Cari Kategori

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN DI LUAR KELAS (OUTDOOR ACTIVITIES) DALAM MATA PELAJARAN IPA

SKRIPSI EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN DI LUAR KELAS (OUTDOOR ACTIVITIES) DALAM MATA PELAJARAN IPA



BAB I 
PENDAHULUAN

A, Latar Belakang Masalah
Dalam pembangunan nasional negara kita, pendidikan didefinisikan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia untuk menghasilkan kualitas insan yang lebih tinggi guna menjamin pelaksanaan dan kelangsungan pembangunan. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembangunan di segala bidang. Peningkatan kualitas pendidikan harus dipenuhi melalui peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pendidikan merupakan upaya untuk membentuk sumber daya manusia yang dapat meningkatkan kualitas kehidupannya. Pembelajaran yang baik adalah bersifat menyeluruh dalam melaksanakannya dan mencakup berbagai aspek, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik, sehingga dalam pengukuran tingkat keberhasilannya selain dilihat dari segi kuantitas juga dari kualitas yang telah dilakukan di sekolah-sekolah.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains merupakan hasil kegiatan manusia yang berupa pengetahuan, gagasan dan konsep-konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses kegiatan ilmiah antara lain penyelidikan, penyusunan dan pengujian gagasan-gagasan. Mutu pembelajaran IPA perlu ditingkatkan secara berkelanjutan untuk mengimbangi perkembangan teknologi. Untuk meningkatkan mutu pembelajaran tersebut, tentu banyak tantangan yang dihadapi.
Tugas utama guru adalah mengelola proses belajar dan mengajar, sehingga terjadi interaksi aktif antara guru dengan siswa, dan siswa dengan siswa. Interaksi tersebut sudah barang tentu akan mengoptimalkan pencapaian tujuan yang dirumuskan. Usman (1990 : 1) menyatakan bahwa proses belajar dan mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.
Mengacu dari pendapat tersebut, maka proses belajar dan mengajar yang aktif ditandai adanya keterlibatan siswa secara komprehensif, baik fisik, mental, maupun emosionalnya. Pelajaran IPA misalnya diperlukan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar dan mengajar sehingga keterlibatan siswa dapat optimal, yang pada akhirnya berdampak pada perolehan hasil belajar. Untuk itu dalam pembelajaran diperlukan metode yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Dengan demikian pemilihan metode yang tepat dan efektif sangat diperlukan. Sebagaimana pendapat Sudjana (1987 : 76), bahwa peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses belajar dan mengajar.
Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu tentang alam atau cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga tujuan pembelajaran IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, tetapi untuk mengembangkan ketrampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk mencapai pengetahuan itu, hal ini dikemukakan oleh Powler (2010). Dengan kata lain hasil belajar IPA bukan hanya sebagai produk, tetapi juga pengembangan proses. Mata pelajaran IPA di SD bermanfaat bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan potensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam dan lingkungan sekitar mereka.
Pembelajaran IPA yang didominasi metode ceramah cenderung berorientasi kepada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, serta jarang mengaitkan yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan memberikan dampak yang tidak baik bagi siswa karena siswa belajar hanya untuk ulangan atau ujian, sehingga pelajaran IPA dirasakan tidak bermanfaat, tidak menarik, dan membosankan oleh siswa, yang pada akhirnya bermuara pada rendahnya hasil belajar yang diperoleh siswa. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak-anak belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya serta anak belajar dalam kondisi yang menyenangkan. Paradigma pembelajaran berubah menjadi bersifat dari teacher centered menjadi student centered. Guru sedikit menjelaskan materi sedangkan siswa berusaha membuktikan sendiri dari eksperimen yang difasilitasi oleh guru.
Mata pelajaran IPA adalah ilmu tentang alam. Tentunya sebagai pengajar paham bahwa pendekatan di alam sekitar lebih efektif bila diterapkan bagi anak SD, karena anak SD masih dalam tahapan operasional konkrit (Jean Piaget) yaitu kemampuan berpikir logis, mereka dapat berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada tahap ini permasalahan yang dihadapinya adalah masalah konkrit. Jadi seorang anak akan lebih paham bila seorang anak dapat melihat sesuatu yang konkrit.
Menurut Abdulrahman (2007 : 100), pada saat ini pembelajaran yang dilakukan di sekolah masih belum bermakna. Selama mengikuti pembelajaran di sekolah siswa jarang bersentuhan dengan pendidikan yang berorientasi pada kehidupan alam sekitar.
Hal tersebut mengakibatkan pembelajaran kurang bermakna bagi siswa dan juga mengakibatkan siswa kurang bersemangat untuk mempelajari mata pelajaran IPA yang ditunjukkan dengan sikap bosan, jenuh sehingga kurang berkesan dalam benak mereka. Oleh karena itu, perlu suatu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangan intelektual siswa dan dapat memberikan makna bagi siswa untuk dapat menjadi manusia seutuhnya. Salah satunya dengan adanya pembelajaran di luar ruangan atau yang sering dikenal dengan istilah outdoor activities. Outdoor activities memungkinkan siswa mengalami langsung konsep yang dipelajari. Hal itu karena materi pembelajaran merupakan kegiatan yang dekat dengan pengalaman siswa dalam kesehariannya sehingga menjadi bermakna bagi kehidupan.
Seorang guru atau tenaga pendidik dalam menyampaikan pembelajaran harus melihat kompetensi yang hendak dicapai oleh siswa nanti, dan salah satu pembelajaran yang menarik guru dapat menggunakan kegiatan pembelajaran luar kelas (outdoor activities) untuk mengganti pembelajaran yang konvensional yang selama ini selalu digunakan oleh guru. Karena melalui pembelajaran outdoor activities siswa dapat belajar sesuatu yang konkrit atau nyata yang dapat disajikan dalam bentuk pengamatan, observasi atau permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi khususnya pada mata pelajaran IPA Kelas III SDN X.
Penggunaan setting alam terbuka sebagai sarana kelas memberikan dukungan terhadap proses pembelajaran secara menyeluruh dan sekaligus membebaskan para peserta dari himpitan suasana dan ritme rutinitas kerja yang biasa mereka alami. Suasana alam yang segar dan asri, udara yang segar, desir air, atau hembusan angin juga dapat mendorong intensitas keterlibatan para peserta, baik secara fisik, mental, emosional, bahkan mungkin sampai tingkat spiritual mereka terhadap berbagai program yang dibawakan.
Sarana alam terbuka juga dapat menambah aspek kegembiraan dan kesenangan bagi para siswa, sebagaimana layaknya seorang anak yang sedang bermain di alam bebas. Situasi ini akan mendukung efektivitas proses pembelajaran, khususnya bagi seorang anak. Dengan langsung terlibat pada aktivitas siswa akan segera mendapat umpan balik tentang dampak dari kegiatan yang dilakukan, sehingga siswa akan lebih paham dan mengerti tentang sesuatu yang mereka amati dan pelajari.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian "EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN DI LUAR KELAS (OUTDOOR ACTIVITIES) DALAM MATA PELAJARAN IPA DI KELAS III SDN X".

B. Identifikasi Masalah
Terkait dengan penelitian ini, maka ada beberapa hal yang perlu diidentifikasi yang mana bahwa hal-hal inilah yang kemudian memicu penulis untuk melakukan penelitian dengan topik penelitian seperti yang dipaparkan di atas. Adapun masalah yang ditemui adalah sebagai berikut : 
1. Pembelajaran di kelas terlebih mata pelajaran IPA masih menggunakan metode konvensional yaitu ceramah.
2. Siswa masih banyak yang kurang berminat dengan mata pelajaran IPA dan cenderung menghindari mata pelajaran IPA. Hal ini terjadi karena siswa belum menemukan pemahaman yang tepat, dan belum melihat sesungguhnya manfaat dari mempelajari IPA.

