Cari Kategori

TESIS PERANCANGAN ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL

(KODE : PASCSARJ-0095) : TESIS PERANCANGAN ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL (PRODI : TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society) (Rizal, 2007). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara (Rizal, 2007). Beberapa kalangan mendifinisikan kebijakan hanya sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan pemerintah, dan sebagian lagi mengartikan kebijakan sebagai pedoman, acuan, strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan (Rizal, 2007).
Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2003). Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politik tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan (Dunn, 2003).
Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 membuktikan bahwa Sistem Ekonomi Konglomerasi (SEK) sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada era reformasi paradigma pembangunan perlu dirubah, pembangunan perlu ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir atau kelompok. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik pada daerah tingkat dua (Kabupaten/Kotamadya). Di samping itu, tingkat kemandirian harus tinggi, adanya kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, parsitipatif, adanya persaingan sehat, keterbukaan atau demokrasi, pemerataan dan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri ekonomi rakyat yang harus dilakukan (Prawirokusumo, 2001).
Berdasarkan data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada tahun 2007 sebesar 18,9 juta orang bekerja pada sektor industri ritel dan diantaranya berada pada sektor pasar tradisional yang terdiri dari 13.000 pasar tradisional dan menampung lebih dari 12,5 juta pedagang kecil. Jumlah penyerapan tenaga kerja pada sektor ritel merupakan sektor terbesar kedua dalam hal penyerapan tenaga kerja setelah sektor pertanian yang mencapai 41,8 juta orang. Kondisi ini membuat industri ritel berada pada posisi strategis dalam perkembangan ekonomi Indonesia, dan perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam pengelolaan sektor ini.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 420/MPP/Kep/10/1997 tentang pedoman dan pembinaan pasar dan pertokoan, pasar diklasifikasikan berdasarkan kelas mutu pelayanan menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Pasar tradisional
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi, atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda, yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, dan koperasi, dengan usaha skala kecil dan modal kecil, dan dengan proses jual beli melalui tawar-menawar.
2. Pasar Modern
Pasar modern adalah pasar yang dibangun oleh Pemerintah, Swasta, atau Koperasi yang dalam bentuknya berupa mal, supermarket, Departement Store dan shoping centre dimana pengelolanya dilaksanakan secara modern, dan mengutamakan pelayanan dan kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada disatu tangan, bermodal relatif kuat, dan dilengkapi label harga yang pasti.
Permasalahan timbul ketika pemerintah mengeluarkan Keppres 96/2000 (yang kemudian diperbaharui dengan Keppres 118/2000) tentang "Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu bagi Penanaman Modal", yang intinya penghapusan bisnis perdagangan eceran skala besar {mall, supermarket, department store, pusat pertokoan/perbelanjaan) dan perdagangan besar (distributor/ wholesaler, perdagangan ekspor dan impor) dari negative list bagi penanaman modal asing (Priyono et.al, 2003). Dihapusnya bisnis perdagangan eceran skala besar dan perdagangan besar dari negative list bagi penanaman modal asing membuat pertumbuhan pasar modern meningkat pesat dan mulai memberikan dampak negatif pada keberadaan pasar tradisional (Suryadarma, 2007).
Menurut penelitian lembaga AC Nielsen menunjukan perkembangan pasar modern (supermarket, minimarket, hypermarket) mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ke tahunnya sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1.1 dibawah ini (Kuncoro, 2008):

* Tabel sengaja tidak ditampilkan **

Semua ritel atau pedagang berusaha untuk mengelola usahanya secara efisien, dan pada saat yang sama hams dapat memberikan konsumen dengan harga yang lebih murah dari pada pesaingnya, efesiensi ini dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem atau saluran distribusi (Utami, 2006). Tambunan et.al. (2004) menunjukkan bahwa dari si si saluran distribusi antara pemasok dan retail di Indonesia terdapat perbedaan antara retail modern dan retail tradisional. Untuk retail tradisional rantai distribusinya relatif lebih panjang dari pada retail modern khususnya barang-barang dari industri besar (Tambunan et.al., 2004). Perbedaan saluran distribusi ini menimbulkan perbedaan harga antara retail tradisional dan modern, yang menyebabkan lemahnya daya saing pasar tradisional terhadap pasar modern (Tambunan et.al., 2004).
Tergesernya pasar tradisional disebabkan pula oleh meningkatnya taraf hidup dan berubahnya gaya hidup masyarakat, ketika tingkat taraf hidup masyarakat meningkat, disamping membutuhkan ketersediaan berbagai macam barang yang lengkap dari kebutuhan primer hingga kebutuhan tersier, fasilitas pendukung seperti kenyamanan, kebebasan, ataupun jaminan harga murah dan kualitas baik menjadi bahan pertimbangan masyarakat (Tambunan et.al., 2004). Suryana et.al. (2008) menyebutkan bahwa berubahnya gaya hidup masyarakat atau konsumen sebagai akibat dari meningkatnya taraf hidup menyebabkan pertumbuhan pasar modern sangat pesat.
Berdasarkan fasilitas dan utilitas pasar tradisional dinilai tidak memadai dan kurang terpelihara, selain itu tidak tersedianya listrik dan air yang cukup, tidak tersedianya Tempat Pembuangan Sampah (TPS), kegiatan bongkar muat dengan tenaga manusia, jalan pasar kotor karena terbuat dari paving block, tempat parkir tidak terawat, waning dan restoran tidak terlokalisasi, fasilitas MCK kurang bersih, dan cold storage belum tersedia (Mahendra, 2008).
Wiboonpongse dan Sriboonchitta (2006) menyebutkan faktor lain yang juga menjadi penyebab kurang berkembangnya pasar tradisional adalah minimnya daya dukung karakteristik pedagang tradisional, yakni strategi perencanaan yang kurang baik, terbatasnya akses permodalan yang disebabkan jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala ekonomi (economies of scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar, buruknya manajemen pengadaan, dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen (Suryadarma et.al., 2007). Langkah atau upaya untuk mendukung usaha perdagangan dapat dilakukan dengan strategi-strategi terpadu yang dapat dilakukan dengan pendekatan bauran ritel {retailing mix), yang terdiri lokasi, pelayanan, merchandising, harga, suasana, pedagang, dan metode promosi (Foster, 2008).
Selain berkembangnya pasar modern, kondisi distributor, kondisi pasar (konsumen), faktor lainnya yang mempengaruhi berkembangnya pasar tradisional adalah program dan regulasi dari pemerintah. Takaendengan et.al (2005) mengidentifikasi bahwa kelembagaan yang menangani, keahlian, dan keterampilan personil pengelolaan pasar merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan pasar tradisional.
Pemberdayaan pasar tradisional perlu dilakukan karena fungsi dan peran pasar tradisional yang strategis, karena selain menyerap tenaga kerja yang banyak, pasar tradisional merupakan pangsa pasar utama penyerapan produk atau hasil-hasil dari pertanian (Kuncoro, 2008). Jadi bila kondisi dan kontribusi pasar tradisional terus menurun, maka akan berpengaruh negatif pada sektor pertanian yang merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Untuk itu perlu adanya suatu perancangan strategis dalam pembuatan program dan regulasi untuk menanggulangi menurunnya peran pasar tradisional. Salah satu proses proses dari perancangan manajemen strategis adalah pengamatan lingkungan, yang terdiri dari lingkungan eksternal dan internal. Pengamatan lingkungan eksternal untuk melihat kesempatan dan ancaman, pengamatan lingkungan internal dilakukan untuk melihat kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor strategis ini ini diringkas dengan singkatan SWOT, yaitu Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunity (kesempatan), dan Threats (ancaman) (Wheelen dan Hunger, 2003).
Perancangan strategis pengembangan pasar tradisional perlu dilakukan karena hal ini merupakan amanat dari UUD 1945 pasal 33 yang menyebutkan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berpihak pada rakyat. Selaras dengan pasal 33 UUD 1945, GBHN tahun 1999, butir II tentang arah kebijakan ekonomi yang menyebutkan bahwa pemerintah harus melindungi para pengusaha kecil, menengah dan koperasi dari persaingan yang tidak sehat. Dalam implementasi program dan regulasi untuk pengembangan pasar tradisional ini menuntut peran besar dari pemerintah daerah, menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa tanggung jawab yang paling utama dan pertama di era otonomi dalam mensejahterakan masyarakat berada dipundak pemerintah daerah.
Pengembangan pasar tradisional di wilayah Kabupaten X harus dilakukan oleh pemerintah Kabupaten X khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan agar peran kontribusinya tidak tergeser oleh pasar modern, karena pada sektor perdagangan tradisional ini menurut data dari BPS Kabupaten X tahun 2008 terdapat 261.684 orang atau sebesar 29,99% yang menggantungkan hidupnya pada pasar tradisional. Jumlah ini merupakan persentasi terbesar diantara sektor-sektor lain dalam hal penyerapan tenaga kerja.
Untuk itu perlu merumuskan suatu perancangan analisis kebijakan pengembangan pasar tradisional untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pasar tradisional di Kabupaten X agar dapat bertahan dan berkembang ditengah persaingan dengan pasar modern yang semakin ketat.
Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pasar tradisional telah banyak dilakukan diantaranya :
- Priyono et.al. (2003), meneliti tentang dampak kehadiran pengecer besar terhadap pengecer kecil (pasar tradisional) di Indonesia dengan menggunakan analisis Cost-Benefit.
- Takaendengan et.al. (2005), meneliti tentang pengembangan sistem sanitasi pasar di Manado. Penelitian ini menggunakan analisis kelembagaan sebagai dasar input untuk matrik SWOT.
- Kuncoro (2008), meneliti strategi pengembangan pasar tradisional dan modern di Indonesia pasca dikeluarkannya Perpres No. 112 Tahun 2007. Penelitian ini dilakukan dengan cara analisis deskriptif.
- Suryadarma et.al. (2007), meneliti tentang dampak keberadaan supermarket terhadap pasar dan pedagang ritel tradisional di daerah perkotaan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan model Difference-in-Defference (DiD) dalam menganalisis dampak keberadaan supermarket terhadap pasar tradisional.
- Megawati (2007), meneliti tentang pertumbuhan minimarket di Indonesia yang berkembang pesat di daerah-daerah pemukiman. Analisis dilakukan berdasarkan model kebutuhan dari Levy&Weitz.
- Mahendra (2008), meneliti tentang fasilitas dan utilitas pasar tradisional, dimana utilitas terdiri dari lantai tempat lelang, lantai basah, lantai kering dan Cold Storage. Sedangkan untuk utilitas terdiri dari: ketersediaan listrik, air, trotoar, jalan masuk, tempat pembuangan sementara dan fork lift. Data-data yang didapat diolah dengan menggunakan metode RRA, SWOT, dan SMART
- Saepina (2008), meneliti tentang efektifitas implementasi kebijakan perizinan pendirian toko modern atau minimarket di Kabupaten X. Analisis dilakukan berdasarkan model efektivitas implementasi kebijakan dari Wibawa.
- Shafwati et.al. (2007), meneliti tentang strategi peningkatan kualitas pelayanan pasar puring di Kota Pontianak. menggunakan SWOT dan analisis kuadran.

