Cari Kategori

SKRIPSI LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

(KODE ILMU-HKM-0057) : SKRIPSI LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyak pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat pada lebih dari satu negara, ataupun yang pelakunya lebih dari satu orang dan berada terpencar di lebih dari satu negara.. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional. Akan tetapi, ekstradisi sebagai suatu lembaga hukum, masih belum banyak diketahui isi dan ruang lingkupnya. Namun demikian, istilah ekstradisi yang dikalangan masyarakat luas diidentikkan dengan penyerahan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke suatu negara kepada negara yang memintanya, boleh dikatakan sudah umum dikenal.
Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti sekarang ini dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional ini akan semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendiri-sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara bilateral maupun multilateral.
Salah satu lembaga hukum yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional, lembaga ekstradisi juga muncul ke permukaan, seolah-olah ekstradisi ini sebagai lembaga hukum yang ampuh untuk menyelesaikannya.
Di dalam lapangan hukum nasional dan internasional, masalah ekstradisi bukan lagi merupakan hal yang baru khususnya bagi aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus-kasus pidana pelarian, baik yang dilakukan oleh seseorang di negara lain (asing) yang kemudian melarikan diri menghindar dari ancaman hukuman dan masuk ke negara lain, atau masuk ke negara kita.
Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional yang bilateral, multilateral maupun berbentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara. Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang model Treaty on Extradition, yang walaupun hanya berupa model hukum saja, jadi belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai model oleh negara-negra dalam membuat perjanian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini.
Secara umum ekstradisi dapat diartikan sebagai proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan, yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili penjahat tersebut.
Setiap negara yang berdaulat mempunyai hak untuk meminta ekstradisi atas seseorang yang dianggap telah melakukan kejahatan di dalam wilayah negaranya dan sebaliknya negara tersebut juga mempunyai kewajiban untuk menyerahkan seseorang yang dimintakan ekstradisi oleh negara lain atau negara peminta sepanjang semua itu memenuhi azas-azas dan persyaratan yang berlaku.
Meskipun sudah banyak terdapat perjanjian-perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semua itu menganut azas-azas dan kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan dalam prakteknya, ada negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua negara itu belum terikat pada perjanjian ekstradisi atau mungkin juga belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus ekstradisi tersebut, mereka berpegang pada azas-azas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar negara-negara di dunia. Oleh karena itulah lembaga ekstradisi ini sudah diakui dan diterima oleh para sarjana hukum internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international costumary law).
Ekstradisi merupakan perjanjian antara dua negara atau lebih yang bersifat bilateral atau terkadang multilateral dan hanya berlaku bagi pihak yang meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut.
Dengan demikian konsekuensi dari adanya perjanjian ekstradisi itu harus terlebih dahulu terdapat hubungan diplomatik antara kedua negara. Indonesia sendiri telah beberapa kali mengadakan perjanjian ekstradisi dan telah meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut seperti dengan Malaysia pada tahun 1974, dengan Philipina pada tahun 1976, dengan Thailand pada tahun 1978, dengan Australia pada tahun 1994, dengan Hongkong pada tahun 2001 dan baru-baru ini Indonesia juga menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada tanggal 27 april 2007.
Hukum internasional mengakui bahwa pemberian atau prosedur ekstradisi paling tepat diserahkan kepada hukum nasional dan tidak, misalnya, merintangi negara-negara untuk membuat undang-undang yang menghalang-halangi penyerahan pelaku-pelaku kejahatan oleh mereka, apabila tampak bahwa permintaan ekstradisi dibuat untuk mengadili pelaku kejahatan itu atas dasar ras-nya, agamanya, atau pandangan-pandangan politiknya, atau pun andaikata ia dituduh untuk hal-hal ini pada pengadilan yang sesungguhnya oleh pengadilan negara yang memintanya.
Adapun maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, karena sering kali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut.
