Cari Kategori

PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN SEKTOR PERTAMBANGAN DAN OTOMOTIF DI INDONESIA

PENGARUH CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA PERUSAHAAN SEKTOR PERTAMBANGAN DAN OTOMOTIF DI INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah
Dunia bisnis menghadapi dua kutub yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Bisnis sangat mendambakan efisiensi yang antara lain harus disertai upaya penekanan biaya. Setiap rupiah yang dibayarkan harus dianggap sebagai input yang harus dapat dipertanggungjawabkan dan tampak jelas pengaruhnya pada output. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak memenuhi kriteria itu adalah pemborosan yang harus ditekan. Di lain sisi bisnis mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan di mana ia beroperasi. Lingkungan menuntut berbagai hal yang kadang-kadang justru menghambat perusahaan untuk bekerja efisien.

Pandangan terhadap tuntutan di atas juga terbelah dua. Sebagian manajer memandangnya dengan positif. Sudah sepantasnyalah jika perusahaan menyisihkan sebagian pendapatannya untuk lingkungan sebagai balas jasa bagi penyediaan berbagai sumber daya. Kalangan ini menganggap bahwa perusahaan berhutang pada lingkungan, sehingga perlu untuk melakukan sesuatu sebagai ekspresi pembayaran utang tersebut. Sebagian manajer lain berpendapat sebaliknya. Perusahaan telah membayar berbagai kewajiban-kewajiban dengan baik (pajak, bea, restribusi, bunga, upah, dan sebagainya) sehingga tidak perlu lagi untuk membuat pengeluaran-pengeluaran lain yang tidak perlu. Perusahaan bukan peminjam, tetapi membeli sumber daya dengan harga yang pantas (Asri, 2005).

Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (Hartanti dan Monika, 2008). Keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana reaksi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Contoh di Indonesia adalah kasus Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara, kasus Newmont di Minahasa dan kasus Freeport Indonesia di Papua.

Kesadaran tentang pentingnya mempraktikkan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (Hartanti dan Monika, 2008). Indonesia tidak ketinggalan untuk menekankan penerapan tanggung jawab sosial perusahaan bagi perusahaan. Di Indonesia, kesadaran akan perlunya menjaga lingkungan tersebut diatur oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Pasal 74 tahun 2007, di mana perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang/berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Pemikiran yang melandasi tanggung jawab sosial perusahaan yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban kepada pemengang saham atau shareholder tetapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban di atas. Tanggung jawab sosial dari perusahaan terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholders, termasuk di dalamnya adalah pelanggan atau customer, pegawai, komunitas, pemilik atau investor, pemerintah, supplier bahkan juga competitor (Nurlela dan Islahuddin, 2008). Tanggung jawab sosial perusahaan menjadikan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines yaitu memperhatikan juga masalah sosial dan lingkungan (Mahoney dan Roberts, 2003).

Penelitian ini mencoba untuk menemukan apakah terdapat pengaruh tanggung jawab sosial perusahaan terhadap kinerja keuangan yang tercermin dalam return on asset (ROA), return on equity (ROE) dan return on sales (ROS) dengan menggunakan ukuran perusahaan yang tercermin dalam total asset sebagai variabel moderating pada perusahaan sektor pertambangan dan otomotif di Indonesia selama tahun 2005 hingga 2007. Penelitian ini juga mencoba untuk menemukan perbedaan tanggung jawab sosial antara perusahaan sektor pertambangan dan perusahaan sektor otomotif di Indonesia. Dalam penelitian ini hanya memakai ukuran perusahaan yang dicerminkan dalam total aset sebagai variabel moderating karena dianggap sudah mewakili indikator kinerja keuangan seperti dalam penelitian Mahoney dan Roberts (2003) dan Fauzi, Mahoney dan Rahman (2007) yang menyebutkan bahwa total aset merupakan money machine untuk menghasilkan penjualan dan pendapatan perusahaan.

Penulis tertarik untuk meneliti tanggung jawab sosial perusahaan pada perusahaan sektor pertambangan dan sektor otomotif karena dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan penggunaan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilaporkan dalam laporan tahunan perusahaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan tanggung jawab sosial antara perusahaan sektor pertambangan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam dan selama ini banyak disorot oleh berbagai pihak karena masalah sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya dengan perusahaan sektor otomotif yang usahanya tidak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam sebagaimana tercantum dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini dengan judul "Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan pada Perusahaan Sektor Pertambangan dan Otomotif di Indonesia".

B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah tanggung jawab sosial perusahaan memiliki pengaruh terhadap return on asset (ROA) perusahaan ?
2. Apakah tanggung jawab sosial perusahaan memiliki pengaruh terhadap return on equity (ROE) perusahaan ?
3. Apakah tanggung jawab sosial perusahaan memiliki pengaruh terhadap return on sales (ROS) perusahaan ?
4. Apakah ukuran perusahaan memiliki pengaruh sebagai variabel moderating dalam hubungan antara corporate social responsibility dan kinerja keuangan ?
5. Apakah terdapat perbedaan tanggung jawab sosial perusahaan antara perusahaan sektor pertambangan dengan sektor otomotif di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memperoleh bukti empiris tanggung jawab sosial perusahaan memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
2. Mengetahui perbedaan tanggung jawab sosial perusahaan pada perusahaan sektor pertambangan dan perusahaan sektor otomotif di Indonesia.
3. Mengetahui pengaruh ukuran perusahaan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara corporate social responsibility dan kinerja keuangan.

D. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan pada perusahaan sektor pertambangan dan sektor otomotif di Indonesia yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI), serta bagaimana pengaruh tanggung jawab sosial terhadap kinerja keuangan perusahaan. Secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Dalam bidang akademik, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dengan segala komponen yang mempengaruhinya.
2. Bagi perusahaan, dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang pentingnya pertanggungjawaban sosial perusahaan dan sebagai pertimbangan dalam pembuatan kebijaksanaan perusahaan untuk lebih meningkatkan kepeduliannya pada lingkungan sosial.
3. Bagi peneliti lainnya, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dan kerangka kerja bagi penelitian selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Telaah Pustaka
Bab ini membuat landasan teori yang membuat teori-teori konseptual yang mendukung penelitian, kerangka pemikiran dan pengembangan hipotesis.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini mengulas metode penelitian yang mencakup desain penelitian, penentuan sampel, sumber data, teknik pengumpulan data, pengukuran variabel dan metode analisis data yang terdiri dari pengujian data dan pengujian hipotesis.
Bab IV : Analisis Data dan Pembahasan
Bab ini merupakan analisis penelitian, dalam bab ini membahas deskripsi hasil pengolahan data, pengujian hipotesis dan penjelasan pendukung dalam rangka penyusunan kesimpulan penelitian.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan, kesimpulan, implikasi keterbatasan serta saran bagi penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:53:00

ANALISIS ANGGARAN BIAYA PRODUKSI SEBAGAI ALAT PENGAWASAN

ANALISIS ANGGARAN BIAYA PRODUKSI SEBAGAI ALAT PENGAWASAN

1. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan perkembangan dunia usaha pada umumnya, banyak perusahaan yang berkembang menjadi perusahaan yang lebih besar. Sehubungan dengan perkembangan perusahaan tersebut, maka kegiatan-kegiatan yang ada dalam perusahaan menjadi bertambah banyak, baik jenis kegiatan maupun volume kegiatan yang dilaksanakan. Jika perusahaan berkembang menjadi besar atau perusahaan yang didirikan dengan skala perusahaan besar, maka perencanaan dan pengawasan kegiatan yang dilaksanakan haruslah memadai dengan besarnya perusahaan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang ada di dalam perusahaan semacam ini akan merupakan kegiatan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Kegagalan pelaksanaan salah satu kegiatan akan mempunyai akibat terhadap kegiatan lain di dalam suatu bagian, atau bahkan dengan bagian yang lain di dalam perusahaan. Dengan demikian, maka perencanaan dan pengawasan dalam perusahaan tersebut harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan secara terpadu. Dengan diharapkan pemborosan dapat dicegah atau setidak-tidaknya dapat dikurangi dari periode-periode sebelumnya.