1.2. Perumusan Masalah
Akar permasalahan dalam penelitian ini adalah perlunya identifikasi dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan pasar tradisional, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal dalam menghadapi persaingannya dengan keberadaan pasar modern. Wheelen dan Hunger (2003) menyebutkan bahwa lingkungan internal terdiri dari variabel-variabel (kekuatan-kelemahan) yang ada di dalam organisasi, dan lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel (peluang dan ancaman) yang berada di luar organisasi.
Penelitian yang berkaitan dengan pasar tradisional telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja pasar tradisional telah diidentifikasi oleh penelitian Priyono et.al. (2003), Takaendengan et.al. (2005), Suryadarma et.al. (2007), Kuncoro (2008), Megawati (2007), Mahendra (2008), Saepina (2008), Shafwati et.al. (2007). Penelitian-penelitian tersebut belum dapat menunjukkan secara jelas mengenai faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pengembangan pasar tradisional, baik itu faktor eksternal maupun internal.
Penelitian-penelitian yang ada belum dapat menggambarkan kondisi lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan pasar tradisional. Oleh karena itu, masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini dikemukakan dalam pertanyaan penelitian berikut. Bagaimana merancang kebijakan pengembangan pasar tradisional yang sesuai berdasarkan identifikasi faktor internal dan eksternal.
Seluruh proses perumusan masalah penelitian ini terangkum dalam skema yang terlihat pada Gambar 1.1. Proses perumusan masalah dalam penelitian ini diawali dengan studi pendahuluan dan pencarian data awal. Kemudian dilanjutkan dengan perumusan list of symptoms dan pendefinisian root causes, dan diakhiri dengan perumusan masalah.
Studi pendahuluan dilakukan dengan mempelajari berbagai literatur untuk memperoleh teori-teori mengenai analisis kebijakan dan konsep manajemen strategi. Pencarian data awal dilakukan dengan cara pencarian berbagai informasi yang terkait dengan kondisi pasar tradisional di Indonesia. Seluruh informasi yang diperoleh kemudian dirangkum dalam bentuk list of symptoms. Berdasarkan gejala-gejala yang ada, dapat dirumuskan root causes, dan akhirmya dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus penelitian.

** Gambar sengaja tidak ditampilkan **

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Merancang strategi kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kabupaten X
2. Merumuskan usulan program-program implementasi dari strategi kebijakan yang terpilih, sehingga strategi kebijakan yang terpilih dapat memecahkan permasalahan pasar tradisional di Kabupaten X.
3. Mengkaji analisis persiapan organisasi pelaksana strategi, yaitu pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten X.

1.4. Batasan Masalah
Penelitian mengenai perancangan strategi kebijakan ini akan sangat komplek dan luas sehingga perlu dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut :
1. Pasar tradisional yang akan dijadikan objek penelitian adalah pasar Pemda Kabupaten X yang terdiri dari 8 (delapan) pasar.
2. Data penelitian diambil sampai dengan tahun 2008.
3. Strategi yang dirumuskan diasumsikan independen atau tidak saling mempengaruhi.

1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam melakukan studi tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan
Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah yang berisi hal-hal yang mendasari perlunya penelitian ini dilakukan, kemudian perumusan masalah yang berisi pernyataan singkat mengenai inti permasalahan yang akan diteliti serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Pada bab ini juga dibahas mengenai batasan yang digunakan dan sistematika penulisan.
Bab II. Studi Literatur
Bab ini menjelaskan tentang teori pendukung dan penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan perancangan strategi kebijakan, peran dan tugas pemerintah, faktor-faktor yang berpengaruh dalam bisnis ritel pada umumnya dan pasar tradisional pada khususnya yang digunakan sebagai dasar untuk pengembangan model penelitian, dan tools yang akan digunakan dalam mengolah penelitian ini.
Bab III. Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan secara rinci tentang metode yang dipakai dalam penelitian ini, meliputi persiapan penelitian, studi pendahuluan, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data sehingga sampai pada suatu kesimpulan akhir.
Bab IV. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Bab ini merupakan bagian yang menguraikan tentang pengumpulan data internal dan eksternal dari pasar tradisional di Kab. X dan metode pengolahannya. Pengumpulan data ini terdiri dari data-data primer dan sekunder mengenai kondisi lingkungan baik itu internal ataupun eksternal dari pasar tradisional yang akan digunakan untuk menyusun matrik IFE, EFE, IE dan SWOT untuk menformulasikan alternatif strategi, dan juga dalam pengumpulan data ada data dari hasil penyebaran kuesioner untuk menentukan bobot, nilai, dan alternatif strategi yang akan dipilih menggunakan metode AHP.
Bab V. Analisis
Bab ini menjelaskan tentang analisis hasil pengolahan data dan intepretasinya yang meliputi gambaran secara umum dari kondisi pasar tradisional di Kab. X berdasarkan data internal dan ekternal, serta membahas rekomendasi strategi yang terpilih dan mengkaji analisis persiapan organisasi pelaksana strategi agar dapat lebih optimal dalam pengimplementasian strategi.
Bab VI. Kesimpulan dan Saran
Bab penutup yang menyimpulkan hasil penelitian dan saran-saran yang berkaitan dengan strategi kebijakan pengembangan pasar tradisional baik saran kepada penelitian lebih lanjut maupun saran kepada pihak pemerintah Kab X yang dalam hal ini adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pasar tradisional.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:23:00

TESIS MODEL PERTUMBUHAN POPULASI DAN KAITANNYA DENGAN EPIDEMI PENYAKIT TUBERKULOSIS

(KODE : PASCSARJ-0094) : TESIS MODEL PERTUMBUHAN POPULASI DAN KAITANNYA DENGAN EPIDEMI PENYAKIT TUBERKULOSIS (PRODI : MATEMATIKA)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan populasi ditandai dengan adanya perubahan jumlah populasi disetiap waktu. Perubahan ini biasanya dipengaruhi oleh jumlah kelahiran, kematian dan migrasi. Terdapat beberapa model pertumbuhan, namun yang akan dibahas adalah model pertumbuhan kontinu dan diskrit. Model pertumbuhan kontinu meliputi model eksponensial dan model logistik. Sedangkan model pertumbuhan diskrit meliputi model linear homogen dan model diskrit logistik. Model-model tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Model eksponensial merupakan model pertumbuhan yang sangat sederhana. Pada model ini individu berkembang tidak dibatasi oleh lingkungan seperti kompetisi dan keterbatasan akan suplai makanan. Laju perubahan populasi dapat dihitung jika banyaknya kelahiran, kematian dan migrasi diketahui. Prediksi bahwa jumlah populasi akan tumbuh secara eksponensial pertama kali dicetuskan oleh Malthus (1798). Populasi yang tumbuh secara eksponensial pertama kali diamati terjadi di alam bebas. Dinamika populasi dapat di aproksimasi dengan model ini hanya untuk periode waktu yang pendek saja.
Model kedua untuk model pertumbuhan kontinu adalah model logistik. Model ini merupakan penyempurnaan dari model eksponensial dan pertama kali diperkenalkan oleh Pierre Velhust pada tahun 1838. Berbeda dengan model eksponensial, model ini memasukkan batas untuk populasinya sehingga jumlah populasi dengan model ini tidak akan tumbuh secara tak terhingga. Laju pertumbuhan penduduk akan terbatas akan ketersediaan makanan, tempat tinggal, dan sumber hidup lainnya. Dengan asusmsi tersebut, jumlah populasi dengan model ini akan selalu terbatas pada suatu nilai tertentu.
Model pertumbuhan kontinu logistik mempunyai hasil estimasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan model pertumbuhan eksponensial. Namun model logistik tidak cocok digunakan untuk memprediksi jumlah populasi dalam jangka waktu yang sangat panjang. Oleh karena itu diperlukan model lain yang signifikan untuk memprediksi jumlah penduduk baik dalam jangka waktu pendek, menengah maupun jangka panjang. Salah satu alternatif model adalah dengan menggunakan model diskrit. Model diskrit yang dipelajari meliputi model linier homogen dan model diskrit logistik. Dari model-model tersebut kemudian dipilih yang terbaik dengan membandingkan hasil estimasi yang telah dilakukan terhadap data yang sebenarnya. Harapannya, model terbaik tersebut dapat digunakan lebih lanjut untuk memprediksi jumlah populasi yang akan datang.
Laju kelahiran dan kematian tidak hanya berpengaruh terhadap perubahan jumlah populasi. Akan tetapi keduanya juga berpengaruh terhadap epidemi penyakit. Salah satunya adalah penyakit tuberkulosis. Selama ini antara pertumbuhan penduduk dengan epidemik suatu penyakit dianggap sebagai sesuatu yang terpisah. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba mengaitkan antara laju pertumbuhan populasi dari model pertumbuhan populasi dengan epidemi penyakit tuberkulosis.

1.2 Rumusan Masalah
Pada bagian awal akan dibahas macam-macam model pertumbuhan populasi. Dengan menggunakan data jumlah penduduk Amerika dari tahun 1700 sampai dengan tahun 2000, akan diperoleh laju pertumbuhan populasi dan estimasi jumlah populasi dari tiap-tiap model. Selanjutnya dari bahasan mengenai pertumbuhan populasi penduduk ini, akan dianalisa lebih lanjut pengaruh laju pertumbuhan penduduk terhadap dinamika penyebaran penyakit TB di negara yang sama, karena data kasus penyakit ini juga telah didokumentaikan dengan baik dan dapat diakses dengan mudah.
Model penyebaran penyakit TB yang aka dibahas terdiri atas dua model, yakni model dengan peluang terinfeksi konstan dan model dengan peluang terinfeksi berupa suatu fungsi yang bergantung terhadap waktu dan juga laju pertumbuhan penduduk. Dari kedua model tersebut akan dipelajari dinamika penyebaran penyakit TB sehingga diperoleh model yang sesuai dengan kondisi sebenarnya.

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari penulisan tugas akhir ini adalah untuk mempelajari model pertumbuhan populasi dan kaitannya dengan epidemi penyakit tuberkulosis. Untuk mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu akan dibahas model pertumbuhan populasi kontinu yang didalamnya membahas model pertumbuhan eksponensial dan logistik dan model pertumbuhan populasi diskrit yang meliputi model beda linier homogen dan beda logistik.

