Cari Kategori

RUANG LINGKUP DAN KOMPETENSI MATERI MATA PELAJARAN IPA SMP / MTS KURIKULUM 2013

1. Pengertian

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)  merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangan IPA selanjutnya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta saja, tetapi juga munculnya “metode ilmiah” (scientific methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian ”kerja ilmiah” (working scientifically), nilai dan “sikap ilmiah” (scientific attitudes). 

Sejalan dengan pengertian tersebut, IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan dengan bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai suatu hasil eksperimen dan observasi, dan selanjutnya akan bermanfaat untuk eksperimentasi dan observasi lebih lanjut.  


Merujuk pada pengertian IPA di atas, maka hakikat IPA meliputi empat unsur, yaitu:

(1)    Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum;

(2) Proses: yaitu prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi pengamatan, penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen, percobaan atau penyelidikan, pengujian hipotesis melalui eksperimentasi; evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan;

(3)   Aplikasi: merupakan penerapan metode atau kerja ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari;

(4)   Sikap: yang terwujud melalui rasa ingin tahu tentang obyek, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru namun dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar. Oleh karena itu IPA bersifat open ended  karena selalu berkembang mengikuti pola perubahan dinamika dalam masyarakat.

Rasional

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri  dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.  Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan.  Di tingkat SMP/MTs diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) secara terpadu yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. 

Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SMP/MTs menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

2. Tujuan

Mata pelajaran IPA SMP bertujuan untuk:

a.   Mengagumi keteraturan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang aspek fisik dan kimiawi, kehidupan dalam ekosistem, dan peranan manusia dalam lingkungan serta mewujudkannya dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya.

b.   Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu; objektif; jujur; teliti; cermat; tekun; hati-hati; bertanggung jawab; terbuka; kritis; kreatif; inovatif dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap dalam melakukan pengamatan, percobaan, dan berdiskusi.

c.   Menghargai kerja individu dan kelompok dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi melaksanakan percobaan dan melaporkan hasil percobaan.

d.   Menunjukkan perilaku bijaksana dan bertanggungjawab dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi sikap dalam memilih penggunaan alat dan bahan untuk menjaga kesehatan diri dan lingkungan; memilih makanan dan minuman yang menyehatkan dan tidak merusak tubuh; serta  menggunakan energi secara hemat dan aman serta tidak merusak lingkungan sekitarnya.

e.   Menunjukkan penghargaan kepada orang lain dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud implementasi perilaku menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan; memberi apresiasi pada orang yang menjual makanan sehat tanpa campuran zat aditif yang berbahaya; serta memberikan dukungan kepada orang yang menjaga kelestarian lingkungan.

3. Ruang Lingkup Materi

Ruang Lingkup  mata pelajaran IPA di SMP menekankan pada pengamatan fenomena alam dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, isu-isu fenomena alam terkait dengan kompetensi produktif  dengan perluasan pada konsep abstrak yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

1.   Makhluk Hidup dan Proses Kehidupan

Meliputi objek IPA, klasifikasi makhluk hidup, organisasi kehidupan, energi dalam kehidupan, interaksi makhluk hiup dengan lingkungannya, pencemaran lingkungan, pemanasan global, sistem gerak pada manusia, struktur tumbuhan, sistem pencernaan, sistem ekskresi, sistem reproduksi, hereditas, dan perkembangan penduduk.

2.   Benda/Zat/Bahan dan Sifatnya

Meliputi karakteristik zat, sifat bahan, bahan kimia, atom, ion,dan molekul.

3.   Energi dan Perubahannya

Meliputi energi dalam kehidupan, suhu, pemuaian, dan kalor, gerak lurus, gaya dan Hukum Newton, pesawat sederhana, tekanan zat cair, getaran, gelombang dan bunyi, cahaya dan alat optik, listrik statis dan dinamis, kemagnetan dan induksi elektromagnetik.

4.   Bumi dan Alam Semesta

Meliputi struktur bumi, tata surya, gerak edar bumi dan bulan,

4.  Prinsip-prinsip Penerapan Kurikulum IPA:  Pembelajaran, dan Penilaian

Penerapan Kurikulum IPA selalu melibatkan proses pembelajaran dan penilaian (asesmen) sebagai berikut.

a.  Kurikulum IPA

Kurikulum IPA hendaknya:

1)   menekankan pada pembelajaran IPA yang seimbang antara konsep, proses dan aplikasinya;

2)   mengembangkan kemampuan kerja ilmiah yang mencakup proses dan sikap ilmiah;

3)   memungkinkan siswa mengkonstruksi dan mengembangkan konsep IPA (dan saling keterkaitannya) serta nilai, sikap dan kerja ilmiah siswa;

4)   memberikan siswa kesempatan untuk mendemostrasikan kemampuan dalam mencari, memilih, memilah, dan mengolah informasi serta memaknainya selama proses pembelajaran, sehingga dapat dinilai potensi dan hasil belajarnya secara adil.

b.   Pembelajaran IPA

Pembelajaran IPA hendaknya:

1.  dapat menumbuhkan kepercayaan diri siswa bahwa mereka ”mampu” dalam IPA dan bahwa IPA bukanlah pelajaran yang harus ditakuti;

2.   membelajarkan IPA tidak hanya membelajarkan konsep-konsepnya saja, namun juga disertai dengan pengembangan sikap dan keterampilan ilmiah (domain pengetahuan dan proses kognitif);

3. pembelajaran IPA memberikan pengalaman belajar yang mengembangkan kemampuan bernalar, merencanakan dan melakukan penyelidikan ilmiah, menggunakan pengetahuan yang sudah dipelajari untuk memahami gejala alam yang terjadi di sekitarnya.