Untuk menjawab tantangan dalam perusahaan, maka dewasa ini lazim dipergunakan anggaran sebagai sistem perencanaan, koordinasi dan pengawasan dalam perusahaan. Anggaran sebagai suatu sistem nampaknya cukup memadai untuk dipergunakan sebagai alat perencanaan, koordinasi dan pengawasan dari seluruh kegiatan perusahaan. Dengan mempergunakan anggaran, perusahaan akan dapat menyusun perencanaan dengan lebih baik sehingga koordinasi dan pengawasan yang dilakukan dapat memadai pula.

Anggaran merupakan kumpulan berbagai informasi yang diharapkan akan dapat dicapai di masa yang akan datang dalam suatu periode tertentu. Anggaran dibutuhkan manajemen untuk merencanakan semua aktivitas dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Selain sebagai alat perencanaan, anggaran juga mempunyai arti yang sangat penting dalam pengkoordinasian kegiatan. Dengan adanya koordinasi diharapkan kerja sama yang baik dari seluruh bagian untuk mencapai tujuan bersama.

Perencanaan terhadap anggaran harus disertai dengan pengawasan. Pengawasan bukan lagi dianggap sebagai tekanan dan unsur paksaan tetapi rasa tanggung jawab terhadap tujuan yang hendak dicapai untuk kepentingan dan kehidupan bersama. Pengawasan sangat berfungsi bagi manajemen untuk mengetahui bahwa aktivitas yang dilaksanakan dalam mencapai tujuan dapat berjalan seperti direncanakan. Pengawasan juga dimaksudkan untuk menilai sampai sejauh mana efisiensi telah dicapai dalam melaksanakan kegiatan. Dengan demikian, perencanaan merupakan salah satu unsur sistem pengawasan.

Penyusunan anggaran biaya produksi yang baik akan menunjang kegiatan produksi perusahaan sehari-hari yang nantinya akan menunjang seluruh kegiatan perusahaan. Demikian pula, pengawasan biaya produksi sebagai suatu fungsi memperbandingkan biaya produksi yang sebenarnya dengan anggaran biaya produksi. Dengan adanya perbandingan tersebut dapat dievaluasi apakah telah terjadi penyimpangan baik yang merugikan maupun yang menguntungkan.

Penyimpangan biaya yang terjadi, baik itu yang bersifat menguntungkan/merugikan perusahaan perlu dianalisis supaya lebih informatif dan akurat dalam pemakaiannya. Analisis ini perlu untuk meneliti dimana penyimpangan itu terjadi, apa penyebabnya dan siapa saja yang bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut. Lebih lanjut hasil analisis ini dapat digunakan pihak manajemen sebagai dasar untuk melakukan tindakan perbaikan dan juga sebagai pertimbangan untuk mengambil keputusan-keputusan yang relevan.

PT. Coca Cola Bottling Indonesia-X merupakan sebuah perusahaan pembotolan yang bergerak dalam bidang minuman ringan (soft drink). Adapun minuman yang diproduksi adalah Coca Cola, Sprite, Fanta, Frestea, dan Hi-C. Seperti yang kita ketahui, penjualan produk-produk ini sampai pada daerah yang terpencil sekalipun. Ini menggambarkan bahwasanya penjualan merupakan hal yang sangat berpengaruh pada pendapatan perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan penghematan biaya produksi agar laba yang nantinya diperoleh perusahaan akan maksimal.

Dari hasil pengamatan, penulis menjumpai adanya perbedaaan/varian yang cukup signifikan antara pos-pos biaya produksi dengan realisasinya untuk periode 2003 dan 2004.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana peranan anggaran biaya produksi sebagai alat pengawasan pada perusahaan tersebut. Oleh sebab itu, penulis memilih judul "Analisis Anggaran Biaya Produksi Sebagai Alat Pengawasan pada PT. Coca Cola Bottling Indonesia X."

2. Batasan dan Perumusan Masalah
a. Batasan Masalah
Karena banyaknya produk yang dihasilkan oleh PT Coca Cola Bottling Indonesia-X, maka penulis membatasi permasalahan pada produk Coca Cola kemasan botol dengan ukuran 6,5 OZ atau ukuran 193 ml.
b. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perusahaan menyusun anggaran biaya produksinya dan apakah anggaran biaya produksi pada PT. Coca Cola Bottling Indonesia-X sebagai alat pengawasan telah berfungsi dengan baik ?
2. Mengapa terjadi penyimpangan antara anggaran dengan realisasi biaya produksi ?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana perusahaan menyusun anggaran biaya produksinya dan apakah anggaran biaya produksi pada PT. Coca Cola Bottling Indonesia-X sebagai alat pengawasan telah berfungsi dengan baik.
2. Untuk mengetahui mengapa terjadi penyimpangan antara anggaran dengan realisasi biaya produksi.
b. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain :
1. Bagi penulis, menambah wawasan dan pengetahuan tentang peranan anggaran biaya produksi sebagai alat pengawasan.
2. Bagi perusahaan, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan referensi dan informasi dalam menentukan dan menerapkan kebijakan dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam anggaran perusahaan.
3. Bagi mahasiswa lain, dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam penelitian sejenis.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:51:00

IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) TERHADAP MASYARAKAT DI LINGKUNGAN PTPN

TESIS IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) TERHADAP MASYARAKAT DI LINGKUNGAN PTPN X (PRODI : ILMU HUKUM)

A. Latar Belakang
Seiring dengan peradaban modern eksistensi suatu perusahaan atau dunia usaha terus menjadi sorotan. Salah satu isu penting yang masih terus menjadi perhatian dunia usaha hingga saat ini adalah soal tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang selanjutnya dalam penulisan ini disingkat CSR. Sebagai bagian dari konfigurasi hubungan antara dunia bisnis dan masyarakat, persoalan tanggung jawab sosial perusahaan mengalami rumusan konseptual yang terus berubah, sejalan dengan perkembangan yang dialami oleh dunia usaha itu sendiri. Pada awalnya dan untuk waktu yang sangat panjang, dunia usaha barang kali tidak perlu atau tidak pernah berfikir mengenai tanggung jawab sosial. Hal ini karena proposi teori klasik, sebagaimana dirumuskan oleh Adam Smith tugas korporasi diletakkan semata-mata mencari keuntungan, "the only duty of the corporation is to make profit. Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meningkatkan keuntungan.

Secara perlahan ideologi " the only duty of the corporation is to make profit" yang dianut oleh korporasi telah berubah dengan munculnya kesadaran kolektif bahwa kontiunitas pertumbuhan dunia usaha tidak akan terjadi tanpa dukungan yang memadai dari stakeholder yang melingkupinya seperti, manajer, konsumen, buruh dan anggota masyarakat. Inti dari pandangan ini adalah bahwa dunia usaha tidak akan sejahtera jika stakeholdernya juga tidak sejahtera.

Perusahaan itu sesungguhnya tidak hanya memiliki sisi tangung jawab ekonomis kepada para shareholders seperti bagaimana memperoleh profit dan menaikkan harga saham atau tanggung jawab legal kepada pemerintah, seperti membayar pajak, memenuhi persyaratan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan ketentuan lainnya. Namun, jika perusahaan ingin eksis dan ekseptabel, harus disertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial.

CSR pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik sejak hadirnya tulisan Howard Bowen, Social Responsibility of the Businessmen tahun 1953 (Harper and Row, New York). CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan berbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Singkatnya, konsep CSR mengandung makna, perusahaan atau pelaku bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan. Lebih khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari perilaku korporasi, seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktik tenaga kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan, perlindungan konsumen, sumbangan sosial, standar-standar pelimpahan kerja dan barang, serta operasi antar negara.

Wacana CSR semakin terasa dengan diterbitkannya buku "Silent Spring" karangan Rachel Carson yang membahas pertama kalinya tentang persoalan lingkungan dalam tataran global. Karyanya menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran.Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian kian luas.Pemikiran korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam The future Capitalism yang ditulis Lester Thurow tahun 1966. Menurutnya, kapitalisme-yang menjadi mainstream saat itu tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang nantinya disebut sustainable society.

