Cari Kategori

PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN BLUD

1.1 Latar Belakang
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan suatu komitmen internasional dalam meningkatkan pembangunan di berbagai negara. Komitmen ini menjadi suatu acuan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyusun rencana pembangunan. Terdapat delapan tujuan dari ditetapkannya MDGs (BPK, 2009). Pembangunan dibidang kesehatan termasuk di antara kedelapan tujuan yang ingin dicapai tersebut. Kedelapan tujuan MDGs tersebut, yaitu :
(i) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem;
(ii) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
(iii) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
(iv) Menurunkan angka kematian anak;
(v) Meningkatkan kesehatan ibu;
(vi) Memberantas HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya;
(vii) Memastikan kelestarian lingkungan;
(viii) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Seperti terlihat di atas, tujuan ke (iv) sampai dengan (vi) merupakan tujuan yang langsung berkaitan dengan bidang kesehatan. Menurunkan angka kematian anak harus dicapai melalui peningkatan kesehatan anak. Semakin sehat seorang anak, semakin kecil peluang untuk meninggal dini. Peningkatan kesehatan ibu, di samping berkaitan dengan semakin kecil peluang para ibu meninggal ketika melahirkan, juga semakin besar peluang untuk melahirkan anak-anak yang sehat, yang akan berusia panjang. Memberantas HIV, AIDS, malaria dsb (penyakit-penyakit menular) berkaitan dengan upaya untuk mencegah kematian secara masal.

Penyediaan pelayanan kesehatan, baik oleh pihak swasta maupun pemerintah, merupakan salah satu bagian dari pembangunan dibidang kesehatan. Karena pelayanan kesehatan ini di Indonesia kini masih jauh dari kebutuhan untuk mencapai tujuan MDGs tadi maka penyediaannya mesti didorong (Saraswati, 2009).

Data BPS tahun 2009, hingga bulan Maret, mencatat bahwa sebanyak 32,5 juta penduduk Indonesia adalah miskin. Semua penduduk miskin ini tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan secara memadai. Kemiskinan (rendahnya pendapatan) menyebabkan mereka tidak mampu membiayai seluruh ongkos yang diperlukan untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang diperlukan. Para penduduk miskin ini, apabila mereka sakit, seringkali lebih memilih pengobatan alternatif yang murah (dukun) daripada ke tempat-tempat pelayanan kesehatan yang formal; atau berusaha mengobati sendiri dengan membeli obat-obat tradisional ataupun illegal, yang tidak diuji oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (www.bps.go.id). Menurut data BPS tahun 2008, sebanyak 65,59% penduduk melakukan pengobatan sendiri dan sebanyak 22,26% menggunakan obat tradisonal.

Kondisi seperti yang dikemukakan ini membuat pemerintah Indonesia memandang perlu untuk memberi subsidi kesehatan bagi mereka yang miskin. Pada tahun 2009 subsidi itu dianggarkan sekitar Rp 4,5 trilliun. Tahun 2010 direncanakan subsidi ini akan berjumlah sekitar Rp 4,6 trilliun. Alokasi tersebut untuk pembiayaan Jamkesmas bagi 76,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin yang masuk kuota pemerintah pusat (Antara, 2010). Sedangkan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin yang tidak masuk kedalam kuota Jamkesmas pemerintah pusat ditanggung pemerintah daerah melalui program-program Jamkesda.

Komitmen pemerintah untuk memberi subsidi pelayanan kesehatan bagi mereka (masyarakat) yang miskin --yang seringkali disingkat dengan sebutan "maskin" diwujudkan melalui berbagai program. Puskesmas dan rumah sakit secara langsung ditunjuk oleh pemerintah sebagai agen utama bagi pemberi pelayanan kesehatan kepada maskin itu.

Program pemberian subsidi pelayanan kesehatan untuk maskin tersebut bermula pada tahun 1998-2001, yaitu melalui Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Program ini kemudian dilanjutkan dengan program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) pada tahun 2001-2002. Selanjutnya pada tahun 2002-2004 program PDPSE-BK ini diubah menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM-BK). Pada periode ini dilaksanakan pula uji coba Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) di tiga provinsi dan 13 kabupaten. Pada akhir tahun 2004, dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (SK Menkes RI) No. 1241/Menkes/SK/XI/2004 Tanggal 12 November 2004, diberlakukan program baru yaitu Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT. Askes (persero) merupakan lembaga keuangan yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana penyalur dana program PJKMM. PT. Askes (persero) mengelola sepenuhnya dana penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi maskin, baik untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS.

Sebagaimana dikemukakan oleh BPK (2009), sejumlah permasalahan telah muncul dalam pengelolaan PJKMM ini. Permasalahan tersebut antara lain : terjadinya perbedaan data jumlah maskin yang dicatat oleh BPS dengan data maskin yang sebenarnya di tiap daerah, minimnya SDM PT. Askes (persero), minimnya biaya operasional dan manajemen di Puskesmas, dll. Adanya permasalahan-permasalahan ini membuat pemerintah kemudian merubah lagi mekanisme penyelenggaraan program pemberian subsidi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (BPK, 2009).

Penyelenggaraan PJKMM, sebagaimana yang dikemukakan di atas, dikelola dengan mekanisme asuransi. Dengan kata lain pembayaran klaim dan verifikasi dilakukan oleh PT. Askes. Sehingga program ini kemudian dikenal dengan nama program Askeskin. Program ini berjalan hingga hingga tahun 2007. Pada tahun 2008, setelah pemerintah mengetahui adanya permasalahan-permasalahan di atas, PT Askes (persero) tidak lagi secara penuh mengelola dana penyelenggaraan program ini. Menurut keterangan pemerintah, hal ini untuk mengatasi keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang ada pada PT.Askes (persero), terutama untuk memonitor pelaksanaan program (BPK, 2009). Terjadi pemisahan fungsi antara fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran. Pemisahan fungsi ini diimplementasikan dengan menempatkan tenaga verifikator disetiap RS. Program ini selanjutnya disebut dengan Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sumber dana Jamkesmas berasal dari APBN dan APBD.

Pada tahun 2009, provinsi Bali menerima luncuran dana Jamkesmas sebesar Rp 75,4 miliar. Dana tersebut dialokasikan kepada RS yang ada di kabupaten maupun kota di provinsi Bali (8 kabupaten dan 1 kota). Sampai dengan bulan November 2009, artinya setelah 9 bulan bulan provinsi ini menerima luncuran dana, sebesar Rp 62,9 miliar belum juga dilaporkan dan dipertanggungjawabkan (Rekapitulasi Laporan Klaim Jamkesmas, November 2009). Menurut Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2009 penggunaan dana harus dilaporkan oleh tim pengelola Jamkesmas Povinsi kepada Departemen Kesehatan adalah setiap tanggal 20 bulan berjalan. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan dana yang diterimanya maka sebesar 83,4% dana tersebut belum dilaporkan dan dipertanggungjawabkan. Angka ini relatif lebih besar di bandingkan dengan daerah lain seperti : Jatim (58,7%), Jateng (61,6%), Jabar (49,1%).

Menurut hasil evaluasi kinerja yang dilakukan secara tahunan oleh rumah sakit tahun 2009, ditemukan empat kelemahan terkait organisasi dan SDM di BLUD X ini (RBA BLUD X, 2010). Keempat kelemahan yang diungkapkan dalam RBA tersebut adalah : (i) jumlah tenaga kurang memadai khususnya perawat, (ii) tingkat ketrampilan staf masih kurang, (iii) disiplin pegawai masih kurang dan (iv) komitmen staf belum optimal. Kelemahan tersebut telah mempengaruhi kinerja BLUD X (termasuk mutu pelayanan). Berdasarkan Rencana Bisnis dan Anggaran BLUD X 2010, peningkatan mutu pelayanan akan menjadi target yang utama. Untuk menempuh target itu maka : peningkatan kompetensi SDM -melalui pendidikan dan latihan—akan dilakukan; selain itu juga sistem pelayanan dengan ukuran standar pelayanan minimum akan diterapkan; dan sarana serta prasarana medis dan non medis akan ditingkatkan ketersediaannya maupun pemeliharaannya.

Informasi tentang kurang memadainya pelayanan kesehatan BLUD X sering diberitakan di media masa, terutama media lokal. Pelayanan yang kurang memadai ini bukan hanya dirasakan oleh pasien peserta (penerima) program Jamkesmas saja, tetapi juga pada pasien non-Jamkesmas. Ketua Fraksi Demokrat DPRD X, dalam harian Radar tanggal 28 November 2009, menyatakan bahwa sarana, fasilitas dan SDM BLUD X memang masih kurang. Kemudian juga salah satu anggota Komisi D DPRD X, sebagaimana dimuat Antara tanggal 12 Januari 2010, menyatakan bahwa BLUD X belum mampu memberikan pelayanan maksimal. Akibatnya, munculah keluhan-keluhan warga (pasien).

Hasil polling yang dilakukan secara online oleh BLUD X pun menunjukkan bahwa sebesar 54% responden menganggap pelayanan BLUD X masih belum sesuai dengan keinginan (www.Xkota.go.id). Sementara studi Razak (2007), meskipun dua tahun telah lewat, menyimpulkan bahwa waktu tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan terlalu lama.

Berdasarkan prioritas BLUD X dan informasi dari berbagai sumber diatas, maka penting untuk diketahui aspek-aspek apa saja yang harus diatasi untuk meningkatkan mutu pelayanan RSUD X. Menurut konsep SERVQUAL yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry terdapat lima determinan (dimensi) kualitas pelayanan terkait dengan persepsi pelanggan. Kelima dimensi tersebut adalah (Rosjid, 1997) :
(i) Tangible, atau bukti langsung yang bisa dilihat dan dirasakan oleh pelanggan, sperti keadaan gedung dan fasilitas.
(ii) Reliability, kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara handal dan akurat.
(iii) Responsiveness, kemauan dan daya tanggap untuk selalu siap membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat.
(iv) Assurance, jaminan pengetahuan dan kemampuan petugas, keamanan, kesopanan dan dapat dipercaya.
(v) Emphaty, perhatian secara pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan.
Kelima dimensi tersebut merupakan variabel mutu pelayanan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan (pasien). Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan ekspektasi dan persepsi pasien atas kelima dimensi tersebut. Dengan demikian dapat diketahui dimensi-dimensi mana saja yang menimbulkan kepuasan maupun ketidakpuasan pasien dalam pelayanan. Informasi yang didapat juga digunakan untuk menentukan dimensi mana yang perlu dikoreksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang hendak dikaji adalah :
1. Bagaimanakah kualitas pelayanan kesehatan BLUD X menurut pasien Jamkesmas?
2. Aspek-aspek apa saja yang menyebabkan pasien merasa kualitas pelayanan BLUD X tidak memuaskan?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui persepsi pasien terhadap masing-masing determinan kualitas pelayanan (kelima dimensi SERVQUAL).
2. Mengetahui dimensi apa yang perlu segera diperbaiki oleh RSUD X untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dimensi-dimensi mana saja yang masih kurang dalam pemberian pelayanan kesehatan oleh RSUD X.
2. Menentukan langkah perbaikan yang diperlukan berdasarkan informasi gap yang diperoleh.