4.   merevitalisasi keterampilan proses IPA bagi siswa, guru, dan calon guru sebagai misi utama PBM IPA di sekolah untuk mengembangkan kemampuan observasi, merencanakan penyelidikan, menafsirkan (interpretasi) data dan informasi (narasi, gambar, bagan, tabel) serta menarik kesimpulan.

c.   Sistem Penilaian (Asesmen)

Penilaian hendaknya:

1.   direncanakan untuk mengukur pengetahuan dan konsep, keterampilan proses, dan penalaran tingkat tinggi (berpikir kritis, logis, kreatif);

2.   menggunakan penilaian kinerja, penugasan/proyek, dan portofolio untuk keterampilan proses IPA dan kemampuan kerja ilmiah selama pembelajaran IPA dalam rentang waktu tertentu;

3.  mengadopsi bentuk tipe soal serupa dengan PISA  dan TIMSS untuk mendorong PBM berkontribusi pada peningkatan literasi IPA siswa dan sekaligus menggali kemampuan berpikir ilmiah, kritis, kreatif, dan inovatif;

4.  menekankan penguasaan konsep tingkat rendah dan tinggi dengan variasi bentuk penilaian (pilihan ganda, pilihan ganda beralasan, uraian terbatas);

5.   memberikan pengalaman secara langsung yang dinilai berdasarkan hasil observasi dan hasil kegiatan kepada siswa, sekaligus  dimintai alasan mengapa kira-kira hasilnya serupa itu;

6.  memperkenalkan  tipe soal yang diujikan secara nasional maupun internasional kepada siswa dan guru IPA.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:42:00

POLA INTEGRASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HABITUASI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA

POLA INTEGRASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HABITUASI DI SEKOLAH UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya menitik beratkan pada pembentukan karakter siswa terutama dalam civic knowledge, civic skill, dan civic disposition, agar siswa mampu berpartisipasi dengan masyarakat sekitar, namun pada kenyataannya di lapangan, model pembelajaran yang diterapkan di sekolah lebih memfokuskan pada civic knowledge saja, sehingga menyebabkan siswa kurang berpartisipasi dengan yang lainnya {bersifat individualistis). Dengan demikian perlu kiranya ada sebuah solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu pendidikan yang paling sesuai dengan pelaksanaan pendidikan keluarga, yang ada kaitannya dengan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yaitu dengan pengintegrasian nilai-nilai Pendidikan keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hartinah (2008 : 164), bahwa keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak-anak dan remaja. Pendidikan keluarga lebih menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian. Maka dari itu, yang menjadi dasar dan tujuan dari penyelenggaraan pendidikan keluarga lebih bersifat individual, sesuai dengan pandangan hidup keluarga masing-masing. Pendapat di atas, erat hubungannya dengan UU/20/2003 pasal 1 ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu : 
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara."
Dengan demikian, hal itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Hartinah (2008 : 164), bahwa pendidikan keluarga menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian, sekalipun secara rasional bagi keluarga Bangsa Indonesia memiliki dasar yang nyata, yaitu Pancasila.
Kalau melihat nilai-nilai yang diterapkan di rumah, yang akan dikembangkan di sekolah, semua itu tergantung kepada kebiasaan si anak (habituasi) yang dilakukan di rumahnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Salamor, (2010 : 189), bahwa keluarga pada hakekatnya merupakan satuan terkecil sebagai inti dari suatu sistem sosial yang ada di masyarakat. Sebagai satuan terkecil, keluarga merupakan miniatur dan embrio dari berbagai unsur sosial manusia. Suasana keluarga yang kondusif akan menghasilkan warga masyarakat yang baik. Oleh karena itu, pembinaan terhadap anak secara dini dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat mendasar. 
Pendidikan agama, budi pekerti, tata krama, dan baca tulis hitung yang diberikan secara dini di rumah, serta teladan dari kedua orangtuanya, akan membentuk kepribadian dasar dan kepercayaan diri anak yang akan mewarnai perjalanan hidup selanjutnya. Dalam hal ini, seorang ibu memegang peranan yang sangat penting dan utama dalam memberikan pembinaan dan bimbingan (baik secara fisik maupun psikologis) kepada putra putrinya, dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang lebih berkualitas selaku warga negara (WNI) yang baik dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab sosial. Pendapat di atas, sesuai dengan pendapatnya Schikendanz, (1995) dalam Megawangi (2004 : 64), mengatakan bahwa, segala perilaku orangtua dan pola asuh yang diterapkan dalam keluarga, pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian/karakter seorang anak. 
Dengan demikian, untuk membentuk karakter siswa di sekolah, perlu adanya sebuah wadah untuk mengembangkannya, yaitu nilai-nilai karakter yang ditanamkan dalam diri anak, seperti yang diungkapkan oleh Megawangi (2004 : 95), yang termasuk kepada nilai-nilai universal, yang mana seluruh agama, tradisi dan budaya menjunjung nilai-nilai tersebut, yang dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang, budaya, suku, dan agama. Salah satu yang termasuk dalam nilai-nilai universal tersebut diantaranya, : 
1. Cinta Tuhan dan segenap Ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty).
2. Kemandirian dan tanggungjawab (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness).
3. Kejujuran/amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty).
4. Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience.)
5. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm).
6. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty).
Peran keluarga sangat berperan dalam membentuk karakter anak, yang sangat diharapkan dan juga dalam kematangan emosi-sosial ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, dari usia pra sekolah sampai usia remaja. Dengan demikian, pendidikan keluarga berdampak positif dengan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam hal ini, peneliti menyitir pendapatnya Winarno (2010 : 83), bahwa pendidikan nilai memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral, pendidikan akhlak, dan pendidikan budi pekerti. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik, bagi suatu masyarakat atau bangsa. 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, setiap permasalahan yang ada, dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut : "Bagaimana menerapkan pola integrasi nilai-nilai Pendidikan keluarga di dalam pembelajaran PKn dan habituasi di sekolah untuk membangun karakter siswa ?" (Studi kasus di MTs X). 
Kemudian masalah tersebut diidentifikasi sebagai berikut, dengan tujuan lebih spesifik dalam penelitiannya, diantaranya : 
1. Nilai-nilai apa saja yang sudah diterapkan di rumah untuk dikembangkan di sekolah melalui habituasi (pembiasaan) dalam membangun karakter siswa ?
2. Bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai yang ada di rumah atau keluarga, ke dalam pembelajaran PKn di sekolah dilihat dari materi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dan evaluasi ?
3. Bagaimana persepsi siswa tentang pengintegrasian nilai-nilai pendidikan keluarga ke dalam pembelajaran PKn dan habituasi dalam membangun karakter siswa ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai, diantaranya untuk mengetahui : 
1. Nilai-nilai apa saja yang sudah diterapkan di rumah untuk dikembangkan di sekolah melalui habituasi (pembiasaan) untuk membangun karakter siswa.
2. Bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai yang ada di rumah atau keluarga, ke dalam pembelajaran PKn di sekolah dilihat dari materi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dan evaluasi.
3. Bagaimana persepsi siswa tentang pengintegrasian nilai-nilai pendidikan keluarga ke dalam pembelajaran PKn dan habituasi dalam membangun karakter siswa. 

