Cari Kategori

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 Tahun Di Desa X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 Tahun Di Desa X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia masih dijumpai masalah kesehatan reproduksi yang memerlukan perhatian semua pihak. Masalah-masalah kesehatan reproduksi tersebut muncul dan terjadi akibat pengetahuan dan pemahaman serta tanggung jawab yang rendah. Akses untuk mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung jawab mengenai alat-alat dan fungsi reproduksi (Bambang, 2005). Secara garis besar periode daur kehidupan wanita melampaui beberapa tahap diantaranya pra konsepsi, konsepsi, pra kelahiran, pra pubertas, pubertas, reproduksi, klimakterium dan senium/lansia (Manuaba,1998).
Sepanjang daur kehidupan seorang wanita akan mengalami satu masa yang sifatnya fisiologis, sebagai fase dimana proses penuaan wanita ditandai dengan perpindahan dari masa reproduksi ke masa non produksi yang dinamakan periode klimakterium (Fiedman, 1998). Dalam periode ini ± 75% wanita akan mengalami perubahan-perubahan yang dapat menimbulkan gangguan (Mustopo, 2005). 25% wanita dalam masa ini ditemukan keluhan yang cukup berat (Wiknjosastro, 1999).
Berdasarkan perhitungan statistik, diperkirakan di tahun 2020 jumlah penduduk indonesia akan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause adalah sekitar 30,3 juta jiwa dari jumlah lakilaki (Fadilah, 2005).
Jumlah dan proporsi penduduk perempuan yang berusia diatas 50 tahun dan diperkirakan memasuki usia menopause dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia diatas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta orang atau 7,6% dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,3 juta atau 11,5% dari total penduduk. Untuk X, jumlah penduduknya mencapai 35 juta. Dari jumlah itu, sekitar 60% perempuan, artinya, jumlah wanita menopause di X sekitar 1,5 juta orang (Winarsi, 2005).
Dari hasil studi pendahuluan diketahui bahwa jumlah wanita usia 40-60 tahun di Desa X mencapai 357 orang (25%) dari jumlah penduduk wanita yang berjumlah 1435. Disamping itu juga belum terdapat program kesehatan yang terkait dengan menopause, program kesehatan yang ada masih terbatas pada pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan pelayanan KB. Dari hasil wawancara terhadap beberapa wanita menopause, diketahui bahwa mereka masih belum mengetahui tentang menopause dan gejala-gejala yang menyertainya sehingga mereka tidak mengetahui penyebab keluhan-keluhan yang mereka alami hal ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang sindrom klimakterium, antara lain ibu sulit tidur pada malam hari/insomnia, jantung berdebar-debar, haid sudah tidak teratur bahkan haid benar-benar berhenti, vagina terasa kering sehingga tidak dapat menikmati hubungan seksual, hot flash/terasa panas pada muka dan leher, nyeri pada pinggang, mudah marah dan tersinggung, sulit konsentrasi.
Guna mengetahui gambaran mengenai pengetahuan wanita usia 40-60 tahun tentang sindrom klimakterium, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian “Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 tahun di Desa X Kecamatan X Kabupaten X”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran Pengetahuan Wanita usia 40-60 tahun Mengenai Sindrom Klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan wanita usia 40-60 tahun tentang perubahan fisik sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
b. Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai perubahan psikologis sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Menambah karakteristik pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai sindrom klimakterium
2. Manfaat praktis
a. Bagi Pemerintah/institusi kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masukan dalam perencanaan dan pelaksanaan program Kesehatan reproduksi wanita terutama pada wanita menopause.
b. Bagi pembaca
Sebagai bahan informasi mengenai gejala-gejala perubahan baik secara fisik maupun secara psikologis yang dialami.
c. Bagi penulis
Memperdalam pengetahuan mengenai sindrom klimakterium pada wanita usia 40-60 tahun.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:46:00

