Cari Kategori

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang "aman".
Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa : 
Taking into account the interest and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have the right of access to non-hazardous products, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development".
Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan Iain-lain yang berkaitan dengan itu.
Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.
Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.
Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau Iain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media non elektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan Iain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 
Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain : 
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.
Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar {reasonable).
Di sisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial {social control) terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain : Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar menjadi melemah.
Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen hams memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan, memerlukan dukungan si stem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.
Dalam pasal 1 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa "Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman"
Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar.
Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.
Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan pangan yang kadaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 14 Label yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.
Selain diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan " Halal " pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih spesifiknya adalah PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan.
Di dalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Lebih lanjut di dalam pasal 2 ditentukan bahwa : 
(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
Kemudian di dalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa : 
(1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : 
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.
Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan : 
(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri.
(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. 
Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam.
Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya.
Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor.
Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang dibelinya.
Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa yang tidak dipahami konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal produk tersebut, seperti Cina dan Jepang.
Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan.
Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 juga tidak memberi penjelasan, dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain.
Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum.
Dibandingkan dengan Negara-negara tetangga, Malaysia misalnya, Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dalam upaya melindungi konsumen. Di Malaysia, pemberdayaan konsumen sudah ditangani oleh seorang Menteri, yaitu Menteri Urusan Konsumen, sedangkan di Indonesia masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan serta yang baru UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pada kasus beredarnya makanan kedaluwarsa, mengetahui pihak yang bersalah lebih mudah, karena itu sudah menjadi tugas mereka untuk tidak menjual makanan dan minuman kedaluwarsa.
Indonesia memang belum menerapkan pelabelan kedaluwarsa pada setiap makanan maupun minuman. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No. 180/Menkes/1985, ada 13 jenis makanan dan minuman yang diharuskan mencantumkan tanggal kedaluwarsa : roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen, coklat, kelapa dan hasil olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur, saus dan kecap, minuman ringan tak berkarbonat, sari buah dan susu.
Disamping itu pencantuman label kedaluwarsa sendiri sampai saat ini belum ada standar baku. Ada yang sudah menggunakan Bahasa Indonesia beserta kaidah penanggalannya (misalnya, sebaiknya digunakan sebelum : Januari 1999), dan tak jarang pula yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya (best before : 06.98). Namun ada juga yang hanya berisi angka-angka melulu yang bagi masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.
Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada 4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang dikonsumsinya, yaitu : 
1. Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan bahan berbahaya
2. Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya
3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999) beserta Permenkes.
4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kadaluarsa.
Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui adalah 18 : 
• Penggunaan label tidak berbahasa Indonesia dan tidak menggunakan huruf latin, terutama produk impor.
• Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan
• Tidak mencantumkan waktu kadaluarsa
• Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih
• Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan gizi yang tidak konsisten.
• Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya)
Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono, Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ?
1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?
2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang konseptual tentang label sebagai perwujudan hak konsumen atas informasi kaitannya dengan perlindungan konsumen. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan label, mengingat semakin banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat dengan bermacam-macam label, sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat membantu dalam usaha-usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 apa telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen.
b. Untuk mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran ketentuan label pangan bagi pelaku usaha.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen khususnya tentang pelabelan. 
2. Manfaat Praktis
Penelitian tesis ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan konsumen baik Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, konsumen itu sendiri maupun pelaku usaha. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:28:00

PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA

PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Patrick Manning dalam bukunya Migration in World History (2005) menyatakan bahwa migrasi yang dilakukan oleh manusia-homo sapiens-telah terjadi sejak 40 ribu tahun sebelum Masehi. Dorongan utama dilakukannya migrasi pada masa itu secara umum berasal dari naluri alamiah umat manusia untuk mencari tempat tinggal atau daerah bermukim yang dapat memberikan keamanan dan kenyamanan. Sejarah mencatat, bangsa Canaan (yang sekarang disebut bangsa Palestina) pernah melakukan migrasi dari Asia menuju Eropa, demikian juga yang dilakukan oleh bangsa Romawi di masa kejayaannya dan bangsa-bangsa lainnya.
Para ahli sejarah dan geografi sepaham dengan pendapat bahwa migrasi manusia selanjutnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor ketidaknyamanan kondisi iklim, kurangnya persediaan makanan (ekonomi), perang (konflik senjata dan keamanan), dan faktor sosial yang meliputi tekanan politik, ras, agama, dan ideologi. Terkait alasan atau faktor-faktor tersebut, pada periode saat ini-dimana berlaku konsep negara-bangsa yang mengusung prinsip kedaulatan atas suatu wilayah negara, serta berlaku prinsip kewarganegaraan atas diri seseorang-praktik migrasi oleh bangsa atau warganegara tertentu ke wilayah negara lain dapat menjadi permasalahan serius.
Dalam hal ini banyak negara di dunia umumnya sependapat bahwa migrasi yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan keimigrasian atau migrasi ilegal akan mengakibatkan ancaman terhadap kedaulatan, keamanan, kehidupan sosial dan ekonomi, bahkan juga ancaman terhadap ideologi suatu bangsa. Belum lagi migrasi ilegal bisa dihentikan, telah timbul varian baru yang kini kian mengemuka, yakni penyelundupan manusia (people smuggling), dan perdagangan manusia (human trafficking).
Dalam pengertian dan batasan hukum internasional dalam hal ini hukum internasional publik merupakan keseluruhan kaidah dan azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Pengertian ini untuk membedakan dengan pengertian hukum perdata internasional.
Dari pengertian hukum internasional publik tersebut, maka jika dikaji dari fungsi dan tujuannya, keimigrasian melaksanakan sebagian fungsi dan tugas hukum internasional publik, termasuk perjanjian bilateral tentang bidang lintas batas. Pengertian imigrasi mempunyai makna di satu sisi merupakan tindakan masuk ke negara lain untuk tinggal menetap sedangkan sisi lain dari segi kelembagaan mempunyai fungsi dan tujuan yaitu mengatur orang asing yang masuk ke negeri ini; sisi pertama tersebut menunjuk pada suatu aktivitas (dari kalimat "Tindakan masuk ke negara lain") manusia, yaitu aktivitas berupa lalu lintas manusia dari suatu negara ke negara lain. Sisi kedua, menunjukkan tata laksana dari suatu organisasi atau instansi yang mengurus lalu lintas manusia antar negara.
Individu/manusia merupakan obyek dari pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pelaksanaan keimigrasian, yang tidak dapat dipisahkan dengan kewarganegaraan seseorang. Kewarganegaraan merupakan hubungan yang paling sering dan kadang-kadang merupakan suatu hubungan satu-satunya antara seorang individu dan suatu negara yang menjamin diberikannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu pada hukum internasional.
Kewarganegaraan memang tidak dapat dipisahkan bahkan merupakan suatu hubungan hukum yang kesinambungan antara negeri yang berdaulat di satu pihak dan warganya tersebut di pihak lain. Sebagai dasar fundamental kewarganegaraan seseorang adalah keanggotaannya dalam suatu komunitas politik yang merdeka. Hubungan hukum ini meliputi hak-hak dan kewajiban dan keduanya di pihak warganegara dan di pihak lain.
Sebagai pelaksana dari hubungan hukum tersebut perlu diimplementasikan dalam suatu organisasi atau instansi yang mengurus lalu lintas manusia antara negara sebagai wujud dari pencerminan kedaulatan hukum dan kedaulatan negara. Secara hukum internasional, aspek kewarganegaraan merupakan hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri dan ini merupakan atribut yang esensial, dimana negara bertanggung jawab untuk melindungi warganya yang merupakan pencerminan aspek korelatif dan kesetiaan dan perlindungan "Protectio tvahit subjectionem et subjectio Protectionem".
Organisasi yang mempunyai fungsi keimigrasian tersebut diatas, di Indonesia diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Kehakiman RI, yang keberadaannya, tugas pokok serta fungsinya diatur berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen jo keputusan Presiden RI nomor 15 tahun 1984 tentang susunan organisasi Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan keputusan Presiden RI nomor 8 tahun 1991 dan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M-PR. 07 04 tahun 1991 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Imigrasi di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Sebagaimana diketahui negara Republik Indonesia lahir dari proses sejarah yang panjang, termasuk sejarah perkembangan keimigrasian yang dapat dibedakan dalam dua periode yaitu periode pendudukan/penjajahan dan setelah kemerdekaan. Dalam periode pendudukan/penjajahan, pemerintah penjajahan Hindia Belanda di bidang keimigrasian menerapkan kebijaksanaan "opendeur politiek" yaitu kebijaksanaan terbuka terhadap masuknya orang asing untuk menetap di Indonesia, tujuan dan kebijaksanaan ini untuk masuknya modal asing dan tenaga asing yang murah.
Dalam rangka menyamakan persepsi mengenai sikap tindak dan keputusan yang akan dilakukan, maka pada tanggal 23-24 Juni 2008 Direktorat Jenderal Imigrasi mengadakan suatu kegiatan Penyuluhan Peraturan Keimigrasian Terpusat (PPKT).
Pembicara dalam kegiatan PPKT berasal dari berbagai unsur kedinasan seperti :
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-memaparkan mengenai pengertian Gratifikasi secara luas,
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)-memaparkan tentang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara,
- Badan Intelijen Negara (BIN)-memaparkan tentang jaringan komunitas intelijen Indonesia khususnya mengenai subversi asing,
- Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN)-memaparkan tentang analisis jabatan sebagai perangkat realisasi pendapatan berbasis kinerja,
- Departemen Keuangan-memaparkan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Terkait dengan Dasar Pengelolaan, Perencanaan dan Penganggaran PNBP,
- Departemen Luar Negeri-memaparkan tentang kedudukan dan peran Atase Imigrasi pada Perwakilan RI di Luar Negeri,
- Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda-memaparkan tentang nasionalisme dan perjuangan membela NKRI pada peranan Keimigrasian,
- Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI-memaparkan tentang penjelasan anggaran belanja Departemen Hukum dan HAM RI dan pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI,
- Inspektur Jenderal Departemen Hukum dan HAM RI-memaparkan tentang Peran pengawasan dalam meningkatkan kinerja aparat keimigrasian,
- Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)-memaparkan tentang UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya mengenai pengakuan informasi dan atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah,
- Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) POLRI-membahas tentang Strategi POLRI dalam Penanggulangan Kejahatan Transnasional serta membangun Kapasitas Penyidik, dan
- Direktur PT Premysis Consulting-memaparkan tentang Prinsip pelayanan yang diterapkan dalam imigrasi, Standar pelayanan yang diambil sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan dan Solusi terpenting dalam menaikkan standar pelayanan (ISO 9001).
