Cari Kategori

SKRIPSI IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN X (STUDI PADA DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL)

(KODE FISIP-AN-0007) : SKRIPSI IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN X (STUDI PADA DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia mempakan salah satu negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia memiliki persebaran yang tidak merata. Berbagai masalah yang mempakan akibat dari persebaran penduduk yang tidak merata kerap kali muncul dan mendesak pemerintah untuk dapat sesegera mungkin bertindak untuk mengambil sebuah kebijakan.
Disamping itu, faktor pertumbuhan penduduk yang besar dengan persebaran tidak merata serta rendahnya kualitas penduduk juga menjadi sumber permasalahan yang berkaitan dengan kependudukan di Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan tidak merata serta tanpa diimbangi dengan pencapaian kualitas SDM yang tinggi mengakibatkan muculnya berbagai permasalahan-permasalahan kependudukan yang antara lain adalah : kemiskinan, kesehatan, pengangguran.
Menyikapi berbagai permasalahan itu pemerintah berusaha memperoleh data tentang kependudukan di Indonesia yang akurat untuk mampu membuat pemetaan yang tepat guna menanggulangi masalah kependudukan baik di tingkat lokal dan nasional. Data tersebut diperlukan untuk mampu membuat sebuah program dalam rangka: pengendalian jumlah dan pertumbuhan penduduk, pemerataan persebaran penduduk. (http://www.crayonpedia.org/mw)
Tetapi hingga saat ini perolehan data kependudukan di Indonesia masih sangat tergantung pada hasil sensus dan survei atau data administrasi yang diperoleh secara periodik dan masih bersifat agregat (makro). Kebutuhan data mikro penduduk untuk identifikasi calon pemilih pemilu, penyaluran dana jaringan pengaman sosial, bantuan untuk penduduk miskin, beasiswa untuk wajib belajar dan kegiatan perencanaan pembangunan dirasakan masih belum akurat karena tidak diperoleh dengan cara registrasi. Atas dasar pertimbangan tersebut maka diperlukan petunjuk pencatatan dan pemutakhiran biodata penduduk.
Pengelolaan pendaftaran penduduk merupakan tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten, dimana dalam pelaksanaannya diawali dari desa/kelurahan selaku ujung tombak pendaftaran penduduk, hingga setiap warga terdaftar secara administrasi sebagai warga negara Indonesia dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Dalam pelayanan tersebut perlu dilakukan dengan benar dan cepat agar penduduk sebagai pelanggan merasa dapat pelayanan yang memuaskan.
Sebagai salah satu langkah untuk membantu berbagai pekerjaan mengenai pendaftaran kependudukan yang sesuai dengan berbagai standar yang diperlukan maka pemerintah mulai membuat sebuah kebijakan dengan mengadakan program yang dahulu dikenal dengan Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (SIMDUK) yang dibuat sekitar tahun 1996. SIMDUK adalah sebuah kebijakan yang diterapkan di daerah kabupaten/kota, dan ditujukan untuk menangani status kependudukan dengan segala perubahannya. SIMDUK itu sendiri merupakan suatu aplikasi untuk mengelola data kependudukan daerah yang meliputi Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran, Sensus Penduduk, dan Demografi Penduduk. Aplikasinya dapat digunakan untuk mengelola data kependudukan pada kecamatan atau kelurahan yang lokasinya terpisah, akan tetapi karena didasarkan pada basis internet maka dapat dikumpulkan di satu titik yaitu Internet Data Center. (www.telematika.co.id/?link=dtl&38)
Pada pelaksanaannya di lapangan ternyata didapati berbagai kelemahan SIMDUK sebagai sebuah sistem untuk mengelola data kependudukan. Dimana masih banyak terdapat pemalsuan identitas karena disebabkan kurang detailnya data-data mengenai penduduk. Seperti yang terdapat di ibukota Jakarta, ditemukannya berbagai identitas ganda dengan nomor identitas yang berbeda pula. (www.okezone.com)
Berdasarkan berbagai evaluasi terhadap kebijakan SIMDUK ini pemerintah merasa perlu menggantinya dengan sebuah kebijakan yang baru. Kebijakan baru itu tentunya juga lebih menjawab segala kebutuhan yang diperlukan untuk melengkapi data kependudukan. Untuk membantu berbagai pekerjaan mengenai pendaftaran kependudukan yang sesuai dengan berbagai standar yang diperlukan maka pemerintah merumuskan sebuah kebijakan baru yaitu Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). SIAK merupakan suatu sistem informasi berbasis web yang disusun berdasarkan prosedur-prosedur dan memakai standarisasi khusus yang bertujuan menata sistem administrasi dibidang kependudukan sehingga tercapai tertib administrasi dan juga membantu bagi petugas dijajaran Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kependudukan didalam menyelenggarakan layanan kependudukan.
SIAK bisa menjadi solusi dari masalah kependudukan yang ada. Dengan adanya pengelolaan data secara online maka kelemahan-kelemahan pengolahan data secara konvensional dapat ditekan. SIAK sendiri memberikan banyak manfaat antara lain, hasil perhitungan dan pengelolaan data statistik tersebut dapat digunakan sebagai bahan perumusan dan penyempurnaan kebijakan, strategi dan program bagi penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan di bidang kualitas, kuantitas, dan mobilitas penduduk, serta kepentingan pembangunan lainnya. (http://www.ampmulti.com/index.php/siak)
Pada dasarnya sistem administrasi kependudukan merupakan sub sistem dari sistem administrasi negara, yang mempunyai peranan penting dalam pemerintahan dan pembangunan. Penyelenggaraan administrasi kependudukan diarahkan pada pemenuhan hak asasi setiap orang di bidang pelayanan administrasi kependudukan, pemenuhan data statistik kependudukan secara nasional, regional, dan lokal serta dukungan terhadap pembangunan sistem administrasi kependudukan guna meningkatkan pemberian pelayanan publik tanpa diskriminasi.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 pasal 13 tentang Nomor Induk Kependudukan maka pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan abru yang tertuang dalam PP Nomor 37 Tahun 2007 yang memuat tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Di Kabupaten X sendiri program ini dilaksanakan berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2009. X merupakan salah satu daerah yang telah menerapkan sistem ini. Perda Nomor 2 Tahun 2009 berisi tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Kabupaten X. Salah satu latar belakang dibuatnya sistem ini tentunya untuk mampu melakukan pemetaan yang tepat tentang komposisi penduduk X, kepadatan penduduk, masalah kemiskinan yang dihadapi penduduk di pelosok, serta melihat kemajuan apa yang telah mampu dicapai oleh pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan kesehatan X. Tentunya tujuan ini perlu koordinasi dengan dinas lain yang bersangkutan. SIAK diharapkan mampu memberikan Nomor Induk Penduduk yang telah terdaftar di Depdagri untuk memudahkan pemerintah pusat dan daerah guna melihat permasalahan penduduk yang ada serta menjaga agar proyek pembangunan di daerah memang telah tepat sasaran. Namun hingga saat ini masih ada masyarakat X yang belum memiliki nomor induk penduduk tersebut, sehingga masih banyak masyarakat yang belum masuk hitungan ataupun perkiraan dapat dibantu oleh pemerintah. Selain itu masyarakat yang terdapat di wilayah pelosok Kabupaten X sering kali belum terjangkau pelayanan publik yang disediakan pemerintah daerah seperti kesehatan dan pendidikan sehingga belum tercapai standar pelayanan minimal yang menjadi tanggung jawab pemerintah. (http://www.hariansib.com)
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang implementasi program SIAK secara langsung di lapangan yang meliputi tahapan-tahapannya, manfaat, permasalahan dan hasil yang diperoleh oleh masyarakat. Oleh karena itu penulis mengangkatnya ke dalam sebuah penelitian yang berjudul Implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten X.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah: "Bagaimana Implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten X?"

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban terhadap perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, yakni untuk:
1. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang dialami dalam Implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat tersebut adalah:
1. Manfaat secara ilmiah
Untuk menambah khasanah pengetahuan ilmiah didalam studi administrasi dan pembangunan umumnya dan pembangunan bidang pelayanan publik pada khususnya dengan implementasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Dapat dijadikan sebagai kontribusi terhadap pemecahan permasalahan yang terkait dengan operasional Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).
b. Sebagai masukan baru bagi para penulis maupun dalam literatur perpustakaan yang berkaitan dengan masalah-masalah studi administrasi dan pembangunan.
3. Manfaat secara akademis.
Sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian studi strata-1 di Depatemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.

