilih jalan mulia, menjadi pendidik. Jangan kemuliaan dikonversi sebatas urusan rupiah, itu cara pintas membuat kemuliaan alami devaluasi. Kesejahteraan Anda sebagai guru memang harus terjamin, tetapi biarkan sorot mata anak didik yang tercerahkan atau cium tangan tanda hormat itu menjadi reward utama yang tak ternilai bagi anda.

Indonesia akan berdiri makin tegak dan kuat dengan kualitas manusia yang mumpuni. Para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk masa depan Indonesia. Jadilah guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadikan kami sebangsa makin bangga dan hormat pada guru!

Oleh : Kemdikbud RI, Bpk. Anies Baswedan

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:53:00

PENGUKURAN RISIKO OPERASIONAL BANK X DENGAN METODE LOSS DISTRIBUTION APPROACH

1.1 Latar Belakang Masalah
Situasi lingkungan internal dan eksternal perbankan saat ini yang belum kondusif terutama dengan munculnya krisis ekonomi dunia yang dimulai sejak bulan Oktober tahun 2008 mengakibatkan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan sehingga meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola Bank yang sehat (Good Corporate Governance) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi pengawasan aktif pengurus bank, kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi, dan pengendalian risiko, serta sistem pengendalian internal.

Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Untuk dapat menerapkan proses manajemen risiko, maka pada tahap awal bank harus secara tepat mengidentifikasi risiko dengan cara mengenal dan memahami seluruh risiko yang sudah ada (inherent risks) maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis baru bank, termasuk risiko yang bersumber dari perusahaan terkait dan afiliasi lainnya.

Secara umum terdapat 8 (delapan) jenis risiko yang dihadapi oleh perbankan yaitu : Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Strategik dan Risiko Kepatuhan (PBI No.5/8/2003 tanggal 19 Mei 2003). Berbeda dengan risiko pasar dan risiko kredit, risiko operasional merupakan tipe risiko yang paling 'tua' tetapi paling sedikit dipahami dibandingkan dengan dua risiko di atas. Risiko operasional juga mempunyai karakteristik yang unik karena tidak terkait dengan ekspektasi tingkat pengembalian (return) namun terjadi secara alamiah yang muncul sebagai akibat dari aktivitas bisnisnya. Pengelolaan risiko operasional ini sejak lama telah dilakukan antara lain dengan cara dengan memperbaiki sistem, prosedur atau proses, memberikan training kepada karyawan dan lainnya.

Kasus-kasus yang berhubungan dengan risiko operasional perbankan dapat mengakibatkan kerugian bahkan kebangkrutan suatu bank seperti yang terjadi pada kasus Baring Bank. Beberapa kasus juga terjadi di industri perbankan di dalam negeri, baik bank BUMN maupun bank swasta yang menyebabkan kerugian tidak hanya pada bank tersebut dan nasabahnya namun bisa juga menyebabkan kerugian ekonomi secara menyeluruh (systemic risk).

Basel II (lembaga yang mengatur perbankan internasional) mendefinisikan risiko operasional sebagai risiko yang timbul karena kegagalan dari proses internal, manusia, sistem, atau dari kejadian eksternal. Dalam Basel ini juga diatur mengenai model perhitungan standar dan internal. Pendekatan standar umumnya mendapatkan hasil perhitungan modal (capital charge) yang relatif lebih besar dibanding pendekatan internal. Untuk itu setiap bank didorong oleh otoritas atau pengawas perbankan untuk mencari pendekatan internal. Salah satu pendekatan internal yang dipakai dalam karya akhir ini adalah melalui pendekatan Advanced Measurement Approach (AMA) yang membutuhkan data historis (Loss Event Database) mengenai kejadian kerugian operasional. Dengan database tersebut, maka bank dapat membuat suatu model kuantifikasi risiko operasional sehingga proyeksi capital charge dapat menggambarkan estimasi kerugian yang sesungguhnya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap manajemen risiko operasional Bank X ditemukan bahwa bahwa proses kuantifikasi risiko operasional Bank X belum benar dari sisi kualitas (memilih pendekatan model terbaik) maupun dari sisi kuantitas (mendapat hasil perhitungan capital charge terbaik). Model kuantifikasi yang kurang tepat dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah (mis-leading) dan dapat mengakibatkan hasil penggambaran economic value yang kurang akurat yang pada akhirnya berdampak terhadap modal bank.
Karya akhir ini akan diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut ini :
1. Bagaimana cara menentukan model estimasi probabilitas frequency of loss yang tepat dalam perhitungan risiko operasional di Bank X
2. Bagaimana cara menentukan model estimasi probabilitas severity of loss yang tepat dalam perhitungan risiko operasional di Bank X
3. Bagaimana cara menentukan model loss distribution yang tepat dalam perhitungan risiko operasional di Bank X
4. Bagaimana cara menghitung besarnya potensi kerugian operasional dengan pendekatan Value at Risk (OpVaR) untuk mendapatkan capital charge yang terbaik

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Bank X dapat menentukan model estimasi probabilitas frequency of loss yang tepat dalam perhitungan risiko operasional.
2. Bank X dapat menentukan model estimasi probabilitas severity of loss yang tepat dalam perhitungan risiko operasional.
3. Bank X dapat menentukan pendekatan loss distribution yang tepat dalam manajemen risiko operasional dengan metode aggregasi (aggregation method).
4. Bank X dapat menghitung besarnya potensi kerugian operasional dengan pendekatan Value at Risk (OpVaR) untuk mendapatkan capital charge yang terbaik.

