Cari Kategori

SKRIPSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(KODE ILMU-HKM-0059) : SKRIPSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Praktik pencucian uang bukan hal asing lagi di dunia internasional, bahkan dunia telah sepakat untuk mencegah dan memberantasnya dengan cara mengadakan kerjasama internasional dalam berbagai forum. Indonesia mengikuti perkembangan pencucian uang tersebut dengan bergabung dalam badan-badan atau organisasi internasional. Undang-undang Anti Pencucian Uang Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah diundangkan pada tanggal 17 April 2002 melalui Lembaran Negara No. 30 tahun 2002. Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui revisi rancangan undang-undang anti pencucian uang pada tanggal 25 Maret 2002, satu tahun setelah diajukan pertama kali ke DPR pada bulan Juni 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dengan adanya undang-undang tersebut yang pada intinya membuat pencucian uang sebagai suatu tindak terpisah dan tersendiri.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 masih mengandung beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar, antara lain: pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur, dan banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian. Kedua, kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya. Ketiga, masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang hams menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis pelaporannya. Keempat, perlunya pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor. Kelima, terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penyitaan aset hasil kejahatan. Keenam, terbatasnya pihak yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Ketujuh, keterbatasan kewenangan dari PPATK.
Beberapa kelemahan dan kendala legislasi tersebut akan menjadi sorotan dan perhatian dari komunitas internasional, yaitu FATF, APG, IMF, dan world bank dalam mengevaluasi kepatuhan terhadap Indonesia terhadap standar internasional yang disepakati bersama, yaitu 40+9 FATF recommendations Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh komunitas internasional tersebut bernilai negatif, akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional sehingga tidak tertutup kemungkinan Indonesia kembali dianggap sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Sehubungan dengan hal-hal-hal tersebut di atas dan mengingat pentingnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai landasan hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia serta guna menghindari adanya penilaian negatif komunitas internasional yang tentunya akan berdampak bumk terhadap stabilitas dan integritas sistem keuangan dan sistem perekonomian, maka disarankan untuk segera melakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dengan mengikuti standar internasional yang telah berubah sebagaimana tercermin dalam "revised 40+9 FATF recommendations" serta ketentuan anti money laundering regime yang berlaku secara internasional (international best practice).
Seorang pelaku kejahatan kemungkinan dapat melarikan diri ke luar negeri begitu juga dengan pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang dengan berharap bahwa ia tidak dapat diadili oleh negara asalnya. Tidak semudah itu seseorang pelaku lari dengan mudah, karena suatu negara kemungkinan telah membuat perjanjian ekstradisi terlebih dahulu. Praktek negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak semata-mata tergantung pada adanya perjanjian tersebut. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara dapat lebih memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan pada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seorang atau beberapa orang penjahat pelarian bukan pula karena didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.
Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Di samping itu pula praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan masyarakat sekarang ini. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini.
Ekstradisi ternyata merupakan sarana untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan oleh negara locus delicti atau negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya itu. Dengan demikian sekaligus rasa keadilan dari si korban atau anggota masyarakat dapat dipulihkan. Para pelaku kejahatan yang mempunyai niat untuk melarikan diri ke negara lain mungkin akan berpikir dua kali di dalam melaksanakan niatnya itu, sebab dia akan merasa dibayang-bayangi oleh ekstradisi.
Berdasarkan hal itu tentunya kejahatan pencucian uang menjadi persoalan yang rumit dalam perjanjian ekstradisi, memang setiap negara dalam perjanjian ekstradisi telah menetapkan kerjasama dalam beberapa tindak pidana yang telah diatur dalam isi perjanjian tersebut. Kerumitan dalam proses pembuktian pencucian uang ini ditambah dengan pelaku kejahatan yang melarikan diri menyebabkan sulitnya mengungkapnya baik masih tahap penyelidikan maupun penyidikan. Supaya orang-orang semacam ini tidak terlepas dari tanggung jawabnya atas kejahatan yang dilakukannya, maka diperlukan kerja sama untuk mencegah dan memberantasnya. Sebab pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang hanya dilakukan oleh negara-negara secara sendiri-sendiri, dalam hal-hal tertentu tidak bisa dipertahankan lagi terlebih pada masa abad teknologi sekarang ini.
Oleh karena negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat si pelaku kejahatan itu berada, negara-negara tersebut dapat menempuh secara legal untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu. Apabila suatu negara melindungi pelaku kejahatan pencucian uang yang memang sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi, secara tidak langsung menjadikan wilayahnya sebagai gudang tempat penampungan para pelaku kejahatan tersebut.
Dalam pergaulan internasional maupun nasional, dimana tersangkut kepentingan umum atau negara pada satu pihak dan kepentingan individu pada lain pihak, masalahnya adalah mencari keseimbangan antara keduanya itu. Pokok persoalannya adalah bagaimana mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang dengan segala akibatnya demi ketenteraman dan ketertiban umat manusia, tetapi harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
Perjanjian ekstradisi telah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Singapura tanggal 27 April 2007. Suatu prestasi diplomasi yang cukup baik dilihat dari kacamata betapa lama harus menunggu untuk menandatangani perjanjian ekstradisi tersebut. Ini karena keengganan Pemerintah Singapura menandatanganinya, dengan berbagai alasan.
Salah satu sebabnya adalah sistem hukum yang berbeda dan penegakan hukum di Indonesia yang belum memadai dan tidak konsisten. Menyusul prestasi diplomasi ini meski pelaksanaannya konon baru tahun depan pemerintah Indonesia, khususnya lembaga-lembaga penegak hukum, perlu segera membenahi sistem hukum, dan perlu konsistensi penegakan hukum. Jangan sampai orang-orang, baik tersangka atau terpidana yang buron dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia, ternyata lolos dari tuntutan hukum, entah karena kurang bukti, suap, ketidakprofesionalan, dana kurang atau keengganan para penegak hukum dan birokrasi menegakkan hukum dalam memberantas korupsi.
Terganjalnya ekstradisi Hendra Rahardja oleh pemerintah Australia adalah karena alasan diskriminasi terhadap etnis China di Indonesia, peraturan-peraturan hukum yang diskriminatif dan peristiwa Mei 1998. Hal-hal seperti inilah yang harus diantisipasi. Belum lagi kepentingan nasional Indonesia harus ditonjolkan selain mengektradisi para buronan (fugitives) juga adalah kepentingan mengembalikan aset negara yang dibawa raib para tersangka, terpidana, baik eks debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) maupun tindak pidana korupsi lainnya. Tanpa pengembalian aset negara ini perjanjian ekstradisi kedua negara tidak banyak manfaatnya dan hanya merupakan macan kertas saja.
Dalam konteks APBN yang defisit dan negara memerlukan dana untuk pembangunan, pengembalian aset negara dan uang negara ini sangat penting. Semua ini harus tercermin dalam mutual legal assistance antara kedua negara. Persoalannya sekarang, adakah niat tersebut di kalangan penegak hukum dan birokrasi? Bagaimana dengan fakta pentransferan uang Tommy Suharto di Bank Paribas, London, ke rekening Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia? Bagaimana dengan konsistensi penegakan hukum di dalam negeri yang dikenal dengan "tebang pilih?".
Bilamana orang- orang yang diekstradisi sebagian besar lolos dari tuntutan hukum, maka Pemerintah Singapura akan kecewa dan akan meninjau kembali manfaat perjanjian tersebut. Jadi yang paling utama dan penting pascapenandatanganan perjanjian ekstradisi itu adalah pembenahan ke dalam, khususnya pembenahan penegakan hukum, konsistensi penegakan hukum, pembenahan sistem hukum yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia.13
Persoalan-persoalan seperti inilah yang masih mengganjal pemerintah Indonesia. Memang penting menarik aset negara dan uang negara yang raib di luar negeri, tetapi aset negara dan uang negara di dalam negeri juga masih banyak yang perlu dicari. Seperti, misalnya, keberhasilan Kejaksaan Agung mendapatkan aset Edi Tanzil berupa berhektare-hektare tanah di dalam negeri.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam hukum positif di Indonesia?
2. Bagaimana urgensi perjanjian ekstradisi dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang
melarikan diri ke luar negeri?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang merupakan hukum positif dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
2. Untuk mengetahui urgensi perjanjian ekstradisi dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencucian uang.
Sedangkan manfaat dari penulisan ini ialah:
1. Secara Teoritis
a) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan mengetahui bentuk-bentuk hubungan perjanjian ekstradisi sebagai upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang pada khususnya.
b) Menambah informasi pengetahuan yang lebih konkret bagi usaha perkembangan hukum pidana, terutama sebagai upaya memperkecil tindak pidana pencucian uang.
2. Secara Praktis
Dapat memberi masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap tindak pidana pencucian uang baik eksekutif, yudikatif dan legislatif agar dapat diperoleh solusi dalam penegakan hukum pidana khususnya dengan meningkatkan perjanjian ekstradisi kepada negara-negara lain.