Di era 1970 an CSR dianggap sebagai isu marjinal tetapi kemudian para pebisnis dan pemimpin pemerintahan menyadari sepenuhnya bahwa mustahil membebankan seluruh pemecahan masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan dipundak pemerintah, sementara di lain sisi, pihak perusahaan punya kekuatan yang hampir sama dengan pemerintah karena kemampuan ekonominya.

Di Indonesia kesadaran para pelaku bisnis dalam menerapkan CSR relatif baru, yaitu awal 1990. Adanya anggapan para pelaku bisnis di Indonesia bahwa tanggung jawab sosial dipandang sebagai aktivitas yang bersifat buang-buang biaya. Padahal program CSR justru memberikan banyak keuntungan pada perusahaan.

Secara perlahan dalam dunia usaha di Indonesia mulai muncul spektrum baru berkaitan dengan pentingnya dunia usaha mempertajam kesadaran mereka tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Korporasi harus memandang bahwa tanggung jawab sosial perusahaan perlu diupayakan di lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Dalam lingkup internal perusahaan, implementasi CSR merupakan keputusan strategis perusahaan yang secara sadar di desain sejak awal untuk menerapkan lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan karyawan, aspek bahan baku dan limbah yang ramah lingkungan, serta semua aspek dalam menjalankan usaha dijamin tidak menerapkan praktek-praktek jahat. Dalam lingkup eksternal implementasi CSR harus dapat memperbaiki dalam aspek sosial dan ekonomi pada lingkungan sekitar perusahaan pada khususnya serta lingkungan masyarakat pada umumnya. Tanggung jawab eksternal ini menjadi kewajiban bersama antar entitas bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan yang berkelanjutan. Maka tidak berlebihan seperti judul dalam konperensi CSR, bahwa dalam sebuah entitas bisnis, responsible business is good business.

Pembangunan industri sebenarnya memiliki dampak positif dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, dan dapat menjadi aset pembangunan nasional maupun daerah. Namun kenyataan selama puluhan tahun praktik bisnis dan industri korporasi Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat sekitar, tetap tidak bisa ditampik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) XXXX- XXXX, mengenai permasalahan dan agenda pembangunan, menegaskan bahwa telah terjadi ekses negatif dari pembangunan, yaitu kesenjangan antar golongan pendapatan, antar wilayah dan antar kelompok masyarakat.

Masyarakat yang sejak awal telah miskin, kenyataannya semakin termarginalkan dengan kehadiran berbagai jenis korporasi. Korporasi tidak melaksanakan CSR secara baik terhadap masyarakat. Alih-alih melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar dengan melakukan community development, korporasi cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan oleh korporasi, biasanya bersifat charity, seperti memberi sumbangan, santunan, sembako, dan lain-lain. Program charity ini menjadi dalih bahwa mereka juga memiliki kepedulian sosial. Dengan konsep charity, kapasitas dan akses masyarakat tidak beranjak dari kondisi semula, tetap marginal. Charity menjadi program yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa memutus rantai kemiskinan.

Hukum sebagai perangkat norma-norma kehidupan dalam bermasyarakat merupakan salah satu instrumen terciptanya aktivitas bisnis yang lebih baik. Para pelaku bisnis (perusahaan) dan masyarakat hendaknya tercipta hubungan yang harmonis. Untuk itulah perusahaan dan masyarakat harus dapat bersinergi, dalam hal ini perusahaan harus mampu menghapus segala kemungkinan kesenjangan yang terjadi. Perusahaan merupakan badan usaha yang berbadan hukum yang merupakan subjek hukum dengan demikian perusahaan mempunyai hak dan tanggung jawab hukum juga mempunyai tanggung jawab moral, dimana tanggung jawab moral ini dapat menjadi cerminan dari perusahaan tersebut.

Dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis itu sendiri, diyakini bahwa tidak benar kalau para manajer perusahaan hanya punya tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer perusahaan sebagai manusia dan sebagai manajer sekaligus mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral kepada orang banyak dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur masyarakat setempat dan seterusnya.Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer perusahaan tidak hanya tertuju kepada shareholders (pemegang saham) tetapi juga kepada stakeholders pada umumnya.

Selain itu perusahaan sebagai subjek hukum seyogyanya juga menjadi mahluk sosial yang pemperhatikan lingkungan sosialnya sehingga perusahaan itu tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing di lingkungannya. Hal ini sangat penting, terutama jika kita berbicara tentang perusahaan raksasa yang terkadang merupakan "negara dalam negara" karena besarnya. Banyak perusahaan raksasa yang justru berprilaku sebagai penguasa daerah dan mendikte pemerintah daerah. Satu dan lain hal karena pemerintahan daerah sangat bergantung pada perusahaan raksasa tersebut, baik itu pajak, retribusi, lapangan kerja, realisasi maupun pembangunan masyarakat (Community Development).

Mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial di dalam pengertian good governance, yang subtansi dan pelaksanaanya menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat yang utama efisiensi dan pemerataan. Dalam pelaksanaannya, good governance mengandalkan rule of law terutama yang mencakup bidang ekonomi dan politik, penentuan kebijakan yang transparan, pelaksanaan kebijakan yang accountable, birokrasi yang berkualitas dan juga masyarakat yang capable.

Mochtar Kusumaatmadja mencatat bahwa hukum sebagai sarana pembangunan bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Dalam konteks perusahaan, berarti hukum berperan penting tidak hanya terhadap pemegang saham (shareholders), tapi juga mengatur berbagai pihak (stakeholders) dalam kegiatan korporasi agar berjalan sesuai dengan koridor keadilan sosial, selain untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi secara teratur.

Harapan adanya peraturan yang baik serta dijalankannya law enforcement. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat (living law). Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Beberapa korporasi mulai sadar akan pentingnya menjalankan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, tapi lebih banyak lagi korporasi yang mangkir dari kewajibannya itu. Karena itu perlu suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep dan jenis CSR dalam rangka law enforcement dan peningkatan ekonomi lokal dan nasional.

Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun XXXX Tentang Perseroan Terbatas. Sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Dalam Undang-undang PT Nomor 40 Tahun XXXX, pasal 74 ayat (1) menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tangung jawab sosial dan lingkungannya. Ayat (2) berbunyi tanggung jawab sosial dan lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat (3) menyatakan perseroan yang tidak melaksanaan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa CSR, sangat dipandang perlu dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari korporasi.

Diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun XXXX tentang Perseroan Terbatas ini, mengisyaratkan bahwa CSR awalnya bersifat sukarela menjadi sebuah tanggung jawab yang diwajibkan. Namun Undang-undang Perseroan Terbatas secara eksplisit tidak mengatur berapa jumlah nominal dan atau berapa besaran persen laba bersih dari suatu perusahaan yang harus disumbangkan. Karena, pengaturan lebih lanjut merupakan domain daripada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai manifestasi dari Undang-undang, dan saat ini Peraturan Pemerintah tersebut masih dibahas oleh pemerintah.

Jauh Sebelum Undang-undang Nomor 40 Tahun XXXX Tentang Perseroan Terbatas ini diundangkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah menerapkan CSR yang diwajibkan oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun XXXX tentang BUMN, lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Sebagai manipestasinya telah dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-236/MBU/XXXX tanggal 17 Juni XXXX dan Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-433/MBU/XXXX tanggal 16 September XXXX. Dengan demikian BUMN dapat dikatakan telah jelas aturan mainnya karena sudah ada Undang-undang tersendiri. BUMN merupakan perusahaan yang dimiliki oleh negara, bahkan pola CSR mereka sudah rinci aturan pelaksananya.

Praktik CSR oleh BUMN ini menarik untuk dikaji disebabkan oleh faktor pembeda yang secara normatif mendukung kegiatan kedermawanan sosial BUMN ini seharusnya dapat berkembang, Pertama, karena sifat dan statusnya sebagai perusahaan milik negara, BUMN tidak terkendala oleh motif pengurangan pajak (tax deduction) sebagaimana menjadi pengharapan perusahaan-perusahaan swasta. Kendati pajak tetap merupakan kewajiban bagi BUMN, kewajiban ini tidak serta merta mempengaruhi kelancaran kegiatan atau operasi BUMN.Kedua, terdapat instrumen "pemaksa" berupa kebijakan pemerintah; dimana melalui Kepmen BUMN Nomor: Kep-236/MBU/XXXX, perusahaan BUMN menjalankan Program Bina Lingkungan (PKBL). Sehingga dengan praktik derma yang imperatif tersebut dimungkinkan bahwa potensi rata-rata sumbangan sosial perusahaan-perusahaan BUMN lebih besar dari perusahaan-perusahaan swasta.