1.4 Batasan Penelitian
Penulis membatasi penelitian dengan berusaha mencapai kualitas penelitian yang dapat menjawab tujuan penelitian di atas. Adapun pembatasan penelitian dilakukan pada beberapa ruang lingkup antara lain :
1. Loss Event Database yang digunakan merupakan actual loss yang diperoleh berdasarkan hasil temuan Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR) di beberapa cabang.
2. Loss Event Database dalam penelitian ini dibatasi hanya pada 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya risiko operasional yaitu : people, system dan process. Sedangkan faktor eksternal dan faktor lainnya tidak dimasukkan karena keterbatasan data.
3. Lingkup perusahaan yang digunakan dalam penelitian adalah Bank X yang terlibat dalam industri perbankan
4. Penggunaan Aggregation Method untuk menghasikan Loss Distribution untuk mendapatkan nilai Operational Value at Risk (OpVaR) yang terbaik.

1.5 Kerangka Pemikiran
Masalah dalam karya akhir ini yaitu perhitungan risiko operasional Bank X yang belum benar dari sisi kualitas (memilih pendekatan model terbaik) maupun dari sisi kuantitas (mendapat hasil perhitungan capital charge terbaik). Masalah ini akan diselesaikan dengan mendapatkan hasil pengukuran risiko operasional dengan loss distribution approach-Aggregation Model. Pendekatan di atas merupakan bagian Advanced Measurement Approach (AMA) atau model internal yang bisa dikembangkan oleh perusahaan.
Model pengukuran risiko operasional yang diberikan oleh Bassel Committee menunjukkan perbandingan antara besarnya alokasi modal yang dihitung tiap-tiap metode dan tingkat kompleksitas perhitungannya. Ternyata pendekatan AMA yang meliputi : Internal Measurement Approach, Loss Distribution Approach, Scoreboard menghasilkan alokasi modal terendah dengan tingkat kompleksitas tertinggi dibandingkan dengan Basic Indicator Approach (BIA) dan Standardized Approach (SA). Dengan perbandingan ini dapat diestimasi bahwa hasil perhitungan dengan loss distribution approach-Aggregation Model akan memberikan hasil perhitungan capital charge yang lebih baik.
Pendekatan AMA ini lebih menekankan pada analisis kerugian operasional. Karena itu, bagi perusahaan yang ingin menerapkan harus mempunyai database kerugian operasional sekurang-kurangnya dua tahun sampai dengan lima tahun dengan menggunakan teknologi tinggi untuk membuat model. Kemudian data-data tersebut diolah dengan membuat model estimasi frequency of loss dan severity of loss. Hasil estimasi keduanya dilakukan uji Goodness of Fit dan akhirnya dilakukan backtesting dengan loglikelihood ratio. Semua hasil perhitungan dan pengujian yang cukup kompleks akan dapat menghasilkan besarnya nilai potensi kerugian operasional dengan pendekatan Value at Risk (OpVaR) untuk mendapatkan capital charge yang terbaik.

1.6 Manfaat Penelitian
Karya akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Menyediakan berbagai alternatif solusi melalui beberapa metode yang ditawarkan, sehingga diperoleh pendekatan internal terbaik.
2. Dengan memperoleh cara dan nilai perhitungan Operational Value at Risk (OpVaR) sebagai batasan maksimal jumlah kerugian yang dapat ditolerir, maka manajemen bank dapat mengambil langkah-langkah selanjutnya dalam memitigasi risiko.
3. Bank X juga dapat memperoleh nilai modal (capital charge) yang lebih realistis dibanding hasil perhitungan dengan pendekatan standar.

1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya akhir dibagi dalam 5 (lima) bab dengan masing-masing pembahasan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, kerangka pemikiran, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Literatur
Bab ini menerangkan antara lain mengenai Risiko Operasional, Konsep Manajemen Risiko Operasional, Pengukuran Risiko Operasional, Distribusi Probabilitas, Loss Distribution Approach Aggregation Method dengan perhitungan Operational Value at Risk (OpVaR)-nya. Pada bagian akhir juga dibahas mengenai backtesting dengan Looklikehood Ratio untuk memvalidasi model yang diperoleh.
Bab III Data dan Metodologi Penelitian
Bab ini menerangkan mengenai berbagai data yang diperlukan dan cara memperolehnya sebagai dasar analisa dan serangkaian proses pengolahan data sesuai dengan metode yang telah diuraikan dalam landasan teori. Bab ini juga menjelaskan tentang gambaran umum dari perusahaan dimana penelitian dilakukan.
Bab IV Analisis dan Pembahasan
Bab ini menjelaskan tentang cara pengukuran risiko operasional dengan menggunakan Aggregation Method setelah dilakukan uji Goodness of Fit atas data yang telah dikumpulkan. Pada bagian akhir juga digambarkan impact financial terhadap perusahaan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini membahas kesimpulan berdasarkan hasil-hasil perhitungan dengan berbagai metodenya serta memberikan saran-saran untuk mengembangkan penelitian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:55:00

HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 menyatakan pendidikan nasional Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Demi tercapainya tujuan itu dibentuklah suatu sistem pendidikan nasional Indonesia yang dilandaskan kepada akar budaya dan filsafat bangsa dengan berorientasi kepada persaingan global dalam kemajuan peradaban dunia melalui manajemen pendidikan nasional.

Manajemen pendidikan nasional menata setiap komponen sistem pendidikannya, yaitu tenaga pendidikan, peserta didik, kurikulum dan sarana prasarana, secara sistematis agar dapat menghasilkan output pendidikan sesuai dengan tujuan tersebut. Dalam pelaksanaannya, Fattah, N. (2008 : 1) mengungkapkan pengelolaan setiap komponen sistem pendidikan tidak terlepas dari fungsi-fungsi manajemen, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling). Fungsi-fungsi tersebut bertujuan untuk mengatur proses kegiatan pendidikan, termasuk di sekolah sebagai wahana pendidikan, agar dapat berjalan dengan baik sehingga pada gilirannya tercapai efektivitas dan efisiensi.

Peningkatan efektivitas dan efisiensi kualitas pendidikan harus terus menerus dilakukan melalui berbagai upaya untuk memenuhi perkembangan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan dan hasil pendidikan. Bicara masalah pelayanan dan hasil pendidikan selalu diidentikkan dengan profesionalisme dan kinerja guru. Guru, sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan, seyogianya menguasai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10.