1.4 Sistematika Penulisan
1. Bab I (Pendahuluan), membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.
2. Bab II (Pembahasan), membahas model pertumbuhan populasi kontinu
3. Bab III (Pembahasan), membahas model pertumbuhan populasi diskrit.
4. Bab IV (Pembahasan), membahas kaitan pertumbuhan populasi dengan epidemi penyakit tuberkulosis.
5. Bab V (Penutup), berisi kesimpulan akhir dari penelitian ini.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:22:00

TESIS DESAIN DAN IMPLEMENTASI INTERACTIVE E-LEARNING MENGGUNAKAN ANIMASI DAN GAME

(KODE : PASCSARJ-0093) : TESIS DESAIN DAN IMPLEMENTASI INTERACTIVE E-LEARNING MENGGUNAKAN ANIMASI DAN GAME (PRODI : TEKNIK ELEKTRO)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Lingkungan merupakan hal yang sangat penting dalam proses kehidupan. Kerusakan lingkungan seperti polusi dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Hal ini dapat menjadi masalah serius jika tidak ditangani dengan baik. Memperkenalkan pada anak-anak sejak dini dapat menjadi salah satu upaya menjaga kelestarian lingkungan, sebab mereka adalah aset bagi pembangunan pada generasi berikutnya. Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya hal ini yang terbukti dengan adanya mated tentang lingkungan dalam standar isi untuk kurikulum pendidikan formal. Mated ini terintegrasi dengan mated lainnya dalam mata pelajaran IP A untuk jenjang SD.
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dewasa ini telah mempengaruhi berbagai bidang, seperti pertahanan keamanan, perdagangan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Terkait masalah yang dikemukakan di atas, maka pembahasan akan lebih ditekankan pada pemanfaatan teknologi tersebut dalam bidang pendidikan. Salah satu wujud nyata pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi di bidang pendidikan adalah penggunaan internet dan intranet melalui e-learning.
Pemanfaatan teknologi dalam pendidikan ini berperan membantu guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di sekolah, khususnya untuk mengatasi masalah kurangnya alat peraga dalam pembelajaran IPA bagi siswa SD. Berkenaan dengan pembelajaran tersebut, e-learning dapat dimanfaatkan untuk mengubah pola pembelajaran konvensional ke pola pembelajaran digital, salah satunya melalui aplikasi belajar. Pembelajaran IPA memerlukan sarana pendukung yang dapat membantu proses belajar-mengajar yang lebih interaktif. Pola pengajaran yang interaktif dan menyenangkan dapat diterapkan dengan memanfaatkan unsur permainan ke dalam pendidikan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyerap materi pelajaran.
Teknologi e-learning terus berkembang dan mengarah pada peningkatan fitur interaktif. Dalam pembuatan suatu media e-learning perlu memperhatikan berbagai hal terkait dengan tujuan adanya media e-learning tersebut, sasaran pengguna, antarmuka pengguna {user interface), dan bahan ajar. Dalam hal ini tujuannya adalah menciptakan suasana belajar yang interaktif, menyenangkan dan efektif. Sasaran utama pengguna media ini adalah siswa dan guru, sehingga antarmuka yang disajikan hendaknya mendukung kepentingan keduanya agar menarik minat dan memberi motivasi dalam memanfaatkan media ini.
Materi pembelajaran (bahan ajar) untuk e-learning dapat disampaikan secara terstruktur sesuai kurikulum yang berlaku dengan memanfaatkan teknologi media audio visual. Teknologi ini daya tariknya terhadap anak-anak sangat tinggi, terbukti bahwa anak-anak lebih tertarik pada media audio visual seperti televisi dibandingkan media cetak (buku) atau media dengar (radio). Penyampaian materi dapat dilakukan dalam suatu kelas yang memiliki komputer-komputer yang dapat diakses oleh siswa dengan didampingi oleh guru yang bertanggung jawab atas mata pelajaran yang bersangkutan.
Pembelajaran dengan pemanfaatan teknologi dapat dipadukan dengan adanya unsur permainan yang interaktif, sehingga merupakan suatu metoda yang menyenangkan bagi anak-anak untuk belajar. Dalam permainan tersebut dapat berisi materi-materi yang biasanya disampaikan di depan kelas, sehingga media pembelajaran melalui permainan interaktif ini akan sangat membantu guru dalam menyampaikan materi sekaligus melakukan evaluasi terhadap siswanya. Cara ini diharapkan akan efektif dan bermanfaat bagi pembelajaran di sekolah, terutama yang memiliki kelas-kelas besar, yaitu kelas yang memiliki jumlah siswa sangat banyak dalam satu kelas, dan sekolah yang memiliki guru yang jumlahnya sangat terbatas.
Anak-anak umumnya memiliki keterbatasan pengetahuan tergantung pada informasi yang diterimanya. Visualisasi cenderung digunakan untuk menerima informasi dan mengingatnya dalam otak. Pada umumnya anak-anak memiliki daya imajinasi yang cukup tinggi. Sehingga dalam menyampaikan materi pembelajaran tentang lingkungan hidup ini harus memperhatikan visualisasi yang dapat menumbuhkan imajinasi, agar dapat dibayangkan hal yang sesungguhnya terjadi terhadap lingkungan hidup di sekitarnya.
Tulisan ini membahas desain dan implementasi interactive e-learning yang berupa portal belajar bidang studi IPA untuk jenjang SD. Dengan ini diharapkan kegiatan pembelajaran IPA menjadi lebih interaktif karena dalam aplikasi ini gum merupakan fasilitator pembelajaran dan mitra belajar bagi siswa. Isi utama dalam aplikasi belajar ini adalah materi-materi dan evaluasi yang disampaikan melalui teks, gambar, animasi dan gome, yang berisi tentang pengenalan makhluk hidup dan lingkungan.

1.2 Tujuan
Tulisan ini memberikan gambaran terhadap sistem yang akan dikembangkan dan memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mendesain penyampaian mated dan evaluasi untuk pembelajaran IPA jenjang SD, khususnya tentang makhluk hidup dan lingkungan, dalam suatu portal belajar yang disajikan secara interaktif dengan memanfaatkan teknologi yang ada.
2. Mengenalkan media pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi kepada guru dan siswa SD.
3. Menambah efektifitas pembelajaran.

1.3 Batasan Masalah
Dari uraian di atas, masalah dibatasi pada beberapa hal seperti berikut.
1. Desain dan implementasi interactive e-learning yang berupa prototipe portal belajar mata pelajaran IPA untuk jenjang SD memanfaatkan program aplikasi moodle.
2. Desain prototipe konten mated IPA berupa aplikasi pembelajaran tentang pengenalan makhluk hidup dan lingkungan untuk siswa SD kelas 1 s.d. kelas 3 sesuai dengan SI-SKL yang berlaku secara nasional menggunakan animasi dan game.

1.4 Rumusan masalah
Dari uraian dan batasan masalah di atas dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut.
1. Menetapkan desain dan implementasi interactive e-learning yang berupa prototipe portal belajar bidang studi IPA untuk jenjang SD.
2. Menetapkan desain dan implementasi prototipe mated pembelajaran bagi siswa SD untuk kelas 1 s.d. kelas 3 dalam pengenalan makhluk hidup dan lingkungan sesuai SI-SKL menggunakan animasi dan game.

1.5 Metoda Penelitian
Penulisan karya tulis ini menggunakan metoda studi literatur, yaitu dengan mempelajan berbagai tulisan yang berkaitan dengan aplikasi yang didesain. Selain itu, dilakukan survey dengan menggunakan kuisioner, observasi dan wawancara terhadap sejumlah responden di dua SD dan sebuah kelompok belajar.

1.6 Sistematika Penulisan
Tulisan ini memiliki sistematika penulisan sebagai berikut.
BAB I. PENDAHULUAN, berisi latar belakang, tujuan, batasan masalah, perumusan masalah, metoda penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, berisi teori-teori tentang pendidikan dan teknologi yang digunakan sebagai landasan dalam mendesain dan mengimplementasikan prototipe aplikasi pembelajaran.
BAB III. ANALISIS DAN DESAIN SISTEM, berisi analisis dan desain yang dilakukan terkait dengan tujuan dan permasalahan di atas.
BAB IV. IMPLEMENTASI DAN UJI COBA, berisi antarmuka aplikasi sebagai wujud implementasi dari desain yang dibuat serta hasil uji coba dan survey yang menggunakan metode kuisioner, observasi dan wawancara.
BAB V. PENUTUP, berisi kesimpulan dan saran untuk pengembangan lebih lanjut.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:20:00

TESIS TRANSFORMASI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PERI-URBAN DI SEKITAR PENGEMBANGAN LAHAN SKALA BESAR

(KODE : PASCSARJ-0092) : TESIS TRANSFORMASI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PERI-URBAN DI SEKITAR PENGEMBANGAN LAHAN SKALA BESAR (PRODI : PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA)




BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan dengan berbagai bentuk penggunaan lahan seperti persawahan, hutan, perikanan dan lahan produktif lainnya yang kemudian berubah fungsi menjadi perumahan beserta infrastruktur, fasilitas umum dan fasilitas sosial, pengembangan kesempatan usaha melalui industri, jaringan kegiatan sosial-ekonomi melalui pusat perdagangan, dan lain sebagainya. Pengembangan lahan bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah pengembangan lahan dalam skala besar. Di Indonesia, khususnya wilayah Jabotabek, pengembangan lahan skala besar oleh sektor swasta begitu marak. Pada akhir tahun 1980-an terdapat lebih dari 30 pengembangan lahan skala besar, dengan luas area untuk masing-masing pengembangannya mencapai lebih dari 500 hektar, tersebar di wilayah Bogor, X dan Bekasi (Bappeda DKI Jakarta, 1997 dalam Winarso, 2007). Pengembangan lahan tersebut tampaknya tidak terlepas dari aktivitas Jakarta yang sudah sangat padat, sehingga pengembangan lahan ini berupaya untuk menampung limpahan pertumbuhan kegiatan perkotaan Jakarta serta mengurangi tekanan urbanisasi yang kuat bagi kota tersebut.
Pengembangan lahan skala besar tidak hanya membawa pengaruh pada area tempat dilakukannya pengembangan itu sendiri, tetapi juga kerap memberikan peluang bagi daerah lain di sekitarnya untuk ikut berubah. Perubahan tersebut salah satunya adalah terkait dengan proses peri-urbanisasi. Dengan segala bentuk pemanfaatan ruangnya, pengembangan lahan skala besar bisa mengubah karakteristik area tempat dilakukannya pengembangan lahan maupun wilayah sekitarnya. Ketika pengembangan lahan dilakukan pada area pedesaan, proses peri-urbanisasi mampu menciptakan titik konsentrasi atau pusat aktivitas baru di luar area terbangun kota, serta merubah area yang dulunya berkarakter rural menjadi area peri-urban, yakni suatu area yang di dalamnya terdapat kombinasi antara karakteristik rural dan karakteristik urban (Bryant dkk, 1982).
Konteks peri-urban sendiri merupakan salah satu isu dalam bidang perencanaan wilayah dan kota yang masih memerlukan pembahasan ataupun penelitian lebih lanjut. Peri-urbanisasi bisa menimbulkan suatu dinamika perubahan yang besar dan mentransformasi karakteristik wilayah, di antaranya melalui peningkatan populasi, perubahan struktur sosial ekonomi, dan sebagainya. Di sisi lain terkadang proses peri-urbanisasi di area peri-urban juga kurang diperhatikan keberlanjutannya (sustainability). Beberapa masalah yang bisa muncul dari proses peri-ubanisasi, di antaranya adalah pertumbuhan yang tidak terkendali, degradasi lingkungan, kurangnya infrastruktur, kurangnya perhatian pada kesehatan masyarakat, organisasi sosial, kemiskinan, kurangnya infrastrukur, lemahnya manajemen persampahan, kurangnya struktur legal dan konflik sosial (Bolay, 1999 dalam Pusdea, 2004; Allen, 2006; Bryant, 1982).
Proses peri-urbanisasi juga dapat dikaitkan dengan pengembangan lahan yang terjadi di wilayah Jabotabek. Pemanfaatan ruang yang begitu marak telah menembus area pedesaan bahkan merubah karakteristik pedesaan tersebut. Sampai dengan 1997 di Jabotabek telah terjadi perubahan terhadap 16,6 ribu ha lahan pedesaan yang ada di bagian luar area terbangun kota menjadi permukiman dalam kurun waktu 20 tahun serta menjual sekitar 25 ribu unit rumah tiap tahunnya (Winarso dan Firman, 2002; Winarso dan Kombaitan, 2001). Pengembangan lahan tersebut juga mengakibatkan adanya fenomena alih fungsi lahan yang ekstrim di wilayah Botabek. Luasan area yang digunakan untuk real estate di area sekitar Jakarta yaitu Bogor, Bekasi dan X, antara tahun 1983 sampai dengan 1992 telah menghabiskan 61.000 hektar lahan, 54.000 hektar di antaranya adalah di X (Firman dan Dharmapatni, 1994). Masih terkait dengan perubahan guna lahan, berdasarkan interpretasi satelit oleh Lapan (Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen PU, 2004 dalam Winarso, 2007), terjadi peningkatan penggunaan lahan yang signifikan untuk pemukiman pada wilayah Jabotabek dari tahun 1992 sampai dengan 2001, yakni dari 68.169,24 hektar pada tahun 1992 menjadi 139.684,1 hektar pada tahun 2001. Sementara dari sumber yang sama, guna lahan hutan dan lahan pertanian justru mengalami penurunan, yakni dari 197.792 hektar pada 1992 menjadi 64.084,14 hektar. Untuk itu di sini terdapat indikasi bahwa wilayah rural-yang umumnya didominasi oleh lahan pertanian sawah, sebagian telah dijadikan sebagai obyek untuk pengembangan lahan.
Salah satu bentuk pengembangan lahan skala besar yang ada di wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek) adalah X. Pengembangan lahan yang terletak di Kabupaten X ini meliputi luas lahan sekitar 6.000 hektar, dengan pertumbuhan yang sangat cepat dan sampai saat ini terus diupayakan untuk berkembang sebagai kota mandiri melalui pembangunan infrastruktur, pengembangan wilayah hunian, pembangunan pusat bisnis, penyediaan sarana transportasi dan sebagainya. Pengembangan lahan skala besar tersebut diperkirakan menimbulkan suatu dinamika, salah satunya adalah dinamika kependudukan yang diwarnai oleh migrasi, baik ke wilayah X itu sendiri maupun ke wilayah sekitarnya. Hal ini tentunya juga dipengaruhi oleh adanya migrasi di wilayah DKI Jakarta yang secara umum menunjukkan gejala perpindahan penduduk ke titik-titik pinggiran Kota Jakarta, terutama di daerah sekitar atau dekat dengan pengembangan lahan skala besar, seperti yang terjadi di sekitar X. Fenomena perpindahan penduduk ke wilayah sekitar pengembangan lahan skala besar di antaranya didukung oleh ketersediaan peluang kerja, fasilitas yang tersedia, masih murahnya atau relatif terjangkaunya harga lahan di wilayah tersebut terlebih lagi jika dibandingkan dengan harga lahan pada area yang dikembangkan, dan sebagainya. Di samping dinamika perpindahan penduduk tersebut, masih ada beberapa perubahan sosial ekonomi lainnya yang mungkin terjadi seiring dengan pengembangan lahan yang dilakukan.
Adapun studi ini difokuskan pada kelurahan ataupun desa yang ada di sekitar X. Dalam hal ini perubahan pada wilayah sekitar X dapat dipandang sebagai bentuk peri-urbanisasi, karena selain kemungkinan terjadinya migrasi yang memberikan dampak bagi peningkatan populasi, juga terdapat kemungkinan adanya perubahan-perubahan pada karakteristik masyarakat di sekitar X, yang sebelumnya bersifat rural menjadi lebih bersifat kombinasi rural-urban. Pergerakan penduduk yang terjadi ke wilayah sekitar X tampaknya terjadi secara alamiah atas inisiatif masyarakat itu sendiri dengan didorong motif perbaikan ekonomi, mengingat perekonomian di X ini semakin maju dan membuka peluang kesempatan kerja. Perubahan lainnya yang juga tampak pada area sekitar pengembangan X adalah perubahan struktur mata pencaharian. Maraknya kegiatan industri dan perdagangan tidak hanya menjadi faktor penarik bagi para pendatang, tetapi juga bisa menjadi faktor yang menggeser keberadaan sektor pertanian di wilayah ini. Masih terkait dengan sosial ekonomi, Bryant dkk (1982) mengemukakan bahwa urbanisasi pada peri-urban bisa membuat masyarakatnya memiliki standar hidup dan pendapatan yang lebih tinggi. Berbagai hal tersebut merupakan sebagian kemungkinan perubahan sosial ekonomi pada wilayah peri-urban dan masih perlu penelusuran lebih lanjut.
Dari uraian tersebut di atas, diketahui bahwa peri-urbanisasi oleh suatu pengembangan lahan skala besar tidak hanya mampu mengubah wilayah sekitarnya secara fisik, tetapi juga dalam hal sosial ekonominya. Untuk itulah studi ini berupaya untuk mengetahui lebih jauh mengenai transformasi sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat yang tinggal di peri-urban di sekitar pengembangan lahan skala besar X. Transformasi yang diangkat dalam kesempatan ini meliputi beberapa komponen perubahan yaitu migrasi, struktur mata pencaharian, struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Pemilihan keempat komponen tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa hal, diantaranya adalah hasil tinjauan literatur mengenai peri-urban, tinjauan mengenai pengalaman perkembangan peri-urban di negara lain, pengamatan maupun wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat pada survei awal terkait dengan perubahan sosial ekonomi masyarakat-yang sebagian besar merujuk pada komponen-komponen tersebut. Selain itu, keempat komponen ini juga merupakan faktor-faktor perubahan sosial ekonomi masyarakat peri-urban yang relatif lebih mudah untuk diperoleh diperoleh informasinya di wilayah studi, disamping adanya pertimbangan keterbatasan waktu, biaya, tenaga dan faktor teknis lainnya.
Sejauh ini pembahasan peri-urban melalui berbagai literatur ataupun penelitian yang telah ada lebih banyak mengkaji mengenai perkembangan peri-urban yang terjadi di negara-negara lain, seperti India dan Afrika (Brook dan Davila, 2000), Asia Timur (Webster, 2002), dan Cina (Wang dan Muller, 2002). Konteks ini juga dapat dikatakan sebagai suatu hal yang relatif masih baru di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, dari segi empirik, studi ini diharapkan mampu membuktikan perubahan atau transformasi sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat peri-urban di Indonesia-khususnya pada masyarakat yang tinggal di sekitar pengembangan lahan skala besar, sekaligus memberikan penjelasan yang lebih jauh mengenai perubahan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, identifikasi maupun pembuktian transformasi sosial ekonomi masyarakat dalam studi ini mengambil kasus pengembangan lahan skala besar X yang berada di Kabupaten X Propinsi X, dan dilakukan melalui komponen migrasi, struktur mata pencaharian, struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.

1.2. Rumusan Persoalan
Dari berbagai uraian di atas, rumusan persoalan dari penelitian ini adalah belum teridentifikasinya transformasi sosial ekonomi masyarakat peri-urban di sekitar pengembangan lahan skala besar X. Melalui fokus studi, tinjauan literatur mengenai peri-urban, serta berbagai pertimbangan lainnya, transformasi sosial ekonomi yang belum teridentifikasi di sini meliputi beberapa komponen, yaitu migrasi, struktur mata pencaharian, struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.

1.3. Tujuan dan Sasaran
Dari rumusan persoalan di atas, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menjelaskan transformasi sosial ekonomi masyarakat yang ada peri-urban di sekitar pengembangan lahan skala besar X. Adapun untuk memfokuskan tujuan studi tersebut, dalam penelitian ini sosial ekonomi masyarakat dititik beratkan pada beberapa faktor perubahan yaitu migrasi, struktur mata pencaharian, struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.
Sasaran yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Mengidentifikasi migrasi yang terjadi di sekitar X.
Sasaran ini dicapai dengan menelusuri kegiatan migrasi yang terjadi di wilayah studi. Beberapa hal yang perlu diidentifikasi dalam komponen ini di antaranya adalah perbandingan penduduk asli dan penduduk pendatang di wilayah studi, jumlah perpindahan yang pernah dilakukan, tempat tinggal asal, tahun dilakukannya perpindahan, alasan pindah serta pihak yang mengajak pindah.
- Mengidentifikasi berbagai perubahan yang terjadi dalam strukur mata pencaharian rumah tangga masyarakat sekitar X dalam 15 tahun terakhir.
Adapun sasaran ini dicapai dengan mengumpulkan berbagai informasi terkait dengan struktur mata pencaharian rumah tangga dalam 15 tahun terakhir. Struktur mata pencaharian yang diidentifikasi ini meliputi mata pencaharian utama dan juga mata pencaharian tambahan. Informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi perubahan dalam struktur mata mata pencaharian ini di antaranya adalah mengenai jenis mata pencaharian rumah tangga serta tempat bekerja.
- Mengidentifikasi perubahan struktur pendapatan dan pengeluaran pada masyarakat sekitar X dalam 15 tahun terakhir.
Mengumpulkan berbagai informasi terkait dengan jumlah pendapatan maupun berbagai jenis pengeluaran merupakan salah satu upaya untuk mencapai sasaran ini. Seperti halnya pada sasaran kedua, informasi yang dikumpulkan adalah informasi dalam 15 tahun terakhir.
Untuk pencapaian sasaran ini, informasi yang perlu digali di antaranya adalah jumlah pendapatan yang diperoleh rumah tangga baik dari mata pencaharian utama maupun mata pencaharian tambahan, serta informasi mengenai jumlah pengeluaran rumah tangga untuk berbagai kebutuhan.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, studi ini diarahkan dengan beberapa pertanyaan penelitian yakni sebagai berikut:
1) Seberapa besar migrasi yang terjadi disekitar pengembangan lahan skala besar X?
2) Seberapa besar perubahan struktur mata pencaharian rumah tangga sekitar pengembangan lahan skala besar X?
3) Seberapa besar perubahan struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga sekitar pengembangan lahan skala besar X?

I.4. Relevansi Studi
Penelitian ini membahas mengenai berbagai perubahan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi akibat adanya pengembangan lahan dalam skala besar. Ketika perubahan terjadi dengan cepat (Webster, 2002) dan mengubah karakteristik asli suatu wilayahnya karena datangnya pengaruh baru, baik dari rural maupun urban, maka gambaran ini sering disebut sebagai proses peri-urbanisasi. Kajian mengenai peri-urban merupakan sesuatu yang relatif baru, khususnya bagi Indonesia. Untuk itu studi ini diharapkan mampu memberikan wawasan yang baru untuk pengembangan khasanah sekaligus juga memperkaya dan memperluas pengetahuan dalam ilmu perencanaan wilayah dan kota, khususnya yang terkait dengan pengembangan lahan (land development).
Konteks peri-urban tidak hanya memerlukan pemahaman spesifik mengenai proses bertemunya sistem urban dan sistem rural (Periurban Development South East Asia, 2000), tetapi yang lebih penting lagi adalah mengenai dampaknya, eksternalitas negatif, resiko, dan sebagainya. Untuk itu dalam hal ini, selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan, hasil studi juga diharapkan mampu memberikan informasi ataupun masukan untuk kegiatan perencanaan di masa yang akan datang, khususnya mengenai perubahan-perubahan beserta dampak sosial ekonomi yang mungkin muncul akibat pengembangan lahan skala besar. Dengan informasi serta masukan tersebut berbagai dampak yang mampu menimbulkan gangguan, eksternalitas negatif, konflik dan sebagainya, dapat ditangani sedini mungkin.