D. Keaslian Penulisan
Sepanjang informasi yang diperoleh dari penelusuran literatur dan bahan-bahan kepustakan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.
Judul-judul yang ada tentang tindak pidana pencucian uang tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan judul yang sama maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut.
1) Bahan hukum primer, antara lain:
a. norma atau kaedah dasar
b. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang
c. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ekstradisi
2) Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang dan buku yang berkaitan dengan ekstradisi. Dan juga berupa artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya.
3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian tindak pidana pencucian uang; objek pencucian uang; pengertian ekstradisi; unsur-unsur ekstradisi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
Dalam bab ini dibahas mengenai perumusan tindak pidana pencucian menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, perbuatan pidana lain yang termasuk dalam tindak pidana pencucian uang dan juga proses pencucian uang tersebut.
BAB III URGENSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG MELARIKAN DIRIKE LUAR NEGERI
Dalam bab ini dibahas mengenai adanya hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang, perjanjian ekstradisi sebagai upaya kerjasama dengan negara lain dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang melarikan diri ke luar negeri.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis menyampaikan pendapat berupa kesimpulan dari seluruh skripsi ini yang merupakan rangkuman dari pembahasan dan juga penulis menyampaikan berupa saran-saran dari permasalahan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:17:00

SKRIPSI PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KABUPATEN X

(KODE ILMU-HKM-0058) : SKRIPSI PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Arus reformasi telah berhasil menumbangkan rezim orde baru. Dimana pada masa orde baru kekuasaan pemerintah cenderung otoriter. Faktor keruntuhan orde baru selain karena kekuasaan yang otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan juga karena terjadinya perubahan dalam masyarakat. Terutama perubahan sosial yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi komunikasi yang menghasilkan suatu tuntutan demokratisasi, transparasi, keterbukaan, dan hak asasi manusia.
Berbagai dampak dari krisis tersebut muncul sebagai jalan terbukanya reformasi di seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satunya adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten/kota agar terwujud suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera. Hal ini wajar karena intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar dimasa lalu menyebabkan inisiatif dan prakasa daerah cenderung mati sehingga menimbulkan berbagai masalah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah.
Dalam rangka otonomi daerah di mana kewenangan cenderung dimiliki oleh kabupaten/kota, harapan dan tuntutan masyarakat tentang keadilan dalam penyelenggaraan kehidupan di ekonomi, politik, sosial budaya, penegaan hukum, dan penghargaan atas hak asasi manusia tidak bisa ditawar-tawar. Dalam rangka menampung aspirasi masyarakat, maka otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang (mature), mendasar, dan berdimensi jauh ke depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya menyeluruh dan dilandasi prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan disertai oleh kesadaran akan keanekaragaman/kemajemukan (H.A.W Widjaja, 2004:99).
Untuk dapat melaksanaan otonomi daerah diperlukannya perubahan dalam penyelengaraan pemerintahan di Indonesia, dari sentralisasi pemerintahan bergeser ke arah desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Hal ini telah terwujud dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan dasar dari pelaksanaan otonomi daerah.
Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah juga semakin luas, termasuk di dalamnya perencanaan dan pengendalian pembangunan dan juga penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan pengembangan pembangunan daerah, diharapakan dapat menciptakan masyarakt yang adil, makmur dan sejahtera. Tapi dalam pelaksanaan pembangunan, pemerintah daerah juga harus memperhatikan keteraturan dan ketertiban daerahnya agar tercipta kondisi yang nyaman bagi seluruh masyarakat.
Salah satu potensi pengembangan pembangunan daerah adalah usaha di sektor informal seperti Pedagang Kaki Lima (PKL). Yang apabila diolah dengan baik maka akan memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, retribusi dari sektor perdagangan ini dapat dijadikan sumber pendapatan asli daerah yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah yang nantinya akan dapat menambah pendapatan daerah. Dalam melihat fenomena keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjamur di daerah kabupaten X ternyata keberadaannya dapat dijadikan sebagai salah satu potensi bagi pembangunan daerah yang pengembangannya juga harus diimbangi dengan keteraturan dan ketertiban agar keberadaanya tidak merugikan pihak lain.
Kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu faktor yang menimbulkan persoalan baik dalam masalah ketertiban, lalulintas, keamanan, maupun kebersihan disetiap daerah termasuk juga di X Berbagai permasalahan terkait dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) banyak bermunculan yang ternyata merugikan masyarakat dan juga pemerintah daerah sendiri seperti rasa tidak nyaman karena keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tidak pada tempatnya (menggunakan ruang publik untuk berjualan) sehingga menggangu kegiatan masyarakat sehari-hari. Bagi pemerintah daerah sendiri keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tidak mempunyai izin usah dari pemerintah daerah ternyata dapat menghambat jalannya pelaksanaan penarikan retribusi yang harusnya dapat menjadi pemasukan daerah. Selain itu ada juga Pedagang Kaki Lima (PKL) yang mendirikan bangunan tempat usahanya secara permanen yang sekaligus digunakan untuk tempat tinggal, hal ini juga bisa mendatangkan kesulitan bagi pemerintah daerah dalam menghadapi sikap dan kemauan para Pedagang Kaki Lima (PKL) ketika suatu saat akan ditata, karena mereka memiliki berbagai alasan kuat mengapa mereka menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL).
Dengan adanya otonomi daerah maka pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengelola dan menanggulangi permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahannya tersebut berdasarkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Sehingga dengan munculnya fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) dan segala akibatnya yang sekarang mulai melanda kabupaten X dan juga untuk melindungi, memperdayakan, mengendalikan dan membina kepentingan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam melakukan usaha agar berdaya guna serta dapat meningkatkan kesejahteraannya serta untuk melindungi hak-hak pihak lain dan atau kepentingan umum di kabupaten X maka ditetapkan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten X Nomor 13 Tahun 2006 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL).
Walaupun telah ditetapkan Peraturan Daerah tentang penataan Pedagang Kaki Lima (PKL), akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tidak sejalan dengan apa yang diharapkan karena masih saja banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan tidak pada tempatnya yang akhirnya akan menimbulkan masalah sosial dan lingkungan yang mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti dan menyusun dalam sebuah penelitian hukum dengan judul :
"PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN X NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KABUPATEN X (Studi Kasus di Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah)"

B. Perumusan Masalah
Sebagai usaha untuk melakukan penelitian yang lebih terarah dan mendalam serta agar lebih mudah memperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis berpijak pada masalah-masalah sebagai berikut, yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan peraturan daerah kabupaten X Nomor 13 Tahun 2006 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima?
2. Apa saja kendala dalam pelaksanaan Peraturan Daerah kabupaten X Nomor 13 Tahun 2006 tentang penataan Pedangang Kaki Lima dan upaya apa saja yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam mengatasi kendala tersebut?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif.
a. Untuk mengetahui pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten X Nomor 13 Tahun 2006 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
b. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Peraturan Daerah kabupaten X Nomor 13 Tahun 2006 tentang penataan Pedangang Kaki Lima dan upaya yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam mengatasi kendala tersebut.
2. Tujuan Subyektif.
a. Untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan bagi mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanahaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi Penulis terhadap penerapan teori-teori yang telah diperoleh di meja kuliah.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dalam melakukan penelitian ini penulis berharap :
a. Dapat memberi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum administrasi negara pada khususnya.
b. Dapat digunakan sebagai bahan acuan dan bahan referensi di bidang karya ilmiah yang dapat menambah ilmu pengetahuan.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat dijadikan bahan referensi dan masukan bagi peneliti berikutnya.
b. Dapat memberikan suatu informasi mengenai penataan pedagang kaki lima.
c. Dapat memberikan manfaat yang dapat digunakan sebagai bahan dan sumbangan pikiran bagi pihak-pihak yang terkait.