1.5 Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, defenisi konsep, defenisi operasional, dan sistematika penulisan.
Bab II: Metode Penelitian
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi, dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
Bab III: Deskripsi Lokasi Penelitian
Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian.
Bab IV: Penyajian Data
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisa, serta memuat pembahasan atau interpretasi dari data-data yang disajikan pada bab sebelumnya.
Bab V : Analisa Data
Bab ini berisi analisa dari hasil dilapangan dan dokumentasi.
Bab VI: Penutup
Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang telah dilakukan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:52:00

SKRIPSI IMPLEMENTASI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN

(KODE FISIP-AN-0006) : SKRIPSI IMPLEMENTASI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia sejak tahun 1997 telah membawa dampak yang sangat luas bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, dan aspek lainnya. Krisis ini telah membawa penderitaan bagi bangsa Indonesia, terutama bagi masyarakat miskin yang semakin miskin, ditambah lagi utang luar negeri yang sangat besar yang merupakan warisan dari pemerintahan Orde Baru.
Jika dilihat dari sudut pandang politik dan ketatanegaraan melalui sistem sentralisasi dan hegemoni negara atas seluruh aspek kehidupan bernegara, kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru diarahkan secara strategis sebagai upaya penaklukan dan stabilitas yang tercantum dalam Trilogi Pembangunan. Pada masa ini dapat dikatakan hanya mempersiapkan struktur kekuasaan hirarkis yang menguasai satuan-satuan kewilayahan dan wilayah privat atau pribadi.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pembangunan tidak didasarkan pada permasalahan strategis rakyat, melainkan atas dasar kebutuhan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui suatu regulasi terpusat yang komprehensif dan bertahap. Pertumbuhan ekonomi nasional diharapkan mampu menetes ke daerah-daerah dengan sendirinya {tricle down effect). Kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru di atas merupakan suatu indikator atau penyebab terjadinya krisis multidimensional yang dialami bangsa Indonesia.
Dampak dari krisis yang dialami bangsa Indonesia sejak tahun 1997 yang paling nyata yakni kehidupan masyarakat miskin yang semakin miskin. Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya permasalahan ekonomi tetapi lebih bersifat multidimensional dengan akar permasalahan terletak pada sistem ekonomi dan politik bangsa. Dimana kebijakan yang ditetapkan pemerintah terkadang malah membuat hidup masyarakat makin terasa sulit dari segi ekonomi khususnya, sehingga mereka tidak memiliki akses yang memadai dalam kehidupan sehari-hari. Yang sering terjadi ketika kelompok masyarakat hidup dalam bayang-bayang kemiskinan, mereka menjadi terpinggirkan, bahkan terabaikan.
Kemiskinan merupakan permasalahan yang harus segera tuntas karena keadaan kemiskinan membuat bangsa Indonesia menjadi lemah dan tidak bermartabat. Kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia sejak periode 1996-2006 mengalami beberapa fluktuasi, yaitu tampak pada tabel di bawah ini;

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Dari tabel garis kemiskinan dan penduduk miskin di atas, dapat kita lihat bahwa persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun mengalami penurunan, namun kalau dilihat dari segi kuantitas atau jumlah masyarakat, baik di desa maupun di kota terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang semakin luas antara yang miskin dengan yang kaya, sebab seperti yang telihat dalam tabel di atas laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Dalam masa krisis masyarakat miskin sangat sulit untuk bangkit karena ketidakberdayaan masyarakat itu sendiri. Hal ini khususnya terjadi pada masyarakat pedesaan, karena potensi yang ada pada masyarakat desa umumnya lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat kota, terutama dari segi sumber daya manusianya sehingga masyarakat desa tidak memiliki kemampuan yang baik untuk membangun walaupun didukung sumber daya alam yang melimpah.
Masalah kemiskinan hanya dapat di tuntaskan apabila pemerintah melakukan kebijakan serius yang memihak kepada masyarakat miskin. Namun kebijakan yang dibuat justru sering kali kurang memihak kepada masyarakat miskin, sehingga semakin memperburuk kondisi masyarakat miskin bahkan menyebabkan seseorang yang tidak miskin menjadi miskin. Dan pada dasarnya, permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun pada kenyataannya, penanganan selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat pada umumnya juga belum optimal, terutama pada kawasan pedesaan. Kerelawanan social dalam kehidupan masyarakat yang dapat menjadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan juga mulai luntur. Untuk itu diperlukan perubahan yang bersifat sistematik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Selama ini, banyak program pembangunan dari pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kasus kemiskinan. Program tersebut seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), Raskin, Kompensasi BBM, dan Iain-lain. Namun dari program-program tersebut tidak ada yang efektif, karena masyarakat hanya menerima bantuan langsung dan tidak ada partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kondisi kehidupan mereka.
Yang menjadi salah satu permasalahan dalam pembangunan adalah isu jender, dimana peranan perempuan agak dikesampingkan sehingga mereka tdak dapat menyalurkan potensi yang mereka miliki terutama untuk peningkatan taraf hidup mereka. Selama ini yang terjadi adalah kondisi sosial yang sangat menonjolkan peran laki-laki. Laki-laki dianggap kaum yang derajatnya lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga laki-laki memiliki hak yang lebih besar baik dalam mengatur rumah tangga, memperoleh pendidikan, mengeluarkan pendapat, maupun dalam pengambilan keputusan. Hal ini tentunya menyebabkan perempuan menjadi kaum marjinal yang selalu terpinggir dan tergusur.
Emansipasi wanita yang selama ini terkondisi sedikit banyak membantu perempuan untuk tetap eksis, akan tetapi perempuan masih saja terikat kepada norma-norma patriarkhi yang sangat mengikat dan membuat wanita harus berusaha ekstra keras untuk mendapat posisi dan menjadikan tugas dan peranan yang banyak. Permasalahan gender sebenarnya bertumpu pada ketidaksetaraan dan ketidakadian peran dan beban antara laki-laki dengan perempuan sehingga menghambat proses pembangunan yang berakhir pada kemiskinan.
Jadi salah satu cara untuk mencapai pembangunan yang baik dalam pengentasan kemiskinan adalah dengan memberdayakan perempuan dan adanya kesetaraan peranan dan beban antara laki-laki dengan perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Menjawab tantangan tersebut, dalam penanganan masalah kemiskinan yang dialami masyarakat Indonesia dengan cara melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat tersebut, maka presiden telah mengeluarkan Perpres No. 54 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), yang bertugas untuk merumuskan langkah-langkah kongkrit dalam penanggulangan kemiskinan. Pada sidang kabinet tanggal 7 September 2006, presiden menetapkan kebijakan pemerintah untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja melalui pemberdayaan masyarakat. Pada tanggal 12 September 2006 Menko Kesra, Menko Perekonomian dan menteri-menteri terkait sepakat "Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)" sebagai instrumen dalam percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja.
Ditindaklanjuti Menkokesra mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk alokasi dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat), Mendagri minta Gubernur, Bupati/Walikota menyampaikan usulan lokasi, Bappenas merancang pendanaam PNPM. Presiden RI kemudian menyempurnakan nama PNPM menjadi PNPM-Mandiri.
Dalam pelaksanaannya, banyak daerah yang menjadi sasaran PNPM-Mandiri baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. PNPM Mandiri Perkotaan merupakan program untuk pemberdayaan masyarakat kota yang lebih di kenal dengan P2KP, sedangkan untuk masyarakat desa dinamakan PNPM Mandiri Pedesaan.
Seiring dengan pelaksanan PNPM Mandiri Pedesaan, Desa X merupakan salah satu desa yang menjadi target dari PNPM Mandiri Pedesaan, yang terletak di Kecamatan X, Kabupaten X. Desa X memiliki potensi alam yang cukup baik untuk peningkatan ekonomi masyarakatnya. Dengan kehadiran PNPM Mandiri Pedesaan, kemampuan masyarakat dalam mengolah sumber daya alam tersebut seyoigianya akan semakin baik, sehingga berpengaruh pula terhadap peningkatan taraf hidup masyarakatnya.
Di Desa X telah dibentuk suatu program yang bernama Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan yang ada di desa tersebut. Simpan Pinjam Perempuan ini dibentuk seiring hadirnya PNPM Mandiri.
Dalam pelaksanaan PMPN MP secara umum masalah yang sering terjadi yang menyebabkan pelaksanaan PNPM MP tidak berjalan dengan baik yakni adanya kendala pada rendahnya partisipasi dari masyarakat yang terlibat di dalamnya, kemudian pelaksanaan yang tidak sesuai dengan Petunjuk Teknis Operasional (PTO).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (Studi Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa X”

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : "Bagaimanakah Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Pada Simpan Pinjam Perempuan/SPP di Desa X?"

