Cari Kategori

MATERI PENDIDIKAN LALU LINTAS – RAMBU-RAMBU LALU LINTAS (MATERI DIINTEGRASIKAN KE DALAM MATA PELAJARAN PPKN)


Rambu lalu lintas merupakan salah satu dari perlengkapan jalan yang dapat berupa lambang, huruf, angka, kalimat atau perpaduan di antaranya yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pemakai jalan.

Kita sebagai pemakai jalan, apakah seorang pengendara mobil, sepeda motor, atau pejalan kaki sudah seharusnya mematuhi setiap rambu lalu lintas di jalan untuk keamanan bersama. Untuk mematuhi rambu lalu lintas tersebut, terlebih dahulu kita harus memahami dan mengetahui arti dari rambu-rambu lalu lintas.


Misalnya, rambu dengan lambang huruf "P" dicoret dalam lingkaran merah, artinya kita tidak boleh parkir di tempat rambu tersebut berada. Nah, berikut gambar-gambar rambu lalu lintas beserta artinya.

I. RAMBU PERINGATAN

Rambu jenis ini digunakan untuk memberi peringatan kemungkinan ada bahaya atau tempat berbahaya di depan pengguna jalan. Warna dasar rambu peringatan berwarna kuning dengan lambang atau tulisan berwarna hitam.



II. RAMBU LARANGAN

Rambu Larangan menunjukkan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pemakai jalan. Warna dasar dari rambu jenis ini adalah berwarna putih dan lambang atau tulisan berwarna hitam atau merah.


III. RAMBU PERINTAH

Rambu ini menyatakan perintah yang harus dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu perintah berbentuk bundar berwarna biru dan lambang atau tulisan berwarna putih serta merah untuk garis serong sebagai batas akhir perintah.


IV. RAMBU PETUNJUK

1.   Rambu pendahulu petunjuk jurusan, rambu petunjuk jurusan dan rambu penegas jurusan yang menyatakan petunjuk arah untuk mencapai tujuan antara lain kota, daerah atau wilayah serta rambu yang menyatakan nama jalan dinyatakan dengan warna dasar hijau dengan lambang atau tulisan warna putih.

2.   Rambu petunjuk jurusan menggunakan huruf kapital pada huruf pertama, selanjutnya menggunakan huruf kecil atau seluruhnya menggunakan huruf kapital atau huruf kecil.

3.   Khusus rambu petunjuk jurusan kawasan dan objek wisata dinyatakan dengan warna dasar coklat dengan lambang atau tulisan warna putih.

4.   Rambu petunjuk yang menyatakan tempat fasilitas umum, batas wilayah suatu daerah, situasi jalan, dan rambu berupa kata-kata serta tempat khusus dinyatakan dengan warna dasar biru.




V. PAPAN TAMBAHAN

A.  Papan tambahan digunakan untuk memuat keterangan yang diperlukan untuk menyatakan hanya berlaku untuk waktu-waktu tertentu, jarak-jarak dan jenis kendaraan tertentu atau perihal lainnya sebagai hasil manajemen dan rekayasa lalu lintas.

B.  Papan tambahan ditempatkan dengan jarak 5 sentimeter sampai dengan 10 sentimeter dari sisi terbawah daun rambu dengan ketentuan lebar papan tambahan secara vertikal tidak melebihi sisi daun rambu.

C.  Persyaratan papan tambahan:

     Papan tambahan menggunakan warna dasar putih dengan tulisan dan bingkai berwarna hitam.

     Papan tambahan tidak boleh menyatakan suatu keterangan yang tidak berkaitan dengan rambunya sendiri.

     Pesan yang termuat dalam papan tambahan harus bersifat khusus, singkat, jelas dan mudah serta cepat dimengerti oleh pengguna jalan.

     Ukuran perbandingan papan tambahan antara panjang dan lebar adalah 1 : 2.


VI. RAMBU NOMOR RUTE


Untuk melihat materi Etika Berlalu Lintas (materi Pendidikan Lalu Lintas / PPL yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran PPKn) kurikulum 2013 selengkapnya, silahkan klik pada links berikut. Semoga bermanfaat dan terimakasih…

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:57:00

PERAN & TUGAS MENGAJAR GURU TIK DAN GURU KKPI PADA IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 68 Tahun 2014, diuraikan bahwasannya Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disingkat Guru TIK dan Guru Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi yang selanjutnya disingkat Guru KKPI adalah guru yang memiliki kualifikasi akademik S1/D-IV bidang teknologi informasi atau sejenisnya yang telah memiliki sertifikat pendidik bidang Teknologi Informasi atau Komunikasi/Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi.

Guru TIK wajib memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dalam bidang teknologi informasi dan memiliki sertifikat pendidik dalam bidang TIK atau KKPI.

PERAN, KEWAJIBAN, DAN HAK

Guru TIK dan guru KKPI dalam pelaksanaan kurikulum 2013 difungsikan menjadi Guru TIK. Guru TIK berperan sebagai berikut:

a.  membimbing peserta didik pada SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang sederajat untuk mencapai standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah.

b. memfasilitasi sesama guru pada SMP/MTs, SMA/ MA, SMK/ MAK, atau yang sederajat dalam menggunakan TIK untuk persiapan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran pada pendidikan dasar dan menengah; dan

c.  memfasilitasi tenaga kependidikan pada SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang sederajat dalam mengembangkan sistem manajemen sekolah berbasis TIK.

Guru TIK berkewajiban:

a.   membimbing peserta didik SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang sederajat untuk mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta menyebarkan data dan informasi dalam berbagai cara untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran;

b.  memfasilitasi sesama guru SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang sederajat untuk mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta menyebarkan data dan informasi dalam berbagai cara untuk persiapan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran; dan

c. memfasilitasi tenaga kependidikan SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau yang sederajat untuk mengembangkan sistem manajemen sekolah berbasis TIK.

Beban kerja guru TIK melakukan pembimbingan paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan.

Bimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara:

a.   klasikal atau kelompok belajar; dan/ atau
b.   individual.

Guru TIK sebagaimana ketentuan di atas dan telah melaksanakan beban dan kewajiban kerja berhak mendapatkan tunjangan profesi pendidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Guru TIK memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pelaksanaan pembimbingan dan pelayanan TIK terhadap peserta didik, guru, dan tenaga kependidikan.

Guru TIK melaksanakan layanan bimbingan TIK kepada peserta didik pada SMP/ MTs, SMA/ MA, SMK/ MAK, atau yang sederajat dalam rangka:

a.  mencari, mengolah, menyimpan, menyajikan, serta menyebarkan data dan informasi dalam rangka untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran; dan

b.   pengembangan diri peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, dan kepribadian peserta didik di sekolah/madrasah dengan memanfaatkan TIK sebagai sarana untuk mengeksplorasi sumber belajar.