I.5. Ruang Lingkup Studi
1) Ruang lingkup wilayah
Sesuai dengan tema yang diangkat, salah satu hal penting yang dipaparkan dalam studi ini adalah mengenai pengembangan lahan skala besar. Obyek pengembangan lahan skala besar yang dipilih adalah X. Sementara itu, wilayah yang diambil sebagai obyek studinya adalah empat kelurahan di sekitar pengembangan X, yang diperkirakan mengalami proses peri-urbanisasi. Keempat kelurahan tersebut adalah :
- Kelurahan Rawa Mekar Jaya
- Kelurahan Rawabuntu
- Kelurahan Jelupang
- Kelurahan Cilenggang
Lebih jelasnya mengenai penentuan lokasi ini dapat dilihat pada Bab III.
2) Ruang lingkup materi
Materi pembahasan dalam studi ini dibatasi pada :
- Transformasi sosial ekonomi masyarakat peri-urban.
Adapun transformasi sosial ekonomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan berbagai perubahan yang terjadi pada sosial ekonomi rumah tangga masyarakat yang difokuskan pada beberapa komponen perubahan, yakni: migrasi, struktur mata pencaharian, serta struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Keempat komponen tersebut dipilih atas dasar beberapa pertimbangan, yaitu hasil tinjauan literatur mengenai peri-urban (di antaranya Bryant, 1992; Briggs & Mwamfupe, 2000; Tacoli, 1999; McGregor, Simon & Thompson, 2006; dll), tinjauan mengenai pengalaman perkembangan peri-urban di negara lain, seperti di India dan Afrika (Brook, 2000), pengamatan maupun wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat pada survei awal terkait dengan perubahan sosial ekonomi masyarakat-yang sebagian besar merujuk pada komponen-komponen tersebut, komponen merupakan beberapa faktor perubahan sosial ekonomi masyarakat peri-urban yang relatif lebih mudah untuk diperoleh diperoleh informasinya di wilayah studi, disamping adanya pertimbangan keterbatasan waktu, biaya, tenaga dan faktor teknis lainnya.
- Kasus pengembangan lahan skala besar yang terjadi pada X, dan perubahan yang dibahas dalam penelitian ini merupakan perubahan yang dialami oleh masyarakat di sekitar pengembangan lahan skala besar X. Wilayah sekitar X dipilih mengingat dulunya area ini memiliki karakteristik rural (merupakan pedesaan) yang diperkirakan telah mengalami proses peri-urbanisasi dan mengalami transformasi menjadi area peri-urban yang di dalamnya tidak hanya masuk karakteristik urban saja tetapi juga masih terdapat karakteristik ruralnya.

1.6. Kerangka Pemikiran
Pengembangan lahan skala besar X ikut merubah wilayah sekitarnya, dari yang dulunya bersifat rural menjadi wilayah peri-urban yang di dalamnya terdapat kombinasi antara karakteristik rural dan urban. Perubahan yang terjadi salah satunya adalah pada sosial ekonomi masyarakat. Melalui tujuan, sasaran dan berbagai proses di dalamnya, penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi perubahan yang terjadi, khususnya yang berkaitan dengan migrasi, struktur mata pencaharian, struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, sehingga pada akhirnya diketahui karakteristik migrasi masyarakat, transformasi struktur mata pencaharian, serta transformasi struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga masyarakat sekitar X.

1.7. Sistematika Penulisan
Penulisan untuk studi ini dibagi ke dalam enam bagian, yaitu:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan persoalan, tujuan dan sasaran, relevansi studi, ruang lingkup studi, kerangka pemikiran serta sistematika penulisan untuk penelitian ini.
Bab 2 Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi hasil studi literatur dari berbagai sumber yang mendukung studi. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan mengenai peri-urban, pengembangan lahan, sosial ekonomi masyarakat peri-urban, pengalaman peri-urban di wilayah lain, serta relevansi tinjauan teoritis dengan penelitian yang dilakukan.
Bab 3 Disain Riset
Bab ini menjelaskan mengenai beberapa hal berkaitan dengan kegiatan ataupun proses yang ditempuh dalam penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut bab ini meliputi beberapa penjelasan mengenai pengumpulan data, lokasi penelitian, pemilihan sampel, metode analisis, serta tahapan-tahapan yang dilalui dalam penelitian ini.
Bab 4 Gambaran Umum Wilayah Studi
Pada bab ini dijelaskan secara umum mengenai gambaran wilayah yang diambil sebagai obyek studi. Gambaran ini meliputi gambaran mengenai pengembangan X, Kecamatan Serpong serta kelurahan-kelurahan yang dipilih untuk studi (Kelurahan Rawa Mekar Jaya, Kelurahan Rawabuntu, Kelurahan Jelupang dan Kelurahan Cilenggang).
Bab 5 Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Pengembangan Lahan Skala Besar X
Bab ini berisikan tentang analisis sosial ekonomi masyarakat di wilayah studi yang difokuskan pada pembahasan mengenai migrasi, struktur mata pencaharian, serta struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga masyarakat sekitar pengembangan lahan skala besar X. Adapun untuk melihat perubahan atau transformasinya, pada bab ini juga diuraikan mengenai berbagai perubahan yang terjadi pada komponen-komponen tersebut selama 15 tahun terakhir.
Bab 6 Penutup
Bab ini berisikan tentang temuan studi, kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan, rekomendasi, kelemahan studi serta saran untuk studi lanjutan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:19:00

TESIS PERILAKU MASYARAKAT TERKAIT LINGKUNGAN PERDESAAN

(KODE : PASCSARJ-0091) : TESIS PERILAKU MASYARAKAT TERKAIT LINGKUNGAN PERDESAAN (PRODI : PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar belakang
Sejak dicanangkan menjelang akhir 1980an, pembangunan berkelanjutan muncul sebagai konsep penting. Banyak negara mengadopsinya untuk memandu proses pembangunan, terutama yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam. Paradigma dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah tidak hanya pembangunan yang berorientasikan kepada produksi semata, tetapi membangun sebuah kawasan secara keseluruhan yang meliputi juga aspek sosial dan lingkungan. Paradigma pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan perpaduan dari kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pencapaian tujuan-tujuan ekonomi harus selaras dengan tujuan sosial maupun kepentingan lingkungan. Selain itu, kepentingan antar kelompok masyarakat dan antar generasi mendapat perhatian besar (Bruntdland, 1988).
Kelestarian lingkungan merupakan pilar penting dalam pembangunan berkelanjutan. Pelestarian lingkungan dimaksudkan untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan (Wiyono, 2007). Terdapat beberapa cara pandang yang menjelaskan hubungan antara manusia dan lingkungannya. Cara pandang tersebut sangat mempengaruhi tindakan seseorang terhadap lingkungan. Menurut cara pandang lingkungan, manusia adalah subordinat dan seluas-luasnya diatur oleh lingkungan. Cara pandang teologi, menekankan bahwa manusia adalah superior terhadap lingkungan dan manusia mempunyai hak untuk mengatur semua aspek lingkungan. Kedua cara pandang ini adalah cara pandang yang ekstrem sehingga seolah-olah manusia dan lingkungan (alam sekitar) diposisikan sebagai pihak yang bertentangan. Jalan tengah dari dari dua posisi tersebut adalah dari cara pandang ekologi yang mempercayai bahwa manusia adalah bagian yang integral dari alam, adalah hubungan manusia dan lingkungannya seharusnya merupakan hubungan yang simbiotik dan tidak mengeksploitasi. (Muchlis, 2006),
Dalam cara pandang ekologi, manusia bertanggung jawab untuk mengatur alam sekitar dengan seadil-adilnya. Bagaimana seseorang mengambil keputusan untuk mengatur lingkungannya akan terpulang kepada cara pandang yang dia anut. Keputusan yang diambil akan menimbulkan dampak balik kepada manusia, oleh itu diperlukan pengetahuan dan kesadaran serta sikap yang memadai tentang lingkungan.
Dalam kaitan ini, pemeliharaan kemampuan lingkungan untuk mendukung penduduk dan kegiatannya adalah suatu keharusan. Dalam konteks Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang berupaya untuk mewujudkan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan (termasuk ruang). Perhatian terhadap perbaikan lingkungan merupakan aspek penting dalam upaya tersebut.
Dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, manusia berupaya untuk memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungannya. Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kualitas lingkungan. Kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi terbentur dengan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk menyediakannya. Hubungan yang tidak seimbang ini menyebabkan perubahan lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak balik pada manusia itu sendiri.
Perbaikan lingkungan merupakan hal yang esensial dalam mengelola perubahan lingkungan, namun pada umumnya masyarakat banyak yang kesulitan untuk memahaminya. Pemahaman masyarakat terhadap lingkungan dibentuk oleh aneka ragam situasi kemasyarakatan. Masyarakat perkotaan memandang lingkungan sebagai pendukung aktifitas, sedangkan masyarakat perdesaan memandang lingkungan sebagai penyedia utama kebutuhan dasar mereka seperti kebutuhan pangan. Perbedaan pemahaman tersebut menentukan perilaku masyarakat terhadap lingkungannya.
Terlepas dari perbedaan tersebut, pemahaman pentingnya perbaikan lingkungan perlu ditanamkan sehingga masyarakat bersedia untuk melakukan upaya individual maupun kolektif untuk memelihara bahkan meningkatkannya. Pemahaman terhadap pentingnya perbaikan lingkungan dan kesediaan untuk memperbaiki lingkungan merupakan salah satu bentuk perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat merupakan resultansi dari berbagai kondisi, baik kondisi internal maupun eksternal dan merupakan refleksi dari pengetahuan, kesadaran dan sikap positif terhadap lingkungan.
Perbaikan lingkungan sangat diperlukan di Bandung Selatan. Kawasan Bandung Selatan memiliki penduduk sekitar 1,5 juta jiwa yang sebagian besar hidup dari industri pengolahan, pertanian dan perdagangan. Pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan merupakan kegiatan dominan di wilayah yang penduduknya mayoritas berpendidikan sekolah dasar. Kawasan ini juga memiliki tempat wisata yang cukup atraktif bagi pengunjung dari luar. Kawasan ini terdiri dan gunung dan perbukitan yang menuntut kehati-hatian dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kombinasi curah hujan dan kemiringan lahan yang tinggi, populasi yang banyak serta budidaya sayuran dan tanaman pangan yang intensif sangat potensial untuk menimbulkan kemerosotan daya dukung lingkungan di kawasan yang menjadi daerah belakang (hinterland) Kota Bandung ini. Kawasan yang merupakan bagian dan Daerah Aliran Sungai Citarum ini juga menjadi konsentrasi industri tekstil yang menjadi beban berat lingkungan karena kebutuhan air yang besar. Tanda-tanda penurunan kualitas lingkungan yang di permukaan muncul sebagai masalah kekurangan air, polusi, erosi dan sedimentasi sudah terjadi di kawasan ini. Penurunan kualitas lingkungan akan menurunkan kualitas hidup masyarakat perdesaan maupun kota-kota kecil (Banjaran, Majalaya, Soreang, Ciwidey dan Ciparay) di kawasan ini.
Perbaikan lingkungan yang tepat mendesak untuk dilakukan di Bandung Selatan. Dalam kaitan ini, masyarakat memerlukan kerangka tindak perbaikan yang sesuai. Kerangka semacam ini belum dimiliki oleh masyarakat di kawasan ini. Mengingat kompleksitas permasalahan yang menyangkut lingkungan sehingga perumusan kerangka tindak memerlukan kajian cermat. Salah satu bentuk kajian sebagai langkah awal dalam penyusunan kerangka tindak perbaikan lingkungan di Bandung Selatan ini adalah kajian mengenai perilaku masyarakat itu sendiri. Kajian mengenai perilaku masyarakat di Bandung Selatan ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai pengetahuan dan sikap masyarakat tentang pentingnya perbaikaan lingkungan serta bagaimana mereka melakukan tindakan nyata (practice). Belum adanya kajian mengenai perilaku masyarakat di Bandung Selatan inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini.