E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan terjemahan dari research yang artinya mencari; mencari jawaban; sedangkan metode adalah alat yang di gunakan untuk mencari jawaban. Menurut Soerjono Soekanto, untuk memperoleh data dan informasi serta penjelasan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok masalah, diperlukan suatu pedoman penelitian. Metodologi pada hakekatnya adalah memberikan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisis, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi.
Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis adalah dengan menggunakan jenis penelitian yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang berusaha mengidentifikasi hukum yang terdapat dalam masyarakat dengan maksud untuk mengetahui gejala-gejala lain (Soerjono Soekanto, 1986:10).
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam penyusunan teori-teori baru (Soerjono Soekanto,1986:10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulisan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang dimaksud untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.
4. Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah kabupaten X (Sub Dinas Kantor Pengelolaan Pasar Kabupaten X). Alasan pemilihan tempat tersebut karena urusan pemerintah daerah dalam pembinaan dan penataan serta pengawasan ada pada dinas tersebut.
5. Jenis Data
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dalam penelitian di lapangan dari sumber-sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi atau data yang berguna dan berhubungan dengan permasalahan.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh penulis dari sejumlah dokumen, bahan kepustakaan, laporan, hasil penelitian yang terdahulu yang berwujud laporan serta peraturan perundang-undangan.
6. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Yang menjadi sumber data primer penulis adalah semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan peraturan daerah (perda) tentang penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). Dalam hal ini penulis mengkhususkan pada beberapa pegawai/staff Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah kabupaten X (Sub Dinas Kantor Pengelolaan Pasar Kabupaten X) ditambah dengan beberapa Pedagang Kaki Lima (PKL).
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari masyarakat melainkan dari bahan dokumen, peraturan perundangan-undangan, laporan, arsip, literature, dan hasil penelitian lainnya yang mendukung sumber data primer (Soerjono Soekanto,1986:12).
7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian hukum ini adalah :
a. Studi Lapangan Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara penelitian langsung yang dilakukan
penulis di lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan. Studi lapangan ini penulis lakukan dengan cara wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan melalui proses tanya jawab secara langsung kepada sumber data primer mengenai masalah yang diteliti.
Teknik wawancara yang digunakan penulis adalah teknik wawancara tidak terarah
yang sering juga disebut sebagi wawancara tidak terkendali atau wawancara tidak terpimpin, atau wawancara tidak berstruktur. Yang pada intinya penulis dalam melakukan wawancara tidak didasarkan pada daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya atau tanpa berpedoman pada daftar pertanyaan, disini penulis hanya meminta penjelasan dan pengarahan kepada yang diwawancarai, yang semua diserahkan kepada yang diwawancarai, dan penulis hanya menambahkan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap belum terjawab atau menanyakan hal-hal yang belum dipahami saja. Tapi dalam pelaksanaan wawancara penulis tetap memberikan batasan-batasan tentang masalah apa yang harus diterangkan oleh responden.
b. Studi Pustaka
Dalam studi pustaka ini penulis menggunakan data berupa perundang-undangan serta mengumpulkan berbagai macam berita dari internet dan surat kabar terkait dengan PKL. Selain itu penulis juga membaca dan mempelajari buku-buku literature, kamus dan bahan pustaka lainnya.
8. Teknik Analisis Data
Menurut Soerjono Soekanto, metode (analisis) kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Dengan kata lain bahwa seorang peneliti yang menggunakan metode kualitatif tidaklah semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka, akan tetapi juga untuk memahami kebenaran tersebut (Soerjono Soekanto, 1986:250). Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif dengan model interaktif. yaitu dengan mengumpulkan data, mengklasifikasikan, menghubungkan dengan teori yang berhubungan dengan masalah kemudian menarik kesimpulan untuk menentukan hasilnya. Setelah data terkumpul dan dipandang cukup lengkap, maka penulis mengolah dan menganalisis data dengan memisah-misahkan data menurut katagori masing-masing kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban masalah penelitian.
Di dalam penelitian kualitatif proses analisis biasanya dilakukan secara bersamaan dengan proses pelaksanaan pengumpulan data. Tiga komponen utama yaitu :
a. Reduksi data
Kegiatan yang bertujuan mempertegas, memperpendek, membuat fokus. Membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus menerus sampai laporan akhir penelitian selesai.
b. Penyajian data
Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, data, gambar, dan sebagainya.
c. Penarikan Kesimpulan/verifikasi
Memahami arti dari berbagai hal, meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencataan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, kemudian menarik kesimpulan (HB. Sutopo, 2002:91-93).

F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk menpermudah dalam pembahasan dan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi, penulis menjabarkan dalam bentuk sistematika skripsi sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal yang mendorong penulis melakukan penelitian yang disertai dengan rumusan masalah, tujuan penelitia, manfaat penelitian dan juga diuraikan mengenai metode penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian yang tepat dan terarah agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung dan berhubungan dengan masalah yang diangkat. Tinjauan pustaka dalam penulisan ini meliputi tinjauan tentang otonomi daerah, tinjauan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah dan tinjauan tentang Pedagang Kaki Lima (PKL).
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab pembahasan penulis berusaha menerangkan bagaimana pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2006 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL), problematika-problematika dalam pelaksanaanya dan juga tindakan-tindakan atau cara yang dilakukan untuk mengatasinya oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Sub Dinas Kantor Pengelolaan Pasar Kabupaten X).
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini diuraikan tentang pokok-pokok yang menjadi kesimpulan dari penelitian ini, yang tentu saja berpedoman pada hasil penelitian. Selain itu penulis juga memberikan saran-saran berdasarkan permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:15:00

SKRIPSI LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

(KODE ILMU-HKM-0057) : SKRIPSI LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyak pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat pada lebih dari satu negara, ataupun yang pelakunya lebih dari satu orang dan berada terpencar di lebih dari satu negara.. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional. Akan tetapi, ekstradisi sebagai suatu lembaga hukum, masih belum banyak diketahui isi dan ruang lingkupnya. Namun demikian, istilah ekstradisi yang dikalangan masyarakat luas diidentikkan dengan penyerahan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke suatu negara kepada negara yang memintanya, boleh dikatakan sudah umum dikenal.
Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti sekarang ini dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional ini akan semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendiri-sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara bilateral maupun multilateral.
Salah satu lembaga hukum yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional, lembaga ekstradisi juga muncul ke permukaan, seolah-olah ekstradisi ini sebagai lembaga hukum yang ampuh untuk menyelesaikannya.
Di dalam lapangan hukum nasional dan internasional, masalah ekstradisi bukan lagi merupakan hal yang baru khususnya bagi aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus-kasus pidana pelarian, baik yang dilakukan oleh seseorang di negara lain (asing) yang kemudian melarikan diri menghindar dari ancaman hukuman dan masuk ke negara lain, atau masuk ke negara kita.
Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional yang bilateral, multilateral maupun berbentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara. Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang model Treaty on Extradition, yang walaupun hanya berupa model hukum saja, jadi belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai model oleh negara-negra dalam membuat perjanian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini.
Secara umum ekstradisi dapat diartikan sebagai proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan, yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili penjahat tersebut.
Setiap negara yang berdaulat mempunyai hak untuk meminta ekstradisi atas seseorang yang dianggap telah melakukan kejahatan di dalam wilayah negaranya dan sebaliknya negara tersebut juga mempunyai kewajiban untuk menyerahkan seseorang yang dimintakan ekstradisi oleh negara lain atau negara peminta sepanjang semua itu memenuhi azas-azas dan persyaratan yang berlaku.
Meskipun sudah banyak terdapat perjanjian-perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semua itu menganut azas-azas dan kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan dalam prakteknya, ada negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua negara itu belum terikat pada perjanjian ekstradisi atau mungkin juga belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus ekstradisi tersebut, mereka berpegang pada azas-azas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar negara-negara di dunia. Oleh karena itulah lembaga ekstradisi ini sudah diakui dan diterima oleh para sarjana hukum internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international costumary law).
Ekstradisi merupakan perjanjian antara dua negara atau lebih yang bersifat bilateral atau terkadang multilateral dan hanya berlaku bagi pihak yang meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut.
Dengan demikian konsekuensi dari adanya perjanjian ekstradisi itu harus terlebih dahulu terdapat hubungan diplomatik antara kedua negara. Indonesia sendiri telah beberapa kali mengadakan perjanjian ekstradisi dan telah meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut seperti dengan Malaysia pada tahun 1974, dengan Philipina pada tahun 1976, dengan Thailand pada tahun 1978, dengan Australia pada tahun 1994, dengan Hongkong pada tahun 2001 dan baru-baru ini Indonesia juga menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada tanggal 27 april 2007.
Hukum internasional mengakui bahwa pemberian atau prosedur ekstradisi paling tepat diserahkan kepada hukum nasional dan tidak, misalnya, merintangi negara-negara untuk membuat undang-undang yang menghalang-halangi penyerahan pelaku-pelaku kejahatan oleh mereka, apabila tampak bahwa permintaan ekstradisi dibuat untuk mengadili pelaku kejahatan itu atas dasar ras-nya, agamanya, atau pandangan-pandangan politiknya, atau pun andaikata ia dituduh untuk hal-hal ini pada pengadilan yang sesungguhnya oleh pengadilan negara yang memintanya.
Adapun maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, karena sering kali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut.
Tindak kejahatan serta akibat-akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat sekitarnya saja, tetapi sering melibatkan negara-negara bahkan kadang-kadang merupakan persoalan umat manusia. Sehingga untuk pencegahan dan pemberantasannya diperlukan kerjasama antara negara-negara. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara atau lebih, dapat mempermudah dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian.
Sebaliknya jika tidak ada hubungan baik antara negara maka dapat dipastikan akan mempersulit penyerahan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan pada kesadaran orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan pada seorang atau beberapa orang penjahat pelarian, bukan pula karena didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.
Penyerahan pelaku kejahatan pelarian ini tidak terpaku pada hubungan baik antar negara saja tetapi juga harus didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya. Dalam hal tidak adanya perjanjian, maka pemberian ekstradisi bergantung hanya pada azas resiprositas atau azas kepantasan (courtesy).
Perjanjian ekstradisi tidak hanya merupakan suatu perjanjian dalam mana suatu pihak mencoba semua jalan kemungkinan untuk mencapai hasil maksimum, tetapi lebih merupakan suatu usaha kerja diantara dua negara atau lebih yang bersahabat yang sama-sama memiliki keinginan untuk memberantas kejahatan. Karena itu pada dasarnya ditekankan bahwa tidak ada seorang penjahat pun yang akan lolos dari penuntutan. Pertimbangan-pertimbangan rasional berikut ini telah ikut menentukan hukum dan praktek ekstradisi:
a. Kehendak bersama semua negara untuk menjamin bahwa kejahatan serius tidak akan dibiarkan tanpa penghukuman. Sering suatu negara yang di wilayahnya telah berlindung seorang pelaku tindak pidana tidak dapat mengadili atau menghukumnya hanya karena kaidah teknis hukum pidana atau karena tidak memiliki yurisdiksi. Oleh karena itu untuk menutup celah-celah pelarian pelaku-pelaku tindak pidana, hukum internasional memberlakukan dalil "aut punere aut dedere", yaitu pelaku tindak pidana harus dihukum oleh negara tempatnya mencari perlindungan atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mengkehendaki penghukuman terhadapnya.
b. Negara yang di wilayahnya terjadi tindak pidana adalah yang paling mampu mengadili pelaku tindak pidana itu karena bukti-bukti yang diperluas lebih banyak terdapat disana dan bahwa negara tersebut mempunyai kepentingan yang paling besar untuk menghukum pelaku tindak pidana serta memiliki fasilitas-fasilitas yang paling banyak untuk memastikan kebenaran. Dari hal tersebut maka hal yang paling benar dan hal yang paling tepat adalah kepada negara teritorial itulah pelaku tindak pidana yang mencari perlindungan ke luar negeri itu harus diserahkan. Dalam abad komunikasi yang sangat mudah untuk mengadakan perjalanan dari suatu negara ke negara lain maka fasilitas ini dinikmati tidak hanya oleh warga negara yang baik, tetapi juga oleh unsur-unsur penjahat yang sering kali dengan cepat mengambil keuntungan, sedangkan sebaliknya badan penegak hukum mengalami kesulitan untuk menangkap dan mengadili penjahat-penjahat tersebut, karena yurisdiksi dan wewenang yang terbatas dari negaranya. Karena itu kerjasama diantara negara-negara tetangga sangatlah diperlukan.
Untuk mengembangkan kerjasama yang efektif dalam penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan, dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration of justice) yang baik.
Dengan semakin sering timbulnya kasus-kasus tentang ekstradisi dalam pergaulan internasional, dapatlah menunjukkan kepada kita bahwa kasus ekstradisi perlu mendapat tempat dan perhatian yang khusus dalam hubungan internasional.