Guru TIK melaksanakan layanan bimbingan TIK kepada sesama guru pada SMP/ MTs, SMA/ MA, SMK/ MAK, atau yang sederajat dalam rangka:

a.   pengembangan sumber belajar dan media pembelajaran;
b.   persiapan pembelajaran;
c.   proses pembelajaran;
d.   penilaian pembelajaran; dan
e.   pelaporan hasil belajar.

Guru TIK melaksanakan fasilitasi kepada tenaga kependidikan pada SMP/ MTs, SMA/ MA, SMK/ MAK, atau yang sederajat dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem manajemen sekolah.

Selanjutnya, dalam ketentuan peralihan Permendikbud ini dikatakan bahwa Guru yang mengajar TIK atau KKPI sebelum kurikulum 2013 pada satuan pendidikan jalur pendidikan formal yang tidak memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dalam bidang teknologi informasi, tetapi memiliki sertifikat pendidik dalam bidang TIK atau KKPI yang diperoleh sebelum tahun 2015 tetap dapat melaksanakan tugas sebagai guru TIK sampai dengan 31 Desember 2016. 

Dan setelah tanggal 31 Desember 2016 wajib mengajar mata pelajaran yang sesuai dengan kualifikasi akademik S-1/D-IV (akan disertifikasi sesuai dengan kualifikasi akademik sarjana / S-1 / D-IV yang dimilikinya).

Download selengkapnya Permendikbud No. 68 Tahun 2014 tentang Peran Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Guru Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi dalam Implementasi Kurikulum 2013 dengan klik pada links berikut. Semoga bermanfaat dan terimakasih…

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 10:43:00

Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause

A. Latar Belakang
Di Indonesia masih dijumpai masalah kesehatan reproduksi yang memerlukan perhatian semua pihak. Masalah-masalah kesehatan reproduksi tersebut muncul dan terjadi akibat pengetahuan dan pemahaman serta tanggung jawab yang rendah. Akses untuk mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung jawab mengenai alat-alat dan fungsi reproduksi juga tidak mudah didapatkan (Bambang, 2005).
 
Secara garis besar periode daur kehidupan wanita melampaui beberapa tahap diantaranya pra konsepsi, konsepsi, pra kelahiran, pra pubertas, pubertas, reproduksi, menopause/klimakterium, pasca menopause dan senium/lansia (Manuaba, 2002). Satu hal yang paling terlihat dan pasti terjadi pada wanita dewasa pada masa penuaan adalah terjadinya menopause atau berhentinya menstruasi (Kuntjoro, 2002). Proses menuju menopause terjadi ketika fungsi indung telur mulai mengalami penurunan dalam memproduksi hormon. Pada saat mulai terjadi penurunan fungsi ini gejala-gejala menopause mungkin mulai terasa meskipun menstruasi tetap datang. Saat itu mulai nampak ada perubahan pada ketidakteraturan siklus haid.
 
Gejala-gejala lain yang menandai datangnya masa menopause atau sindroma menopause seperti hot flushes (semburan panas dari dada hingga wajah), night sweat (keringatan di malam hari), fatigue (mudah capek), kekeringan vagina, penurunan libido, dispareunia (rasa sakit ketika berhubungan sexual), perubahan pada kulit, kegemukan badan bahkan osteoporosis (keropos tulang) pada jangka panjang (Kuntjoro, 2002).
 
Menurut Menkes Dr. dr. Siti Fadillah Supari, Sp.JP (K), berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia diatas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta orang atau 7,6% dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,3 juta atau 11,5% dari total penduduk. Jawa Tengah yang jumlah penduduknya mencapai 35 juta, sekitar 60% nya adalah perempuan artinya jumlah wanita menopause di Jawa Tengah sekitar 1,5 juta orang (Supari, F, S, 2005).
 
Dari hasil studi pendahuluan diketahui bahwa jumlah wanita usia 40- 60 tahun di Desa Banjarsari Kulon mencapai 385 orang (23,66%) dari jumlah penduduk wanita yang berjumlah 1.627 orang. Dari usia tersebut wanita usia 40-48 tahun berjumlah 136 orang (8,35%). Diketahui juga bahwa belum terdapat program kesehatan yang terkait dengan menopause. Program kesehatan yang ada masih terbatas pada pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan pelayanan KB. Dari hasil wawancara terhadap beberapa wanita premenopause diketahui bahwa mereka masih belum mengetahui tentang menopause dan gejala-gejala yang menyertainya sehingga mereka tidak mengetahui penyebab dari keluhan-keluhan yang mereka alami. Untuk itu sangat penting dilakukan suatu usaha untuk mempersiapkan diri menghadapi masa menopause melalui program kesehatan reproduksi.
 
Menopause memang sangat berhubungan dengan terjadinya osteoporosis. Pada perempuan yang sudah menopause terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Perubahan hormon ini menurunkan kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium secara drastis, sehingga penyerapan kalsium menjadi tidak efisien (Anonim, 2002). Osteoporosis menjadi salah satu ancaman bagi wanita menopause. Menurut penelitian Badan Litbang Depkes pada tahun 2005, 1 dari 3 wanita memiliki kecenderungan menderita osteoporosis (keropos tulang). Tingginya angka resiko osteoporosis tersebut, dikatakan Menkes Siti Fadillah Supari dalam acara pencanangan Bulan Osteoporosis Nasional dan Tulang Kuat di Jakarta, Kamis 22 September 2005, salah satu penyebabnya yaitu meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia. Pada tahun 2005, angka harapan hidup masyarakat Indonesia mencapai 67,68 tahun. Faktor lain yang tak kalah penting adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk mencegah datangnya penyakit itu sendiri. Hal itu ditandai dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata orang Indonesia, yakni hanya 254 mg per hari (Supari, S,F, 2005).
 
Selain beberapa faktor diatas, pengetahuan seorang wanita premenopause juga sangat berpengaruh. Pengetahuan khusus sangat diperlukan, terutama pengetahuan mengenai osteoporosis dan asupan kalsium untuk mencegahnya di masa menopause. Wanita premenopause akan lebih mudah mengurangi kecemasan dan mampu melalui masa menopause tanpa banyak keluhan apabila mereka mendapatkan pengetahuan yang faktual dan akurat mengenai osteoporosis dan asupan kalsium (Mustopo, 2005).
 
Guna mengetahui hubungan mengenai tingkat pengetahuan wanita premenopause dengan asupan kalsium, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian “ Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Osteoporosis Dengan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause di Desa X “.