C. Batasan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Perlu memberikan pemahaman yang benar dan tepat pada siswa tentang hakikat IPA sesungguhnya.
2. Agar pemahaman itu dapat menjadi benar dan tepat diperlukan metode pembelajaran yang tepat pula.
3. Metode belajar outdoor activities adalah salah satu metode belajar yang ditawarkan penulis, untuk dapat menjadi solusi dalam proses pembelajaran sekaligus untuk memberikan pemahaman yang benar dan tepat tentang hakikat IPA.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan "Apakah ada perbedaan efektivitas pembelajaran IPA dengan menggunakan pembelajaran di luar kelas (outdoor activities) dan pembelajaran konvensional dalam mata pelajaran IPA kelas III SDN X ?".

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran di luar kelas (outdoor activities) dalam mata pelajaran IPA kelas III SDN X
.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun manfaat praktis khususnya di bidang pendidikan : 
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai efektivitas pembelajaran di luar kelas (Outdoor Activities) dalam mata pelajaran IPA.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi siswa
- Diharapkan dapat menerapkan prinsip kerja sama dalam kelompok.
- Dapat meningkatkan motivasi dan daya tarik siswa dalam pembelajaran terutama pada pelajaran IPA.
- Diharapkan dapat memecahkan masalah dalam kegiatan belajar di luar kelas (outdoor activities) serta mampu mengimplementasikannya.
- Siswa dapat bersahabat dengan alam serta peduli terhadap lingkungan.
b. Manfaat bagi guru
- Meningkatkan kreativitas guru untuk menciptakan pembelajaran yang menarik.
- Dapat digunakan sebagai masukan bagi guru sekolah dasar untuk memperoleh model pembelajaran yang tepat dalam mata pelajaran IPA.
- Guru lebih termotivasi untuk menerapkan strategi pembelajaran yang lebih bervariasi, sehingga materi pelajaran akan lebih menarik.
c. Manfaat bagi sekolah
- Sebagai masukan dalam rangka mengefektifkan pembelajaran yang lebih bermakna dalam pelaksanaan pembelajaran.
- Meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah sehingga mutu sekolah meningkat.
d. Manfaat bagi penulis
- Memberikan pengetahuan tentang pembelajaran di luar kelas yang nantinya akan dipraktekkan ketika penulis menjadi guru.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:11:00