Tindak kejahatan serta akibat-akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat sekitarnya saja, tetapi sering melibatkan negara-negara bahkan kadang-kadang merupakan persoalan umat manusia. Sehingga untuk pencegahan dan pemberantasannya diperlukan kerjasama antara negara-negara. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara atau lebih, dapat mempermudah dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian.
Sebaliknya jika tidak ada hubungan baik antara negara maka dapat dipastikan akan mempersulit penyerahan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan pada kesadaran orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan pada seorang atau beberapa orang penjahat pelarian, bukan pula karena didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.
Penyerahan pelaku kejahatan pelarian ini tidak terpaku pada hubungan baik antar negara saja tetapi juga harus didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya. Dalam hal tidak adanya perjanjian, maka pemberian ekstradisi bergantung hanya pada azas resiprositas atau azas kepantasan (courtesy).
Perjanjian ekstradisi tidak hanya merupakan suatu perjanjian dalam mana suatu pihak mencoba semua jalan kemungkinan untuk mencapai hasil maksimum, tetapi lebih merupakan suatu usaha kerja diantara dua negara atau lebih yang bersahabat yang sama-sama memiliki keinginan untuk memberantas kejahatan. Karena itu pada dasarnya ditekankan bahwa tidak ada seorang penjahat pun yang akan lolos dari penuntutan. Pertimbangan-pertimbangan rasional berikut ini telah ikut menentukan hukum dan praktek ekstradisi:
a. Kehendak bersama semua negara untuk menjamin bahwa kejahatan serius tidak akan dibiarkan tanpa penghukuman. Sering suatu negara yang di wilayahnya telah berlindung seorang pelaku tindak pidana tidak dapat mengadili atau menghukumnya hanya karena kaidah teknis hukum pidana atau karena tidak memiliki yurisdiksi. Oleh karena itu untuk menutup celah-celah pelarian pelaku-pelaku tindak pidana, hukum internasional memberlakukan dalil "aut punere aut dedere", yaitu pelaku tindak pidana harus dihukum oleh negara tempatnya mencari perlindungan atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mengkehendaki penghukuman terhadapnya.
b. Negara yang di wilayahnya terjadi tindak pidana adalah yang paling mampu mengadili pelaku tindak pidana itu karena bukti-bukti yang diperluas lebih banyak terdapat disana dan bahwa negara tersebut mempunyai kepentingan yang paling besar untuk menghukum pelaku tindak pidana serta memiliki fasilitas-fasilitas yang paling banyak untuk memastikan kebenaran. Dari hal tersebut maka hal yang paling benar dan hal yang paling tepat adalah kepada negara teritorial itulah pelaku tindak pidana yang mencari perlindungan ke luar negeri itu harus diserahkan. Dalam abad komunikasi yang sangat mudah untuk mengadakan perjalanan dari suatu negara ke negara lain maka fasilitas ini dinikmati tidak hanya oleh warga negara yang baik, tetapi juga oleh unsur-unsur penjahat yang sering kali dengan cepat mengambil keuntungan, sedangkan sebaliknya badan penegak hukum mengalami kesulitan untuk menangkap dan mengadili penjahat-penjahat tersebut, karena yurisdiksi dan wewenang yang terbatas dari negaranya. Karena itu kerjasama diantara negara-negara tetangga sangatlah diperlukan.
Untuk mengembangkan kerjasama yang efektif dalam penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan, dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration of justice) yang baik.
Dengan semakin sering timbulnya kasus-kasus tentang ekstradisi dalam pergaulan internasional, dapatlah menunjukkan kepada kita bahwa kasus ekstradisi perlu mendapat tempat dan perhatian yang khusus dalam hubungan internasional.

B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah pernyataan yang menunjukkan adanya jarak antara rencana dan pelaksanaan, antara harapan dan kenyataan, juga antara das sollen dan Jossein.
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tulisan ini bermaksud untuk membahas permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktek pelaksanaan ekstradisi yang dilakukan oleh pemerintah negara Republik Indonesia jika terdapat pelaku kejahatan di dalam wilayah negara Republik Indonesia?