Melalui kegiatan PPKT tersebut, diharapkan dapat menjadi sarana untuk melakukan evaluasi terhadap segala bentuk kegiatan yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan oleh Direktur Jenderal Imigrasi-Basyir Ahmad Barmawi dalam sambutan penutupan kegiatan PPKT yang mengatakan bahwa kegiatan PPKT ini diselenggarakan untuk melakukan evaluasi masalah dan kendala yang ada dalam pelaksanaan tugas keimigrasian di lapangan. Jika ada keluhan-keluhan dalam melaksanakan tugas, inilah sarananya untuk bisa mendapatkan masukan dari para pakar.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Hak Setiap Warga Negara Indonesia
Setiap warga negara Indonesia berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk wilayah Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghormati hak asasi manusia, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Fungsi dan Pelaksanaan Keimigrasian
Fungsi keimigrasian dilaksanakan oleh Pemerintah dan untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan keimigrasian yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pimpinan. Untuk melaksanakan tugas keimigrasian, pada setiap kabupaten, kota, atau kecamatan dapat dibentuk Kantor Imigrasi. Selain Kantor Imigrasi, di ibukota negara, provinsi, kabupaten/kota, dapat dibentuk Rumah Detensi.
Ditentukan pula bahwa pada setiap perwakilan Republik Indonesia di luar negeri atau tempat lain di luar negeri terdapat tugas dan fungsi keimigrasian yang dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi. Untuk menjalin hubungan internasional di bidang keimigrasian, Pimpinan dapat melakukan kerja sama internasional di bidang keimigrasian dengan negara lain atau dengan badan atau organisasi internasional.
3. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia
Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku. Orang asing yang masuk wilayah Indonesia wajib memiliki visa yang sah dan masih berlaku. Petugas Pemeriksa Pendaratan berperan dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia, terutama melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).
Pengaturan mengenai masuk dan keluarnya orang dari atau ke wilayah Indonesia, meliputi pula pengaturan mengenai kewajiban bagi penanggung jawab alat angkut. Untuk membatasi yuridiksi pemeriksaan, diatur pula mengenai Area Imigrasi yakni suatu area tertentu untuk melakukan pemeriksaan keimigrasian dan merupakan area terbatas yang hanya dapat dilalui oleh penumpang atau awak alat angkut yang akan keluar atau masuk wilayah Indonesia atau pejabat dan petugas yang berwenang.
4. Pencegahan dan Penangkalan
Pimpinan berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencegahan yang menyangkut bidang keimigrasian. Demi keamanan dan ketertiban umum, Pimpinan berwenang pula melakukan penangkalan bagi seseorang yang masuk ke wilayah Indonesia. Pejabat yang berwenang dapat meminta kepada Pimpinan untuk melakukan penangkalan. Untuk melakukan penangkalan ini, diatur pula mengenai syarat dikeluarkannya keputusan penangkalan dan perlindungan hukum bagi yang ditangkal, beserta batas waktu penangkalan.
5. Visa, Izin Masuk, dan Izin Tinggal
Dalam bagian ini diatur mengenai jenis visa dan kepada siapa dapat diberikan dan kepada siapa tidak dapat diberikan. Termasuk pula pengaturan mengenai orang asing yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki visa. Dalam bagian ini diatur pula mengenai ketentuan izin masuk bagi orang asing yang telah memenuhi persyaratan untuk masuk wilayah Indonesia. Bagi orang asing yang berada di wilayah Indonesia, diwajibkan memiliki izin tinggal. Dalam bagian ini diatur mengenai jenis dan macam izin tinggal.
6. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang ini meliputi Paspor Republik Indonesia (sebagai dokumen negara) dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (sebagai dokumen resmi).
Paspor Republik Indonesia terdiri atas :
a. Paspor Diplomatik;
b. Paspor Dinas; dan
c. Paspor Biasa.
Surat Perjalanan Laksana Paspor terdiri atas :
a. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk warga negara Indonesia;
b. Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk orang asing;
c. Surat Perjalanan Lintas Batas atau Pas Lintas Batas; dan
d. Pas Perjalanan Haji.
Dalam bagian ini diatur pula mengenai siapa yang dapat memperoleh Paspor dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, beserta persyaratannya. Dengan adanya Pas Perjalanan Haji nantinya tidak dikenal lagi adanya pas-pas haji.
7. Pengawasan Keimigrasian
Pimpinan melakukan pengawasan Keimigrasian yang meliputi :
a. pengawasan terhadap warga negara Indonesia yang memohon dokumen perjalanan, keluar atau masuk wilayah Indonesia, dan yang berada di luar wilayah Indonesia.
b. pengawasan terhadap lalu lintas orang asing yang masuk atau keluar wilayah Indonesia, serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia.
Dalam rangka melakukan pengawasan terhadap orang asing, Pimpinan membina hubungan kerja sama dengan badan atau instansi pemerintah terkait dan bertindak selaku koordinator pengawasan orang asing. Untuk menegakkan pengawasan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi, diatur pula mengenai Tindakan Administratif Keimigrasian dan pengaturan mengenai Rumah Detensi Imigrasi.
8. Penyidikan
Penyidik Keimigrasian yang telah melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian, berkas perkaranya diserahkan kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum paling lama 1 (satu) hari kerja tanpa mengubah isi berkas perkara.
9. Ketentuan Pidana
Dalam ketentuan ini, ada beberapa perbuatan yang menyangkut bidang keimigrasian yang dikriminalisasi dan beberapa perbuatan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian ditingkatkan pidananya dalam rangka pemberatan. Pidana tidak hanya dijatuhkan kepada orang perseorangan, melainkan juga dapat dijatuhkan kepada korporasi.
10. Ketentuan Peralihan
Untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum dalam ketentuan peralihan ini ditentukan bahwa :
a. Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Terbatas, dan Izin Tinggal Tetap yang dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya habis;
b. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya habis;
c. perkara tindak pidana di bidang keimigrasian yang sedang diproses dalam tahap penyidikan, tetap diproses berdasarkan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 13
Berdasarkan politik hukum keimigrasian yang bersifat selektif, ditetapkan bahwa hanya orang asing yang :
a. Memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia.
b. Tidak membahayakan keamanan dan ketertiban umum, serta
c. Tidak bermusuhan dengan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia, diizinkan masuk dan dibolehkan berada di wilayah Indonesia, serta diberi izin tinggal sesuai dengan maksud dan tujuannya datang di Indonesia.
Oleh sebab itu penulis mengangkat ini menjadi sebuah topik penelitian dengan judul "PENEGAKAN PERATURAN KEIMIGRASIAN DALAM MENCEGAH MASUKNYA IMIGRAN ILEGAL KE INDONESIA"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah syarat-syarat dan prosedur mendapatkan izin masuk sebagai imigran di Indonesia ?
2. Bagaimanakah penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran dilakukan dengan cara akibat hukumnya berdasarkan UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian ?
3. Bagaimanakah penegakan peraturan keimigrasian dalam mencegah masuknya imigran ilegal ke Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui syarat-syarat dan prosedur mendapatkan izin masuk sebagai imigran di Indonesia.
2. Untuk mengetahui penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran dan akibat hukumnya berdasarkan UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.
3. Untuk mengetahui peraturan keimigrasian dalam mencegah masuknya imigran ilegal ke Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk masuknya Imigran ke Indonesia yang mempunyai izin yang sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
2. Secara Praktis
Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan izin masuk sebagai imigran. Sehingga dengan adanya penulisan ini pemerintah dapat mengatur izin masuk sebagai imigran yang baik dan sesuai dengan UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:11:00