EFEKTIVITAS METODE DRILL BERBANTUAN SMART MATHEMATICS MODULE TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA

SKRIPSI EFEKTIVITAS METODE DRILL BERBANTUAN SMART MATHEMATICS MODULE TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Pendidikan yang dilaksanakan seharusnya mampu mencetak lulusan yang berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi dengan negara lain.
Hal ikhwal yang perlu disoroti dari pendidikan adalah proses pembelajaran yang berlangsung di dalamnya. Seorang guru harus dapat mengarahkan proses pembelajaran dengan menciptakan pengalaman belajar yang tepat, mampu mendorong siswa untuk aktif dan kritis selama proses pembelajaran berlangsung, tak hanya pasif sebatas mendengarkan ceramah dari guru. Selain itu, guru juga harus memberikan kemudahan belajar bagi siswa agar dapat mengembangkan potensi secara optimal.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan pada siswa di setiap jenjang pendidikan mulai SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi. Tiada hari tanpa matematika. Itulah kenyataan yang terjadi di kehidupan para siswa, tidak hanya di Indonesia bahkan di dunia. Salah satu aspek yang perlu mendapat sorotan dari pelajaran matematika di sekolah adalah pemecahan masalah (problem solving). Hal ini dikarenakan pemecahan masalah merupakan bagian yang sudah terintegrasi dalam pembelajaran matematika, tidak dapat dipisahkan dari matematika (NCTM, 2000b).
Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan siswa yang dipersiapkan untuk terjun langsung ke lapangan dunia kerja. Teori yang diberikan di sekolah seharusnya mampu membekali siswa menghadapi permasalahan yang muncul ketika memasuki dunia kerja. Melalui pengajaran matematika di sekolah yang menekankan pada kemampuan pemecahan masalah, siswa diajak berlatih untuk terbiasa dengan suatu masalah dan menyelesaikannya secara tuntas. Harapannya adalah dengan belajar memecahkan masalah matematika, siswa tak hanya mempunyai keterampilan pemecahan masalah dalam matematika saja, namun juga mempunyai keterampilan dalam hal memecahkan masalah yang akan mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan guru matematika di SMK X, diperoleh informasi mengenai metode mengajar matematika di SMK tersebut. Metode mengajar matematika yang dilakukan di SMK tersebut adalah dengan metode ceramah. Setelah selesai berceramah, guru meminta siswa untuk mengerjakan LKS. Diperoleh pula keterangan bahwa prestasi belajar untuk mata pelajaran matematika masih rendah serta kurang optimalnya kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. Hal ini terlihat dari banyaknya siswa kelas XI yang memperoleh nilai matematika di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) sebesar 70 pada saat Ujian Akhir Semester 1. 
Dari 149 siswa kelas XI SMK X hanya terdapat 40 siswa (26,85%) yang telah mencapai KKM yang ditetapkan sekolah yaitu 70. Sedangkan terdapat 109 siswa (73,15%) yang belum mencapai KKM yang telah ditetapkan sekolah. Keberhasilan pembelajaran matematika di kelas dilihat dari jumlah siswa yang mampu menyelesaikan atau mencapai KKM sekurang-kurangnya 75% dari jumlah siswa yang ada di kelas tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa kelas XI di SMK X belum mencapai ketuntasan belajar matematika karena belum mencapai 75% (26,85% < 75%) dari jumlah siswa yang ada di kelas tersebut. Diduga salah satu penyebab rendahnya prestasi belajar matematika siswa adalah kurangnya intensitas siswa melakukan latihan dalam mengerjakan soal-soal matematika. Salah satu materi yang mengacu kepada hal pemecahan masalah adalah barisan dan deret. Banyak permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diselesaikan menggunakan konsep barisan dan deret. Misalnya, permasalahan mengenai bunga bank, produksi barang dari suatu perusahaan, dan masih banyak yang lain. Data Ujian Nasional SMK Tahun 2010/2011 yang dikeluarkan oleh Kemendiknas menunjukkan bahwa persentase penguasaan soal matematika untuk program keahlian administrasi perkantoran pada materi menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan deret aritmetika dan geometri di SMK X hanya sebesar 20,59%. Data tersebut menunjukkan bahwa pada materi barisan dan deret banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mengkonstruksikan dan mengaplikasikan ide-ide dalam problem solving matematika.
Berdasarkan masalah tersebut, maka dalam proses pembelajaran diperlukan metode mengajar yang tepat agar permasalahan tersebut dapat diatasi. Pemecahan masalah merupakan suatu keterampilan matematika (skill of mathematics) yang mengajarkan siswa prosedur bersifat umum untuk memecahkan permasalahan dan memberikan latihan kepada siswa dalam penggunaan prosedur tersebut untuk menyelesaikan permasalahan (Intosh dan Jarrett, 2000 : 8). Diungkapkan pula bahwa pemecahan masalah sebagai latihan memungkinkan digunakan secara luas untuk memperkuat keterampilan dan konsep matematika yang telah diajarkan.
Untuk melatih siswa agar terbiasa memecahkan soal-soal pemecahan masalah, salah satu metode mengajar yang dapat digunakan adalah metode drill atau latihan. Metode ini merupakan suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu, juga sebagai sarana untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik. Melalui drill soal-soal pemecahan masalah siswa akan berusaha menemukan penyelesaiannya melalui berbagai strategi pemecahan masalah matematika dan diharapkan siswa akan memiliki keterampilan pemecahan masalah yang jauh lebih baik. Selain itu, siswa juga akan lebih aktif untuk bertanya mengenai kesulitan yang dihadapi saat menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan tanpa disuruh guru pun siswa akan lebih berani untuk mengerjakan soal di papan tulis. Kepuasan akan tercapai apabila siswa dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Kepuasan intelektual ini merupakan motivasi intrinsik bagi siswa.
Menurut Schoenfeld dalam Intosh dan Jarrett (2000 : 10) hal yang tak kalah sulit adalah bagaimana mengajarkan pemecahan masalah kepada siswa. Diungkapkan pula bahwa buku teks pembelajaran matematika yang berfokus dalam hal pemecahan masalah yang digunakan sebagai referensi bagi guru dan sumber belajar bagi siswa masih sedikit. Buku-buku teks yang dipergunakan di sekolah dirancang hanya lebih ditekankan pada misi penyampaian pengetahuan/fakta belaka dan seringnya buku-buku teks tersebut membosankan (Wena, 2008 : 229). Buku mata pelajaran matematika yang digunakan di SMK X berupa buku paket dan LKS. Buku paket yang digunakan hanya dipinjamkan saat proses pembelajaran matematika saja, sehingga untuk belajar di rumah siswa hanya mengandalkan LKS sebagai sumber belajar. Padahal LKS yang digunakan tidak berfokus kepada hal pemecahan masalah, hanya memuat uraian materi dan soal-soal rutin sehingga menghambat siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki.
Alternatif solusi yang dianggap cocok dan relevan dengan permasalahan di atas adalah dengan pembuatan bahan ajar yang mencerminkan pembelajaran yang berfokus pada kemampuan pemecahan masalah matematika. Bahan ajar yang dibuat oleh peneliti adalah modul pembelajaran matematika yang di dalamnya memuat pembelajaran mengenai pemecahan masalah matematika.
Modul pembelajaran yang digunakan adalah "Smart Mathematics Module," modul yang berbeda dengan modul-modul yang biasa dipakai guru dan siswa. "Smart Mathematics Module" merupakan sebuah modul matematika yang inovatif dan disusun secara kreatif oleh peneliti berisi tentang pembelajaran yang bertujuan mengembangkan dan membina kemampuan memecahkan masalah matematika siswa. Dalam modul ini akan dilengkapi pula dengan latihan soal-soal pemecahan masalah yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, melatih siswa untuk berpikir kreatif, sistematis, logis dan kritis serta gigih dalam memecahkan masalah di kehidupan nyata. Nasution (2005 : 205) menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan modul akan membuka kesempatan bagi siswa untuk belajar menurut kecepatan masing-masing, dianggap bahwa siswa tidak akan mencapai hasil yang sama dalam waktu yang sama dan tidak sedia mempelajari sesuatu pada waktu yang sama. Pengajaran melalui modul memberikan siswa kesempatan untuk belajar secara individu sebab masing-masing siswa menggunakan teknik yang berbeda-beda untuk memecahkan masalah yang diberikan, demikian pula dengan "Smart Mathematics Module ".
Penelitian terdahulu tentang metode drill telah dilakukan oleh Sutarman (2009) dengan hasil penelitiannya bahwa metode drill dapat meningkatkan prestasi belajar IPA siswa kelas VII semester genap SMP Negeri 2 Dempet Kabupaten Demak. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Siadi dkk (2009) menyatakan bahwa ada perbedaan hasil belajar kimia yang signifikan antara siswa yang diberi metode drill dengan metode resitasi dan hasil belajar kimia siswa yang diberi metode drill lebih baik dari pada yang diberi metode resitasi pokok bahasan larutan penyangga pada siswa kelas XI SMAN 1 Brebes tahun ajaran 2007/2008.
Sementara penelitian terdahulu untuk penggunaan modul telah dilakukan oleh Suardana (2006) dengan hasil penelitiannya yaitu kualitas kemampuan mahasiswa dalam melakukan pemecahan masalah (problem solving) dapat dikembangkan melalui strategi pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kooperatif berbantuan modul. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sunyoto (2006) menyimpulkan bahwa prestasi belajar siswa SMK bidang keahlian Teknik Mesin yang menggunakan Modul Pembelajaran Interaktif (MPI) dalam pembelajaran lebih baik daripada prestasi belajar siswa yang memperoleh materi pelajaran sama tetapi tanpa menggunakan MPI. Penggunaan MPI dalam pembelajaran siswa SMK bidang keahlian Teknik Mesin lebih efektif daripada pembelajaran tanpa menggunakan MPI.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti berkeinginan untuk mengadakan penelitian eksperimen yang berjudul "EFEKTIVITAS METODE DRILL BERBANTUAN SMART MATHEMATICS MODULE TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA KELAS XI".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah pembelajaran dengan menggunakan metode drill berbantuan "Smart Mathematics Module" dapat mencapai ketuntasan belajar siswa pada aspek kemampuan pemecahan masalah materi barisan dan deret kelas XI di SMK X ?
2. Apakah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan menggunakan metode drill berbantuan "Smart Mathematics Module" lebih dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan pembelajaran menggunakan metode ceramah berbantuan LKS pada materi barisan dan deret kelas XI di SMK X ?

C. Tujuan Pembelajaran
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan menggunakan metode drill berbantuan "Smart Mathematics Module" dapat mencapai ketuntasan belajar siswa pada aspek kemampuan pemecahan masalah materi barisan dan deret kelas XI di SMK X.
2. untuk mengetahui apakah rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan menggunakan metode drill berbantuan "Smart Mathematics Module" lebih dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajar menggunakan metode ceramah berbantuan LKS pada materi barisan dan deret kelas XI di SMK X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bukti empirik dalam dunia pendidikan mengenai penggunaan metode drill berbantuan "Smart Mathematics Module" guna mengoptimalkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi sekolah
Sebagai masukan bagi sekolah bersangkutan dalam usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan.
b. Bagi pendidik
Sebagai masukan bagi pendidik dalam memilih dan menggunakan metode drill berbantuan "Smart Mathematics Module" sebagai salah satu metode pembelajaran dan bahan ajar yang cocok untuk mengoptimalkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. 

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:47:00

Makalah Perkembangan Pendidikan Pesantren dan Madrasah

Judul : Makalah Perkembangan Pendidikan Pesantren dan Madrasah

Daftar Isi :
Kata Pengantar, Daftar Isi, BAB I PENDAHULUAN, A. Sejarah Kemunculan Pesantren dan Madrasah, B. Perkembangan Pendidikan Pesantren dan Madrasah, C. Persamaan dan Perbedaan Pesantren dan Madrasah, BAB II KESIMPULAN, REFERENSI.

Sekilas Isi :
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara Kyai atau Ustadz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk mengaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu (kitab kuning). Dengan demikian unsur terpenting bagi sebuah pesantren adalah adanya Kyai, para santri, masjid, tempat tinggal (pondok) serta buku-buku atau kitab-kitab teks.

Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil adopsi dari model perguruan yang diselenggarakan orang-orang Hindu dan Budha. Sebagaimana diketahui, sewaktu Islam datang dan berkembang di Pulau Jawa telah ada lembaga perguruan Hindu dan Budha yang menggunakan sistem biara dan asrama sebagai tempat para pendeta dan bhiksu melakukan kegiatan pembelajaran kepada para pengikutnya. Bentuk pendidikan seperti ini kemudian menjadi contoh model bagi para wali dalam melakukan kegiatan penyiaran dan pengajaran Islam kepada masyarakat luas, dengan mengambil bentuk sistem biara dan asrama dengan merubah isinya dengan pengajaran agama Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren.

Di samping berdasarkan alasan terminologi yang dipakai oleh pesantren, persamaan bentuk antara pendidikan pesantren dan pendidikan milik Hindu dan Budha di India ini dapat dilihat juga pada beberapa unsur yang tidak dijumpai pada sistem pendidikan Islam yang asli di Mekkah. Unsur tersebut antara lain seluruh sistem pendidikannya berisi murni ilmu-ilmu agama, Kyai tidak mendapatkan gaji, penghormatan yang tinggi kepada guru serta letak pesantren yang didirikan di luar kota. Data ini oleh sebagian penulis sejarah pesantren dijadikan sebagai alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren adalah karena pengaruh dari India.

Pada permulaan berdirinya, bentuk pesantren sangatlah sederhana. Kegiatan pengajian diselenggarakan di dalam masjid oleh seorang Kyai sebagai guru dengan beberapa orang santri sebagai muridnya. Kyai tadi biasanya sudah pernah mukim bertahun-tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan agama Islam di Mekkah atau Madinah. Atau pernah berguru pada seorang Wali atau Kyai terkenal di nusantara. Kemudian ia bermukim di suatu desa dengan mendirikan langgar yang dipergunakan sebagai tempat untuk shalat berjamaah.

Pada awalnya jamaah hanya terdiri dari beberapa orang saja. Pada setiap menjelang atau selesai shalat berjamaah, sang Kyai biasanya memberikan ceramah pengajian sekedarnya. Isi pengajian biasanya berkisar pada soal rukun Iman, rukun Islam serta akhlak yang lebih banyak menyangkut kehidupan sehari-hari. Berkat caranya yang menarik dan keikhlasannya yang tinggi serta perilakunya yang saleh, lama kelamaan jamaahnya bertambah banyak. Yang datang tidak lagi hanya dari penduduk desa tersebut, tetapi juga orang-orang dari jauh, dari luar desanya. Sebagian dari mereka yang ikut mengaji itu ingin tinggal menetap, dekat dengan Kyai atau Ustadz dan bahkan mulai ada beberapa orang tua yang ingin menitipkan anaknya kepada Kyai tadi. Untuk menampung semua itu dibentuklah pondok atau asrama. Dengan demikian, terbentuklah sebuah pesantren yang di dalamnya terdapat pondok, masjid, Kyai serta santri.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:02:00

Makalah Gaya Bahasa Personifikasi

Judul : Makalah Gaya Bahasa Personifikasi


Daftar Isi :
HALAMAN JUDUL, KATA PENGANTAR, DAFTAR ISI, BAB I PENDAHULUAN, 1.1. Latar Belakang Masalah, 1.2. Rumusan Masalah, 1.3. Tujuan Penelitian, 1.4. Manfaat Penelitian, 1.5. Ruang Lingkup Penelitian, 1.6. Metode Penelitian, 1.7. Batasan Istilah, BAB II LANDASAN TEORI, 2.1. Beberapa Pendapat Tentang Gaya Bahasa Personifikasi, 2.1.1. Pendapat Dick Hartoko dan B. Rahmanto, 2.1.2. Pendapat Gorys Keraf, 2.1.3. Pendapat Panuti Sujiman, 2.1.4. Penjelasan Rachmat Djoko Pradopo, 2.2. Landasan Teori, 2.3. Pendekatan Penelitian, BAB III PEMBAHASAN, 3.1. Ciri-ciri Gaya Bahasa Personifikasi, 3.1.1. Pengertian dan Ciri-ciri Suatu Gaya Bahasa, 3.1.2. Pengertian dan Ciri-ciri Istilah Personifikasi, 3.2. Cara Membentuk dan Mempergunakan Gaya Bahasa Personifikasi, 3.2.1. Cara Membentuk Gaya Bahasa Personifikasi, 3.2.2. Cara Penggunaan Gaya Bahasa Personifikasi, 3.3. Fungsi yang Dikandung oleh Gaya Bahasa Personifikasi, 3.4. Batasan-batasan yang Perlu Diperhatikan, 3.5. Pengertian Gaya Bahasa Personifikasi, BAB IV PENUTUP, DAFTAR PUSTAKA.


Sekilas Isi :

Pengertian dan Ciri-ciri Suatu Gaya Bahasa

Pengertian dari suatu gaya bahasa diungkapkan oleh Sujiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra yaitu suatu ungkapan yang mengungkapkan makna kiasan (Sujiman, 1986 : 48). Dengan melihat pengertian di atas jelaslah diungkapkan bahwa ungkapan yang disebut gaya bahasa ini yaitu semua jenis ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan segala sesuatu dengan makna kias.

Dengan melihat pengertian tersebut di atas kita dapat menarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang dikandung oleh suatu ungkapan yang disebut gaya bahasa ini. Suatu gaya bahasa mempunyai ciri umum bahwa suatu gaya bahasa digunakan untuk mengungkapkan sesuatu dengan makna kias. Selain itu suatu gaya bahasa tentu saja harus berupa suatu ungkapan bahasa yang bergaya.

Ciri-ciri dan Pengertian Istilah Personifikasi

Sebelum berbicara tentang ciri-ciri yang dikandung oleh ungkapan personifikasi ini alangkah lebih baiknya bila terlebih dahulu kita tilik pengertian istilah personifikasi itu. Istilah personifikasi ini diturunkan dari suatu kata dari bahasa Latin yang melewati adaptasi di dalam bahasa Inggris dengan kata person yang mempunyai makna pribadi manusia. Oleh karena itu istilah personifikasi tentu saja tidak terlepas dengan pembicaraan tentang manusia yang disebut sebagai pribadi atau person itu.

Pengertian tentang istilah personifikasi itu diungkapkan oleh Dick Hartoko sebagai suatu bentuk kias yang menampilkan benda-benda atau konsep abstrak sebagai pribadi (person) manusiawi dengan sifat-sifat manusiawi (Hartoko, 1986 : 108). Dengan melihat pengertian tentang gaya bahasa personifikasi di atas kiranya kita dapat mendeskripsikan ciri-ciri yang dikandung oleh pengertian di atas yaitu bahwa sifat-sifat manusia menjadi ciri umumnya. Sifat-sifat manusia disini tentu saja mencakup tingkah laku, kebiasaan, kecenderungan, gerak-gerak, serta segala sesuatunya yang berhubungan dengan pribadi manusia sebagai makhluk hidup.