BUMN merupakan salah satu elemen utama kebijakan ekonomi strategis negara-negara berkembang. Keberadaan BUMN mempunyai pengaruh utama dalam pembangunan negara-negara dunia ketiga. Setidaknya, BUMN diperlukan dalam pengaturan infrastruktur dan public utilities, dan menempatkan dirinya untuk berperan pada hampir seluruh sektor aktivitas ekonomi.

Berdasarkan uraian-uraian diatas penulis tertarik menganalisis Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap masyarakat di lingkungan PTPN IV (Studi pada Unit X di Kabupaten X).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan Corporate Social Responsibility di lingkungan BUMN?
2. Bagaimanakah implementasi Corporate Social Responsibility yang dilaksanakan PTPN IV Unit X Kabupaten X?
3. Bagaimanakah dampak implementasi Corporate Social Responsibility terhadap masyarakat lingkungan PTPN IV Unit X Kabupaten X?

C. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, penelitian mengenai Implementasi Corporate Social Responsibility terhadap masyarakat lingkungan PTPN IV Unit X belum pernah dilakukan. Namun penelitian yang membahas tentang Corporate Social Responsibility sudah pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Adapun yang membedakan penelitian penulis dengan peneliti sebelumya, adalah sebagai berikut :
1. Corporate Social Responsibility yang dianalisa dari Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun XXXX, selanjutnya:
2. Corporate Social Responsibility, dengan landasan hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun XXXX, Tentang Penanaman Modal.
Secara subtansial yang membedakan penelitian penulis dengan peneliti terdahulu adalah sebagai berikut :
1. penelitian ini difokuskan pada BUMN, dengan landasan yuridis Undang-undang Nomor 19 Tahun XXXX, Tentang Badan Usaha Milik Negara dan Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep.236/MBU/XXXX, tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang wajib dilaksanakan oleh BUMN.
2. penelitian menitik beratkan pada aspek implementasi
Dengan demikian penelitian ini merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun terkait dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui peraturan-peraturan mengenai Corporate Social Responsibility
yang berlaku pada BUMN.
2. Untuk mengetahui implementasi Corporate Social Responsibility dalam permberdayaan ekonomi masyarakat dan bina lingkungan PTPN IV Unit X Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui dampak implementasi Corporate Social Responsibility pada masyarakat dan lingkungan PTPN IV Unit X di Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum perusahaan dan hukum bisnis di Indonesia. Diharapkan juga penelitian ini dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai CSR khususnya badan usaha yang berbentuk BUMN, umumnya dan bentuk badan usaha perseroan lainnya.
Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada kalangan pelaku bisnis di semua sektor usaha untuk dapat lebih membuka cakrawala berpikir berkaitan dengan CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan bina lingkungan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:18:00

ANALISIS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI KELURAHAN

SKRIPSI ANALISIS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI KELURAHAN 

1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan Indonesia sehat XXXX adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan dan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut dilakukan upaya-upaya kesehatan. Salah satu upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal adalah program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi program pemerintah di antaranya adalah program pemberantasan penyakit diare yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit diare, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit diare.

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan karena diare serta menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan anak balita.

Menurut data WHO pada tahun XXXX-XXXX diare merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia pada anak di bawah umur lima tahun, dengan Proportional Mortality Rate (PMRJ 17% setelah kematian neonatal 37% dan pnemonia 19%. Pada tahun yang sama, diare di Asia Tenggara juga menempati urutan nomor tiga penyebab kematian pada anak di bawah umur lima tahun dengan Proportional Mortality Rate (PMR) sebesar 18%.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun XXXX menunjukkan bahwa di Indonesia penyakit diare merupakan penyebab kematian nomor tiga pada balita dengan Proportional Mortality Rate (PMR) 10% setelah penyakit sistem pernafasan (28%) dan gangguan perinatal (26%). Sedangkan dari hasil Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun XXXX diketahui bahwa penyakit diare penyebab kematian nomor dua pada balita dengan Proportional Mortality Rate (PMR) 13,2% setelah penyakit sistem pernafasan. Dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup anak, penanggulangan diare merupakan program prioritas yang diwujudkan melalui penurunan angka kesakitan dan kematian serta penanggulangan Kejadian luar Biasa (KLB).

Menurut data di provinsi X tahun XXXX penyakit diare menyebabkan kematian pada saat terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di enam Kabupaten yaitu, kabupaten A dengan Attack Rate (AR) 0,82% dan Case Fatality Rate (CFR) 3,23%, Kabupaten B dengan AR 0,04% dan CFR 4%, Kabupaten C dengan AR 3,29% dan CFR 1,62%, Kabupaten D dengan AR 1,16% dan CFR 2,6%, Kabupaten E dengan AR 1,45% dan CFR 1,25% dan Kabupaten F dengan AR 0,01%.

Menurut Profil Kesehatan Kota X tahun XXXX dilaporkan proporsi penderita rawat jalan di puskesmas untuk balita 2,68% yaitu 20.996 penderita dari 780.706 seluruh penderita berbagai jenis penyakit dan Iain-lain. Penyakit diare menduduki urutan ke enam pada sepuluh penyakit terbesar di seluruh puskesmas kota X.

Berdasarkan laporan SP2TP di puskesmas Z yang wilayah kerjanya adalah Kecamatan X, didapatkan bahwa penyakit diare masuk dalam sepuluh penyakit terbesar yang menduduki peringkat ke sembilan dengan proporsi sebesar 2,44%.

Hasil laporan dari Puskesmas Pembantu X Kecamatan X tahun XXXX bahwa penyakit diare menduduki urutan kelima dalam sepuluh penyakit terbesar dengan proporsi 1,97%.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X.

1.2. Perumusan Masalah
Belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengenalisis kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
1.3.2.Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui prevalens rate diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
b. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik anak balita (umur dan jenis kelamin, status gizi, status imunisasi dan ASI eksklusif) di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
c. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik ibu dari anak balita (umur, pendidikan dan pekerjaan) di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
d. Untuk mengetahui distribusi proporsi karakteristik lingkungan (ketersediaan jamban, sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih) anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
e. Untuk mengetahui hubungan faktor anak balita (umur, jenis kelamin, status gizi, status imunisasi, dan ASI eksklusif) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
f. Untuk mengetahui hubungan faktor ibu (umur, pendidikan, dan pekerjaan) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
g. Untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan (ketersediaan jamban, sanitasi lingkungan, penyediaan air bersih) dengan kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.
h. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan terhadap kejadian diare pada anak balita di Kelurahan X Kecamatan X tahun XXXX.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Pembantu X dalam program pencegahan dan pemberantasan diare.
1.4.2. Sebagai bahan referensi bagi perpustakaan FKM dan penelitian selanjutnya.
1.4.3. Dapat menambah wawasan dan kesempatan penerapan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan dan juga sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:16:00

PERAN KELUARGA DAN PETUGAS PUSKESMAS TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

TESIS PERAN KELUARGA DAN PETUGAS PUSKESMAS TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI PERUMNAS X (PRODI : KESEHATAN MASYARAKAT)

1.1. Latar Belakang
Demam berdarah dengue menjadi masalah kesehatan yang sangat serius di Indonesia. Kejadian demam berdarah tidak kunjung berhenti walaupun telah banyak program dilakukan oleh pemerintah. Keluarga dan petugas kesehatan memegang peranan yang sangat penting dalam penanggulangan demam berdarah sehingga dengan melihat upaya-upaya yang mereka lakukan untuk mencegah demam berdarah dapat mengurangi terjadinya kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat pada saat ini.

Penyakit Demam Berdarah Dengue atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga, dan berkurangnya usia harapan hidup penduduk. Dampak ekonomi langsung pada penderita adalah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain yang dikeluarkan selain untuk pengobatan seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita (Depkes RI, XXXX).