B. Rumusan Masalah
“Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang osteoporosis dengan asupan kalsium pada wanita premenopause di Desa X” ?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang osteoporosis dengan asupan kalsium pada wanita premenopause di Desa X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pengetahuan wanita tentang osteoporosis dan asupan kalsium.
b. Mengidentifikasi pengetahuan wanita tentang hubungan antara osteoporosis dengan asupan kalsium.
c. Mengidentifikasi sumber bahan makanan yang sering dikonsumsi sebagai sumber kalsium.

D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan tingkat pengetahuan tentang osteoporosis dengan asupan kalsium pada wanita premenopause.
2. Aspek Aplikatif
a. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu agar lebih memperhatikan kesehatannya terutama osteoporosis dan asupan kalsium pada masa premenopause.
b. Diharapkan dapat memberikan masukkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam membuat kebijakan tentang pentingnya pencegahan osteoporosis dan asupan kalsium pada masa premenopause, serta memberi informasi mengenai faktor-faktor yang harus dihindari dan yang harus diperhatikan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:54:00

Pengaruh Masa Trotzalter Terhadap Status Gizi Balita Di Posyandu

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengaruh Masa Trotzalter Terhadap Status Gizi Balita Di Posyandu

A. Latar Belakang
Gizi masih merupakan masalah serius di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2004, prevalensi status kekurangan gizi relatif tinggi yakni 28,47%. Angka ini akan cenderung meningkat pada tahun 2005-2006. Masalah gizi ini terjadi di 77,3% kabupaten dan 56% kota yang beriringan dengan angka kemiskinan, namun masalah gizi sendiri sebenarnya merupakan masalah yang kompleks karena berhubungan dengan berbagai aspek termasuk sosial budaya dan stabilitas negara (Nency dan Arifin, 2003).
 
Pertumbuhan anak sangat berkaitan dengan nutrisi yang dikonsumsi. Kandungan gizi pada makanan yang dikonsumsi setiap hari menentukan status gizi anak. Status gizi yang baik mampu meningkatkan daya tahan tubuh yang baik pula, sebaliknya status gizi yang buruk memudahkan timbulnya penyakit. Oleh karena itu makan bukan hanya kebutuhan fisik utama semata namun juga diperlukan sebagai faktor penunjang pertumbuhan, sedangkan pertumbuhan itu merupakan langkah awal bagi perkembangan (Soetjiningsih, 1998).
 
Salah satu kelompok umur dalam masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi (rentan gizi) adalah anak balita (bawah lima tahun). Pada anak balita terjadi proses pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat gizi tinggi untuk setiap kilogram berat badannya. Anak balita justru paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2004).
 
Kekurangan gizi berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Efek malnutrisi sangat buruk jika terjadi pada masa golden period perkembangan otak (0-3 tahun) dan kondisi ini akan sulit untuk dapat pulih kembali (irreversibel). Dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak menjadi vital karena otak adalah salah satu organ yang penting bagi anak untuk menjadi manusia yang berkualitas (Nency dan Arifin, 2003).
 
Keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak dan ikut berperan dalam menentukan tumbuh kembang anak, namun peran utama terletak pada ibu sebagai orang yang mutlak berinteraksi dengan anak (Soetjiningsih, 1998). Pada penentuan status gizi anak tentunya ibu pula yang mempunyai proporsi besar, sehingga bekal pengetahuan dan keterampilan maupun waktu yang cukup bersama anak seharusnya dimiliki oleh seorang ibu (Khomsan, 2003).
 
Periode kritis pada anak balita dikenal dengan masa trotzalter yang dialami anak usia 2-4 tahun. Masa ini terjadi setelah anak mengalami ketergantungan (dependensi) yang mutlak pada ibunya. Timbulnya kecenderungan untuk menentang dan memberontak maupun ingin melakukan segala kemauannya pada masa ini merupakan transisi untuk melepaskan diri dari pengaruh luar. Apabila masa kritis ini tidak disikapi dengan bijaksana oleh orang tua dapat berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu dalam pengasuhannya menuntut kesabaran dan kebijaksanaan orang tua, terutama ibu (Kartono, 1995).
 
Sifat anak pada masa trotzalter mengarah pada ketidakstabilan emosi sehingga seringkali orang tua mangalami kesulitan mengendalikan anak dalam segala hal termasuk makan. Makan dapat menjadi masalah yang serius jika anak cenderung memilih makanan sesuai kemauannya tanpa memperhatikan nilai gizi maupun frekuensi makannya. Masalah dalam makan muncul karena anak cenderung tidak mau diatur oleh siapa pun. Keadaan berbeda dijumpai pada kelompok umur lain pada balita. Pada anak kurang dari 2 tahun sifat ketergantungan mutlak pada ibu sangat nampak. Sifat tersebut memudahkan orang tua dalam mengatur dan mengontrol anak sehingga memudahkan pemenuhan gizinya disamping pada usia ini anak masih menyusu ibu (Sediaoetama, 2004). Demikian pula pada anak umur 4 tahun ke atas akan lebih mudah pengasuhannya karena sifat egois dan meledak-ledak yang semula mendominasi sudah mulai berangsur menghilang (Kartono,1995).
 
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten X pada bulan Mei XXXX, wilayah kerja Puskesmas X menduduki peringkat terendah untuk prevalensi kurang gizi dari 21 puskesmas yang ada yaitu sebesar 4%, sedangkan untuk wilayah Puskesmas X yang menduduki peringkat balita kurang gizi terbanyak adalah Desa X yaitu 7,57%. Adapun Posyandu X adalah salah satu Posyandu yang memiliki jumlah balita terbanyak yaitu 88 anak balita di desa tersebut.
 
Dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui adanya pengaruh masa trotzalter terhadap status gizi balita. Penelitian ini akan dilakukan di Posyandu X Desa X Wilayah Kerja Puskesmas X Kabupaten X, Propinsi X.

B. Rumusan Masalah
“Apakah ada pengaruh masa trotzalter terhadap status gizi balita?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh masa trotzalter terhadap status gizi balita.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui perbedaan status gizi balita masa trotzalter dan non trotzalter
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita.