B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah pernyataan yang menunjukkan adanya jarak antara rencana dan pelaksanaan, antara harapan dan kenyataan, juga antara das sollen dan Jossein.
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tulisan ini bermaksud untuk membahas permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktek pelaksanaan ekstradisi yang dilakukan oleh pemerintah negara Republik Indonesia jika terdapat pelaku kejahatan di dalam wilayah negara Republik Indonesia?
2. Bagaimana pula kedudukan orang yang diekstradisikan?
3. Sejauhmanakah ekstradisi tersebut benar-benar berfungsi sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas kejahatan?
4. Kemudian dampak apa sajakah yang dapat ditimbulkan dari praktek ekstradisi ini terhadap hubungan negara-negara?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui prosedur atau pelaksanaan ekstradisi diantara negara-negara yang telah saling melakukan perjanjian ekstradisi terutama pelaksanaan ekstradisi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kedudukan dari seorang pelaku kejahatan yang diekstradisi dalam hukum internasional.
3. Untuk mengetahui sampai dimana peranan ekstradisi ini dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
4. Dan untuk mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan ekstradisi terhadap hubungan negara-negara.
Adapun manfaat dari penulisan ini terdiri dari 2 hal, yaitu :
1. Manfaat Subjektif
Penulisan ini bermanfaat bagi penulis untuk memenuhi syarat kelulusan Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas X, tempat penulis menuntut ilmu.
2. Manfaat Objektif
Penulisan ini bertujuan untuk menerapkan hukum internasional yang telah dipelajari guna menjawab permasalahan apakah ekstradisi benar-benar dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas kejahatan.

D. Keaslian Penulisan
Skirpsi ini berjudul "Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Untuk Mencegah dan Memberantas Kejahatan Ditinjau dari Hukum Internasional".
Penulisan skripsi tentang ekstradisi telah beberapa kali dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas X dengan judul yang bervariasi, salah satunya adalah Penerapan Hukum Tentang Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi Manusia Ditinjau dari Sudut Hukum Internasional. Adapun persamaan dengan penulisan ini adalah bahwa objek penulisan sama-sama mengenai pelaksanaan ekstradisi. Perbedaannya adalah pada penulisan terdahulu yang dijadikan bahan penulisan adalah pelaksanaan ekstradisi dalam memberi jaminan atas hak-hak azasi manusia. Sedangkan dalam penulisan ini yang dijadikan bahan penulisan adalah mengenai ekstradisi sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa penulisan ini berbeda dengan penulisan yang sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka
Dalam hukum internasional suatu negara tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan tersangka pelaku kejahatan kepada negara asing, karena adanya prinsip soverignity bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili pelaku kejahatan dari negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi, kebanyakan negara di dunia telah menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya.
Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara lain yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan sesuatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Dari definisi ini dapatlah dikemukakan beberapa unsur penting yang harus dipenuhi agar dapat disebut ekstradisi, yaitu:
1. Ekstradisi adalah merupakan penyerahan orang yang diminta yang dilakukan secara formal, jadi harus melalui cara atau prosedur tertentu.
2. Ekstradisi hanya bisa dilakukan apabila didahului dengan permintaan untuk menyerahkan dari negara-peminta kepada negara-diminta.
3. Ekstradisi bisa dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya atau bisa juga dilakukan berdasarkan azas timbal balik apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Dalam hal ini praktek negara-negar berbeda-beda. Ada negara-negara yang bersedia menyerahkan orang yang diminta walaupun sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Ada negara-negara yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak.
4. Orang yang diminta bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh atau terdakwa dan bisa juga sebagai terhukum.
5. Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili orang yang diminta atau menjalani masa hukumannya.
Pada tanggal 18 Januari 1979 telah diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1979 Nomor 2, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi yang menggantikan Koninklijk Besluit 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang Uitlevering van Vreemdelinger (penyerahan orang asing). Hal ini dilakukan mengingat peraturan itu adalah hasil legislatif dan pemerintah Belanda pada waktu yang lampau dan ditetapkan lebih dari 90 tahun sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 dikeluarkan, karena itu sudah barang tentu peraturan tersebut tidak sesuai lagi dengan tata hukum dan dengan perkembangan Negara Republik Indonesia yang merdeka.
Oleh karena itu peraturan tersebut dicabut dan disusun suatu Undang-Undang Nasional yang mengatur tentang ekstradisi orang-orang yang disangka telah melakukan kejahatan di luar negeri melarikan diri ke Indonesia, ataupun untuk menjalani pidana yang telah dijatuhkan dengan putusan Pengadilan.
Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi pembuatan perjanjian dengan negara-negara asing maupun untuk menyerahkan seseorang tanpa adanya perjanjian.
Keputusan tentang permintaan ekstradisi bukanlah keputusan badan yudikatif tapi merupakan keputusan badan eksekutif, oleh sebab itu pada taraf terakhir terletak dalam tangan Presiden, setelah mendapat nasihat yuridis dari Menteri Kehakiman berdasarkan penetapan Pengadilan.
Permintaan ekstradisi diajukan kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman oleh pejabat yang berwenang di negara asing melalui saluran diplomatik. Permintaan ekstradisi tersebut hams disertai dengan dokumen yang diperlukan antara lain mengenai identitas, kewarganegaraan, uraian tentang tindak pidana yang dituduhkan, surat permintaan penahanan. Bagi orang yang dicari karena hams menjalani pidananya disertai lembaran asli atau salinan otentik dari putusan Pengadilan dan surat tersebut disertai bukti-bukti tertulis yang sah yang diperlukan.
Apabila ada alasan-alasan yang mendesak sebelum permintaan ekstradisi diajukan, pejabat yang berwenang di Indonesia dapat menahan sementara orang yang dicari tersebut atas permintaan negara peminta. Mengenai penahanan itu berlaku ketentuan dalam Hukum acara Pidana Indonesia. Apabila dalam waktu yang cukup pantas permintaan ekstradisi tidak diajukan , maka orang tersebut dibebaskan.
Seperti telah diterangkan diatas untuk menentukan dapat tidaknya orang itu diserahkan, Presiden mendapat nasihat yuridis dari Menteri Kehakiman yang didasarkan pada penetapan Pengadilan. Cara pemeriksaan di Pengadilan ini tidak mempakan pemeriksaan peradilan seperti peradilan biasa, tetapi Pengadilan mendasarkan pemeriksaannya kepada keterangan tertulis beserta bukti-buktinya dari negara peminta yang diajukan oleh Jaksa dengan disertai pendapatnya.
Setelah memeriksa keterangan serta syarat-syarat yuridis yang diperlukan untuk ekstradisi maka Pengadilan menetapkan apakah orang yang bersangkutan dapat diekstradisikan atau tidak. Dalam pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 ditegaskan :
1. Jika permintaan ekstradisi disetujui, orang yang dimintakan ekstradisi segera diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan dari negara peminta, di tempat dan pada waktu yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.
2. Jika orang yang dimintakan ekstradisinya tidak diambil pada tanggal yang ditentukan, maka ia dapat dilepaskan sesudah lampau 15 (lima belas) hari dan bagaimanapun juga ia wajib dilepaskan sesudah lampau 30 (tiga puluh) hari.
3. Permintaan ekstradisi berikutnya terhadap kejahatan yang sama, setelah dilampauinya waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, dapat ditolak oleh Presiden.
Ketentuan-ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak azasi yang bersangkutan. Yang dimaksud kejahatan yang sama dalam ayat ini adalah kejahatan yang dimintakan ekstradisinya dalam ayat-ayat sebelumnya. Waktu 30 (tiga puluh) hari dalam ayat ini adalah waktu yang dimaksudkan dalam ayat (2) di atas. Jika keadaan di luar kemampuan kedua negara baik negara peminta untuk mengambil maupun negara yang diminta untuk menyerahkan orang yang bersangkutan, negara dimaksud wajib memberitahukan kepada negara lainnya dan kedua negara akan memutuskan bersama tanggal yang lain untuk pengambilan dan penyerahan yang dimaksud.
Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama-kelamaan berkembang menjadi hukum kebiasaan. Dari praktek dan hukum kebiasaan inilah negara-negara mulai merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian internasional tentang ekstradisi, baik yang bilateral maupun multilateral, disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru, sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Tetapi satu hal patut untuk dicatat bahwa sampai saat ini masih belum terdapat sebuah konvensi ekstradisi yang berlaku secara universal. Oleh karena itu mungkin akan timbul anggapan bahwa perjanjian-perjanjian ekstradisi bilateral dan multilateral tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Anggapan ini meskipun mengandung nilai kebenaran, tetapi tidak seluruhnya benar, karena banyak perjanjian-perjanjian ekstradisi yang memiliki kesamaan-kesamaan dalam pengaturan mengenai berbagai pokok masalah. Bahkan pokok-pokok masalah yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terdapat pula didalam perundang-undangan ekstradisi.
Dasar-dasar yang sama ini diikuti terus oleh negara-negara baik dalam merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang sama ini telah diterima dan diakui sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi hanya diatur ekstradisi secara pasif dan tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai cara mengajukan permohonan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia kepada negara lain.
Mengenai jenis-jenis kejahatan yang pelakunya dapat diserahkan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 memakai metode enumeratif dengan memperinci setiap kejahatan yang pelakunya dapat diserahkan dalam suatu daftar yang dilampirkan pada Undang-Undang tersebut.
Suatu perjanjian ekstradisi harus mencantumkan secara spesifik tindak pidana apa saja yang pelakunya dapat diekstradisi. Tindak pidana yang di luar perjanjian ekstradisi, pelakunya tidak dapat diekstradisi. Hal inilah yang menjadi kesukaran dalam pelaksanaan ekstradisi. Terlebih, perkembangan kategori baru tindak pidana tidak dapat dipungkiri.
Dimuatnya azas-azas umum ekstradisi dalam Undang-Undang tersebut merupakan suatu kemajuan karena bagaimanapun juga azas-azas umum tersebut dimaksudkan untuk menjamin perlindungan hak-hak azasi orang-orang yang diekstradisikan (extraditable person).
Bagaimanapun juga dengan adanya ketentuan-ketentuan ekstradisi dalam Undang-Undang nasional maka cukuplah landasan hukum bagi pemerintah untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara lain dalam rangka kerjasama internasional di bidang pemberantasan kejahatan.
Sehubungan dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai oleh umat manusia, maka fasilitas di bidang transportasi dan komunikasi yang semakin meningkat tidak hanya digunkan oleh penduduk dunia yang baik, tetapi digunakan pula oleh para pelaku kejahatan yang dengan cepat ingin mendapat keuntungan. Seorang yang melakukan kejahatan dengan cepat dapat menghindarkan penuntutan atau pemidanaan dengan jalan melarikan diri ke negara lain.
Sebagai suatu contoh dapat dikemukakan kasus "Earl Ray alias Sneyd Case", seorang yang dituduh membunuh Dr. Martin Luther King, Jr. la menembak Dr King di Memhis, tenessee, amerika Serikat pada tanggal 14 April 1968 dan dalam beberapa jam Ray-sneyd berusaha melarikan diri dari Tenessee dan akhirnya ditangkap di London, Inggris pada tanggal 8 juni 1968. agar Ray-Sneyd dapat dipidana di negaranya Amerika Serikat, maka ia hams diekstradisikan. Untuk itu perlu ada permohonan dari pemerintah Amerika Serikat kepada Pemerintah Inggris.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh umat manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti pula oleh perkembangan di bidang sosial yang antara lain mewujudkan diri dalam bentuk kejahatan yang berdimensi internasional sehingga pemberantasannya pun dewasa ini merupakan masalah yang memerlukan kerjasama internasional.