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis : 
a. Diharapkan dengan menerapkan pendidikan keluarga di sekolah mampu membangun karakter siswa dalam mengembangkan dan merevitalisasikan pembelajaran PKn.
b. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan perubahan pola pikir siswa di sekolah dalam mengembangkan karakter, setelah pendidikan keluarga diterapkan.
2. Praktis : 
a. Bagi penulis sebagai peneliti : dapat mengimplementasikan pendidikan keluarga di sekolah dalam kaitannya dengan pembangunan karakter siswa, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah, sehingga dapat menunjang materi lain selain Pendidikan Kewarganegaraan.
b. Bagi Guru dan Siswa : bersama-sama akan tumbuh kesadaran, bahwa dengan mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan melalui penerapan pendidikan keluarga di sekolah, dapat menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sebagai instrumen untuk membentuk pribadi yang positif. 
c. Disamping itu dengan menerapkan pendidikan keluarga di sekolah dapat menumbuhkan karakter siswa, baik secara informal, formal, maupun non formal.
d. Bagi dunia Pendidikan : bahwa paradigma sekarang sudah berubah, dari pengajaran menjadi pembelajaran, yang berarti bahwa siswa tidak cukup dengan memperhatikan, menulis, membaca, dan berlatih, tetapi dengan melalui pembelajaran, yang berarti membelajarkan siswa (sebagai subjek), dengan cara melakukan-mengalami-mengkomunikasikan, mulai dari kehidupan nyata siswa diangkat menjadi konsep. 

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:52:00

PERANAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI


PERANAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa : 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional tersebut merupakan rumusan kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pembinaan manusia Indonesia seutuhnya (Balitbang, 2010 : 2). Salah satu pembinaan manusia Indonesia seutuhnya dilaksanakan melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga.
Antara pendidikan dengan keluarga adalah suatu istilah yang tidak bisa dipisahkan. Dimana ada keluarga disana ada pendidikan. Dimana ada orang tua disana terdapat anak yang merupakan suatu kemestian dalam keluarga. Ketika ada orang tua yang ingin mendidik anaknya pada waktu yang sama ada anak yang menghajatkan pendidikan dari orang tua. Disinilah muncul istilah "pendidikan keluarga" yakni pendidikan yang berlangsung dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua sebagai tugas dan tanggungjawabnya dalam mendidik anak dalam keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama karena tugasnya meletakkan dasar-dasar pertama bagi perkembangan anak. Di dalam keluarga, anak lahir, tumbuh dan berkembang dan pertama kali mengenal orang lain melalui hubungan dengan orang tuanya. Pengaruh insentif dari orang tua merupakan pendidikan mendasar bagi perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Pentingnya pendidikan anak dalam keluarga dipandang oleh Kadarusmadi (1996 : 39) sebagai berikut : 
Pendidikan yang diperoleh anak di dalam keluarga bermakna sebagai upaya yang membantu anak untuk dapat hidup dan berkehidupan sebagai manusia. Tanpa bantuan itu baik dari orang tuanya maupun dari orang dewasa lainnya seperti kakak, paman, bibi, kakek atau nenek dan bahkan pembantu atau perawat bayi). Kemungkinan tidak akan dapat melangsungkan hidupnya. Bantuan itu sangat diperlukan oleh anak, karena pada saat dilahirkan ia belum bisa menolong dirinya. Ia lahir belum memiliki kekhususan atau spesialisasi tertentu.
Ketidakmampuannya untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya yang akan diemban kelak ketika dewasa maka anak perlu mendapatkan pendidikan dan dapat dididik. Pendidikan bukan hanya sekadar kemungkinan (dapat dididik) melainkan merupakan suatu keharusan (perlu dididik) agar ia dapat hidup sebagaimana layaknya manusia. Anak dapat mengendalikan instingnya, mengembangkan modal untuk mengetahui, memahami dan memikirkan sesuatu maka pertama kali hal tersebut harus diajarkan dalam lingkungan keluarga. Seperti yang diungkap oleh Benyamin S. Bloom (1976) bahwa : 
Lingkungan keluarga dan faktor-faktor luar sekolah yang telah secara luas berpengaruh terhadap siswa. Siswa-siswa hidup di kelas pada suatu sekolah relatif singkat, sebagian besar waktunya dipergunakan siswa untuk bertempat tinggal di rumah. Keluarga telah mengajarkan anak berbahasa, kemampuan untuk belajar dari orang dewasa dan beberapa kualitas dan kebutuhan berprestasi, kebiasaan bekerja dan perhatian terhadap tugas yang merupakan dasar terhadap pekerjaan di sekolah. Kecakapan-kecakapan dan kebiasaan di rumah merupakan dasar bagi studi anak di sekolah.
Dalam rangka mewujudkan keberhasilan keluarga dalam pendidikan anak maka kehidupan keluarga yang harmonis perlu dibangun atas dasar sistem interaksi yang kondusif dicirikan dengan keterlibatan orang tua yang hangat dalam mengasuh dan mendidik anak sehingga anak-anak akan memiliki figur orang tua yang seimbang serta memiliki hubungan emosional yang lebih kuat dengan orang tuanya. Jika orang tua sering bertemu dan berdialog dengan anak, anak akan menghormati orang tuanya. Semakin besar dukungan orang tua terhadap anaknya, semakin tinggi perilaku positif anak (BKKBN, 1992). Dalam konteks yang lebih global, suasana keluarga yang kondusif tersebut akan mampu menghasilkan warga negara yang baik pula (Salamor, 2010 : 189).
Warga negara yang baik adalah warga negara yang memiliki kepedulian terhadap keadaan yang lain, memegang teguh prinsip etika dalam berhubungan dengan sesama, berkemampuan untuk mengajukan gagasan atau ide-ide kritis dan berkemampuan membuat pilihan atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang baik (Dynnesson, Gross & Nickel dalam Nurmalina dan Syaifullah, 2007 : 19). Warga negara yang baik memiliki tampilan sebagai "Informed and Reasoned Decision Maker" atau pengambil keputusan yang cerdas dan bernalar yang memiliki ciri berpengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills) dan watak kewarganegaraan (civic disposition). Warga negara yang ideal demokratis merujuk pendapat CCE (1999) menurut Budimansyah & Winataputra (2007 : 31-32) memiliki kemampuan sebagai berikut : 
1. Knowledge : the content of civic education
2. Skills : what a citizen needs to be able to do to participate effectively
3. Attitudes/Belief : character or dispositions of citizen
4. Civic Dispositions : Civility, Respect for right of the other individuals, Respect for law, Honesty, Open mindedness, Critical Mindedness, Negotiation and Compromise, Persistence, Compassion, Patriotism, Courage, Tolerance of ambiguity.
Perpaduan kesemuanya diyakini akan membentuk the ideal democratic citizen yakni konsep warga negara yang berkarakter yang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang dipelajari dan dialami seseorang baik di rumah, sekolah, komunitas dan organisasi-organisasi civil society (Budimansyah dan Suryadi, 2008 : 61).
Pembentukan karakter warga negara yang baik pada anak usia dini sangat mendasar. Usia dini merupakan masa emas perkembangan yang keberhasilannya sangat menentukan kualitas di masa dewasanya (Soedarsono, 2010 : 1). Pembentukan karakter anak pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak. Kegagalan penanaman karakter pada usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak (Megawangi, 2004 : 23). Pendidikan karakter pada anak usia dini adalah strategi investasi manusia yang tepat dimana efek kelanjutan dari langkah tersebut terlihat bahwa "kemampuan sosial dan emosi pada masa anak-anak akan mengurangi perilaku yang beresiko, seperti konsumsi alkohol yang merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan sepanjang masa; perkembangan emosi dan sosial pada anak-anak juga dapat meningkatkan kesehatan manusia selama hidupnya, misalnya reaksi terhadap tekanan (stress), yang akan berdampak langsung pada proses penyakit; kemampuan emosi dan sosial yang tinggi pada orang dewasa yang memiliki penyakit dapat membantu meningkatkan perkembangan fisiknya." (Jan Wallander dalam Nurhafidzhah, 2010 : 288).
Dalam upaya membentuk warga negara yang baik maka setiap keluarga harus menyadari bahwa awal masa depan anak tercipta dalam keluarga melalui pendidikan karakter yang konsisten dan berkesinambungan. Keluarga yang mengabaikan fungsi ini dapat mengakibatkan dampak yang sangat besar pada masa depan anak maka perlu sekiranya direvitalisasi kesadaran orang tua dalam memainkan peranan mendidik anak dalam keluarga, oleh karena dengan kebersamaan dan keterlibatannya dengan mereka, anak-anak senantiasa bertemu dan berinteraksi dan ditentukan pula kehidupannya. Dari paparan diatas maka peneliti tertarik untuk mengambil tesis dengan judul Peranan Keluarga dalam Pendidikan Karakter Anak Usia Dini (Studi Deskriptif pada Keluarga di Perumahan X)