Kejadian luar biasa atau KLB DBD di Indonesia terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu dengan IR (Insident Rate) sebanyak 35,19 per 100.000 ribu penduduk, lalu menurun pada tahun 1999 dengan IR 10,17 per 100.000 ribu penduduk, mengalami peningkatan kembali pada tahun XXXX dengan IR 15,99 per 100.000 ribu penduduk dan kembali meningkat pada tahun XXXX dengan IR 21,66 per 100.000 ribu penduduk, kembali menurun pada tahun XXXX yaitu IR 19,24 per 100.000 ribu penduduk dan meningkat tajam kembali pada tahun XXXX yaitu IR 23,87 per 100.000 ribu penduduk. Data di atas menunjukkan bahwa penyakit DBD di Indonesia menjadi fenomena yang sangat sulit diatasi di mana kejadian DBD setiap tahunnya berfluktuasi (Depkes RI, XXXX).

Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi X sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi. Berdasarkan data di wilayah Propinsi X terdapat 8 daerah endemis DBD yaitu: Kota X. Daerah Sporadis DBD sebanyak 15 daerah, yaitu: Kota X. Daerah Potensial/Bebas DBD adalah X dikarenakan daerah tersebut berada di tempat dataran tinggi di mana suhu udara rendah sehingga tidak memungkinkan nyamuk hidup dan berkembang biak (Dinkes Kota X, XXXX).

Angka kejadian penyakit DBD di X Utara dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun XXXX jumlah penderita (IR) adalah 3,6/100.000 penduduk (353 penderita), tahun XXXX sampai XXXX naik menjadi 8,79/100.000 penduduk (1093 penderita). Pada tahun XXXX terjadi ledakan kasus yang sangat tajam yaitu 30,75/100.000 penduduk (3.657) penderita dan tahun XXXX terjadi penurunan yaitu 17,58/100.000 penduduk (2.091 penderita), tahun XXXX terjadi kembali peningkatan kasus yaitu menjadi 34,5/100.000 penduduk. Angka ini masih jauh dari target Indonesia Sehat 2010 yaitu 2/100.000 penduduk. Sebaliknya, walaupun jumlah penderita naik, tapi angka kematian DBD (CFR) mengalami penurunan sejak tahun XXXX yaitu 2,84% menjadi 1,53% pada tahun XXXX dan menurun lagi menjadi 0,83% pada tahun XXXX. Penurunan CFR ini menunjukkan bahwa penanganan kasus di sarana pelayanan kesehatan sudah mengalami peningkatan, namun tingginya IR menunjukkan masih banyak tempat-tempat berkembang biak (Breeding Places) dan tempat peristirahatan (Resting Places) nyamuk Aedes aegypti di lingkungan penduduk (Dinkes Provinsi X, XXXX).

Berdasarkan SK Menkes Nomor 581 Tahun 1992, kegiatan pokok upaya penanggulangan penyakit DBD yang dilaksanakan dengan cara tepat guna oleh pemerintah adalah pencegahan, penemuan, pertolongan dan pelaporan, penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit DBD, penanggulangan seperlunya, penanggulangan lain dan penyuluhan (Depkes, 1996).

Pemerintah pada tanggal 12 Nopember 1999 yang bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional ke-40 mencanangkan Gerakan PSN DBD. Oleh karena itu yang menjadi penggeraknya dipilih oleh pemerintah Jumantik (Juru Pemantau Jentik) dan supervisor dari masyarakat sendiri (Depkes RI, XXXX).

Upaya program penanggulangan penyakit DBD yang dilaksanakan sangat banyak tetapi belum optimal karena lebih banyak mempengaruhi epidemiologi penyakit DBD. Angka kematian DBD cenderung menurun walaupun kasus bertambah, hal ini menunjukkan bahwa penatalaksanaan kasus cukup efektif di pelayanan kesehatan yang ada tetapi peran serta masyarakat untuk pencegahan penyakit demam berdarah belum ada (Depkes RI, XXXX).

Menurut Kepala Dinas Kesehatan melalui Kasubdin Program Pencegahan Penyakit/P2P (Pulungan, XXXX), bahwa DBD bukan hanya menyerang orang dewasa, hal tersebut sesuai data tahun XXXX, yang diketahui 27% penderita penyakit yang berasal dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti di X korbannya balita, dan dari 27% tersebut, 9% balita 0-4 tahun dan 18% berusia 5-12 tahun dan sisanya paling banyak berusia 20-24 tahun. Saat ini seluruh kecamatan di X berstatus endemis DBD. 

Kecamatan tersebut adalah X Tuntungan sebanyak 69 orang, X Johor sebanyak 74 orang, X Amplas sebanyak 69, X Denai sebanyak 92 orang, X Area sebanyak 27 orang, X Kota sebanyak 68 orang, X Maimun sebanyak 12 orang, X Polonia sebanyak 27 orang, X Baru sebanyak 113 orang, X Selayang sebanyak 83 orang, X Sunggal sebanyak 127 orang, X sebanyak 213 orang, X Petisah sebanyak 77 orang, X Barat sebanyak 28 orang, X Timur sebanyak 65 orang, X Perjuangan sebanyak 51 orang, X Tembung sebanyak 75 orang, X Deli sebanyak 53 orang, X Labuhan sebanyak 12 orang, X Marelan sebanyak 28 orang dan X Belawan sebanyak 15 orang. Kecamatan X merupakan daerah yang terbanyak penderita demam berdarah (Dinkes Kota X, XXXX).

Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi dan mencegah penyakit DBD oleh Dinas Kesehatan Kota X antara lain: (1) Pertolongan pertama pada penderita DBD, dan selanjutnya dirujuk kerumah sakit apabila perlu (2) Penyuluhan terus menerus kepada masyarakat (berkoordinasi dengan Sie. Promosi Kesehatan dan Lintas Sektoral) (3) Fogging Foccus dan Fogging ULV (4) Penaburan bubuk Abate pada tempat-tempat penampungan air (5) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara bergotong royong yang melibatkan masyarakat dan Lintas Sektoral. Namun upaya yang telah dilakukan belum dapat merubah status daerah endemis DBD di Kota X. Kondisi di atas mengingatkan bahwa kasus penyakit DBD belum dapat ditanggulangi secara maksimal walaupun telah dilakukan berbagai upaya (Dinkes Kota X, XXXX).

Pada tahun XXXX, Sub Direktorat Arbovirus Departemen Kesehatan yang membidangi upaya pemberantasan penyakit yang bersumber dari binatang termasuk di dalamnya upaya pemberantasan penyakit DBD, mensosialisasikan Rencana Strategis (Renstra) Program Pemberantasan Penyakit DBD Tahun XXXX-XXXX. Dalam Renstra tersebut dikemukakan banyak faktor yang mendukung peningkatan kasus, antara lain kurangnya upaya penggerakan masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN DBD), kurangnya keterlibatan keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dan kurang aktif petugas dalam menjalankan fungsinya.

Terlihat dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti tanggal 3 Nopember XXXX pada keluarga yang salah seorang anggota keluarganya terkena penyakit demam berdarah dengue didapat bahwa pada awalnya si ibu tidak tahu akan pentingnya PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dikarenakan kurangnya petugas memberi informasi dan penyuluhan. Petugas menjadi aktif apabila ada kasus dan petugas kesehatan di Puskesmas X yang bertugas untuk menangani pencegahan demam berdarah dengue hanya 1 (satu) orang.

Pengadaan kampanye kebersihan yang intensif dan penyebaran leaflet merupakan upaya di tingkat masyarakat yang telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi hal ini sering gagal karena tidak adanya keterlibatan keluarga di dalamnya. Peran keluarga sangat dibutuhkan untuk mendorong mereka mau melaksanakan kegiatan 3M secara intensif di rumah dan juga melibatkan keluarga agar turut serta dalam kegiatan PSN yang ada di lingkungannya (Depkes, XXXX).

