Cari Kategori

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH EKSPOR, IMPOR, KURS NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP CADANGAN DEVISA INDONESIA

PENGARUH EKSPOR, IMPOR, KURS NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP CADANGAN DEVISA INDONESIA

1.1. Latar Belakang
Tata ekonomi Indonesia yang ada sampai akhir 1970-an dapat dikatakan tata ekonomi peninggalan kolonial, kehidupan ekonomi di dominasi sektor pertanian, perkebunan, dan ekstraktif. Sejak proklamasi kemerdekaan, sampai dikeluarkannya UU No I/67/dan UU No 6/68 tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, atau tepatnya sampai saat dimulainya Repelita I. Kita belum berkesempatan memperbaiki tata ekonomi nasional. Namun guna pengembangan tata ekonomi yang lebih menuju akan kesejahteraan, maka pemerintah sebagai pihak yang berotoritas mengembangkan arah kebijakan dalam pembangunan Industrialisasi guna menaikan perekonomian nasional. Pembangunan yang pada awalnya berpusat terhadap sektor pertanian kini berganti arah menjadi sektor industri. Karena melihat begitu banyak negara yang telah diuntungkan melalui industrialisasi, kita pun ikut beranjak kearah yang sama. Dorongan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat di Indonesia membuat perubahan ini dilakukan agar negara tidak banyak mengalami pengeluaran atas barang-barang yang dihasilkan oleh negara lain.

Sejarah perekonomian Indonesia merupakan suatu catatan penting untuk melihat bagaimana perkembangan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia mengalami begitu banyak dinamika di tahun 1980-an. Pada tahun 1983 terjadi resesi global dan berdampak pada perekonomian Indonesia.

Di tahun 1983 terjadi deregulasi perbankan, yakni kebijakan yang diambil karena Indonesia mengalami banyak kemunduran ekonomi. Kebijakannya, yakni mempertinggi efisiensi dan mobilisasi dana. Pergerakan yang positif dari kebijakan ini adalah cuaca perekonomian internasional yang semakin baik dan hal ini mulai terlihat dampaknya sekitar tahun 1984-1985.

Setiap arah kebijakan tentunya diharapkan mampu memberi sumbangan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun perlu waktu untuk mengecap keberhasilan suatu kebijakan. Seperti yang sudah di jelaskan di atas pergerakan ekonomi yang baik dimulai kembali di tahun 1984-1985, namun gejolak ekonomi kembali terjadi di tahun 1986. Suatu fenomena besar kembali terjadi yakni devaluasi kembali yang dilakukan oleh pemerintah. Cara-cara mengatasi gejolak ini pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan-kebijakannya (Deregulasi). Hasilnya di tahun 1989 pertumbuhan ekonomi mulai menunjukan sisi positifnya, ditandai dengan ketiadaan ancaman devaluasi, cadangan devisa yang tinggi, tinggkat inflasi yang rendah dan terkendali, suku bunga yang cenderung menurun, serta kurs rupiah yang relatif stabil.

Dengan di mulainya industrialisasi di Indonesia maka dengan sendirinya dibutuhkan devisa. Sumber pembiayaan perdagangan luar negeri tersebut disimpan dalam cadangan devisa, yang dipertanggung jawabkan oleh Bank Indonesia. Dan dicatat dalam neraca pembayaran Bank Indonesia.. Semakin giat kita melakukan industrialisasi semakin banyak devisa yang dibutuhkan. Dan kebutuhan itu diperuntukan untuk barang konsumsi namun kini perlahan berubah untuk pemenuhan barang modal dan bahan baku. Devisa juga banyak digunakan untuk pembangunan proyek-proyek industri maupun proyek seperti jalan, jembatan, dermaga, landasan udara, terminal. Devisa yang digunakan guna pembangunan ini adalah berasal dari devisa hasil ekspor kita baik migas maupun non-migas dan hasil jasa pariwisata. Bahkan devisa kita juga diperoleh dari peminjaman hutang luar negeri agar mampu menjalankan pembangunan tersebut. Ringkasnya adalah devisa mutlak perlu untuk negara yang giat membangun (Amir.M.S,2004)

Seiring dengan pergerakan pembangunan tersebut maka arah kebijakan industri kita pun ditetapkan jenis industri subsitusi impor, yakni barang-barang yang tadinya di impor dan kemudian di coba dibuat dalam negeri.. Valuta asing (Foreign Exchange Rate) diperlukan untuk mengimpor perlengkapan proyek-proyek industri manufakturing aneka jenis sesuai dengan jenis produk yang dibuat. Jenis Industri yang berkembang kebanyakan industri yang menghasilkan barang konsumsi primer seperti tekstil, pakaian jadi, terigu, makanan kaleng, obat-obatan dan barang konsumsi lainnya.

Selama periode pembangunan industrialisasi dalam negeri tentunya yang menjadi pertanyaan adalah sumber cadanga devisa negara kita. Cadangan devisa tentunya menjadi suatu indikator yang kuat untuk melihat sejauh mana suatu negara mampu melakukan perdagangan dan menunjukan perekonomian negara tersebut. Yang menjadi sumber cadangan devisa awalnya adalah keyakinan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah dan tentunya patut di perdagangkan ke luar negeri dan selebihnya pendanaan di dapat melalui bantuan luar negeri baik melalui hutang luar negeri juga melalui hibah atau sering disebut capital outflow.

Neraca pembayaran yang merupakan alat untuk melihat posisi cadangan devisa Indonesia sejak tahun 1989/1990 selalu mengalami surplus, namun apabila terjadi defisit biasanya diimbangi dengan adanya arus modal dari luar. Seiring perkembangan pemerintah sebagai otoritas pemberlaku kebijakan serta pelaku gerak pertumbuhan ekonomi dalam negeri, pendanaan tersebut lebih di dominasi atas hutang luar negeri yang dianggap sebagai masukan pendapatan saat itu bagi pemerintah.

Kondisi perekonomian Indonesia turut mengalami kejatuhan pula di saat perdagangan valuta asing juga mengalami kejatuhan di kawasan Asia. Diawali oleh guncangan pasar asing di Thailand, dan kemudian menjalar ke pasar valuta asing di negara-negara lainya di Asia. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar berdampak negatif terhadap posisi neraca pembayaran, terutama karena jumlah utang luar negeri makin membengkak, dimana pada tahun 1997, total stok utang luar negeri secara rill 64,2% GDP 95,3% dan perekonomian Indonesia pun masih tarus mengalami masalah.

Selain dari faktor diatas, yang menggerogoti cadangan devisa Indonesia adalah harga minyak. Faktor ekstern ini yang tidak bisa dikendalikan. Dalam kasus resesi pada tahun 1986, kejadiannya kurang lebih disebabkan karena harga ekspor minyak turun sampai titik terendah 9 dolar AS/ barrel. Situasi buruk ini juga diperparah kebutuhan BBM yang terus meningkat dalam negeri sementara produksi minyak Indonesia terus menurun mengakibatkan terus terkurasnya cadangan devisa Indonesia hanya untuk memenuhi BBM dalam negeri.