F. Metode Penulisan
1. Bentuk Penelitian
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui metode penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research) yang berhubungan dengan penulisan ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan ekstradisi.
2. Alat Pengumpulan Data
Mated skripsi ini diambildari data-data sekunder yang dimaksud yaitu :
a. Bahan hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Malaysia, Undang-Undang nomor 10 Tahun 1976 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Philipina, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Thailand, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia.
b. Bahan hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku tentang ekstradisi dan peraturannya, Jurnal-jurnal, majalah dan surat kabar serta media internet seperti www.goggle.com, www.legalitas.org., www.kompas.com.
c. Bahan hukum tertier
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan ganbaran yang utuh dan sistematis mengenai isi dari skripsi ini maka isi dan kerangka skripsi ini disusun secara sistematiika sebagai berikut:
Bab I : Didalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang yang memberikan alasan mengapa penulis memilih permasalahan yang tercakup dalam skripsi ini. Dalam bab ini juga dikemukakan tujuan dari penulisan yang dimaksud sebagai suatu sasaran yang hendak dicapai dari skripsi ini, disamping itu dikemukakan juga metode penulisan yang kemudian diakhiri dengan sistematika dari penulisan skripsi ini secara keseluruhan.
Bab II : Didalam bab ini penulis menguraikan tentang pengertian dan ruang lingkup ekstradisi, sejarah dan perkembangan ekstradisi, beberapa syarat ekstradisi, serta azas-azas dalam ekstradisi.
Bab III : Dalam bab ini dikemukakan tentang perjanjian internasional tentang ekstradisi, perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, hak dan kewajiban negara dalam menyerahkan orang yang diminta, dan penyerahan orang yang diekstradisi berdasarkan kesediaan secara timbal-balik.
Bab IV : Bab ini merupakan bagian yang menganalisa bagaimana pelaksanaan ekstradisi sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang kejahatan yang dapat diekstradisi, pelaksanaan ekstradisi bagi pelaku kejahatan pada negara-negara, kedudukan terhadap orang yand diekstradisi dalam hukum internasional, dan dampak ekstradisi terhadap hubungan negara-negara.
Bab V : Bab ini merupakan bagian penutup dari skripsi ini. Didalamnya terdapat kesimpulan dari tujuan penulisan skripsi ini dan diakhiri dengan saran-saran penulis setelah menguraikan permasalahan yang timbul sesuai dengan judul skripsi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:13:00