Keempat kompetensi tersebut bersifat holistik dan integratif yang ditunjukkan dalam kinerja guru. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Sedangkan kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara obyekif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan kompetensi sosial juga tak kalah penting karena merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang mengharuskan seorang guru dapat berkomunikasi dengan baik dan mampu bergaul dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali dan masyarakat sekitar secara santun. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.

Secara khusus tugas dan fungsi tenaga pendidik didasarkan pada Undang-Undang no 14 tahun 2007, yaitu sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu guru dalam proses belajar mengajar harus memiliki kompetensi tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar khususnya. Agar memiliki kompetensi tersebut guru perlu membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik secara profesional di dalam proses belajar mengajar.

Berkaitan dengan peran dan tugas guru, Cooper (Satori, D. et al 2007 : 2.2) membagi kemampuan dasar guru ke dalam empat komponen, yakni (a) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (b) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (c) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (d) mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar.

Berdasarkan Undang-Undang no 20 tahun 2003 Pasal 39 ayat 2 pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari pandangan tersebut peranan dan tugas guru dapat diidentifikasi dalam dua bagian pokok yaitu sebagai pengelola dan sebagai pelaksana pendidikan dan pengajaran di kelas. Artinya guru sebagai pengelola harus memiliki kemampuan manajerial yaitu menguasai perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian. Lalu, sebagai pelaksana, guru harus mampu memiliki kemampuan teknis yang terkait dengan bagaimana menggunakan segala sumber daya pendidikan yang ada dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, dalam hal ini guru harus mampu mengelola kegiatan belajar mengajar yang baik melalui berbagai strategi dan metode sekaligus menjadi sumber belajar bagi siswa.

Kenyataannya mutu pendidikan Indonesia dinilai secara rendah. Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 diantara 130 negara di dunia. 

Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0,935, dibawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965), Jawa Pos, edisi 12 Desember 2007 (Pujianto, W. 2008 : 1). Fakta tentang rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini tentunya tidak terlepas dari masih lemahnya aspek manajemen pendidikan di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan dari rendahnya kemampuan guru sebagai ujung tombak pendidikan dalam mengejawantahkan keempat kompetensinya tersebut. Oleh karena itu pengembangan keprofesionalan guru harus selalu ditingkatkan, karena peningkatan keprofesionalan guru akan diikuti oleh peningkatan efektivitas kegiatan belajar mengajar dan secara tidak langsung peningkatan keprofesionalan guru juga akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan secara luas.

Lesson Study dipercaya sebagai salah satu upaya menciptakan guru yang profesional. Lesson Study memang bukan suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi lebih merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi, dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning community) yang secara konsisten dan sistematis melakukan untuk perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Mulyana, S. (2007 : 2) memberikan pandangan tentang Lesson Study yaitu sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.

Lesson Study dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan keprofesionalan guru karena memungkinkan guru selain untuk memikirkan dengan cermat mengenai tujuan pembelajaran jangka pendek dan jangka panjang terhadap materi pokok, strategi dan metode pembelajaran, Lesson Study juga membuat guru merancang pembelajaran yang kolaboratif. Hal ini menyebabkan terjadinya saling koreksi antar pelaksana Lesson Study demi perbaikan pembelajaran berikutnya.

Dalam pelaksanaannya program Lesson Study memerlukan fungsi-fungsi manajemen, terutama perencanaan yang kuat. Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang menempati posisi pertama dan utama di antara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Ini berarti bahwa perencanaan merupakan titik pangkal berbagai program dalam manajemen atau organisasi. Perencanaan adalah proses menentukan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien dan seefektif mungkin.

Sejalan dengan pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah fakta mengenai pentingnya peran Kepala Sekolah dinyatakan dalam http://yberlantai.1971.multiply.com/jounal/item/26 dalam International Conference of Lesson Study awal Maret 2009 di SMPN 4 X dinyatakan bahwa : "Lesson Study di X diakui ada yang gagal dan ada yang berhasil. Berhasil karena ada dukungan dari pengawas, Kepala Sekolah, dan Dinas setempat. Jadi ternyata agar berhasil Lesson Study ini perlu dukungan bottom up dan top down. Petunjuk teknis tetap di perlukan. Ujung tombak keberhasilan Lesson Study ternyata ada di Kepala Sekolah sebagai leader of innovation and motivator. Kepala Sekolah ternyata kunci keberhasilan sekolah dan juga guru".

Dari pernyataan tersebut bisa diindikasikan bahwa pengawasan dari Kepala Sekolah menduduki peran yang sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan program Lesson Study ini. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktivitas yang terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Pengawasan yang dilakukan Kepala Sekolah merupakan sebuah pengawasan internal yang pada hakikatnya meliputi pengujian dan evaluasi terhadap kecukupan dan keefektifan sistem pengendalian intern yang dimiliki oleh sekolah dan kualitas dari pelaksanaan program Lesson Study.

Perencanaan dan pengawasan yang efektif dapat melahirkan pelaksanaan program yang efektif pula. Menciptakan suasana kondusif agar semua guru mampu melaksanakan tugas bukan hanya sekedar tanggung jawab kesupervisian Kepala Sekolah, tetapi lebih sebagai akuntabilitas, yang tarafnya lebih tinggi dari tanggung jawab. Kepala Sekolah bertanggungjawab membangun sekolahnya sebagai tempat pembelajaran yang kondusif demi terciptanya sekolah yang efektif. Lunenburg (2008 : 14) dalam bukunya The Principalship : Vision to Action, menyatakan "The role of instructional leader helps the school to maintain a focus on why the school exists, and that is to help all students learn ". Hal ini berarti Kepala Sekolah sebagai pimpinan sekolah berperan sangat penting dalam membuat sekolah tetap fokus kepada mengapa sekolah tersebut ada, dan sekolah ada hanyalah untuk membantu siswa belajar. Kepala Sekolah merupakan the key person keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kegagalan dan keberhasilan sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh sekolah menuju tujuannya.