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yakni:
1. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan Pada Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di Desa X
2. Untuk mengetahui partisipasi perempuan dalam Kelompok Simpan Pinjam Perempuan di Desa X.
3. Untuk mengetahui isu gender yang terjadi dalam pelaksanaan PNPM MP di Desa X.
4. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam implementasi Kelompok Simpan Pinjam Perempuan Di Desa X.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Secara subyektif, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama perkuliahan di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas X.
2. Secara akademis, sebagai referensi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik dalam bidang ini.

1.5. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan, teknik pengumpulan data, dan teknik pengumpulan data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini memuat gambaran lokasi penelitian berupa sejarah singkat, visi, misi dan struktur organisasi.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang dianalisis.
BAB V ANALISA DATA
Bab ini memuat pembahasan atau interpretasi data-data yang ada pada bab sebelumnya.
BAB VI PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian yang dilakukan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:50:00

SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN KEDEWASAAN DENGAN KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN X

(KODE FISIP-AN-0005) : SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN KEDEWASAAN DENGAN KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak 1998 reformasi bergulir, kebijakan politik di tanah air mengalami perubahan. Yang paling nyata adalah perubahan model pemerintahan dari sistem sentralisasi menuju desentralisasi. Perubahan kebijakan tersebut sudah barang tentu menjadi harapan besar bagi masyarakat agar membawa 'angin segar' dalam rangka peningkatan kesejahtraan dan perkembangan demokratisasi di level lokal.
Memang sejak Orde Baru berkuasa, posisi lembaga-lembaga politik publik (DPR/DPRD), mengalami penurunan dari sisi peran dan fungsi. Ketidakberdayaan lembaga wakil rakyat saat itu, membuat keberadaannya tidak bisa berfungsi secara maksimal dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Kondisi ini sudah tentu sangat tidak menguntungkan posisi rakyat secara keseluruhan, karena DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota lebih 'fasih' memainkan peran ideologi kekuasaan dari pada ideologi publik yang diwakilinya.
Sementara itu di era Otonomi Daerah yang sekarang diterapkan sesuai dengan UU No.32 taun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi perubahan. Berbeda dengan berbagai undang-undang pemerintahan daerah yang pernah disusun, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah maka era otonom memilih keseimbangan diantara keduanya. Oleh karena itu, UU No.32 Tahun 2004 dapat disebut sebagai UU yang menggunakan prinsip desentralisasi berkeseimbangan (equilibirium decentralization).
Adapun perbedaan itu adalah :
- UU Nomor 5 tahun 1974 memberikan peranan lebih dominan pada pemerintah daerah
- UU Nomor 22 tahun 1999 memberikan peranan lebih dominan pada DPRD
- UU Nomor 32 tahun 2004 memberikan peranan yang berimbang antara susunan pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) sebagai keseimbangan secara vertikal, maupun keseimbangan antara kepala daerah dan DPRD sebagai keseimbangan secara horisontal.
Prinsip desentralisasi berkeseimbangan sebenarnya justru yang paling sesuai dengan falsafah negara Pancasila menggunakan pendekatan "menang-menang" (win-win approach) dalam pengambilan keputusan ataupun memecahkan masalah, seperti tersirat pada sila keempat yakni "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Melalui desentralisasi berkeseimbangan dapat dilakukan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom secara proporsional dengan mempertimbangkan nilai-nilai efektifitas, efisiensi, keadilan dan kesetaraan, ekonomik serta nilai demokrasi. Dalam bidang urusan pemerintahan yang dialokasikan kepada setiap entitas pemerintahan, sudah tergambar adanya tugas, wewenang, serta tanggung jawab.
Melalui desentralisasi berkeseimbangan, dilakukan pembagian fungsi yang jelas antara kepala daerah dan DPRD. Dalam pengertian desentralisasi terkandung adanya penyerahan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah. Kewenangan mengatur yang diwujudkan dalam bentuk membuat peraturan daerah sudah seharusnya lebih banyak dijalankan oleh DPRD, sedangkan kepala daerah lebih banyak menjalankan kewenangan mengurus yang bersifat implementasi dari kewenangan mengatur. Oleh karena itu sekarang ada perubahan yang cukup signifikan dimana keberadaan legislatif tidak bisa dipandang sebelah mata oleh jajaran pihak eksekutif, terutama dalam perumusan kebijakan publik. Legislatif (DPRD) sebagai bagian dari sistem pemerintahan daerah merupakan representasi yang mewakili kepentingan publik seharusnya dan sewajarnya lebih terlibat dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan.
Keterlibatan legislatif dalam perumusan kebijakan publik harus dimulai dari proses identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat yang perlu diprioritaskan penanganannya. Perencanaan, penganggaran, proses monitoring dan evaluasi hasil-hasilnya. Namun, sekalipun era Otonomi Daerah membuka keleluasaan yang cukup besar bagi para anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, akan tetapi tanpa diikuti oleh kualitas sumber daya manusia yang bermutu, maka kualitas produk yang dihasilkan DPRD belum tentu mencerminkan kehendak dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan, bahkan bisa 'berseberangan' dengan aspirasi masyarakat. Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa persyaratan menjadi anggota DPRD adalah pendidikan minima SLTA dan atau sederajat. Karena itulah ada tuntutan dari masyarakat agar para anggota DPRD mampu meningkatkan kualitasnya, baik dari segi pendidikan dan pengalaman yang tentunya akan berdampak terhadap daya kritis, dan sensitifitas terhadap kasus-kasus publik. Dimana hal ini akan berujung ke unsur yang kita sebut kedewasaan atau kematangan.
Pendidikan minimal SLTA atau sederajat diharapkan bisa menjadi salah satu syarat yang membuktikan tingkat kematangan seorang anggota DPR/DPRD baik secara intelektual dan emosional. Kematangan /kedewasaan yang diperoleh lewat adayana pendidikan akan mempengaruhi cara seorang anggota legislatif menyikapi permasalahan/isu publik serta bagaimana mereka menerjemahkan ke dalam suatu kebijakan publik.
Jika dikaitkan antara kinerja anggota legislatif dan kematngan mereka, kita mungkin masih teringat apa yang pernah dikatakan oleh Aim. Gusdur yang mengatakan bahwa anggota DPR itu seperti Taman Kanak-kanak. Namun ternyata ucapan Gusdur tersebut saat ini bukan hanya cocok untuk pernyataan terkait suap tapi juga dalam hal pandai bertengkar dan adu jotos dalam ruang sidang. Anggota DPR saling adu jotos dan bertengkar bukan satu-dua kali terjadi, tapi terlalu sering kita lihat dalam berbagai kesempatan. Dan terakhir adalah kemarin saat dilaksanakanya sidang paripurna terkait kasus Bank Century yang terjadi kericuhan karena banyaknya hujan interupsi dan kemudian ditambah lagi dengan sikap otoriter dari pimpinan sidang yang menutup sidang secara sepihak.
Sebagai wakil rakyat, anggota legislatif diminta punya dan memperlihatkan empati pada rasa keadilan masyarakat. Namun fenomena kemarin menunjukkan mindset dan paradigma para anggota legislatif itu masih jauh dari yang kita harapkan. Jika kondisi seperti itu terus terulang dan terjadi, masyarakat akan pesimis anggota legislatif periode 2009-2014 ini akan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi rakyat Indonesia. Padahal rakyat punya harapan besar agar anggota legislatif mampu mendahulukan kepentingan rakyat dengan cara yang pantas dan ber-attitude yang baik.
Sama seperti yang terjadi di Kabupaten X, masyarakat menaruh harapan besar pada DPRD X untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik. Harapan semua pihak dan kalangan masyarakat Kabupaten X yang baru saja menyaksikan wakilnya dilantik tanggai 1 Oktober 2009 pada Sidang Paripurna Istimewa DPRD X adalah hasil seleksi ketat dari suara rakyat masyarakat Kabupaten X. Dari 34 anggota DPRD yang terpilih dapat dilihat bahwa 20 orang diantaranya sudah bergelar sarjana (Sl), baik dari jurusan ekonomi, pertanian, dokter gigi, teknik dan hukum. Lebih dari 50% telah memiliki pendidikan sampai jenjang pendidikan formal perguruan tinggi4. Maka implementasi dari suara masyarakat itu, diharapkan tentunya pembangunan menjadi berpihak pada masyarakat. Hal ini adalah sangat penting didengar dan dilaksanakan para wakil rakyat yang telah terpilih kemarin dan merupakan perwakilan rakyat yang dinilai representative sebagaimana suara terbanyak. Mengingat sepertinya terlupakan di masa lampau, bahwa pembangunan di Kabupaten X terkesan berpihak kepada skala yang bukan menjadi hal yang menjadi prinsip penting bagi masyarakat X yang menggantungkan harapan hidupnya 85% di sektor pertanian. Padahal, semua kita ketahui infrastruktur di daerah ini hampir 75% dalam kondisi memprihatinkan khususnya di sentra-sentra produksi pertanian, irigasi dan peternakanDengan kondisi sumber daya alam daerah ini yang memiliki potensi pertanian dan pariwisata, maka seharusnya pembangunan diarahkan ke potensi-potensi ini. Disinilah DPRD dituntut untuk mampu tanggap, kritis dan sensitif menanggapi kebutuhan masyarakat.
Misalnya pada Realisasi Proyek APBD tahun 2009 yang pada umumnya digunakan untuk proyek infrastruktur jalan dan irigasi TA 2009 di sejumlah kecamatan yang jaraknya jauh dari ibukota kabupaten X. Masyarakat menuntut agar DPRD hendaknya turut mengawasi pembangunan di X, khususnya kecamatan-kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten X. Dalam hal ini kinerja anggota DPRD tidak hanya diukur dari PERDA yang mereka keluarkan tapi bagaimana DPRD mampu menggunakan hak inisiatif dewan untuk menunjukkan kapabilitas dan keseriusan dewan memperjuangkan kepentingan masyrakat. Persoalannya, latar belakang anggota DPRD saat ini memainkan peran yang tidak sedikit. Dengan pendidikan dan pengalaman terbatas maka potensi terjadinya distorsi pemahaman dan juga pelaksanaan fungsi dewan memang terbuka lebar.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Hubungan Tingkat Pendidikan dan Kedewasaan dengan Kinerja Anggota DPRD Kabupaten X".