Oleh sebab itu pengertian gaya bahasa personifikasi yaitu suatu ungkapan yang menggambarkan sesuatu hal baik yang bernyawa selain manusia, maupun yang tak bernyawa seperti laut, api, udara, perasaan dan lain-lain dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia. Dengan pengertian di atas kita dapat menentukan ciri-ciri yang dimiliki oleh gaya bahasa personifikasi ini yaitu terkandungnya sifat-sifat manusia yang diterapkan pada benda-benda atau konsep yang tak bernyawa seperti manusia. Benda-benda atau hal-hal tersebut bisa berupa benda mati maupun benda hidup seperti batu, gunung, angin serta semut, anjing, burung dan lain sebagainya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 00:00:00

PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN

PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia pendidikan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan banyaknya temuan dan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi tersebut menuntut para praktisi pendidikan untuk meningkatkan kontribusinya dalam upaya menghasilkan sumber daya yang bermutu dan mampu bersaing yaitu manusia yang memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan. Namun demikian untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia tersebut ada tantangan dan masalah bangsa yang harus dihadapi, yaitu : (1) perlunya peningkatan mutu dan nilai tambah; (2) perubahan struktur masyarakat; (3) persaingan global yang semakin ketat; dan (4) dominasi negara-negara maju dalam penguasaan ilmu dan teknologi; (Djojonegoro, 1995 : 5-7). 
Dalam membangun sektor pendidikan, pencapaian tujuan akhir yang sempurna dan final tentunya selalu berkembang. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamik, berubah dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Terlebih-lebih dalam era informasi seperti saat ini, keterbukaan di hampir semua aspek dan sistem kehidupan manusia tidak dapat dicegah lagi oleh kekuatan apapun. Hal ini membawa dampak pada cepat usangnya kebijakan maupun praksis pendidikan.
Begitu pula parameter kualitas pendidikannya, baik dilihat dari segi input, process, product, maupun outcome selalu berubah dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, kualitas pendidikan nasional secara terus-menerus perlu ditingkatkan melalui sebuah pembaharuan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada para stakeholders agar dari sektor pendidikan itu kita mampu mempersiapkan generasi penerus yang memiliki unggulan kompetitif dalam menjawab dan memecahkan tantangan masa depan bangsa. Keberhasilan bangsa ini menghadapi tantangan masa depan abad 21 sangat tergantung pada keberhasilan memperbaiki dan memperbaharui pembangunan sektor pendidikan saat ini. Dengan kata lain, sistem pendidikan nasional selalu menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan secara terarah dan berkesinambungan agar dapat ditingkatkan kinerjanya dalam pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi serta manajemen pendidikan. Lembaga pendidikan dalam mewujudkan layanan pendidikan yang berkualitas harus mampu mengelola sistem yang ada di lembaganya dengan baik, yaitu dengan mewujudkan produktivitas pendidikan yang berkualitas. Pihak lembaga harus mampu mengembangkan sikap dan prilaku kerja para personilnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa lembaga pendidikan dituntut untuk mampu menata dan memberdayakan seluruh sumber daya yang ada dalam sistem pengelolaan yang efektif dan efisien, sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. 
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan jalur sekolah sebagai kelanjutan dari pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dalam bentuk Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, dan Politeknik. Penjenjangan pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan Diploma (S0), Sarjana (S1), Magister (S2), dan Doktor (S3).
Sesuai dengan asas otonomi perguruan tinggi, pemerintah menyiapkan standar nasional kemampuan akademik dan profesional yang menjadi acuan bagi perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum sesuai kepentingan pembangunan wilayah regional dan nasional serta tantangan kehidupan global. Mengingat perbedaan potensi wilayah serta perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dalam era globalisasi, maka program studi dan mata kuliah yang ditawarkan oleh perguruan tinggi kepada masyarakat harus bervariasi dan luwes. Penerapan teknologi digital dan networking dalam setiap aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan kurikulum pendidikan di perguruan tinggi. 
Bertolak dari keyakinan bahwa perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan penghasil calon pemimpin bangsa di masa depan, proses pembelajaran yang menekankan aspek kreativitas dan inovasi dalam pemecahan masalah dan rekonstruksi sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum merupakan metode pembelajaran utama yang perlu ditumbuhkembangkan dan diterapkan di perguruan tinggi. Implikasi dari metode pembelajaran tersebut adalah penerapan sistem penilaian hasil belajar yang bertumpu pada pengerjaan tugas-tugas akademik individual dan kelompok, praktikum, penelitian, kerja lapangan, seminar dan ujian yang mencerminkan kemampuan peserta didik merespon terhadap masalah sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum tersebut secara profesional. 
Menurut Pasal 22 dan 23 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) disebutkan bahwa pendidikan tinggi bertujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah jenjang pendidikan menengah yang diselenggarakan melalui jalur sekolah oleh lembaga yang disebut perguruan tinggi.
Dapat dikatakan bahwa selama sejarah peradaban manusia, dunia akademik memainkan peran sentral sebagai konservator nilai-nilai dominan yang berlaku dan sebagai nilai-nilai baru bagi dinamika masyarakat. Yang terpenting, dunia akademik memainkan peranannya yang sejati sebagai sumber ide bagi peningkatan hidup dan makna kehidupan manusia (Tilaar, 1994).
Pendidikan tinggi, menurut Poespowardjojo (dalam Tilaar, 1994), tidak dapat hanya menjadi penonton atau mungkin sebagai pengeritik kejadian-kejadian sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa perguruan tinggi mengemban peran penting dalam konteks dinamika sosial kemasyarakatan. Perguruan tinggi dengan otonomi dan pengembangan kebebasan berpikir adalah kekuatan inti bagi perubahan dan demokrasi kehidupan masyarakat.
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Pasal 3 merinci tugas pendidikan tinggi sebagai berikut : 
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Lebih lanjut, dalam GBHN diuraikan peran perguruan tinggi di Indonesia. Peran perguruan tinggi menurut amanat GBHN adalah sebagai berikut : 
1. Pusat Pengembangan Ilmu dan Sumberdaya Manusia. Pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta pemeliharaan, pembinaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. Kampus sebagai masyarakat ilmiah yang bercita-cita luhur, masyarakat berpendidikan yang gemar belajar dan mengabdi kepada masyarakat serta melaksanakan penelitian yang menghasilkan manfaat bagi peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai lembaga pendidikan tinggi diharapkan pula menjadi pusat pengembangan sumberdaya manusia yang memiliki kualitas akademik maupun profesional yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan yang semakin kompleks dan meningkat.
2. Pusat Sumberdaya Penelitian Wilayah. Hampir semua kampus perguruan tinggi merupakan konsentrasi para sarjana yang cukup banyak, yang memiliki potensi untuk membantu pembangunan wilayah melalui penelitian, pengumpulan dan pengolahan data sesuai dengan keahliannya. Dengan demikian perguruan tinggi, baik bersama-sama perguruan tinggi lain setempat maupun masing-masing, dapat berperan sebagai pusat informasi ilmiah maupun pusat sumberdaya dan kegiatan tentang wilayah tersebut.