1.5 Sistematika Penulisan
Tesis ini akan tersusun dalam lima bab. Hal-hal yang akan diuraikan dalam masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, lingkup penelitian dan sistematika penyajian.
Bab II : Penilaian Kualitas Jasa (Pelayanan) : Tinjauan Literatur
Bab kedua berisi teori-teori yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.
Bab III : Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Meningkatkan Akses Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin
Bab ketiga berisi tentang berbagai kebijakan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap maskin. Dalam bab ini juga akan dipaparkan perihal perkembangan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD X.
Bab IV : Persepsi Pasien Jamkesmas Terhadap Pelayanan BLUD X
Bab keempat akan menguraikan analisa dan evaluasi data. Analisa tersebut mencakup pemberian skor berdasarkan kuisioner. Analisa juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan (gap) antara persepsi dan ekspektasi pasien.
Bab V : Penutup
Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang diperlukan dalam upaya mengatasi gap yang terjadi. Dalam bab ini juga disebutkan mengenai keterbatasan studi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:56:00

PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENYUSUNAN RENCANA KERJA ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DENGAN PENDEKATAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA DI DEPARTEMEN KEUANGAN

1.1. Latar Belakang
Pada masa periode Hindia Belanda ketentuan-ketentuan yang terkait dengan Pengelolaan Keuangan Negara tentang pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara mengacu kepada Indische Comptabiliteits Wet (ICW) dan Regelen voor he Administratief Beheer (RAB). ICW lebih kurang merupakan ketentuan yang mengatur tentang tata pembukuan yang harus dilakukan oleh para pejabat yang melakukan pengurusan keuangan baik di tingkat Departemen Keuangan maupun di Departemen teknis, dan secara khusus mengatur kewenangan di sisi kebendaharaan. Pencatatan atau pembukuan yang didasarkan pada ketentuan ICW diharapkan akan mampu menghindari penggelapan/penipuan yang berhubungan dengan keuangan (financial fraud) yang mungkin dilakukan oleh para pejabat pada saat itu. Mengacu kepada perkembangan konsepsi pengelolaan keuangan yang baik, pada tahun 1933 ditetapkanlah RAB yang mengatur sebagian kewenangan pengelolaan keuangan, khususnya dibidang pengelolaan administratif yang ada ditangan para administrator atau yang lebih dikenal dengan kewenangan otorisasi dan ordonansering.

Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 membawa perubahan yang signifikan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu lahirnya lembaga politik, terutama lembaga Legislatif, sebagai kelengkapan sebuah negara dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Aspek pengelolaan keuangan negara mulai mendapat porsi sebagaimana diharapkan dalam setiap negara. Sejak saat itu, APBN merupakan kesepakatan antara dua pihak yaitu pihak Eksekutif dan Legislatif dalam sistem politik, yang pada hakekatnya merupakan rencana kerja pemerintah yang dimanifestasikan dalam bentuk angka/uang. Gagasan ini pun walau tidak secara rinci dinyatakan, dituangkan dalam UUD 45 Pasal 23 ayat (1).

Aspek pengelolaan keuangan negara sejak kemerdekaan mengalami suatu perubahan yang sangat mendasar, sedangkan aspek administratif yang terkait dengan pelaksanaan anggaran tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Konsep dasar pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara, khususnya pada pembagian kewenangan antara para pejabat pengelola anggaran dalam kelompok pengelolaan administratif terdiri dari kewenangan otorisasi dan kewenangan ordanansering, serta kewenangan pengelolaan kebendaharaan7 tetap dipertahankan. Berbagai ketentuan yang mengatur mengenai pengelolaan tersebut, seperti ICW, RAB dan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) yang mengatur tentang tugas dan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta ketentuan turunan lainnya dimungkinkan untuk digunakan melalui Aturan Peralihan UUD 45. Dalam konsep pembagian kewenangan yang dikembangkan, Departemen teknis hanya memiliki sebagian kewenangan pengelolaan administratif, yaitu kewenangan otorisasi, sedangkan Departemen Keuangan memegang kewenangan pengelolaan administratif lainnya yaitu kewenangan ordonansering, disamping juga memegang kewenangan pengelolaan kebendaharaan. Pembiasan terhadap konsep dasar yang tidak diikuti dengan perubahan ketentuan dasar selama ini telah menimbulkan ketidaksesuaian (mismatch) dalam implementasinya, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakkonsistenan berbagai ketentuan yang dikeluarkan kementerian keuangan dalam pengelolaan keuangan negara.

Konsekuensi dari Fenomena Global atau Global phenomenon sebagai akibat dari adanya tuntutan demokratisasi adalah mengedepankan pentingnya aspek transparansi dan akuntabilitas pada bidang pemerintahan dan politik, termasuk pula pada bidang pengelolaan keuangan negara. Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara yang dimotori oleh Komite Penyempurnaan Manajemen Keuangan (KPMK) Departemen Keuangan dimulai dengan meletakkan landasan hukum (legal basis) dalam bentuk Paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara, yang pada hakekatnya melakukan pembenahan pada dua aspek pengelolaan keuangan negara sekaligus, yaitu aspek politis dan aspek administratif. Paket perundang-undang bidang Keuangan Negara mencakup Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan, Peraturan Pemerintah Nomor 20 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Peraturan Pemerintah Nomor 21 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

Pembenahan aspek pengelolaan keuangan negara, yang difokuskan pada pengaturan hubungan hukum antar lembaga Legislatif dan lembaga Eksekutif dalam penetapan UU APBN dituangkan dalam UU Nomor 17 tahun 2003 dan UU Nomor 15 tahun 2004 tersebut. Dalam UU Nomor 17 dimaksud antara lain memperjelas peran lembaga Legislatif maupun Eksekutif dalam penyusunan dan penetapan APBN menjadi UU, kejelasan peran tersebut merupakan suatu keharusan untuk dapat menjamin terselenggaranya transparansi di bidang penganggaran. Sementara itu pengaturan hubungan hukum antar instansi dalam lembaga Eksekutif dalam rangka pelaksanaan UU APBN yang merupakan aspek administratif pengelolaan keuangan negara dituangkan dalam UU Nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.

Lahirnya berbagai Undang-undang dan peraturan tersebut telah menjadikan perubahan yang mendasar dalam sistem perencanaan dan penganggaran. Perubahan pertama diawali dengan pola pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya menekankan pada Public Financial Administration (Pengadministrasian Keuangan Negara) menjadi Public Financial Management (Pengelolaan Keuangan Negara). Perubahan-perubahan yang terjadi pada pengelolaan keuangan negara adalah perubahan dalam hal perencanaan dan penyusunan anggaran, pelaksanaan anggaran, termasuk akuntansi dan pelaporannya, serta sampai dengan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara oleh pemeriksa eksternal (BPK). Perubahan-perubahan tersebut didorong oleh beberapa faktor antara lain perubahan yang berlangsung begitu cepat di bidang politik, desentralisasi, dan berbagai tantangan pembangunan yang dihadapi pemerintah, yang membutuhkan dukungan sistem penganggaran yang lebih responsif, yang dapat memfasilitasi upaya memenuhi tuntutan peningkatan kinerja dalam artian dampak pembangunan, kualitas layanan efisiensi pemanfataan sumberdaya.

Secara umum Pemerintah Republik Indonesia melakukan reformasi dibidang penganggaran (Budget Reform) yang meliputi reformasi struktur penganggaran (Budget Structure Reform) dan reformasi proses penganggaran (Budget Process Reform). Reformasi struktur penganggaran dilakukan pemerintah dengan (a) merubah penggunaan penganggaran ganda (dual budgeting) dengan penganggaran terpadu (unified budgeting), (b) menyusun dan menetapkan anggaran yang ditegaskan dengan prinsip anggaran kinerja, serta (c) struktur anggaran sesuai dengan manual Statistik Keuangan Pemerintah atau Government Finance Statistics (GFS).

Perubahan dalam hal perencanaan dan penyusunan anggaran sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang dan peraturan terkait lainnya ditetapkan bahwa dalam rangka penyusunan rancangan APBN, dan khususnya yang terkait dengan penyusunan rancangan belanja kementerian negara/lembaga, seluruh Menteri atau Pimpinan lembaga dalam kabinet selaku pengguna anggaran atau pengguna barang menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tahun berikutnya. Rencana Kerja dan Anggaran yang disusun Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai dan disertai prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun, yang selanjutnya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang selanjutnya disebut RKA-KL adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu Kementerian Negara/Lembaga yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis Kementerian Negara/lembaga yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.

RKA-KL terdiri dari rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga dan anggaran yang diperlukan, didalam rencana kerja tersebut diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, keluaran yang diharapkan, sedangkan dalam anggaran yang diperlukan dimaksud diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan Kementerian Negara /Lembaga yang bersangkutan. RKA-KL disusun dengan beberapa pendekatan yaitu Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah, Penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja.

Pendekatan penganggaran terpadu diperlukan sebagai bagian dari reformasi keuangan, mengingat selama lebih dari 32 tahun Pemerintah telah menyelenggarakan anggaran yang terpisah antara pengeluaran Rutin dan Pengeluaran pembangunan atau dikenal dengan sistem "dual budget" untuk mendanai Belanja Pemerintah Pusat. Maksud dari pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas rutin pemerintahan dan kegiatan operasional pemerintah pusat, didalamnya meliputi (i) Belanja Pegawai, (ii) Belanja Barang, (iii) Pembayaran bunga atas utang dalam negeri dan utang luar negeri, (iv) Pembayaran subsidi dan (v) pengeluaran rutin lainnya.