Salah satu alasan utama penelitian ini dilakukan, yaitu sejalan dengan pendapat para ahli tentang peran Kepala Sekolah sebagai key person dalam organisasinya tersebut. Secara kontekstual peranan kepala sekolah sangat menentukan keefektifan implementasi program di sekolahnya termasuk Lesson Study, namun kenyataan di lapangan keberlangsungan Lesson Study perlu mendapat perhatian. Melalui beberapa kali pengamatan di beberapa sekolah, sebagian kepala sekolah tidak memiliki pengetahuan kepemimpinan, tidak hadir di hari efektif belajar mengajar, belum mampu menyusun program kerja tahunan, belum mampu merumuskan dan menjabarkan visi dan misi sekolahnya, dan belum melakukan pengawasan internal secara efektif terutama pada program Lesson Study. Hal ini tentu saja mempengaruhi keberlangsungan Lesson Study sebagai upaya perbaikan mutu pembelajaran, mutu lulusan dan mutu sekolah.

Terkait dengan penyelenggaraan Lesson Study, ada dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah dan Lesson Study berbasis MGMP. JICA (Japan International Cooperation Agency) bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama Republik Indonesia membuat suatu program peningkatan kualitas SMP/MTs. Program ini baik mendukung terlaksananya Lesson Study berbasis MGMP maupun berbasis sekolah. Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi. Sedangkan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) dilaksanakan oleh semua guru dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan.

Program Lesson Study Berbasis Sekolah menjadi menarik untuk dipelajari karena keterlibatan Kepala Sekolah yang sangat kuat dalam menciptakan iklim sekolah yang nyaman demi terlaksananya program tersebut. Beberapa penelitian menemukan beberapa fakta betapa sulitnya seorang Kepala Sekolah membangun iklim sekolah yang efektif. Beberapa diantaranya adalah :
1. masih tingginya tingkat ketidakhadiran guru dengan berbagai alasan, 45% tanpa alasan yang jelas, 36% karena sakit, dan 19% karena mendapat tugas resmi secara kedinasan (Usman, Ahmadi, dan Suryadarma, 2004, dalam Koesoema, 2009 : 194)
2. masih terjadinya mismatch teaching karena ketidakmerataan ketersediaan guru yang memungkinkan pengajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian guru (Koesoema, 2009 : 194)
3. masih adanya kultur sekolah yang negatif seperti senioritas dan bias gender (Kauffman and Liu, 2001, dalam Koesoema, 2009 : 195)
4. masih adanya norma privasi dalam kultur dalam profesi guru yang mengutamakan individualisme, meyakini bahwa pekerjaan guru merupakan urusan pribadi guru dan murid di dalam kelas di mana rekan kerja atau orang lain di luar kelas tidak berhak ikut campur (Fullan, 2007, dalam Koesoema, 2009 : 195)
5. dinamika, struktur, dan rutinitas pekerjaan guru yang cenderung sama setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun yang membuat guru terjerumus dalam kebosanan, kehilangan gairah dalam mengajar, terlalu terfokus pada mengajar tanpa memperkaya dirinya untuk belajar, mengakibatkan guru sulit menerima dan melakukan perubahan terutama dalam cara membelajarkan anak didiknya (Huberman, 1983; Hargreaves, 2005, dalam Koesoema 2009 : 82).
Masalah tersebut menjadi dasar bagi Kepala Sekolah dalam membuat kebijakannya dalam program Lesson Study yang menuntut guru untuk mau melakukan perubahan. Oleh karena itu perencanaan bersama dan pengawasan program Lesson Study oleh Kepala Sekolah adalah suatu keharusan demi terwujudnya keefektifan implementasi program.

B. Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dalam penelitian ini maka berikut ini adalah beberapa variabel yang akan menjadi fokus penelitian.
1. Efektivitas implementasi Lesson Study di sekolah pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS)
2. Perencanaan Lesson Study sebagai langkah awal pelaksanaan program Lesson Study yang dilakukan tim guru-guru yang bersangkutan dengan Kepala Sekolahnya
3. Pengawasan Lesson Study sebagai tindakan penilaian Kepala Sekolah sebagai pengawas internal
Bertolak dari latar belakang penelitian yang telah diungkapkan di atas dan fenomena yang telah dipaparkan bahwa perencanaan dan pengawasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan efektivitas implementasi Lesson Study, maka fokus penelitian ini didasari oleh beberapa permasalahan yang muncul dalam manajemen sekolah khususnya manajemen pelaksanaan program Lesson Study di sekolah pelaksana LSBS yang terjadi saat ini berkisar pada perencanaan, pengawasan dan pelaksanaannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan judul : Hubungan Kualitas Perencanaan dan Pengawasan Kepala Sekolah dengan Efekti vitas Implementasi Lesson Study (Studi Analitik Terhadap Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri Pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah di Kabupaten X). Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana hubungan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study?
2. Bagaimana hubungan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study?
3. Bagaimana hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah secara simultan dengan efektivitas implementasi Lesson Study?