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah diatas, peneliti dapat merumuskan fokus penelitian yakni "Bagaimanakah pelaksanaan peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak usia dini di Perumahan X ?"
Agar penelitian ini lebih terarah dan memudahkan dalam penganalisaan terhadap hasil penelitian, masalah pokok tersebut diuraikan dalam sub-sub masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
2. Karakter apa yang dikembangkan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
3. Bagaimana pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
4. Faktor-faktor apa yang berperan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
5. Hambatan-hambatan apa yang ada dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?
6. Upaya-upaya apa yang dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak usia dini. Secara lebih terperinci tujuan penelitian dapat dijabarkan untuk mengidentifikasi sebagai berikut : 
1. Peranan keluarga dalam pendidikan karakter anak di lingkungan keluarga.
2. Karakter yang dikembangkan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga.
3. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga.
4. Faktor-faktor yang berperan dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga.
5. Hambatan-hambatan yang ada dalam pendidikan karakter anak usia dini di lingkungan keluarga.
6. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan pendidikan karakter anak usia dini di dalam keluarga.

D. Manfaat Penelitian
Temuan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 
1. Para orang tua memberikan pemahaman pentingnya peranan dalam pendidikan karakter anak usia dini.
2. Anak mendapatkan pemahaman tentang karakter yang seharusnya ada dalam kehidupannya dan menjadi bagian dalam kepribadiannya.
3. Pihak pengambil kebijakan pendidikan untuk mewujudkan program pelaksanaan pendidikan karakter anak.
4. Para akademisi untuk memperkaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan di pendidikan kewarganegaraan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:50:00