D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritik
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengaruh masa trotzalter terhadap gizi balita.
2. Aspek Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:53:00

KEBIJAKAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TANPA JAMINAN DI PT BANK RAKYAT INDONESIA UNIT X

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TANPA JAMINAN DI PT BANK RAKYAT INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan berjalannya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu negara maju dan negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu contoh negara yang berada dalam tahap membangun dan berkembang. Indonesia didirikan bukan tanpa suatu tujuan. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (alinea IV), Indonesia memiliki 4 tujuan yang hendak dicapai, yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk merealisasikannya, maka Bangsa Indonesia perlu mengupayakan suatu cara sebagai media dalam pencapaian tujuan dan cita-cita bangsa sebagaimana diisyaratkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Pembangunan nasional merupakan realisasi terhadap kesungguhan bangsa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita luhur tersebut. Seiring dengan berjalannya pembangunan nasional, maka kehidupan masyarakatpun semakin dinamis dan terus mengalami perkembangan.
 
Sebab-sebab terjadinya perubahan sosial dapat bersumber pada masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya diluar masyarakat lain atau dari alam sekelilingnya. Sebab-sebab yang bersumber pada masyarakat itu sendiri adalah antara lain, bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dan terjadinya revolusi (Soerdjono Soekanto, 1981 : 21).
Terjadinya revolusi industri di Inggris membuat segi perekonomian di Inggris menjadi meningkat. Hal ini membuat bangsa Indonesia yang notabene sebagai negara berkembang terdorong untuk meningkatkan perekonomiannya juga. Berbagai upaya dilakukan oleh bangsa Indonesia, salah satunya dengan cara meningkatkan usaha di bidang perbankan.
 
Peranan perbankan dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa adalah sangat vital layaknya sebuah jantung dalam tubuh manusia. Keduanya saling mempengaruhi dalam arti perbankan dapat mengalirkan dana bagi kegiatan ekonomi sehingga bank yang sehat akan memperkuat kegiatan ekonomi suatu bangsa. Sebaliknya, kegiatan ekonomi yang tidak sehat akan sangat mempengaruhi kesehatan dunia perbankan.
 
Bank akan mengembangkan jenis-jenis produknya dalam bentuk berbagai layanan perbankan. Produk-produk ini berkembang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan tehnologi informasi. Namun, keragamannya akan dibatasi oleh jenis banknya itu sendiri, karena setiap bank memiliki ciri khas, keleluasaan dan keterbatasan tertentu (Jamal Wiwoho, dkk, 2008 : 5).
 
Kegiatan perbankan juga selalu mengikuti kemajuan aneka ekonomi pasar domestik maupun pasar global sehingga fungsi perbankan itu sendiri juga semakin bertambah dan beraneka warna. Perkembangan ini tentu saja mengandung kemungkinan pertambahan resiko yang akan mempengaruhi kesehatan perbankan. Apabila dahulu perbankan dapat tumbuh dan berkembang berdasarkan kebiasaan praktek yang diakui oleh masyarakat sebagai norma hukum tak tertulis, maka dengan semakin kompleks dan semakin tingginya risiko yang dihadapi, praktek perbankan harus diatur oleh suatu sistem perundangan yang modern pula.
 
Hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain. Istilah perdata berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti warga (burger), pribadi (privat), sipil, bukan militer (civiel). Lebih konkrit lagi, dapat dikatakan bahwa hukum perdata artinya hukum mengenai warga, pribadi, sipil, berkenaan dengan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban hukum setiap warga atau pribadi dalam hidup bermasyarakat disebut hubungan hukum (Abdulkadir Muhammad, 2000 : 1).
 
Timbulnya hukum karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan itu hanya dapat terpenuhi apabila dilakukan dengan usaha dan kerja keras. Selanjutnya, mereka mengadakan hubungan satu sama lainnya.
 
Hubungan satu sama lain yang mengikat dalam hukum perdata pada nantinya akan mengarah pada suatu perjanjian. Bentuk perjanjian yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari adalah perjanjian kredit di bank. Perjanjian kredit ini melibatkan dua pihak, yaitu nasabah sebagai pemohon kredit (debitur) dan pihak bank sebagai pemberi kredit (kreditur).
 
Dalam rumusan Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, pasal 1 nomor 11 dan 12 menyebutkan : "Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga".
 
Thomas Suyatno, dkk mengemukakan bahwa : "Penyediaan kredit bank-bank yang semula mengandalkan kredit likuiditas Bank Indonesia, secara bertahap dialihkan menjadi penyediaan kredit biasa oleh perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lain yang didasarkan atas dana yang dihimpun dari masyarakat" (Thomas Suyatno, dkk, 2003 : 3).
 
Dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia, M. Djumhana mengemukakan bahwa : "Berjalannya kegiatan perkreditan akan lancar apabila adanya suatu saling mempercayai dari semua pihak yang terkait dalam kegiatan tersebut. Kegiatan itu pun dapat terwujud hanyalah apabila semua pihak terkait mempunyai integritas moral" (Muhamad Djumhana, 2000 : 366).
 
Jenis kredit dilihat dari sudut jaminannya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : kredit tanpa jaminan (Unsecured Loan) dan kredit dengan agunan (Secured Loan). Dalam perkembangannya tidak semua bank telah menerapkan kredit tanpa jaminan, namun setahun terakhir ini telah muncul suatu kredit tanpa jaminan yang disebut Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan. Lain hal lagi, kredit dengan agunan, yaitu kredit yang dilakukan dengan menyertakan agunan seperti apa yang telah diperjanjikan. Agunan yang disertakan bisa berupa agunan barang, agunan pribadi (borgtocht) dan agunan efek-efek saham.
 
Perguliran KUR dimulai dengan adanya keputusan Sidang Kabinet Terbatas yang diselenggarakan pada tanggal 9 Maret 2007 bertempat di Kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dipimpin Bapak Presiden RI. Salah satu agenda keputusannya antara lain, bahwa dalam rangka pengembangan usaha Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan koperasi, pemerintah akan mendorong peningkatan akses pelaku UMKM dan Koperasi kepada kredit/pembiayaan dari perbankan melalui peningkatan kapasitas Perusahaan Penjamin.
 
Kredit Usaha Rakyat diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 November 2007 dengan didukung oleh Instruksi Presiden No.5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 untuk menjamin implementasi atau percepatan pelaksanaan KUR ini, berbagai kemudahan bagi UMKM pun ditawarkan oleh pemerintah. Beberapa di antaranya adalah penyelesaian kredit bermasalah UMKM dan pemberian kredit UMKM hingga Rp 500 juta. Inpres tersebut didukung dengan Peraturan Menkeu No 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan KUR. Jaminan KUR sebesar 70 persen bisa ditutup oleh pemerintah melalui PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perusahaan Sarana Pengembangan Usaha dan 30 persen ditutup oleh Bank Pelaksana.
 