Selanjutnya yang dimaksud dengan pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang dibebankan pada anggaran belanja pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan sasaran pembangunan nasional, baik sasaran fisik maupun non fisik, didalamnya terdapat jenis belanja (i) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah yang berasal dari dana dalam negeri dan luar negeri dalam bentuk pinjaman program dan (ii) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pinjaman proyek, yang pendanaannya bersumber dari luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek. Pemisahan ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan akan pentingnya pembangunan yang berkaitan dengan slogan pembangunan yang dicanangkan Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.

Dual Budget pada awalnya digunakan pemerintah untuk memisahkan kegiatan yang bersifat konsumtif dengan kegiatan produktif, pemisahan ini sebenarnya akan memudahkan pemerintah dalam menyusun rencana pendanaan kedepan. Pemerintah berharap, pengeluaran-pengeluaran yang bersifat pembangunan dapat diprediksikan output dan outcome yang diperoleh sehingga sebagian dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan operasional, namun dalam pelaksanaannya prinsip dual budget mengalami distorsi yang pada akhirnya memunculkan peluang penyalagunaan keuangan negara. Kelemahan-kelemahan sistem dual budget adalah pertama, pemanfataan anggaran untuk pengeluaran rutin dengan anggaran untuk mendanai pengeluaran pembangunan sering tercampur, sehingga terjadi tumpang tindih atau duplikasi pembiayaan. Kedua, efek dari duplikasi pendanaan menyebabkan sulitnya mengukur kinerja kegiatan, terutama bila dikaitkan antara cost dan benefit nya atau input dengan output, sehingga tolok ukur kesuksesan suatu kegiatan tidak dapat ditetapkan secara aktual dan pasti. Ketiga, sulitnya menilai tingkat kesuksesan suatu kegiatan berdampak psikologis bagi penyelenggara negara, dimana muncul mainframe anggaran harus dihabiskan yang menyebabkan perilaku peyelenggara anggaran yang cenderung menghabiskan

anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang kurang prioritas. Keempat, sistem dual budget menyebabkan dualisme dalam menentukan perkiraan Mata Anggaran Keluaran (MAK). Hal ini dimungkinkan karena untuk satu jenis belanja dapat memiliki MAK yang masuk kriteria Pengeluaran Rutin dan juga MAK yang dalam kategori Pengeluaran Pembangunan. Kelima, Proyek yang mendapat dana dari Pengeluaran Pembangunan bersifat sementara namun secara entitas akuntansi diperlakukan sama seperti satuan kerja (satker). Keenam, dampak perlakuan dari perlakuan sebagaimana diuraikan pada point kelima, menyulitkan pemerintah untuk mencari keterkaitan antara output/outcome yang dicapai oleh proyek tersebut dengan penganggaran organisasi sehingga memungkinkan timbulnya inefisiensi pembiayaan kegiatan pemerintah. Ketujuh, dualisme atau perbedaan yang ada antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan dapat mengalihkan fokus dari kinerja secara keseluruhan.

Dalam sistem anggaran terpadu, Pemerintah tidak lagi memisahkan pendanaan kegiatan kedalam pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Keunggulan-keunggulan melalui sistem anggaran terpadu tersebut adalah pertama, pengintegrasian jenis pengeluaran rutin dan pembangunan, maka distorsi pembiayaan yang muncul pada sistem "dual budget" dapat dihindarkan. Kedua, dalam jangka panjang, dengan asumsi man behind the system nya memiliki performance dan berintegritas tinggi karena mendorong terciptanya transparansi penganggaran. Ketiga, penganggaran terpadu memudahkan penyusunan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Keempat, tujuan dan indikator kinerja Kementerian Negara/Lembaga dapat diperjelas. Kelima, dapat menghindarkan Pemerintah dalam mengalokasikan anggaran yang terbatas pada kegiatan atau proyek yang kurang bermanfaat dan tingkat prioritasnya rendah. Keenam, dalam menyusun perkiraan MAK, kasus dualisme seperti dalam sistem dual budget dapat dihindarkan. Ketujuh, sistem anggaran terpadu dengan medium term expenditure framework akan menjaga kesinambungan kegiatan yang tahun jamak (multi years). Kedelapan, Pengawasan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban, pengintegrasian anggaran rutin dan anggaran pembangunan akan menjadi mudah dilaksanakan dan lebih intens.

Pendekatan penganggaran terpadu harus diwujudkan terlebih dahulu karena merupakan unsur yang paling mendasar bagi pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran jangka menengah. Dengan adanya pendekatan penganggaran terpadu tersebut diharapkan dapat mewujudkan diantaranya yaitu satuan kerja sebagai satu-satunya entitas akuntansi yang bertanggung jawab terhadap aset dan kewajiban yang dimilikinya, alokasi dana untuk kegiatan dasar/operasional organisasi mendukung kegiatan penunjang dan prioritas dalam rangka pelaksanaan fungsi, program dan kegiatan satuan kerja yang bersangkutan, adanya akun standar untuk jenis belanja dipastikan tidak ada duplikasi penggunaannya, sehingga satu jenis belanja hanya untuk satu jenis pengeluaran tertentu. Berikut disampaikan diagram perubahan format penganggaran dual budget menjadi unified budget dalam Dokumen Anggaran (Budget Documents) sebagai berikut : 

Pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah perlu dilaksanakan pula dalam penganggaran, hal tersebut mengingat proses penganggaran selama ini dilaksanakan secara tahunan untuk menyusun kebutuhan anggaran bagi implementasi kebijakan selama satu tahun anggaran. Perspektif tahunan menyebabkan proses penganggaran hanya memberi fokus perhatian terhadap kebutuhan dana untuk implementasi kebijakan pada tahun yang bersangkutan, dan kurang atau hampir tidak memberi perhatian terhadap kebutuhan dana untuk mendukung kelanjutan rantai implementasi kebijakan tersebut di tahun-tahun berikutnya.

Perspektif tahunan mengandung beberapa kelemahan, pertama, penganggaran cenderung kurang disiplin dalam mengkaitkan alokasi anggaran dengan kebijakan. Biaya yang dibutuhkan pada tahun-tahun mendatang bagi kebijakan yang diputuskan sekarang sering tidak diketahui secara akurat, bahkan penetapan prioritas suatu kebijakan serta implikasi kegiatannya (assignment of priority to a certain policy and its implied activities) tidak secara eksplisit terkait dengan pemetaan dalam horison yang lebih panjang, yang sangat relevan bagi kebijakan dan kegiatan yang implementasinya membutuhkan lebih dari satu tahun anggaran (multi years activity). Perbedaan persepsi mengenai relevansi dan pentingnya suatu kebijakan yang disebabkan oleh perbedaan perspektif atau horison waktu berpotensi menyebabkan inefisiensi alokasi anggaran. Kedua, persepktif tahunan tidak bisa memberikan tingkat kepastian ketersediaan anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang pelaksanaannya membutuhkan lebih dari satu tahun anggaran. Ketidak pastian tersebut akan berpotensi menurunkan kinerja kebijakan dan kegiatan yang bersangkutan, dan berpotensi menimbulkan inefisiensi operasional (operational inefficiency). Ketiga, penganggaran tahunan secara teori memulai proses dari titik nol setiap awal siklus anggaran. Proses politik yang terjadi dalam penyusunan anggaran tahunan seperti ini bila dikombinasikan dengan ketidakpastian dukungan anggaran bagi kegiatan multi years, akan berpotensi mempengaruhi disiplin fiskal. Hal ini bisa terjadi karena persepsi mengenai terbatasnya dana bagi kebijakan-kebijakan baru tidak mengemuka karena pada dasarnya dana yang tersedia belum terikat sama sekali dengan komitmen untuk membiayai kebijakan yang telah diputuskan tahun-tahun sebelumnya dan yang masih perlu kelanjutan atas implementasinya.

Perkembangan di berbagai belahan dunia menunjukan bahwa pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah bekerja lebih efektif dalam memfasilitasi upaya menghubungkan kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)/Medium Term Expenditure Framework (MTEF) adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

Konsep KPJM merupakan strategi reformasi fiskal yang diterapkan oleh banyak lembaga multinasional, utamanya Bank Dunia, yang secara resmi menyakini bahwa akan meningkatkan disiplin fiskal, memperkuat dan mempertajam efektivitas alokasi anggaran dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sebuah kebijakan. Berikut dapat diilustrasikan dalam diagram perubahan format penganggaran yang sebelumnya menggunakan perspektif tahunan menjadi perspektif jangka menengah dalam Dokumen Anggaran (Budget Documents) sebagai berikut : 

Selanjutnya pendekatan penganggaran berbasis kinerja merupakan penyusunan anggaran yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Indikator kinerja (performance indicator) dan sasaran (targets) merupakan bagian dari sistem penganggaran berbasis kinerja dalam rangka mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya dan memperkuat proses pengambilan keputusan.

Penerapan anggaran berdasarkan kinerja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pelaksanaan penyempurnaan lainnya dibidang manajemen keuangan, yang bertujuan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik serta efektifitas dari rencana kerja yang ditetapkan. Dalam penyempurnaan manajemen keuangan tersebut hal yang paling mendasar adalah adanya kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi kementerian negara/lembaga dalam mengelola program dan kegiatan yang ada dalam lingkup kerjanya dimana penganggaran berdasarkan kinerja akan sangat membantu dalam penerapannya.

Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan sistem tradisional dimana anggaran disusun berdasarkan line item. Penganggaran berbasis kinerja pada dasarnya bertujuan meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan antara beban kerja dan kegiatan terhadap biaya, dimana akan mendorong pengalokasian anggaran kepada program dan kegiatan yang lebih prioritas. Sistem ini terutama berusaha untuk menghubungkan antara keluaran (outputs) dengan hasil (outcomes) yang disertai dengan penekanan terhadap efektifitas dan efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.