Petugas mempunyai peran yang juga tidak kalah pentingnya. Selama ini petugas hanyalah sebatas penyuluh kesehatan yang bertugas memberikan informasi. Padahal seorang petugas kesehatan bukan hanya memberikan informasi tetapi juga harus membagi pengetahuan mereka di setiap kesempatan di manapun petugas berada. Pada dasarnya pemeliharaan kesehatan dasar adalah keterlibatan masyarakat. Hubungan yang erat antara petugas pelayanan kesehatan dan masyarakat sangat penting dan harus merupakan proses dua arah. Petugas kesehatan harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang mereka layani (Tarimo, 1994).

Seharusnya melalui program pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD yang matang dan ditunjang oleh informasi kesehatan khususnya yang menyangkut penyakit DBD, maka diharapkan keikut sertaan masyarakat terutama keterlibatan keluarga dalam pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M di lingkungan tempatnya tinggal, sehingga penyebaran penyakit DBD dapat diatasi (Depkes RI, 1992).

Berdasarkan paparan di atas, di mana program penanggulangan penyakit demam berdarah dengue belum sepenuhnya dapat menanggulangi kasus penyakit demam berdarah dengue maka sangat penting dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat khususnya keluarga, sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat menggali peran keluarga dan petugas puskesmas dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah dengue.

1.2. Permasalahan
Bagaimana peran keluarga dan petugas Puskesmas dalam penanggulangan penyakit demam berdarah dengue di Perumnas X.

1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran keluarga dan petugas Puskesmas dalam upaya penanggulangan penyakit demam berdarah dengue, sehingga didapat suatu model pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan penyakit demam berdarah dengue yang tepat dan sesuai dengan keinginan masyarakat.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Dinas Kesehatan Kota X mendapat masukan bagaimana kinerja petugas pelayan kesehatan dan keberhasilan program penanggulangan serta pencegahan penyakit demam berdarah dengue.
2. Memotivasi keluarga agar dapat mencegah penyakit demam berdarah dengue secara berkelanjutan.
3. Sebagai bahan masukan kepada petugas kesehatan di Puskesmas X dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue tentang metode promosi yang tepat sebagai upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
4. Menambah wawasan penulis dalam bidang penelitian kualitatif.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:13:00

HUBUNGAN KOMPENSASI DAN KEPUASAN KERJA DENGAN DISIPLIN KERJA PETUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

TESIS HUBUNGAN KOMPENSASI DAN KEPUASAN KERJA DENGAN DISIPLIN KERJA PETUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai bangsa yang mempunyai cita-cita untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka diperlukan upaya bertahap, berencana dan berkesinambungan melalui perjuangan dan pembangunan dengan semangat dan kemauan yang kuat serta pantang mundur. Pembaharuan yang demikian itu perlu didukung oleh suasana yang sesuai, yaitu berupa tata kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur. Atau dengan kata lain diperlukan mentalitas nasional yang sesuai dengan watak pembangunan, yang arahnya adalah menuju kepada pertumbuhan, perubahan dan kemajuan. Apabila manusia yang menjadi subyek dan objek pembangunan tersebut tidak memiliki mentalitas pembangunan yang sesuai, maka akan sangat mengganggu jalannya pembangunan.

Kondisi objektif menunjukkan bahwa sikap mental seperti dikehendaki di atas belum sepenuhnya tampak nyata dan belum dikembangkan secara mendalam maupun secara konsepsional. Contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran aturan dan tata tertib yang berlaku, antara lain membuang sampah sembarangan, cara berlalu lintas yang tidak tertib, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, datang ke kantor terlambat dan pulang sebelum waktunya, mangkir, dan lain-lain. Kesemuanya merupakan gejala erosi disiplin. Karena itu perlu menumbuhkan sikap mental baru dalam masyarakat dengan menanamkan dan mengembangkan sikap mental yang disebut disiplin. Setiap masyarakat yang hendak hidup tertib dan teratur memerlukan sikap dan perilaku pada warganya yang berdisiplin (Kimsean: 2004: 315).

Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang secara dinamis disertai dengan peningkatan taraf hidup dan pendidikan masyarakat ditambah dengan berkembangnya kemajuan dibidang teknologi dan informatika menjadikan peningkatan proses empowering dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, aparatur pemerintah juga diharapkan mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan dinamis sebagaimana yang terjadi di masyarakat. Menghadapi kondisi demikian profesionalisme sumber daya aparatur pemerintah sudah merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan dapat menjadi contoh serta panutan bagi masyarakat dan semua fenomena tersebut menuntut peran yang lebih besar dari Petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang mempunyai tugas secara fungsional salah satunya sebagai penegak Peraturan Daerah.

Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sering kali dipandang kurang mampu melaksanakan tugas-tugas penegakan Peraturan Daerah dan kurang mampu menyesuaikan diri pada perubahan-perubahan sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat, dan sering ditemukan praktek-praktek pelanggaran hukum semacam pungutan liar, penyalahgunaan wewenang (power abuse), perlakuan yang diskriminasi terhadap pelanggar Peraturan Daerah dan tindakan indispliner lainnya. Fenomena yang dihadapi dan merupakan salah satu hambatan yang sangat berat bagi Petugas Satpol PP adalah sulitnya ditemui Petugas yang "bersih", yang konsisten terhadap tugas dan fungsi sebagai aparat penegak peraturan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa disiplin kerja Petugas Satpol PP belum memadai apabila dilihat dari tugas dan fungsinya. Dampak logis dari peningkatan kuantitas dan kualitas pelanggaran Peraturan Daerah mengakibatkan terganggunya ketertiban umum seperti menjamurnya pedagang kaki lima di tempat-tempat terlarang, maraknya pengemis, anak jalanan dan pengamen liar maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya (Anwar: 2004: 2).

Pemerintah sudah hampir tiga dasa warsa mencanangkan program disiplin nasional untuk memperoleh rasa sikap mental pegawai yang produktif. Karena disiplin bisa mendorong produktivitas kerja atau disiplin merupakan sarana yang penting untuk mencapai produktivitas kerja para para pegawai dalam birokrasi (Kimsean: 2004: 325). Namun menurut Sinungan (2008: 5), "masih banyak faktor yang menghambat terwujudnya produktivitas kerja, seperti budaya konsumtif, sikap hidup destruktif, sikap nrimo, sikap status oriented, sikap pasif terhadap hidup dan budaya jam karet".

Adanya kecenderungan sikap mental Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota X yang tidak mendukung ke arah produktivitas kerja seperti yang disampaikan oleh Sinungan di atas, terlihat pada rendahnya tingkat disiplin dengan terjadinya berbagai tindak pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota X. Sebagai gambaran, dapat dilihat dalam tabel berikut :

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa selama kurun waktu dua tahun, setiap bulannya selalu terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota X. Tindakan disiplin yang dilakukan oleh pimpinan Satpol PP terhadap petugas yang melakukan pelanggaran disiplin pada umumnya dengan memberikan hukuman secara fisik guna memaksa petugas tersebut untuk tidak mengulangi pelanggaran yang telah dilakukannya atau dengan memberikan sanksi administrasi berupa teguran.

Upaya peningkatan disiplin kerja sebagai dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja pegawai, yang secara tidak langsung merupakan cerminan dari efisiensi organisasi. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab pegawai terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan organisasi, pegawai dan masyarakat. Oleh karena itu, setiap pimpinan berusaha selalu agar para bawahannya mempunyai disiplin yang baik. Seorang pimpinan dikatakan efektif dalam kepemimpinannya, jika para bawahannya berdisiplin baik. Untuk memelihara dan meningkatkan disiplin yang baik adalah hal yang sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhinya.

Namun demikian, penegakan disiplin tidak selalu harus melalui pendekatan represif seperti tindakan-tindakan hukuman fisik tetapi dapat juga melalui perlakuan karyawan secara manusiawi dan senantiasa berupaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Oleh karena selain imbalan atau kompensasi dalam bentuk material, pegawai juga menginginkan kebutuhan lainnya seperti memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan dan suasana lingkungan kerja yang baik.