1.2. Identifikasi Masalah
Sebagian besar wilayah Bandung Selatan memiliki karakteristik perdesaan.Lingkungan perdesaan di Bandung Selatan ini ternyata memiliki masalah lingkungan yang cukup kompleks, hal ini selain disebabkan oleh faktor alam juga berkaitan erat dengan aktivitas manusia yaitu kegiatan ekonomi masyarakat serta populasi masyarakat yang terus berkembang sehingga menciptakan perubahan lingkungan. Kompleksitas permasalahan yang menyangkut lingkungan ini tentunya memerlukan tindakan individual dan kolektif masyarakat untuk memperbaikinya
Tindakan masyarakat terhadap lingkungan merupakan bagian dari perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat Bandung Selatan terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang terjadi. Masyarakat yang berada di bantaran sungai seperti Sungai Citarum berperilaku berdasarkan pemahaman masyarakat terhadap fungsi sungai serta dipengaruhi oleh kondisi eksternal sebagai stimulus (rangsangan). Pemahaman yang salah terhadap fungsi sungai lalu didorong oleh keterbatasan fasilitas kesehatan lingkungan akan berdampak pada perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan kualitas lingkungan. Begitupun perilaku masyarakat di kawasan lain (seperti kawasan pertanian dan peternakan, kawasan lahan kritis dan kawasan lainnya yang terkait lingkungan) ditentukan juga oleh bagaimana masyarakat merespon kondisi eksternal lingkungan (sebagai stimulus).
Keterkaitan antara masyarakat dengan kondisi eksternal lingkungan akan menciptakan perilaku konstruktif maupun destruktif terhadap lingkungan. Ada beberapa masalah utama lingkungan perdesaan di Bandung Selatan yaitu banjir, erosi, sampah rumah tangga dan limbah peternakan maupun pertanian. Beberapa masalah lingkungan tersebut masih belum bisa diselesaikan oleh masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan respons (tanggapan) masyarakat terhadap masalah lingkungan itu sendiri. Perbedaan yang timbul merupakan resultansi dari interaksi antara kondisi internal dengan eksternal. Kondisi internal merupakan latar belakang masyarakat sedangkan kondisi eksternal bisa bersifat institusional maupun non-institusional. Oleh sebab itu, kajian mengenai perilaku masyarakat terkait lingkungan perdesaan perlu dilakukan agar dorongan dan hambatan yang terkait dengan perilaku masyarakat bisa diidentifikasikan. Belum adanya informasi mengenai perilaku terkait lingkungan perdesaan menjadi argumentasi kuat dilakukan studi ini. Informasi tersebut bisa dimanfaatkan dalam proses perbaikan lingkungan perdesaan seperti peningkatan pengetahuan tentang lingkungan dan pengorganisasian masyarakat yang diharapkan mampu mendorong kolektifitas dan koordinasi dalam bertindak Proses perbaikan lingkungan yang efektif akan menciptakan kelestarian lingkungan. Kondisi inilah yang diharapkan muncul sebagai salah satu prasyarat pembangunan perdesaan berkelanjutan.

1.3. Batasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang menyangkut lingkungan, kajian ini akan difokuskan pada kawasan perdesaan. Kawasan ini memerlukan pengkajian tersendiri karena rumitnya permasalahan perdesaan seperti tekanan jumlah penduduk, kemiskinan, keterbatasan pengetahuan dan teknologi dan Iain-lain. Kemudian berdasarkan pertimbangan waktu, tenaga, kemampuan peneliti dan supaya penelitian dapat dilakukan secara mendalam, pembahasan dalam studi ini dibatasi pada perilaku masyarakat berdasarkan kajian teori behavioristik yang memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap stimulus (rangsangan) dari lingkungan eksternal.

1.4. Perumusan Masalah
Dari identifikasi dan batasan masalah tersebut di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perilaku masyarakat dalam merespon stimulus masalah lingkungan perdesaan?
2. Sejauhmana keterkaitan latar belakang masyarakat dengan respon yang terjadi? serta dorongan dan hambatan apa yang muncul?
3. Rekomendasi apa untuk merumuskan tindak kolektif masyarakat untuk memperbaiki lingkungan perdesaan?

1.5. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dilakukan studi ini adalah mengidentifikasi bentuk respon pasif dan aktif dari stimulus masalah lingkungan perdesaan yang dipengaruhi oleh kondisi internal individu serta dorongan dan hambatan eksternal, dengan sasaran sebagai berikut:
1. Teridentifikasinya masalah lingkungan perdesaan sebagai stimulus (rangsangan) perilaku masyarakat.
2. Teridentifikasinya respon pasif masyarakat dan keterkaitannya dengan latar belakang masyarakat.
3. Teridentifikasinya respon aktif (tindakan) masyarakat serta dorongan dan hambatan institusional dan non-institusional.
4. Terumuskannya rekomendasi yang dapat menjadi masukan dalam pengorganisasian tindak kolektif masyarakat bagi perbaikan lingkungan perdesaan yang bertanggung jawab.

1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengelolaan lingkungan di Kawasan Bandung Selatan maupun Kabupaten Bandung pada umumnya. Pembelajaran yang muncul diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi wilayah lain yang memiliki karakteristik serupa. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan konsep akademis di bidang pengelolaan lingkungan.

1.7. Ruang Lingkup Wilayah
Kawasan Bandung Selatan berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Bandung. Kawasan Bandung Selatan ini terdiri atas 18 Kecamatan, tetapi yang akan menjadi ruang lingkup wilayah studi ini adalah Kecamatan Pangalengan Pemilihan Kecamatan Pangalengan ini berdasarkan pertimbangan kondisi lingkungannya yang masih bercirikan perdesaan dan sering mengalami masalah lingkungan perdesaan seperti banjir, erosi dan limbah ternak. Sebagai sampel akan diambil tiga desa yang memiliki kompleksitas masalah lingkungan perdesaan.

1.8. Kerangka Pikir Studi
Wilayah Bandung Selatan merupakan wilayah pertanian potensial yang berada di sebelah selatan Kabupaten Bandung. Wilayah ini memiliki masalah lingkungan perdesaan yang cukup kompleks akibat tekanan jumlah penduduk dan tingginya intensitas kegiatan ekonomi masyarakat. Penurunan kualitas lingkungan ini tentunya memerlukan upaya perbaikan dari masyarakat baik secara individual maupun kolektif. Tindakan yang pernah dilakukan oleh masyarakat selama ini belum mampu menyelesaikan masalah lingkungan perdesaan karena masyarakat belum mampu mengarahkan tindakan mereka ke arah perbaikan lingkungan. Tindakan merupakan bentuk respon yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. Dalam konteks lingkungan perdesaan, masalah lingkungan merupakan stimulus bagi masyarakat untuk berperilaku. Bentuk respon yang muncul tersebut bisa bersifat pasif berupa pengetahuan masyarakat tentang lingkungan dan kesediaan untuk bertindak maupun bersifat aktif berupa tindakan. Respon yang muncul merupakan resultansi dari pengaruh kondisi internal dan eksternal masyarakat.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:17:00

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DESA

(KODE : PASCSARJ-0090) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DESA (PRODI : PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA)