Dengan adanya pendekatan penganggaran berbasis kinerja tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu teridentifikasinya ouput dan outcome yang dihasilkan dari setiap program (aktivitas) dan pelayanan yang dilakukan, diketahuinya dengan jelas target tingkat pencapaian output dan outcome, terkaitnya biaya atau input yang dikorbankan dengan hasil yang diinginkan dan proses perencanaan strategis yang sebelumnya dilakukan, diketahuinya urutan prioritas untuk setiap jenis pengeluaran yang dilakukan oleh unit kerja, setiap unitnya atau satuan kerja dapat diminta pertanggungjawaban atas hasil yang dicapainya.

Dalam pengamatan pendahuluan terhadap pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja, dan untuk mendukung memperoleh gambaran awal mengenai pelaksanaan kebijakan tersebut, telah dilakukan wawancara pendahuluan kepada anggota tim perancang salah satu paket perundang-undangan, seperti yang diungkapan oleh Tim Kelompok Kerja penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Kerja dan Anggaran Instansi Pemerintah, yang melalui ketua Tim Kelompok Kerja tersebut diungkapkan bahwa : 

"Sebetulnya lampiran yang digunakan pada PP 21/2004 kami sadari betul sebagai langkah antara (untuk mengisi masa transisi) dalam rangka penyusunan RAPBN TA 2005, oleh karena itu masih kental penggunaan sistem lama (input based budgeting). Pada saat penyusunan RPP sebetulnya diharapkan akan dilakukan penyempurnaan secara bertahap dan diharapkan pada TA 2008 sudah menggunakan sistem yang sesuai dengan amanat UU No. 17/2003 dan PP 21/2004. Sayang ternyata sampai sekarang belum ada perubahan yang berarti terhadap lampiran-lampiran dan petunjuk teknisnya."

sementara itu oleh anggota sekretariat tim juga diungkapkan hal sebagai berikut :
”pemisahan secara jelas dan tegas antara perencanaan dan penganggaran sebagaimana dimaksudkan dalam ide awal pengaturan melalui peraturan pemerintah tersebut tidak terlaksana dalam pelaksanaannya, hal tersebut terlihat bahwa masih adanya pemisahan anggaran dimana sampai dengan saat ini dikenal istilah belanja mengikat dan belanja tidak mengikat24 yang mengakibatkan penerapan unified budget menjadi sia-sia, dan secara tidak langsung sulit mengukur serta menghubungkan/mengkaitkan penganggaran dan kinerja yang dilakukan oleh masing-masing kementerian negara/lembaga."

Sementara itu juga dilakukan pengamatan pendahuluan kepada pihak sebagai pelaksana kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga itu sendiri seperti yang diungkapkan oleh kepala bagian penganggaran Biro Perencanaan dan Keuangan, Departemen Keuangan, yang berkewenangan terhadap perencanaan penganggaran semua unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan, dalam wawancara pendahuluan dikatakan sebagai berikut : 

"harapannya tentunya semuanya ingin baik-baik saja (maksudnya mengenai pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja), namun harus kembali kepada teorinya, dimana penganggaran berbasis kinerja penekanannya kepada output bahkan lebih jauh kepada outcomes baru dananya mengikuti, hal ini tidak sederhana mengingat keterbatasan anggaran sehingga perlu adanya penyesuaian-penyesuaian target. Pendefinisian pengukuran dan formulasi kinerja tidak secara jelas diatur, dan lebih jauh pengukuran hasilnya pun (outcomes) juga tidak jelas karena variabelnya begitu luas sehingga model penganggaran berbasis kinerja pun menjadi tidak jelas. Hambatan kelembagaan antara Bappenas sebagai perencana (planning) dan Direkorat Jenderal Anggaran sebagai penganggaran (budgeting) masih menjadi kendala, masing-masing masih mempunyai kewenangan daerah abu-abu (grey area) sehingga saling tumpang tindih. Untuk itu diperlukan pembentukan suatu tim kerja yang betul-betul concern terhadap penganggaran berbasis kinerja, mandiri (independent) serta mampu menggerakan secara nasional semua kementerian negara/lembaga, agar maksud dari kebijakan tersebut dapat terlaksana sesuai dengan yang diinginkan."

Berdasarkan pengamatan dan wawancara pendahuluan serta uraian-uraian diatas, kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan anggaran terpadu dan pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) telah dapat diterapkan dan dilaksanakan secara bertahap (meskipun masih menyisakan beberapa permasalahan), selanjutnya pelaksanaan kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) sebagaimana diamanatkan dalam UU nomor 17 tahun 2003 dan PP nomor 21 tahun 2004 tersebut sampai dengan saat ini telah dikembangkan format penganggaran sebagai hasil dari kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja, dimana sebagai percontohan (piloting) telah dikembangkan untuk 6 (enam) Kementerian Negara/Lembaga yaitu Departemen Keuangan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan Bappenas, dikatakan piloting karena format penganggaran yang dihasilkan dari kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja tersebut bukan merupakan dokumen anggaran sebagai dokumen pelaksanaan anggaran melainkan hanya bersifat sebagai percontohan. Format penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja yang dikembangkan di masing-masing 6 (enam) Kementerian Negara/Lembaga tersebut diatas berbeda satu dengan yang lainnya karena dikaitkan dengan tugas pokok dan fungsinya. Khusus untuk format penganggaran yang dikembangkan di Departemen Keuangan adalah mengembangkan format yang telah mengakomodasi keterkaitan yang erat antara output kegiatan dan sasaran program serta kepastian penanggungjawab keberhasilan sebuah program.
Format penganggaran dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja sebagai suatu hasil dari pelaksanaan kebijakan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga atau 'piloting’ yang dikembangkan untuk Departemen Keuangan tersebut menarik untuk dilakukan pengamatan dan pengkajian mulai dari awal penganggaran sampai dengan penerapannya, dan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai anggaran berbasis kinerja itu sendiri dengan membandingkannya teori performance budgeting dan kaitannya dengan negara-negara di dunia yang telah berhasil menerapkan dan mengaplikasikan performance based budgeting dalam sistem pengelolaan keuangan di negaranya.

1.2. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, pertanyaan yang muncul dan menjadi fokus perhatian adalah "Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja di Departemen Keuangan?".

1.3. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan pertanyaan penelitian sebagaimana disebutkan diatas, maka tujuan penelitian adalah mendeskripsikan dan menganalisa pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dengan pendekatan penganggaran berbasis kinerja di Departemen Keuangan.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat mengungkapkan dan menganalisa hambatan atau kendala dalam pelaksanaan kebijakan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga melalui pendekatan penganggaran berbasis kinerja dengan mencoba menghubungkan dengan teori dan konsep-konsep yang ada, yang selanjutnya diharapkan di masa mendatang dapat menjadi acuan atau bahkan menjadi inspirasi kajian yang lebih mendalam dan lebih mendetil.
Penelitian yang dilakukan juga diharapkan dapat memunculkan beberapa saran ataupun rekomendasi yang dapat dipertimbangkan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia khususnya kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk menuju penganggaran yang sehat, dapat dipercaya (credible) dan berkelanjutan (sustainable).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:54:00

PERSEPSI KARYAWAN MENGENAI PENGARUH SISTEM INFORMASI MANAJEMEN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PIMPINAN DI PDAM

PERSEPSI KARYAWAN MENGENAI PENGARUH SISTEM INFORMASI MANAJEMEN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN PIMPINAN DI PDAM

A. Latar Belakang Penelitian
Pengambilan keputusan merupakan fungsi utama dari seorang pimpinan, mulai dari level bawah sampai level atas dalam suatu organisasi posisi pengambilan keputusan tersebut sangat menentukan akan berhasil atau tidaknya suatu organisasi. Hal ini disebabkan keputusan yang telah dibuat akan mengikat seluruh komponen dalam organisasi untuk melaksanakan keputusan tersebut. Keputusan merupakan permulaan dari semua tindakan manusia yang sadar dan terarah, baik secara individu atau kelompok. Barang siapa yang menghendaki adanya tindakan tertentu, ia harus mampu dan berani mengambil keputusan yang bersangkutan dengan hal tersebut secara cepat dan tepat. Kecepatan dan ketepatan setiap tindakan yang diambil sangat menentukan terhadap mutu keputusan yang diambilnya dan kemungkinan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Kebutuhan akan proses pengambilan keputusan secara cepat dan tepat dalam organisasi nampaknya tidak bisa diabaikan, mengingat persaingan yang semakin ketat. Hal ini cukup bisa disadari karena suatu organisasi yang tidak bisa mewujudkan kemajuan bagi dirinya sendiri, maka lambat laun dia akan tenggelam dalam ketatnya persaingan.

Salah satu ledakan yang paling dirasakan kuatnya dewasa ini adalah ledakan informasi. Ledakan tersebut timbulnya sebagai akibat dari pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Jika proporsi ledakan informasi itu terus meningkat maka kiranya dapat dibuat suatu asumsi bahwa di masa-masa yang akan datang pengaruh dan peranan informasi dalam suatu organisasi akan semakin terasa pula.

Sesungguhnya pentingnya informasi bagi pimpinan organisasi bukanlah merupakan hal yang baru. Sejak adanya manusia yang hidup berorganisasi, sejak saat itu pulalah informasi telah selalu diperlukan oleh pimpinan organisasi untuk membantu melakukan tugas-tugasnya selaku pimpinan organisasi.

Proses pengambilan keputusan tidak akan berjalan dengan baik tanpa ketersediaan informasi. Informasi adalah sumber daya yang vital bagi sebuah organisasi. Tanpa kehadiran informasi, sulit untuk menghasilkan keputusan yang baik. Bahkan kelalaian organisasi dalam mengatur arus informasi secara akurat, efektif dan efisien akan menghambat kegiatan operasional yang pada akhirnya tujuan organisasi tidak dapat tercapai dengan maksimal.

Kecepatan penyajian informasi dan akses data merupakan salah satu media pendukung suatu organisasi untuk memenangkan persaingan. Karenanya, perancangan dan pengembangan suatu sistem informasi yang tepat dan optimal yang dapat membantu organisasi dalam melakukan pengambilan keputusan secara baik sangat diperlukan.