1.2 Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah : bagaimanakah hubungan tingkat pendidikan dan kedewasaan dengan kinerja anggota DPRD Kabupaten X?

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan.
Tujuan penelitian ini adalah :
1. untuk mengetahui tingkat pendidikan anggota DPRD Kabupaten X
2. untuk mengetahui kinerja anggota DPRD Kabupaten X
3. untuk menguji apakah ada hubungan tingkat pendidikan dan kedewasaan dengan kinerja anggota DPRD Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dimaksud mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X mengenai hubungan tingkat pendidikan dan kedewasaan dengan kinerja anggota DPRD.
2. Secara praktis penelitian ini dapat:
a) Sebagai bahan pertimbangan bagi DPRD Kabupaten X untuk dipertimbangkan dalam rangka peningkatan kualitas anggota DPRD.
b) Sebagai penelitian awal yang dapat dimanfaatkan bagi penelitian di masa yang akan datang.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:49:00

SKRIPSI HUBUNGAN FUNGSI KEPEMIMPINAN CAMAT DENGAN EFEKTIVITAS KERJA PEGAWAI (STUDI PADA KANTOR CAMAT X)

(KODE FISIP-AN-0004) : SKRIPSI HUBUNGAN FUNGSI KEPEMIMPINAN CAMAT DENGAN EFEKTIVITAS KERJA PEGAWAI (STUDI PADA KANTOR CAMAT X)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Di dalam kehidupan ini manusia tidak bisa hidup sendiri sehingga disebut makhluk sosial yang hidupnya saling berdampingan dan membutuhkan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Dengan hidup yang saling bergantungan tersebut sehingga membentuk manusia kedalam sesuatu kelompok. Suatu kelompok tersebut mempunyai tujuan yang sama, dalam hal ini disebut organisasi.
Suatu organisasi pada dasarnya adalah suatu bentuk kerjasama antar dua orang atau lebih. Baik yang disebut orang ataupun kelompok, tujuannya adalah untuk mencapai sesuatu yang efektif.
Kepemimpinan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dimiliki karena kepemimpinan sebagai penggerak roda organisasi, yang dilakukan dengan meyakinkan bawahannya agar bekerja dengan baik untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Sondang P. Siagian (1991 : 24), kepemimpinan adalah kemampuan dan ketrampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pemimpin satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain terutama bawahannya untuk berfikir, bertindak sedemikian rupa sehingga melalui fikiran yang positif, memberikan sumbangsih nyata dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan menurut Terry dan Frankin dalam Yuli (2005 : 165), mendefinisikan Kepemimpinan dengan hubungannya dimana seorang pemimpin mempengaruhi orang lain untuk mau bekerja sama melaksanakan tugas-tugas yang saling berkaitan guna mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin dan bawahannya. Cara pemimpin mempengaruhi bawahannya dapat bermacam-macam antara lain dengan memberikan tanggung jawab, memberikan perintah, melimpahkan wewenang, mempercayakan bawahan, memberikan penghargaan, memberikan kedudukan, memberikan tugas dan Iain-lain.
Keberhasilan dan kegagalan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak. Gaya bersikap dan bertindak akan tampak dari cara melakukan sesuatu pekerjaan, salah satunya adalah dengan cara mendorong para pegawai agar dapat bekerja dengan efektif sehingga tercapainya tujuan organisasi yang diinginkan. Dengan demikian dibutuhkan kerja sama yang baik antar pemimpin dan para pegawainya.
Pemimpin di setiap organisasi memerlukan dan mengharapkan sejumlah pegawai yang cakap dan terampil di bidang pekerjaannya, sebagai seorang yang membantunya dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi beban kerja unit masing-masing. Dalam arti seorang pemimpin menginginkan sejumlah pegawai yang efektif dalam melakukan pekerjaannya.
Kepemimpinan akan berlangsung efektif bilamana mampu memenuhi fungsinya. Maksud fungsi di sini adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan atau kegunaan sesuatu hal atau kerja suatu bagian tubuh (Veitsal Rivai, 2004:53). Untuk itu setiap pemimpin harus mampu menganalisa situasi sosial kelompok atau organisasinya, yang dapat di manfaatkan dalam mewujudkan fungsi kepemimpinan dengan kerja sama dan bantuan orang-orang yang dipimpinnya. Fungsi kepemimpinan itu berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan organisasinya masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam bukan di luar situasi itu. Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian di dalam situasi kelompok atau organisasinya (Nawawi 2000:74). Pemimpin yang membuat keputusan dengan memberikan situasi kelompok atau organisasi akan dirasakan sebagai keputusan bersama yang menjadi tanggung jawab bersama pula dalam melaksanakannya. Dengan demikian akan terbuka peluang bagi pemimpin untuk mewujudkan fungsi-fungsi kepemimpinan sejalan dengan situasi sosial yang dikembangkannya. Oleh karena itu fungsi kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam situasi sosial suatu kelompok/organisasi.
Di lain pihak, seorang pemimpin harus berani dan mampu mengambil tindakan terhadap para pegawainya yang malas dan berbuat salah sehingga merugikan organisasi, dengan jalan memberikan teguran dan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi ini sebaiknya seorang pemimpin perlu menyelenggarakan daftar kecakapan dan kelakuan baik bagi semua pegawai sehingga tercatat semua hadiah dan hukuman yang telah di berikan kepada mereka.
Fungsi kepemimpinan adalah menggerakkan orang yang dipimpin menuju tercapainya tujuan organisasi. Agar dapat menanamkan kepercayaan pada orang yang dipimpinnya dan menyadarkan bahwa mereka mampu berbuat sesuatu dengan baik. Disamping itu, pemimpin harus memiliki pikiran, tenaga dan kepribadian yang dapat menimbulkan kegiatan dalam hubungan antar manusia. Selanjutnya menurut Yuki (1998), fungsi kepemimpinan adalah usaha untuk mempengaruhi dan mengarahkan para pegawainya untuk bekerja keras, memiliki semangat tinggi, dan memotivasi tinggi guna mencapai tujuan organisasi. Fungsi kepemimpinan adalah usaha untuk memandu, menuntun, membimbing, memberi atau membangunkan motivasi-motivasi kerja, menjalin hubungan komunikasi yang baik dalam memberikan pengawasan yang efisien dan membawa para bawahannya kepada sasaran yang ingin di tuju sesuai dengan kriteria dan waktu yang telah ditetapkan. (Kartini kartono, 2005:93).