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya
Penelitian ini berjudul "Hubungan Kualitas Perencanaan dan Pengawasan Kepala Sekolah dengan Efektivitas Implementasi Lesson Study". Untuk memberikan arahan yang jelas tentang maksud dari judul penelitian tersebut, perlu dijelaskan operasionalisasi variabel penelitian sebagai berikut.
1. Variabel bebas (X) atau disebut juga variabel prediktor adalah "variabel penyebab atau yang diduga memberikan suatu pengaruh atau efek terhadap peristiwa lain" (Sudjana, N. & Ibrahim, 1989 : 12). Variabel bebas dalam penelitian ini ada dua, yakni kualitas perencanaan LSBS (X1) dan pengawasan Kepala Sekolah (X2).
Variabel kualitas perencanaan LSBS terdiri dari beberapa aspek berikut :
1. Penyusunan tujuan
2. Metode/Teknik
3. Tingkat prioritas
4. Alokasi sumber daya/dana
5. Perumusan kriteria keberhasilan
6. Pembuatan revisi program
Sedangkan variabel pengawasan Kepala Sekolah terdiri dari beberapa aspek berikut :
1. Relevansi, yaitu kesesuaian pengawasan dengan tujuan efektivitas, efisiensi dan produktivitas.
2. Ketepatan, kesesuaian hasil pengawasan dengan standar penilaian.
3. Kejelasan, yaitu kejelasan tujuan pengawasan demi perbaikan dan pemecahan masalah.
4. Keadilan, kesesuaian pengawasan dengan job description dan dengan jadwal.
5. Akses, kesesuaian tugas mengawas oleh pihak yang berwenang selain Kepala Sekolah.
2. Variabel terikat (Y) atau disebut juga variabel respon, yakni "variabel yang ditimbulkan oleh variabel bebas" (Sudjana, N. & Ibrahim, 1989 : 12).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah efektivitas implementasi Lesson Study berbasis sekolah yang meliputi aspek berikut.
1. Kuantitas pekerjaan
2. Mutu pekerjaan
3. Pengetahuan pekerjaan
4. Kreativitas
5. Kooperatif
6. Keterkaitan
7. Prakarsa
8. Kualitas Pribadi

D.Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data empirik tentang besaran hubungan perencanaan dan pengawasan terhadap implementasi Lesson Study khususnya di sekolah pelaksana LSBS. Selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan untuk membuktikan hipotesis. Penganalisaan informasi dan data yang diperoleh dapat dijadikan bahan untuk pengembangan akademis pada level sekolah lain baik pelaksana LSBS maupun LS berbasis MGMP.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fenomena tentang :
a. Hubungan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.
b. Hubungan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.
c. Hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat dan kegunaan sebagai berikut :
a. Manfaat Teoretis
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang pendidikan yang berkenaan dengan manajemen pendidikan khususnya perencanaan dan pengawasan terhadap implementasi Lesson Study. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi lanjutan yang relevan terhadap pengembangan konsep peningkatan mutu tenaga pendidik dan pengembangan manajemen sekolah.
b. Manfaat Praktis
Hasil dari wawasan keilmuan tersebut dapat digunakan untuk upaya praktis diantaranya :
1. Perbaikan mutu implementasi Lesson Study di SMP terkait dalam menciptakan society learning yang berkesinambungan.
2. Perbaikan hubungan antara guru dan sesamanya, antara guru dan kepala sekolah dalam menuju iklim dan kultur sekolah yang kondusif.
3. Bahan perbandingan bagi para kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kinerja guru melalui Lesson Study dan pelaksanaan fungsi manajemen organisasi.
4. Bagi penulis sendiri, digunakan sebagai temuan awal untuk melakukan penelitian tentang model pengembangan kompetensi guru dan pelaksanaan fungsi manajemen organisasi.

F. Asumsi-Asumsi
Penelitian ini mempersoalkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi Lesson Study khususnya di sekolah pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah. Awal dari pemikiran bahwa efektivitas implementasi Lesson Study ini akan berjalan dengan baik di sekolah yang efektif. Mengutip pendapat Edmonds (1979) dalam buku The Principalship karya Lunenburg (2006 : 103) setidaknya ada tujuh dimensi yang berkorelasi menciptakan keefektifan sekolah berdasarkan riset yang ia kembangkan. "Edmond sets forth what he believed the research concluded were six (then seven) correlates for an Effective School : (1) clear and focused mission, (2) instructional leadership, (3) high expectation, (4) opportunity to learn and time on task, (5) frequent monitoring of student progress, (6) safe and orderly environment, dan (7) positive home-school relation. Lunenburg (2006) sangat setuju dengan pendapat Edmond bahwa sekolah yang efektif memiliki misi yang jelas, kepemimpinan yang kuat, target yang tinggi, memberikan kesempatan pembelajaran dan penugasan yang luas, memonitor kemajuan siswa secara rutin, memiliki lingkungan yang teratur dan aman, dan memiliki hubungan dengan lingkungan dan rumah dengan baik. Sejalan dengan pendapat mereka, lebih jauh lagi Danim, S. (2007 : 61) mengungkapkan beberapa kriteria yang menjadi ukuran dasar bagi sekolah yang efektif diantaranya mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas, menggunakan metode pembelajaran yang berbasis pada hasil penelitian dan mempunyai instrumen evaluasi yang terkait dengan standar yang telah ditentukan.
Dari pendapat para ahli tersebut peneliti menganggap bahwa Lesson Study sebagai program sekolah membutuhkan wadah yang tepat, yaitu sekolah yang efektif. Sekolah yang efektif dibangun oleh kesamaan visi pemimpin sekolah dan gurunya sehingga mereka bersama-sama sebagai perencana yang berkualitas di sekolahnya tersebut. Lebih jauh lagi sekolah yang efektif selalu melakukan pengawasan dan penilaian yang berkesinambungan baik oleh pemimpin sekolah, maupun petugas yang berwenang. Efektivitas pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah dibangun oleh perencanaan yang berkualitas dan pengawasan Kepala Sekolah yang berkesinambungan.

G. Hipotesis
Didasari oleh kerangka berpikir dan asumsi penelitian tersebut, diajukan hipotesis yang menunjukkan tentang "hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study" sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah
2. Terdapat hubungan yang signifikan pengawasan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas perencanaan dan pengawasan secara simultan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah

H. Metode dan Teknik Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan korelasional, dimana metode ini digunakan untuk menemukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian terhadap sampel penelitian.
Bentuk studi yang akan dikembangkan dan teknik pengurupulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah : (1) studi kepustakaan, (2) studi lapangan yang akan dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner. Angket tersebut akan disebarkan kepada guru-guru Sekolah Menengah Pertama Negeri pelaksana LSBS di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten X yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini akan dilakukan secara acak (simple random sampling), yaitu sebuah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota sampel.
Adapun teknik analisis data yang digunakan, Sugiyono (2008 : 215) karena menguji hipotesis asosiatif/hubungan yang datanya berbentuk interval maka diperlukan Korelasi Product Moment untuk menguji hipotesis hubungan antara satu variabel independen dengan satu variabel dependen dan Korelasi Ganda untuk menguji hipotesis tentang dua variabel independen atau lebih secara bersama-sama dengan satu variabel independen.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:44:00

EFEKTIVITAS KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM SISWA

Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan pelaporan penelitian membahas tentang latar belakang masalah yang menjadi titik tolak penelitian yaitu permasalahan self esteem pada siswa dan alasan peneliti menggunakan konseling Analisis Transaksional sebagai pendekatan untuk memperbaiki self esteem siswa. Selanjutnya bab ini juga membahas fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, asumsi, populasi, sampel, dan lokasi yang dipilih peneliti.