Kimsean (2004: 328) menyatakan bahwa, apabila pegawai merasa bahagia dalam pekerjaannya maka mereka pada umumnya mempunyai disiplin. Sebaliknya apabila moral pegawai rendah, maka pegawai akan menyulitkan diri dengan kebiasaan yang tidak baik, misalnya pegawai sering datang terlambat ke kantor. Pada umumnya pegawai itu menyetujui saja perintah, akan tetapi dengan perasaan yang kurang senang. Dalam keadaan yang demikian, apakah pimpinan akan memberi hukuman kepada pegawai, dengan jalan menghukum pegawai atau mengadakan beberapa tindakan disiplin yang resmi lainnya terhadap mereka, tidak akan memperbaiki keadaan itu.

Dari pendapat Kimsean di atas bahwa menghukum pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin tanpa terlebih dahulu menganalisa sebab-sebab dari tindakannya itu hanya akan membuat hal-hal yang lebih buruk dan akan menimbulkan perasaan tidak puas dari pegawai yang bersangkutan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya permasalahan baru sebagai akibat ketidakpuasan pegawai terhadap hukuman yang diterima pegawai tersebut..

Adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa motivasi dasar bagi kebanyakan orang menjadi pegawai suatu organisasi tertentu adalah untuk mencari nafkah. Berarti bahwa apabila disatu pihak seseorang menggunakan pengetahuan, keterampilan, tenaga dan sebagian waktunya untuk berkarya pada suatu organisasi, di lain pihak anggota Pol PP mengharapkan menerima imbalan tertentu sehingga imbalan sebagai balas jasa yang diberikan oleh organisasi/perusahaan terhadap para pegawainya harus dikelola dengan baik.

Fathoni (2006: 270) mengemukakan bahwa :
suatu sistem imbalan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan pada anggota organisasi yang pada gilirannya memungkinkan organisasi memperoleh, memelihara dan memperkerjakan sejumlah orang yang dengan berbagai sikap dan perilaku positif bekerja dengan produktif bagi kepentingan organisasi.

Dengan demikian atas dasar pendapat tersebut, jika para anggota organisasi/pegawai diliputi oleh rasa tidak puas atas kompensasi yang diterimanya, dampak bagi organisasi akan sangat bersifat negatif. Lebih lanjut Fathoni menyatakan bahwa :
Jika ketidak puasan tersebut tidak terselesaikan dengan baik merupakan hal yang wajar apabila para anggota organisasi menyatakan keinginan untuk memperoleh imbalan yang bukan saja jumlahnya lebih besar, tetapi juga lebih adil. Dikatakan wajar, sebab ada kaitannya dengan berbagai segi kehidupan kekaryaan para anggota organisasi seperti prestasi kerja, keluhan, tingkat kemangkiran yang tinggi dll.

Dari pendapat di atas, organisasi harus menjamin bahwa pemberian kompensasi harus fair atau adil, dengan menerapkan perlakuan yang sama kepada seluruh pegawai yang ada di organisasi itu. Agar penerapan kebijakan kompensasi dapat dipahami oleh semua pegawai, diperlukan adanya keterbukaan atau transparansi kepada setiap pegawai. Pada umumnya pegawai akan menerima perbedaan-perbedaan kompensasi yang didasarkan pada perbedaan tanggung jawab, kemampuan, pengetahuan, produktivitas atau kegiatan-kegiatan manajerial. Perbedaan pembayaran atas dasar ras, kelompok etnis atau jenis kelamin dilarang oleh hukum dan kebijaksanaan umum.

Sistem penggajian petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota X didasarkan atas status petugas tersebut. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang berstatus Pegawai Negeri Sipil berjumlah 66 orang memperoleh gaji sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil sedangkan petugas Satuan Polisi pamong Praja Kota X yang berstatus Tenaga Kontrak Kerja berjumlah 75 orang memperoleh gaji sesuai dengan Keputusan Walikota X Nomo 876.45-48 Tahun 2007 tentang Penetapan Gaji Bagi Pegawai Tenaga Kontrak Kerja di Lingkungan Pemerintah Kota X Tahun Anggaran 2008 dengan besaran sebagaimana tabel berikut :

* Tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan tabel 1.2 di atas dapat dilihat bahwa jumlah gaji yang diterima oleh petugas Satuan Polisi pamong Praja Kota X yang berstatus Tenaga Kontrak Kerja (53,2 %) setiap bulannya berkisar antara Rp. 680.000,-sampai dengan Rp. 800.000,- yang jika dibandingkan dengan beban tugasnya selaku penegak Peraturan Daerah sangat jauh dari memadai.

Pada dasarnya pemberian kompensasi yang dituangkan dalam aturan-aturan organisasi yang jelas dan tegas akan menimbulkan rasa percaya pada diri pegawai bahwa dengan hasil prestasi dan disiplin kerja yang ditunjukan akan mendapat imbalan yang sesuai. Dengan demikian, secara substantial pegawai yang memiliki disiplin kerja tinggi sebagai sumber daya manusia di dalam suatu organisasi sangatlah penting untuk meningkatkan produktivitas organisasi. sebagaimana yang dinyatakan oleh Hasibuan (2007: 121), bahwa :
tujuan pemberian kompensasi antara lain adalah sebagai ikatan kerjasama, kepuasan kerja, pengadaan efektif, motivasi, stabilitas karyawan, disiplin serta pengaruh serikat buruh dan pemerintah. Dengan pemberian balas jasa/kompensasi yang cukup besar maka disiplin karyawan semakin baik. Mereka akan menyadari serta mentaati peraturan-peraturan yang berlaku.

Pemberian kompensasi yang layak akan menimbulkan kepuasan kerja pegawai dan kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi disiplin kerja pegawai, sebagaimana yang dinyatakan oleh Fathoni (2006: 175) bahwa "kepuasan kerja mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan, artinya jika kepuasan diperoleh dari pekerjaan maka kedisiplinan karyawan baik. Sebaliknya, jika kepuasan kerja kurang tercapai dari pekerjaannya maka kedisiplinan karyawan rendah".

Sejalan dengan itu, Dessler dalam Handoko (2001: 196) mengemukakan bahwa, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan dan (kadang-kadang) berprestasi kerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja.

Kepuasan merupakan suatu konsep yang multifacet (banyak dimensi). Suatu kesimpulan menyeluruh tentang kepuasan hanya akan menyembunyikan pertimbangan subyektif dari pegawai mengenai kepuasannya sehubungan dengan gaji, keselamatan kerja, supervisi, relasi-relasi antar perorangan dalam kerja, peluang-peluang di masa yang akan datang, dan pekerjaan itu sendiri. Kepuasan kerja dari pegawai itu sendiri mungkin mempengaruhi kehadirannya pada kerja, dan keinginan untuk ganti pekerjaan juga bisa mempengaruhi kesediaan untuk bekerja.

Oleh karena itu, sikap perusahaan dalam meningkatkan disiplin terhadap pegawai harus lebih ditekankan pada aspek prestasi kerja, perlakuan terhadap pegawai, pemenuhan atas kebutuhan pegawai baik secara materil maupun non materil dan pemenuhan kebutuhan lain yang akan mendatangkan kepuasan kerja guna mendukung pelaksanaan tugasnya.

Dari uraian di atas, kompensasi dan kepuasan kerja memiliki keterkaitan erat dengan disiplin pegawai. Sebagaimana dinyatakan oleh Handoko (2001: 197), balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap pekerjaannya dan disisi lain, meskipun hanya merupakan salah satu faktor dari banyak faktor pengaruh lainnya, kepuasan kerja mempengaruhi tingkat perputaran karyawan dan absensi.

Jadi, jika kecintaan karyawan semakin baik terhadap pekerjaan, kedisiplinan karyawan akan semakin baik pula. Karyawan sulit untuk berdisiplin baik selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak terpenuhi dengan baik. Hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pemuasan kebutuhan pegawai sebagai individu dan menunjang keberhasilan pegawai didalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari dan bila kepuasan kerja meningkat, perputaran pegawai dan absensi menurun atau sebaliknya, kepuasan kerja yang lebih rendah akan mengakibatkan perputaran pegawai lebih tinggi dan pegawai yang kurang mendapatkan kepuasan kerja cenderung akan lebih sering absen. Mereka sering tidak merencanakan untuk absen, tetapi bila ada alasan untuk absen, untuk mereka lebih mudah menggunakan alasan-alasan tersebut.