KEBIJAKAN PEMDA TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMDA (ANALISIS PERATURAN DAERAH)

KEBIJAKAN PEMDA TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMDA (ANALISIS PERATURAN DAERAH) (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah) memberikan perubahan yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Melalui perubahan ini, banyak hal baru yang diakomodasi oleh Undang-undang ini dengan maksud untuk memperbaiki sistem yang telah ada. Meskipun demikian, tidak ada yang sempurna dengan karya manusia. Lahirnya sebuah peraturan perundangan-undangan, selalu memunculkan reaksi baik yang bersifat positif maupun yang negatif atau penolakan, terutama bagi pihak-pihak yang benar-benar menaruh kepedulian terhadap penyelenggaraan sistem yang ada.
Hal-hal yang bersifat Positif yang dirasakan dengan adanya Undang-Undang baru ini menurut Sadu Wasistiono adalah :
1. Hak-hak daerah otonom yang meliputi kebebasan untuk memilih pemimpin sendiri, kebebasan memiliki, mengelola dan memanfaatkan sumber keuangan sendiri, kebebasan membuat aturan hukum sendiri. Hak tersebut tentunya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya, kepentingan umum serta asas kepatutan.
2. Berkembangnya inisiatif dan kreatifitas daerah untuk membangun daerahnya berkompetisi dengan daerah otonom lainnya. Dengan memiliki kebebasan untuk menyusun rencana pembangunan sendiri, daerah dapat mendayagunakan potensinya untuk menyejahterakan rakyat.
3. Pada masa mendatang diharapkan akan muncul berbagai pusat pertumbuhan baru di berbagai daerah yang potensial sehingga mengurangi aktifitas yang bersifat "Jakarta sentris"
4. Mulai tumbuhnya iklim demokrasi dengan lebih banyak melibatkan masyarakat, berpartisipasi pada tahap perumusan, implementasi, pemanfaatan serta evaluasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah daerah
5. Mulai munculnya independensi relatif dari pemerintah daerah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi di daerah. Masalah daerah diselesaikan di daerah, dengan cara dan oleh masyarakat setempat.
Dilihat dari ketahanan nasional, hal semacam itu bersifat menguntungkan karena masalah setempat menjadi terisolasi tidak meluas menjadi masalah nasional.
Gejala-gejala negatif yang mungkin akan timbul menurut Sadu Wasistiono yaitu :
1. Menguatnya rasa kedaerahan sempit yang apabila tidak dicermati dan diantisipasi secara tepat akan bersifat kontra produktif terhadap upaya membangun wawasan kebangsaan
2. Munculnya gejala ekonomi biaya tinggi sebagai akibat daerah hanya mengejar kepentingan jangka pendek dalam menghimpun pendapatan daerah. Selain itu juga ada gejala pengabaian terhadap kelestarian lingkungan karena eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tetapi kurang terencana dengan baik
3. Otonomi daerah masih dipahami secara sempit sehingga hanya pemerintah daerah saja yang sibuk, sedangkan masyarakat luas belum dilibatkan secara aktif. Padahal otonomi diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum, bukan hanya kepada pemerintah daerah saja. Hal ini dapat dilihat antara lain dari alokasi penggunaan dana APBD yang lebih banyak untuk kepentingan birokrasi dan DPRD daripada kepentingan masyarakat luas.
4. Ada gejala ketidakpatuhan daerah atau adanya penafsiran secara sepihak terhadap berbagai peraturan perUndang-Undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Padahal demokrasi memerlukan ketaatan hukum yang tinggi. Demokrasi tanpa penegakan hukum hanya akan menciptakan anarki. Pada sisi lain, tanpa adanya kepastian hukum investor akan enggan menanam modal di daerah. Hal tersebut pada gilirannya justru akan membuat satu daerah tertinggal dibandingkan daerah lainnya.
Berdasarkan uraian di atas otonomi daerah berarti daerah menetapkan sendiri kebijakannya, merencanakan strategi aktivitasnya, melaksanakannya, mengendalikannya dan melakukan pengawasan intern. Otonomi daerah adalah buah dari desentralisasi dan demokrasi yang berarti pemerintahan makin dekat dengan rakyat. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dan sumber daya dari pemerintah (pusat) kepada daerah yaitu pemerintahan daerah dan masyarakat daerah. Kewenangan daerah otonom adalah kebebasan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan kewenangan yang dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 disebut sebagai urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Di dalam urusan pemerintahan terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara antara lain :
1. Perlindungan hak konstitusional ;
2. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI ; dan
3. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
Urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di Daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah.
Pelaksanaan urusan pemerintahan selanjutnya diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pada pasal 1 disebutkan bahwa urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Rincian urusan pemerintahan daerah di Kota X dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X. Penyusunan Peraturan Daerah merupakan upaya pengaturan kewenangan di tingkat daerah Kabupaten/Kota sekaligus sebagai dasar penyusunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah di masing-masing Kabupaten/Kota guna menghindari tumpang tindihnya kewenangan antar satuan kerja perangkat daerah.
Berkaitan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, banyak sekali masalah-masalah hukum yang perlu mendapat perhatian. Masalah kesinkronan dan inkonsistensinya perumusan perundang-undangan, akan membawa perubahan dan permasalahan-permasalahan baru pada tataran bentuk luar maupun isi atau substansinya. Perkembangan tatanan hidup akan membuat kebutuhan manusia terhadap hukum akan bersifat dinamis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merasa sangat tertarik untuk menulis penelitian yang berjudul KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH (Analisis Peraturan Daerah Kota X Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X).

B. Perumusan Masalah
Mengacu kepada pembatasan masalah di atas, penulis menetapkan rumusan masalah penelitian :
1. Apakah kewenangan yang telah ditetapkan tersebut sesuai/sinkron dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang menjadi dasar hukum Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X ?
2. Apakah Peraturan Daerah Kota X Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X sesuai/sinkron dengan Peraturan Daerah Nomor 03-07 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui apakah peraturan kebijaksanaan Kota X, melalui Perda Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
b. Untuk mengetahui apakah Perda Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota X bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 03-07 Tahun 2008 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kota X.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan pengetahuan penulis terhadap tujuan otonomi daerah menurut Undang-Undang 32 Tahun 2004.
b. Untuk menyusun laporan Penelitian sebagai naskah Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum pada program Pasca Sarjana.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian diharapkan nantinya akan mempunyai manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat diperoleh perbandingan antara teori-teori yang diperoleh selama mengikuti pendidikan dengan aplikasi di lapangan berkaitan dengan hal yang diteliti ; dan
b. Untuk memberikan masukan dalam perumusan dan pengkajian di bidang pembuatan kebijaksanaan oleh Pemerintah Daerah khususnya di Kota X.
2. Manfaat praktis
a. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas di lapangan
b. Bagi Pemerintah Daerah dan sistem pemerintahan khususnya serta seluruh masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat dijadikan bahan pengkajian kebijakan publik yang terkait dengan kewenangan pemerintahan daerah serta membantu memberikan pemikiran dalam upaya perbaikan bagi sistem kewenangan pemerintahan daerah, khususnya di Kota X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:05:00