A. Latar Belakang Masalah
Self esteem diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan sebutan "harga diri", tetapi untuk menghindari pendangkalan makna, peneliti akan lebih sering menggunakan istilah "self esteem" dari pada istilah "harga diri", karena self esteem bukan sekedar membahas tentang sejauhmana takaran harga diri seorang manusia dihadapan manusia yang lain, tetapi maknanya lebih dalam dan lebih luas dari sebutan "harga diri", karena self esteem bermuara pada keyakinan dan mindset/po\a pikir, keyakinan seorang individu akan keberhargaan dirinya sehingga menimbulkan perasaan berharga dan layak untuk dihargai sebagai seorang pribadi. Dari keyakinan tentang keberhargaan dirinya, akan memunculkan perasaan berharga, kemudian akan bersikap dan berperilaku menuju keberhargaan yang diyakininya.

Seorang individu yang tampan/cantik, berprestasi, memiliki limpahan harta benda, berhasil menduduki jabatan yang prestisius, populer, dll, tidak serta merta dikatakan memiliki self esteem yang positif apabila individu tersebut melakukan atau mencapai semua itu dengan cara-cara yang tidak "fair". Keberhasilan atau kesuksesan seorang individu dalam sebuah pencapaian hidup hanya merupakan serpihan-serpihan kecil dari sebuah kerangka utuh bernama "self esteem ".

Terdapat dua kategori self esteem, yaitu self esteem positif (harga diri yang tinggi) dan self esteem negatif (harga diri yang rendah). Self esteem positif biasanya termanifestasikan pada saat individu mendapatkan penghargaan, menang dalam sebuah perlombaan, dapat memecahkan masalah yang rumit, berada pada posisi yang strategis secara sosial, memiliki kedudukan, mencapai puncak karir, memiliki kecantikan atau ketampanan, memiliki kekayaan atau kekuasaan, memiliki kemampuan dan keterampilan yang bisa dibanggakan. Intinya, individu akan merasa memiliki harga diri apabila mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Self esteem negatif biasanya muncul pada saat individu dihina dan direndahkan, hasil karya yang tidak diapresiasi oleh orang lain, menderita kebangkrutan, tidak mendapat pengakuan, dikucilkan dan ditolak secara sosial, memiliki cacat fisik, gagal dalam sebuah pencapaian, dan lain-lain. Secara umum Self esteem positif menguntungkan karena mengacu pada evaluasi diri, sedangkan Self esteem negatif menimbulkan perasaan negatif yang merugikan diri.

Remaja yang sedang dalam pencarian jati diri sering salah dalam memaknai harga diri dan mendapatkan porsi terbesar dari permasalahan yang diakibatkan oleh self esteem negatif. Untuk mendapatkan pengakuan sosial dari teman sebayanya, remaja sering terjebak dalam perilaku delinquency (kenakalan) yang malah menurunkan harga dirinya sendiri. Seperti menjadi pelacur karena ingin berpakaian bagus dan memiliki HP bam, mencontek untuk mendapatkan nilai bagus, merokok dan mencoba minuman keras karena khawatir dicap sebagai remaja yang tidak gaul, melakukan tindakan agresif untuk menunjukan otoritas dan eksistensi diri, seperti pemalakan dan tawuran.

Fenomena lain adanya remaja putri yang tergila-gila dengan penampilan dan menganggap dirinya berharga apabila memiliki tubuh langsing dan kulit putih, pada akhirnya melakukan berbagai macam cara demi untuk mendapatkan bentuk tubuh ideal yang diimpikan, misalnya dengan melakukan diet ketat yang tidak sehat, mengkonsumsi obat pelangsing dan menggunakan kosmetika yang membahayakan dirinya. Sebagaimana hasil penelitian William, et al. (1993) yang menyimpulkan bahwa remaja yang memiliki self esteem negatif tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya. Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan Wadden (2002) yang menyebutkan remaja dengan self esstem negatif menderita penyakit kelainan makan, seperti bulimia dan anorexia.

Self esteem positif memainkan peranan yang penting dalam kehidupan individu. Tetapi yang perlu dicermati adalah self esteem negatif (harga diri yang rendah), karena akan menimbulkan kecemasan dan perasaan tidak nyaman. Fuller dalam risetnya (http : //mentalhealth.samsha.gov/publications/allpubs/sma-3715/things.asp) menyebutkan beberapa konsekuensi yang muncul akibat harga diri rendah (Low self esteem), yaitu : munculnya kecemasan (anxiety), mudah stress, merasa hampa dan kesepian, meningkatkan resiko depresi, mengalami permasalahan dalam relationship, disfungsi sexual. Herer & Holzapfel (1993), menggambarkan pengaruh self esteem negatif yang dapat merusak prestasi akademik dan karir, ketidaktercapaian, meningkatkan resiko terhadap penyalahgunaan obat dan alkohol.