3. Pusat Kebudayaan. Tujuan pokok pembinaan kebudayaan di Indonesia menurut Majelis Umum PBB (1986) adalah (1) semakin kuatnya penghayatan nilai-nilai budaya nasional agar mampu menyongsong masa depan bangsa yang ditandai oleh makin canggihnya teknologi dan makin kuatnya tata perekonomian global; (2) semakin kokohnya kesadaran bangsa akan jati dirinya yang ditandai baik oleh pewarisan nilai-nilai luhur, kesadaran sejarah maupun daya cipta yang dimilikinya.
Untuk menghadapi berbagai tantangan yang disebabkan oleh perkembangan global, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menetapkan konstitusi tujuan pengembangan pendidikan tinggi melalui kebijakan Penataan Sistem Pendidikan Tinggi agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Tersirat di sana bahwa kebijakan tersebut mengandung kehendak untuk mengembangkan suatu pola manajemen yang akan digunakan sebagai pedoman dasar untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, maupun pelaksanaan pembangunan dan pengembangan masing-masing perguruan tinggi di Indonesia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (1996) menegaskan bahwa manajemen perguruan tinggi bertumpu pada unsur-unsur : (1) Evaluasi; (2) Akreditasi; (3) Otonomi; dan (4) Akuntabilitas, yang ditujukan pada peningkatan Mutu secara berkelanjutan.
Tersirat di sini bahwa perguruan tinggi wajib menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Adapun penyelenggaraannya dilaksanakan dengan sistem terbuka, dengan program akademik, vokasional, dan profesi.
Posisi dan peran Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada dasarnya tidak berbeda dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Yang membedakan PTN dan PTS adalah dalam hal sektor pengelolaan dan sumber pembiayaannya. Dalam perkembangannya sekarang, perguruan tinggi dapat berbentuk badan hukum milik negara (BHMN) atau badan hukum milik swasta apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dalam pengelolaannya, perguruan tinggi dapat menggali dana dari masyarakat yang dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Menurut Jalal dan Supriadi (2001 : 366), dinyatakan bahwa paradigma baru pendidikan tinggi bertumpu kepada tiga pilar utama, yaitu kemandirian dalam pengelolaan atau otonomi, akuntabilitas (accountability), dan jaminan mutu (quality assurance).
Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi diartikan sebagai otonomi yang seluas-luasnya, tidak terbatas pada pengelolaan secara manajerial, melainkan juga dalam hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka menyesuaikan dengan dunia kerja atau tuntutan kebutuhan pasar kerja. Oleh karena itu, pendidikan tinggi dalam hal ini harus mampu meningkatkan kualitas SDM yang dapat menguasai dan mengembangkan sains dan teknologi sehingga perguruan tinggi tersebut memiliki kebebasan untuk berkembang dan bersaing secara sehat.
Istilah akuntabilitas dalam hal ini diartikan bahwa tanggung jawab perguruan tinggi tidak hanya terhadap pemerintah saja sebagai pembina atau pemberi sumber dana dan sumberdaya lainnya, melainkan juga terhadap masyarakat luas pengguna hasil lulusan dan hasil pengembangan sains dan teknologi. Di sini terkait pula akuntabilitas terhadap dunia profesi yang ada. jaminan mutu (quality assurance) digunakan untuk menentukan standar kriteria yang lebih dinamis untuk menyesuaikan kemampuan perguruan tinggi dengan lapangan kerja dan perdagangan bebas. 
Sebagai pranata sosial yang profesional setiap satuan perguruan tinggi harus menyediakan buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium, dan sarana ibadah sebagai sarana dan penunjang kegiatan pendidikan. Dalam menghadapi tuntutan kehidupan global, peserta didik diharapkan untuk menguasai salah satu bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Untuk menjamin efektivitas proses pembelajaran, penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi minimal adalah 60 jam per minggu dari pukul 8 : 00 sampai 21 : 30 sehingga memberikan kesempatan bagi peserta didik yang telah bekerja untuk belajar pada sore dan malam hari. Seandainya perguruan tinggi telah memiliki fasilitas pembelajaran melalui jaringan komunikasi elektronik, penyelenggaraan pendidikan dapat dilaksanakan selama 24 jam.
Perguruan tinggi sebagai salah satu bentuk satuan pendidikan yang memberikan pengetahuan akademik dan atau profesional harus mampu memberikan layanan dan menghasilkan keluaran yang berkualitas melalui program-program strategis. Lulusannya diharapkan mampu mengatasi masalah di atas. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi mutu perguruan tinggi seperti dosen, sarana prasarana, kurikulum dan proses belajar mengajar, serta sistem penilaian. Walaupun demikian, faktor dosen tidak dapat disamakan dengan faktor-faktor lainnya. Dosen adalah sumber daya manusia yang diharapkan mampu mengerahkan kemampuannya dan mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta proses belajar yang bermutu. Tanpa mengabaikan peran faktor-faktor lain, dosen dapat dianggap sebagai faktor utama yang paling menentukan terhadap meningkatnya mutu perguruan tinggi. 
Bila dikaitkan dengan peran tenaga pengajar di perguruan tinggi, Jalal dan Supriadi (2001 : 395) menyatakan bahwa : “sehat tidaknya perguruan tinggi banyak tergantung pada stafnya, apakah itu staf pengajar, profesional (peneliti), maupun administrative. Ada kepedulian di kalangan staf perguruan tinggi tersebut bahwa saat ini mereka tidak cukup mendapatkan pengakuan, kesempatan untuk mengembangkan diri, dan imbalan yang wajar atas pengabdiannya. Perlu diakui bahwa kontribusi staf pengajar merupakan faktor penting bagi pengembangan perguruan tinggi di Indonesia.
Perguruan tinggi dituntut untuk meningkatkan profesionalisme dosennya yang mencakup antara lain komponen-komponen penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tugasnya, komitmen dan pengabdian yang tinggi pada bidang pendidikan. Untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan, kualifikasi pendidikan tenaga pengajar/dosen pada perguruan tinggi minimal memiliki ijazah S2. 
Kegiatan pokok dibidang penataan sistem pendidikan tinggi salah satunya adalah meningkatkan kemampuan sivitas akademika dalam melakukan evaluasi diri untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, kinerja staf dan perencanaan pengembangan perguruan tinggi (Propenas 2000-2004 : 172).
 Produktivitas perguruan tinggi bukan semata mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga penting diperhatikan, seperti diungkapkan Laehan dan Wexley (dalam Mulyasa, 1992 : 2), bahwa : 
“performance appraisals are crucial to the effective management of an organization’s human resources, and the proper management of human resources, and the proper management of human resources is a critical variable effecting an organization’s productivity”. 
Produktivitas dosen dapat dinilai dari apa yang dilakukan oleh dosen tersebut dalam kerjanya, yakni bagaimana ia melakukan pekerjaan atau unjuk kerjanya. Dalam hal ini produktivitas dapat ditinjau berdasarkan tingkatannya dengan tolak ukur masing-masing yang dapat dilihat dari kinerja dosen tersebut.
Sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi, dosen mengemban tiga tugas pokok, yaitu : (1) melaksanakan Pendidikan (proses belajar mengajar); (2) melakukan penelitian; dan (3) mengabdikan ilmunya kepada masyarakat (Hanafiah et.al, 1994 : 64). 
Sebagai salah satu perguruan tinggi dengan status swasta, STKIP X juga dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalisme dosennya, seperti yang diuraikan di atas. Namun berdasarkan pengamatan, sistem penilaian kinerja tenaga pengajar tampaknya belum diterapkan secara optimal. Kurangnya pemahaman mengenai penilaian kerja yang efektif juga diduga mempengaruhi proses tersebut. Selain itu, diduga bahwa kemampuan STKIP X dalam menetapkan kebijakan pengembangan sumber daya manusianya belum optimal. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan profesionalisme adalah bagaimana menilai produktivitas kerja para dosen tersebut. Untuk melihat bagaimana menilai produktivitas kerja dosen-dosen tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti sistem penilaian kinerja dosen yang diterapkan dan dilakukan oleh perguruan tinggi tersebut yang dituangkan dalam judul : “PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN KINERJA DOSEN TETAP YAYASAN