TESIS HAK PASIEN ATAS INFORMASI OBAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK DOKTER

HAK PASIEN ATAS INFORMASI OBAT DAN PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK DOKTER (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Kedokteran berkembang dengan semakin pesat, seiring dengan kemajuan teknologi. Banyak didapatkan perkembangan baru yang mutakhir, baik meliputi alat-alat medis, teknik pemeriksaan dan penegakan diagnosa suatu penyakit, maupun penemuan obat-obat baru, sehingga banyak menimbulkan manfaat secara umum bagi dunia kedokteran dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan.
Perkembangan teknologi dapat berdampak positif, yaitu meningkatnya mutu pelayanan kesehatan, karena penelusuran suatu diagnosa penyakit menjadi lebih cepat dan akurat. Tetapi, dampak negatifnya juga ada, yaitu kecenderungan para dokter menggunakan alat-alat canggih untuk menegakkan diagnosa suatu penyakit, dan juga penggunaan obat-obat baru untuk pengobatan, sehingga biaya pengobatan menjadi semakin mahal.
Seiring dengan banyaknya penemuan baru untuk teknik pengobatan, obat-obat baru juga banyak didapatkan, terutama untuk beberapa penyakit yang pada waktu dulu sulit untuk diobati ataupun dianggap tidak ada obatnya, misalnya untuk HIV/AIDS, hepatitis kronik, beberapa jenis tumor ganas, dan lain sebagainya. Untuk masa mendatang, para ahli sedang mengadakan penelitian terhadap obat-obat farmakogenomik (obat-obat yang sesuai dengan konstitusi genetik setiap orang), sehingga angka keberhasilan pengobatan diharapkan akan semakin tinggi.
Penggunaan obat-obat untuk terapi, tentunya tidak terlepas dari hubungan dokter-pasien. Pada waktu yang lalu, hubungan dokter-pasien dibangun atas dasar hubungan Paternalistik (kekeluargaan), atas dasar kepercayaan. Model hubungan seperti ini memiliki keunggulan komparatif dibandingkan model hubungan yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum semata, namun jika terjadi konflik, maka konsep penyelesaiannya tidak jelas, karena tidak memiliki instrumen yang memadai guna menyelesaikan konflik serta tidak memiliki kekuatan hukum untuk memaksakan kehendaknya.
Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan dokter-pasien berubah menjadi hubungan terapeutik, dan termasuk hubungan kontraktual. Oleh karena itu, semua asas yang berlaku dalam hubungan kontraktual juga berlaku dalam hubungan terapeutik. Asas-asas tersebut adalah :
1. Asas Konsensual : masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya.
2. Asas Itikad baik (Utmost of Good Faith) : merupakan asas yang paling utama dalam setiap hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Oleh sebab itu, dokter ataupun pasien harus sama-sama beritikad baik, sebab tanpa dilandasi asas itu hubungan terapeutik tidak syah demi hukum.
3. Asas bebas : masing-masing pihak bebas menentukan apa saja yang akan menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang hal itu disepakati.
4. Asas tidak melanggar hukum : isi kesepakatan tidak boleh melanggar hukum.
5. Asas Kepatutan dan Kebiasaan : para pihak yang mengadakan perikatan tidak hanya tunduk pada hal-hal yang telah disepakati saja, tetapi juga pada hal-hal yang sudah menjadi kepatutan dan kebiasaan yang berlaku di dunia kedokteran.
Pada hubungan dokter-pasien, terbentuk hubungan hukum yang disebut dengan nama perikatan (verbintenis), dimana akan timbul hak dan kewajiban yang timbal balik, hak pasien menjadi kewajiban dokter dan kewajiban pasien menjadi hak dokter. Mengenai bentuk prestasi yang menjadi kewajiban dokter, tidak dapat dilepaskan dari konsep tentang perikatan yang terjadi dalam hubungan terapeutik, yaitu inspanning verbintenis (perikatan upaya), dan bukan resultaat verbintenis (perikatan hasil).
Jadi, prestasi dokter dalam hubungan terapeutik hanyalah memberikan upaya medik yang layak dan benar berdasarkan teori Kedokteran yang telah teruji kebenarannya (evidence based medicine).
Menurut Prof H.J.J Leenen, tindakan medik/upaya medik disebut legeartis jika tindakan tersebut telah dilakukan sesuai Standar Profesi Dokter.
Dapat dirumuskan sebagai berikut : "Suatu tindakan medik seorang dokter sesuai dengan standar profesi kedokteran, jika dilakukan secara teliti sesuai ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari kategori keahlian medik yang sama dengan sarana upaya yang memenuhi perbandingan yang wajar (proporsional) dibanding dengan tujuan konkrit tindakan medik tersebut".
Jadi, bila seorang dokter sudah melakukan upaya medik/tindakan medik sesuai dengan standar profesi kedokteran (sesuai dengan standar pelayanan medik dan standar prosedur operasional), kemudian hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan, apalagi dalam hal pemberian obat-obatan kepada pasien, dokter tersebut tidak dapat begitu saja dianggap melakukan kelalaian atau mal praktik.
Walaupun hubungan terapeutik antara dokter-pasien sudah semakin membaik dan mempunyai konsep hukum yang jelas, tetap saja pihak pasien berada pada posisi yang " lemah ", terutama dalam menerima jenis dan jumlah obat yang akan dipakai. Hal ini disebabkan pemberian informasi tentang obat tidak pernah dilakukan oleh para dokter.
Upaya perlindungan terhadap konsumen obat/pasien di Indonesia dinilai oleh berbagai kalangan masih sangat minim, yang dinilai dari :
1. Pasien masih sangat tergantung pada dokter dalam hal penggunaan obat, termasuk jenis dan macam obat.
2. Minimnya informasi tentang obat yang sebetulnya merupakan hak pasien.
3. Belum adanya kejelasan standarisasi harga obat.
Ketua Yayasan Lembaga Indonesia (YLKI) pada tanggal 30 Agustus 2006 di Jakarta menjelaskan, bahwa saat ini ada beberapa permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia mengenai obat, yaitu (harian umum Kompas, 31 Agustus 2006) :
1. Pemahaman konsumen terhadap komposisi dan khasiat obat masih sangat minim.
2. Pasien dan keluarganya sangat tergantung pada dokter berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit, termasuk jenis obat yang dikonsumsi.
3. Peran Apotik yang hanya sebagai toko obat, karena di Jakarta saja baru 30 persen dari total semua apotik yang memiliki Apoteker.
Artinya, di apotik tersebut tidak ada petugas yang kompeten dan bisa ditanya atau menjelaskan kandungan atau kegunaan obat.
Dengan adanya beberapa hal tersebut di atas, menimbulkan suatu permasalahan, yaitu suatu kondisi masyarakat yang berobat kepada dokter sering mendapatkan reaksi yang tidak diharapkan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya akibat penggunaan obat yang diberikan. Hal inilah yang akhir-akhir ini sering menimbulkan permasalahan hukum terhadap dokter.

B. Perumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan hak pasien mengenai informasi obat menurut peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini ?
2. Apakah yang dimaksud dengan perlindungan hukum untuk dokter dalam hal pemberian informasi obat kepada pasien ?
3. Apakah dengan dipenuhinya hak pasien mengenai informasi obat akan dapat memberikan perlindungan hukum untuk dokter ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam mengadakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan gambaran mengenai hak pasien tentang informasi obat yang merupakan salah satu dari kewajiban profesi seorang dokter.
2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai pelindungan hukum terhadap dokter dan hubungannya dalam hal pemberian informasi obat kepada pasien.
3. Untuk mendapatkan gambaran mengenai perundang-undangan yang ada saat ini tentang informasi obat yang merupakan hak pasien dan perlindungan hukum untuk dokter.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat terhadap kalangan Kedokteran, diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan pengetahuan dibidang hukum tertentu, khususnya dalam permasalahan hubungan antara pemberian informasi mengenai obat yang merupakan hak pasien dan perlindungan hukum untuk dokter, sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan praktik sehari-hari, baik di sarana pemberi pelayanan kesehatan, dalam praktik pribadi maupun dalam pelaksanaan pengobatan ataupun pemberian vaksinasi/imunisasi masal.
2. Manfaat terhadap Pembuat Kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang perlunya dibuat suatu peraturan pelaksanaan mengenai obat.