PERAN FORUM MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN TERHADAP KOMPETENSI GURU DI MGMP GEOGRAFI

PERAN FORUM MUSYAWARAH GURU MATA PELAJARAN TERHADAP KOMPETENSI GURU DI MGMP GEOGRAFI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN IPS)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Belajar dari pengalaman negara-negara maju di dunia ini, tidak dapat dipungkiri bahwa masa depan bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan peradaban manusia. Pendidikan berperan dalam membentuk pribadi manusia yang baik menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, sejalan dengan reformasi nasional saat ini pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, karena dengan menerapkan sistem pendidikan nasional yang baik dan ditunjang pula oleh guru yang bermutu dan profesional diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu bersaing dalam era globalisasi (Sujarwo dan Bujang Rahman, 2008 : 1)
Salah satu masalah krusial yang dihadapi bangsa ini adalah rendahnya mutu pendidikan, yang bermuara pada lemahnya daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) dan rendahnya produktifitas manusia Indonesia pada umumnya. Kualitas pendidikan Indonesia yang oleh banyak kalangan masih dianggap rendah ini diperlihatkan dengan indikator Human Development Index (HDI) Indonesia yang masih rendah pada (tahun 2004 peringkat 111 dari 117 negara dan tahun 2005 peringkat 110 di bawah Vietnam dengan peringkat 108). Bandingkan dengan negara Cina yang memiliki peringkat 111 pada tahun 1995 tetapi pada tahun 2005 sudah mencapai peringkat 85, suatu kemajuan yang memiliki prestasi tersendiri.
Dibandingkan dengan kualitas sistem pendidikan dikaitkan dengan daya saing tenaga kerja pada 12 negara Asia, peringkatnya sangat jauh dengan rasio 6,59 menempati posisi akhir paling bawah, bahkan di bawah negara Malaysia dan Vietnam. Ini menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja di Indonesia tidak mampu bersaing di tingkat Internasional khususnya di kawasan Asia.
Persoalan yang dihadapi sektor pendidikan amatlah kompleks, salah satunya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek substansial seperti kelayakan mengajar dan sulitnya mengimplementasikan kurikulum yang memiliki basis kompetensi. 
Dalam konteks reformasi pendidikan, guru adalah unsur utama dalam proses pendidikan. Tugas guru sangat kompleks, selain bertugas mentransfer pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, guru juga mempunyai tugas mendidik membantu perkembangan semua potensi peserta didik agar mereka menjadi matang dan dewasa sehingga mampu berkiprah di masa yang akan datang. Sangat disadari bahwa semua harapan itu, salah satu kata kuncinya adalah pendidikan, dan kata kunci di dalam pendidikan itu adalah guru. Guru adalah unsur terdepan dalam keseluruhan proses pendidikan. Oleh karena itu sangatlah wajar jika saat ini pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap berbagai aspek kehidupan guru (Sujarwo dan Bujang Rahman, 2008 : 1).
Bermula dari rendahnya kompetensi guru, kurang memadainya fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan, lemahnya unsur manajemen di tingkat satuan pendidikan, hingga kurangnya partisipasi dari unsur-unsur masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Semua itu merupakan rangkaian masalah yang membutuhkan penanganan serius dan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk mengatasinya. Oleh karena itu untuk meningkatkan mutu pendidikan, dibutuhkan upaya-upaya yang sistematis, komprehensif dan konsisten serta menyentuh pada aspek-aspek yang spesifik dalam sistem pendidikan itu sendiri.
Guru adalah garda depan dari sistem pendidikan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu maka harus dipastikan juga guru-guru yang menyelenggarakan kegiatan pembelajaran bagi siswa di sekolah, juga sudah bermutu. Terlepas dari atmosfer politik yang tidak begitu menguntungkan bagi guru, secara jujur juga harus diakui, guru masih belum mampu tampil optimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya. Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial yang harus dimiliki oleh guru sebagai agen pembelajaran sebagaimana diamanatkan PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), pasal 28 ayat 3 masih dipertanyakan banyak kalangan (Sawali Tuhusetya, 2008 : 1)
Dari keempat kompetensi yang harus dimiliki guru, menurut Sawali Tuhusetya (2008 : 1) dua di antaranya dinilai masih menjadi problem serius dan krusial di kalangan guru terutama kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Dari aspek kompetensi pedagogik, guru dinilai belum mampu mengelola pembelajaran secara maksimal, baik dalam hal pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, maupun pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dari aspek kompetensi profesional, banyak guru yang dianggap masih gagap dalam menguasai materi ajar secara luas dan mendalam sehingga gagal menyajikan kegiatan pembelajaran yang bermakna dan bermanfaat bagi siswa.
Dengan melihat keadaan guru di lapangan yang sangat bervariasi dilihat dari latar belakang pendidikan, pangkat dan golongan, masa kerja, pengalaman mengajar, serta keadaan wilayah, keberadaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kualitas mata pelajaran. Terutama untuk menyamakan persepsi, substansi materi, pemilihan metode, serta penentuan pola evaluasi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan kondisi yang ada. Mengingat setiap mata pelajaran bersifat dinamis dan melibatkan manusia.
Kompetensi guru yang dinilai masih lemah kini tengah diupayakan secara serius oleh pemerintah melalui Dinas Pendidikan, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dan P4TK dalam bentuk program pemberdayaan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (SMP dan SMA).
Kegiatan-kegiatan MGMP pada umumnya bertujuan memotivasi para guru untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam membuat perencanaan, melaksanakan, dan melakukan evaluasi program pembelajaran, sehingga terwujud proses pembelajaran yang bermutu di kelas. Selain itu kegiatan MGMP juga dapat menjadi ajang untuk mendiskusikan dan mencari solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi para guru dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah, menjadi sumber informasi yang memungkinkan para guru memperoleh berbagai pengetahuan dan wawasan mengenai perkembangan yang terjadi, inovasi-inovasi di bidang pendidikan dan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum sejak anggaran tahun 2001 telah merintis revitalisasi MGMP dan telah disosialisasikan di daerah. Sejalan dengan amanah otonomi daerah, peran dan fungsi MGMP untuk meningkatkan profesionalisme dalam upaya menyelenggarakan class reform dan perubahan paradigma reorientasi pembelajaran di kelas (Dikmenum, 2004 : 2)
Karena itu cukup beralasan jika pemerintah memandang bahwa keberadaan MGMP amat potensial sebagai salah satu leading sector dalam upaya peningkatan kompetensi profesional guru. Hal ini diwujudkan oleh pemerintah dengan pemberian dana block grant bagi pemberdayaan MGMP yang disalurkan melalui LPMP di seluruh Indonesia.
Apabila melihat fenomena di lapangan menunjukkan bahwa sesungguhnya peran dan eksistensi MGMP khususnya di Kabupaten X masih dipertanyakan baik dari segi kuantitas maupun kualitas kinerjanya sesuai dengan tujuan keberadaan MGMP. Hal ini tercermin dari hasil Ujian Nasional (UN) tahun 2008 rayon Kabupaten X tingkat SMA pada jurusan IPS yang perlu dicermati lebih jauh, dimana mata pelajaran Geografi menempati nilai rata-rata terendah dibandingkan mata pelajaran yang lain. Guru yang memiliki kompetensi dan kemampuan profesional yang tinggi dapat membawa siswa pada prestasi hasil belajar yang tinggi. Salah satu tolak ukur keberhasilan siswa adalah nilai UN, disamping faktor-faktor keberhasilan pembelajaran dilihat dari sisi yang lain. Melihat hal tersebut di atas tampaknya cukup menjadi bahan yang perlu dikaji dan menjadi pokok permasalahan pendidikan yang ada di daerah.
Untuk itu agar dapat memahami fenomena ini secara lebih akurat dan mendalam, perlu dilakukan suatu penelitian tentang "Peran Forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran Terhadap Kompetensi Guru di MGMP Geografi Tingkat SMA".