SKRIPSI KEDUDUKAN DAN PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENYELENGGARAAN KAWASAN TERTIB DI KOTA X

(KODE ILMU-HKM-0056) : SKRIPSI KEDUDUKAN DAN PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENYELENGGARAAN KAWASAN TERTIB DI KOTA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Di era sekarang ini sangat gencar diperbincangkan tentang Otonomi Daerah, yaitu pemberian peluang yang seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam segala bidang.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia di dalam Pasal 18, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Agar mampu menjalankan perannya, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Perihal otonomi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Jika di dalam UU No. 22 Tahun 1999 lebih menitikberatkan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi, maka dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Seperti tersebut dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 32 Tahun 2004, menyatakan : "Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Prinsip otonomi seluas-luasnya yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Sebagai realisasi atas undang-undang pemerintahan daerah, maka pemerintah daerah meresponnya dengan cara membuat berbagai regulasi atau peraturan untuk mendukung pelaksanaan otonomi di daerahnya. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah merupakan salah satu penyangga (stick holder) atas pelaksanaan otonomi daerah. Pada prakteknya tidak ada artinya suatu regulasi dibuat tanpa didukung oleh pelaksanaan yang baik. Untuk mewujudkan pelaksanaan undang-undang dan peraturan daerah yang telah dibuat, maka pemerintah daerah khususnya, memerlukan suatu perangkat pelaksanaan baik berupa organisasi maupun sumber daya manusia.
Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam terminologi otonomi tersebut memungkinkan dibuatnya berbagai perangkat-perangkat berupa aparatur daerah yang berfungsi sebagai pendukung dari pelaksanaan pemerintahan di daerahnya. Salah satu aparatur yang bertugas sebagai pendukung dari pelaksanaan pemerintahan daerah adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Satuan ini merupakan perangkat pemerintah daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan dan sebagai garda atau barisan terdepan dalam bidang ketenteraman dan ketertiban umum, seperti yang disebutkan pada Pasal 148 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 :
"Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja".
Kota X sebagai salah satu daerah otonom di provinsi Jawa Tengah juga tidak mau ketinggalan dengan daerah lain, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan luas wilayah 44,040 Km2 dengan penduduk sekitar 553.458 jiwa pada malam hari dan lebih dari 1.650.000 jiwa pada siang hari dengan tingkat kepadatan penduduk 12.567 jiwa/Km2 serta pertumbuhan ekonomi sebesar 3,14% (Solopos,17 Februari 2007). Pemerintah Kota X benar-benar berusaha menjadi suatu daerah otonom yang mandiri dimana salah satunya ditandai dengan pembangunan di segala sektor, baik infrastruktur maupun suprastrukturnya dengan menggunakan seluruh potensi yang dimiliki. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketentraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya. Untuk mewujudkan kondisi daerah yang aman, tentram dan tertib, sehingga akan dapat mendorong perkembangan perekonomian dan investasi yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka dipandang perlu ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan kawasan tertib.
Salah satu upaya pemerintahan Kota X untuk mewujudkan hal diatas adalah membentuk suatu perangkat daerah yang bertugas membantu pemerintah daerah dalam pembinaan umum masyarakat, ketentraman, ketertiban daerah, dan penegakan peraturan daerah serta operasional ketentraman dan ketertiban di Kota X agar pembangunan benar-benar terlaksana dengan baik. Perangkat daerah yang dimaksud adalah Satuan Polisi Pamong Praja.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memilih judul : "KEDUDUKAN DAN PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENYELENGGARAAN KAWASAN TERTIB DI KOTA X".

B. Perumusan Masalah
Untuk lebih memperjelas agar permasalahan yang ada nantinya dapat dibahas dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penting sekali bagi penulis untuk merumuskan permasalah yang akan dibahas.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian yang dirumuskan penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan dan peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X?
2. Bagaimana mekanisme dan hasil kerja dari Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X?
3. Hambatan-hambatan apa sajakah yang ditemui Satuan Polisi Pamong Praja X dalam pelaksanaan tugasnya?

C. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang hendak dilakukan harus memiliki tujuan yang jelas. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan arah bagi pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan maksud dilaksanakannya kegiatan tersebut. Demikian juga dengan penulisan hukum ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui kedudukan dan peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X.
b. Untuk mengetahui mekanisme dan hasil kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Tujuan subjektif
a. Untuk memperoleh data-data yang digunakan penulis dalam menyusun penulisan hukum (skripsi) sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum dalam Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan wacana, ilmu hukum serta pemahaman penulis tentang kedudukan dan peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X.
c. Untuk melatih kemampuan dan ketrampilan penulis agar siap terjun di dalam masyarakat.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian akan lebih bermanfaat apabila mempunyai data yang akurat dan dapat menambah wawasan pembaca, oleh karena itu, penulis merumuskan manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum tata negara terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah.
b. Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai kedudukan dan peranan Satuan Polisi Pamong Praja Kota X dalam
penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca dan dipelajari khususnya oleh mahasiswa fakultas hukum.
2. Manfaat praktis
a. Untuk lebih mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.
b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor yang penting dalam penelitian disamping untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian juga agar mempermudah pengembangan data guna kelancaran penyusunan penulisan hukum.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data sampai data dengan analisis data dapat diperinci sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris atau non doctrinal yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan tentang sesuatu hal seperti adanya.
Penelitian deskriptif menurut Soerjono Soekanto adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986 : 10).
2. Lokasi penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
3. Jenis data
a) Data primer
Data primer merupakan data atau fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama atau melalui penelitian lapangan. Data primer ini berupa penjelasan maupun keterangan dari wawancara dengan Kepala Seksi Perencanaan dan Pengendalian, Kepala Seksi Pembinaan dan Ketertiban Umum Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data atau fakta atau keterangan yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan pustaka seperti, buku-buku literatur, peraturan perundangan dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Sumber data
a) Data primer
Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung di lapangan, yaitu melalui wawancara dengan Kepala Seksi Perencanaan dan Pengendalian, Kepala Seksi Pembinaan dan Ketertiban Umum Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
b) Data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini merupakan data yang secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Sumber data ini diperoleh dari kepustakaan. Termasuk dalam sumber data ini adalah peraturan perundang-undangan, dokumen, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian.
Data sekunder dalam dalam penelitian ini terdiri dari :
(1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota X, Keputusan Walikota No. 34 Tahun 2001 Tentang Pedoman Uraian Tugas Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota X dan Peraturan Walikota X Nomor 11.c Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib.
(2) Bahan Hukum Sekunder
Adalah keterangan-keterangan yang bersifat mendukung data primer, yaitu sumber data yang secara tidak langsung memberi atau menunjang adanya sumber data primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku literatur hukum tata negara dan hukum pemerintahan daerah, surat kabar dan sebagainya.
(3) Bahan Hukum Tersier
Adalah keterangan yang bersifat mendukung data primer dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus dan ensiklopedi.
5. Teknik pengumpulan data
a) Studi Lapangan
Merupakan penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap obyek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data primer, dalam hal ini dengan metode wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu (Burhan Ashofa, 1996 : 95). Dalam penelitian ini wawancara dilakukan terhadap Kepala Seksi Perencanaan dan Pengendalian, Kepala Seksi Pembinaan dan Ketertiban Umum Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
b) Studi Kepustakaan
Merupakan cara pengumpulan data untuk memperoleh data dan keterangan yang diperlukan sebagai landasan berpikir yang dilakukan dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, dokumen, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2002 : 103). Penelitian ini menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analysis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian (HB. Sutopo, 2002 : 35).
Tiga tahap tersebut adalah :
a) Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data (kasar) yang ada dalam fieldnote. Pada saat pengumpulan data berlangsung, data reduction berupa membuat singkatan, coding, memusatkan tema, membuat batas-batas permasalahan, dan menulis memo. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus dari tahap awal sampai akhir penulisan laporan penelitian.
b) Penyajian Data
Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, gambar, tabel, dan sebagainya.
c) Menarik Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan. (HB. Sutopo, 2002 : 37).
Dengan memperhatikan gambar di atas, maka prosesnya dapat dilihat bahwa pada waktu pengumpulan data peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data. Artinya, data yang berupa fieldnote atau data yang diperoleh dari lapangan yang terdiri dari bagain deskripsi dan refleksinya adalah data yang dikumpulkan, kemudian peneliti menyusun pengertian singkatnya dengan memahami arti segala peristiwanya yang disebut reduksi data.
Kemudian penyusunan sajian data yang berupa cerita sistematis dengan parabor (matrik, gambar, dan sebagainya) yang diperlukan sebagai pendukung sajian data. Reduksi data dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan unit data di sejumlah data yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, maka peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dengan verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data.
Apabila kesimpulan dirasa kurang mantap karena terdapat kekurangan data reduksi dan sajian, maka peneliti dapat menggali dalam fieldnote. Bila ternyata dalam fieldnote tidak diperoleh data pendukung, peneliti wajib kembali melakukan pengumpulan data khusus. Dalam hal ini tampak bahwa penelitian kualitatif menggunakan "proses siklus".

F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh dalam penulisan hukum ini, maka penulis membagi dalam empat bab yaitu Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Pembahasan dan Penutup ditambah dengan Daftar Pustaka dan Lampiran.
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terdiri dari dua hal, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi tentang tinjauan umum mengenai pemerintahan daerah yang meliputi , tinjauan tentang pemerintah daerah, tinjauan tentang otonomi daerah dan tinjauan tentang polisi pamong praja yang meliputi pengertian polisi pamong praja, susunan organisasi satuan polisi pamong praja serta tugas dan fungsi satuan polisi pamong praja dan tinjauan umum tentang kawasan tertib.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan membahas lima hal pokok. Yang pertama mengenai sejarah Satuan Polisi Pamong Praja. Yang ke dua mengenai kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja dalam sistem pemerintah daerah kota X. Yang ke tiga mengenai. peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X. Yang ke empat mengenai mekanisme kerja dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota X. Dan yang ke lima mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X dan upaya untuk mengatasinya
BAB IV : PENUTUP
Bab ini terbagi dalam dua bagian yaitu kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:12:00

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP MASYARAKAT MISKIN (STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT X)