Pada tahap awal program, Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan ini disediakan hanya terbatas oleh bank-bank yang ditunjuk oleh pemerintah saja, yaitu : Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Bukopin. Penyaluran pola penjaminan difokuskan pada lima sektor usaha, seperti : pertanian, perikanan dan kelautan, koperasi, kehutanan, serta perindustrian dan perdagangan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan ini ditujukan untuk membantu ekonomi usaha rakyat kecil dengan cara memberi pinjaman untuk usaha yang didirikannya.
 
Atas diajukannya permohonan peminjaman kredit tanpa jaminan tersebut, tentu saja harus mengikuti berbagai prosedur yang ditetapkan oleh bank yang bersangkutan. Selain itu, pemohon harus mengetahui hak dan kewajiban apa yang akan timbul dari masing-masing pihak yaitu debitur dan kreditur dengan adanya perjanjian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan ini, mengingat segala sesuatu dapat saja timbul menjadi suatu permasalahan apabila tidak ada pengetahuan yang cukup tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan ini.
 
Berdasar uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menyusunnya menjadi sebuah skripsi dengan judul : "KEBIJAKAN PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) TANPA JAMINAN DI PT BANK RAKYAT INDONESIA UNIT X"

B. Perumusan Masalah.
Perumusan masalah dalam suatu penelitian, diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dilakukan melalui perjanjian kredit tanpa jaminan di PT Bank Rakyat Indonesia Unit X?
2. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban yang dimiliki kreditur dan debitur atas perjanjian pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan?
3. Permasalahan apa saja yang timbul dari perjanjian Kredit Usaha Rakyat tanpa jaminan ini serta bagaimana tindakan PT Bank Rakyat Indonesia Unit X dalam mengatasinya?

C. Tujuan Penelitian.
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dilakukan melalui perjanjian kredit tanpa jaminan di PT Bank Rakyat Indonesia Unit X.
b. Untuk mengetahui hak dan kewajiban yang dimiliki kreditur dan debitur atas perjanjian pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan.
c. Untuk memperoleh data dan informasi secara lebih jelas dan lengkap mengenai permasalahan apa saja yang timbul dari perjanjian Kredit Usaha Rakyat tanpa jaminan ini serta tindakan PT Bank Rakyat Indonesia Unit X dalam mengatasinya.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai pelaksanaan proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan beserta permasalahan yang ditimbulkan karenanya.
b. Untuk memperoleh data dan informasi secara lebih jelas dan lengkap sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum, guna melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Universitas X.

D. Manfaat Penelitian.
Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Perdata pada khususnya.
b. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai pelaksanaan proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan beserta permasalahan yang ditimbulkan karenanya.
c. Dapat bermanfaat selain sebagai bahan informasi juga sebagai literatur atau bahan informasi ilmiah.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait, mengenai pelaksanaan proses pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan beserta permasalahan yang ditimbulkan karenanya.
b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan perimbangan yang menyangkut masalah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:52:00

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRA USAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA INTERNASIONAL TBK CABANG X

TESIS ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRA USAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA INTERNASIONAL TBK

A. Latar Belakang
Untuk mendirikan suatu perusahaan memerlukan modal kerja dan untuk mendapatkannya ada berbagai cara yang dapat ditempuh, salah satunya adalah dengan meminjam kepada pihak lain. Hubungan pinjam-meminjam tersebut dapat dilakukan dengan kesepakatan antara peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian tersebut bisa berupa perjanjian lisan atau dalam bentuk perjanjian tertulis yang juga dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau dengan akta notaris.
 
Perjanjian utang piutang dalam KUHPerdata dapat diidentikkan dengan perjanjian pinjam meminjam yaitu merupakan perjanjian pinjam meminjam barang berupa uang dengan ketentuan yang meminjam akan mengganti dengan jumlah nilai yang sama seperti pada saat ia meminjam.
 
Mengenai pinjam meminjam juga disebutkan dalam Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu :
"Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dengan jenis dan mutu yang sama pula".
 
Hubungan hukum tersebut akan berjalan lancar jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Namun apabila salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian sesuai dengan yang telah disepakati maka perjanjian tersebut akan mengalami berbagai hambatan.
 
Bank sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bank adalah Badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka peningkatan taraf hidup orang banyak.
 
Aktivitas perbankan pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang dikenal dengan istilah funding yaitu mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat luas dan kedua memberi pinjaman ke masyarakat atau dikenal dengan istilah kredit atau lending.
 
Semakin berkembangnya kegiatan usaha perbankan, bank dihadapkan kepada berbagai risiko usaha seperti risiko kredit, risiko investasi, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko penyelewengan dan risiko fidusia. Pentingnya mengenal nasabah dapat mengurangi atau bahkan menghindari dari risiko yang dihadapi Bank terutama dalam kerugian keuangan yang signifikan bagi bank.
 
Salah satu karakter yuridis dari bisnis perbankan, yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan petunjuk pelaksanaan (heavily regulated business). Bidang perbankan merupakan bidang yang sarat regulasi adalah karena:4
1. Bank adalah termasuk lembaga yang mengelola uang rakyat, karena itu, kepentingan rakyat banyak ikut dipertaruhkan oleh suatu bank.
2. Kegiatan bank merupakan kegiatan yang sangat detail dan complicated. Karena itu, perlu arahan-arahan dan petunjuk yang lengkap dan detail pula.
3. Bank memainkan peranan yang sangat besar dalam perkembangan moneter dan perekonomian secara makro. Karena itu, ada pula suatu kebutuhan masyarakat agar bank-bank tetap aman dan tidak terjadi gejolak. Sehingga perkembangan ekonomi nasional tetap mantap.
 
Salah satu kegiatan usaha bank adalah menyalurkan kredit. Secara estimologis Kredit berasal dari bahasa latin "credere" atau "credo" yang berarti kepercayaan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
 
Usaha Mikro Kecil Menengah terbukti bertahan dalam krisis moneter tahun 1998 lalu memiliki peran strategis dan penting ditinjau dari berbagai aspek. Pertama jumlah industrinya yang tersebar di setiap sektor ekonomi. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja dimana setiap unit investasi pada sektor ini dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja jika dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar.
 
Dari sudut perbankan, pemberian kredit pada sektor ini dapat mendorong penyebaran risiko. Hal ini disebabkan karena penyaluran kredit pada usaha ini dengan nominal kredit yang kecil memungkinkan bank untuk memperbanyak jumlah debitur, sehingga pemberian kredit tidak terkonsentrasi pada kelompok atau sektor tertentu. Selain itu, suku bunga kredit pada tingkat suku bunga pasar bukan merupakan masalah utama, sehingga memungkinkan bank-bank memperoleh pendapatan bunga yang memadai.
 