Selain itu, fungsi kepemimpinan adalah mempengaruhi dan mengarahkan individu atau kelompok yang bertujuan untuk membantu organisasi bergerak kearah pencapaian tujuan. Dengan demikian inti kepemimpinan bukan pertama-tama terletak pada kedudukannya dalam organisasi, melainkan bagaimana pemimpin melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin.
Setiap organisasi selalu dihadapkan pada persoalan keterbatasan sumber daya manusia dalam mencapai tujuannya. Interaksi antara berbagai sumber daya tersebut hams dikelola dengan baik agar dapat mencapai sasarannya secara efektif. Efektivitas kerja dapat didefenisikan sebagai kemampuan melakukan sesuatu secara benar dan sebagai kemampuan melakukan sesuatu tepat pada sasaran.
Efektivitas merupakan unsur pokok aktivitas organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Bila dilihat dari aspek keberhasilan pencapaian tujuan, maka efektivitas adalah memfokuskan pada tingkat pencapaian terhadap tujuan organisasi. Selanjutnya ditinjau dari aspek ketepatan waktu, maka efektivitas adalah tercapainya berbagai sasaran yang telah ditentukan tepat pada waktunya dengan menggunakan sumber-sumber terkait yang telah dialokasikan untuk melakukan berbagai kegiatan. Menurut Siagian (2000:56), efektivitas kerja adalah penyelesaian pekerjaan tepat waktu yang telah ditetapkan. Artinya apakah pelaksanaan tugas dinilai baik atau tidak, sangat tergantung bila tugas itu diselesaikan atau tidak, terutama menjawab pertanyaan dan bagaiman cara melaksanakan dan berapa biaya anggaran yang dikeluarkan untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa efektivitas kerja adalah kemampuan kerja bagi pegawai untuk dapat bekerja secara maksimal dengan membawa keuntungan bagi organisasi dan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Jadi, apabila kepemimpinan camat mampu meningkatkan efektivitas kerja para pegawainya maka, organisasi tersebut akan mendapatkan keuntungan terhadap pencapaian tujuan dengan waktu yang singkat dalam bekerja dan perolehan hasil kerja yang singkat. Apabila usaha-usaha positif tersebut untuk meningkatkan efektivitas kerja pegawai telah dilakukan, maka hal itu akan memberikan nilai tambah terhadap kepemimpian camat itu sendiri.
Kecamatan X Kabupaten X adalah salah satu instansi pemerintahan. Camat adalah perangkat pemerintahan wilayah kecamatan yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan diwilayah kecamatan X X yang bekerja untuk masyarakat sudah seharusnya memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Untuk mendapatkan pelayanan yang baik, pegawai Kantor Camat X harus dapat bekerja seefektif mungkin dalam menjalankan tugasnya. Namun, yang sering terjadi sering sekali para pegawai datang terlambat ke kantor pada jam yang telah ditentukan, bahkan meninggalkan kantor sebelum jam kerja berakhir. Disinilah dituntut fungsi kepemimpinan Camat dalam mengelola para pegawainya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab agar dapat bekerja dengan efektif demi terwujudnya tujuan organisasi yang diinginkan.
Untuk mencapai efektivitas kerja yang diinginkan, camat X hams dapat menjalankan peran dan tugasnya dengan baik dan diharapkan adanya hubungan komunikasi yang baik antara pemimpin dengan bawahannya sehingga para pegawai dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Camat dan para pegawainya harus saling bekerja sama dalam usaha pencapaian tujuan tesebut.
Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis mengupayakan suatu kajian ilmiah dalam judul penelitian sebagai berikut "Hubungan Fungsi Kepemimpinan Camat Dengan Efektivitas Kerja Pegawai (Studi Pada Kantor Camat X Kabupaten X)".

B. Perumusan Masalah
Untuk dapat mempermudah penelitian ini nantinya dan agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterprestasikan fakta dan data kedalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang akan diteliti.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Apakah Fungsi Kepemimpinan Camat mempunyai hubungan Dengan Efektivitas Kerja Pegawai Pada Kantor Camat X Kabupaten X".

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana fungsi kepemimpinan Camat pada Kantor Camat X Kabupaten X
2. Untuk mengetahui bagaimana efektivitas kerja pegawai pada Kantor Camat X Kabupaten X
3. Untuk mengetahui apakah Fungsi Kepemimpinan Camat mempunyai hubungan dengan efektivitas kerja pegawai pada Kantor Camat X Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
Disamping tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini, maka suatu penelitian harus memiliki manfaat. Adapun manfaat yang hendak dicapai oleh penulis melalui penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis khususnya, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan menulis karya ilmiah, terutama dalam menganalisa permasalahan yang terjadi di masyarakat yang ada kaitannya dengan teori akademis.
2. Bagi instansi terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dalam meningkatkan efektivitas kerja pegawai bagi instansi itu sendiri.
3. Bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya ragam penelitian mahasiswa dan sebagai sumbangan pemikiran yang berguna untuk penelitian selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional dan sisitematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi, dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian berupa sejarah singkat, serta struktur organisasi
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan yang dianalisis
BAB V ANALISIS DATA
Bab ini memuat pembahasan atau interprestasi dari data-data yang disajikan pada bab sebelumnya
BAB VI PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:48:00

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (STUDI DI DESA X)

