(KODE ILMU-HKM-0059) : SKRIPSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A. Latar Belakang
Praktik pencucian uang bukan hal asing lagi di dunia internasional, bahkan dunia telah sepakat untuk mencegah dan memberantasnya dengan cara mengadakan kerjasama internasional dalam berbagai forum. Indonesia mengikuti perkembangan pencucian uang tersebut dengan bergabung dalam badan-badan atau organisasi internasional. Undang-undang Anti Pencucian Uang Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah diundangkan pada tanggal 17 April 2002 melalui Lembaran Negara No. 30 tahun 2002. Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui revisi rancangan undang-undang anti pencucian uang pada tanggal 25 Maret 2002, satu tahun setelah diajukan pertama kali ke DPR pada bulan Juni 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dengan adanya undang-undang tersebut yang pada intinya membuat pencucian uang sebagai suatu tindak terpisah dan tersendiri.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 masih mengandung beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar, antara lain: pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur, dan banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian. Kedua, kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya. Ketiga, masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang hams menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis pelaporannya. Keempat, perlunya pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor. Kelima, terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penyitaan aset hasil kejahatan. Keenam, terbatasnya pihak yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Ketujuh, keterbatasan kewenangan dari PPATK.
Beberapa kelemahan dan kendala legislasi tersebut akan menjadi sorotan dan perhatian dari komunitas internasional, yaitu FATF, APG, IMF, dan world bank dalam mengevaluasi kepatuhan terhadap Indonesia terhadap standar internasional yang disepakati bersama, yaitu 40+9 FATF recommendations Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh komunitas internasional tersebut bernilai negatif, akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional sehingga tidak tertutup kemungkinan Indonesia kembali dianggap sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Sehubungan dengan hal-hal-hal tersebut di atas dan mengingat pentingnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai landasan hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia serta guna menghindari adanya penilaian negatif komunitas internasional yang tentunya akan berdampak bumk terhadap stabilitas dan integritas sistem keuangan dan sistem perekonomian, maka disarankan untuk segera melakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dengan mengikuti standar internasional yang telah berubah sebagaimana tercermin dalam "revised 40+9 FATF recommendations" serta ketentuan anti money laundering regime yang berlaku secara internasional (international best practice).
Seorang pelaku kejahatan kemungkinan dapat melarikan diri ke luar negeri begitu juga dengan pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang dengan berharap bahwa ia tidak dapat diadili oleh negara asalnya. Tidak semudah itu seseorang pelaku lari dengan mudah, karena suatu negara kemungkinan telah membuat perjanjian ekstradisi terlebih dahulu. Praktek negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak semata-mata tergantung pada adanya perjanjian tersebut. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara dapat lebih memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan pada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seorang atau beberapa orang penjahat pelarian bukan pula karena didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.
Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Di samping itu pula praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan masyarakat sekarang ini. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini.
Ekstradisi ternyata merupakan sarana untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan oleh negara locus delicti atau negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya itu. Dengan demikian sekaligus rasa keadilan dari si korban atau anggota masyarakat dapat dipulihkan. Para pelaku kejahatan yang mempunyai niat untuk melarikan diri ke negara lain mungkin akan berpikir dua kali di dalam melaksanakan niatnya itu, sebab dia akan merasa dibayang-bayangi oleh ekstradisi.
Berdasarkan hal itu tentunya kejahatan pencucian uang menjadi persoalan yang rumit dalam perjanjian ekstradisi, memang setiap negara dalam perjanjian ekstradisi telah menetapkan kerjasama dalam beberapa tindak pidana yang telah diatur dalam isi perjanjian tersebut. Kerumitan dalam proses pembuktian pencucian uang ini ditambah dengan pelaku kejahatan yang melarikan diri menyebabkan sulitnya mengungkapnya baik masih tahap penyelidikan maupun penyidikan. Supaya orang-orang semacam ini tidak terlepas dari tanggung jawabnya atas kejahatan yang dilakukannya, maka diperlukan kerja sama untuk mencegah dan memberantasnya. Sebab pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang hanya dilakukan oleh negara-negara secara sendiri-sendiri, dalam hal-hal tertentu tidak bisa dipertahankan lagi terlebih pada masa abad teknologi sekarang ini.
Oleh karena negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat si pelaku kejahatan itu berada, negara-negara tersebut dapat menempuh secara legal untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu. Apabila suatu negara melindungi pelaku kejahatan pencucian uang yang memang sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi, secara tidak langsung menjadikan wilayahnya sebagai gudang tempat penampungan para pelaku kejahatan tersebut.
Dalam pergaulan internasional maupun nasional, dimana tersangkut kepentingan umum atau negara pada satu pihak dan kepentingan individu pada lain pihak, masalahnya adalah mencari keseimbangan antara keduanya itu. Pokok persoalannya adalah bagaimana mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang dengan segala akibatnya demi ketenteraman dan ketertiban umat manusia, tetapi harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
Perjanjian ekstradisi telah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Singapura tanggal 27 April 2007. Suatu prestasi diplomasi yang cukup baik dilihat dari kacamata betapa lama harus menunggu untuk menandatangani perjanjian ekstradisi tersebut. Ini karena keengganan Pemerintah Singapura menandatanganinya, dengan berbagai alasan.