Akhir-akhir ini bank-bank semakin gencar mengenjot penyaluran kreditnya ke sektor ritel. Berbagai produk kredit konsumsipun mereka munculkan. Salah satunya yang belakangan ini semakin popular adalah Kredit Tanpa Agunan (KTA). Selama ini nasabah tidak dapat mengakses kredit bank karena mereka tidak mampu menyediakan agunan. Lazimnya bank menjadikan agunan sebagai faktor yang menentukan besar nilai pinjaman yang akan disetujui, dan berapa besar bunga yang mereka kutip dari debitur alias nasabah kreditnya.
 
Pada tanggal 5 November 2007, Pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan dengan enam bank pelaksana yang turut terlibat dalam program penjaminan UMKM. Enam bank tersebut adalah BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bukopin dan Bank Syariah Mandiri. Besaran kredit yang disalurkan maksimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan bunga maksimal 16 % pertahun (efektif).
 
Kredit Usaha Rakyat merupakan kredit program yang disalurkan menggunakan pola penjaminan kredit bank diperuntukkan bagi pengusaha mikro dan kecil yang tak memiliki agunan tetapi memiliki usaha yang layak dibiayai bank.10 Dalam pelaksanaan program Kredit usaha Rakyat atau KUR, perbankan yang telah menandatangani kesepakatan menjalani program KUR tetap tidak diperbolehkan meminta jaminan atau agunan kepada pelaku usaha.
 
Kredit usaha rakyat diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil dan menengah rakyat yang layak (feasible) namun belum memenuhi persyaratan perbankan (bankable). Yang dimaksud dengan layak adalah suatu usaha yang ditinjau dari ekonomis menguntungkan, dari segi teknis bisa dilaksanakan, dan dari segi ekologis dapat diterima masyarakat dan tidak merusak lingkungan. Namun karena ketidakadaan agunan serta persyaratan lainnya sehingga selama ini tidak dibiayai oleh perbankan secara komersial.
 
Walaupun program kredit usaha rakyat ini merupakan kredit tanpa agunan tetapi seringkali bank tetap meminta agunan dengan dalil guna meningkatkan kualitas kredit dalam upaya mengurangi risiko kredit macet dalam pengembalian kredit tersebut, karena apabila kredit yang disalurkan tersebut macet tentu akan merugikan masyarakat penyimpan dana di bank.
 
Program kredit tanpa agunan ini pernah dicanangkan pada tahun 2004 dan PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditunjuk pemerintah pada waktu itu menjadi salah satu bank penyelenggara Kredit Tanpa Agunan.
 
PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk mengeluarkan produk Kredit tanpa agunan dengan nama Kredit Wirausaha. atau disingkat KWU atau disebut juga Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan adalah fasilitas kredit/ pembiayaan untuk investasi atau modal kerja yang diberikan dalam mata uang rupiah kepada usaha mikro dengan plafon kredit maksimum Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) perdebitur untuk membiayai usaha yang produktif.
 
Kredit Wirausaha merupakan kredit tanpa agunan yang ditujukan untuk calon professional yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana strata-1 dari disiplin ilmu siap pakai antara lain bidang tehnik mesin/ arsitektur/ elektro, kedokteran, pertanian/ perikanan/ peternakan, notaris dan lainnya serta bagi tenaga terampil/ terlatih dan karyawan yang terkena PHK maupun pengusaha mikro yang hendak dan memiliki potensi untuk dikembangkan.
 
Perbankan diragukan salurkan Kredit Tanpa Agunan dikarenakan minimnya peraturan perbankan dalam penyaluran Kredit Tanpa Agunan (KTA) menyurutkan kemauan perbankan untuk turut serta.16 Hal ini dikarenakan jika kredit yang disalurkan itu macet dan karena tidak adanya agunan maka akan menyulitkan bank untuk pengembalian dana yang disalurkannya.
 
Bank memiliki risiko tinggi dikarenakan dana yang disalurkan untuk pemberian kredit berasal dari simpanan nasabah, dimana Bank harus membayar sebesar suku bunga simpanan. Oleh karena itu dalam setiap pemberian kredit kepada nasabah, Bank harus mencadangkan dana dengan besaran nilai tertentu, tergantung dari pada kolektibilitas kredit.
 
Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum untuk merubah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tertanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Golongan kredit macet yang sebelumnya ditentukan selama 270 hari dipercepat menjadi 180 hari. Hal ini tentu saja membawa dampak percepatan penambahan kredit macet di bank dengan perincian sebagai berikut :
1. Kredit Lancar adalah kredit yang tepat waktu dalam membayar kredit sesuai dengan waktu yang telah disepakati disebut juga Kolektibilitas 1.
2. Kredit dalam perhatian Khusus (Special Mention), yaitu apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga sampai dengan 90 hari, disebut juga Kolektibilitas 2.
3. Kredit kurang lancar (Substandar), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 90 hari sampai dengan maksimal 120 hari, disebut juga Kolektibilitas 3.
4. Kredit diragukan (doubtful), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 120 hari sampai dengan maksimal 180 hari, disebut juga Kolektibilitas 4.
5. Kredit Macet (loss), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 180 hari disebut juga Kolektibilitas 5.
Dalam Pemberian fasilitas kredit mengandung risiko tinggi terhadap operasional karena apabila kredit tak terbayar maka akan dapat mempengaruhi modal bank dan juga likuiditas bank.
Munculnya Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum telah membawa kecemasan terhadap pihak perbankan terhadap kemungkinan berkurangnya laba bank disebabkan pihak bank wajib menyediakan cadangan khusus, yaitu sebagai berikut:
1. 5% dari aktiva dengan kwalitas dalam status perhatian khusus setelah dikurangi dengan agunan.
2. 15 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status kurang lancar setelah dikurangi dengan agunan.
3. 50 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status diragukan setelah dikurangi dengan agunan.
4. 100 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status Macet setelah dikurangi dengan agunan.
Dalam pemberian kredit, bank selalu berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Salah satu prinsip yang dipedomani adalah prinsip collateral (agunan), yang merupakan bagian dari prinsip pemberian kredit yang dikenal dengan istilah Prinsip 5 C yang terdiri dari Character (kepribadian), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Condition of Economy (kondisi ekonomi), Collateral (agunan).
 
Prinsip Collateral (agunan) menghendaki adanya pemberian agunan oleh debitur. Pemberian agunan adalah salah satu upaya untuk menjamin adanya pengembalian kredit atau pelunasan kredit dari debitur. Dalam hal debitur wanprestasi, maka pihak bank dapat mengeksekusi agunan dari debitur sebagai konpensasi pelunasan hutang-hutangnya.
 
Dalam Pasal 54 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum disebutkan dalam rangka menghindari kegagalan usaha bank sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana dan meningkatkan independensi pengurus bank terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.
 
Salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan prinsip mengenal nasabah. Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan, hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).
 
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain tentang penilaian kualitas aktiva bank umum, batas maksimum pemberian kredit bank umum, prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat dan prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko.
 
Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Jadi kepercayaan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur yang merupakan hal penting, sedangkan agunan hanya merupakan unsur pendukung, bukan unsur utama dalam pemberian kredit.
 
Kredit Tanpa Agunan atau jaminan ini menurut Undang-Undang Perbankan tahun 1992 yang telah dirubah menjadi Undang-undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 ini bisa direalisasikan karena Undang-undang Perbankan ini tidak secara ketat menentukan bahwa pemberian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Sebaliknya menurut Undang-undang Pokok Perbankan tahun 1967 yang digantikannya, pemberian kredit tanpa jaminan ini dilarang sesuai dengan Pasal 24 ayat 1, bahwa bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.
 
Dari berbagai keadaan seperti yang dikemukakan diatas, maka diperlukan kehati-hatian dari bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit tanpa agunan kepada nasabah sebagai debitur, untuk itu calon peneliti mengangkat judul tesis "Analisis Yuridis terhadap Pemberian Kredit Wira Usaha Tanpa Agunan Pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, Cabang X".

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka calon peneliti merumuskan beberapa masalah dalam tesis ini, terdiri dari:
1. Bagaimana pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk ?
2. Bagaimana peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank ?
3. Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit?

C. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk.
2. Untuk mengetahui peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1) Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk.
2) Untuk mengetahui peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank.
3) Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan serta masukan bagi pihak akademisi khususnya di lingkungan Universitas X dan pihak terkait lainnya, terutama pihak debitur dalam mengetahui hak dan kewajibannya dan pihak kreditur (bank) dalam mengantisipasi pemberian kredit kepada nasabahnya.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang Kredit Tanpa Agunan telah pernah dilakukan sebelumnya dalam lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas X. Penelitian dilakukan oleh Iliana dengan judul "Perlindungan Hukum terhadap Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan" pada tahun 2005. Penulisan tesis ini menitik beratkan pada kriteria penilaian yang dipergunakan kreditur sebagai syarat pemberian kredit tanpa agunan, penelitian terhadap tingkat keberhasilan dan kegagalan kreditur dalam memperoleh pengembalian kredit serta perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penyelesaian sengketa atas kredit macet yang terjadi dalam perjanjian kredit tanpa agunan.
Sedangkan penelitian penulis dengan judul "Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Wira Usaha Tanpa Agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang X" menitik beratkan pada pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank dan pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Dengan demikian penelitian ini mempunyai bidang penelitian yang berbeda sehingga penelitian ini adalah asli.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:51:00

KARTU KREDIT SEBAGAI BAGIAN DARI KREDIT TANPA AGUNAN (DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERJANJIAN)

SKRIPSI KARTU KREDIT SEBAGAI BAGIAN DARI KREDIT TANPA AGUNAN (DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERJANJIAN)
 
1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Dalam menunjang terpenuhinya kebutuhan hidup bagi sebagian besar masyarakat di perkotaan (terutama di pusat-pusat kota, sebagai contoh di Jakarta), serta berdasarkan tingginya mobilitas masyarakat Indonesia, khususnya yang bertempat tinggal didaerah perkotaan, menyebabkan hal ini membuka kesempatan serta memberi peluang bagi bank swasta dan bank pemerintah untuk memberikan kredit tanpa agunan.
 
Pemberian kredit tanpa agunan ini diberikan pada orang-orang yang kebetulan telah lama menjadi nasabahnya ataupun melalui gencarnya penawaran-penawaran yang dilakukan oleh bank-bank tersebut, khususnya bank-bank swasta yang mempunyai keberanian lebih dibanding bank pemerintah. Kredit Tanpa Agunan ini pada dasarnya menguntungkan sebagian masyarakat yang memang kebetulan membutuhkan dana cepat tanpa harus dibebani oleh keharusan menjaminkan harta bendanya, walaupun pada dasarnya kredit tanpa agunan ini mengakibatkan bunga yang tinggi serta mempunyai jangka waktu kredit yang terbatas (antara 1 sampai dengan 3 tahun).
 
Pada dasarnya perjanjian kredit dapat kita bagi atas perjanjian kredit yang memiliki agunan dan perjanjian yang tidak atau tanpa agunan. Persoalan agunan ini berkaitan dengan ketentuan pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut "KUHPer"). Kedua pasal ini membahas tentang piutang-piutang yang diistimewakan. Pasal 1131 mengatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dan pasal 1132 mengatakan bahwa kebendaan teersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para piutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
 
Pihak bank biasanya dalam memberikan kredit akan menentukan terlebih dahulu apa yang menjadi jaminan atau agunan dari kredit yang dikeluarkan, misalnya dalam kredit pembelian kendaraan yang menjadi agunan biasanya adalah BPKB dari kendaraan tersebut. Buat pihak bank dengan ditentukan dari awal tentang apa yang menjadi jaminan terhadap kredit yang diberikan akan memudahkan bagi bank untuk melakukan eksekusi bila terjadi wanprestasi karena sudah tertentu apa yang menjadi agunannya.
 
Untuk kredit tanpa agunan, karena pihak bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, maka berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer, harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur. Akibatnya jika terjadi wanprestasi dari pihak kreditur, maka pihak Bank melakukan eksekusi berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer.
 
Dasar bagi Bank Penerbit untuk melakukan bila terjadi eksekusi tentunya adalah perjanjian yang dibuat pada awalnya suatu perikatan teradi, yaitu dimana permohonan aplikasi permohonan kredit yang anda ajukan disetujui oleh pihak Bank Penerbit. Bila anda wanprestasi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut, misalnya adanya keterlambatan pembayaran dari pengguna fasilitas kredit.
 
Pada dasarnya Kredit Tanpa Agunan ini, secara tidak langsung merugikan nasabah, karena pihak Bank tidak menentukan dari awal apa yang menjadi agunannya, namun berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer, harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur. Hal ini tentu saja tidaklah diketahui secara umum oleh orang-orang yang menerima kredit Tanpa Agunan tersebut, karena tidak dikemukakan secara transparan oleh Bank pemberi kredit tanpa agunan. Sehingga jika terjadi wanprestasi dari pihak kreditur, maka pihak bank akan melakukan eksekusi berdasarkan pasal 1131 dan 1132 KUHPer.
 