(KODE FISIP-AN-0003) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (STUDI DI DESA X)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dan diperjelas lagi dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 yang menguraikan pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara lansung, merupakan konsep yang senantiasa aktual dalam berbagai aspek kelembagaan. Bukan hanya pada organisasi bisnis, tetapi telah berkembang lebih luas pada tatanan organisasi pemerintah (Sinambela, 2006:42-43).
Dewasa ini kehidupan masyarakat mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan sebelumnya dan kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dapat dirasakan sekarang ini adalah terjadinya perubahan pola pikir masyarakat ke arah yang semakin kritis. Hal itu dimungkinkan, karena semakin hari warga masyarakat semakin cerdas dan semakin memahami hak dan kewajibannya sebagai warga. Kondisi masyarakat yang demikian menuntut hadirnya pemerintah yang mampu memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dalam segala aspek kehidupan mereka, terutama dalam mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya dari pemerintah. Dalam kaitannya itu (Rasyid 1997:11) mengemukakan bahwa : Pemerintah modern, dengan kata lain, pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat. Memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama
Pemberian palayanan yang memenuhi standar yang telah ditetapkan memang menjadi bagian yang perlu dicermati. Saat ini masih sering dirasakan bahwa kualitas pelayanan minimum sekalipun masih jauh dari harapan masyarakat. Yang lebih memprihatinkan lagi, masyarakat hampir sama sekali tidak memahami secara pasti tentang pelayanan yang seharusnya diterima dan sesuai dengan prosedur pelayanan yang baku oleh pemerintah. Masyarakatpun enggan mengadukan apabila menerima pelayanan yang buruk, bahkan hampir pasti mereka pasrah menerima layanan seadanya. Kenyataan semacam ini terdorong oleh sifatpublic goods menjadi monopoli pemerintah khususnya dinas/instansi pemerintah daerah dan hampir tidak ada pembanding dari pihak lain. Praktek semacam ini menciptakan kondisi yang merendahkan posisi tawar dari masyarakat sebagai penggunan jasa pelayanan dari pemerintah, sehingga memaksa masyarakat mau tidak mau menerima dan menikmati pelayanan yang kurang memadai tanpa protes.
Satu hal yang belakangan ini sering dipermasalahkan adalah dalam bidang publik service (Pelayanan Umum), terutama dalam hal kualitas atau mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah sebagai service provider (Penyedia Jasa) bagi masyarakat dituntut untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Apalagi pada era otonomi daerah, kulitas dari pelayanan aparatur pemerintah akan semakin ditantang untuk optimal dan mampu menjawab tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat, baik dari segi kulitas maupun dari segi kuantitas pelayanan. Di negara-negara berkembang dapat kita lihat mutu pelayanan publik merupakan masalah yang sering muncul, karena pada negara berkembang umumnya permintaan akan pelayanan jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk memenuhinya sehingga pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kurang terpenuhi baik dilihat dari segi kulitas maupun kuantitas.
Secara mendasar, keluhan tentang rendahnya kulitas pelayanan publik sudah tema pembicaraan sehari-hari. Dalam sebuah koran Harian Analisa edisi senin, 24 november 2008 yang berjudul "Indonesia peringkat 69 dalam penangan pelayanan birokrasi" tertulis bahwa penanganan pelayanan birokrasi di Indonesia masih terbilang lambat.
Menurut KR.Ranah dalam jurnal "Pelayanan Publik yang Berbelit; Warisan Penjajah Agar Kita Tak Bisa Maju" yang terbit 31 januari 2008 menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi tidak berjalannya pelayanan publik dengan baik yaitu : pertama, masalah struktural birokrasi yang menyangkut penganggaran untuk pelayanan publik. Kedua yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik adalah adanya kendala kultural di dalam birokrasi. Selain itu ada pula faktor dari perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku melayani, dan sebaliknya cenderung menunjukkan perilaku ingin dilayani.
Selain itu, dalam Seminar Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi" yang diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, ada beberapa permasalah yang ada dalam pelayanan publik yaitu: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan efisien.
Dari beberapa permasalahan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang memuasakan kepada masyarakat, apa yang dilakukan hanyalah bentuk pelayanan yang didasari oleh kewajiban sebagai pekerja pemerintah bukan sebagai abdi masyarakat. Adanya prilaku demikian menyebabkan timbulnya tudingan-tudingan negatif yang dilontarkan oleh berbagai kalangan terhadap aparatur pemerintah, seperti aparat dianggap kurang profesional, berbelit-belit (tidak efisien), disiplin kerja rendah, korupsi, lalai dalam melakukan pengawasan dalam kegiatan bisnis besar dalam melibatkan uang negara maupun masyarakat dan lain sebaginya. Semua itu merupakan bukti atas masih rendahnya kualitas pelayanan yang dimiliki oleh masyarakat atau yang diberikan kepada masyarakat.
Dari uraian diatas maka penulis memilih lokasi penelitian di pemerintahan Desa X Kecamatan X karena berdasakan pengamatan penulis bahwa permasalahan mengenai kenerja aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan publik juga terjadi di Pemerintahan Desa X Kecamatan X.
Berdasarkan masalah dan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik (Studi Pada Desa X Kecamatan X)".

B. Perumusan Masalah
Dalam suatu penelitian, yang sangat penting dalam suatu penelitian adalah adalanya masalah yang akan diteliti. Menurut Arikunto, agar dapat dilaksanakan penelitian dengan sebaik-baiknya makna peneliti haruslah merumuskan masalah dengan jelas dari mana harus mulai, kemana harus pergi dan dengan apa (Arikunto, 1996:19).
Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: "Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik di Desa X Kecamatan X".

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana kualitas pelayanan publik di Desa X Kecamatan X.
2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik di Desa X Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya kegiatan penelitian ini tentunya akan memberi manfaat bagi sipenulis maupun pihak lain yang memerlukannya. Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Secara Subjektif
Sebagai suatu tahapan untuk melatih dan mengembangakan kemampuan berfikir ilmiah dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya tulis ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori yang diproleh dari Ilmu Administrasi Negara.
2. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan dan penyempurnaan teori-teori didalam ilmu administrasi Negara terutama menyangkut pelayanan administrasi.
3. Secara Praktis
Penelitian dapat memberikan sumbangan berharga bagi pemerintah atau lembaga-lembaga yang membutuhkan, selain itu hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan penelitian-penelitian pada bidang yang sama dimasa yang akan datang.

E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Defenisi Konsep, Defenisi Operasional, dan Sistematika Penulisan
BAB II : Metode Penelitian
Pada bab ini ini berisikan Bentuk Penelitian, Lokasi Penelitian, Informan, Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisa Data.
BAB III : Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Dalam bab ini berisikan Sejarah Singkat Berdirinya Desa, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Pokok Organisasi
BAB IV : Penyajian Data
Dalam bab ini berisikan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis
BABV : Analisa Data
Analisa data berisikan pembahasan atau interpretasi dari data-data yang disajikan dan diperoleh dari lokasi penelitian.
BAB VI : Penutup
Pada bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang bersifat membangun bagi objek penelitian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:45:00