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 40/1000 kelahiran hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut antara lain penyakit dan semua hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung. Faktor yang berhubungan langsung pada bayi baru lahir adalah penyakit. Penyakit tersebut sangat beresiko tinggi pada bayi, oleh karenanya perlu mendapat penatalaksanaan yang cepat sehingga angka kematian dan kesakitan dapat diturunkan. Bayi-bayi yang beresiko tinggi salah satunya yaitu kuning atau ikterus (Nuchsan, 2000).
Penelitian di dunia kedokteran menyebutkan bahwa 70% bayi baru lahir mengalami kuning atau ikterus, meski kondisi ini bisa dikategorikan normal namun diharapkan untuk tetap waspada (Anonim2, 2006). Sehingga tidak sampai terjadi hiperbilirubinemia pada keadaan dimana terjadi peningkatan kadar hiperbilirubin serum yang dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah (SDM) dan resorpsi lanjut dari bilirubin yang terkonjugasi dari usus kecil (Doenges, 2001). Salah satu penyebab ikterik adalah Inkompatibilitas ABO atau ketidakcocokan golongan darah. Kejadian ini ditemukan pada ibu dengan golongan darah O yang melahirkan bayi bergolongan darah A atau B, sekitar 20-40% dari seluruh kehamilan (Noortiningsih, 2003). Kondisi ini terjadi pada perkawinan yang inkompatibel dimana darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga tidak jarang embrio hilang pada sangat awal secara misterius, sebelum ibu menyadari bahwa ia hamil. Namun apabila janin yang dilahirkan hidup, maka dapat terjadi ikterus yang dapat mengarah pada ikterus patologis atau hiperbilirubinemia. Apabila hal ini tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan kematian atau kelainan perkembangannya seperti gangguan perkembangan mental, tuli, lambat bicara dan lain-lain (Suryo, 2005).
Survey pendahuluan yang di lakukan di RSU X menyebutkan jumlah persalinan pada tahun 2006 sebanyak 1527 persalinan, dimana untuk angka kejadian ikterus sebanyak 60 dalam tahun 2006 baik ikterus fisiologis maupun ikterus patologis (Rekam Medik RSU X, 2006), untuk yang diakibatkan karena Inkompatibilitas ABO yang juga memegang peranan penting dalam terjadinya Hiperbilirubinemia, angka kejadiannya tidak dihitung dengan pasti.
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai “Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X“

B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian difokuskan pada:
1. Berapa persentase golongan darah ABO dari ibu yang melahirkan, suaminya dan bayi yang dilahirkan yang mengalami hiperbilirubinemia di RSU X?
2. Berapa persentase angka kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X?
3. Bagaimana Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X.
2. Tujuan Khusus.
a. Memaparkan persentase golongan darah ABO dari ibu yang melahirkan, suaminya dan bayi yang dilahirkan yang mengalami hiperbilirubinemia di RSU X.
b. Memaparkan persentase angka kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X Tahun XXXX.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Mendapatkan informasi dan tambahan ilmu pengetahuan mengenai Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi RSU X
Hasil penelitian dapat memberikan masukkan atau tambahan ilmu pengetahuan untuk membuat rencana penatalaksanaan yang tepat dalam kasus hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO.
b. Bagi Institusi Pendidikan Kebidanan.
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
c. Bagi Penulis
Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melaksanakan penelitian ilmiah.
d. Bagi Pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi khususnya mengenai Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO.
e. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pertimbangan melakukan skrening pasangan suami istri pada perbedaan golongan darah.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:45:00

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia masih mengalami banyak masalah kesehatan yang cukup serius terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003 Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) 46 per 1000 kelahiran hidup (Anonim2, 2007).
Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) adalah dengan program imunisasi. Banyak penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti dipteri, tetanus, hepatitis B dan masih banyak penyakit lainnya (Anonim2, 2006).
Berdasarkan Depkes RI (2001) insidensi penyakit menular pada tahun 2000 yang dapat mematikan anak yaitu dipteri sebanyak 23 kasus, pertusis sebanyak 142 kasus, tetanus neonaturum sebanyak 466 kasus, polio sebanyak 48 kasus dan campak sebanyak 56 kasus. Beberapa penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti tuberkulosis, hepatitis B, dipteri, tetanus, pertusis, polio, dan campak sebagaian dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Cakupan imunisasi meliputi seluruh propinsi di Indonesia hampir 97% dari 302 kabupaten telah mencapai target Universal Child Immunization (UCI). Hal ini berarti bahwa cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B, mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten bahkan di setiap desa, sedangkan jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta (Ranuh dkk, XXXX).
Berdasarkan data subdit Imunisasi Ditjen PPM dan PLP Depkes tahun 2004 cakupan imunisasi di Indonesia adalah cakupan perantigen yaitu 1 dosis BCG mencapai target 99,6%, untuk 3 dosis DPT mencapai target 90,6%, untuk 4 dosis polio mencapai target 85%, sedangkan 3 dosis hepatitis B hanya mencapai 62% dan 1 dosis campak mencapai target 91,7%. Dari data tersebut diketahui hampir semua jenis imunisasi mencapai cakupan yang ditargetkan oleh Universal Child Immunization (UCI) minimal 80% (Ranuh dkk, XXXX).
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam imunisasi adalah ketepatan jadwal imunisasi. Apabila ibu tidak tepat dalam mengimunisasikan bayinya akan berpengaruh terhadap kekebalan dan kerentanan bayi terhadap suatu penyakit. Sehingga bayi harus mendapatkan imunisasi tepat waktu agar terlindung dari berbagai penyakit berbahaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketepatan jadwal imunisasi adalah tingkat pendidikan formal ibu. Tingkat pendidikan formal akan mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang imunisasi. Pengetahuan tentang imunisasi akan mempengaruhi motivasi ibu untuk mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai jadwal yang telah ditentukan (Basuki dan Parwati, 2001).
Berdasarkan hasil evaluasi dari Penyakit Menular yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di Kecamatan X masih ditemukan beberapa insidensi penyakit menular. Insidensi penyakit campak ditemukan sebanyak 7 kasus dan hepatitis B sebesar 4 kasus namun tidak ditemukan jumlah insidensi dipteri, pertusis, tetanus dan polio (Pemerintah Kabupaten X, XXXX).
Setelah dilakukan pengamatan pada 10 ibu yang mempunyai bayi berumur 9-12 bulan di Polindes X Kecamatan X didapatkan 6 orang (60%) sudah mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan 4 orang (40%) belum mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Selain itu tingkat pendidikan formal ibu yang mengimunisasikan bayinya juga bervariasi yaitu 1 orang (10%) lulus SD, 3 orang (30%) lulus SLTP, 4 orang (40%) lulus SLTA dan 2 orang (20%) lulus Akademi/Perguruan Tinggi.
Bertolak dari pemikiran tersebut diatas serta mengingat pentingnya pendidikan untuk membentuk pengertian dan penerimaan program imunisasi, maka peneliti ingin mengetahui adanya hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah : “Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X ?“

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pendidikan formal ibu yang mengimunisasikan bayinya di Polindes X Kecamatan X.
b. Untuk mengetahui ketepatan jadwal imunisasi dasar pada bayi di polindes X Kecamatan X.
c. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Polindes X Kecamatan X Diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan mutu pelayanan program imunisasi di Polindes X Kecamatan X.
2. Bagi Institusi Pendidikan
a. Sebagai bahan refrensi ilmu kesehatan anak khususnya imunisasi.
b. Diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya.
3. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti tentang hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi.
4. Bagi Responden
Diharapkan dapat bermanfaat dalam merumuskan cara peningkatan kesadaran ibu untuk mengimunisasikan bayinya sesuai jadwal yang telah ditetapkan khususnya di Polindes X Kecamatan X.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:45:00

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi D-IV Kebidanan X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi D-IV Kebidanan X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ciri khas kedewasaan manusia ialah perubahan-perubahan siklik pada alat kandungannya sebagai persiapan untuk kehamilan. Hal ini adalah suatu proses yang kompleks dan harmonis meliputi serebrum, hipotalamus, hipofisis, alat genital, kortek adrenal, grandula tireoidea dan kelenjar-kelenjar lain (Prawirohardjo, 2005). Menurut Manuaba (1999), sebagai puncak kedewasaan wanita mulai mengalami perdarahan rahim pertama ‘menarche’ Sekitar 85% wanita yang sudah haid mengalami gangguan fisik dan psikis menjelang menstruasi, saat, ataupun sesudah menstruasi. Biasanya berlangsung antara satu minggu sebelum dan sesudah menstruasi. Gejala ini disebut dengan Sindrom Premenstruasi (Anonim, 2005)
Gejala ini dapat beragam dari gejala yang belum pasti dengan rasa sakit yang ringan sampai dengan serangkaian gejala yang sangat berat. Sejumlah banyak gejala dapat terjadi dan ini dapat tetap sama atau bervariasi dari bulan ke bulan. Pada umumnya adalah manifestasi dari produksi hormon progesteron di bagian akhir dari siklus haid. Lebih cepat masa haid datang, biasanya gejala-gejala ini dirasakan (Knight, 2000). Sebuah hasil penelitian mengungkapkan, satu dari tiga perempuan berusia reproduktif mengalami Sindrom Premenstruasi dan satu dari 20 perempuan mengalami kesakitan yang berlebihan hingga mempengaruhi aktifitas sehari-hari (Anonim, 2005).
Tubuh dan pikiran mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Gangguan mental dapat menimbulkan gejala-gejala pada fisik (Ragawaluya, 1997). Gejala ini meliputi depresi, mudah marah, tegang, sakit kepala, tidak dapat memusatkan pikiran, diare, konstipasi, buah dada nyeri, cepat lelah, gelisah, kebiasaan makan berubah, tidak dapat tidur waktu malam dan bedebar-debar (Colemon, 2000)
Menurut Llewellyn (2001), gangguan alam perasaan (mood) negatif dan gangguan fisik pada fase luteal berlangsung cukup berat, sehingga menganggu kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Prawirohardjo (2005), Faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lain-lain juga memegang peranan penting. Yang lebih mudah menderita Sindrom Premenstruasi ialah wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormon dalam siklus haid dan terhadap faktor psikologis.
Ansietas atau kecemasan merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihan dari susunan saraf atonomik (SSA) (Kaplan and Sadock, 1999). Menurut Sanders (1996), bila mengalami stress dan tekanan lain, Sindrom Premenstruasi itu bisa berlangsung lebih lama.
Seseorang yang mengalami stressor psikososial yang ditangkap melalui panca indra akan diteruskan ke susunan saraf pusat yaitu bagian saraf otak yang disebut limbic system melalui transmisi saraf dan selanjutnya melalui susunan saraf outonom akan diteruskan ke kelenjar hormonal yang merupakan system imunitas tubuh dan organ-organ tubuh yang dipersarafinya (Hawari, 2006)
Berdasarkan studi pendahuluan pada hari Jum’at, 16 Maret XXXX terhadap 6 mahasiswi DIV Kebidanan semester II jalur reguler, didapatkan hasil bahwa 6 mahasiswi tersebut mengalami Sindrom Premenstruasi. Gejala yang sering dialami antara lain payudara terasa nyeri, perut kembung, perubahan nafsu makan, mudah tersinggung, mudah marah dan sukar berkonsentrasi. Tiga dari 6 mahasiswi merasa terganggu kegiatannya dengan adanya Sindrom Premenstruasi ini.
Agar gejala-gejala Sindrom Premenstruasi tidak mengganggu kegiatan belajar mahasiswi dan hubungan dengan lingkungannya, maka peneliti ingin meneliti hubungan antara tingkat kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi pada Mahasiswi DIV Kebidanan X?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi DIV Kebidanan X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat kecemasan mahasiswa DIV Kebidanan.
b. Untuk mengetahui gejala Sindrom Premenstruasi yang dialami mahasiswi DIV Kebidanan.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritik : Menambah pengetahuan tentang tingkat kecemasan yang berkaitan dengan Sindrom Premenstruasi.
2. Maanfaat Praktis:
a. Bagi pemberi pelayanan kesehatan, hasil penelitian diharapkan bisa menjadi acuan dalam pemberian penyuluhan kesehatan reproduksi remaja.
b. Perlu tidaknya intervensi psikiatrik pada mahasiswi dengan Sindrom Premenstruasi yang disebabkan oleh kecemasan.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:44:00

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Tingkat Kepuasan Pelayanan Pasien Rawat Inap Di Ruang Kebidanan Kandungan Rumah Sakit X

(Kode KEBIDANN-0002) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Tingkat Kepuasan Pelayanan Pasien Rawat Inap Di Ruang Kebidanan Kandungan Rumah Sakit X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi, persaingan menjadi sangat tajam baik dari pasar domestik maupun di pasar internasional, dan hal ini mulai berkembang dalam industri jasa rumah sakit. Rumah sakit sebagai industri mempunyai fungsi social dan ekonomi. Persaingan dalam industi jasa adalah dengan memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan handal. Untuk memenangkan persaingan rumah sakit harus mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan. (Supranto, 2001)
Prioritas utama Departemen Kesehatan adalah memperluas jangkauan serta pemerataan pelayanan kesehatan dengan berbagai program dan sejak repelita V telah mulai dicanangkan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Namun dalam pelaksanaanya belum menunjukan hasil yang signifikan.
Keadaan ini terbukti dari data yang disajikan yaitu banyaknya keluhan pasien, masyarakat, dan LSM terhadap mutu pelayanan kesehatan. (Pohan, 2003)
Menurut data yang diambil oleh Roesmil Kusnandi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, didapat 80,7% pasien merasa tidak puas dengan pelayanan di poliklinik rawat jalan. (Roesmil, 2000)
Pendekatan jaminan mutu pelayanan kesehatan selalu menggunakan data yang akurat, sehingga setiap pengambilan keputusan dapat dilaksanakan berdasarkan fakta. Penggunaan data akan membangun prilaku jujur, “evidence based”, dan logis. Keberhasilan penerapan pendekatan jaminan mutu pelayanan kesehatan akan menimbulkan kepuasan pasien, sehingga tuntutan pasien terhadap petugas kesehatan dapat dihindari jika pelayanan kesehatan menerapkan pendekatan jaminan mutu pelayanan kesehatan. (Pohan, 2003)
Bagian rawat inap merupakan indikator kerja rumah sakit untuk memikat pasien. Bila kualitas pelayanan medisnya tidak senantiasa dipelihara dan ditingkatkan, besar kemungkinan jumlah pasien akan menyusut. Selain itu dengan meningkatnya jumlah pasien rawat inap akan meningkatkan rasio tingkat hunian atau BOR (Bed Occupancy Rate) sehingga pendapatan rumah sakit akan meningkat.
Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta di kabupaten X sekaligus rumah sakit yang digunakan sebagai lahan praktek mahasiswa. Rumah sakit ini sudah berdiri selama delapan belas tahun, tetapi untuk pelayanan khusus kebidanan baru berdiri selama tiga tahun dan sampai saat ini, belum pernah diteliti tentang tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan, sehingga belum dapat diketahui tingkat penerimaan masyarakat dengan hadinya rumah sakit ini.
Menurut data yang ada pada periode Januari-Desember XXXX, jumlah pasien rawat inap adalah 540 pasien dengan 12 kapasitas tempat tidur untuk pasien kebidanan dan kandungan serta BOR 30%. Faktor kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan akan mempengaruhi jumlah kunjungan. Apabila pasien tidak puas (misal menunggu terlalu lama, ”provider” kurang ramah, ketrampilanya juga kurang), akan membuat pasien kecewa. Faktor kepuasan pasien juga dapat menciptakan persepsi masyarakat tentang citra rumah sakit.
Dengan dilakukanya pengukuran tingkat kepuasan pasien pada pelayanan akan tersedia umpan balik yang segera, berarti, dan objektif.
Berdasarkan hasil pengukuran, orang lain dapat melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaanya, membandingkan dengan standart kerja, dan memutuskan untuk melakukan perbaikan.

B. Identifikasi Masalah
Bagaimanakah tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi tampilan.
b. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi kehandalan.
c. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi ketanggapan.
d. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap diruang kebidanan dan kandungan RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi jaminan.
e. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi empati.

D. Manfaat
1. Dapat dijadikan bahan evaluasi tentang bagaimana jalanya pelayanan yang telah di berikan selama ini.
2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi pengambilan keputusan dalam perbaikan kualitas pelayanan.
3. Dapat dijadikan dasar menentukan standar kerja dan standart prestasi yang harus di capai menuju mutu yang semakin baik.
4. Dapat memberikan umpan balik yang segera bagi pelaksana.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:43:00

Tesis Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

Tesis Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana di masa yang akan datang. Pancasila sebagai landasan idiil dari sistem pemasyarakatan, menyebutkan adanya keseimbangan dan keselarasan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungannya dengan masyarakat, hubungannya dengan alam, dengan bangsa-bangsa lain maupun hubungannya dengan Tuhan. Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan :
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pribadinya sebagai manusia, antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta alamnya, kesemuanya dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.1
Sejalan dengan perkembangan paradigma yang terus berubah di tengah-tengah masyarakat serta upaya penegakan hak asasi manusia dalam sistem tata peradilan pidana, maka dilakukan pembenahan serta perubahan-perubahan pada sistem kepenjaraan melalui payung hukum pemasyarakatan yaitu Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk mengadopsi norma-norma hukum lama yang masih relevan maupun instrumen internasional, aspek sosial, maupun opini masyarakat. Perubahan paradigma sosial, budaya, ekonomi dan hukum dalam masyarakat merupakan hasil interaksi sosial pada tataran internasioanal yang dampaknya berimbas pada kondisi nasional, dampak tersebut cukup berpengaruh terhadap perkembangan sistem tata peradilan pidana di Indonesia termasuk sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan.3 Lembaga Pemasyarakatan di mata masyarakat dipandang berfungsi sebagai tempat membatasi ruang gerak orang yang dijatuhi hukuman pidana penjara. Oleh karena itu masyarakat umum lebih mengenal sebagai penjara dari pada Lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemenjaraan ini lebih merupakan usaha untuk memastikan bahwa terpidana tidak akan mengulangi perbuatannya sepanjang masa penghukumannya. Dengan kata lain fungsi pemenjaraan merupakan strategi untuk membuat agar terpidana tidak mampu melakukan pelanggaran hukum, atau dalam konsep penologi disebut incapacitation.4Menurut Moeljatno :
Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk pada golongan rakyat yang memiliki status sosial dan ekonominya rendah dan yang biasanya memiliki banyak anak, ditambah lagi dengan adanya kemungkinan faktor lain seperti korelasi antara besarnya keluarga dan kurangnya mental orang tua, serta kurangnya pengawasan terhadap anak. 5
Pembaharuan sistem pidana penjara secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak serta kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan yang wajar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan norma-norma yang ada di masyarakat, merupakan dasar pertimbangan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dan bertanggung jawab di masyarakat.6Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dengan sistem pembinaan pemasyarakatan disamping untuk mencegah diulangnya kejahatan serta perlindungan terhadap masyarakat, juga berupaya untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan dalam derap langkah kehidupan masyarakat yang dinamis. Ditempatkannya warga binaan pemasyarakatan di masyarakat, diharapkan melalui pembinaan yang terus menerus akan tumbuh partisipasi masyarakat terhadap sistem pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang sangat diperlukan bagi keberhasilan sistem pembinaan. Harus disadari walaupun pembinaan yang diberikan selama di Lembaga Pemasyarakatan itu baik, tetapi kalau narapidana itu sendiri tidak sanggup ataupun masyarakat itu sendiri yang tidak mau menerimanya, maka pembinaan tidak akan mencapai sasarannya. Konsekuensi terhadap dilaksanakannya perlakuan yang memfokuskan kegiatan narapidana di tengah-tengah masyarakat, maka selesainya masa pidana itu pun tidak berakhir di Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi berakhir di tengah-tengah masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan, salah satu upaya yang ditempuh adalah pelaksanaan pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB), yang merupakan bagian dari hak-hak warga binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan pemberian hak-hak warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo. Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana yang dipidana satu tahun keatas, di luar Lembaga Pemasyarakatan untuk beberapa waktu sebesar remisi terakhir maksimum 6 (enam) bulan, setelah menjalani ? (dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik.7
Sering terjadi kerancuan penafsiran antara cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan pidana bersyarat. Untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani ? (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal penahanan dengan ketentuan ? (dua pertiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Sisa masa pidana tidak perlu dijalani selama ia tidak melanggar syarat-syarat yang ditetapkan untuk itu. Sedangkan untuk pidana bersyarat, hukuman terhadap terpidana tetap dijatuhkan tetapi tidak perlu dijalani, kecuali jika dikemudian hari ternyata terpidana sebelum habis masa percobaan berbuat sesuatu tindak pidana lagi atau melanggar syarat-syarat yang diberikan kepadanya oleh hakim, jadi keputusan hukum tetap ada hanya pelaksanaan hukuman itu yang tidak dilaksanakan.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, disebutkan :
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Dasar dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 adalah sebagai sarana penunjang pelaksanaan hak-hak warga binaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal-pasal tersebut hak-hak warga binaan diatur dan dijamin, mengingat adanya pengakuan hak-hak asasi manusia dan nilai kemanusiaan mengharuskan mereka diperlakukan sebagai subjek, dimana kedudukannya sejajar dengan manusia lain. Pemidanaan tidak lagi ditujukan sebagai efek penjeraan, melainkan sebagai upaya preventif atau mencegah terjadinya kejahatan.
Berdasarkan praktek di Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya, ternyata pemberian hak-hak narapidana khususnya tentang pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) tidak efektif dan optimal, karena ada narapidana yang tidak memperoleh remisi sehingga tidak dapat diberikan hak Cuti Menjelang Bebas (CMB).
Bertitik tolak dari kenyataan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut di atas dan uraian penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan bagaimana pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini jika dihubungkan dengan Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, mendorong minat Penulis untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”.

B. Perumusan Masalah
Masalah adalah setiap persoalan dalam kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya.8Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah yang akan diteliti, guna mempermudah pencapaian sasaran dan tujuan penelitian. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ?
2. Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ?
3. Upaya-upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?

C. Tujuan Penelitian
Seiring dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
2. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian, perumusan terhadap suatu permasalahan yang dihadapi selalu dikaitkan dengan kemanfaatan penelitian baik dalam praktek maupun dalam teori.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya yang berhubungan dengan sistem pembinaan narapidana.
b. Dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang Pemasyarakatan.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan penjelasan hal ikhwal mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
b. Dapat mengungkapkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.

E. Keaslian Penelitian
Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini merupakan pendalaman dari Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan dan pemantauan yang penulis lakukan di Perpustakaan Universitas X tentang penelitian “Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”, belum pernah ada dilakukan penelitian dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Oleh karena itu, menurut penulis, penelitan ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi seorang peneliti.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:31:00

Tesis Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah

Tesis Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga yang mempunyai peran yang sangat strategi dalam pembangunan Indonesia. Hal ini tidak dapat disangkal bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Peran yang sangat strategis dari bank sebagai suatu badan usaha adalah bank yang mempunyai fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana yang dihimpun tersebut kepada masyarakat.1 Bank sebagai lembaga keuangan diharapkan dapat menyerasikan, menyelaraskan, serta menyeimbangkan unsur pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan taraf hidup masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keberadaan bank sangat krusial bagi perekonomian suatu negara, karena itu asset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga guna meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi serta untuk mencegah terjadinya bank runs and panic. 2 Oleh Karena itu perbankan harus dapat bekerja secara profesional, mampu membaca, menelaah, dan menganalisis semua kegiatan dunia usaha serta perekonomian nasional. Mempunyai entrepreneurship dan kemampuan membaca pasar agar dapat menjalankan fungsi intermediasi dengan baik, sebagaimana dimaksud Pasal 1 Angka 2.
Untuk mencapai tujuan tersebut badan pengawas bank perlu memiliki kewenangan luas untuk mengatur dan mengawasi industri perbankan. Kewenangan tersebut antara lain kewenangan menetapkan besarnya modal yang harus dimiliki, besarnya kredit yang boleh diberikan kepada suatu perusahaan, siapa yang boleh menjadi pengurus bank dan sebagainya. Kewenangan mengawasi diberikan dengan tujuan untuk memonitor apakah bank tersebut melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlu dikaji untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada badan pengawas. Kewenangan tersebut bertujuan untuk melindungi nasabah, melindungi perekonomian dan menjaga agar tidak terjadi konsentrasi bisnis. Perlindungan terhadap nasabah merupakan alasan paling dasar untuk mengawasi bank karena nasabah merupakan target yang mudah bagi pencurian oleh pengurus bank.4
4 Zulkarnain Sitompul.1, Op cit., hal.3.
Bank sebagai suatu lembaga yang hidupnya tergantung dari dana masyarakat yang disimpan pada bank. Agar nasabah bersedia menyimpan dananya kepada bank yang bersangkutan, nasabah harus memiliki kepercayaan bahwa bank tersebut, mau dan membayar kembali dana yang disimpan pada bank pada waktu dana itu ditagih oleh nasabah penyimpan dana. Pada peristiwa beberapa tahun yang lalu banyak bank dilikuidasi oleh pemerintah, para nasabah bank tersebut tidak dapat memperoleh kembali dananya ketika bank-bank tersebut dilikuidasi, maka hancurlah kepercayaan masyarakat terhadap perbankan pada saat itu yang memang berada ditingkat yang rendah. Hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan ditandai dengan terjadinya rush atau bank run dimana masyarakat beramai-ramai menarik dana simpananya dari bank yang belum dilikuidasi terutama dari bank-bank swasta nasional.5
Jika melihat kenyataan pada saat itu tentu rasanya tidak adil bila nasabah harus menanggung keputusan likuidasi akibat kesalahan dalam pengurusan bank. Adalah wajar apabila deposan berhak mendapatkan seluruh dananya berikut bunganya, bukannya dipotong dengan biaya administrasi yang sangat memberatkan. Kenyataanya, bank tidak pernah memberikan agunan apa pun kepada nasabahnya, kecuali modal kepercayaan, sehingga wajar pertanggungjawaban pihak bank diperluas. 6 Untuk itu perlu diupayakan agar masyarakat berkeinginan menyimpan dananya di bank, dan keinginan masyarakat menyimpan uang di bank merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan.7
Untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan tercermin dari keinginan masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan perbankan seperti menyimpan atau menginvestasikan uang, mendepositokan dan meminjam uang untuk memulai atau memperluas usaha. Peran dan partisipasi kalangan masyarakat luas ini merupakan sesuatu yang vital bagi industri perbankan itu sendiri maupun kesejahteraan masyarakat umum secara luas yang pada akhirnya berkepentingan pada pembangunan.8
Oleh sebab itu bank sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan, wajib memberikan informasi mengenai risiko kerugian akibat transaksi sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1992 yang dirubah oleh Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan khususnya pada Pasal 29 ayat 4. 9
Mengingat peranan dari lembaga perbankan tersebut, maka dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional tidak berlebihan apabila lembaga perbankan ditempatkan begitu strategis dan mendapat perhatian pemerintah melalui pembinaan yang intensif. Semuanya itu didasari oleh landasan pemikiran agar lembaga perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar dan mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta mampu menyalurkan dana masyarakat tersebut kebidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan.
Bank sebagai suatu lembaga yang melindungi dana nasabah juga berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya dari pihak-pihak yang dapat merugikan nasabah. Dan sebaliknya masyarakat yang mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank juga harus dilindungi terhadap tindakan yang semena-mena yang dilakukan oleh bank yang dapat merugikan nasabahnya. Hal ini sangat dibutuhkan karena sebagai lembaga keuangan, bank harus mendapat kepercayaan dari masyarakat, dan kepercayaan dari masyarakat tersebut akan lahir apabila semua data hubungan masyarakat dengan bank tersebut dapat tersimpan secara rapi atau dirahasiakan. Hal demikian membawa konsekuensi kepada bank, yaitu bank memikul kewajiban untuk menjaga kerahasiaan tersebut, sebagai timbal balik dari kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank selaku lembaga keuangan atau sumber dana masyarakat. Sebagai suatu badan usaha yang dipercaya oleh masyarakat untuk menghimpun dana masyarakat, sudah sewajarnya bank memberikan jaminan perlindungan kepada nasabah yang berkenaan dengan “keadaan keuangan nasabah” yang lazim dinamakan dengan “Kerahasiaan Bank”. Kerahasiaan bank sangat penting karena bank memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Nasabah hanya mempercayakan uangnya kepada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila bank memberikan jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan tidak akan disalahgunakan.
Dengan adanya jaminan kerahasian bank atas semua data-data masyarakat dalam hubungannya dengan bank, maka masyarakat mempercayai bank tersebut, kemudian selanjutnya mereka akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank. Kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak disalahgunakan, dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. 13
Hubungan antara bank dengan nasabah ternyata tidaklah seperti hubungan kontraktual biasa, tetapi dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain manapun jika ditentukan lain oleh perundang-undangan yang berlaku, karena itu dapat dikatakan bahwa hubungan antara lawyer dengan klien, atau dokter dengan pasiennya.14
Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Ketentuan rahasia bank berlaku bagi pihak-pihak terafiliasi dalam operasional bank. 15 Dengan demikian, istilah rahasia bank mengacu kepada rahasia dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya. Sedangkan rahasia-rahasia lain yang bukan merupakan rahasia antara bank dengan nasabahnya, sesungguhnya pun bersifat “rahasia“ tidak tergolong ke dalam istilah ”rahasia bank” menurut undang-undang perbankan.16 Rahasia-rahasia lain yang bukan rahasia bank tersebut misalnya rahasia mengenai data dalam hubungan dengan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (3), dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.17
Seiring dengan kemajuan teknologi dewasa ini salah satu wujud kerahasian dan perlindungan nasabah bank adalah dengan diluncurkannya kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri) sebagai salah satu fasilitas yang disediakan oleh bank. Banyak bank saat ini telah menyediakan fasilitas kartu ATM sebagai wujud rahasia dan perlindungan terhadap nasabahnya. 18
Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketentuan ketat mengenai kerahasiaan bank. Pelanggaran terhadap kerahasiaan bank adalah merupakan tindak pidana, karena begitu ketatnya ketentuan rahasia bank di Indonesia, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana yang berhubungan dengan rahasia bank harus memperoleh izin dari Menteri Keuangan. Tentu saja ini bertentangan dengan Pasal 24 Undang Undang Dasar 1945, 19 Karena menurut ketentuan didalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa di dalam mengadili suatu perkara baik pidana maupun perdata hakim memiliki kekuasaan yang merdeka, dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial 20. Ketatnya ketentuan rahasia bank di Indonesia memungkinkan terjadinya tindak pidana pencucian uang (money laundering) seperti peredaran uang-uang hasil perdagangan narkotika, perjudian, penyuapan, terorisme dan lain-lain. Oleh sebab itu ketentuan rahasia bank perlu diperlonggar.
Thomas Suyatno mengatakan bahwa ketentuan rahasia bank sangat diperlukan di dalam operasional bank, tetapi penerapannya jangan terlalu kaku. Masalah rahasia bank berhubungan dengan prilaku bankir dan pihak lain yang terlibat. Ketentuan rahasia bank yang tercantum pada Bab VII Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang kemudian dirubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sebab bank harus melindungi dana nasabahnya. Bank yang membocorkan informasi layak dikenakan sanksi berat.
Untuk mengurangi risiko itulah maka setiap bank diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Salah satu upaya dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Prinsiple). 23 Selain prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Principle) dalam operasional perbankan prinsip keterbukaan juga dibutuhkan dalam melindungi nasabah. Berdasarkan hal-hal di atas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini untuk diteliti dan dibahas yang pada akhirnya menjadikan penelitian ini berjudul “Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah untuk dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Mengapa bank wajib menjaga kerahasiaan dalam melindungi nasabahnya?
2. Apakah terdapat hubungan antara penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Principle) dengan rahasia bank dalam melindungi nasabah?
3. Perlukah ketentuan rahasia bank diperlonggar untuk mencegah/memberantas kejahatan.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan penelitian yang diinginkan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui alasan bank menjaga kerahasiaan dalam melindungi nasabahnya.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan ruang lingkup rahasia bank telah memberikan perlindungan kepada nasabah.
3. Untuk mengetahui perlu tidaknya ketentuan rahasia bank diperlonggar dalam mencegah/memberantas kejahatan

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari Penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu :
1. Secara teoritis, Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan hukum perbankan Indonesia terutama yang berhubungan dengan kerahasiaan bank (confidencia bank).
2. Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berhubungan dengan kerahasiaan bank (confidential bank) sebagai wujud perlindungan nasabah.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan diperpustakaaan khususnya pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas X, penelitian dengan judul “Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah”, belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dengan demikian penelitian ini adalah baru pertama kali.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 20:30:00