Kredit tanpa agunan ini tidak terlepas dari adanya pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh Kreditur maupun oleh Debitur. Pelanggaran ini dapat terjadi dalam beberapa cara, missal: salah satu pihak dengan tegas melepaskan tanggung jawabnya dan menolak melaksanakan kewajiban dipihaknya sehingga menimbulkan sengketa di antara kedua belah pihak.
 
Sengketa adalah salah satu permasalahan hukum yang timbul dalam Kredit Tanpa agunan. Perjanjian Kredit Tanpa Agunan inilah yang akan penulis bahas dalam skripsi ini.

1.2. POKOK PERMASALAHAN
Melihat latar belakang permasalahan yang telah dijabarkan di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, adalah:
1. Permasalahan hukum apakah yang timbul dalam proses terjadinya Kredit Tanpa Agunan?
2. Apa akibat hukumnya bila terjadi wanprestasi pada Kredit Tanpa Agunan?

1.3. TUJUAN PENULISAN
Setiap penulisan sebuah karya ilmiah tentunya memiliki tujuan-tujuan tertentu. Demikian juga dengan penulisan skripsi ini, secara umum tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menemukan konstruksi hukum dari suatu Kredit Tanpa Agunan.
Secara khusus, sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengetahui beberapa hal, yaitu:
1. Untuk mengetahui Permasalahan hukum yang timbul dalam proses terjadinya Kredit Tanpa Agunan.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari Kredit Tanpa Agunan bila terjadi wanprestasi.

1.4. KERANGKA KONSEPSIONAL
Pemaparan teori dan permasalahan dalam skripsi ini menggunakan beberapa konsep yang biasa digunakan dalam Hukum Perjanjian dan perjanjian kredit dalam praktek yang dilakukan sehari-hari. Beberapa konsep yang dimaksud adalah:
1. Perjanjian
Pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah :
Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Dalam skripsi ini perjanjian yang akan dibahas adalah perjanjian kredit yang merupakan pengembangan dari bentuk dasar perjanjian pinjam-meminjam.
Pinjam-meminjam menurut pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah:
Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
2. Kredit
Pengertian kredit yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dirubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, ialah:
"Kredit Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet.8, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), pasal 1313.
3. Agunan kredit
Pengertian agunan kredit yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dirubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, adalah:
"Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberiaan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah."

1.5. METODE PENELITIAN
1.5.1. Jenis penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode normatif. Hal ini dikarenakan pengambilan data dalam skripsi ini didapat dari bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan tema yang dibahas, diktat-diktat perkuliahan, dan catatan perkuliahan yang dibuat oleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum.
1.5.2. Jenis Data Penelitian
Dalam skripsi ini penulis akan menggunakan data-data yang berkaitan dengan tema penulisan. Adapun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang meliputi tiga bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Indonesia (b), Undang-undang Perbankan, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, 10 November 1998), Pasal 1 angka 11.
a. Primer, yaitu Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, peraturan-peraturan Bank Indonesia
b. Sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan antara lain,Hukum Perbankan Di Indonesia oleh Drs. M. Djumhana, Hukum Kredit dan Bank Garansi (The Bankers Hand Book) oleh H.R. Daeng Naja, dan Hukum Kebendaan Perdata (Hak-hak Yang Memberi Jaminan) oleh Frieda Husni Hasbullah, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia oleh Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.
c. Tersier, yaitu kamus bahasa Indonesia dan Inggris yang penulis gunakan untuk menemukan arti dan penjelasan mengenai suatu terminologi dalam perjanjian kredit yang menggunakan bahasa asing dan istilah-istilah perbankan.
Penulisan ini memakai alat pengumpulan data berupa studi dokumen atau bahan pustaka yang berkaitan dengan judul tulisan, yaitu mengenai kartu kredit sebagai bagian dari kredit tanpa agunan (ditinjau dari aspek hukum perjanjian). Dalam studi dokumen yang dimaksud, penulis melakukan penelitian kepustakaan dengan membaca bahan-bahan hukum baik yang dimiliki, diperoleh dari perpustakaan maupun adanya bahan-bahan yang diperoleh dengan cara mencatat pada proses perkuliahan yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
1.5.3. Analisa Data
Cara penganalisaan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analitis-deskriptif. Analitis yang dimaksud adalah penulis dalam penulisan skripsi ini bermaksud untuk menganalisa dan mempelajari keadaan dan kondisi yang terjadi saat ini mengenai perjanjian kredit dalam praktek sehari-hari sesuai dengan pokok permalahan.
Analisis yang penulis lakukan juga meliputi analisis terhadap teori-teori serta doktrin hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya akan digunakan oleh penulis dalam mendeskripsikan permasalahan dalam penelitian ini. Sedangkan, deskriptif adalah langkah penulis selanjutnya untuk kemudian menggambarkan secara tepat keadaan dan gejala yang telah dianalisa sebelumnya untuk kemudian dijabarkan dan diolah dalam suatu hasil penelitian.

1.6. SISTEMATIKA PENULISAN
Sebagai pembahasan terakhir dari bab pendahuluan, dibawah ini akan penulis uraikan secara singkat isi dari keseluruhan penulisan skripsi ini, yang terbagi dalam lima bab dan disajikan dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
Bab ini terdiri dari latar belakang penulisan skripsi ini, pokok-pokok permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan, serta sistematika penulisan yang menerangkan isi skripsi ini bab demi bab.
BAB II
Merupakan bab yang menguraikan mengenai perjanjian pada umumnya yang memuat pengertian umum tentang perjanjian, sifat dan asas hukum perjanjian, syarat sahnya perjanjian, bagian perjanjian, sifat dan unsur perjanjian, lahirnya suatu perjanjian serta berakhirnya suatu perjanjian.
BAB III
Bab ini membahas mengenai pengertian tentang Kredit Tanpa Agunan yang memuat pengertian tentang Agunan Tanpa Kredit, hak dan kewajiban para pihak, subyek dan obyek perjanjian kredit tanpa agunan, serta akibat yang timbul dari suatu perjanjian kredit Tanpa Agunan.
BAB IV
Bab ini merupakan pokok dari rangkaian pembahasan skripsi. Dalam bab ini penulis akan mencoba menghubungkan teori perjanjian dan teori kredit tanpa agunan dengan permasalahan hukumnya serta jika terjadi wanprestasi dalam Kredit Tanpa Agunan, dan sengketa yg mungkin timbul dalam Kredit Tanpa Agunan dan penyelesaiannya.
BAB V
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran, penulis berusaha untuk menyimpulkan masalah pokok yang dibahas dalam skripsi ini. Dan sebagai penutup, penulis juga mencoba untuk memberikan saran-saran yang mudah-mudahan dapat bermanfaat dalam hubungannya dengan perjanjian kredit tanpa agunan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 11:49:00