Posisi cadangan devisa suatu negara dikatakan aman biasanya apabila mencukupi kebutuhan impor untuk jangka waktu setidak-tidaknya untuk tiga bulan impor. Pada tahun 1996 tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8 % per tahun dan inflasi pada 5 bulan pertama mencapai tingkat yang terendah selama 10 tahun terakhir pada periode yang sama. Investasi langsung luar negeri mencapai 6,5 Juta dolar AS per tahun fiskal 1996/1997 (cukup untuk 5 bulan impor), Posisi cadangan devisa Indonesia sampai pada paruh pertama tahun 1997, perekonomian Indonesia menunjukan kinerja yang cukup baik yang ditandai dengan menguatnya beberapa indikator makro ekonomi, tahun 1998 cadangan devisa Indonesia mencapai 23,90 Triliun rupiah, akan tetapi akibat krisis ekonomi merosot hingga bulan September 1999 berkisar 16,01 Miliar dolar AS (Tambunan, 2000) dan jika kita menilik ditahun berikutnya diluar dari penelitian ini kini posisi cadangan devisa tahun 2008 sebesar dan per -Januari 2009 menunjukan posisi cadangan devisa Indonesia sebesar US$ 335,715 Milliar.(www.bi.id)

Kegunaan kondisi cadangan devisa harus dipelihara, agar transaksi internasional dapat berlangsung dengan stabil. Tujuan pengelolaan devisa merupakan bagian yang tak terpisahkan juga dari upaya menjaga nilai tukar, dimana menipisnya cadangan devisa akan mengundang spekulasi rupiah dari para spekulator, sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan likuiditas perlu mempertahankan stabilitas nilai tukar.

Kondisi Indonesia setelah krisis ekonomi menunjukan tersedotnya cadangan devisa untuk kebutuhan dalam negeri. Karena devisa ekspor lebih rendah dari devisa impor. Dalam upaya mempertahankan cadangan devisa pada tingkat yang aman perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi cadangan devisa di Indonesia, yaitu Ekspor, Impor dan Kurs nilai tukar rupiah.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul 

" Analisis Pengaruh Ekspor, Impor, Kurs nilai tukar rupiah terhadap Cadangan Devisa Indonesia "

1.2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka diperoleh permasalahan sebagai berikut :
1. Apa pengaruh Ekspor terhadap posisi cadangan devisa di Indonesia
2. Apa pengaruh Impor terhadap posisi cadangan devisa di Indonesia
3. Apa pengaruh Nilai tukar (Kurs) terhadap posisi cadangan devisa di Indonesia.

1.3. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari permasalahan yang menjadi objek peneliti dimana tingkat kebenaranya masih perlu di uji. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Ekspor mempunyai pengaruh positif terhadap cadangan devisa di Indonesia
2. Impor mempunyai pengaruh negatif terhadap posisi cadangan devisa di Indonesia
3. Nilai tukar rupiah (Kurs) mempunyai pengaruh positif terhadap posisi cadangan devisa di Indonesia

1.4. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Ekspor terhadap posisis cadangan devisa di Indonesia
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Impor terhadap posisi cadangan Devisa di Indonesia
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh nilai tukar Rupiah (kurs) terhadap posisi cadangan devisa di Indonesia.

1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
2. Sebagai masukan bagi kalangan akademis dan peneliti yang tertarik untuk membahas mengenai topik yang sama
3. Sebagai proses pembelajaran dan penambah wawasan ilmiah penulis dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:07:00

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN AIR BERSIH PDAM

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN AIR BERSIH PDAM

1.1 Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu perubahan yang mewujudkan suatu kondisi yang lebih baik secara materiil maupun spiritual. Pembangunan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Air merupakan tulang punggung bagi awal dan kelanjutan pengembangan industri dan tingkat hidup masyarakat.

Perusahaan Daerah Air Minum PDAM X Kabupaten X adalah perusahaan milik Pemerintah Kabupaten X yang bergerak pada bidang usaha pelayanan air bersih kepada masyarakat, terutama kepada pelanggannya.

Dalam rangka mewujudkan peran PDAM X Kabupaten X secara optimal memenuhi kebutuhan air bersih kepada masyarakat dengan kuantitas dan kualitas serta pelayanan yang prima, pemilik, pengelola dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan ini (stake holder) perlu mempunyai suatu persepsi dan titik pandang yang sama, terutama dalam hal menentukan visi dan misi.

Adapun visi dan misi yaitu :
Visi : Masyarakat Kabupaten X Mendapat Air Bersih Yang Layak
misi : Senantiasa mampu melayani kebutuhan air bersih kepada masyarakat secara lebih baik.
Untuk mensukseskan visi dan misi seperti diutarakan di atas diperlukan 3 (tiga) langkah strategis yang akan ditempuh oleh perusahaan yaitu :
1. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan sarana yang didasari suatu studi kelayakan (risibility study) yang matang.
2. Pemanfaatan Sarana Yang ada secara optimal.
3. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) secara Profesional.
Visi, Misi dan langkah-langkah strategis seperti diutarakan di atas adalah merupakan konsep dengan arti memerlukan pembahasan untuk menyatukan suatu persepsi dan titik pandang serta pola pikir yang sama atas keberadaan perusahaan ini. Dan selanjutnya untuk menjadi kriteria yang akan dipedomani dan dilaksanakan secara konstitusional, Visi, Misi dan langkah-langkah strategis ini terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bupati X yang tertuang dalam suatu Surat Keputusan.

Perusahaan Daerah Air Minum X Kabupaten X, dasar pendiriannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Daerah Tingkat II X Nomor 08 tahun 1991 tanggal 2 Maret 1991 tentang Pendirian PDAM X Kabupaten Daerah Tingkat II X.

Awal dari adanya pendistribusian air bersih kepada masyarakat Kabupaten X adalah di Kota Y dengan sumber air berasal dari Sitakka yang dikelola oleh Kolonial Belanda sebelum Indonesia merdeka yaitu sejak tahun 1926.

Setelah Indonesia merdeka pengelolaan air bersih ini diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Dati II X.

Sejak penyerahaan air bersih diserahkan kolonial Belanda kepada Pemerintah Kabupaten Dati II X sampai dengan bulan Nopember Tahun 1974, pengelolaan air bersih dilaksakan secara kedinasan oleh Pemerintah Kabupaten Dati II X.

Masalah air bersih merupakan hal yang paling vital bagi kehidupan kita. Dimana setiap hari kita membutuhkan air bersih untuk minum, memasak, mandi, mencuci dan sebagainya. Dengan air yang bersih tentunya membuat kita terhindar dari penyakit. Kalau kita tahu, saat ini masalah air bersih merupakan barang yang langka di negeri tercinta kita ini, apalagi di kota-kota besar, air bersih merupakan barang yang mahal dan sering diperjualbelikan. Tidak seperti halnya beberapa puluh tahun yang lalu, saat itu air bersih mudah diperoleh dan selalu berlimpah mengalir di setiap sudut tanah negeri kita ini, karena pada waktu itu belum banyak terjadi polusi air dan udara. Dari rasa dan warnanya pun saat ini berbeda tidak sealami dulu dikarenakan polusi tersebut.

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat, sehingga pemerintah selalu berupaya membangun sarana air bersih. Penyediaan air bersih bisa diusahakan sendiri oleh masyarakat atau perusahaan. Air bersih salah satu kebutuhan vital manusia, sehingga manusia selalu berupaya mendapatkan air bersih terutama untuk keperluan minum. Di Kabupaten X hingga tahun 2001, baru 6 kecamatan yang telah menikmati sumber air bersih yang dikelola perusahaan air minum (PDAM), disamping itu ada beberapa kecamatan yang sudah menikmati air bersih tetapi dikelola secara swadaya/penduduk setempat.

Jasa pelayanan PDAM X semakin meningkat setiap tahun baik ditinjau dari perkembangan jumlah pelanggan dan produksi air bersih. Pada tahun 2001 jumlah pelanggan sebanyak 5109 pelanggan 1.473.248 M meningkat sebesar 20 persen untuk pelanggan dan 2 persen untuk produksi. Dilihat dari jenis pelanggan yang menikmati jasa PDAM tercatat 90 persen adalah rumah tangga dan 7 persen untuk usaha toko/industri, selebihnya untuk umum, instansi dan Iain-lain.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan diatas, maka penulis mencoba untuk membahas lebih lanjut mengenai permintaan air bersih tersebut dengan judul skripsi "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Air Bersih PDAM X Kabupaten X".