SKRIPSI EVALUASI IMPLEMENTASI PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL TAHAP PEMBERANTASAN DI DESA X

(KODE FISIP-AN-0002) : SKRIPSI EVALUASI IMPLEMENTASI PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL TAHAP PEMBERANTASAN DI DESA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu dasar bagi sebuah Negara untuk dapat berkembang. UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 10 ayat 1 mengatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur, yaitu: Jalur Pendidikan Sekolah dan Jalur Pendidikan Luar Sekolah.
Pendidikan Luar sekolah adalah salah satu jalur pendidikan nasional yang turut bertugas dan bertanggungjawab untuk mengantar bangsa agar siap menghadapi perkembangan jaman dan mampu meningkatkan kualitas hidup bangsa dimasa mendatang.
Pendidiakan luar sekolah diprioritaskan ke dalam beberapa progam, antara lain pemberantasan buta aksara, kejar paket, pendidikan anak usia dini, pendidiakan berkelanjutan, dan lain sebagainya. Dari beberapa program pendidikan luar sekolah tersebut penulis memutuskan untuk menyoroti tentang pemberantasan buta huruf. Karena penulis merasa bahwa program ini berhubungan dengan masyarakat golongan bawah. Jika program ini berhasil diimplementasikan maka dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat golongan bawah.
Di Negara Ghana Program Keaksaraan Fungsional terbentuk sekitar tahun 1987, saat terjadi krisis ekonomi. Seperti yang ditulis oleh Aya Aoki tentang tentang Ghana's national functional literacy program dalam Australian Journal of Adult Learning Volume 45, Number 1, April 2005, menyebutkan "Between 1968 and 1986, in the midst of an economic decline in the country, adult literacy programs were left in the hands of various religious and secular organisations. Realizing the significance of nonformal learning approaches and the need to coordinate different nonformal education activities in the country, the government under the Rawlings administration created the Non-Formal Education Division in the Ministry of Education (NFED/MOE) in 1987. Motivation for the National Functional Literacy Program (NFLP) heightened after the 1989 census showed an adult illiteracy rate of 67% (The World Bank 1992, 1998)." Bahwa diantara tahun 1968-1986, ditengah-tengah krisis ekonomi di Ghana, Program Keaksaraan dijalankan oleh beraneka ragam organisasi-organisasi keagamaan dan duniawi. Dalam merealisasikan pendekatan pendidikan non formal dan kebutuhan untuk mengkoordinasi aktivitas pendidikan non formal yang berbeda di Ghana, pemerintah melalui The Rawlings administration membentuk divisi pendidikan non formal di dalam kementrian pendidikan (NFED/MOE) pada tahun 1987. Program Keaksaraan Fungsional Nasional (NFLP) semakin digencarkan setelah sensus menunjukkan bahwa tahun 1989 penyandang buta aksara di Negara Ghana menunjukkan angka 67% (The World Bank 1992, 1998).
Berbeda dengan di Indonesia, upaya pemberantasan buta huruf di Indonesia sudah dimulai sebelum kemerdekaan atau semasa perang kemerdekaan. Pada waktu itu para pejuang di samping bergerilya, juga memberikan pelajaran membaca dan menulis kepada rekan pejuang lainnya yang masih buta aksara dan kepada masyarakat luas. Setelah kemerdekaan ada program pemberantasan buta aksara yang diselenggarakan melalui kursus-kursus PBH, yang lazim disebut "Kursus ABC".
Kemudian pada tahun 1964 dilakukan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) secara tradisional dan tahun 1965 Indonesia menyatakan bebas buta huruf, akan tetapi berdasarkan sensus tahun 1970 ternyata jumlah buta huruf masih mencapai 31 %. Oleh karena itu, mulai permulaan dekade tahun 70-an, dirintis program pemberantasan buta huruf gaya baru yang dikenal dengan Kejar Paket A, dan pada tahun 1995 mulai dikembangkan program Keaksaraan Fungsional (KF) yang sekarang ini menurut UU Nomor 20 tahun 2003 diistilahkan dengan Pendidikan Keaksaraan.
Program Pemberantasan Buta Huruf atau yang sekarang disebut dengan Program Keaksaraan Fungsional, merupakan suatu program yang dimaksudkan untuk melayani warga masyarakat yang tidak sekolah dan atau putus sekolah dasar sehingga memiliki kemampuan keaksaraan. Program ini memiliki tujuan untuk memberdayakan warga belajar agar mampu membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Program Keaksaraan Fungsional merupakan bagian integral pengentasan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan dalam kerangka makro pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Pemberantasan buta huruf menjadi sangat penting dan strategis mengingat pendidikan penduduk Indonesia masih rendah.
Sampai sekarang status tingkat keaksaraan di Indonesia masih belum menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya daerah yang masyarakatnya masih menyandang status buta aksara. Sebagai contoh, rekapitulasi data di Kecamatan X Kabupaten X bawah ini, menggambarkan bahwa masih banyak kepala keluarga yang tidak tamat SD, dimana hal ini akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan hidup.
Upaya mengatasi tantangan diatas, Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda berusaha untuk mengintensifkan pelaksanaan program Keaksaraan Fungsional. Dengan peningkatan program tersebut, diharapkan dapat menekan laju tingkat kebutaaksaraan di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Dakar pada tahun 2000, dimana pada tahun 2015 tingkat keaksaraan harus mencapai 50% untuk usia 15 sampai 44 tahun. Sementara tekad pemerintah sekarang, yakni menetapkan kebijakan pengurangan penduduk buta aksara 15 tahun ke atas hingga tinggal 5% pada tahun 2009, sedangkan penyandang buta aksara di Indonesia saat ini mencapai 12, 8 juta orang (8, 07%).
Program Keaksaraan Fungsional diharapakan mampu menekan tingkat kebutaaksaraan diatas. Adapun tujuan Program keaksaraan fungsional yaitu:
a. Warga belajar diharapkan dapat menggunakan hasil belajar untuk mengatasi masalah kehidupan sendiri.
b. Warga belajar termotifasi untuk menemukan jalan sumber-sumber kehidupannya.
c. Warga dapat menjalani kehidupan yang efektif.
d. Warga mampu memanfaatkan sumber-sumber penghidupan yang dimiliki.
e. Warga mampu menggali, mempelajari pengetahuan, ketrampilan dan sikap sehingga memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat dan bangsa.
Sedangkan sasaran Program Keaksaraan Fungsional yaitu:
a. Warga belajar yang tidak bisa membaca, menulis dan berhitung murni.
b. Warga belajar yang DO kelas 1 sampai kelas 3 SD.
c. Warga belajar yang tidak mempunyai ketrampilan.
Program Keaksaraan Fungsional dibagi ke dalam 3 tahap pembelajaran, yaitu:
1. Tahap Pemberantasan
Pada tahap ini, diperuntukkan bagi mereka yang belum memiliki ketrampilan dasar calistung (membaca, menulis dan berhitung), belum mengenal huruf, belum bisa merangkai kata lancer, dan belum mengerti arti sebuah kalimat dengan jelas. Tahap ini adalah bagaimana membantu warga belajar buta huruf murni agar dapat menulis, membaca dan berhitung sebdiri secara sederhana, dengan menggunakan teknik-teknik yang telah ditentukan bersama.
2. Tahap Pembinaan
Pada tahap ini, warga belajar sudah dapat membaca, menulis serta memiliki pengetahuan dan pengalaman, namun mereka belum memiliki kemampuan fungsional. Mereka jarang menggunakan ketrampilan calistung dalam kehidupan sehari-hari. Ketrampilan mereka juga belum cukup untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, sehingga pada tahap ini tutor (guru) dapat membantu mereka dengan menggunakan bahan belajar dari kehidupan sehari-hari dan membantu mereka dalam mengembangkan kemampuan fungsionalnya untuk memecahkan masalah yang ada di sekelilingnya.
3. Tahap Pelestarian
Pada tahap pelestarian dimaksudkan untuk membentuk sikap warga belajar agar terus lestari belajar. Untuk itu perlu diupayakan bahan belajar yang memadahi dan sesuai dengan minat dan kebutuhan warga belajar. Tahap ini warga belajar dapat memilih topic belajar dan membuat rencana belajar, menilai kemampuan kelompok belajar, menulis laporan, menulis proposal, membuat jaringan kerja dengan instansi lain dan membuat pusat belajar masyarakat, serta dapat memanfaatkan keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari.
Sampai saat ini pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional masih berlangsung. Namun tahap pertama telah selesai bulan Januari tahun 2007 silam. Oleh karena itu, penulis mengambil judul "EVALUASI IMPLEMENTASI PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL TAHAP PEMBERANTASAN DI DESA X KECAMATAN X KABUPATEN X". Penulis memutuskan untuk mengambil judul tersebut karena, penulis melihat bahwa program ini perlu dievaluasi untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diberikan tahap pemberantasan dari Program Keaksaraan Fungsional tersebut bagi para sasaran program. Apakah tahap pertama Program Keaksaraan Fungsional memberikan dampak sesuai dengan apa yang diinginkan, apakah tujuan yang ingin dicapai program tersebut telah sesuai dengan hasil nyata yang terjadi di masyarakat.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan perumusan masalah, yaitu:
- Bagaimana proses pelaksanaan Program Keaksarran Fingsional Tahap Pemberantasan di Desa X Kecamatan X Kabupaten X?
- Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional di Desa X Kecamatan X Kabupaten X?
- Bagaimana kemanfaatan Program Keaksaraan Fungsional terhadap sasaran program?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui keberhasilan program Keaksaraan Fungsional Tahap Pemberantasan di Desa Xpandeyan
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional Tahap Pemberantasan di Desa X
3. Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan (S-1) Ilmu Administrasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Pendidikan Luar Sekolah
Diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi terhadap pemberantasan buta aksara yang telah dilakukan
2. Bagi Pembaca
Karya ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi tentang pemberantasan buta aksara
3. Bagi Penulis
Karya ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memberikan informasi tentang pemberantasan buta aksara. Serta merupakan syarat kelulusan S-1.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:44:00

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE KOOPERATIF INTEGRASI MEMBACA DAN KOMPOSISI (CIRC)