Individu yang memiliki gambaran self esteem negatif sering merasa bahwa dirinya tidak kompeten, tidak cantik/tampan dan tidak berarti, memiliki pandangan bahwa dirinya tidak layak untuk dicintai, tidak pintar, tidak sanggup melanjutkan hidup, merasa tertekan dan tidak berdaya, selalu berpikir gagal sebelum mencoba, mudah sekali putus asa dan menyerah. Hasil penelitian Roese dan Pennington (2002) menyimpulkan bahwa individu yang memiliki self esteem negatif sering menerima sikap diskriminatif dari orang yang ada di sekitarnya.

Sebaliknya individu yang memiliki gambaran self esteem positif, diyakini memiliki kehidupan yang lebih bahagia, kepribadian yang menarik, merasa diri lebih populer dan bangga dengan semua ketercapaian dalam hidupnya. Self esteem yang tinggi merupakan bagian dari ego yang sehat. Ego biasa didefinisikan sebagai identitas, individualitas, pusat kesadaran, jiwa atau diri. Dengan kata lain, harga diri diperlukan sebagai pertanda jiwa yang sehat. Individu yang memiliki self esteem positif percaya bahwa dalam dirinya terdapat nilai-nilai dan potensi yang unik lagi berharga. Memiliki keyakinan bahwa dirinya penting dan merupakan bagian dari kehidupan ini. Optimisme secara sederhana dipandang sebagai keterampilan kognitif untuk memberi makna baik atau buruk pada lingkungan, sedangkan self esteem merupakan cara individu memberi makna baik atau buruk pada dirinya. Hal ini akan menghasilkan daya gerak yang luar biasa yang mendorong manusia untuk mengusahakan yang terbaik, sehingga mampu mempersembahkan karya terbaik sepanjang hidupnya.

Self esteem juga berhubungan erat dengan faktor kepribadian dan faktor fsikologis dalam penyalahgunaan NAPZA (Shield, 1976; Jessor dan Jessor, 1977; Wienfield, dkk, 1989; Brook dan Brook, 1990; Hawaii, 1991). Faktor kepribadian ini dapat dibedakan menjadi aspek intrapersonal, interpersonal dan kognitif (Olson, dkk, dalam Brown&Lent,1992). Aspek intrapersonal yang diidentifikasi berperan penting dalam penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah rendahnya harga diri remaja (Gorsuch dan Butter, 1976 : Sield, 1976). Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa remaja dengan harga diri rendah merasa dirinya terasing, tertekan dan kurang memiliki keberanian untuk berbuat sesuatu. Mereka cenderung lebih cemas, mudah depresi, pesimis akan masa depannya dan mudah gagal. Selanjutnya remaja dengan ciri-ciri tersebut mudah mendapat pengaruh dari lingkungannya untuk mengkonsumsi NAPZA.

Remaja yang memiliki harga diri rendah memilih menggunakan NAPZA sebagai sarana untuk mengembalikan kestabilan emosinya, sehingga menimbulkan rasa aman pada diri mereka. Hal ini terbukti pada penelitian tes Skager dan Kerst (1989) menyimpulkan bahwa remaja yang menggunakan mariyuana merasakan perubahan positif pada harga dirinya. Demikian juga pada pemakai kokain merasa meningkat dalam keyakinan diri dan hubungan sosialnya ketika dalam keadaan memakai. Individu yang memiliki self esteem positif, umumnya merasa lebih bahagia, bebas dari simptom psikosomatis, sukses dan adaptif dalam situasi yang dapat menimbulkan stres (Brehm dan Kassin, 1990).

Sigal dan Gould (dalam Brehm dan Kassin, 1990) menggambarkan individu yang memiliki self esteem positif akan selalu termotivasi untuk berperilaku baik, termasuk tidak melibatkan diri dalam penyalahgunaan NAPZA karena memahami efek negatif zat tersebut yang dapat merusak kehidupannya.

Pentingnya pemenuhan kebutuhan harga diri individu, khususnya pada kalangan remaja, terkait erat dengan pengaruh dan dampak self esteem negatif. Karena remaja akan mengalami kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya, merasa inferior dan canggung. Namun apabila kebutuhan harga diri mereka dapat terpenuhi secara memadai, kemungkinan remaja akan memperoleh kesuksesan dalam lingkungan sosialnya, tampil dengan kayakinan diri (self-confidence) dan merasa dirinya memiliki nilai. (Jordan et. al. 1979).

Gambaran hasil riset yang telah disampaikan, menjelaskan tentang pentingnya penanganan atau bantuan pada siswa yang memiliki self esteem negatif. Sehingga diperlukan perhatian dan penanganan khusus dari tenaga pengajar, serta konselor. Penanganan yang ada tersebut harus mampu menetralisir berbagai penyebab self esteem negatif dan mengembangkannya menjadi self esteem positif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan Konseling Analisis Transaksional. Sebagai salah satu teknik psikoterapi dalam konseling.

Analisis Transaksional merupakan satu pendekatan psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. Analisis transaksional dapat dipergunakan dalam konseling individual, tetapi lebih diutamakan untuk konseling kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian, tujuan dan arah proses konseling dikembangkan sendiri oleh konseli, dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru untuk kemajuan hidupnya sendiri. Gringkers mengemukakan pandangannya bahwa hakikat hidup manusia selalu ditempatkan dalam interaksi dan interrelasi sebagai dasar bagi pertumbuhan dirinya.

Analisis Transaksional digunakan untuk menganalisis atau menemukan pola mana saja yang berperan dalam sulit atau mudahnya proses transaksi/komunikasi. Analisis transaksional mengikuti teori psikoanalisis Sigmund Freud dan penemuan kerja otak dari Broca dan W. Penfield antara aktivitas otak dan perilaku manusia. Menurut Penfield, otak manusia sejak bayi sudah mampu merekam berjuta-juta pengalaman tentang perasaan, pandangan, sikap, perilaku, dan lain-lain. Pengalaman yang tertanam sejak bayi hingga dewasa ini untuk selanjutnya disebut sebagai egostate.