Untuk itu, dituntut adanya perubahan, perbaikan dan peningkatan disiplin kerja Petugas Satpol PP dengan cara pemenuhan kompensasi dan kepuasan kerja yang memadai.

Dengan demikian diharapkan disiplin kerja petugas Satpol PP akan meningkat dan dapat mensubstitusi kuantitas petugas yang ada, sehingga pelaksanaan pembinaan, pengawasan, pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan kedinasan lainnya dapat terlaksana secara maksimal.

B. Perumusan Masalah
Kedisipinan adalah fungsi operatif keenam dari Manajemen Sumber Daya Manusia. Kedisiplinan merupakan fungsi operatif MSDM yang terpenting karena semakin baik disiplin karyawan, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan yang baik, sulit bagi organisasi mencapai hasil yang optimal.

Berdasarkan pokok masalah di atas dan untuk lebih memudahkan operasionalisasi pelaksanaan penelitian, maka dapat dirumuskan pokok permasalahnya sebagai berikut :
1. Apakah kompensasi berhubungan dengan kepuasan kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota X ?
2. Apakah kepuasan kerja berhubungan dengan disiplin kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian di atas, yaitu ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi disiplin kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kota X. Faktor-faktor ini jumlahnya sangat banyak, karena keterbatasan yang dimiliki penulis, maka tujuan penelitian ini dibatasi sebagi berikut :
1. Untuk menjelaskan hubungan antara kompensasi dengan kepuasan kerja Petugas Lapangan Satuan Polisi Pamong Praja Kota X;
2. Untuk menjelaskan hubungan antara kepuasan kerja dengan disiplin kerja Petugas Lapangan Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.

D. Signifikasi Penelitian
Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu administrasi khususnya.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Memberikan gambaran mengenai disiplin kerja Petugas Satuan Polisi Pamong Praja, dengan memperhatikan faktor-faktor Kompensasi dan Kepuasan Kerja.
2. Dapat memberikan manfaat sebagai salah satu bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang berarti bagi Pemerintah Kota X dalam rangka menyusun rencana pengembangan organisasi di masa yang akan datang sebagai rencana strategis.

E. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi uraian tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan dan signifikasi penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN LITERATUR DAN METODE PENELITIAN
Berisi tentang tinjauan literatur yang mendasari penelitian, yaitu teoti-teori tentang kompensasi dan hubungannya dengan disiplin kerja, kepuasan kerja dan hubungannya disiplin kerja, model analisis untuk menggambarkan hubungan antar variabel, hipotesis penelitian, operasionalisasi konsep dan uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian yaitu pendekatan penelitian yang digunakan, jenis/tipe penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, uji validitas dan reabilitas guna mengukur tingkat validitas dan keterandalan instrumen penelitian, teknik analisis data serta keterbatasan penelitian.
BAB III : GAMBARAN UMUM SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA X
Berisi uraian tentang gambaran umum karakteristik Satuan Polisi Pamong Praja Kota X, yang meliputi organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota X, visi, misi dan kebijakan strategis Satuan Polisi Pamong Praja Kota X, masalah dan tantangan Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
BAB IV : PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Berisi penjelasan hasil temuan lapangan yang dikaitkan dengan konsep-teori yang digunakan serta analisis hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang berisi tentang pengujian hipotesis hubungan antara kompensasi dengan kepuasan kerja dan kepuasan kerja dengan disiplin kerja.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi kesimpulan akhir atas jawaban pertanyaan penelitian yang didasarkan atas hasil analisis dan saran-saran.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:09:00

Efektivitas Pendekatan Keterampilan Proses Dalam Pengajaran IPA Terhadap Prestasi Belajar Siswa SD X

Skripsi Efektivitas Pendekatan Keterampilan Proses Dalam Pengajaran IPA Terhadap Prestasi Belajar Siswa SD X

A. Latar Belakang Masalah
Masalah pendidikan merupakan masalah yang cukup kompleks, karena terkait dengan masalah kuantitas, masalah kualitas, masalah relevansi dan masalah efektivitas. Masalah kuantitas timbulsebagai akibat hubungan antara pertumbuhan sistem pendidikan dan pertumbuhan penduduk.

Masalah kualitas adalah masalah bagaimana meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Masalah kualitas pendidikan merupakan masalah yang cukup serius di dalam rangka kelangsungan hidup brbangsa dan bernegara, dakam konteks hubungan bangsa dengan beradapan dunia. Penanganan masalah aspek kualitas berhubungan erat dengan penanganan aspek kuantitas, oleh karenannya perlu ada keseimbangan antara keduanya.

Masalah relevansi timbul dari hubungan antara sistem pendidikan dan pembangunan nasional, dan harapan masyarakat tentang peningkatan output pendidikan. Masalah efektivitas merupakan masalah kemampuan pelaksanaan pendidikan. Sedangkan masalah efisiensi pada hakekatnya juga merupakan masalah pengelolaan pendidikan.

Sehubungan dengan aspek permasalahan aspek di atas pemerintah telah banyak melakukan serangkaian kegiatan secara terus menerus melalui tahapan pembangunan di bidang pendidikan. Kesemunya diarahkan pada pencapaian peningkatan mutu pendidikan atau menyangkut aspek kualitas pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembangunan pendidikan sekarang harus mengalami perubahan. Misalnya penyampaian pelajaran tidaklah cukup dengan mengutarakan secara tulisan saja. Ini berarti bahwa sistem intruksional menghendaki para pengajar berusaha menjadikan keterlibatan mental maupun fisik siswa dalam proses pengajaran. Sehingga pengajaran yang efektif dan berhasil guna dapat tercapai untuk menunjang pencapaian tujuan. Hal ini menuntut pihak pengajar sedapat mungkin mencari pola organisasi pengajaran yang tepat sebagai alternatif yang sesuai dengan karakteristik materi yang diajarkan. Salah satu acuannya adalah analisis materi atau strukturisasi konsep.

Untuk mewujudkan harapan tersebut di atas, perlu dilakukan pembaharuan pendidikan yang dituangkan dalam berbagai program pembaharuan pendidikan. Misalnya perubahan kurikulum, pemberdayaan guru-guru bidang studi melalui penataran, pengadaan buku-buku paket serta pemilihan metode dan pendekatan pengajaran yang tepat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “Apakah penggunaan pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran IPA berpengaruh atau efektif terhadap prestasi belajar siswa Sekolah Dasar X khususnya mata pelajaran IPA ”.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan penelitian yakni untuk mengetahui apakah penggunaan pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran IPA berpengaruh atau efektif terhadap prestasi belajar siswa Sekolah Dasar X khususnya mata pelajaran IPA.
2. Manfaat Penelitian
Secara umum diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi peserta didik, pendidik, lembaga pendidikan dalam meningktakan kualitas pendidikan. Secara khusus penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang bagaimana pengaruh pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran IPA yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan melakukan pengajaran IPA di Sekolah Dasar.

D. Variabel dan Definisi Operasional.
Agar dapat dipahami arah dan tujuan penelitian ini, dipandang perlu memberikan gambaran tentang variabel penelitian yang sekaligus sebagai batasan operasional.
1. Pendekatan Keterampilan proses
Yang dimaksudkan di sini adalah pendekatan dalam melakukan keinginan pengajaran IPA yang menekankan pada keterampilan mengamati, mengumpulkan data, menemukan persamaan dan perbedaan materi yang dikaji. Pada gilirannya diharapkan siswa dalam belajarnya menggunakan pengetahuan atau perolehnya.
2. Prestasi Belajar IPA
Prestasi belajar yang dimaksud di sini adalah hasil perolehan siswa setelah dilakukan testing terhadap materi yang telah diajarkan dengan pendekatan keterampilan proses.

E. Hipotesis Penelitian
Untuk memberikan arah terhadap kesimpulan yang hendak dicapai, maka perlu dirumuskan hipotesis, sebagai berikut : Penggunaan pendekatan keterampilan proses dalam pengajaran IPA berpengaruh secara efektif terhadap prestasi belajar siswa Sekolah Dasar X, khususnya mata pelajaran IPA.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:05:00