(KODE ILMU-HKM-0055) : SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP MASYARAKAT MISKIN (STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT X)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea empat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai tujuan negara tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan salah satu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dan menyeluruh. Kebutuhan dasar manusia berupa kebutuhan fisik yaitu : pangan, sandang dan papan yang memang sangat penting untuk menunjang kehidupan masyarakat sebagai makhluk hidup.
Penyelenggaran pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber dayanya, harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada penyembuhan penderita secara berangsur-angsur berkembang kearah yang keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh. Upaya kesehatan menjadi kebijakan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam keselamatan hidup yang makmur.
Salah satu tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat adalah "untuk memajukan kesejahteraan umum". Negara Indonesia dalam hal ini pemerintah Indonesia berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang sejahtera. Sejahtera dapat berarti tercukupi semua kebutuhan hidupnya terutama kebutuhan dasar berupa kebutuhan fisik yaitu : pangan, sandang dan papan yang memang sangat penting untuk menunjang kehidupan masyarakat sebagai makhluk hidup.
Seiring perkembangan jaman, kebutuhan masyarakat pun terus berkembang. Dewasa ini masyarakat mulai memasukkan kebutuhan-kebutuhan baru sebagai kebutuhan dasar yaitu diantaranya adalah kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Sebab masyarakat mulai menyadari akan arti pentingnya kesehatan, apalagi sekarang banyak bermunculan jenis penyakit baru yang mengancam keselamatan nyawa manusia. Selain itu masyarakat juga mulai merasakan nilai kesehatan karena mahalnya biaya perawatan kesehatan yang seringkali sulit dijangkau oleh masyarakat terutama masyarakat miskin.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan pelayanan kesehatan diantaranya adalah dengan membuat regulasi yang salah satunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Selain itu dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan, pemerintah mulai menggalakkan program-program yang diarahkan kepada masyarakat kurang mampu sehingga semua masyarakat dapat menikmati pelayanan kesehatan, misalnya dengan pengadaan Kartu Sehat (KS).
Dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan di perlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Perangkat hukum tersebut hendaknya dapat menjangkau perkembangan yang makin kompleks yang akan terjadi dalam kurun waktu yang mendatang. Untuk itu perlu penyempurnaan dan pensistematisasian perangkat hukum di bidang kesehatan.
Setiap individu menginginkan memperoleh kehidupan yang sehat secara optimal dan menyeluruh dalam kehidupannya. RSUD X merupakan salah satu rumah sakit pemerintah yang menjalankan pelayanan kesehatan di X. Rumah sakit ini ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan kesehatan terhadap pemegang kartu sehat, yang dikhususkan bagi masyarakat miskin atau masyarakat yang tidak mampu. Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepada RSUD X sebagai rumah sakit pelaksana pelayanan kesehatan kartu sehat yang baik di X.
Keberadan kartu sehat bagi keluarga miskin (Gakin) yang menjamin biaya pelayanan kesehatan gratis mendapat sambutan hangat dari masyarakat terbukti dengan antusiasme masyarakat mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu sehat. Harapan masyarakat tentunya agar mereka dapat menikmati pelayanan kesehatan yang layak. Namun yang kemudian muncul persoalan besar dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat pengguna kartu sehat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, yang sekaligus juga melatar belakangi penulisan untuk menuangkan dalam sebuah penelitian hukum dengan judul : "KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Daerah X)".

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, karena dengan perumusan masalah seorang peneliti telah mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, terarah dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang hendak diteliti dan dibahas dalam penelitian ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian kartu sehat (KS) kepada masyarakat?
2. Bagaimana pelayanan kesehatan kepada pemegang kartu sehat (KS) di Rumah Sakit Umum Daerah X?

C. Tujuan Penelitian
Dilakukannya suatu penelitian adalah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, begitu pula dengan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk mengetahui pelaksanaan pelayanan pemberian kartu sehat (KS) kepada masyarakat.
b) Untuk mengetahui pelayanan kesehatan kepada pemegang kartu sehat (KS) di RSUD X.
2. Tujuan Subyektif
a) Untuk memperluas wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap teori-teori mata kuliah yang telah diperoleh penulis serta sinkronisasinya dengan pelaksanaan teori-teori tersebut di lapangan (prakteknya).
b) Untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan jelas sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum, sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian selain mempunyai tujuan yang jelas, juga diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya hukum administrasi negara di Indonesia, serta dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a) Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
b) Memberikan masukan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

E. Metode Penelitian
Metode yang bersifat ilmiah diperlukan dalam melakukan penelitian ilmiah yang bertujuan untuk mencari data mengenai suatu masalah. Metode yang bersifat ilmiah adalah suatu metode penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti sehingga data-data yang dikumpulkan dapat menjawab permasalahan yang teliti. Istilah "metodologi" berasal dari kata "metode" yang berarti "jalan ke", namun demikian menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto, 1986 : 5).
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penulisan hukum ini termasuk jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif, menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Maksudnya adalah mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984 : 10).
2. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis melakukan penelitian dengan mengambil lokasi di Rumah Sakit Umum Daerah X. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut adalah :
a) Lokasi tersebut dekat dengan domisili penulis, sehingga memudahkan penulis untuk melaksanakan penelitian.
b) Lokasi penelitian tersebut terdapat pasien yang mempunyai hak atas kartu sehat, yang akan mendapatkan hak dan kewajiban karena mempunyai kartu sehat tersebut.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini meliputi :
a) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama atau melalui penelitian di lapangan. Data primer yang diperoleh dengan cara wawancara dengan pihak RSUD X yang berkompeten untuk memberikan keterangan yang berhubungan dengan perlindungan terhadap pasien pemegang kartu sehat.
b) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka atau sumber data sekunder. Data ini berupa keterangan dari bahan-bahan kepustakaan dari beberapa buku-buku referensi, artikel-artikel dari perundang-undangan, laporan, teori-teori, media massa seperti koran, internet dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
4. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat data diperoleh. Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :
a) Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini mencakup para pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti yang diperoleh di lokasi penelitian yaitu di RSUD X.
b) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah berkas-berkas terhadap pasien pemegang kartu sehat menyangkut perlindungan pasien pemegang kartu sehat. Sumber data sekunder lainnya berasal dari artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian ilmiah, dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-teori, media massa seperti koran, dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
5. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai upaya untuk mengumpulkan data-data dari berbagai sumber data di atas, penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang meliputi :
a) Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan dengan dua orang pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Moleong, 2000 : 135). Wawancara yang dimaksud di atas dilakukan penulis dengan beberapa pihak RSUD X yang secara langsung terlibat dalam proses pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien pemegang kartu sehat.
b) Studi kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data dengan mencari data-data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, yaitu undang-undang yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan studi dokumen sebagai bukti perbuatan sudah terjadi, bahan hukum sekunder, yang meliputi bahan-bahan kepustakaan dari beberapa buku-buku referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian ilmiah, dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan teori-teori, media massa seperti koran, internet dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Studi kepustakaan dan studi dokumen dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi pustaka dan dokumen hukum sumber data, identifikasi dan inventarisasi bahan hukum yang diperlukan.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan langkah yang harus dilakukan setelah data-data terkumpul, sehingga dalam penelitian teknik analisis data merupakan hal yang sangat penting agar data-data yang sudah terkumpul yang diperoleh dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dapat memberikan jawaban dari permasalahan yang diteliti. Dalam proses analisis terdapat 3 (tiga) komponen utama, yaitu :
a) Reduksi data
Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian.
b) Sajian data
Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel sebagai pendukung narasinya.
c) Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut perlu diverifikasi agar mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.
Model analisis interaktif ini menunjukkan, reduksi dan sajian data disusun pada waktu peneliti sudah memperoleh unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data (HB. Sutopo, 2002 : 96).

F. Sistematika Skripsi
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdiri dari beberapa sub-sub bab, yaitu :
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Skripsi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab yang kedua ini memuat beberapa sub bab, yaitu :
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Administrasi Negara
2. Tinjauan Umum tentang Kebijakan Pemerintah
3. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia
4. Tinjauan Umum tentang Masyarakat Miskin
5. Tinjauan Umum tentang UU RI No 23 Tahun 1992
6. Tinjauan Umum tentang Kartu Sehat
B. Kerangka Pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab yang ketiga ini penulis akan mencoba untuk menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah :
a) Pelaksanaan pemberian kartu sehat (KS) kepada masyarakat.
b) Pelayanan kesehatan kepada pemegang kartu sehat (KS) di RSUD X.
BAB IV PENUTUP
Pada bab yang terakhir ini berisi :
A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:10:00

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)