(KODE PTK-0052) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE KOOPERATIF INTEGRASI MEMBACA DAN KOMPOSISI (CIRC) (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Membaca adalah modal bagi seseorang untuk mempelajari buku dan mencari informasi tertulis. Membaca bagi seorang siswa juga menjadi modal agar dapat mengikuti kegiatan pembelajaran. Selain membaca, menulis juga harus dikuasai oleh siswa agar siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan lancar. Karena itu, kemampuan membaca dan menulis bagi siswa menjadi modal utama untuk dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar atau kegiatan pembelajaran.
Membaca dan menulis merupakan dasar bagi seseorang untuk dapat melakukan komunikasi secara tertulis. Komunikasi merupakan satu hal yang penting bagi manusia untuk dapat tetap bertahan hidup dan bermasyarakat. Tanpa komunikasi, maka manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Karena itulah maka komunikasi sangat penting bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia ini. Salah satu bekal untuk dapat berkomunikasi tersebut manusia harus dapat membaca dan menulis.
Kemampuan membaca dan menulis tersebut dimaksudkan untuk dapat memahami bahasa komunikasi. Bahasa merupakan salah satu alat untuk berkomunikasi dan sangat besar fungsinya. Karena pentingnya membaca dan menulis, maka hal tersebut diajarkan kepada siswa di sekolah. Dengan belajar dan menulis, maka siswa akan dapat melakukan komunikasi dalam kehidupan sosialnya sehari-hari.
Pentingnya kemampuan membaca dan menulis bagi siswa menjadikan pembelajaran membaca dan menulis menjadi pelajaran paling awal yang harus diikuti oleh siswa. Karena itu, pelajaran membaca dan menulis permulaan dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar pada kelas I. Namun demikian, adanya tuntutan jaman yang semakin canggih dan cepat, pelajaran membaca dan menulis telah dikenalkan kepada para peserta didik di TK. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis permulaan siswa ketika masuk ke sekolah tingkat dasar.
Pembelajaran membaca dan menulis permulaan merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Bahasa merupakan alat penting bagi manusia untuk komunikasi (Gorys Keraf, 980: 1). Selain itu, bahasa merupakan sarana berpikir keilmuan (Herman J Waluyo, 2006: 30). Sebagai sarana komunikasi dan juga sebagai sarana berpikir keilmuan, maka bahasa menjadi vital dan penting untuk dipelajari. Pembelajaran bahasa dimulai dari pembelajaran membaca dan menulis.
Kurikulum sekolah di Indonesia saat ini, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006: 22) di dalamnya mencantumkan pelajaran bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran wajib. Sebagai pelajaran wajib, maka semua siswa mendapatkan pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tertulis.
Pembelajaran di sekolah memerlukan pengelolaan yang baik agar dapat diperoleh pembelajaran yang efektif. Pembelajaran yang efektif adalah suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar keterampilan spesifik, ilmu pengetahuan, dan sikap serta membuat siswa senang (Dick E Reiser, 1998). Sementara itu Dunne & Wragg (1996) menjelaskan bahwa pembelajaran efektif memudahkan siswa belajar sesuatu yang bemanfaat seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, cara hidup serasi dengan sesama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan. Karena itulah untuk dapat memperoleh pembelajaran yang efektif guru harus dapat mengelola kegiatan belajar mengajar dengan sebaik-baiknya, yaitu kegiatan belajar yang aktif, kreatif, dan menyenangkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh A Malik Fajar bahwa secara umum KBM di sekolah harus menyenangkan, mengasikkan, mencerdaskan, dan menguatkan daya pikir siswa, yang berpedoman pada tujuan, sehingga KBM akan lebih efektif (pengelolaan KBM, 2003. 1).
Pembelajaran yang efekti merupakan pembelajaran yang dilakukan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan saat ini merupakan suatu hal yang segera harus dilakukan. Mengingat mutu pendidikan saat ini mulai menurun, terutama pendidikan moral yang dapat dilihat dari hasil pendidikan yang saat ini banyak yang tidak memiliki moral. Banyaknya pejabat yang melakukan tindakan amoral merupakan salah satu petunjuk bahwa pendidikan di Indonesia belum memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan. Rendahnya mutu pendidikan dikarenakan oleh kegiatan pendidikan yang tidak berkualitas. Untuk dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, maka hal tersebut hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan yang berkualitas juga (Umaedi, 1999: 1).
Pembelajaran bahasa Indonesia hingga saat ini belum menampakkan hasil yang maksimal. Banyak siswa yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dapat dilihat di beberapa jenjang pendidikan termasuk pendidikan tinggi, bahkan para lulusan perguruan tinggi sering melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesalahan penggunaan bahasa Indonesia sering terlihat pada kegiatan menulis. Rendahnya kemampuan lulusan sekolah dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dikarenakan pembelajaran bahasa Indonesia yang kurang berhasil.
Kurangnya keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia dikarenakan guru tidak melakukan pengelolaan kegiatan pembelajar mengajar sebagaimana mestinya. Perlu diketahui bahwa dalam kegiatan pembelajaran, terdapat tiga aspek dalam pembelajaran (Lindgren, 1976). Ketiga aspek tersebut, pertama, siswa yang merupakan faktor yang paling penting karena tanpa siswa tidak akan ada proses belajar. Kedua, proses belajar yaitu apa saja yang dihayati siswa apabila mereka belajar, bukan apa yang harus dilakukan pendidik untuk mengajarkan materi pelajaran melainkan apa yang dilakukan siswa untuk mempelajarinya. Ketiga, situasi belajar, yaitu lingkungan temapt terjadinya proses belajar dan semua factor yang mempengaruhi siswa atau proses belajar seperti pendidik, kelas dan interaksi di dalamnya.
Pembelajaran bahasa dimulai dari membaca dan menulis. Pembelajaran membaca dan menulis dimulai sejak anak masuk di kelas I sekolah dasar. Dalam hal ini, siswa belajar membaca dan menulis permulaan. Belajar membaca dan menulis permulaan yaitu belajar mengenal huruf, bunyi huruf, merangkai huruf menjadi suku kata, merangkai suku kata menjadi kata, dan akhirnya merangkai kata menjadi kalimat. Pembelajaran membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I dimaksudkan agar siswa dapat memiliki keterampilan membaca dan menulis. Keterampilan membaca dan menulis dalam hal ini merupakan keterampilan dalam tingkat dasar, yaitu siswa dapat membaca dan menulis dengan lancar.
Agar keterampilan membaca dan menulis permulaan pada siswa SD dapat dilakukan dengan baik serta diperoleh hasil yang maksimal, diperlukan suatu strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. Mengingat pentingnya pelajaran membaca dan menulis permulaan sebagai dasar untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka perlu diupayakan suatu alternatif strategi pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan di SD yang tepat. Keluhan tentang kekurang terampilan siswa dalam membaca dan menulis di SD pada pelajaran bahasa Indonesia sampai saat ini masih dirasakan, bahkan dalam kenyataan ada keluhan guru yang mengajar di kelas II dan III SD masih ada siswa yang belum dapat membaca dan menulis. Banyak faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut, namun utamanya adalah dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan. Keberhasilan pembelajaran membaca dan menulis permulaan memerlukan dukungan dari beberapa faktor, antara lain adalah faktor keluarga, fasilitas, motivasi, dan terutama adalah metode pembelajaran yang sesuai.
Kemampuan membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I yang berada di daerah perkotaan dan pedesaan tentunya juga memiliki perbedaan. Kasus yang sama juga dapat terjadi antara sekolah dengan tingkatan menengah atas dengan sekolah pada tingkatan menengah bawah. Hal ini tentunya dapat menjadi perhatian tersendiri bagi pada praktisi pendidikan. Karena itu, sangat perlu dilakukan penelitian agar gap atau jarak antara sekolah dengan kategori menengah atas dengan menengah bawah tidak telalu jauh.
Berbagai metode dan pendekatan pembelajaran membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I cukup banyak. Banyaknya metode tersebut tentunya memerlukan kemampuan guru untuk memilih metode yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi. Karena setiap metode memiliki kelebihan dan kelemahan yang berbeda-beda. Karena itulah maka guru harus dapat memahami kelasnya masing-masing agar dapat memilih metode yang tepat untuk kelasnya.
Siswa kelas I di Sekolah Dasar Negeri X selama ini masih memiliki kemampuan menulis dan membaca yang rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi rendahnya kemampuan siswa tersebut adalah pada metode pembelajaran yang digunakan guru selama ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksperimen atau tindakan pembelajaran dengan metode yang berbeda. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan adalah dengan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC). Karena itulah maka penelitian ini dilakukan untuk mencoba menggunakan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) dalam pembelajaran membaca dan menulis permulaan bagi siswa kelas I Sekolah Dasar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I SD Negeri X?
2. Apakah penerapan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) dapat meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I SD Negeri X?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan penerapan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan pada siswa kelas I SD Negeri X.
2. Meningkatkan kemampuan membaca dan menulis permulaan dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC) pada siswa kelas I SD Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Bagi siswa
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan keaktifan, motivasi, minat, dan partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran.
2. Bagi guru
a. Hasil penelitian dapat menjadi wawasan bagi guru dalam menggunakan metode pembelajaran kooperatif Integrasi Membaca dan Komposisi (CIRC).
b. Hasil penelitian dapat menjadi bahan inspirasi untuk menentukan metode lain dalam melakukan kegiatan belajar mengajar.
3. Bagi sekolah
Bagi sekolah diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi sekolah secara keseluruhan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:32:00