B. Identifikasi Masalah
Melihat kenyataan bahwa tenaga pengajar atau dosen merupakan faktor yang paling penting dalam pembelajaran di suatu lembaga perguruan tinggi, mutu dan kinerja dosen tentunya perlu mendapatkan lebih banyak perhatian dari pengelola perguruan tinggi. Operasional penyelenggaraan perguruan tinggi swasta tidak dapat dipisahkan dari berbagai aspek yang berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan Tri dharma perguruan tinggi. Salah satu aspek tersebut adalah berkenaan dengan penilaian kinerja dosen. 
Sistem penilaian kinerja dosen dapat melihat apakah kinerja seorang dosen itu baik atau kurang baik dan pada gilirannya hal tersebut akan terkait dengan kebijakan pengembangan sumberdaya manusia.

C. Manfaat Penelitian 
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 
1. Manfaat Teoritis
Dalam tataran teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian mengenai urgensi kemampuan kerja dosen tetap yayasan dalam keseluruhan pengembangan profesionalisasi tenaga kependidikan. Terungkapnya temuan empiris yang menjelaskan kondisi penilaian kinerja dosen tetap yayasan merupakan hal sangat penting untuk dijadikan dasar pemikiran bagi upaya pengembangan konsep-konsep manajemen sumber daya manusia.
2. Manfaat Praktis
Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 
a. Memberikan masukan kepada pengelola pendidikan tinggi khususnya STKIP X tentang pengembangan penilaian kinerja dosen tetap yayasan yang efektif.
b. Dengan mengetahui model penilaian kinerja dosen tetap yayasan, maka memungkinkan adanya usaha untuk pengembangan profesionalisasi para dosen ke arah yang lebih baik.
c. Memberikan masukan kepada pemerintah tentang kemungkinan pengembangan penilaian kinerja dosen tetap yayasan yang lebih tepat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan perguruan tinggi swasta.

D. Sistematika Penulisan
Tesis ini menjabarkan isi secara keseluruhan menjadi sistematika tesis tersebut, sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, pada bab ini dibahas latar belakang masalah, Identifikasi masalah, fokus telaah, pertanyaan penelitian, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka berfikir, asumsi penelitian, definisi operasional, lokasi dan subyek penelitian, dan sistematika tesis. Bab II, Konsep Administrasi pendidikan, Konsep Administrasi Personil/SDM, Konsep Penilaian Kinerja, Desain Sistem Penilaian Kinerja dan hasil penelitian yang terdahulu yang masih relevan. 
Kemudian Bab III menjelaskan masalah prosedur penelitian, dalam hal ini yang dibahas adalah bentuk dan sifat penelitian, metode penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, langkah-langkah penelitian, analisis data, dan metode dan instrumen penelitian. Sedangkan Bab IV membahas masalah hasil temuan penelitian, yang terdiri dari temuan hasil penelitian yang diuraikan mengenai : deskripsi hasil penelitian dan pembahasan penelitian berupa, sistem penilaian kinerja yang dilakukan saat ini pada STKIP X, pemanfaatan hasil penilaian kinerja tersebut, kajian model penilaian kinerja yang efektif bagi dosen tetap yayasan pada STKIP X. Sedangkan yang terakhir Bab V ini mengemukakan tentang kesimpulan, implikasi dari penelitian dan rekomendasi terhadap hasil penelitian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:48:00

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN BISNIS)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu program guna mewujudkan kesejahteraan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan asset yang potensial dan strategis di dalam menjalankan roda organisasi, yang pada akhirnya akan mendukung tujuan organisasi.
Untuk meningkatkan kinerja pegawai dan perbaikan efisiensi organisasi, manajemen sumber daya manusia selalu memegang peran aktif dan dominan dalam setiap kegiatan perusahaan. Tingkat kinerja pegawai yang tinggi akan dapat memperkuat perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan bagi perusahaan.
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan tenaga-tenaga kepemimpinan yang terampil yang bertanggung jawab serta mau mengerti keinginan bawahannya. Seorang pemimpin harus mampu mengarahkan, menggerakkan dan mempengaruhi bawahannya untuk bekerjasama dengan memberikan dorongan dan bekerja keras dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Untuk melaksanakan aktivitas organisasi dalam pencapaian tujuan, maka dalam mengarahkan dan memotivasi kelompok manusia dituntut adanya bentuk kepemimpinan tertentu yang sesuai pada situasi dan kondisi yang ada.
Manajemen dalam suatu perusahaan akan sulit merealisasikan tujuan tanpa adanya pemimpin. Oleh karena itu seorang pemimpin dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memimpin suatu bidang pekerjaan, dan pemimpin merupakan dasar dan faktor penentu yang akan mempengaruhi maju mundurnya atau naik turunnya suatu perusahaan.
Selain aspek kepemimpinan salah satu faktor yang sangat berperan dalam meningkatkan kinerja pegawai adalah motivasi kerja. Pegawai yang memiliki motivasi kerja tinggi, selalu mempunyai dorongan untuk bekerja lebih baik untuk mencapai prestasi yang istimewa. Apabila terbuka kesempatan untuk berprestasi maka akan mendorong psikologis untuk meningkatkan jiwa dedikasi serta pemanfaatan potensi yang dimilikinya untuk meningkatkan kinerja pegawai. Hasibuan (2002 : 194) menyatakan "bahwa pada dasarnya faktor dominan yang mempengaruhi tingkat kinerja pegawai suatu organisasi adalah kepemimpinan suatu organisasi".
Fenomena di kantor PT. X menunjukan bahwa kondisi yang menggerakkan pegawai ke arah pencapaian tujuan organisasi relatif masih kurang optimal yang mengakibatkan kinerja pegawai mengalami penurunan yang ditandai dengan produktivitas perusahaan yang cenderung merosot.
Penurunan kinerja pegawai ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, karena akan dapat menyebabkan perusahaan mengalami kerugian, bahkan kemungkinan yang paling buruk adalah gulung tikarnya perusahaan. Oleh karena itu perlu segera mengantisipasi dengan menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Dalam hal ini secara teoritis faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja pegawai adalah faktor kepemimpinan dan motivasi kerja.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kepemimpinan dan motivasi kerja dengan kinerja pegawai dengan mengangkat sebuah judul : "Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada PT. X".

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Kepemimpinan sangat berhubungan erat dengan manusia sebagai salah satu faktor dalam organisasi, karena manusia lah yang dapat membuat berfungsi atau merupakan titik sentral kegiatan organisasi. Cepat atau lambatnya kegiatan organisasi tergantung kepada keterampilan pemimpin dalam mengarahkan langkah dan kebijaksanaan perusahaan sebagai usaha memperoleh kinerja pegawai yang tinggi. Seorang pemimpin yang berhasil akan mampu mempengaruhi orang lain dan dianggap sebagai panutan untuk bawahannya dalam melaksanakan tujuan organisasi.
Dalam penelitian ini penyusun mencoba menitikberatkan terhadap masalah kepemimpinan untuk meningkatkan kinerja pegawai yang tinggi. Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama PT. X berdasarkan persepsi responden ?
2. Bagaimanakah tingkat motivasi kerja pegawai PT. X ?
3. Bagaimanakah tingkat kinerja pegawai PT. X ?
4. Apakah tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X ?
5. Apakah tingkat motivasi kerja pegawai mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud melakukan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan sebagai bahan pelengkap dalam penyusunan tesis yang merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister manajemen pada Program Studi Magister Manajemen Bisnis.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kepemimpinan Direktur Utama PT. X berdasarkan persepsi responden.
2. Untuk mengetahui tingkat motivasi kerja PT. X. 
3. Untuk mengetahui tingkat kinerja pegawai PT. X.
4. Untuk mengetahui tingkat efektivitas kepemimpinan mempengaruhi tingkat kinerja pegawai PT. X.
5. Untuk mengetahui tingkat motivasi kerja mempengaruhi kinerja pegawai PT. X.