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar kajian dalam penelitian yang dilakukan, yaitu :
1. Bagaimanakah pengaruh Pendapatan total keluarga terhadap permintaan air bersih pada PDAM X ?
2. Bagaimanakah pengaruh pengeluaran energi terhadap permintaan air bersih pada PDAM X ?
3. Bagaimanakah pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap permintaan air bersih pada PDAM X ?
4. Bagaimanakah pengaruh pengaruh sumber air lainnya (Dummy) terhadap permintaan air bersih pada PDAM X

1.3 Hipotesa
Hipotesa merupakan jawaban sementara ataupun kesimpulan sementara yang diambil untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian. Berdasarkan permasalahan di atas maka sebagai jawaban sementara penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Pendapatan total keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap permintaan air bersih pada PDAM X.
2. Pengeluaran energi mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan air bersih pada PDAM X.
3. Jumlah tanggungan keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap permintaan bersih pada PDAM X.
4. Sumber air lainnya mempunyai pengaruh negatif terhadap permintaan air bersih pada PDAM X.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pendapatan total keluarga terhadap permintaan air bersih pada PDAM X.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pengeluaran energi terhadap permintaan air bersih pada PDAM X.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh jumlah tanggungan keluarga terhadap permintaan air bersih PDAM X.
4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pengaruh sumber air lainnya terhadap permintaan air bersih pada PDAM X.
Adapun yang menjadi manfaat daripada penulisan ini adalah :
1. Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca lainnya tentang faktor-faktor permintaan air bersih X Kabupaten X dan bagaimana pengaruh yang ditimbulkan.
2. Dapat digunakan sebagai bahan masukan yang berguna bagi pengambil keputusan di masa yang akan datang dan juga sebagai bahan referensi.
3. Dapat menjadi bahan informasi bagi peneliti lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
4. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pemerintah atau bagi instansi-instansi yang terkait.

1.5. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis penelitian, metode penelitian, metode pengambilan sampel, metode analisis data dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Berisi tentang penelitian sebelumnya yang erat kaitannya dengan penelitian ini, teori permintaan, fungsi permintaan, elastisitas permintaan, hukum permintaan, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan permintaan oleh tingkat harga barang lain, tingkat harga barang sendiri, pendapatan, distribusi pendapatan, selera, jumlah penduduk, ekspektasi, serta rumah tangga sebagai konsumen.
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan metode estimasi data yang digunakan dalam penelitian ini serta pengujian-pengujian yang akan dilakukan terhadap hasil estimasi data yang diperoleh.
BAB IV HASIL DAN ANALISIS
Berisi tentang hasil yang didapatkan dari pengujian-pengujian yang dilakukan terhadap hasil estimasi data serta menguraikan tentang data yang telah dikumpulkan melalui kuisioner, selanjutnya dianalisis dengan metode yang telah ditentukan, dari analisis yang ada kemudian diinterpretasikan sehingga dapat ditemukan suatu kesimpulan sebagai penelitian.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dari hasil analisis data yang telah dilakukan dan implikasi dari hasil penelitian.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:01:00

TUGAS KEPALA SEKOLAH SD, SMP, SMA / SMK PADA PELAKSANAAN KURIKULUM 2013

Salah satu unsur penentu keberhasilan penerapan kurikulum ialah efektivitas peran kepala sekolah dalam memenuhi standar pengelolaan. Tantangan utama bidang ini yaitu kepala sekolah memahami ruang lingkup tugasnya untuk mendukung penyelenggaran kurikulum 2013. Di samping itu, ia perlu menyikapi perubahan dengan tindakan manajemen yang berbeda dari pelaksanaan tugas dalam menerapkan kurikulum sebelumnya.

Pada bagian ini dideskripsikan tugas yang seharusnya kepala Sekolah Dasar laksanakan dalam mewujudkan keunggulan mutu lulusan sesuai Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang meliputi dimensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Pada kolom kedua berisi uraian tugas kepala sekolah dalam mengarahkan sumber daya satuan pendidikannya dalam perencanaan pembelajaran. Pada kolom ketiga dideskripsikan peran kepala sekolah dalam mengarahkan dan mengendalikan proses pembelajaran dan penilaian untuk menjamin efektivitas penyelenggaraan kurikulum berbasis aktivitas. Pada kolom keempat dideskripsikan model aktivitas belajar dan produk belajar siswa pada tiap dimensi kompetensi.

Pada baris ke bawah terdapat penjelasan tentang kompetensi pada tiga dimensi, tindakan manajemen kepala sekolah dan dokumen yang perlu kepala sekolah kelola untuk mendukung ketersediaan data bahan pertanggung jawaban penyelenggaraan program. Berbagai dokumen pendukung penyelenggaraan kurikulum 2013 diperlukan pula sebagai bahan pengambilan keputusan.

Tingkat ketepatan data dan informasi yang terhimpun dalam dokumen akan berpengaruh pada mutu keputusan yang kepala sekolah buat dalam mengelola perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program.

a. Model Pemetaan Tugas Kepala SD

Untuk mewujudkan keunggulan mutu lulusan sekolah yang dipimpinnya kepala sekolah perlu mengasah kompetensinya agar kapasitas dirinya dapat memenuhi kebutuhan melaksanakan kurikumlum 2013. Kepala sekolah dasar memiliki tantangan khas dalam perannya sebagai perencana, pelaksana,dan evaluator sebagai berikut:


Pelaksanaan program yang tidak hanya sekedar mengubah dokumen, namun menjadi proses pembeharuan yang nyata dalam pembelajaran yang menyeimbangkan antara soft skill dan hard skill, pembelajaran tematik terpadu, meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar untuk menghasilkan produk belajar serta penilaian yang tidak hanya fokus tes kognitif merupakan bagian yang perlu mendapatkan pengawalan dari peran kepemimpinan kepala sekolah.

b. Model Pemetaan Tugas Kepala SMP

Untuk mewujudkan keunggulan mutu lulusan SMP kepala sekolah perlu fokus pada standar kompetensi yang perlu diperhatikan secara seimbang serta menjadi poros pelaksanaan berbagai tugas kepala sekolah.

Arah dari pelaksanaan tugas adalah mewujudkan keunggulan mutu lulusan dalam dimensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Keunggulan targetnya dideskripsikan dalam standar kompetensi lulusan. Target keunggulan itu harus tercermin dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran serta penilaian. Kepala sekolah harus menjamin bahwa seluruh usaha perbaikan mutu pembelajaran berdampak pada perbaikan mutu belajar siswa.

Oleh karena itu, tugas yang strategis kepala sekolah adalah memantau perkembangan hasil belajar siswa secara berkala untuk memastikan bahwa target mutu lulusan yang sekolah harapkan terwujud. Pemantauan pada prinsipnya merupakan proses pengumpulan data sebagai bahan perbaikan.

Peta di bawah ini menunjukkan peran kepala sekolah dalam penerapan kurikulum 2013 :


Sebagai konsekuensi perubahan melalui peningkatan usaha perbaikan pemenuhan standar kompetensi lulusan kepala SMP perlu mencermati tugas-tugasnya dalam penengelolaan sekolah yang lebih seksama dalam memperhatikan aktivitas siswa belajar dan menghasilkan karya. Karena itu memperhatikan peningkatkan mutu proses pembelajaran perlu ditunjang dengan sistem perencanaan yang benar-benar fokus pada kebutuhan pengembangan kompetensi siswa, pelaksanaan pembelajaran yang lebih terkendali melalui perbaikan pelaksanaan supervisi, maupun pembaruan dalam sistem penilaian.

c. Model Pemetaan Tugas Kepala SMA/SMK

Untuk mewujudkan keunggulan mutu lulusan, kepala sekolah SMA/SMK perlu memperhatikan tugas yang seharusnya kepala sekolah lakukan. Pada gambar di bawah terdapat model analisis tugas yang menunjang pelaksanaan kurikulum 2013. Contoh pelaksanaan tindakan pada gambar berikut bukanlah ketentuan yang kaku dan mengikat. Kepala sekolah dapat menentukan kegiatan yang paling sesuai untuk keperluan sekolahnya.