Salah satu sebabnya adalah sistem hukum yang berbeda dan penegakan hukum di Indonesia yang belum memadai dan tidak konsisten. Menyusul prestasi diplomasi ini meski pelaksanaannya konon baru tahun depan pemerintah Indonesia, khususnya lembaga-lembaga penegak hukum, perlu segera membenahi sistem hukum, dan perlu konsistensi penegakan hukum. Jangan sampai orang-orang, baik tersangka atau terpidana yang buron dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia, ternyata lolos dari tuntutan hukum, entah karena kurang bukti, suap, ketidakprofesionalan, dana kurang atau keengganan para penegak hukum dan birokrasi menegakkan hukum dalam memberantas korupsi.
Terganjalnya ekstradisi Hendra Rahardja oleh pemerintah Australia adalah karena alasan diskriminasi terhadap etnis China di Indonesia, peraturan-peraturan hukum yang diskriminatif dan peristiwa Mei 1998. Hal-hal seperti inilah yang harus diantisipasi. Belum lagi kepentingan nasional Indonesia harus ditonjolkan selain mengektradisi para buronan (fugitives) juga adalah kepentingan mengembalikan aset negara yang dibawa raib para tersangka, terpidana, baik eks debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) maupun tindak pidana korupsi lainnya. Tanpa pengembalian aset negara ini perjanjian ekstradisi kedua negara tidak banyak manfaatnya dan hanya merupakan macan kertas saja.
Dalam konteks APBN yang defisit dan negara memerlukan dana untuk pembangunan, pengembalian aset negara dan uang negara ini sangat penting. Semua ini harus tercermin dalam mutual legal assistance antara kedua negara. Persoalannya sekarang, adakah niat tersebut di kalangan penegak hukum dan birokrasi? Bagaimana dengan fakta pentransferan uang Tommy Suharto di Bank Paribas, London, ke rekening Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia? Bagaimana dengan konsistensi penegakan hukum di dalam negeri yang dikenal dengan "tebang pilih?".
Bilamana orang- orang yang diekstradisi sebagian besar lolos dari tuntutan hukum, maka Pemerintah Singapura akan kecewa dan akan meninjau kembali manfaat perjanjian tersebut. Jadi yang paling utama dan penting pascapenandatanganan perjanjian ekstradisi itu adalah pembenahan ke dalam, khususnya pembenahan penegakan hukum, konsistensi penegakan hukum, pembenahan sistem hukum yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia.13
Persoalan-persoalan seperti inilah yang masih mengganjal pemerintah Indonesia. Memang penting menarik aset negara dan uang negara yang raib di luar negeri, tetapi aset negara dan uang negara di dalam negeri juga masih banyak yang perlu dicari. Seperti, misalnya, keberhasilan Kejaksaan Agung mendapatkan aset Edi Tanzil berupa berhektare-hektare tanah di dalam negeri.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam hukum positif di Indonesia?
2. Bagaimana urgensi perjanjian ekstradisi dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang
melarikan diri ke luar negeri?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang merupakan hukum positif dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
2. Untuk mengetahui urgensi perjanjian ekstradisi dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencucian uang.
Sedangkan manfaat dari penulisan ini ialah:
1. Secara Teoritis
a) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan mengetahui bentuk-bentuk hubungan perjanjian ekstradisi sebagai upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang pada khususnya.
b) Menambah informasi pengetahuan yang lebih konkret bagi usaha perkembangan hukum pidana, terutama sebagai upaya memperkecil tindak pidana pencucian uang.
2. Secara Praktis
Dapat memberi masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap tindak pidana pencucian uang baik eksekutif, yudikatif dan legislatif agar dapat diperoleh solusi dalam penegakan hukum pidana khususnya dengan meningkatkan perjanjian ekstradisi kepada negara-negara lain.
D. Keaslian Penulisan
Sepanjang informasi yang diperoleh dari penelusuran literatur dan bahan-bahan kepustakan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.
Judul-judul yang ada tentang tindak pidana pencucian uang tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan judul yang sama maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut.
1) Bahan hukum primer, antara lain:
a. norma atau kaedah dasar
b. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang
c. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ekstradisi
2) Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang dan buku yang berkaitan dengan ekstradisi. Dan juga berupa artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya.
3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian tindak pidana pencucian uang; objek pencucian uang; pengertian ekstradisi; unsur-unsur ekstradisi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
Dalam bab ini dibahas mengenai perumusan tindak pidana pencucian menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, perbuatan pidana lain yang termasuk dalam tindak pidana pencucian uang dan juga proses pencucian uang tersebut.
BAB III URGENSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG MELARIKAN DIRIKE LUAR NEGERI
Dalam bab ini dibahas mengenai adanya hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang, perjanjian ekstradisi sebagai upaya kerjasama dengan negara lain dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang melarikan diri ke luar negeri.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis menyampaikan pendapat berupa kesimpulan dari seluruh skripsi ini yang merupakan rangkuman dari pembahasan dan juga penulis menyampaikan berupa saran-saran dari permasalahan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA