TESIS PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN APRESIASI DENGAN METODE STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan pembelajaran apresiasi sastra adalah siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, serta siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (BSNP, 2006: 2)
Seperti diuaraikan dalam penjelasan Pasal 6 ayat 8 Undang-Undang RI No.29 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa dalam pendidikan juga dikembangkan kemampuan siswa mengapresiasi dan kemampuan mengekspresikan keindahan serta harmoni yang mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun kehidupan bermasyarakat sehingga mampu menciptakan kebersamaan.
Pada pasal 7 ayat 2 dinyatakan bahwa muatan bahasa mencakup antara lain penanaman kemahiran berbahasa dan kemampuan dalam apresiasi terhadap karya sastra. Jika pembelajaran bahasa merupakan sarana untuk mengembangkan penanaman kemahiran yang menyangkut penalaran, pembelajaran apresiasi sastra merupakan sarana untuk mengembangkan sastra efektif, bukan kognitif (Boen S. Oemarjati, 2005: 7)
Pembelajaran apresiasi puisi dapat membantu siswa dalam mengembangkan kualitas kepribadian, antara lain ketekunan, kepandaian, pengimajinasian, dan penciptaan. Melalui kegiatan apresiasi puisi, siswa selalu dipertemukan dengan berbagai pengalaman terutama pengalaman batin. Misalnya pengalaman menginterprestasikan karya sastra, pengalaman mengikuti dan menganalisis puisi, sampai pada bagaimana siswa mengalami proses kreatif menciptakan puisi.
Faktor guru sangat berpengaruh terhadap kelangsungan proses belajar mengajar. Keberhasilan proses pembelajaran tidak dapat lepas dari peran guru. Guru dituntut untuk melaksanakan tugasnya dengan profesional. Masalah profesionalisme guru selama ini banyak yang mempertanyakan. Guru profesional dituntut memiliki empat kompetensi yaitu: kompetensi kepribadian, kompetensi paedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Guru yang profesional yang telah memiliki empat kompetensi tersebut diharapkan mampu mengaplikasikan berbagai teori belajar di bidang pengajaran, mampu memilih dan menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efisien, mampu melibatkan siswa berpartisipasi aktif, dan mampu menciptakan suasana belajar yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Proses pembelajaran yang dilakukan tidak berpusat pada guru, tetapi berpusat pada siswa dengan menempatkan siswa sebagai subjek dalam belajar sehingga siswa yang aktif dengan guru sebagai fasilitator dalam belajar. Kemampuan guru untuk menerapkan metode pengajaran yang bervariasi yang sesuai dengan kondisi siswa, diharapkan mampu mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan setiap jenjang pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa agar dapat berkomunikasi dengan baik, mampu menggunakan bahasa dengan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia masing-masing memiliki empat aspek dasar keterampilan kebahasaan dan kesastraan yang harus dikuasai oleh siswa. Keempat aspek tersebut meliputi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan ini harus dikuasai oleh siswa karena merupakan keterampilan dasar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan berbahasa dan bersastra memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini karena fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi dan bahasa akan lebih hidup dan bernilai dengan sastra. Kemampuan berbahasa yang baik dapat menentukan keberhasilan komunikasi sehingga siswa dapat beradaptasi dan dapat bertahan dalam suatu masyarakat. Sedangkan mempelajari sastra dapat memperhalus budi pekerti, saling menghargai sesama makluk Tuhan, sehingga hidup menjadi lebih bermakna.
Dalam kurikulum yang berlaku sekarang, kemampuan bersastra yang diharapkan dan dicapai oleh siswa meliputi (1) mendengarkan karya sastra, (2) melisankan karya sastra dan berbicara karya sastra, (3) membaca karya sastra, dan (4) menulis karya sastra (Depdiknas, 2006: 8). Oleh karena itu kurikulum menuntut kepada guru untuk memiliki kemampuan yang memadai dalam apresiasi sastra, sehingga ia mampu melibatkan siswanya ke dalam pengalaman berapresiasi sastra seperti tercantum dalam kurikulum .
Pengajaran sastra di Indonesia merupakan gabungan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Baik disebut secara implisit yaitu pelajaran bahasa Indonesia pasti sudah mengandung pelajaran sastra. Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah formal, biasanya diampu oleh seorang guru, yang disebut guru bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia dituntut untuk mampu melaksanakan pengajaran dengan sebaik-baiknya. Hal ini karena memang bahasa dan sastra mempunyai hubungan yang sangat erat. Bahasa merupakan satu-satunya media pengungkapan bagi para sastrawan dalam menciptakan kreasi karya-karya sastra.
Banyak pengamat dan praktisi pendidikan yang masih banyak mempertanyakan keberhasilan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Terutama dalam pembelajaran sastra yang dianggap masih gagal. Penyebab kegagalan pembelajaran sastra bukan semata-mata karena faktor guru, tetapi banyak faktor yang saling berkaitan sebagai penyebabnya. Namun, pada kenyataannya banyak guru yang lebih menekankan pada aspek kebahasaan dari pada sastra.
Program pengajaran apresiasi sastra Indonesia yang dipadukan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia dianggap masih kurang menarik bagi siswa. Penyebab kurang menariknya pelajaran apresiasi sastra Indonesia di antaranya cara guru mengajar yang tidak memotivasi siswa, kurang akrabnya siswa dengan karya sastra, juga adanya pandangan negatif sebagian masyarakat terhadap sastra. Hal itu disebabkan kurang terbinanya pengajaran apresiasi sastra Indonesia dengan baik.
Sastra adalah karya imajinatif yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah perasaan, instuisi, dan kepekaan estetis. Maka, bukan tidak beralasan jika muncul mitos-mitos miring yang menyebabkan lemahnya minat untuk mendekati sastra secara intens. Pandangan negatif terhadap sastra (menurut Jalaludin, 2003: 70-71) dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Kehidupan para seniman identik dengan kehidupan yang tidak wajar, bebas, kasar, anarkhis, suka mengkritik, berpikir aneh, berbaju kumal, berambut gondrong, dan sikap eksentrik lainnya.
2. Menjadi ahli sastra bukanlah pekerjaan yang menguntungkan secara materiil,
3. Ada yang beranggapan bahwa sastra merupakan dunia para pengkhayal ulung, potret kehidupan para pekerja seni yang seolah-olah dipandang sebagai orang yang kekurangan pekerjaan.
4. Dalam hal keilmuan, sastra dipandang hanya menjadi urusan para pakar, kritikus, atau seniman sastra.
Pandangan negatif tersebut tidak sepenuhnya benar, karena sastra memiliki misi kemanusiaan yang hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung atau dinilai secara materiil. Pembelajaran sastra tidak dimaksudkan untuk mencetak para sastrawan atau ahli-ahli sastra.
Pandangan tersebut barangkali berkaitan dengan dialektika fungsi sastra, menurut Horace bahwa sastra bersifat dulce (indah) dan utile (berguna). Kekeliruan dalam menafsirkan kata utile, sifat kebergunaan tidak dapat diartikan seperti petunjuk praktis dalam membuat masakan, tetapi sastra dapat memberikan pengaruh sangat besar terhadap cara berpikir seseorang mengenai hidup, mengenai baik buruk, mengenai benar salah, dan mengenai cara hidup sendiri serta bangsa.
Selama ini dalam praktiknya pembelajaran sastra belum mendapat porsi yang sama dibandingkan dengan pembelajaran bahasa. Porsi waktu dan muatan materinya kurang mendukung siswa untuk belajar sastra dengan baik. Banyak kalangan yang menganggap bahwa pembelajaran sastra kurang penting. Padahal pembelajaran sastra apabila ditinjau dari fungsinya adalah untuk penghalusan budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, penyaluran gagasan, imajinasi, dan ekspresi secara konstruktif baik secara lisan maupun secara tertulis (Depdiknas, 2004: 5).
Sastra dianggap mampu membuka pintu hati pembacanya untuk menjadi manusia berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap lingkungan komunitasnya, mengukuhi keluhuran budi dalam hidup, dan berusaha menghindari perilaku negatif yang bisa menodai citra keharmonisan hidup. Hal itu terwujud apabila seseorang mempunyai tingkat apresiasi sastra cukup tinggi.
Secara teoretis, peran sastra dalam kehidupan memang sangat penting, namun dilihat dalam kehidupan nyata, peran sastra tampak sering tidak penting. Pembelajaran sastra antara ada dan tiada, hal ini membuktikan bahwa posisi pengajaran sastra sangat terpinggirkan. Rendahnya tingkat apresiasi sastra siswa di sekolah sebagai indikator kegagalan pembelajaran sastra seperti yang sudah dilontarkan oleh banyak kalangan, baik dari kalangan pendidikan, baik guru, masyarakat umum, maupun para sastrawan.
Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, begitu pula dunia hiburan semakin mudah diperoleh, mengakibatkan terpinggirnya puisi sebagai salah satu karya sastra yang menghibur dan mendidik. Daya apresiasi masyarakat terhadap puisi semakin menipis. Anak-anak tidak lagi mengenal puisi, misalnya puisi tradisional (lama) maupun puisi baru (modern) yang sebenarnya banyak mengandung pendidikan, fasafah, dan nilai-nilai positif yang sangat relevan dengan kehidupan.
Menurut siswa pembelajaran sastra khususnya puisi dianggap tidak menarik untuk dipelajari dan penyampaian pembelajaran sastra puisi kurang inovatif menyebabkan mereka bosan. Menurut siswa pembelajaran puisi sulit dan kurang menarik, sehingga mereka tidak tertarik untuk mempelajarinya. Hal demikian juga dibenarkan oleh guru kelas VI, Bapak Drs. Yoh Suparjo bahwa hasil belajar siswa pada sastra lebih rendah dari pada pembelajaran bahasa. Kurang tertariknya siswa pada sastra menjadi salah satu penyebabnya.
Keprihatinan berbagai pihak terhadap pembelajaran apresiasi sastra disebabkan pula oleh sejumlah keterbatasan yang berkaitan dengan pembelajaran tersebut. Hal itu tampak pada terbatasnya sarana dan prasarana yang dapat mendukung keberhasilan pembelajaran sastra, terbatasnya sosialisasi model-model pembelajaran sastra yang inovatif, dan terbatasnya materi sastra yang dimasukkan ke dalam buku ajar atau buku pelajaran sekolah, khususnya buku pelajaran bahasa Indonesia. (Andayani, 2008).
Berdasarkan hasil pra-survei yang dilakukan di SD Negeri X, penulis mencoba mengidentifikasikan permasalahan yang ada bahwa pembelajaran apresiasi puisi yang selama ini berlangsung di SD Negeri X, (1) masih bersifat individual belum memanfaatkan potensi interaksi dan kerja sama antar siswa, (2) minimnya umpan balik dari guru maupun teman sejawat atau sesama teman belajar, (3) penyusunan rencana pembelajaran apresiasi sastra puisi, (4) penyediaan bahan ajar apresiasi sastra puisi.
Juga diperoleh data bahwa kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi masih sangat rendah. Hal ini diketahui dari observasi dan data berupa nilai siswa. Sedangkan dari hasil wawancara dengan siswa juga didapatkan informasi bahwa sebenarnya siswa menyukai pelajaran tentang puisi, tetapi kurang tertarik karena dianggap kuno dan cara penyampaian guru yang terkesan membosankan. Hal ini dapat diketahui ketika disuruh oleh guru untuk membacakan puisi di depan kelas, tidak ada siswa yang berani. Hal ini dapat disebabkan oleh siswa itu sendiri yang belum mempunyai keberanian untuk tampil di depan kelas, dapat juga karena siswa enggan.
Hasil wawancara dengan guru, dikatakan bahwa memang selama ini anak-anak kurang tertarik dalam pembelajaran puisi. Guru telah mencoba berbagai metode yang dimiliki namun belum dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Proses belajar mengajar tergantung pada tiga unsur: (1) tingkat partisipasi dan jenis kegiatan belajar yang dihayati siswa, (2) peran guru dalam proses belajar belajar mengajar, (3) suasana proses belajar. Makin intensif partisipasi dalam kegiatan belajar mengajar makin tinggi kualitas proses belajar itu.
Tingkat partisipasi siswa yang tinggi dapat dicapai apabila mereka memiliki kesempatan untuk secara langsung (1) melakukan berbagai bentuk pengkajian untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman, (2) berlatih berbagai keterampilan kognitif, personal-sosial, dan psikomotorik, baik yang berbentuk sebagai efek langsung pengajaran maupun sebagai dampak pengiring pelaksanaan berbagai kegiatan belajar, dan (3) menghayati berbagai peristiwa sarat nilai baik secara pasif dalam bentuk pengamatan dan pengkajian maupun secara aktif keterlibatan langsung di dalam berbagai kegiatan serta peristiwa sarat nilai.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, pembelajaran apresiasi sastra menjadi hal yang penting untuk dikaji secara cermat karena pada hakikatnya dalam pembelajaran apresiasi sastra, khususnya di sekolah dasar, siswa seharusnya akan mendapat kesempatan mendalami karya-karya sastra berupa puisi, cerita dan drama anak-anak. Berkaitan dengan hal tersebut, diuraikan oleh Herman J.Waluyo (2002: 3) bahwa kekuatan karya sastra terletak pada pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan yang disampaikan melalui karya sastra dapat sangat kuat dan lebih bersifat abadi jika dibandingkan dengan pesan secara harfiah. Karena itu, apresiasi sastra sebagai kegiatan pembelajaran menjadi hal yang penting.Guru dituntut pula memahami kurikulum pembelajaran sastra dengan fungsinya, ruang lingkup, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pokok, serta mampu pula menggunakannya dalam penyusunan silabus, dalam menyusun bahan pelajaran, dan dalam menyajikan pelajaran di kelas. Permasalahan pembelajaran apresiasi sastra (puisi) membutuhkan kajian yang lebih spesifik untuk mencapai sasaran secara tepat. (Andayani, 2007).
Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mencoba menerapkan metode Student Achievement Team Division (STAD) dalam pembelajaran apresiasi puisi. Penerapan metode ini menggunakan beberapa pendekatan pembelajaran, seperti pendekatan kooperatif, kontekstual, dan konstruktif. Keterpaduan ini dapat terwujud dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan perolehan nilai atau kemampuan siswa pada suatu kegiatan belajar mengajar yang konsisten.
Alasan pemilihan metode ini karena diperkirakan akan mampu mengatasi permasalahan di atas. Metode ini termasuk ke dalam metode diskusi kelompok bebasis pembelajaran kooperatif dengan menempatkan siswa dalam tim campuran (heterogen) berdasarkan prestasi, jenis kelamin, dan suku. Hal ini sangat memungkinkan siswa untuk belajar mengapresiasi puisi secara berkelompok dengan memanfaatkan potensi interaksi dan kerja sama antar siswa. Namun demikian, kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa lebih ditekankan pada kompetensi individual meskipun dilaksanakan dalam bentuk diskusi kelompok.
Dalam metode ini, siswa ditempatkan dalam tim belajar yang beranggotakan empat atau lima orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, dan siswa bekerja sama dalam tim mereka untuk memastikan seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.
Seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu. Saat belajar kelompok, siswa saling membantu untuk menuntaskan materi yang dipelajari. Setiap siswa menggunakan nomor yang telah diberikan oleh guru, dalam satu kelompok memiliki nomor yang berbeda. Kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa lebih ditekankan pada kompetensi individual meskipun dilakukan dengan bentuk diskusi kelompok. Penggunaan nomor sebagai upaya untuk membangkitkan motivasi siswa secara individu dalam mengemukakan pendapat atau tanggapan secara lisan.
Setiap anggota memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap setiap permasalahan yang dibahas dalam forum diskusi. Dengan demikian anggota akan selalu siap jika sewaktu-waktu ditunjuk oleh guru berdasarkan nomor yang dimilikinya. Guru memantau dan mengelilingi tiap kelompok untuk melihat adanya kemungkinan siswa yang memerlukan bantuan. Metode ini pun dibantu oleh metode pelatihan, penugasan, dan tanya jawab sesuai dengan satuan pelajaran sehingga ketuntasan materi dapat terwujud.
Penelitian tentang penerapan metode STAD untuk meningkatkan kemampuan apresiasi puisi belum pernah dilakukan di SD Negeri X. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan penelitian tindakan kelas. Hal ini dipilih karena kelas merupakan unit terkecil dalam sistem pembelajaran, sehingga semua guru perlu mendalami dan berperilaku kritis terhadap apa yang sebenarnya dilakukan oleh siswa maupun guru.
Dengan demikian guru dapat mengubah sendiri strategi pembelajaran untuk memecahkan permasalahan dan sekaligus mengubah proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Oleh karena penelitian ini berjudul "Peningkatan Kemampuan Apresiasi Puisi dengan Metode Student Team Achievement Division (STAD) pada Siswa Kelas VI SD Negeri X (Penelitian Tindakan Kelas)"
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ingin diteliti pada penelitian ini adalah:
1. Apakah penerapan metode STAD dapat meningkatkan intensitas proses pembelajaran apresiasi puisi pada siswa kelas VI SD Negeri X?
2. Apakah penerapan metode STAD dapat meningkatkan kemampuan apresiasi puisi pada siswa kelas VI SD Negeri X?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini untuk:
1. Meningkatkan intensitas proses pelaksanaan pembelajaran puisi dengan penerapan metode STAD pada siswa kelas VI SD Negeri X.
2. Meningkatkan kemampuan apresiasi puisi dengan menerapkan metode STAD pada siswa kelas VI SD Negeri X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam pendidikan kebahasaan dan kesastraan, terutama dalam penerapan metode pembelajaran STAD dalam pembelajaran sastra khususnya apresiasi puisi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Meningkatnya kemampuan mengapresiasi puisi siswa;
2) Memberikan kesempatan kepada siswa menjadi aktif dan kreatif;
3) Membantu siswa untuk dapat berinteraksi dengan baik antar sesama teman dan melatih kerja sama dalam tim, melatih tanggung jawab individu;
4) Membantu mengatasi kesulitan pembelajaran sastra khususnya pada apresiasi puisi;
b. Bagi Guru
1) Memperoleh informasi tentang tingkat kemampuan siswa dalam mempelajari apresiasi puisi untuk menjadikan acuan pada pembelajaran berikutnya;
2) Meningkatkan intensitas proses pembelajaran bahasa dan sastra khususnya Apresiasi puisi;
3) Mampu melaksanakan pembelajaran dengan metode yang inovatif terutama terhadap pelajaran sastra khususnya pada apresiasi puisi;
4) Memberikan solusi pada kesulitan pelaksanaan pembelajaran sastra khususnya pembelajaran puisi.
c. Bagi Sekolah
1) Dapat menumbuhkan iklim pembelajaran yang konduksif sehingga tercipta kualitas pembelajaran yang baik, aktif, kreatif dan inovatif;
2) Sebagai masukan dalam rangka pembinaan dan peningkatan profesionalisme guru;
3) Menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi pada puisi.