E. Sistematika Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 5 BAB yang meliputi :
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini dimulai dengan menguraikan mengenai Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika Penelitian.
BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini dimulai dengan menguraikan mengenai Hubungan Hukum Antara Dokter-Pasien Dalam Hal Pelayanan Kesehatan, lalu diikuti uraian mengenai Ketentuan Hukum Tentang Pemberian Obat, dan selanjutnya ditutup dengan Hak Pasien Atas Informasi Obat Dan Perlindungan Hukum Untuk Dokter.
BAB III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang Metode Pendekatan, Spesifikasi Penelitian, Jenis Data, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data.
BAB IV. GAMBARAN KASUS DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang Gambaran Kasus yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah X dan Dinas Kesehatan Kabupaten X beserta pembahasannya.
BAB V. PENUTUP
Bab ini memuat Kesimpulan serta Sara dan selanjutnya Penelitian ini akan ditutup dengan Daftar Pustaka.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:58:00

PENERAPAN METODE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) UNTUK MENINGKATKAN MINAT DAN HASIL BELAJAR GEOGRAFI PADA KOMPETENSI DASAR MENGANALISIS HIDROSFER DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Oleh karena itu pembangunan di bidang pendidikan merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan sumberdaya manusia agar mampu bersaing dalam menghadapi perkembangan zaman. Karena pentingnya bidang pendidikan tersebut maka komponen yang terkait dalam dunia pendidikan baik keluarga, masyarakat, dan juga pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Meningkatkan kualitas pembelajaran merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam suatu proses belajar mengajar untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini merupakan tugas bagi masing-masing sekolah dan yang paling utama adalah bagi guru sebagai tenaga pengajar. Guru harus selalu kreatif dan inovatif dalam melakukan pembelajaran agar siswa lebih mudah memahami materi yang disampaikan dan antusias dalam mengikuti proses belajar mengajar, sehingga pembelajaran yang dilaksanakan berkualitas dan prestasi yang dicapai siswa memuaskan. Metode pembelajaran yang dipilih harus sesuai dengan materi pelajaran yang akan disampaikan, karena pemilihan metode pembelajaran yang tepat akan membantu tercapainya tujuan pembelajaran.

Seiring dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai tahun 2006 lalu, guru tidak bisa lagi mempertahankan paradigma lama yaitu guru merupakan pusat kegiatan belajar di kelas (teacher center). Hal ini nampaknya masih banyak diterapkan di ruang-ruang kelas dengan alasan pembelajaran seperti ini merupakan pembelajaran yang paling praktis dan tidak menyita waktu. Hal ini menyebabkan siswa cenderung jenuh, bosan dan akhirnya kurang tertarik terhadap pembelajaran yang berlangsung. Hal ini berpengaruh terhadap capaian hasil belajar siswa.
Secara umum keberhasilan proses belajar mengajar dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu:
1. Faktor guru
a. Penggunaan metode mengajar yang sesuai dengan materi yang diajarkan
b. Penguasaan guru terhadap materi yang disampaikan
c. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan.
2. Faktor siswa
a. Seberapa besar minat dan kemampuan siswa dalam belajar
b. Kemampuan siswa untuk mempelajari buku-buku bacaan sebagai sumber belajar

Berdasarkan pengamatan dan observasi yang telah dilakukan di SMAN X, pembelajaran geografi yang dilakukan guru masih menggunakan metode pembelajaran konvensional ceramah dan pembelajaran berpusat pada guru. Guru geografi tidak menyadari bahwa metode pembelajaran konvensional yang dilakukan monoton dan membosankan sehingga para siswa menjadi kurang antusias, cenderung pasif, dan kurang tertarik dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu dalam pembelajaran guru juga tidak menggunakan media yang menarik. Hal inilah yang menyebabkan hasil belajar yang dicapai siswa cenderung rendah. Kenyataannya di lapangan, guru merasa kesulitan dalam menerapkan metode pembelajaran yang tepat untuk mata pelajaran geografi karena guru sudah terbiasa dengan metode ceramah yang dirasa paling mudah dilaksanakan.

Selain dari faktor guru, rendahnya hasil belajar siswa juga dapat disebabkan karena faktor dari siswa, salah satunya yaitu minat belajar. Pada saat pelajaran geografi berlangsung siswa cenderung pasif di dalam kelas, hanya beberapa siswa yang terlihat mencatat penjelasan guru, sedikit yang mempunyai buku literatur, dan sedikit siswa yang bertanya. Hal ini menunjukkankan bahwa siswa kurang berminat dalam mengikuti pelajaran geografi. Kurangnya minat siswa terhadap pelajaran geografi dapat menyebabkan hasil belajar siswa kurang maksimal dan ketidaktertarikan siswa terhadap pelajaran yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto (2003: 57) yang mengemukakan:

"Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya karena tidak ada daya tarik baginya. Ia segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu."

Reber dalam Syah (1995:136) menyatakan bahwa minat banyak bergantung pada faktor-faktor internal seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan. Minat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Misalnya seorang siswa menaruh perhatian besar terhadap mata pelajaran geografi akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian karena pemusatan perhatiannya lebih intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu diadakan perbaikan terhadap strategi pembelajaran yang berkaitan dengan model pembelajaran yang digunakan guru, yaitu dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu dari banyak model pembelajaran yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif lebih melibatkan siswa secara langsung untuk aktif dalam pembelajaran. Jadi dengan diterapkannya model pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa terhadap pelajaran geografi.

Berdasarkan informasi dari guru, siswa menganggap bahwa materi pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi merupakan materi yang sulit untuk dipelajari dan dipahami. Guru juga merasa kesulitan dalam menyampaikan materi karena keterbatasan waktu dan banyaknya materi yang tercakup dalam KD tersebut yang meliputi siklus hidrologi, berbagai macam perairan darat, dan perairan laut. Luasnya cakupan materi tersebut dengan hanya diterapkan metode ceramah saja menjadikan siswa sangat sulit memahami materi tersebut. Hal ini ditunjukkan pula dengan perolehan nilai siswa pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi yang cenderung rendah dari tahun ke tahun dan lebih rendah pula dibandingkan dengan KD lain pada semester genap. 

Apabila dibandingkan dengan Kompetensi Dasar lain pada semester genap, nilai rata-rata siswa pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi juga lebih rendah pada tahun XXXX. 

Dari data tersebut menunjukkan masih rendahnya hasil belajar siswa SMAN X pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi. Oleh karena itu perlu diadakan suatu penerapan metode pembelajaran baru untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada Kompetensi Dasar tersebut.

Berdasarkan nilai ulangan pada mid semester genap tersebut menunjukkan bahwa kelas X mempunyai nilai rata-rata kelas yang paling rendah dibanding dengan kelas lain. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan pada kelas X.

Di dalam pembelajaran kooperatif dikenal berbagai metode pembelajaran salah satunya adalah metode Numbered Heads Together (NHT). NHT merupakan pendekatan struktur informal dalam cooperative learning. NHT merupakan struktur sederhana dan terdiri atas 4 tahap yaitu Penomoran (numbering), Mengajukan Pertanyaan (Questioning), Berpikir Bersama (Heads Together), dan Menjawab (Answering) yang digunakan untuk mereview fakta-fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi para siswa.

Prinsipnya metode ini membagi siswa menjadi beberapa kelompok kecil, dan setiap siswa dalam kelompok akan mendapatkan nomor, nomor inilah yang digunakan sebagai patokan guru dalam menunjuk siswa untuk mengerjakan tugasnya. Selain itu pembagian kelompok juga dimaksudkan agar setiap siswa dapat bertukar pikiran dalam menyelesaikan semua permasalahan yang ditugaskan oleh guru secara bersama-sama sehingga diharapkan setiap siswa akan aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Metode ini berupaya meningkatkan aktivitas siswa untuk aktif dalam belajar secara kelompok, sehingga akan menimbulkan minat dan motivasi yang tinggi dalam belajar baik secara individu maupun kelompok.

Penerapan metode NHT ini sesuai dengan karakteristik pada KD Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi karena dengan melakukan diskusi siswa dapat bertukar pikiran mengenai materi yang dipelajari, sehingga siswa tidak diibaratkan sebagai botol kosong yang kemudian diisi oleh guru. Dengan metode ini semua siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk melaporkan hasil diskusi, sehingga semua anggota kelompok dituntut untuk memahami materi yang dipelajari. Metode NHT menuntut siswa untuk berdiskusi dengan sungguh-sungguh, tidak hanya mengandalkan pada siswa yang pandai, sehingga memungkinkan siswa untuk memahami materi dan hasil belajar siswa meningkat.

Dalam upaya peningkatan minat dan hasil belajar siswa tersebut, maka perlu dilaksanakan tindakan perbaikan berkaitan dengan penggunaan metode pembelajaran geografi, khususnya pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi. Dengan perumusan judul penelitian sebagai berikut: "Penerapan Metode Numbered Heads Together (NHT) untuk Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Geografi pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X Tahun XXXX/XXXX"

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah penerapan Metode Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan minat belajar geografi pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X tahun ajaran XXXX/XXXX?
2. Apakah penerapan Metode Numbered Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar geografi pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X tahun ajaran XXXX/XXXX?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peningkatan minat belajar Geografi dengan menerapkan Metode Numbered Heads Together (NHT) pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X Tahun XXXX/XXXX.
2. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar Geografi dengan menerapkan Metode Numbered Heads Together (NHT) pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi Siswa Kelas X SMAN X Tahun XXXX/XXXX.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Memberikan kontribusi keilmuan yang bermanfaat dalam dunia pendidikan mengenai penerapan pembelajaran kooperatif dengan Metode Numbered Heads Together (NHT) untuk peningkatan minat dan hasil belajar siswa mata pelajaran geografi terutama pada Kompetensi Dasar Menganalisis Hidrosfer dan Dampaknya terhadap Kehidupan di Muka Bumi.
b. Sebagai acuan pembelajaran yang inovatif dan mendukung teori pembelajaran kooperatif.
c. Menjadi bahan pembanding, pertimbangan, dan pengembangan bagi peneliti di masa yang akan datang di bidang dan permasalahan yang sejenis atau bersangkutan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Mendapatkan kemudahan dalam belajar dan lebih mudah memahami materi geografi yang disampaikan oleh guru.
2) Meningkatkan minat dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran geografi.
b. Bagi Guru
1) Sebagai masukan bagi guru geografi dalam menentukan metode mengajar yang tepat sesuai dengan materi yang bersangkutan, dalam rangka peningkatan minat dan hasil belajar siswa.
2) Meningkatkan kemampuan guru dalam mengembangkan pembelajaran.
3) Mengatasi kendala yang dihadapi guru dalam pembelajaran geografi.
c. Bagi Peneliti
1) Menerapkan ilmu yang telah diterima di bangku kuliah khususnya yang bersangkutan dengan pendidikan.
2) Mendapatkan pengalaman langsung dalam penerapan metode Metode Numbered Heads Together (NHT) khususnya pada kompetensi dasar menganalisis hidrosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi.
3) Mendapat bekal tambahan sebagai mahasiswa dan calon guru geografi sehingga siap melaksanakan tugas di lapangan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:31:00

UPAYA PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPS EKONOMI MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT)

A. Latar Belakang Masalah

Masalah pendidikan sesungguhnya telah banyak dibicarakan oleh para ahli pendidikan. Mereka menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan yang berkualitas sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya manusia yang cerdas serta mampu bersaing di era globalisasi. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar dalam membentuk karakter, perkembangan ilmu dan mental seorang anak, yang nantinya akan tumbuh menjadi seorang manusia dewasa yang akan berinteraksi dan melakukan banyak hal terhadap lingkungannya, baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial.

Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan dimasa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang.

Secara total, pendidikan merupakan suatu sistem yang memiliki kegiatan cukup kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu sama lain. Jika menginginkan pendidikan terlaksana secara teratur, berbagai elemen (komponen) yang terlibat dalam kegiatan pendidikan perlu dikenali. Pendidikan dapat dilihat dari hubungan elemen peserta didik (siswa), pendidik (guru), dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan. Hubungan antara elemen peserta didik (siswa) dengan pendidik (guru) seharusnya tidak hanya bersifat satu arah saja berupa penyampaian informasi dari guru kepada peserta didik. Proses belajar mengajar justru lebih baik jika dilakukan secara aktif oleh keduabelah pihak yaitu guru dan peserta didik agar terjadi interaksi yang seimbang antara keduanya. Namun demikian, masih kerap ditemui dalam proses belajar mengajar mata pelajaran Ekonomi guru menggunakan pembelajaran konvensional. Pembelajaran lebih mengandalkan metode ceramah sehingga siswa menjadi bosan dan kurang aktif. Mata pelajaran Ekonomi pun masih dianggap i sebagai mata pelajaran yang menuntut kemampuan menghafal. Tanpa perlu upaya pemahaman dan dikaitkan dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai masalah dalam kegiatan belajar mengajar dikelas tentu akan berpengaruh pada hasil belajar. Begitu pula dengan permasalahan di atas, sebagaimana dikemukakan oleh Sumarsono (2007: 8) bahwa "Belajar merupakan proses perubahan sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang berlangsung terus men erus dalam periode waktu yang panjang". Penggunaan metode yang tepat di dalam pelaksanaannya, serta pelaksanaan evaluasi hasil belajar, merupakan aspek-aspek yang mempengaruhi keberhasilah belajar.

Permasalahan seperti di atas terjadi pula di SMAN X. Berdasarkan pandangan guru bersangkutan, kondisi kelas saat kegiatan belajar mengajar masih sering pasif. Sangat sulit untuk terjadinya interaksi aktif baik antara siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan guru. Hasil belajar pun masih tergolong rendah. Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh peneliti dengan melaksanakan observasi. Observasi dilakukan di seluruh kelas X SMAN X yang berjumlah lima kelas, mulai dari X1 hingga X5. Berdasarkan hasil observasi tersebut, diketahui bahwa siswa kelas X masih cenderung pasif dalam proses pembelajaran. Interaksi aktif baik antara siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan guru juga kurang. siswa lebih banyak melakukan aktivitas mencatat dan mendengarkan. Aktivitas lain seperti bertanya atau pun berpendapat dan bertukar pikiran masih sangat kurang.