B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah guru-guru geografi yang tergabung dalam MGMP Geografi SMA di Kabupaten X. Aspek yang akan diteliti yaitu persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP, partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP, kompetensi profesional geografi guru, hubungan partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP dengan kompetensi profesional geografi guru, dan hubungan persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP dengan kompetensi profesional geografi guru.

C. Perumusan Masalah
1. Bagaimana persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP tingkat SMA di Kabupaten X ?
2. Bagaimana partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP di Kabupaten X ?
3. Bagaimana kompetensi profesional geografi guru di Kabupaten X ?
4. Bagaimana hubungan antara partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP dengan kompetensi profesional geografi guru ?
5. Bagaimana hubungan persepsi guru geografi terhadap eksistensi dengan kompetensi profesional geografi guru ?
6. Bagaimana hubungan antara partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP dan persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP dengan kompetensi profesional geografi guru ?

D. Tujuan Penelitian
Untuk mengidentifikasi dan memberi gambaran yang kongkrit bagaimana peran MGMP Geografi SMA di Kabupaten X dalam meningkatkan kompetensi profesional geografi guru. Kondisi yang akan diteliti adalah persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP, partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP, dan kompetensi profesional geografi guru.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi teoritis dan praktis, sehingga dapat diharapkan : 
1. Secara teoritis-akademis, penelitian ini memberikan peluang bagi perluasan kajian akademik berkaitan dengan peran forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Geografi SMA dalam meningkatkan kompetensi profesional geografi guru serta sebagai bahan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Secara praktis menjadi referensi yang dapat dipakai untuk mengembangkan program-program pemberdayaan MGMP ke depan, baik yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan, LPMP, P4TK, maupun pihak-pihak terkait.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:48:00

EFEKTIFITAS LESSON STUDY BERBASIS SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU SMP