Namun demikian model di bawah diharapkan dapat menginspirasi kepala sekolah untuk memperluas pemikiran tentang yang sebaiknya ia lakukan untuk mendukung pelaksanaan kurikulum yang lebih efektif dengan lebih fokus pada usaha meningkatkan mutu lulusan melalui perbaikan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran.

Mengembangkan perencanaan pembelajaran yang lebih memenuhi kebutuhan pemenuhan karakter kurikulum 2013 yang lebih fokus pada penjaminan implementasi kurikulum berbasis aktivitas siswa. Menjamin terlaksananya kegiatan belajar yang lebih menyeimbangkan pengembangan kopetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan.


Beberapa aktivitas manajemen yang perlu kepala sekolah lakukan tergambar pada baris tindakan manajemen. Di antaranya adalah menangani program peminatan dan lintas minat serta menjamin kepala melaksanakan supervisi pembelajaran dan penilaian.

Sumber : Materi Diklat Implementasi Kurikulum 2013 Bagi Kepala Sekolah

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 12:33:00

IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI (STUDI PADA ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH)

IKLIM KOMUNIKASI ORGANISASI (STUDI PADA ORGANISASI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH) (PROGRAM STUDI : KOMUNIKASI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam kelompok masyarakat, salah satunya adalah organisasi. Terdapat banyak teori mengenai pengertian organisasi. Schein (1982) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab. Selain itu organisasi juga memiliki karakteristik tertentu yaitu memiliki struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian lain dan tergantung kepada komunikasi manusia untuk mengkoordinasikan aktivitas dalam organisasi tersebut. Kochler (1976) juga mengatakan bahwa organisasi adalah system hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasi usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu (Muhammad, 1995). Sedangkan menurut Barnard (1982) unsur-unsur organisasi adalah komunikasi, kesediaan untuk mengabdi dan memiliki tujuan bersama.
Oleh karena itu agar sebuah organisasi bisa bertahan lama dan berkembang diperlukan komunikasi yang baik diantara anggotanya serta tujuan dari organisasi itu sendiri. Di dalam sebuah organisasi pun terdapat sebuah kondisi yang dinamakan iklim organisasi. Kondisi atau iklim organisasi dianggap ideal apabila hubungan komunikasi antara bawahan dan atasan begitu juga sebaliknya berjalan dengan baik. Iklim organisasi adalah kualitas relative dari lingkungan organisasi internal yang dialami oleh anggota organisasi serta mempengaruhi tingkah laku dan dapat digambarkan dalam hal nilai-nilai dan kerangka karakteristik atau atribut organisasi. Apabila di dalam suatu organisasi komunikasi antara bawahan dan atasan maupun sebaliknya tidak berjalan dengan baik maka kemungkinan besar iklim organisasi yang ada pun tidak bisa dikatakan ideal. Jika iklim yang ada tidak terbentuk dengan baik maka organisasi tidak bisa berkembang secara efisien. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam suatu organisasi terdapat tujuan dari organisasi itu sendiri., namun apabila factor-faktor pendukung tidak memadai maka organisasi tersebut tidak bisa mencapai tujuannya. Selain adanya iklim organisasi, di dalam sebuah organisasi tentu saja ada unsur-unsur lain yang mungkin bisa mempengaruhi iklim yang terbentuk seperti budaya maupun strategi komunikasi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan sebuah organisasi yang memiliki unsur-unsur seperti budaya, strategi maupun iklim organisasi. Sebagai sebuah organisasi pemerintahan, unsure-unsur tersebut memiliki pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan bentuk organisasi yang lain. Oleh karena itu, peneliti ingin mempelajari lebih jauh mengenai organisasi pemerintahan seperti Pemprov. DKI Jakarta.
Pemprov. DKI Jakarta merupakan bentuk organisasi pemerintah yang dipengaruhi oleh system birokrasi yang mengikat. Dan sebagai sebuah organisasi, Pemprov; DKI Jakarta memiliki tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan kebutuhan dari kota Jakarta itu sendiri. Telah banyak hal yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatur kotanya. Sebagian dirasakan manfaatnya oleh penduduk kota Jakarta dan sebagian lagi mungkin dianggap merugikan oleh penduduknya. Pro dan kontra tidak akan lepas dari setiap kebijakan dan peraturan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai suatu organisasi, Pemprov DKI Jakarta pastinya memiliki sebuah kondisi yang mempengaruhi seluruh anggotanya. Dan mau tidak mau, kondisi tersebut bisa mempengaruhi tujuan organisasi itu sendiri. Diantara tujuan yang ada, salah satu tujuan yang dimiliki oleh Pemprov. DKI Jakarta adalah melakukan kerjasama luar negeri.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu cara yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam upayanya untuk mengembangkan kota, adalah bekerjasama dengan kota-kota besar di luar negeri. Kerjasama yang terjalin antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Daerah Provinsi/Kota di luar negeri berorientasi pada upaya menumbuh kembangkan hubungan persahabatan. Selain itu juga dipandang sangat membantu fungsi-fungsi Pemerintah Daerah dalam membina daerah dan pembangunan.
Kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berada dibawah Biro Kepala Daerah dan Kerjasama Luar Negeri dalam hal ini Bagian Kerjasama Luar Negeri. Dalam Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2008, disebutkan bahwa salah satu tugas dari Biro Kepala Daerah dan Kerjasama Luar Negeri adalah melakukan kerjasama luar negeri dalam hal ini kerjasama sister city dan ikut dalam organisasi internasional.
Biro Kepala Daerah dan Kerjasama Luar Negeri (Biro KDH dan KLN) telah melaksanakan berbagai bentuk kerjasama internasional tidak hanya dengan kota-kota besar di luar negeri tetapi juga dengan organisasi internasional di dunia. Kerjasama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan kota-kota besar di luar negeri dinamakan kerjasama sister city. Kerjasama sister city memiliki pengertian kerjasama kota bersaudara yang dilaksanakan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota setingkat di negara lain. Kerjasama Sister City DKI Jakarta disahkan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding antara Gubernur Provinsi DKI Jakarta dengan Gubernur/Walikota kota lain di luar negeri.
Bentuk kerjasama sister city sudah berlangsung sejak 1973 dan hingga saat ini sudah sekitar 21 kota besar di luar negeri menjadi sister city Jakarta. Manfaat yang dapat diambil dari kerjasama sister city adalah : 
1. Tukar menukar pengetahuan dan pengalaman tentang pengelolaan pembangunan bidang-bidang yang dikerjasamakan.
2. Mendorong tumbuhnya prakarsa dan peran aktif pemerintah daerah, masyarakat dan swasta.
3. Meningkatkan optimalisasi pengelolaan potensi daerah. 
4. Mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua pihak.
5. Tukar menukar kebudayaan dalam rangka memperkaya kebudayaan daerah.
Banyak hal yang mempengaruhi ketidakberhasilan suatu program kerjasama. Program-program kerjasama yang disepakati antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan kota-kota sister city-nya maupun organisasi internasional selalu melibatkan unit-unit kerja yang ada di dalam Pemprov. DKI Jakarta. Tetapi realitanya, program-program tersebut tidak bisa berjalan dengan baik karena unit kerja yang berkaitan tidak bisa melaksanakan program tersebut dengan baik.
Selain adanya hambatan dalam hal koordinasi antara Biro KDH dan KLN dengan unit organisasi yang lain, yang paling penting adalah adanya tujuan yang jelas mengenai kerjasama luar negeri itu sendiri. Pemda DKI Jakarta hingga saat ini tidak memiliki tujuan yang jelas perihal apa yang ingin dicapai dalam kerjasama luar negeri yang telah dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dalam konteks kerjasama sister city hanya bersifat incidental yaitu kebutuhan sesaat tetapi tidak direncanakan untuk waktu jangka panjang. Komunikasi yang terjalin di dalam Biro KDH dan KLN pun memiliki andil yang cukup besar bagi perkembangan organisasi itu sendiri.
Untuk melakukan koordinasi antara satu unit dengan unit lainnya dibutuhkan komunikasi yang baik. Dimana komunikasi yang terjalin harus bisa diterima dan dipahami oleh kedua pihak. Hal itulah yang menjadi persoalan di dalam unit-unit kerja yang ada di lingkungan Pemprov. DKI Jakarta. Seringkali komunikasi yang terjalin tidak maksimal bahkan tidak dapat dipahami oleh unit yang lain. Komunikasi yang tidak maksimal juga terjadi di dalam unit Biro KDH dan KLN itu sendiri sehingga pesan yang ingin disampaikan pun tidak tercapai.
Bentuk komunikasi yang baik di dalam suatu organisasi adalah komunikasi yang dapat dipahami dan dimengerti sehingga tujuan dari sebuah organisasi dapat tercapai. Dalam hal ini tujuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah menjadi "service city" bagi masyarakatnya. Menurut Max Weber, sebuah organisasi formal seperti pemerintahan memiliki kriteria-kriteria komunikasi agar tujuannya bisa tercapai. Karakteristik dari sebuah organisasi formal merujuk pada fenomena yang disebut posisi komunikasi. Hubungan yang tercipta diantara unit-unit yang ada terbentuk karena posisi yang ada bukan karena manusianya. Komunikasi yang tercipta pun didasarkan atas posisi yang dimiliki oleh individu.
Komunikasi antara bawahan dan atasan maupun sebaliknya tidak berjalan dengan maksimal sehingga mempengaruhi komunikasi dengan unit lain maupun divisi yang lain. Hal inilah yang menyebabkan tujuan dari kerjasama luar negeri seringkali tidak maksimal. Untuk bisa mencapai kerjasama luar negeri yang maksimal, komunikasi yang terbentuk diantara dan di dalam unit-unit kerja haruslah sejalan antara unit satu dengan unit lain sehingga program-program yang telah disepakati berjalan dengan baik.
Komunikasi yang terbentuk dikarenakan posisi dan mengalami disfungsi membuat timbulnya komunikasi-komunikasi informal di dalam sebuah organisasi formal. Komunikasi informal yang tidak sejalan dengan komunikasi formal menciptakan iklim organisasi yang tidak ideal.
Iklim organisasi bisa tercipta dari bentuk komunikasi yang terjalin di dalam sebuah organisasi. Dan iklim tersebut dapat mempengaruhi setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi anggota organisasi itu sendiri. Hal inilah yang menurut peneliti terjadi di dalam Biro KDH dan KLN. Komunikasi yang terjalin hanya satu arah, dan seringkali bila ada masalah yang menyangkut kerjasama luar negeri antara unit-unit tersebut dengan pihak dari luar negeri, Biro KDH dan KLN tidak mengetahui secara detail apa yang terjadi. Hal ini menyebabkan fungsi Biro KDH dan KLN sebagai fasilitator tidak berjalan dengan baik.
Bukan berarti komunikasi yang terbentuk di dalam suatu organisasi selalu menimbulkan masalah, tetapi bila komunikasi yang terbentuk tidak sesuai dengan era yang ada maka hal tersebut bisa menjadi hambatan. Menurut Ruben and Stewart (2006 : 296), komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam menjalankan sebuah organisasi. Karena di dalam komunikasi, setiap anggotanya dapat menjelaskan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasinya, menggambarkan tugas dan kewajiban setiap anggota, mengkoordinasikan setiap tindakan yang akan dilakukan, menetapkan informasi yang dibutuhkan oleh unit kerja lain serta mengembangkan budaya dan iklim kerja.
Sehubungan dengan perihal di atas, peneliti ingin mempelajari lebih jauh mengenai iklim organisasi yang terbentuk di dalam Biro KDH dan KLN serta unsur-unsur lain yang dapat membentuk iklim itu sendiri. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui apakah iklim yang terbentuk dapat memberikan pengaruh kepada pelaksanaan kerjasama luar negeri yang menjadi salah satu tujuan dari Biro KDH dan KLN.