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan perdesaan mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional dan daerah. Di dalamnya terkandung unsur pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, termasuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang bermukim di perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Perhatian ke arah pemerataan hasil-hasil pembangunan khususnya untuk masyarakat perdesaan menjadi sangat penting karena beberapa alasan : (1) sebagian besar masyarakat bertempat tinggal di pedesaan; (2) bagian terbesar masyarakat miskin berada di pedesaan, Kemiskinan di perdesaan dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial yang pada akhirnya dapat memicu ketidakstabilan dan menciptakan gangguan terhadap pembangunan itu sendiri.
Data tahun 2006 menunjukkan bahwa 57,3 juta orang atau 60% dari total tenaga kerja nasional berkerja di perdesaan, sebanyak 37,6 juta atau 65,7% diantaranya bekerja pada sektor pertanian (Sakernas 2006). Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa produktivitas perekonomian perdesaan yang bertumpu pada sektor pertanian sangat rendah. Ini tidak saja berkaitan dengan produktivitas pertanian yang makin menurun, tetapi juga berkaitan dengan kebijakan politik yang kurang berpihak pada sektor pertanian, walaupun Indonesia termasuk negara agraris (Hayami & Kikuchi, 1990; Wiradi, 1989; Tjondronegoro, 1993; White, 2000).
Rendahnya produktivitas sektor pertanian dibandingkan dengan sektor-sektor non pertanian seperti sektor industri, jasa, pertambangan, dan sektor lainnya serta adanya kebijakan pembangunan yang bias perkotaan, telah menghasilkan ketimpangan pendapatan antara penduduk di perkotaan dan perdesaan.
Banyak faktor yang membuat ketertinggalan perekonomian perdesaan dibandingkan dengan perkotaan. Secara singkat Evers (1998) mengungkapkan dua sebab : (1) Konteks struktural dan (2) Konteks kultural. Konteks struktural menunjuk pada kebijakan pembangunan (ekonomi & politik) yang lebih mengutamakan pembangunan perkotaan ketimbang perdesaan. Konteks kultural dikaitkan dengan stigma bahwa masyarakat perdesaan itu malas, tertinggal, bodoh, miskin dan karena itulah wajar kalau pendapatan mereka menjadi rendah.
Dalam konteks struktural tersebut, Wiradi (1989) dan Hayami Kikuchi (1990) mengungkapkan bahwa salah satu sebab rendahnya pendapatan penduduk perdesaan adalah karena keterbatasan akses modal, informasi dan teknologi serta yang paling utama adalah akses sarana dan prasarana. Keterbatasan prasarana, terutama transportasi sebagai penunjang utama kegiatan ekonomi, telah menghasilkan kesenjangan dalam standar kehidupan dan kesempatan dalam peningkatan perekonomian antara perdesaan dengan perkotaan. Ini akan berimplikasi pada rendahnya produktivitas ekonomi perdesaan.
Ketimpangan pembangunan khususnya di perdesaan, termasuk di dalamnya pembangunan prasarana dan sarana transportasi di pedesaan, tidak terlepas dari implementasi kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dengan negara sebagai aktor utama. Chamber (1990) menyebutnya sebagai kebijakan pembangunan yang bersifat betting strong policy dengan strategi state centered development. Dalam konteks ini negara menjadi inisiator, pelaksana, sekaligus pengawas dari keseluruhan pembangunan. Melalui aparat birokrasi sebagai kepanjangan tangan pemerintah, hampir semua proses pembangunan baik yang sifatnya fisik maupun non fisik ditentukan, diarahkan dan didorong oleh mereka. Model pembangunan yang top down ini tidak saja telah menciptakan ketergantungan masyarakat kepada negara, lebih dari itu telah mematikan inisiatif dan partisipasi masyarakat. Masyarakat menjadi pasif sekaligus obyek pembangunan. Dalam konteks ini pendekatan development for the people lebih mengedepan ketimbang development of the people.
Sejak tahun 1990-an ketika PBB mencanangkan Dasawarsa Pembangunan II, arah, prinsip, model dan pendekatan pembangunan bergeser menjadi lebih berpihak pada masyarakat. Melalui pendekatan pembangunan yang mengacu pada broad based participatory, pembangunan yang diterapkan lebih menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama pembangunan. Dengan model people centered development, pelaksanaan pembangunan didorong dengan lebih mendasarkan pada inisiatif dan partisipasi masyarakat.
Pembangunan yang efektif membutuhkan keterlibatan (partisipasi) awal dan nyata di pihak semua pemangku kepentingan {stakeholders) dalam penyusunan rancangan kegiatan yang akan mempengaruhi mereka. Sewaktu masyarakat yang terlibat merasa bahwa partisipasi mereka penting, mutu, efektifitas dan efisiensi pembangunan akan meningkat.
Hasil kajian Brinkerhoff dan Benyamin (2002) di Filipina mengungkapkan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi masyarakat untuk bersedia terlibat dalam pembangunan perdesaan adalah sistem sosial berlaku. Sistem sosial mempengaruhi individu atau masyarakat melalui berbagai insentif dan disinsentif.
Berbeda dengan Brinkerhoff dan Benyamin, hasil studi Narayan (1995) menunjukkan bahwa faktor yang mendorong masyarakat untuk terlibat dalam proyek penyediaan air di beberapa kota di Indonesia adalah faktor kemanfaatan yang diperoleh masyarakat. Mereka bersedia terlibat karena secara nyata akan memperoleh manfaat dari proyek yang akan dibangun.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suharso (2004) dalam studi evaluasi terhadap proyek P2MPD (Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah) di 3 Kabupaten (Sleman, Bantul dan Wonogiri, ketiganya di Propinsi Jateng dan DIY) yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB) dan Program PKPS BBM (Program Kompensasi Pengurangan Subsisi BBM) Infrastruktur Pedesaan yang didanai oleh APBN. Kedua program tersebut berfokus pada pembangunan infrastruktur perdesaan seperti jalan, jembatan, irigasi, dan drainase. Hasil studi evaluasi kedua proyek tersebut menemukan bahwa kesediaan masyarakat untuk terlibat/berpartisipasi dalam bentuk memberikan sumbangan natura dan innatura didorong oleh faktor harapan terhadap manfaat yang akan diperoleh, sistem sosial, status sosial ekonomi masyarakat dan budaya gotong royong.
Berbeda dengan pandangan kedua kajian di atas, Putnam (1993) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan seseorang atau masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan perdesaan, termasuk dalam membangun infrastruktur perdesaan adalah berkaitan dengan situasi saling ketergantungan, kepercayaan, dan jaringan organisasi sosial yang memfasilitasi kerjasama untuk manfaat bersama.
Berbagai kajian yang membahas tentang faktor-faktor yang mendorong masyarakat untuk terlibat atau berpartisipasi dalam pembangunan perdesaan termasuk pembangunan infrastruktur, sebagian besar membahas hal-hal yang mempengaruhi persepsi, motivasi dan kemampuan dalam berkontribusi, baik secara individu maupun kolektif. Namun demikian kajian dari dimensi kewilayahan tidak banyak yang membahas. Kajian umumnya meletakkan secara parsial pada sisi ekonomi, budaya dan kelembagaan yang melekat pada masyarakat sebagai entitas wilayah dan individu sebagai bagian dari masyarakat. Partisipasi digali pada tingkat individu dan masyarakat sebagai subyek, tidak meletakan pada level yang lebih makro yaitu wilayah sebagai wadah untuk melaksanakan kegiatan. Pemikiran secara parsial yang mengedepankan sektor-sektor tertentu atau lebih kepada satu sudut pandang dari latar belakang expertise penelitinya tidak akan menjawab persoalan secara makro yang sesungguhnya lebih rumit dimana satu dan lainnya saling berhubungan. Partisipasi yang ditujukan dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melekat pada masyarakat itu sendiri, seperti perekonomian, kebudayaan dan kehidupan sosialnya. Lebih jelasnya, penting untuk melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur desa dilihat dari aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek geografi desa. Dengan diketahuinya hubungan antara partisipasi masyarakat dengan aspek tersebut dapat dijadikan acuan bagi para perencana wilayah dalam implementasi kebijakan kedepan.

1.2 Perumusan Masalah
Dalam usaha pembangunan infrastruktur perdesaan, pemerintah menghadapi kendala tidak saja dalam masalah pembiayaan tapi juga penolakan dari masyarakat akibat ketidaksesuaian antara infrastruktur yang dibangun dan yang menjadi kebutuhan mereka, maka pelibatan masyarakat merupakan sebuah cara yang efektif. Dengan partisipasi masyarakat tidak hanya akan menjawab kedua permasalahan tersebut, tapi masih banyak lagi keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak. Kendatipun demikian, mengikutsertakan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam program-progam pembangunan tidak semudah apa yang dibayangkan.
Data laporan hasil pelaksanaan yang disusun oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten X terhadap pelaksanaan Program Dana Pembangunan dan Operasional Desa/Kelurahan (DPODK) tahun 2006 bagi pengembangan dan pembangunan infrastruktur perdesaan menunjukkan perbedaan keterlibatan masyarakat pada masing-masing desa. Data tersebut menunjukan adanya variasi bentuk/jenis dan besaran partisipasi pada taraf pelaksanaan program pengembangan dan pembangunan infrastruktur perdesaan di 245 desa dan kelurahan se-Kabupaten X.
Selain kenyataan tersebut, kenyataan lainnya adalah kajian yang membahas tentang determinan partisipasi masyarakat pada pelaksanaan pembangunan infrastruktur desa masih sangat minim. Terlebih lagi di Kabupaten X dimana kajian yang membahas tentang hal tersebut belum pernah dilakukan. Untuk itu sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut tetang faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur di perdesaan. Hasil kajian dapat dijadikan pedoman bagi perencanaan pengembangan infrastruktur perdesaan.
Bertitik tolak dari pemaparan di atas dimana determinan dari partisipasi merupakan sesuatu yang penting untnk diketahui, maka pertanyaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: Apakah terdapat hubungan antara aspek ekonomi, sosial budaya dan geografis terhadap partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur perdesaan?

1.3 Tujuan, Sasaran dan Manfaat Studi
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu diketahuinya bentuk, besaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam penyediaan infrastruktur desa. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dalam memenuhi tujuan tersebut adalah :
1. Teridentifikasinya bentuk dan besaran kontribusi masyarakat yang merupakan indikator tingkat partisipasi masyarakat.
2. Teridentifikasinya faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan infrastruktur desa ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya dan geografi.
Adapun yang menjadi harapan dari hasil penelitian ini yaitu dapat memberikan manfaat bagi penajaman aplikasi/implementasi program Dana Operasional dan Pembangunan Desa/Kelurahan Kabupaten X dalam upaya pembangunan infrastruktur perdesaan selanjutnya, serta program-program yang sejenis.

1.4 Ruang Lingkup Kajian
1.4.1 Ruang Lingkup Materi
Pokok bahasan tentang partisipasi masyarakat sangat luas dan kompleks, karena menyangkut subjek, objek dan konteks partisipasi itu sendiri. Dengan mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki oleh penulis, ruang lingkup materi dalam penelitian ini dibatasi dengan hanya membahas hal-hal yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat khususnya dalam taraf implementasi pembangunan infrastruktur transportasi desa.
1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah Studi
Unit wilayah yang akan dikaji yaitu pada 245 desa dan kelurahan se-Kabupaten X, Provinsi X. Pemilihan wilayah studi ini didasarkan pada lokasi berlangsungnya program Dana Operasional dan Pembangunan Desa/Kelurahan, yang merupakan objek yang akan diteliti.

1.5 Relevansi Studi
Partisipasi dalam paradigma perencanaan dapat dilihat sebagai instrumen atau sebagai tujuan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, penelitian dengan pokok bahasan partisipasi masyarakat yang dilaksanakan ini memiliki relevansi dengan bidang ilmu perencanaan wilayah dan kota, khususnya bidang Sistim Infrastruktur dan Transportasi. Sesuai dengan manfaat studi yang telah diuraikan di atas, diharapkan hasil penelitian ini akan lebih mempertajam aplikasi/implementasi program-program sejenis dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa.

1.6 Metoda penelitian
Faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat merupakan suatu pembahasan yang amat luas. Meskipun dalam kajian ini dibatasi hanya dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur, namun karena unit analisis yang akan diteliti adalah perdesaan di Kabupaten X maka jenis data yang memungkinkan untuk dapat dianalisis adalah data sekunder. Penggunaan data sekunder ini didasari dengan pertimbangan bahwa keluaran yang dihasilkan dari analisis nantinya dapat dipergunakan oleh para praktisi dan penentu kebijakan secara relatif lebih cepat dan murah dibandingkan dengan menggunakan data primer.
Selain itu pula, pembahasan tentang partisipasi tidak dapat dilepaskan dari karakteristik yang menyangkut sosial budaya masyarakat lokal. Sedangkan dibanyak literatur dinyatakan bahwa cara yang terbaik dalam mempelajari fenomena yang terjadi dalam masyarakat yaitu dengan menggunakan analisis kualitatif yang data-datanya bersumber dari masyarakat secara langsung.
Untuk itu, dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan diatas, maka penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Untuk data primer akan dianalisis menggunakan analisis kualitatif dan data sekunder akan dianalisis menggunakan analisis kuantitatif.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:15:00

TESIS DAMPAK KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI PETANI

(KODE : PASCSARJ-0089) : TESIS DAMPAK KONVERSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI PETANI (PRODI : PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA)