EFEKTIFITAS LESSON STUDY BERBASIS SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU SMP (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan pada tahap manapun dalam perjalanan hidupnya. Peningkatan dan pemerataan pendidikan merupakan salah satu aspek pembangunan yang mendapat prioritas utama dari Pemerintah Indonesia. Sistem Pendidikan Nasional yang sekarang berlaku diatur melalui Undang-Undang Pendidikan Nasional.
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa : Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Berdasarkan yang terkandung dari undang-undang dasar pendidikan dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas dan mampu mengikuti kemajuan teknologi yang terus berkembang. Lebih jauh diharapkan pendidikan juga dituntut untuk menghasilkan sumber daya manusia unggul yang dapat membawa bangsa ini segera bangkit dari ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan untuk mencapai kemajuan yang diharapkan.
Kualitas pendidikan di Indonesia belum sesuai dengan yang diharapkan Undang-Undang Dasar. Gambaran rendahnya mutu pendidikan tercermin dari beberapa hasil survey yang dilakukan dalam bidang MIPA, the Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS, 2003) melaporkan bahwa di antara 45 negara peserta TIMSS, peserta didik SMP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-36 untuk IPA dan ke-34 untuk Matematika. Siswa-siswa Indonesia hanya dapat menjawab soal-soal hafalan tetapi tidak dapat menjawab soal-soal yang memerlukan nalar atau keterampilan proses. Proses pembelajaran yang baik seharusnya menghasilkan nilai tes yang baik. Paradigma yang hanya mementingkan hasil tes harus segera diubah menjadi memperhatikan proses pembelajaran, sementara hasil tes merupakan dampak dari proses pembelajaran yang benar.
Senada dengan laporan TIMSS, hasil studi UNDP pada tahun 2005 mengenai indeks pembangunan manusia yang meliputi penilaian kemajuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pendapatan perkapita menunjukkan bahwa peringkat Indonesia berada pada urutan 110 di dunia. Peringkat ini jauh di bawah Negara-negara tetangga di Asia tenggara seperti Singapura (25), Brunei Darusalam (33), Malaysia (61) dan Thailand (73), Filipina (84) dan Vietnam (108). Ini menunjukan kualitas sumber daya manusia kita masih kalah di bawah negara-negara lain. Hal ini membuktikan bahwa ada permasalahan dalam pendidikan yang harus segera dibenahi agar tercipta pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan yang berkualitas hanya dapat diwujudkan apabila terdapat di sekolah beserta el em en yang melengkapi seperti pengajar, sarana prasarana, dan tenaga administratif lainnya dengan kualitas yang baik. Tanpa mengabaikan peranan faktor penting lainnya, mutu guru telah ditemukan oleh berbagai studi penelitian sebagai faktor yang paling penting dalam mempengaruhi mutu pendidikan. Tugas guru bukan hanya mentransfer pengetahuan yang dimiliki guru kepada siswa dengan target tersampaikannya topik-topik yang tertulis dalam dokumen kurikulum kepada siswa. Pada umumnya guru tidak memberi inspirasi kepada siswa untuk berkreasi dan tidak melatih siswa untuk hidup mandiri.
Kenyataan yang terjadi di lapangan masih terdapat kesenjangan antara praktek pendidikan di lapangan dengan kebijakan pendidikan sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan berbunyi sebagai berikut "Proses pendidikan harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik". Dalam prakteknya pelajaran yang disajikan guru kurang menantang siswa untuk berpikir. Akibatnya siswa tidak menyenangi pelajaran. Proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas tidak ada yang tahu kecuali guru itu sendiri. Kenyataan itu ditambah lagi dengan kurang berfungsinya kepala sekolah dan pengawas. Kepala sekolah dan pengawas sebagai bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan pendidikan di sekolah sangat jarang masuk kelas melakukan observasi terhadap pembelajaran. Kepala sekolah atau pengawas umumnya lebih mementingkan dokumen administrasi guru, seperti renpel daripada masuk kelas melakukan observasi dan supervisi terhadap pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian Sobari (2009) mengatakan bahwa pelaksanaan supervisi menunjukan korelasi yang signifikan terhadap peningkatan kompetensi guru.
Akibatnya guru tidak tertantang melakukan persiapan mengajar dengan baik, memikirkan metoda mengajar yang bervariasi, mempersiapkan bahan untuk percobaan di laboratorium. Ini berarti bahwa selama ini guru kurang memperhatikan pentingnya proses pembelajaran di dalam ruang kelas. Semestinya, guru lebih memperhatikan proses pembelajaran dan hasil tes merupakan dampak dari proses pembelajaran.
Pemerintah selalu melakukan usaha peningkatan profesionalisme guru diantaranya dengan disahkannya Undang-Undang RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang tersebut semakin menegaskan komitmen pemerintah dalam meningkatkan mutu, daya saing, dan relevansi pendidikan. Undang-undang tersebut menuntut penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru menjadi profesional. Seorang guru akan mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi tapi guru dituntut untuk mencapai sejumlah persyaratan untuk menjadi seorang profesional. Pengakuan guru sebagai tenaga profesional akan diberikan manakala telah memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Kualifikasi diperoleh melalui program sarjana atau diploma IV. Sertifikasi diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi yang dimaksud undang-undang tersebut adalah kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Penjabaran jenis-jenis kompetensi tersebut adalah sebagai berikut : 
1. Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 
2. Kompetensi Kepribadian yaitu memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.
3. Kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi.
4. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, dan masyarakat sekitar.
Telah banyak penelitian yang mengungkapkan tentang pengembangan kompetensi guru diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Endah Yanuari (2009) yang mengemukakan bahwa pengembangan profesi guru melalui seminar, diklat, MGMP/KKG, IHT memberikan pengaruh 49,30 % terhadap kompetensi pedagogik guru.
Untuk mencapai kompetensi-kompetensi tersebut pemerintah telah melakukan peningkatan mutu guru melalui berbagai pendidikan dan pelatihan guru. Namun, usaha ini kurang berdampak terhadap peningkatan mutu guru. Sedikitnya ada dua hal penting mengapa pendidikan dan pelatihan guru kurang efektif, pertama materi pelatihan tidak berbasis pada masalah di kelas. Materi pelatihan yang sama diberikan pada semua guru tanpa mengenal daerah asal padahal kondisi suatu daerah belum tentu sama. Kedua, hasil penelitian hanya menjadi pengetahuan saja, sedikit yang diterapkan di kelas karena tidak ada monitoring setelah pelatihan.
Untuk menjawab semua kekurangan dari fakta-fakta di atas dibutuhkan suatu inovasi bam untuk lebih meningkatkan profesionalisme guru. Oleh karena dikembangkan suatu model in-service training yang lebih berfokus pada upaya pemberdayaan guru sesuai kapasitas serta permasalahan yang dihadapi masing-masing. Inovasi tersebut adalah Lesson Study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lesson Study bukan metoda atau strategi pembelajaran tetapi kegiatan Lesson Study dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru.
Keberhasilan program lesson study dalam meningkatkan profesionalisme guru bermula di Jepang, telah menyebar ke berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia juga telah melakukan kegiatan lesson study dan merasakan manfaatnya dalam meningkatkan kompetensi guru. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui lesson study dalam mata pelajaran MIPA di Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur diantaranya menumbuhkan kesadaran untuk berbagi pengalaman, memecahkan masalah-masalah PBM bersama-sama, dan terbiasa mendokumentasikan temuan-temuan sebagai bahan untuk pembuatan karya tulis ilmiah.
Keberhasilan kegiatan lesson study bam dirasakan oleh mata pelajaran matematika dan IP A, sehingga perlu ditularkan untuk materi pelajaran lainnya di sekolah. Program lesson study berbasis MGMP perlu dikembangkan menjadi Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS). Program LSBS lebih efektif dan menyeluruh karena melibatkan seluruh guru dalam suatu sekolah.
SMP X sebagai salah satu sekolah yang terdapat di Kabupaten X ditunjuk sebagai sekolah penyelenggara Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) di kabupaten X berkesempatan untuk mengoptimalkan pelaksanaan lesson study dalam meningkatkan kompetensi guru.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang "Efektifitas Kegiatan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) dalam meningkatkan Kompetensi Guru pada SMP X"

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, dapatlah kiranya dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) di SMP X ? 
2. Sejauh mana Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) dapat meningkatkan kompetensi guru SMP X ?
3. Masalah-masalah apa saja yang muncul dalam pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) di SMP X ?
4. Bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) di SMP X ?

C. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah diatas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) dapat meningkatkan kompetensi guru di SMP X. Secara lebih khusus tujuan penelitian bisa dirinci lagi sebagai berikut : 
1. Mengetahui bagaimanakah pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) di SMP X ?
2. Mengetahui sejauh mana Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) dapat meningkatkan kompetensi guru SMP X ?
3. Menganalisis masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) di SMP X ?
4. Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) di SMP X ?