Sistem Informasi Manajemen dipandang sebagai suatu total sistem dengan mana pimpinan organisasi akan mengetahui apakah unit-unit organisasi bekerja sebagaimana diharapkan. Akan tetapi, lebih penting lagi daripada itu, Sistem Informasi Manajemen akan memungkinkan pimpinan organisasi merencanakan ke arah mana organisasi hendak dibawa. Tegasnya suatu Sistem Informasi Manajemen (SIM) yang baik adalah sistem yang berorientasi ke masa depan.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah sebuah perusahaan daerah yang bergerak di dalam bidang usaha, yaitu menyediakan air minum yang memadai bagi kepentingan umum, menghasilkan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, serta berpartisipasi aktif dalam menunjang pelaksanaan program pemerintah di bidang sektor ekonomi dan pembangunan. Tujuannya adalah seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota X No. 7/PD/1974 yaitu untuk mewujudkan dan meningkatkan pelayanan umum dalam wilayah Kotamadya X, kemudian dengan masuknya pengelolaan air kotor sebagai tugas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), maka tujuannya tidak hanya pelayanan dalam bidang air bersih saja tetapi juga termasuk pelayanan terhadap sarana air kotor dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menyangkut aspek sosial, kesehatan dan pelayanan umum.

Berdasarkan pengamatan awal penulis, di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X terutama di Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan, pimpinan masih mendapat kesulitan dalam mengambil keputusan karena banyaknya keluhan masyarakat yang masuk serta masalah yang belum diatasi dengan segera sehingga terjadi keterlambatan dalam penyelesaian masalah.

Adapun jenis keluhan yang diadukan kepada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X diantaranya adalah Golongan tarif, tidak ada air, kebocoran pipa persil atau pipa dinas, meteran air (mati, kotor, hilang, segel putus, kaca pecah), tidak ada penagihan, tidak ada pencatatan meter, tunggakan rekening, pembuangan air kotor dan kualitas air.

Hal ini terlihat dari rekapitulasi data selama satu periode tahun 2007 yang di dapat penulis dari seksi pengaduan Bagian Hubungan Langganan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X. 

Berdasarkan rekapitulasi pengaduan tahun 2007 menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan jumlah pengaduan. Jumlah pengaduan yang paling tinggi adalah pada bulan Mei yaitu sebanyak 2.004 dan yang terselesaikan yaitu sebanyak 1.855 pengaduan. Dari rekapitulasi pengaduan tahun 2007 pengduan yang telah diselesaikan adalah 92,35 % atau sebanyak 16.624 pengaduan dan yang belum terselesaikan adalah sebanyak 7,65 % atau sebanyak 1377 pengaduan. Dengan jumlah pengaduan yang relatif tinggi ini menunjukkan bahwa penyelesaian masalah di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X rendah sehingga mengakibatkan banyaknya pengaduan yang belum diselesaikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Syarif Hidayat (Kepala Seksi Pengaduan) yang penulis temui pada tanggal 8 April 2008 mengatakan bahwa: "Masih terdapat pelanggan yang mengadukan lebih dari dua kali sehingga pada bulan berikutnya pelanggan tersebut akan mengadukan permasalahan yang sama". Berdasarkan permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa masih rendahnya prosentase penyelesaian masalah di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X.

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) memiliki tugas untuk mewujudkan dan meningkatkan pelayanan umum dan memenuhi kebutuhan air minum di wilayah Kota X. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) berusaha memberikan pelayanan yang optimal bagi pelanggannya dengan cara meningkatkan kualitas pelayanannya. Menurut Bapak Drs. Syarif Hidayat (Kepala Seksi Pengaduan) yang penulis temui pada tanggal 8 April 2008 menyatakan bahwa "Peningkatan kualitas pelayanan tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan sistem informasinya baik dari segi hardware, software, dan brainwarenya"
Menurut Moekijat (2000: 102), "Pengembangan suatu sistem informasi manajemen merupakan keharusan mutlak apabila pimpinan organisasi ingin melakukan tugas-tugas kepemimpinannya dengan efektif" Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi akan dapat membantu pimpinan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dengan cara yang lebih ampuh daripada keampuhan yang dimiliki sebelumnya. Dengan Sistem Informasi Manajemen memungkinkan pimpinan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan sebelumnya.

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X diketahui sudah menggunakan Sistem Informasi Manajemen, namun pada pelaksanaannya penyediaan informasi dengan menggunakan Sistem Informasi Manajemen tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Drs. Syarif Hidayat (Kepala Seksi Pengaduan) yang penulis temui pada tanggal 8 April 2008 mengatakan bahwa: "Kendala atau masalah yang dihadapi di PDAM Kota X ini antara lain keterlambatan dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan, serta sarana dan prasarana penunjang seperti jumlah komputer yang kurang memadai". Jika Fenomena ini (pengaduan dan keluhan) tidak segera ditanggulangi dan jika keterlambatan dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan terus berlanjut dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap PDAM Kota X yang tidak mencerminkan bahwa PDAM Kota X itu adalah sebuah perusahaan yang berorientasi kepada pelayanan publik.

Bertitik tolak dari uraian di atas, penulis merasa tertarik unuk mengangkat permasalahan tersebut dalam suatu penellitian dengan judul "Persepsi Karyawan mengenai Pengaruh Sistem Informasi Manajemen terhadap Pengambilan Keputusan Pimpinan".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka penulis menyederhanakan permasalahan dan memperjelas arah penelitian sesuai dengan judul yang telah dikemukakan di atas. Maka dapat dipaparkan rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran Sistem Informasi Manajemen pada Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X?
2. Bagaimana Proses Pengambilan Keputusan Pimpinan pada Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X?
3. Seberapa besar pengaruh Sistem Informasi Manajemen terhadap Pengambilan Keputusan Pimpinan pada Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang akan digunakan dalam penulisan skripsi sebagai salah satu syarat menempuh ujian tingkat Sarjana Strata 1 pada program Manajemen Perkantoran pada Universitas X.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui gambaran tentang Sistem Informasi Manajemen yang diterapkan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X khususnya pada bagian pengolahan data dan hubungan langganan.
2. Mengetahui gambaran Pengambilan Keputusan yang dilakukan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X khususnya Bagian Pengolahan Data dan Hubungan Langganan.
3. Mengetahui adakah Pengaruh Sistem Informasi manajemen terhadap Pengambilan Keputusan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota X.

D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu manajemen khususnya sistem informasi manajemen. Sehingga dapat memberikan warna baru bagi ilmu tersebut.
2. Secara praktis, diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi dan masukan bagi Perusahaan Daerah Air Minum Kota X mengenai bagaimana pelaksanaan sistem informasi manajemen dengan pengambilan keputusan pimpinan, sehingga pengambilan keputusan dapat berjalan dengan baik.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:57:00

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN KEPEGAWAIAN TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI PADA PT PLN

PENGARUH SISTEM INFORMASI MANAJEMEN KEPEGAWAIAN TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI PADA PT PLN

A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berpengaruh terhadap kemajuan organisasi karena kemajuan menumbulkan persaingan. Masing-masing orang ingin maju lebih cepat. Oleh karena itu, perusahaan memerlukan manajemen yang tepat dan dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan kegiatan manajemen memerlukan dukungan informasi. Berkembang pesatnya teknologi alat pengolah data komputer dan teknologi peralatan komunikasi, maka pekerjaan manajemen dan pelayanan masyarakat yang memerlukan data dan informasi juga mengalami kemajuan pesat.

Dalam keadaan tersebut perusahaan harus memiliki sumber daya yang stabil, sumber daya manusia yang dapat diandalkan. Peranan manajemen dalam keadaan demikian adalah mengorganisasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia sedemikian rupa sehingga mampu menghadapi persaingan dan memperlancar pencapaian tujuan organisasi.

Pada dasarnya efektivitas organisasi tidak terlepas dari efektivitas kelompok dan efektivitas individu. Anggota organisasi merupakan salah satu faktor penting atas efektivitas karena perilaku mereka akan memperlancar atau menghambat tercapainya tujuan organisasi. Sarana untuk mendapatkan dukungan yang diperlukan ini dari pekerja adalah mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi. Seperti yang dikemukakan oleh Anatan dan Ellitan (2007: 32) "Efektivitas organisasi terjadi jika hanya sumber daya mampu memberikan kontribusi berupa kreativitas dan inovasi dalam tim".

Sebuah perusahaan baik BUMS ataupun BUMN harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dalam hal ini sumber daya manusia yang cakap, terampil, dan berprestasi serta dukungan teknologi merupakan suatu kekayaan yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap berkembangnya suatu organisasi. PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi meyakini bahwa sumber daya manusia yang dimiliki merupakan asset perusahaan yang sangat berharga, sehingga seluruh jajaran karyawan di PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi merupakan modal utama dalam menghadapi perubahan tantangan bisnis perindustrian yang selalu berubah.

PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi adalah sebuah BUMN yang bergerak dalam bidang kelistrikan yang sampai saat ini belum mencapai tingkat efektivitas organisasi yang diharapkan bahkan cenderung mengalami kerugian. Hal ini merujuk pada pernyataan GM PLN Distribusi Jakarta dan tanggerang, Purnomo Willy "kerugian PLN selama dua minggu (9 Juni 2008 - 16 Juni 2008) sebesar 300 miliar" hal tersebut dikarenakan PLN terjadi pemadaman listrik yang berkala.(www.minergynews.com-9/07/08).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas di PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi masih harus ditingkatkan. Merupakan rahasia umum bahwa PT PLN memiliki kinerja yang buruk. Menurut wawancara dengan Herry (Deputi Manajer SDM), bahwa tidak tercapainya efektivitas perusahaan adalah tampak sebagai akibat perilaku anggota organisasi yang buruk ditandai dengan lemahnya profesionalisme personil sumber daya manusia. Kondisi ini terlihat dari kurangnya tingkat kedisiplinan pegawai, ditandai dengan jam datang dan jam pulang yang tidak sesuai dengan ketentuan dan ketidakhadiran.
Meskipun PLN telah cukup lama melaksanakan Sistem Manajemen Unjuk Kerja (SMUK), namun menurut pengamatan penulis sistem tersebut belum terlaksana secara baik. Bahkan banyak pegawai yang masih belum memahami tentang apa tujuan dilaksanakanya SMUK dan bagaimana prosesnya. Kondisi ini tentunya menjadi kendala tersendiri dalam menerapkan sistem manajemen informasi kepegawaian secara efektif dan bernilai guna bagi perusahaan. Peneliti melihat terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya efektivitas organisasi, salah satunya yaitu produktivitas kerja sumber daya manusia.