Berne mengelompokkan rekaman pengalaman tersebut menjadi kelompok pesan-pesan norma Orang Tua (egostate Orang Tua) dan kelompok reaksi perasaan Anak (egostate Anak). Kedua egostate tersebut dalam keseharian berebut untuk tampil dalam proses komunikasi. Sulit untuk melepaskan diri sepenuhnya dari kedua egostate tersebut, apalagi egostate tersebut sebenarnya adalah rekaman perbendaharaan mengenai berbagai cara yang individu lakukan dalam menghadapi/menyelesaikan masalah, entah itu berhasil atau tidak. Berne menawarkan alternatif cara untuk menyadari egostate tersebut untuk mengontrol dan mengendalikannya sepenuhnya. Egostate tersebut adalah egostate dewasa. Individu yang sehat adalah mereka yang mampu menggunakan egostatenya sesuai dengan situasi dan kondisi, yaitu ketika egostate dewasa dalam posisi dominan sehingga mampu memilih egostate mana yang sesuai dengan situasi tertentu. Egostate orang tua adalah bahasa tentang nilai-nilai, egostate dewasa adalah bahasa logika dan rasionalitas, sedangkan egostate anak adalah bahasa emosi.

Terdapat beberapa alasan, kenapa konseling analisis transaksional dipilih oleh penulis sebagai salah satu pendekatan untuk memperbaiki self esteem.
1. Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan, melainkan merupakan serangkaian putusan dan pilihan.
2. Analisis Transaksional menekankan aspek-aspek kognitif rasioanl behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya yang keliru.
3. Analisis Transaksional merupakan terapi kontraktual dan desisional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh konseli yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi.
4. Analisis Transaksional fokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh konseli dan menekankan kemampuan konseli untuk membuat putusan-putusan baru yang lebih sesuai.
5. Analisis Transaksional memandang bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
6. Analisis Transaksional merupakan metode rasional yang dapat menganalisis dan memahami pikiran, perasaan, dan perilaku orang, dengan berbasiskan teori psikologis yang mudah dipahami.
7. Analisis Transaksional merupakan teknik konseling yang berkaitan dengan beragam budaya dan merupakan teknik konseling yang efektif, psikologi informasi dan psikiatri berbasis komunikasi manusia. Sehingga transaksi antarpribadi yang kompleks dapat dengan mudah dipahami.
8. Analisis Transaksional merupakan psikologi sosial dan metode komunikasi.
Teori yang menguraikan bagaimana cara mengembangkan dan memperlakukan diri sendiri, bagaimana berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain, menawarkan saran dan intervensi yang memungkinkan individu untuk berubah dan berkembang.

B. Fokus Penelitian
Penelitian ini diarahkan untuk mengungkapkan permasalahan self esteem siswa dan melakukan pengkajian secara lebih mendalam dan menyeluruh terhadap efektivitas layanan konseling di sekolah menggunakan pendekatan konseling Analisis Transaksional. Dari penelitian ini diharapkan dapat tersusunnya suatu model pendekatan konseling Analisis Transaksional terhadap siswa yang memiliki permasalahan self esteem. Dari penelitian ini diharapkan siswa dapat mengenali kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, memandang dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan layak untuk disejajarkan dengan orang lain.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang dan fokus masalah, maka peneliti merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Seperti apa gambaran self esteem pada siswa SMAN X Kabupaten X?
2. Apa yang menjadi latar belakang munculnya permasalahan self esteem pada siswa SMAN X Kabupaten X?
3. Apakah konseling Analisis Transaksional dapat memperbaiki self esteem siswa SMAN X Kabupaten X?

D. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model konseling untuk meningkatkan self esteem siswa melalui pendekatan konseling Analisis Transaksional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memperoleh gambaran secara umum tentang self esteem siswa SMAN X Kabupaten X.
2. Memperoleh data emprik tentang penyebab atau latar belakang siswa yang memiliki permasalahan self esteem negatif di SMAN X Kabupaten X.
3. Menguji efektivitas konseling Analisis Transaksional terhadap siswa SMAN X yang memiliki permasalahan self esteem.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada siswa mengenai self esteem positif. Sehingga siswa dapat mengenal lebih dalam tentang dirinya, memiliki gambaran bagaimana seharusnya memberi penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan pribadi dan dapat mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.
2. Bagi sekolah
Bagi sekolah penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atau jalan keluar dalam upaya mengembangkan potensi dan memandirikan siswa
3. Bagi guru Bimbingan dan Konseling dan pihak lainnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada guru Bimbingan dan Konseling tentang permasalah self esteem yang dialami siswa di SMAN X Kabupaten X. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu strategi bagi guru Bimbingan dan Konseling di SMAN X Kabupaten X dalam memberikan layanan konseling terutama dalam meningkatkan self esteem negatif menjadi self esteem positif.
4. Bagi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan (alternatif pemecahan masalah) bagi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten X sebagai pengambil kebijakan dalam upaya membantu siswa berkembang dengan kondisi kejiwaan yang sehat di Sekolah Menegah Atas.
5. Bagi akademisi dan para peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi serta kajian bagi pengembangan penelitian selanjutnya.

F. Asumsi Penelitian
1. Self esteem diyakini menjadi akar masalah disfungsi sosial individu dan merupakan aspek kepribadian yang paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta penentuan tujuan hidup. (Nathaniel Branden, 1994 : 5-12).
2. Self esteem sebagai variabel independen yang kuat (kondisi, penyebab, faktor) dalam asal-usul masalah utama sosial. (Smelser, 1989)
3. Self esteem negatif dapat menimbulkan kecemasan (anxiety), mudah stress, merasa hampa dan kesepian, meningkatkan resiko depresi, mengalami permasalahan dalam relationship, dan disfungsi sexual. (Fuller, http://mentalhealth.samsha.gov/publications/allpubs/sma-3715/things.asp).
4. Konseling Analisis Transaksional dipandang sebagai salah satu pendekatan yang cocok untuk memperbaiki self esteem, karena menekankan aspek-aspek kognitif rasioanal behavioral dan berorientasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya yang lebih sesuai. (Gerald Corey, 2009).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 19:41:00