B. Rumusan Masalah
Seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab di atas, komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi kegiatan berorganisasi. Tanpa adanya komunikasi yang baik maka kegiatan berorganisasi yang ada pun tidak bisa berjalan dengan baik. Seperti yang disampaikan oleh Goldhaber (1993), "Communication is essential to an organization. Information is vital to effective communication". Komunikasi memainkan peran yang sangat penting dalam mencapai tujuan dari organisasi, mengawasi setiap kemajuan dari setiap tujuan yang telah dijalankan, dan bilamana dianggap bahwa tujuan yang telah ditetapkan tidak sesuai maka akan dikaji ulang dan dibuat ulang sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Komunikasi yang baik akan menciptakan iklim yang ideal di dalam organisasi tersebut. Selain komunikasi, sebuah organisasi umumnya memiliki unsur-unsur seperti budaya komunikasi maupun strategi komunikasi. Kedua unsur tersebut diasumsikan dapat mempengaruhi atau menciptakan iklim komunikasi di dalam sebuah organisasi.
Seperti yang telah dijelaskan di dalam latar belakang bahwa komunikasi yang terbentuk di dalam Pemprov. DKI Jakarta didasari oleh posisi sebuah individu yang ada di dalam unit kerja. Dalam arti semakin tinggi posisi yang dimiliki oleh seseorang maka ia memiliki batasan komunikasi yang lebih luas dibandingkan individu lain yang tidak memiliki posisi yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan komunikasi yang terjadi tidak berjalan maksimal. Sebaiknya komunikasi yang terbentuk tidak hanya didasari oleh posisi seseorang tetapi juga kebutuhan yang terus berubah setiap saat.
Dalam bukunya, Organizational Communication, Pace and Faules menyatakan bahwa komunikasi organisasi terjadi bilamana sedikitnya salah seorang yang memiliki suatu posisi di dalam sebuah organisasi menyampaikan pesannya terhadap anggota organisasi yang lain dengan harapan anggota tersebut mengerti maksud dan arti dari pesan yang disampaikan.
Selain komunikasi, organisasi juga dipengaruhi oleh iklim yang terbentuk. Dimana iklim yang ada juga dibentuk dari unsur-unsur organisasi yang lain seperti budaya dan strategi komunikasi. Seperti yang disampaikan oleh Litwin and Stringer (1968 : 5) adalah organizational climate is the perceived, subjective effects of the formal system, the informal style of managers and other important environmental factors on the attitudes, believes, values and motivation of people who work in a particular organization. Iklim komunikasi organisasi terdiri dari persepsi-persepsi atas unsur-unsur organisasi dan pengaruh unsur-unsur tersebut terhadap komunikasi.
Oleh karena itu hubungan antara komunikasi, iklim dan organisasi begitu erat dan saling berkaitan. Di dalam suatu organisasi akan terbentuk suatu iklim yang di dalamnya termasuk bentuk komunikasi, budaya maupun strategi komunikasi. Unsur-unsur tersebut membentuk sebuah iklim dimana iklim tersebut diasumsikan mempengaruhi perilaku anggota organisasi yang ada baik positif maupun negative.
Hal inilah yang terjadi di dalam Pemprov. DKI Jakarta. Iklim organisasi yang terbentuk diasumsikan mempengaruhi atau menciptakan perilaku anggota organisasi yang bisa berdampak pada pelaksanaan kerjasama luar negeri. Iklim tersebut kemungkinan dibentuk oleh bentuk komunikasi yang ada, budaya serta strategi komunikasi yang diterapkan.
Untuk bisa mempelajari bagaimana iklim komunikasi yang terbentuk di dalam organisasi birokrasi seperti Pemprov. DKI Jakarta sekaligus mengetahui apakah ada implikasi yang terjadi terhadap pelaksanaan kerjasama luar negeri maka peneliti akan melakukan penelitian di dalam unit kerja Biro KDH dan KLN. Sebagai unit kerja yang fungsinya sebagai koordinator dan fasilitator bagi unit-unit kerja lain yang berhubungan dengan kerjasama luar negeri maka sangatlah penting untuk bisa memahami apa yang terjadi di dalam unit tersebut sehingga pelaksanaan kerjasama luar negeri bisa berjalan maksimal.

C. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk bisa menjawab pertanyaan sebagai berikut yaitu bagaimana iklim organisasi yang terbentuk di dalam organisasi birokrasi dan apakah berimplikasi terhadap pelaksanaan kerjasama luar negeri serta mengetahui apakah budaya dan strategi komunikasi dapat mempengaruhi pembentukan iklim sebuah organisasi.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui iklim organisasi yang terbentuk di dalam sebuah organisasi birokrasi serta melihat apakah iklim organisasi yang ada dapat berimplikasi pada pelaksanaan kerjasama luar negeri. Selain itu juga peneliti berharap dapat mengetahui bilamana unsur-unsur organisasi seperti budaya dan strategi komunikasi dapat mempengaruhi atau menciptakan iklim sebuah organisasi. Selain itu juga diharapkan dengan hasil penelitian ini bisa memberikan pencapaian yang maksimal bagi kerjasama luar negeri sehingga kota Jakarta berkembang seperti apa yang diharapkan oleh setiap penduduknya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:19:00

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI DINAS KESEHATAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI DINAS KESEHATAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Hal ini diwujudkan dalam pemberian otonomi kepada daerah. Secara hukum, otonomi yang diberikan kepada daerah diatur dalam TAP MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraannya, Otonomi Daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerintahan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Menurut Raharjo (2004), pelaksanaan TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 lebih lanjut diwujudkan dengan penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan Otonomi kepada Daerah Kabupaten/Kota didasarkan kepada azas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dalam kewenangan otonomi yang luas ini tercakup keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang meliputi kewenangan bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter data fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Lebih lanjut, Tambunan (2005) menyatakan bahwa pemberian kewenangan pemerintahan yang luas kepada daerah membawa konsekuensi langsung berkurangnya kewenangan Pemerintah Pusat terhadap daerah dan penambahan tanggung jawab kepada daerah. Terjadinya penambahan wewenang membawa konsekuensi penambahan tugas kepada daerah. Untuk melaksanakan semua tugas itu kemudian dilakukan restrukturisasi kelembagaan.
Sejalan dengan restrukturisasi yang dilakukan, dibutuhkan peningkatan kinerja pegawai agar dapat melaksanakan tugas yang ada sebaik mungkin. Untuk itu perlu diperhatikan sikap dasar pegawai terhadap diri-sendiri, kompetensi, pekerjaan saat ini serta gambaran mereka mengenai peluang yang bisa diraih dalam struktur organisasi yang baru. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa perubahan struktur organisasi yang baru dapat mengakibatkan stress dan kecemasan karena menghadapi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Pada saat inilah faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja yang tinggi sangat berperan (Tambunan, 2005).
Faktor kepemimpinan dari atasan dapat memberikan pengayoman dan bimbingan kepada pegawai dalam menghadapi tugas dan lingkungan kerja yang baru. Pemimpin yang baik, akan mampu menularkan optimisme dan pengetahuan yang dimilikinya agar pegawai yang menjadi bawahannya dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik.
Dalam melaksanakan pekerjaan, pegawai tidak lepas dari komunikasi dengan sesama rekan sekerja, dengan atasan dan dengan bawahan. Komunikasi yang baik dapat menjadi sarana yang tepat dalam meningkatkan kinerja pegawai. Melalui komunikasi, pegawai dapat meminta petunjuk kepada atasan mengenai pelaksanaan kerja. Melalui komunikasi juga pegawai dapat saling bekerja sama satu sama lain.
Iklim organisasi yang kondusif juga dibutuhkan dalam meningkatkan kinerja pegawai. Hubungan yang baik dengan atasan, sesama rekan kerja dan bawahan dalam lingkungan kerja, akan memberi semangat kerja bagi pegawai. Selain itu keberadaan sarana prasarana yang menunjang pelaksanaan kerja juga mutlak diperlukan demi kelancaran pelaksanan tugas. Apabila semua itu tercipta di lingkungan kerja, maka akan meningkatkan kinerja karyawan.
Faktor motivasi juga tidak kalah penting dalam meningkatkan kinerja pegawai. Motivasi menjadi pendorong seseorang melaksanakan suatu kegiatan guna mendapatkan hasil yang terbaik. Oleh karena itulah tidak heran jika pegawai yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi biasanya mempunyai kinerja yang tinggi pula. Untuk itu motivasi kerja pegawai perlu dibangkitkan agar pegawai dapat menghasilkan kinerja yang terbaik.
Dari survey awal yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten X dapat diketahui bahwa kinerja pegawai di kantor tersebut masih kurang baik. Hal ini terlihat dari masih banyaknya tugas yang dilakukan dengan waktu yang terlalu panjang dari yang ditentukan. Selain itu dari segi penyelenggaraan administrasi juga masih kurang baik, yang terlihat dari masih sering terjadi surat yang hilang, padahal surat tersebut dibutuhkan untuk arsip dinas.
Semua permasalahan yang terungkap dari survey awal tersebut dinyatakan pegawai yang dijadikan responden awal, disebabkan karena kurangnya pengarahan dari pimpinan mengenai mekanisme kerja yang efektif, sehingga pegawai cenderung melaksanakan pekerjaan sesuai persepsinya sendiri. Di lain pihak dari segi pegawai sendiri kurang komunikasi untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahaminya dalam pelaksanaan kerja. Semua itu terjadi karena iklim organisasi yang ada kurang kondusif untuk memungkinkan terjadinya komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping pegawai sendiri kurang mempunyai motivasi untuk mendapatkan hasil kerja yang terbaik.
Berdasarkan uraian di atas, nampak betapa pentingnya peranan faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja dalam meningkatkan kinerja pegawai. Hal ini mendorong penulis untuk meneliti seberapa besar pengaruh tersebut terhadap kinerja pegawai dan menuliskan hasilnya dalam tesis berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor kepemimpinan secara parsial terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor komunikasi secara parsial terhadap kinerja Pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor iklim organisasi secara parsial terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor motivasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi secara simultan terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor kepemimpinan secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor komunikasi secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor iklim organisasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
4. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor motivasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
5. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja secara simultan terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai pendalaman tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan sumber daya manusia serta upaya identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.
2. Manfaat bagi Unit Kerja
Diharapkan dapat memberikan gambaran dan rekomendasi bagi Pimpinan dan seluruh jajaran khususnya di lingkungan Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam menentukan kebijaksanaan dan mengambil keputusan untuk meningkatkan kinerja para pegawainya.
3. Bagi Penulis
Sebagai upaya lebih mendalami masalah-masalah Sumber Daya Manusia serta mendekatkan antara teori-teori dan praktek di lapangan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 09:11:00

KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL

TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL (PROGRAM STUDI : PSIKOLOGI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri penerbangan, bahkan diperkirakan permintaan angkutan udara akan meningkat hingga 10 tahun ke depan (Airline Business dalam Manurung, 2010). Kondisi Indonesia yang terdiri dari kepulauan membuat transportasi udara dirasa menjadi solusi yang paling efektif dalam mengatasi kebutuhan konsumen terhadap moda transportasi. Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi perusahaan yang bergerak dalam jasa transportasi udara, termasuk perusahaan yang bergerak dalam bidang pesawat carter. Bahkan beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya bisnis yang bergerak dalam bidang pertambangan, minyak dan gas, serta perkebunan, bisnis pesawat carter semakin meningkat.
Dalam menjalankan bisnisnya, keselamatan penerbangan menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan penerbangan. KNKT mencatat bahwa kecelakaan pesawat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data tahun 2011 menunjukkan terdapat 32 kecelakaan, meningkat dibandingkan tahun 2010 yaitu 18 kecelakaan. Tingginya angka kecelakaan pesawat ini membuat konsumen semakin kritis untuk memilih maskapai yang memiliki tingkat keselamatan tinggi.
Faktor manusia menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam keselamatan penerbangan, karena human error adalah faktor yang paling banyak menyebabkan kecelakaan. Di Indonesia sendiri berdasarkan data KNKT dari seluruh kecelakaan yang terjadi 62,5% disebabkan human error, dimana 12,5% diantaranya disumbang kecelakaan udara. Istilah yang terkait dengan human error dan banyak digunakan dalam psikologi aviasi adalah pilot error. Hawkins dalam Alhial (2007) mendefinisikan pilot error sebagai kesalahan yang dilakukan pilot dalam menjalankan pesawat baik di udara maupun di darat. Pihak yang dapat dikenakan vonis pilot error adalah pilot dan first officer atau copilot.
Salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan yang diakibatkan oleh human error adalah kurangnya kerjasama antara pilot dan kru yang ada dalam pesawat. Dalam menjalankan perannya pilot dan kru diharapkan untuk saling mendukung satu sama lain dengan tetap memonitor kondisi yang ada di sekitarnya dan mengambil tindakan apabila terjadi suatu masalah (Fischer, 2000). Hal ini juga didukung oleh pendapat Salas, Burke, Bowers & Wilson (2000) yang menyatakan bahwa 50% dari total kecelakaan yang disebabkan oleh human error, penyebab utamanya adalah kerjasama yang kurang efektif dari pilot dan kru yang berada di dalam pesawat. Koordinasi yang kurang efektif di dalam pesawat dapat mengakibatkan kebingungan dan pengambilan keputusan yang salah dalam kokpit (Shappel & Wiegmann, 2000). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerjasama tim dalam kokpit memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh human error.
Johnson & Johnson (2006) menjelaskan bahwa tim adalah suatu bentuk interaksi interpersonal yang terstruktur dengan tujuan mencapai tujuan bersama. Sedangkan kerjasama tim adalah seperangkat pemikiran, tindakan dan perasaan yang diberikan oleh masing-masing anggota yang dibutuhkan untuk menjalankan perannya sebagai anggota tim (Brown, 2009). Kerjasama tim tentu saja tidak terlepas dari peran individu yang ada di dalamnya. Individu yang ada dalam tim yang efektif harus mempersiapkan tugas yang harus dilakukan, sehingga mengetahui bagaimana cara mengkoordinasikan aktivitas yang dilakukan, berkomunikasi dengan anggota kelompok lain, dan membuat respon yang efektif saat mengalami perubahan situasi (Brungardt, 2009).
Kerjasama tim dikatakan efektif apabila masing-masing individu dapat menjalankan perannya dengan maksimal untuk mencapai tujuan kelompok. Untuk meningkatkan efektivitas kerjasama tim dapat dilakukan dengan cara memperjelas tujuan yang ingin dicapai kelompok, kejelasan peran dari masing-masing individu di dalam tim dan norma yang berlaku di dalam kelompok, dukungan dari organisasi berupa kebijakan dan sistem yang dapat membantu kinerja tim, serta pemberian coaching dan feedback bagi anggota tim apabila dibutuhkan (Riggio, 2008). Dalam menjalankan fungsinya, tim kerja tentu saja tidak terlepas dari permasalahan yang dapat menghambat pencapaian tujuan kelompok. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut masing-masing anggota kelompok akan diminta untuk menyampaikan pendapat dan memberikan ide untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, yang dituntut dari anggota tim adalah asertivitas dalam mengemukakan pendapatnya.
Hayes (2002) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan suatu cara untuk mengekspresikan diri dengan cara berkomunikasi secara lugas dan jelas, menyatakan sudut pandang dengan perilaku yang sopan dan menghindari penggunaan kalimat yang berkonotasi negatif. Sedangkan Rakos (2006) menjelaskan bahwa perilaku asertif adalah suatu keterampilan untuk mencari, mempertahankan dan meningkatkan pemahaman atau perasaan saat menghadapi situasi yang kurang menyenangkan. Perilaku asertif dapat mendukung individu dalam memecahkan permasalahan, mengatasi konflik yang ada dalam kelompok, dan dapat mencegah terjadinya depresi individu (Johnson & Johnson, 2009). Perilaku asertif dari anggota tim membantu menunjukan pengetahuan, keterampilan merupakan sumber daya yang dibutuhkan tim untuk menjalankan fungsinya. Dengan menunjukkan perilaku asertif, maka individu akan dapat semakin menunjukkan perannya dalam kelompok, dan dengan kata lain menunjukkan kemampuan untuk bekerjasama dalam tim (Salas, Smith-Jentsch & Baker, 1996)