Sehubungan dengan hal tersebut pengelolaan sumber daya manusia membutuhkan suatu informasi. Sondang P Siagian (2008:78) mengemukakan "pengelolaan sumber daya manusia tergantung pada informasi...". Sependapat dengan pernyataan di atas Henry Simamora (2001:89) mengemukakan "manajer-manajer dan departemen sumber daya manusia membutuhkan informasi rinci yang sangat besar. Kualitas keputusan-keputusan sumber daya manusia semakin tergantung pada kualitas masukan-masukan informasi". Pentingnya pengelolaan BUMN dengan efektif tidak terlepas dari kedudukan dan fungsinya yang berkaitan dengan perekonomian negara, karena BUMN amanat konstitusi sebagaimana tercermin dalam pasal 33 UUD 1945 yang memberikan pegangan bahwa "yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara".

Diperlukannya suatu sistem yang mampu menangani data dalam jumlah besar untuk jangka waktu yang lama, sehingga menghasilkan informasi yang relevan dan bermutu. Namun secanggih apapun teknologi dan rancangan yang ada tidak akan dapat terlaksana dengan baik apabila tidak didukung oleh operator yang bener-benar menguasai sistem informasi manajemen kepegawaian. Keahlian profesional petugas operasional dapat memberikan layanan informasi yang tepat dan baik kepentingan setiap bagian dari organisasi yang bersangkutan, sehingga upaya dalam setiap pemecahan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Manfaat khusus SIMPEG menurut Veitzhal Rivai yaitu :
Manfaat khusus SISDM atau SIMPEG salah satunya adalah untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan rekrutmen, seleksi, pelatihan dan pengembangan dalam rangka memastikan penempatan yang tepat waktu, karyawan-karyawan bermutu ke dalam lowongan-lowongan pekerjaan.

Berdasarkan data yang telah di uraikan sebelumnya diketahui bahwa salah satu faktor inefektivitas organisasi adalah rendahnya kinerja pegawai, penggunaakan sistem informasi manajemen kepegawaian sebagai suatu cara untuk meningkatkan kinerja pegawai agar efektivitas organisasi dapat tercapai.

Bertitik tolak dari permasalahan penelitian sebagaimana diuraikan di atas, peneliti melihat betapa pentingnya sistem informasi khususnya dalam bidang kepegawaian agar efektivitas dari organisasi dapat tercapai tentu saja PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi sebagai penyelenggara institusi penyelenggara jasa kelistrikan melakukan penghimpunan informasi dalam sistem informasi kepegawaian (SIPEG) dengan menggunakan sistem informasi berbasis teknologi untuk membantu kelancaran pembuatan dokumen penunjang serta data laporan pegawai.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMPEG) merupakan suatu totalitas terpadu yang terdiri dari perangkat pengolah meliputi pengumpul prosedur, tenaga pengolah dan perangkat lunak, perangkat penyimpanan meliputi pusat data dan bank data serta perangkat komunikasi yang saling berkaitan, saling ketergantungan dan saling menentukan dalam rangka penyediaan informasi di bidang kepegawaian (Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 17 tahun 2000).
Pada intinya, bahwa dengan sistem informasi yang berkualitas akan memperlancar organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penulis melakukan wawancara mengenai langkah untuk meraih efektivitas organisasi dengan Herry (Deputi Manajer SDM dan Administrasi), bahwa untuk menghadapi tantangan yang semakin terbuka dan kompetitif dalam bisnis jasa dan produksi bidang ketenagalistrikan di Indonesia, PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi secara terus-menerus memfokuskan perkembangan strategi penajaman kompetensi sumber daya manusia. Strategi tersebut antara lain dilakukan dengan meningkatkan kompetensi personal, yaitu paduan dari pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku positif yang memberi ciri sumber daya manusia PT PLN Jasa dan Produksi. Kompetensi personal teresbut kemudian diarahkan menjadi kompetensi kelompok yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing dan bersinergi untuk mencapai efektivitas perusahaan dan membawa PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi pada kinerja perusahaan kelas dunia.
Namun pada kenyataanya, efektivitas yang belum tercapai merupakan salah satu masalah yang terjadi selama ini. Terbukti dengan tindakan PLN yang melakukan pemadaman listrik secara bergilir yang mengundang protes, tuntutan dan unjuk rasa dari masyarakat.
Berdasarkan identifikasi di atas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran efektivitas sistem informasi manajemen kepegawaian di PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi?
2. Bagaimana gambaran efektivitas organisasi di PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi?
3. Berapa besar pengaruh sistem informasi manaj em en kepegawaian terhadap efektivitas organisasi di PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran dan menganalisis mengenai:
1. Efektivitas sistem informasi manajemen kepegawaian (SIMPEG) di PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi
2. Efektivitas organisasi yang dicapai oleh PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi
3. Pengaruh Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian terhadap efektivitas organisasi di PT PLN (Persero) Jasa dan Produksi

D. Kegunaan Penelitian
Setelah perumusan tujuan dapat tercapai, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Kegunaan Akademis (Teoritis)
Diharapkan dari hasil penelitian ini, dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dalam penelitian tentang pengaruh sistem informasi kepegawaian terhadap efektivitas organisasi, serta diharapakan dapat berguna bagi pihak lain sebagai sumber informasi dalam penulisan selanjutnya.
2. Kegunaan Praktis
Bagi organisasi penelitian apat dijadikan sebagai bahan masukan terkait khususnya mengenai pengaruh sistem informasi kepegawaian terhadap efektivitas organisiasi.
Bagi peneliti penelitian ini berfungsi sebagai tambahan pengetahuan dan pengalaman agar dapat mengaplikasikan teori yang dimiliki untuk mencoba menganalisis fakta, gejala dan peristiwa yang terjadi secara ilmiah dan objektif sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:56:00

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS KOMPUTER TERHADAP KINERJA KARYAWAN

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS KOMPUTER TERHADAP KINERJA KARYAWAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Saat ini dunia usaha sedang berada pada masa transisi dari era persaingan industri ke persaingan informasi. Persaingan abad industri telah bergeser kepada persaingan dalam lingkungan yang lebih bergolak, dan para manajer senior perlu menerima umpan balik dari strategi yang lebih kompleks. Strategi yang direncanakan, walaupun dimulai dengan maksud yang baik dengan informasi serta pengetahuan terbaik yang tersedia, mungkin tidak lagi sesuai atau valid untuk kondisi saat ini.

Dalam lingkungan yang terus berubah, setiap perusahaan perlu memiliki SDM yang profesional dan memiliki daya saing yang cukup tinggi sehingga akan menjadi pusat keunggulan perusahaan dalam beroperasi dan sekaligus dapat berperan sebagai pendukung perusahaan dalam mengikuti tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sumber daya manusia merupakan unsur yang paling menentukan berhasil tidaknya pencapaian tujuan perusahaan. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan sumber daya manusia yang baik sehingga mampu mencapai tujuan perusahaan yang telah ditentukan.

Pada awalnya perusahaan pernah salah dalam memposisikan sumber daya manusia, dimana posisinya sebagai objek yang berfungsi sebagai penghasil barang atau jasa, sehingga tidak berbeda perlakuannya terhadap faktor produksi lainnya seperti modal, mesin, informasi, teknologi dan lain-lain. Padahal apabila diperhatikan dengan teliti sumber daya manusia (SDM) ini merupakan faktor penting yang menggerakan segala kegiatan dalam perusahaan yang semestinya harus terus dibina dan dikembangkan supaya dapat terus memberikan manfaat positif bagi perusahaan. Apapun jenis sumber-sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan, sumber daya manusia tetaplah menempati kedudukan yang paling utama diantara sumber-sumber daya lainnya. Sumber daya manusialah yang mengalokasikan dan mengelola segenap sumber daya yang ada di dalam perusahaan tersebut. Seperti pendapat Malayu S.P Hasibuan (2003:12) bahwa "karyawan adalah kekayaan utama suatu perusahaan, karena tanpa keikutsertaan mereka, aktivitas perusahaan tidak akan terjadi. Karyawan berperan aktif dalam menetapkan rencana, sistem, proses, dan tujuan yang ingin dicapai."

Oleh karena itu, perusahaan akan selalu berupaya agar tenaga kerja yang terlibat dalam operasional perusahaan dapat bekerja secara prima agar kinerja karyawan yang optimal dapat tercapai. Kenyataannya, masih ada perusahaan yang mengalami rendahnya kinerja karyawan.

Masalah kurang optimalnya kinerja karyawan juga terjadi pada PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat. Fakta dan data didapat dari penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis. Adapun dari data dibawah ini dapat kita lihat bahwa tidak ada karyawan yang berkinerja unggul maupun baik, ini menggambarkan bahwa kinerja karyawan belum maksimal. Walaupun sebagian besar karyawan dalam kriteria berkinerja cukup, akan tetapi berdasakan hasil wawancara dengan Bpk. Sunarto (Pelaksana Bidang SDM dan Umum) pada tanggal 4 Januari 2008, beliau mengatakan bahwa karyawan kurang maksimal dalam mengerjakan tugas tambahan yang seharusnya dapat dikerjakan juga. 

Selain itu, penulis juga mendapatkan data mengenai monitoring sasaran mutu/hasil kerja PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat pada periode tahun 2007, yang ternyata ada beberapa pencapaian kerja yang tidak sesuai dengan target yang diharapkan, diantaranya:

Pada periode tahun 2007, pencapaian tingkat kepuasan peserta terhadap pelayanan yang diterima sebesar 83,78%, sedangkan target yang diharapkan adalah 86,5%. Aktualisasi tingkat kepuasan PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan, seperti; rumah sakit, puskesmas, apotik, dan lain-lain) terhadap pelayanan Askes Sosial sebesar 84,65%, sedangkan target yang diharapkan adalah 86,5%. Penyusunan RKAKR dianggap kurang tepat waktu karena seharusnya dapat diselesaikan pada tanggal 31 Juli 2007, akan tetapi pada kenyataannya selesai pada tanggal 26 Agustus 2007. Begitu pula dengan laporan manajemen mengalami keterlambatan, karena yang seharusnya dapat diselesaikan pada tanggal 28 Februari 2007, pada pencapaiannya diselesaikan pada tanggal 3 Maret 2007.