Keadaan tersebut, setelah peneliti cermati ternyata tidak lepas dari metode pembelajaran yang digunakan. Selama pembelajaran guru hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Siswa menjadi kurang aktif dalam pembelajaran. Proses pembelajaran yang kurang berhasil tentu akan berdampak pada hasil belajar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rendahnya hasil belajar siswa kelas X tersebut tidak terlepas dari metode pembelajaran yang kurang variatif.

Rendahnya kektifan siswa dapat diketahui berdasarkan observasi dengan menggunakan lembar observasi. Kegiatan yang diamati beserta tingkat keaktifannya secara rinci adalah 41,67% untuk kegiatan visual, 8,33% untuk kegiatan lisan, 63,89% untuk kegiatan mendengarkan, dan 52,78% untuk kegitan menulis. Rendahnya hasil belajar siswa kelas X SMAN X dapat dilihat dari nilai ulangan harian dan mid semester genap tahun ajaran XXXX/XXXX. Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui bahwa kelas X memiliki hasil belajar yang masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari prosentase jumlah siswa yang nilainya telah memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) masih kurang dari 60% di semua kelas X. 

Berdasarkan pandangan di atas, maka permasalahan yang muncul adalah bagaimana guru dapat menciptakan suatu proses pengajaran yang dinamis. Pembelajaran yang melibatkan peran siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran tersebut juga harus dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi sehingga hasil belajar pun meningkat. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan serta hasil belajar siswa adalah pendekatan struktural. Dengan pendekatan struktur tipe NHT, siswa diarahkan untuk bekerja sama dan saling membantu dalam kelompok kecil. Siswa diarahkan pula pada penghargaan kooperatif dan penghargaan individu.

Melihat hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan sebuah alternatif pemecahan masalah dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran ekonomi, agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Salah satu solusinya yaitu dengan mengembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang membuat siswa lebih aktif dan paham terhadap materi pelajaran.
Model Pembelajaran Kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan aktifitas siswa, interaksi, penguasaan siswa terhadap materi. Salah satu pendekatan dari model pembelajaran Kooperatif adalah Pendekatan Struktural. Pendekatan ini memberikan pemecahan pada penggunaan struktur yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Pendekatan struktural terdiri dari dua macam struktur yang terkenal yaitu Think Pair Share (TPS) dan Numbered-Head Together (NHT). Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) adalah suatu model pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama antar siswa. Siswa dibagi ke dalam kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 3-5 siswa heterogen. Setiap siswa dalam kelompoknya diberi nomor yang berbeda.

Berdasarkan pemikiran dan permasalahan tersebut di atas maka peneliti ingin menerapkannya apakah ada pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktur terhadap keaktifan peserta didik untuk mencapai hasil belajar pada mata pelajaran IPS Ekonomi. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : "Upaya Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar IPS Ekonomi Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) di SMAN X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX"

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat ditemukan perumusan masalah sebagai berikut :
Apakah pembelajaran kooperatif tipe NHT tersebut dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPS Ekonomi siswa SMAN X?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mengetahui pembelajaran kooperatif tipe NHT tersebut dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPS Ekonomi siswa SMAN X.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan :
1. Bagi Guru
Sebagai alternatif pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT untuk meningkatkan hasil belajar siswa yang tidak hanya berupa nilai tetapi juga ketrampilan dalam menerapkan materi mata pelajaran Ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi Siswa
Mendapatkan kemudahan dalam menemukan pengetahuan dan mengimplementasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Bagi Peneliti
a. Mendapatkan wawasan dan pengalaman.
b. Mendapatkan fakta penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:30:00

HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN SUASANA KERJA DENGAN KINERJA GURU

HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN SUASANA KERJA DENGAN KINERJA GURU

A. Latar Belakang Masalah
Berbagai pengaruh perubahan yang terjadi pada masyarakat sebagai dampak dari berbagai krisis menuntut aparatur pemerintah untuk mengadakan inovasi-inovasi guna menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi pada masyarakat dan berupaya menyusun kebijakan yang selaras dengan perubahan masyarakat. Suatu organisasi yang baik haruslah mampu menyusun kebijakan yang ampuh untuk mengatasi setiap perubahan yang akan terjadi. Keberhasilan penyusunan kebijakan yang menjadi perhatian adalah manajemen yang menyangkut pemberdayaan sumberdaya manusia. Dalam rangka mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat yang semakin meningkat khususnya dalam permasalah pendidikan, sudah selayaknya setiap lembaga pendidikan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan menekankan pada peningkatan kinerja guru.

Penilaian Prestasi Kerja yang dilakukan setiap akhir tahun melalui pengisian Daftar Penilaian Prestasi Pekerjaan (DP3) yang dilakukan oleh atasan langsung (Kepala sekolah) merupakan suatu penilaian yang kurang obyektif. Penilaian prestasi kerja yang dilakukan oleh setiap Kepala sekolah bukan berarti penilaian atas prestasi kerja guru yang sebenarnya, tetapi penilaian tersebut merupakan kebiasaan dengan mengacu nilai pada DP3 pada tahun berikutnya. Sehingga bagi guru beranggapan bahwa Penilaian tersebut bukanlah nilai riil atas prestasi kerja, tetapi cenderung merupakan nilai sebagai persyaratan administratif. Oleh karena itu diperlukan penelitian sesungguhnya untuk mengetahui kinerja guru.

Kinerja guru dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah gaya kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap kinerja guru. Kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi dan lingkungan kemungkinan dapat menimbulkan gairah guru dalam meningkatkan kinerjanya. Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas pada saat ini cenderung diminati dan disenangi oleh bawahan. Dengan kepemimpinan model ini kepala sekolah mencoba untuk lebih memotivasi bawahan dibanding mengawasi mereka. Mereka mendorong para anggota kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas dengan memberikan kesempatan bawahan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, mencipatakan suasana persahabatan serta hubungan-hubungan saling mempercayai dan menghormati dengan para anggota kelompok (Indriyo Gitosudarmo, 2002 : 17)

Dari permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul 

"HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN SUASANA KERJA DENGAN KINERJA GURU DI SMP NEGERI X"

B. Perumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru SMP Negeri X ?
2. Apakah ada hubungan suasana kerja dengan kinerja guru SMP Negeri X ?
3. Apakah ada hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja dengan kinerja guru SMP Negeri X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah ada hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru SMP Negeri Kecamatan X
2. Untuk mengetahui apakah ada hubungan suasana kerja dengan kinerja guru SMP Negeri X.
3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja dengan kinerja guru SMP Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Pendidikan Kabupaten X
Dengan diketahuinya hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja dengan kinerja guru SMP Negeri X, maka dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan di masa yang akan datang dalam upaya meningkatkan kinerja guru.
2. Bagi Pihak lain
Untuk menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya teknologi pendidikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:52:00