B. Permasalahan
PT. X merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang operator penyewaan pesawat terbang yang berpusat di Jakarta. Sejarah perusahaan dimulai sejak tahun 1978, pada saat terlibat dalam proyek besar untuk mengubah dan memodifikasi helicopter 12 Sikorsky UH-34D berkolaborasi dengan Air Force Indonesia. Pada tahun 1983, PT. X mulai melebarkan ranah bisnis dengan melakukan penerbangan pertama kali sebagai perusahaan jasa penyewaan pesawat, dengan mengoperasikan empat helikopter baru seri S-76 untuk dua klien, yakni perusahaan multinasional gas dan minyak di perairan Jawa. Saat ini perusahaan yang menjadi pelanggan PT. X berasal dari perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang gas, minyak, pertambangan dan perusahaan kesehatan. Dalam melayani pelanggan PT. X menekankan pelaksanaan standar tertinggi dari profesionalisme dan pelayanan yang dapat diukur dari tingkat keamanan, reliabilitas pengiriman, dan kepuasan pelanggan.
Dalam upaya mengembangkan perusahaan, PT. X berencana untuk memperluas ruang lingkup bisnisnya dengan melayani penerbangan private. Selain itu PT. X juga berencana memperluas jangkauan operasional wilayahnya hingga menjangkau wilayah Laos dan Kamboja. Untuk menunjang rencana jangka panjang tersebut, perusahaan menambah armada pesawat yang akan digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen. Penambahan armada menuntut adanya penambahan tenaga kerja pilot yang bertanggungjawab terhadap operasionalisasi penerbangan pesawat. Hanya saja dalam memenuhi kebutuhan pilot, perusahaan mengalami kendala dengan keterbatasan jumlah pilot berpengalaman yang dapat direkrut. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan berusaha untuk mendidik secara mandiri pilot-pilot pemula agar dapat memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar perusahaan.
Dalam rangka mempersiapkan pilot perusahaan, PT. X menyusun program pelatihan bagi pilot-pilot baru (pre operational first officer) yang direkrut oleh perusahaan. Pre operational first officer ini merupakan lulusan dari sekolah tinggi pilot dan sudah memiliki ijin terbang, namun belum memiliki pengalaman bekerja di institusi formal. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini adalah ground training yang mempelajari prinsip-prinsip dasar dalam penerbangan yang terdiri dari safety regulation, Crew Resource Management, dangerous good regulation, dan aviation security. Selanjutnya para peserta akan mengikuti training pemahaman tipe pesawat atau type rifting, simulasi penerbangan, dan terakhir adalah latihan terbang. Setelah mengikuti training-training tersebut, peserta akan menjadi copilot pesawat, sampai dinyatakan lulus uji kompetensi sebagai pilot.
Program pelatihan ini baru dilaksanakan pertama kali pada tahun 2011, dan dirasa penting untuk melakukan evaluasi efektivitas program. Hal ini disebabkan karena menurut pihak perusahaan program ini termasuk program yang baru dan akan menjadi program rutin yang akan dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan dilaksanakan evaluasi diharapkan dapat diketahui hal-hal yang masih perlu ditingkatkan dalam program pelatihan tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Tahap pertama dalam proses evaluasi tersebut adalah mengetahui tujuan pelatihan dan harapan dari perusahaan mengenai program pelatihan tersebut.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada Chief Pilot sebagai atasan dan first officer dan Training Manager didapatkan informasi bahwa tujuan utama dari pelaksanaan pelatihan ini selain untuk memberikan pelatihan yang bersifat teknis juga sebagai sarana pengenalan karyawan baru di dalam lingkungan kerja termasuk rekan kerja, sehingga pada saat sudah turun ke lapangan, mereka mampu bekerjasama dengan baik dengan rekan-rekan kerjanya. la juga berpendapat bahwa kerjasama merupakan faktor yang penting untuk dimiliki oleh pilot dan kru pesawat karena dalam pekerjaan untuk menerbangkan pesawat mereka dihadapkan pada cuaca dan situasi yang berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan koordinasi yang kuat khususnya dari pilot dan first officer mengenai tindakan yang harus dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas tampak bahwa perilaku asertif dan keterampilan kerjasama merupakan hal yang penting untuk dipersiapkan dalam pelatihan first officer sebelum mereka ditugaskan untuk bekerja di lapangan. Dari hasil wawancara awal tampak bahwa pre operational first officer masih perlu meningkatkan perilaku asertifnya. Tanpa adanya perilaku asertif dari pre operational first officer dikhawatirkan akan berakibat pada keterampilan kerjasama dengan rekan kerjanya di masa depan, saat mereka sudah dilibatkan dalam tugas rutin. Untuk itu perlu dilakukan intervensi untuk mengembangkan perilaku asertif bagi pre operational first officer. Dengan meningkatkan perilaku asertif, maka diharapkan hal tersebut juga akan meningkatkan keterampilan kerjasama yang dimiliki oleh pre operational first officer pada saat dilibatkan dalam pekerjaan.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku asertif. Lange & Jakubowski (1998) menjelaskan bahwa secara mandiri asertif dapat dibentuk dengan melakukan evaluasi diri terhadap hal-hal yang menghambat diri untuk menunjukkan perilaku asertif. Cara kedua yang dapat dilaksanakan adalah dengan mencari role model yang tepat dalam menunjukkan perilaku asertif, sehingga responden dapat mengidentifikasi perilaku asertif yang dimiliki role model tersebut. Cara ketiga adalah dengan menurunkan tingkat kecemasan individu dengan membayangkan efektivitas perilaku yang ditunjukkan, meningkatkan keyakinan, dan memberikan pendampingan untuk mengatasi pemikiran yang kurang rasional dalam menerapkan perilaku asertif. Terakhir adalah training perilaku asertif dengan memberikan kognitif, afektif dan prosedur perilaku asertif kepada responden. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa metode training adalah metode yang paling efektif untuk meningkatkan perilaku asertif (Sanders, 2007).

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah untuk penelitian ini adalah : 
1. Apakah ada hubungan antara perilaku asertif dengan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer di PT. X ?
2. Apakah program intervensi yang diberikan dapat meningkatkan perilaku asertif pada pre operational first officer di PT. X ?
3. Apakah program intervensi yang diberikan dapat meningkatkan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer di PT. X ?

D. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyempurnakan program pelatihan bagi pre operational first officer di PT. X, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan kerjasama dalam tim.
2. Manfaat
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya kajian mengenai peningkatan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer pada perusahaan penerbangan. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah peningkatan perilaku asertif dengan memberikan training komunikasi asertif dengan tujuan meningkatkan keterampilan kerjasama/re operational first officer.

E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang permasalahan, permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi penjelasan mengenai teori organisasi yang terkait masalah, serta teori terkait dengan dependent variable dan independent variable dalam penelitian ini.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pendekatan penelitian, tipe penelitian, desain penelitian, rumusan permasalahan, hipotesis kerja, responden penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan prosedur penelitian.
BAB IV PEMBAHASAN HASIL, ANALISIS DAN INTERVENSI
Bab ini berisi gambaran responden penelitian, hasil, analisis, dan kesimpulan hasil dari perhitungan awal, dan program intervensi yang diberikan dalam penelitian
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan penelitian, diskusi dari hasil penelitian, dan saran baik untuk perusahaan maupun untuk penelitian selanjutnya.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:57:00

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING / PBL)

Model pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan baru. Seperti yang diungkapkan oleh Suyatno (2009 : 58) bahwa: ”Model pembelajaran berdasarkan masalah adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran dimulai berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman telah mereka miliki sebelumnya (prior knowledge) untuk membentuk pengetahuan dan pengalaman baru”.

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING / PBL)
Sedangkan menurut Arends (dalam Trianto 2007 : 68) menyatakan bahwa: ”Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri”. Model pembelajaran berdasarkan masalah juga mengacu pada model pembelajaran yang lain seperti yang diungkapkan oleh diungkapkan oleh Trianto (2007 : 68) : ”Model pembelajaran berdasarkan masalah) mengacu pada Pembelajaran Proyek (Project Based Learning), Pendidikan Berdasarkan Pengalaman (Experience Based Education), Belajar Autentik (Autentic Learning), Pembelajaran Bermakna (Anchored Instruction)”.

Berbagai pengembang menyatakan bahwa ciri utama model pembelajaran berdasarkan masalah ini dalam Trianto (2007 : 68) adalah:

a. Pengajuan pertanyaan atau masalah.

Guru memunculkan pertanyaan yang nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh siswa kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau mendemontrasikan suatu kejadian yang mengundang munculnya permasalahan atau pertanyaan.

b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.

Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial) masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagi mata pelajaran yang lain.

c. Penyelidikan autentik.

Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang disajikan. Metode penyelidikan ini bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.

d. Menghasilkan produk atau karya.

Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer

e. Kolaborasi.

Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama untuk terlibat dan saling bertukar pendapat dalam melakukan penyelidikan sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang disajikan.

Pada Model pembelajaran berdasarkan masalah terdapat lima tahap utama yang dimulai dengan memperkenalkan siswa tehadap masalah yang diakhiri dengan tahap penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan tersebut disajikan dalam bentuk tabel (dalam Nurhadi, 2004:111)

Tabel. Sintaks Model pembelajaran berdasarkan masalah

Fase
Indikator
Aktifitas / Kegiatan Guru
1
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistikyang diperlukan, pengajuan masalah, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
2
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapat penjelasan pemecahan masalah.
4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan membantu mereka untuk berbagai tugas dengan kelompoknya.
5
Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dalam proses-proses yang mereka gunakan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 01:54:00