Target tingkat kepuasan peserta maupun PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan) Askes Komersial adalah 86%, akan tetapi yang dapat tercapai adalah sebesar 82,43% untuk peserta dan 77,54% untuk PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan). Penerbitan kartu peserta JKPBI hanya terpenuhi sebesar 52,4% dari 100% yang diharapkan. Dan sosialisasi tingkat propinsi dapat diselesaikan sebesar 50% dari 100% yang ditargetkan. Untuk entry data peserta Askeskin baru dapat diselesaikan 71% dari 100% yang diharapkan. Serta pendistribusian kartu peserta Askeskin masih kurang sebesar 3%. 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat harus ditingkatkan. Bagaimanapun juga masalah rendahnya kinerja karyawan berawal dari kurang optimalnya mengelola SDM. Untuk itu perlu perhatian khusus dari perusahaan akan masalah ini. Karena dengan bekerja secara optimal, berbagai benefit akan diraih oleh perusahaan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan, salah satunya adalah pemanfaatan teknologi informasi, seperti yang diungkapkan oleh Sondang P. Siagian (2003:114) sebagai berikut :
Pemanfaatan teknologi informasi bukan lagi merupakan kemewahan akan tetapi sudah merupakan keharusan. Efisiensi, efektivitas, dan kinerja organisasi atau perusahaan, baik pada tingkat individu, kelompok, maupun pada tingkat organisasi atau perusahaan sebagai keseluruhan dapat ditingkatkan dengan pemanfaatan teknologi tersebut.

Pesatnya perkembangan information and communication technology (ICT) yang diikuti semakin beragamnya varian produk yang dihasilkannya, telah merubah paradigma berfikir dan bertindak masyarakat global secara menyeluruh. Perubahan-perubahan ini menciptakan era baru yakni era dunia tanpa batas (borderless). Bahkan, saat ini pemanfaatan ICT telah menyentuh berbagai bidang kehidupan.

Keuntungan bagi perusahaan dengan adanya perkembangan teknologi informasi ini, yaitu manajemen informasi yang lebih handal, terstruktur, dan fleksibel untuk dapat dimaksimalkan sesuai dengan fungsi bisnis dalam mencapai visi perusahaan. Kemudahan dan fitur-fitur dari teknologi informasi itu sangat bermanfaat untuk membantu memperlancar penyelesaian tugas. Dengan demikian, kinerja karyawan dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, pada umumnya pada setiap perusahaan terdapat sebuah sistem yang berguna sebagai pendukung kegiatan operasional bisnis, yaitu sistem informasi manajemen.

Akan tetapi, hasil pra-penelitian yang dilakukan penulis menunjukan bahwa sistem informasi manajemen berbasis komputer di PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat penerapannya masih kurang efektif. Hal ini diperlihatkan masih kurang terlatihnya brainware dalam memanfaatkan sistem informasi berbasis komputer di perusahaan. Selain itu, untuk perusahaan sebesar Askes, khususnya kantor Regional V Jawa Barat Jawa Barat, lalu lintas data dari setiap cabang masih dilakukan secara manual/tradisional. Perusahaan yang memiliki kemampuan untuk melipat-gandakan efektivitas, efisiensi serta kinerjanya akan mampu bertahan dan tumbuh dalam lingkungan bisnis yang kompetitif (Mulyadi, 2001:54). Perjalanan menuju masa depan yang lebih kompetitif, padat teknologi, dan ditentukan oleh kapabilitas tidak dapat dicapai semata-mata melalui pemantauan dan pengendalian berbagai ukuran kinerja masa lalu saja, akan tetapi dibutuhkan juga adaptasi perusahaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan internal maupun eksternal perusahaan.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai sistem informasi manajemen terutama yang berbasis komputer dengan kinerja karyawan dengan judul "Pengaruh Sistem Informasi Manajemen Berbasis Komputer Terhadap Kinerja Karyawan PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat".

1.2. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah
Setiap lembaga atau instansi dalam menjalankan kegiatannya akan selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja pegawainya semaksimal mungkin, tentunya dalam batas-batas kemampuan yang dimilki lembaga/instansi tersebut. Salah satu langkah untuk meningkatkan kinerja pegawai adalah dengan pemanfaatan teknologi informasi.
Tujuan utamanya adalah agar perusahaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, serta agar perusahaan mampu beroperasi secara efektif dan efisien. Dengan demikikan, penggunaan teknologi dalam sistem informasi manajemen perusahaan dapat memberikan pengaruh yang baik bagi tercapainya tujuan perusahaan.
Dalam rangka memberi arah dan tujuan yang jelas tentang masalah yang diteliti, penulis mengemukakan beberapa batasan dari permasalahan yang ada, yaitu :
1. Bagaimana gambaran sistem informasi manajemen berbasis komputer di PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat?
2. Bagaimana gambaran kinerja karyawan PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat?
3. Bagaimana pengaruh sistem informasi manajemen berbasis komputer terhadap kinerja karyawan PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat?

1.3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Hasil Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis ini dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai sistem informasi manajemen berbasis komputer dan kinerja karyawan PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat. Data ini dijadikan bahan analisis apakah sistem informasi manajemen berbasis komputer memiliki pengaruh terhadap kinerja karyawan atau tidak.
Sesuai dengan judul yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Gambaran sistem informasi manajemen berbasis komputer di PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat.
2. Gambaran kinerja karyawan di PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat.
3. Pengaruh sistem informasi manajemen berbasis komputer terhadap kinerja karyawan di PT Askes (Persero) Regional V Jawa Barat.
1.3.2. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan secara teoritis dan praktis.
1.3.2.1. Kegunaan Ilmiah
Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi kajian yang lebih komprehensif dan pengembangan ilmu sistem informasi manajemen dan ilmu manajemen sumber daya manusia tentang kinerja karyawan.
1.3.2.2. Kegunaan Praktis
Bagi perusahaan, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pelaksanaan sistem informasi manajemen berbasis komputer yang berperan penting untuk optimalisasi kinerja karyawan dalam mendukung pencapaian visi dan misi perusahaan.
Bagi peneliti, penelitian ini berfungsi sebagai tambahan pengetahuan dan pengalaman agar dapat mengaplikasikan teori yang dimiliki untuk mencoba menganalisis fakta, gejala, dan peristiwa yang terjadi secara ilmiah dan objektif sehingga dapat ditarik kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:54:00

Metode Pengukuran Dan Pengakuan Rekening-Rekening Laporan Keuangan Untuk Penghitungan Zakat Mal Perusahaan

 
Skripsi Metode Pengukuran Dan Pengakuan Rekening-Rekening Laporan Keuangan Untuk Penghitungan Zakat Mal Perusahaan
 

1.1. Latar Belakang
Dalam era dimana pertanggungjawaban merupakan titik perhatian dalam masyarakat, kegunaan akuntansi akan semakin dirasakan. Fungsi akuntansi menjadi semakin penting, karena tujuan utama akuntansi adalah menyajikan informasi ekonomi dari suatu kesatuan ekonomi kepada pihak yang berkepentingan. Informasi ekonomi yang dihasilkan akuntansi berbentuk laporan keuangan, dimana laporan keuangan bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu organisasi bisnis yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
 
Laporan keuangan yang disusun untuk tujuan ini memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pemakai. Namun demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi, karena secara umum hanya menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi nonkeuangan. Sementara itu informasi yang dibutuhkan oleh pemakai laporan keuangan sangat beragam, dan hingga kini selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan pemakai laporan keuangan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena orientasi organisasi bisnis yang cukup berkembang, dimana pada awal perkembangannya, organisasi bisnis hanya mementingkan keuntungannya sendiri (profit-oriented), sehingga sebuah organisasi bisnis akan melakukan apapun untuk mencapai tingkat keuntungan yang dapat dicapainya. Setelah itu berkembanglah orientasi organisasi bisnis yang lain, hal tersebut disebabkan dengan adanya tuntutan akan etika bisnis yang lebih baik. Sehingga organisasi tidak hanya menilai prestasinya dengan mengukur tingkat nominal laba yang dicapai, tapi lebih dari itu yakni dengan menilai hubungan organisasi bisnis dengan pihak-pihak yang terkait (stakeholder) seperti pelanggan, pemasok, investor, dan pihak yang lain. Organisasi bisnis seperti ini berarti telah memiliki orientasi yang mementingkan hubungan dengan pihak-pihak yang terkait dengan lebih baik (stakeholders-oriented). Selain dua orientasi organisasi bisnis di atas, berkembang pula orientasi yang lain, terutama bagi masyarakat Islam, dimana dalam menjalankan organisasi bisnis, Islam mengharuskan untuk menjalankan syariah sebagai pedoman yang digunakan untuk berperilaku dalam segala aspek kehidupan. Sehingga dalam menjalankan organisasi bisnis selalu menggunakan metafora “amanah” yang bisa diturunkan menjadi metafora zakat, atau realitas organisasi yang dimetaforakan dengan zakat. Ini berarti bahwa organisasi bisnis orientasinya tidak lagi profit-oriented atau stakeholders-oriented, tetapi zakat-oriented (Muhammad : XXXX).
 
Persoalannya sekarang adalah bagaimana kaitan antara zakat dengan akuntansi. Tidak lain adalah kita seharusnya dapat menggunakan informasi yang dihasilkan oleh akuntansi untuk keperluan zakat. Dimana diharapkan informasi akuntansi berguna dalam penghitungan zakat yang benar. Untuk itu diperlukan adanya penyesuaian pengukuran dan pengakuan sejumlah rekening-rekening pada laporan keuangan, karena tidak semua metode akuntansi yang biasa dipakai sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
 
Meskipun banyak pembahasan tentang aturan syariah dalam menjalankan organisasi bisnis, tetapi kebanyakan masih dalam tatanan etika perusahaan secara global, sedikit sekali yang membahasnya dalam tingkatan praktik. Terutama dalam pembahasan akuntansi syariah, sedikit sekali yang membahas tentang praktik akuntansi syariah pada perusahaan secara umum, karena perkembangan praktik akuntansi syariah sementara ini masih tertuju pada perbankan syariah saja, sedikit sekali yang menyentuh praktik pada organisasi bisnis yang lain. Maka dari itu penulis mengambil judul “METODE PENGUKURAN DAN PENGAKUAN REKENING-REKENING LAPORAN KEUANGAN UNTUK PENGHITUNGAN ZAKAT MAL PERUSAHAAN; STUDI KASUS CV. X”.