(KODE ILMU-HKM-0054) : SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Semakin berkembangnya zaman dan teknologi, memunculkan kejahatan yang semakin kompleks, yang lebih sistematis dan berjejaring termasuk salah satunya adalah kejahatan perdagangan orang yang lebih dikenal dengan trafficking. Perdagangan orang yang terjadi merupakan suatu hal yang sebenarnya telah ada pada masa dulu namun merupakan bentuk perbudakan yang baru dengan modus yang berbeda-beda pula. Kejahatan trafficking tersebut melintasi batas-batas geografis tidak hanya antar wilayah satu negara tetapi juga antar negara sehingga menimbulkan permasalahan internasional. Hal semacam ini membuat sulitnya penanganan atau pemberantasan terhadap kejahatan trafficking. Perkembangan ini harus diperhatikan oleh bangsa-bangsa agar dapat terus mengikuti dan mencegah serta menangani masalah perbudakan modern ini.
Perdagangan orang (trafficking) sebenarnya mempunyai makna lebih luas yang tidak hanya terbatas pada perempuan dan anak-anak saja. Trafficking dapat menimpa semua orang yang tidak dibatasi oleh jenis kelamin maupun usia. Namun ada perhatian yang lebih dikhususkan pada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam pembicaraan trafficking. Isu trafficking merupakan isu yang sensitif yang secara tidak langsung berhadapan dengan nilai-nilai budaya setempat serta isu diskriminasi yang sudah berakar cukup kuat sejak berabad-abad. Namun dalam penulisan ini lebih memfokuskan kepada women trafficking (perdagangan perempuan), yaitu perempuan dewasa. Faktor budaya patrilinial yang kemudian mengkondisikan perempuan dalam ketidakadilan gender baik itu bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotipe dan kekerasan (Erna Dyah Kusumawati, 2005:1459-1460).
Selain itu sebagai korban women trafficking, perempuan dewasa terkadang mempunyai andil terjadinya kejahatan tersebut, karena ada persetujuan dari korban itu sendiri dengan berbagai alasan salah satunya karena faktor ekonomi, tingginya angka kemiskinan membuat seseorang cepat tergiur akan suatu tawaran pekerjaan tanpa mempedulikan kebenaran dan akibatnya setelah itu.
Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), antara dua dan empat juta perempuan dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Pada tahun 2000, di seluruh dunia diperkirakan antara 700.000 (tujuh ratus ribu) sampai 2 juta kaum perempuan dan anak-anak merupakan korban trafficking. Dari jumlah tersebut sebanyak 200.000 (dua ratus ribu) sampai 225.000 (dua ratus dua puluh lima ribu) diantaranya terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 2003, jumlah ini mengalami peningkatan seperti yang dilaporkan oleh Bureau of Public Affairs, US Departement of SATE yaitu bahwa tiap tahun sebanyak 800.000 (delapan ratus ribu) sampai 900.000 (Sembilan ratus ribu) manusia telah diperdagangkan dengan mengabaikan batas-batas internasional untuk tujuan memasok pasar perdagangan seks internasional dan buruh. Sangat sulit untuk mendapatkan angka jumlah korban secara pasti dalam hal ini (http://forum, hukum-umm. info/index. php?topic=1 90.0).
Kaum perempuan merupakan korban yang terbesar dari perdagangan haram ini. Pergerakan manusia menjangkau perbatasan secara ilegal dan tersembunyi ialah fenomena global yang serius. Perdagangan orang bukan hanya kejahatan transnasional, tetapi juga pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan perbudakan bentuk baru (http: //forum.hukum-umm.info/index.php?topic=190.0). Perdagangan orang secara ilegal terutama para perempuan ini berkembang menjadi persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan. Di negara-negara Asia Tenggara para perempuan diperlakukan sewenang-wenang tanpa mempedulikan faktor manusiawi yang bersentuhan dengan harkat dan martabatnya. Para perempuan dibujuk, dipaksa dan diperdagangkan untuk industri seks dan dunia hiburan lainnya, terdapat juga yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau pabrik dengan jam kerja tak terbatas dan upah minimum. Praktek-praktek semacam ini tergolong pelanggaran terhadap pemajuan, pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan manusia dan hukum (http: //forum.hukum-umm.info/index.php?topic=190.0).
Walaupun tidak tersedia data statistik yang canggih tentang kasus-kasus perdagangan perempuan yang terjadi secara nasional, kejahatan ini telah menimpa banyak perempuan Indonesia, khususnya mereka yang sedang mencari kerja. Sebagai gambaran, Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Malaysia melaporkan telah menerima pengaduan 2.451 kasus pada tahun 2001, 2.155 kasus pada tahun 2002, 2.112 kasus pada tahun 2003, dan 2.158 kasus pada tahun 2004. Mayoritas besar korban dalam kasus ini adalah perempuan Indonesia (baik dewasa maupun anak-anak). Indonesia memiliki sekitar 200 ribu pekerja seks, satu juta pekerja rumah tangga, dan satu juta orang TKW (Rosenberg dalam Anis Hamim dan Fatimana Agustinanto, 2006:261).
Persoalan women trafficking kadang masih dipandang sebelah mata oleh aparat penegak hukum, aparat pemerintah dan anggota masyarakata hal tersebut tercermin dari penggunaan standar moralitas yang biasa memandang kasus women trafficking. Implikasi dari kondisi tersebut mengerucut pada ketidakadilan dan pengabaian hak-hak korban women trafficking selain itu juga berimplikasi terjadinya kriminalisasi terhadap korban, sehingga kondisi yang dialami korban adalah menjadi "pelaku" atas penderitaan yang dialaminya. Untuk menjamin kedudukan korban maka diabaikannya unsur persetujuan/conset dari korban women trafficking (R.Valentina Sagala, 2006:294).
Angka persentase yang sangat berarti telah dimunculkan melalui berbagai survei, sebagaimana dibahas dan diketahui bahwa masalah trafficking merupakan suatu isu internasional yang telah menyita perhatian publik baik domestik maupun internasional, karena korban kejahatan ini telah banyak yang diketahui berjatuhan, dan dari waktu ke waktu cenderung mengalami peningkatan. Pada konteks nasional, persoalan trafficking di Indonesia sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18122/3/Chapter%20II.pdf).
Salah satu upaya untuk mengakomodasi perlindungan terhadap korban women trafficking adalah perlu dibuatnya aturan hukum untuk menjamin kedudukan korban sebagai pihak yang paling dirugikan dalam hal ini. Sebagai kejahatan transnasional maka dibutuhkan aturan yang berskala internasional maupun nasional yang dapat mengatur mengenai kejahatan women trafficking ini. Di Indonesia sendiri pengaturan yang mengacu mengenai korban women trafficking dapat ditemui beberapa aturan hukum, dari aturan hukum yang bersifat umum sampai aturan yang bersifat khusus yang lebih spesifik mengatur mengenai women trafficking yaitu Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak.
Berbicara mengenai suatu kejahatan maka tidak terlepas dari korban, dimana korban merupakan pihak yang paling menderita suatu kerugian akibat terjadinya kejahatan. Konsep keadilan yang sekarang berkembang lebih mengacu kepada keadilan restoratif lebih mengutamakan pemulihan terhadap kondisi korban, yang sesuai dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, "Daad-Dader Strafrecht” kepada paradigma baru, " Daad-Dader-Victim Strafrecht ”.
Berdasarkan hal tersebut, maka Penulis tertarik untuk mengambil judul "KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)".

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia?
2. Bagaimanakah kelemahan dan kelebihan dari pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh Penulis agar dapat menyajikan data yang akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia.
b. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia .
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk dapat meraih gelar Kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk memperluas wawasan dan memperdalam pengetahuan Penulis di bidang Hukum Pidana khususnya terkait perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).

D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian akan sangat berguna bila hasilnya memberikan manfaat, tidak hanya bagi Penulis, tetapi juga bermanfaat bagi setiap orang yang menggunakannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, terutama dalam bagian Hukum Pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum pidana tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, pedoman, atau landasan teori hukum terhadap penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistemis dan dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh dalam bangku kuliah.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum bagi setiap pihak yang terkait seperti pemerintah, praktisi hukum, dan akademisi.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan maupun pola pikir kritis dan dinamis bagi Penulis serta semua pihak yang menggunakannya dalam penerapan ilmu hukum dalam kehidupan.

E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006: 28).
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan judul dan rumusan masalah, penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44).
Penelitian normatif mencakup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum,
b. Penelitian terhadap sistematika hukum,
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.
d. Penelitian sejrah hukum,
e. Penelitian perbandingan hukum (Soerjono Soekanto, 2006:51).
Dalam penelitian hukum normatif ini penulis cenderung kepada penelitian terhadap asas-asas hukum yaitu penelitian untuk menemukan asas-asas hukum yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis (balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum/). Dimana hukum positif tertulisnya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan korban perdagangan perempuan.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif atau terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 22)
Oleh sebab itu, dalam laporan penelitian ini Penulis memberikan gambaran atau pemaparan tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan perbandingan (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Pendekatan yang dilakukan Penulis adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Dalam hal ini menggunakan pendekatan terhadap aturan hukum meliputi Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
4. Jenis Data
Jenis data yang Penulis pergunakan dalam penulisan hukum ini berupa data sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam penulisan hukum ini yang meliputi:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan;
2) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM);
3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
4) Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
b. Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literature-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data sekunder. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data penunjang di dalam penelitian ini (Johnny Ibrahim, 2006: 393).
Setelah isu hukum ditetapkan, Penulis melakukan penelusuran mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu aturan hukum di Indonesia yang meliputi Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Serta Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
6. Pengolahan Hasil dan Analisis Data
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393). Setelah diperoleh data yang akan diteliti, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan dan mengkategorisasikan, kemudian proses pengorganisasian dan pengelompokkan data (Lexi J.Moleong, 2009:280-281). Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking di Indonesia serta kelemahan dan kelebihan pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking tersebut.

F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini meliputi :
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai tinjauan tentang korban dan perdagangan orang atau trafficking.
BAB III : Pembahasan Dan Hasil Penelitian
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking di Indonesia dan kelemahan dan kelebihan pengaturan women trafficking di Indonesia.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat Penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
Daftar Pustaka

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:08:00