BAB I
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang
Kecamatan X merupakan salah satu kecamatan yang dilalui Jalur Pantura Pulau Jawa yang menghubungkan Jakarta (Pusat Kegiatan Nasional/ PKN)-Cirebon (Pusat Kegiatan Nasional/ PKN). Secara relatif dalam konstelasi wilayah Kabupaten X, Kecamatan X adalah kecamatan terbesar kedua setelah Kecamatan X baik dari luas wilayah, jumlah penduduk ataupun kelengkapan sarana dan prasarana sosial ekonomi. Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi X, Kecamatan X merupakan wilayah pantai utara yang diperuntukkan untuk kawasan lahan basah (Revisi RTRW Kab.X Tahun 2002-2012, hal. II. 1). Rencana hirarki kota-kota berdasarkan Revisi RTRW Kabupaten X Tahun 2002-2012 dalam, Kecamatan X merupakan kota hirarki I dengan fungsi utama sebagai pusat pertumbuhan utama dan sebagai gerbang perdagangan ke luar wilayah kabupaten. Sedangkan dalam rencana pembagian fungsi kota-kota, Kota X berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan Wilayah Pengembangan II, pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian, perikanan dan kebutuhan pokok. Wilayah Pengembangan II meliputi Kota X (sebagai pusat pelayanan Wilayah Pengembangan II), Kota Ciasem, Kota Legonkulon, Kota Blanakan, Kota Pusakanagara, Kota Binong, dan Kota Compreng. Kecamatan X juga merupakan pusat pelayanan di zona utara dengan fokus pengembangan sektor perdagangan (Revisi RTRW Kab.X Tahun 2002, hal. V.39-V.43). Sebagaimana diketahui berdasarkan keragaman karakteristik fisiknya Kabupaten X terbagi menjadi 3 zona pelayanan yaitu zona selatan dengan pusat di Kecamatan Jalancagak, zona tengah berpusat di Kecamatan Pabuaran, pusat pengembangan utama di Kecamatan X, dan zona utara berpusat di Kecamatan X.
Potensi utama di Kecamatan X yang didukung dengan kebijakan pengembangan wilayah Kabupaten X dan Propinsi X adalah sektor pertanian. Hal ini tampak dari besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan kecamatan, luas area pertanian, dan mata pencaharian penduduk. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kecamatan X Tahun 2002 merupakan terbesar kedua setelah sektor perdagangan, hotel, dan restoran (sebesar 34,17% dari total PDRB kecamatan atau sebesar Rp. 39.165.000.000), yaitu sebesar 30,58% dari total PDRB kecamatan (Rp. 35.053.000.000). Besarnya kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB Kabupaten X Tahun 2002 dapat dilihat pada Gambar I.2 di bawah ini. Luas lahan yang diperuntukkan bagi sektor pertanian di Kecamatan X tahun 2006 mencapai lebih dari 60% dari seluruh luas wilayah kecamatan. Namun produksi padi mengalami penurunan sebesar 42,57%, yaitu dari 95.000 tahun pada tahun 1993 menjadi 54.561 ton pada tahun 2003. Jumlah penduduk yang bermatapencaharian utama sebagai petani (baik sebagai petani pemilik maupun buruh tani) pada tahun 2006 sebesar 12.108 jiwa (50,18% dari total pekerja di Kecamatan X).
Kebijakan-kebijakan tersebut diatas mendorong perkembangan wilayah Kecamatan X yang berakibat pada peningkatan jumlah penduduk dari 80.898 jiwa pada tahun 1996 menjadi 90.142 jiwa pada tahun 2007 (tingkat pertumbuhan rata-rata 1% per tahun), dengan kepadatan penduduk rata-rata pada tahun 2007 sebesar 118 jiwa/Ha. Jumlah penduduk di Kecamatan X selain dipengaruhi oleh pertumbuhan alamiah (kelahiran) juga migrasi. Migrasi datang tahun 1998 sebesar 163 jiwa menurun menjadi 80 jiwa pada tahun 2007, sedangkan penduduk yang pindah ke luar wilayah Kecamatan X tahun 1998 sebesar 113 jiwa menjadi 117 jiwa pada tahun 2007.
Pertambahan jumlah penduduk pedesaan tentunya berdampak pada peningkatan pemanfaatan lahan baik untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, kebutuhan pangan maupun untuk menampung aktivitas manusia dalam keseharian. Namun demikian lahan merupakan sumberdaya yang relatif tidak berubah kuantitasnya, sedangkan kegiatan manusia bersifat dinamis dan terus bertambah dari segi kualitas maupun kuantitasnya (Suhelmi, 1998). Pertambahan jumlah penduduk bukan hanya berdampak secara spasial, tetapi juga menyebabkan perubahan sosioekonomi dan kultural penduduk pedesaam yang antara lain menyangkut struktur produksi, mata pencaharian, cara hidup, perilaku dan banyak aspek sosiokultural lainnya (Giyarsih, 2006). Dengan demikian konversi lahan pertanian tidak hanya menimbulkan persoalan ketahanan pangan, tetapi juga lingkungan dan ketenagakerjaan, karena lahan pertanian atau sawah berperan sangat penting terhadap aspek ekonomi, industri, lingkungan hidup, sosial, politik, dan keamanan.
Ada tiga alasan utama perlunya pencegahan dan/atau pengendalian terhadap kecenderungan perubahan fungsi lahan pertanian. Pertama adalah karena kecenderungan tersebut dipandang sebagai ancaman terhadap upaya untuk mempertahankan swasembada pangan nasional. Kedua, besarnya biaya investasi untuk pembangunan prasarana irigasi selama ini yang akan hilang begitu saja jika peralihan penggunaan lahan sawah terus berlanjut tanpa pengendalian. Ketiga, pencetakan sawah baru di luar Jawa membutuhkan biaya yang besar untuk mengimbangi menyusutnya sawah produktif di pulau Jawa di samping memerlukan waktu yang lama dalam pengembangannya (Harun, 1997;21).
Jadi alasan perlunya pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian di wilayah Kecamatan X, adalah karena konversi lahan yang telah terjadi dan nampaknya cenderung terus terjadi merupakan ancaman terhadap keberlangsungan kegiatan pertanian lahan basah atau sawah yang merupakan salah satu fungsi utama yang diemban wilayah Kecamatan X (secara makro spasial wilayah Kecamatan X), serta merupakan sektor penghidupan utama bagi sebagian besar masyarakatnya sehingga diperlukan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga pertanian yang menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian, serta menjaga keberlangsungan kegiatan pertanian bagi rumah tangga pertanian tersebut (secara mikro).

1.2 Rumusan Persoalan
Rumusan persoalan yang berkaitan dengan dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani, adalah belum diketahuinya perubahan kondisi sosial ekonomi petani sebagai akibat dari konversi lahan pertanian. Perubahan kondisi sosial ekonomi diindikasikan oleh perubahan mata pencaharian, perubahan kepemilikan lahan pertanian, dan migrasi penduduk.
Pertanyaan yang dirumuskan pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik perubahan guna lahan di wilayah studi, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan guna lahan?
2. Seberapa besar dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani dalam perspektif makro (skala wilayah) dan mikro (skala rumah tangga petani), ditinjau dari aspek struktur mata pencaharian, kepemilikan lahan pertanian, dan migrasi?

1.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perubahan kondisi sosial ekonomi petani dari aspek struktur mata pencaharian, kepemilikan lahan pertanian, dan migrasi akibat konversi lahan pertanian di wilayah studi. Sasaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Teridentifikasinya karakteristik perubahan guna lahan di wilayah studi, serta faktor yang mempengaruhi perubahan guna lahan.
2. Teridentifikasinya dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani dalam perspektif makro (skala wilayah) dan mikro (skala rumah tangga petani), ditinjau dari aspek struktur mata pencaharian, kepemilikan lahan, dan migrasi.

1.4 Manfaat Dan Relevansi Studi
Manfaat relevansi dari Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani (Studi Kasus: Jalur Pantura Kecamatan X) adalah :
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten X untuk mengendalikan pengembangan infrastruktur wilayah, agar dapat mempertahankan fungsi wilayahnya sebagai lumbung padi X, dan menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga pertanian.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat Kabupaten X dan pihak pengembang swasta dalam pemilihan lokasi pembangunan infrastruktur agar lebih memperhatikan implikasinya bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat pertanian.
3. Sebagai bahan masukan bagi perencana dan stakeholders dalam meneliti dan mengembangkan kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan wilayah di Kabupaten X di masa mendatang.

1.5 Ruang Lingkup
Dalam rangka mewujudkan tujuan penelitian, maka perlu dijelaskan sekilas mengenai ruang lingkup pembahasannya baik itu yang berkaitan dengan ruang lingkup wilayahnya maupun yang berhubungan dengan materinya. Pembatasan ruang lingkup dapat dijadikan sebagai batasan mengenai wilayah yang diteliti serta memberikan arahan materi yang jelas dan tepat dalam proses penyelesaian masalah.
I.5.1 Ruang Lingkup Wilayah studi
Dalam penelitian ini, desa-desa di Kecamatan X yang dijadikan wilayah studi adalah desa-desa yang berada di sepanjang Jalur Pantura, dengan asumsi bahwa di sepanjang Jalur Pantura tersebut mengalami konversi lahan pertanian akibat perkembangan kegiatan perkotaan yang lebih cepat dibandingkan desa-desa lainnya yang jauh dari Jalur Pantura. Desa-desa yang berada di sepanjang Jalur Pantura antara lain:
1. Desa Batangsari
2. Desa Sukamaju
3. Desa Sukasari
4. Desa Sukareja
5. Desa X
6. Desa Mulyasari
7. Desa Mundusari
8. Desa X Sebrang
Selanjutnya batas-batas administratif wilayah studi adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Laut Jawa, Desa X Hilir, Desa Lengkong Jawa, Kecamatan Legonkulon,
Sebelah Selatan : Desa Curugreja, Desa Rancasari, Desa Rancahilir, Desa Bongas, Kecamatan Binong
Sebelah Timur : Kecamatan Pusakanagara
Sebelah Barat : Kecamatan Ciasem
I.5.2 Ruang Lingkup Materi
Lingkup materi dalam penelitian mengenai Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani (Studi Kasus: Jalur Pantura Kecamatan X) meliputi:
- Penggunaan lahan, di wilayah studi dengan lingkup pembahasan sebagai berikut:
1. Perkembangan penggunaan lahan pada 2 periode yang berbeda, yaitu tahun 1997 dan tahun 2006.
2. Isu-isu dan rencana pembangunan infrastruktur yang memerlukan pengendalian.
- Dampak konversi lahan pertanian menjadi non pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani dalam perspektif makro (skala wilayah) dan mikro (skala rumah tangga petani).
Adapun kondisi sosial ekonomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan berbagai perubahan yang terjadi pada kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani yang difokuskan pada beberapa komponen perubahan, yakni: struktur mata pencaharian, kepemilikan lahan, dan migrasi rumah tangga.
Ketiga komponen tersebut dipilih atas dasar beberapa pertimbangan, yaitu hasil penelitian sebelumnya mengenai dampak konversi lahan pertanian sebagai akibat dari pembangunan wilayah (di antaranya A. Anwar 1993; Edrijani, 1994; Iwan Kustiwan, 1996; Ivan Chofyan, 1997; Siti Fadjarajani, 2001; dll), pengamatan maupun wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat pada survei awal terkait dengan perubahan kondisi sosial ekonomi petani, yang merupakan beberapa faktor perubahan sosial ekonomi petani yang relatif lebih mudah untuk diperoleh informasinya di wilayah studi, di samping adanya pertimbangan keterbatasan waktu, biaya, tenaga dan faktor teknis lainnya.
- Selain itu juga melihat hubungan antara ketiga komponen perubahan yaitu struktur mata pencaharian, kepemilikan lahan, dan migrasi dengan konversi lahan pertanian.

I.6 Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan tujuan, sasaran dan berbagai proses di dalamnya, penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi perubahan yang terjadi akibat konversi lahan pertanian, khususnya yang berkaitan dengan aspek struktur mata pencaharian, kepemilikan lahan pertanian, dan migrasi, sehingga pada akhirnya diketahui dampak konversi lahan pertanian di wilayah studi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:14:00