D. Kegunaan Penelitian 
1. Kegunaan Akademik
Memberikan sumbangan positif terhadap pengembangan ilmu bidang Manajemen Sumber Daya Manusia yang terkait dengan masalah kepemimpinan, motivasi kerja dan kinerja pegawai.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi perusahaan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran dan masukan mengenai pengaruh kepemimpinan dan motivasi kerja terhadap peningkatan kinerja pegawai .
b. Bagi penulis penelitian ini sebagai syarat menyelesaikan studi program S-2.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:44:00

PENGARUH STRUKTUR DAN IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN SKPD

PENGARUH STRUKTUR DAN IMPLEMENTASI ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP KINERJA KEUANGAN SKPD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara, peranan negara dan pemerintah bergeser dari peran sebagai pemerintah (government) menjadi kepemerintahan (governance). Pergeseran peran tersebut cenderung menggeser paradigma klasik yang serba negara menuju paradigma yang lebih memberikan peran kepada masyarakat dan swasta. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 disebutkan bahwa dalam paradigma kepemerintahan yang baik (good governance) terdapat prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, dan supremasi hukum. Dalam bahasa yang lebih sederhana, terdapat tiga prinsip utama yang berlaku universal dalam kepemerintahan yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Perkembangan wacana di tingkat global tentang new public management (NPM) juga berpengaruh pada perkembangan wacana good governance di Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan pelajaran yang dapat diambil dari krisis ekonomi yang dimulai dari krisis keuangan tahun 1997. Berkaitan dengan krisis tersebut, Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, banyak diceramahi tentang kurangnya transparansi dan pentingnya tata pemerintahan yang baik. Meningkatnya utang luar negeri dari tahun ke tahun merupakan salah satu bukti yang mencerminkan bahwa kinerja pemerintah dalam mengelola keuangan negara sangat buruk.
Krisis moneter dan resesi ekonomi yang berkepanjangan, kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi dan lebih jauh lagi menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah, terutama bagi Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara paling korup di dunia, telah menimbulkan berbagai gejolak dan tuntutan perubahan di masyarakat berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.
Tuntutan yang lebih besar dari masyarakat untuk dilakukan transparansi dan akuntabilitas publik, telah menuntut setiap organisasi pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya agar lebih berorientasi pada terciptanya good public dan good governance.
Untuk merespon tuntutan reformasi tersebut, maka dilakukan serangkaian langkah-langkah konkrit melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan seperti UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, dan PP sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, yaitu PP No. 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah, serta tata cara penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan APBD.
Dalam prakteknya, penyelenggaraan otonomi daerah bagi sebagian daerah malah menjadi beban tersendiri. Otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan tiap-tiap daerah, dan seringkali dikaitkan dengan prinsip auto money. Artinya kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. Implikasi dari penerapan prinsip auto money ini kemudian mendorong daerah-daerah untuk giat meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), salah satunya dengan menciptakan berbagai bentuk pajak dan retribusi daerah.
Meskipun kini paradigma penyelenggaraan otonomi daerah telah mengalami pergeseran dan tidak lagi berpangkal pada prinsip auto money, namun pada kenyataannya kapasitas keuangan daerah masih dititik beratkan pada kemampuan menggali PAD dari sektor pajak dan retribusi daerah, yang justru menimbulkan beban baru, antara lain menimbulkan biaya ekonomi tinggi dan memberatkan bagi masyarakat yang bersangkutan.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong berkembangnya wacana mengenai perlunya dilakukan reformasi anggaran, agar pengalokasian anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik. Sistem anggaran yang selama ini digunakan adalah sistem line item dan incremental (sistem anggaran tradisional) yang ternyata dalam penerapannya memiliki berbagai kelemahan dan cenderung memberikan bobot yang lebih besar pada anggaran rutin (biaya aparatur), bukan pada anggaran pembangunan, sehingga pada akhirnya telah memberi peluang terjadinya pemborosan dan penyimpangan anggaran. Adapun kelemahan dari sistem anggaran tradisional tersebut seperti : 
Orientasi pada pengendalian pengeluaran dan cenderung mengabaikan outcome, adanya dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas, basis alokasi yang tidak jelas yang hanya berfokus pada ketaatan anggaran, dan akuntabilitas terbatas pada pengendalian anggaran, bukan pada pencapaian hasil. (Sjahruddin Rasul, 2002 : 45).
Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah merupakan salah satu bukti dari orientasi anggaran pada pengendalian pengeluaran, bukan pada pencapaian hasil. Kinerja instansi hanya diukur dari kemampuan dalam menyerap anggaran, bukan dari tingkat kinerja yang dicapai. Pemborosan uang negara sebagai akibat dari adanya dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas, tingginya rata-rata pengeluaran instansi pemerintah dan adanya penumpukan kegiatan pada beberapa instansi sebagai bukti dari basis alokasi anggaran yang tidak jelas.
APBD pada era otonomi daerah sekarang ini, disusun dengan pendekatan kinerja, artinya sistem anggaran yang mengutamakan pada pencapaian hasil/kinerja dari perencanaan alokasi biaya yang telah ditetapkan. Jika dibandingkan dengan sistem anggaran tradisional, sistem anggaran kinerja memiliki beberapa keunggulan seperti : "fokus pada hasil, lebih fleksibel, lebih dapat dievaluasi dan mempermudah pengambilan keputusan". (Sjahruddin Rasul, 2002 : 51).
Melalui penerapan anggaran berbasis kinerja, instansi dituntut untuk membuat standar kinerja pada setiap anggaran kegiatan sehingga jelas tindakan apa yang akan dilakukan, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil yang diperoleh (fokus pada hasil). Klasifikasi anggaran yang dirinci mulai dari sasaran strategis sampai pada jenis belanja dari masing-masing program/kegiatan memudahkan dilakukannya evaluasi kinerja. Dengan demikian, diharapkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dapat lebih disesuaikan dengan skala prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan.
Secara normatif, penerapan anggaran berbasis kinerja ini ditetapkan melalui UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, dan PP No. 105 tahun 2000, tepatnya pada pasal 8, yang isinya "APBD disusun dengan pendekatan kinerja".
Pada dasarnya, anggaran berbasis kinerja merupakan sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja yang harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Beberapa daerah, kini telah menerapkan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan APBD. Salah Satunya Pemerintah Daerah Kabupaten X yang telah menerapkan anggaran berbasis kinerja sejak tahun 2004.
Permasalahan pokok yang dihadapi Pemerintah Daerah Kabupaten X sekarang ini adalah otonomi menuntut setiap unit kerja untuk meningkatkan kinerja ekonomi, efisiensi dan efektivitas {value for money). Penelitian ini mengambil 23 Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X. Alasan utama pemilihan di Pemda Kabupaten X disebabkan oleh permasalahan yang berkenaan dengan kinerja keuangannya yang dinilai kurang efisien mengingat instansi pemerintah daerah memegang peranan penting dalam meningkatkan pembangunan di Kabupaten X.
Bertolak dari uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Struktur dan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja terhadap Kinerja Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut : 
1. Bagaimana pengaruh struktur anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X ?
2. Bagaimana pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui pengaruh struktur anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh implementasi anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja keuangan SKPD Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut : 
1. Secara teoretis
Sebagai tambahan wawasan mengenai implementasi anggaran berbasis kinerja dan pengukuran kinerja keuangan.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten X dalam meningkatkan kinerja keuangannya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:42:00