D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan tentang Lesson Study Berbasis Sekolah dan manfaatnya dalam meningkatkan kompetensi guru. 
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak yang mempunyai kaitan dengan penelitian, antara lain : 
a. Bagi Pimpinan Pendidikan, sebagai bahan balikan untuk pembinaan, pengembangan serta mempersiapkan dan menyempurnakan penyelenggaraan Lesson Study Berbasis Sekolah sehingga tercapai tujuan pendidikan pada umumnya dan lembaga pendidikan dan menengah yang berada dalam pembinaannya.
b. Bagi Sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka meningkatkan pembinaan terhadap guru, maupun pengelola sekolahnya sehingga sikap profesionalisme guru dan mutu sekolah dapat ditingkatkan.
c. Bagi guru, sebagai bahan kajian agar guru selalu bemsaha mengembangkan kompetensinya, memperkaya dan meremajakan kemampuannya dalam mengembangkan program pengajaran. 
d. Bagi para peneliti, hasil penelitian ini merupakan informasi awal untuk dikembangkan peneliti lainnya di bidang pendidikan, terutama yang berhubungan dengan Lesson Study Berbasis Sekolah sebagai sarana pembinaan untuk meningkatkan kompetensi guru sehingga menghasilkan guru-guru yang profesional.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:42:00

Prinsip-prinsip Belajar, Pembelajaran, dan Penilaian MATA PELAJARAN IPS SMP / MTS KURIKULUM 2013

A. Pengertian

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang mengkaji tentang isu-isu sosial dengan unsur kajiannya dalam konteks peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi. Tema yang dikaji dalam IPS adalah fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat baik masa lalu, masa sekarang, dan kecenderungannya di masa-masa mendatang.  

Pada jenjang SMP/MTs, mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diharapkan dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.




B. Rasional

Saat ini Bangsa Indonesia sedang menghadapi banyak tantangan dalam  berbagai bidang kehidupan. Dalam menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan kekuatan diri dari masing-masing warga negara dan kekuatan kohesi sosial dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya. Kekuatan diri yang diharapkan adalah menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab (Lihat UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). 

Sedangkan kohesi sosial yang dibutuhkan adalah kekuatan kebersamaan, komitmen, dan kearifan untuk bahu membahu dalam membangun bangsa.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, bangsa Indonesia perlu memupuk nasionalisme budaya (cultural nationalism) yang berarti pengakuan terhadap budaya etnis yang beragam, yang lahir dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia yang bhinneka. 

Setelah itu perlu mengelola sumberdaya alam untuk menjamin kesejahteraan bangsanya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan prinsip keadilan sosial, dan meningkatkan daya saing produk barang dan jasa, melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai subyek dalam persaingan tersebut. 

Dari semua tantangan tersebut, pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) mengambil peran untuk memberi pemahaman yang luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan, yaitu:

(1)  memperkenalkan konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan  masyarakat dan lingkungannya, 

(2) membekali kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,  inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial,

(3)  memupuk komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, dan

(4) membina kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

C. Tujuan

Tujuan utama dari pembelajaran IPS ini adalah untuk membina para peserta didik menjadi warganegara yang mampu mengambil keputusan secara demokratis dan rasional yang dapat diterima oleh semua golongan yang ada di dalam masyarakat. Adapun rincian tujuan mata pelajaran IPS adalah agar peserta didik memiliki kemampuan:

1.   Mengenal  konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan  masyarakat dan lingkungannya;

2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,  inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial;

3.   Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan,

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. 

D. Ruang Lingkup Materi IPS

Ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1.  Keruangan dan konektivitas antar ruang dan waktu ;

2. Perubahan masyarakat Indonesia pada zaman praaksara, zaman Hindu-Buddha dan zaman Islam, zaman penjajahan dan tumbuhnya semangat kebangsaan, masa pergerakan kemerdekaan sampai dengan awal reformasi;

3. Jenis dan fungsi kelembagaan sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam masyarakat;

4.  Interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi;

E. Prinsip-prinsip Belajar, Pembelajaran, dan Penilaian

Proses pembelajaran yang diterapkan dalam kurikulum 2013 adalah pendekatan proses sain. Beberapa keterampilan yang dibina antara lain:

1.  Keterampilan berpikir yaitu kemampuan mendeskripsikan, mendefinisikan, mengklasifikasi, membuat hipotesis, membuat generalisasi, memprediksi, membandingkan dan mengkontraskan, dan melahirkan ide-ide baru;

2.   Keterampilan akademik yaitu kemampuan membaca, menelaah, menulis, berbicara, mendengarkan, membaca dan menginterpretasi peta, membuat garis besar, membuat grafik dan membuat catatan.

3. Keterampilan penelitian yaitu mendefinisikan masalah, merumuskan suatu hipotesis, menemukan dan mengambil data yang berhubungan dengan masalah, menganalisis data, mengevaluasi hipotesis dan menarik kesimpulan, menerima, menolak atau memodifikasi hipotesis dengan tepat.

4.   Keterampilan sosial yaitu kemampuan bekerjasama, memberikan kontribusi dalam tugas dan diskusi kelompok, mengerti tanda-tanda non-verbal yang disampaikan oleh orang lain, merespon berbagai masalah, memberikan penguatan terhadap kelebihan orang lain, dan mempertunjukkan kepemimpinan yang tepat.

Dengan landasan pada harapan di atas, pembelajaran IPS memiliki lima langkah pokok yaitu:

1. Mengamati yaitu kegiatan belajar dari lingkungannya melalui indera penglihat, pembau, pendengar, pengecap dan peraba pada waktu mengamati suatu objek. Tujuannya untuk memperoleh pengalaman dan melihat fakta tentang keadaan lingkungan sekitarnya;

2. Menanya yaitu kegiatan peserta didik untuk mengungkapkan apa yang ingin diketahuinya baik yang berkenaan dengan suatu objek, peristiwa, atau suatu proses tertentu;

3.  Mengeksperimen, yaitu kegiatan mengumpulkan data melalui kegiatan uji coba, mengeksplorasi lebih mendalam, dan mengumpulkan data sehingga data yang telah diperoleh dapat dianalisis dan disimpulkan;

4. Mengasosiasi yaitu kegiatan peserta didik untuk membandingkan antara data yang telah diolahnya dengan teori yang ada sehingga dapat ditarik kesimpulan dan atau ditemukannya prinsip dan konsep penting;

5. Mengomunikasikan yaitu kegiatan peserta didik dalam mendiskripsikan dan menyampaikan hasil temuannya dari kegiatan mengamati, menanya, uji coba, dan mengasosiasi.

Kelima proses tersebut dapat diisi dengan berbagai kegiatan yang relevan. Penilaian peserta didik juga diarahkan pada kelima proses pembelajaran. Dengan demikian strategi penilaian  proses dan hasil belajar yang digunakan adalah penilaian kelas. Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai teknik/cara, seperti penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya siswa (portfolio), dan penilaian diri.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:48:00