1.2. Ruang Lingkup Masalah
Agar penelitian yang dilakukan tidak terlalu melebar maka perlu pembatasan masalah yang difokuskan pada penerapan teori pengukuran dan pengakuan rekening-rekening laporan keuangan perusahan untuk penghitungan zakat. Pada penelitian ini akan mengambil kasus pada laporan keuangan CV X, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan perdagangan, yang selanjutnya akan dilakukan penyesuaian metode pengukuran dan pengakuan atas rekening laporan keuangannya guna penghitungan zakat mal perusahaan tersebut.

1.3. Perumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti adalah:
1.3.1. Bagaimanakah metode pengukuran dan pengakuan rekening laporan keuangan yang digunakan CV X dalam laporan keuangannya?
1.3.2. Bagaimanakah metode pengukuran dan pengakuan rekening laporan keuangan CV X untuk tujuan penghitungan zakat mal?
1.3.3. Bagaimanakah metode penghitungan zakat mal pada CV X?
1.4. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang ada maka tujuan penelitian ini adalah:
1.4.1. Untuk mengetahui metode pengukuran dan pengakuan rekening-rekening laporan keuangan CV X.
1.4.2. Untuk menerapkan metode pengukuran dan pengakuan rekening-rekening laporan keuangan yang sesuai syariah, guna penghitungan zakat mal CV X.
1.4.3. Untuk menghitung zakat mal CV X.

1.5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk pengembangan penerapan teori akuntansi syariah yang ada pada tatanan praktik perusahaan non perbankan, khususnya perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan dagang, sehingga mempermudah pemahaman akan teori akuntansi syariah yang berlaku.
Penelitian ini juga berguna untuk mempermudah pemilik CV X dalam menghitung zakat mal perusahaannya dengan hanya menggunakan laporan keuangan yang sudah tersedia lalu menyesuaikan metode pengukuran dan pengakuan beberapa rekening yang memang diperlukan sesuai dengan syariah.
Penelitian ini diharapkan juga dapat menyumbangkan metode praktik yang dapat digunakan dalam perusahaan yang sejenis dengan perusahaan yang diteliti guna penghitungan zakat mal.

1.6. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusunnya sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bagian ini berisi beberapa sub bab yang membahas tentang latar belakang, ruang lingkup masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian ini dilakukan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini penulis melandaskan teori untuk penelitiannya dengan terlebih dahulu membahas zakat, mulai dari; pengertian zakat, harta benda yang wajib dizakati, zakat perdagangan, zakat perusahaan, dan sedikit uraian tentang perbedaan zakat, infak, sedekah, dan pajak. Selanjutnya penulis mulai membahas pijakan teori dari penerapan dalam penelitian ini dengan membahas; tujuan akuntansi syariah, Asumsi dasar laporan keuangan syariah, prinsip akuntansi syariah, karakteristik kualitatif laporan keuangan syariah, dan akhirnya penulis menutupnya dengan pembahasan tentang konsep pengukuran dan pengakuan elemen laporan keuangan syariah.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini, penulis menjelaskan pendekatan metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi, beserta jenis dan sumber data yang dipakai serta metode pengumpulannya. Setelah itu penulis menjelaskan metode analisis yang digunakannya dalam penelitian ini.
BAB IV : PEMBAHASAN
Dalam bab ini, penulis akan mulai membahas penelitiannya dari pengungkapan profil perusahaan, deskripsi metode pengukuran dan pengakuan elemen laporan keuangan perusahaan, dan penerapan metode pengukuran dan pengakuan elemen laporan keuangan yang sesuai syariah untuk penghitungan zakat mal.
BAB V : PENUTUP
Disini akhirnya penulis membuat kesimpulan atas hasil penelitiannya dan memberikan saran berdasarkan hasil penelitiannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:08:00

Skripsi Kinerja Keuangan Perbankan Sebelum Dan Sesudah Implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia

 
Skripsi Kinerja Keuangan Perbankan Sebelum Dan Sesudah Implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
 

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Pada era globalisasi ini perbankan nasional harus berusaha lebih keras lagi untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan yang semakin berat. Untuk mewujudkan perbankan Indonesia yang lebih kokoh perbaikan harus dilakukan diberbagai bidang terutama untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi perbankan nasional dalam beberapa tahun belakangan ini. Tantangan-tantangan tersebut adalah Kapasitas pertumbuhan kredit perbankan yang masih rendah, Struktur perbankan yang belum optimal, Konsolidasi perbankan belum secepat yang diharapkan, Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan perbankan yang dinilai oleh masyarakat masih kurang, Pengawasan bank yang masih perlu ditingkatkan, Perlindungan nasabah yang masih harus ditingkatkan
 
Sebagai lembaga intermediasi antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana, diperlukan bank dengan kinerja keuangan yang sehat, sehingga fungsi intermediasi dapat berjalan lancar. Tingkat kesehatan bank dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah satu sumber utama indikator yang dijadikan dasar penilaian adalah laporan keuangan bank yang bersangkutan. Berdasarkan laporan itu akan dapat dihitung sejumlah rasio keuangan yang lazim dijadikan dasar penilaian tingkat kesehatan bank, penilaian tingkat kesehatan bank mencakup penilaian terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas asset, manajemen, rentabilas dan likuiditas.
 
Bank Indonesia telah menetapkan berbagai upaya untuk penyehatan dan penguatan industri perbankan Indonesia melalui kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dimulai wacananya pada awal Januari XXXX dimana salah satu syarat modal minimum bagi bank umum menjadi Rp. 100 miliar selambat-lambatnya pada tahun 2011.
 
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
 
Arsitektur Perbankan Indonesia menjadi kebutuhan yang mendesak bagi perbankan Indonesia dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan. Sebelum munculnya Arsitektur Perbankan Indonesia cukup banyak pertanyaan yang muncul mengenai struktur perbankan Indonesia kedepan, bagaimana peningkatan pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah beserta penguatan kelembagaan BPR, disamping itu belum memadainya infrastruktur pendukung perbankan serta masalah perlindungan nasabah yang belum cukup terakomodasi juga menjadi permasalahan yang mendapatkan perhatian besar dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan industri perbankan.
 
Secara ideal sebenarnya kita menginginkan bank-bank yang ada sekarang memiliki kinerja dan tingkat kesehatan yang baik terlepas dari persoalan apakah jumlahnya sedikit atau banyak. Jadi masalah kualitas, quality does matter, seharusnya menjadi tolok ukur yang fundamental, bukan jumlahnya. Oleh karena itu, struktur pebankan nasional ke depan yang perlu diakomodir oleh API adalah struktur perbankan yang mampu menciptakan bank-bank yang sehat dan prudent. Sebagai gambaran jumlah bank sebelum krisis pada tahun 1997 mencapai 222 bank (tidak termasuk BPR), pada akhirnya mengalami penyusutan sesuai dengan mekanisme pasar dan terakhir mencapai 130 bank dengan jumlah kantor bank mencapai 9.110 pada bulan Desember XXXX. Pada bulan Desember XXXX jumlah asset perbankan nasional sebesar 1,693.50 triliun rupiah, jumlah modal sebesar 134.50 triliun rupiah.
 
Kegiatan bisnis perbankan dapat dikatakan berhasil apabila bank dapat mencapai sasaran bisnis yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun sasaran-sasaran bisnis perbankan antara lain menjaga keamanan dana masyarakat yang dititipkan kepada mereka, perkembangan usaha yang baik serta mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap perkembangan ekonomi nasional. Hal tersebut hanya mungkin dilaksanakan dengan baik apabila bank mampu meningkatkan kinerjanya. Rasio kecukupan modal, likuiditas, dan rentabilitas adalah tolak ukur yang sering digunakan dalam pengukuran kinerja bank.
 
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (XXXX) Adapun Kriteria yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) adalah 1) Rasio kecukupan modal (CAR) minimum 12% dengan rasio modal inti minimum 6%, 2) Rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%, 3) Pertumbuhan kredit riil sedikitnya 22% dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) sedikitnya 50% dan rasio kredit bermasalah (NPL) dibawah 5%, 4) Merupakan perusahaan publik atau berencana dalam waktu dekat menjadi perusahaan publik dan 5) Memiliki kemampuan menjadi konsolidator. (Agus Sugiarto, XXXX) Rasio BOPO untuk industri perbankan nasional telah mencapai 91.5% sehingga lebih efisien dibandingkan dengan bank-bank yang memiliki modal kecil.
 
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut diketahui untuk menilai apakah kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia melalui Arsitektur Perbankan Indonesia sudah berjalan dengan baik maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil topik ini untuk dijadikan bahan penulisan dengan judul “KINERJA KEUANGAN PERBANKAN SEBELUM DENGAN SESUDAH IMPLEMENTASI ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA”.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu apakah ada perbedaan tingkat kinerja perbankan di Indonesia sebelum API dan sesudah API berdasarkan tolak ukur yang sering digunakan dalam pengukuran kinerja bank yaitu rasio kecukupan modal, likuiditas, dan rentabilitas.

1.3 BATASAN MASALAH
Dengan keterbatasan yang ada penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang mendekati mengenai perbandingan antara tingkat kinerja perbankan di Indonesia sebelum API dan sesudah API. Periode Laporan keuangan yang dikumpulkan adalah selama 5 tahun, yaitu 3 tahun sebelum API dan 2 tahun sesudah API.
Disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi kinerja sebuah bank, maka penulis menggunakan rasio-rasio sebagai berikut :
1. Likuiditas bank diukur dengan menggunakan rumus Loan to Deposit Ratio (LDR).
2. Profitabilitas bank diukur dengan menggunakan rumus rasio biaya operasional (BOPO), Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE).
3. Solvabilitas bank diukur dengan menggunakan rumus Capital Adequacy Ratio (CAR).

1.4 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami dan menegenali perbedaan tingkat kinerja usaha perbankan di Indonesia dengan melihat apakah terdapat perbedaan kinerja perbankan pada sebelum Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan dibandingkan dengan keadaan kinerja perbankan pada sesudah Implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

1.5 MANFAAT PENELITIAN
Dalam dunia akademis penelitian ini dapat menambah referensi untuk penelitian sejenis dan dapat menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana kinerja perbankan di Indonesia dengan membandingan kinerja perbankan sebelum API dengan kinerja perbankan setelah API.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 22:07:00