2. Bagaimana pula kedudukan orang yang diekstradisikan?
3. Sejauhmanakah ekstradisi tersebut benar-benar berfungsi sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas kejahatan?
4. Kemudian dampak apa sajakah yang dapat ditimbulkan dari praktek ekstradisi ini terhadap hubungan negara-negara?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui prosedur atau pelaksanaan ekstradisi diantara negara-negara yang telah saling melakukan perjanjian ekstradisi terutama pelaksanaan ekstradisi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kedudukan dari seorang pelaku kejahatan yang diekstradisi dalam hukum internasional.
3. Untuk mengetahui sampai dimana peranan ekstradisi ini dalam mencegah dan memberantas kejahatan.
4. Dan untuk mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan ekstradisi terhadap hubungan negara-negara.
Adapun manfaat dari penulisan ini terdiri dari 2 hal, yaitu :
1. Manfaat Subjektif
Penulisan ini bermanfaat bagi penulis untuk memenuhi syarat kelulusan Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas X, tempat penulis menuntut ilmu.
2. Manfaat Objektif
Penulisan ini bertujuan untuk menerapkan hukum internasional yang telah dipelajari guna menjawab permasalahan apakah ekstradisi benar-benar dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas kejahatan.

D. Keaslian Penulisan
Skirpsi ini berjudul "Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Untuk Mencegah dan Memberantas Kejahatan Ditinjau dari Hukum Internasional".
Penulisan skripsi tentang ekstradisi telah beberapa kali dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas X dengan judul yang bervariasi, salah satunya adalah Penerapan Hukum Tentang Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi Manusia Ditinjau dari Sudut Hukum Internasional. Adapun persamaan dengan penulisan ini adalah bahwa objek penulisan sama-sama mengenai pelaksanaan ekstradisi. Perbedaannya adalah pada penulisan terdahulu yang dijadikan bahan penulisan adalah pelaksanaan ekstradisi dalam memberi jaminan atas hak-hak azasi manusia. Sedangkan dalam penulisan ini yang dijadikan bahan penulisan adalah mengenai ekstradisi sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa penulisan ini berbeda dengan penulisan yang sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka
Dalam hukum internasional suatu negara tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan tersangka pelaku kejahatan kepada negara asing, karena adanya prinsip soverignity bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili pelaku kejahatan dari negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi, kebanyakan negara di dunia telah menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya.
Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara lain yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan sesuatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Dari definisi ini dapatlah dikemukakan beberapa unsur penting yang harus dipenuhi agar dapat disebut ekstradisi, yaitu:
1. Ekstradisi adalah merupakan penyerahan orang yang diminta yang dilakukan secara formal, jadi harus melalui cara atau prosedur tertentu.
2. Ekstradisi hanya bisa dilakukan apabila didahului dengan permintaan untuk menyerahkan dari negara-peminta kepada negara-diminta.
3. Ekstradisi bisa dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya atau bisa juga dilakukan berdasarkan azas timbal balik apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Dalam hal ini praktek negara-negar berbeda-beda. Ada negara-negara yang bersedia menyerahkan orang yang diminta walaupun sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Ada negara-negara yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak.
4. Orang yang diminta bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh atau terdakwa dan bisa juga sebagai terhukum.
5. Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili orang yang diminta atau menjalani masa hukumannya.
Pada tanggal 18 Januari 1979 telah diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1979 Nomor 2, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi yang menggantikan Koninklijk Besluit 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang Uitlevering van Vreemdelinger (penyerahan orang asing). Hal ini dilakukan mengingat peraturan itu adalah hasil legislatif dan pemerintah Belanda pada waktu yang lampau dan ditetapkan lebih dari 90 tahun sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 dikeluarkan, karena itu sudah barang tentu peraturan tersebut tidak sesuai lagi dengan tata hukum dan dengan perkembangan Negara Republik Indonesia yang merdeka.
Oleh karena itu peraturan tersebut dicabut dan disusun suatu Undang-Undang Nasional yang mengatur tentang ekstradisi orang-orang yang disangka telah melakukan kejahatan di luar negeri melarikan diri ke Indonesia, ataupun untuk menjalani pidana yang telah dijatuhkan dengan putusan Pengadilan.
Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi pembuatan perjanjian dengan negara-negara asing maupun untuk menyerahkan seseorang tanpa adanya perjanjian.
Keputusan tentang permintaan ekstradisi bukanlah keputusan badan yudikatif tapi merupakan keputusan badan eksekutif, oleh sebab itu pada taraf terakhir terletak dalam tangan Presiden, setelah mendapat nasihat yuridis dari Menteri Kehakiman berdasarkan penetapan Pengadilan.
Permintaan ekstradisi diajukan kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman oleh pejabat yang berwenang di negara asing melalui saluran diplomatik. Permintaan ekstradisi tersebut hams disertai dengan dokumen yang diperlukan antara lain mengenai identitas, kewarganegaraan, uraian tentang tindak pidana yang dituduhkan, surat permintaan penahanan. Bagi orang yang dicari karena hams menjalani pidananya disertai lembaran asli atau salinan otentik dari putusan Pengadilan dan surat tersebut disertai bukti-bukti tertulis yang sah yang diperlukan.
Apabila ada alasan-alasan yang mendesak sebelum permintaan ekstradisi diajukan, pejabat yang berwenang di Indonesia dapat menahan sementara orang yang dicari tersebut atas permintaan negara peminta. Mengenai penahanan itu berlaku ketentuan dalam Hukum acara Pidana Indonesia. Apabila dalam waktu yang cukup pantas permintaan ekstradisi tidak diajukan , maka orang tersebut dibebaskan.
Seperti telah diterangkan diatas untuk menentukan dapat tidaknya orang itu diserahkan, Presiden mendapat nasihat yuridis dari Menteri Kehakiman yang didasarkan pada penetapan Pengadilan. Cara pemeriksaan di Pengadilan ini tidak mempakan pemeriksaan peradilan seperti peradilan biasa, tetapi Pengadilan mendasarkan pemeriksaannya kepada keterangan tertulis beserta bukti-buktinya dari negara peminta yang diajukan oleh Jaksa dengan disertai pendapatnya.
Setelah memeriksa keterangan serta syarat-syarat yuridis yang diperlukan untuk ekstradisi maka Pengadilan menetapkan apakah orang yang bersangkutan dapat diekstradisikan atau tidak. Dalam pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 ditegaskan :
1. Jika permintaan ekstradisi disetujui, orang yang dimintakan ekstradisi segera diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan dari negara peminta, di tempat dan pada waktu yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.
2. Jika orang yang dimintakan ekstradisinya tidak diambil pada tanggal yang ditentukan, maka ia dapat dilepaskan sesudah lampau 15 (lima belas) hari dan bagaimanapun juga ia wajib dilepaskan sesudah lampau 30 (tiga puluh) hari.
3. Permintaan ekstradisi berikutnya terhadap kejahatan yang sama, setelah dilampauinya waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, dapat ditolak oleh Presiden.
Ketentuan-ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak azasi yang bersangkutan. Yang dimaksud kejahatan yang sama dalam ayat ini adalah kejahatan yang dimintakan ekstradisinya dalam ayat-ayat sebelumnya. Waktu 30 (tiga puluh) hari dalam ayat ini adalah waktu yang dimaksudkan dalam ayat (2) di atas. Jika keadaan di luar kemampuan kedua negara baik negara peminta untuk mengambil maupun negara yang diminta untuk menyerahkan orang yang bersangkutan, negara dimaksud wajib memberitahukan kepada negara lainnya dan kedua negara akan memutuskan bersama tanggal yang lain untuk pengambilan dan penyerahan yang dimaksud.
Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama-kelamaan berkembang menjadi hukum kebiasaan. Dari praktek dan hukum kebiasaan inilah negara-negara mulai merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian internasional tentang ekstradisi, baik yang bilateral maupun multilateral, disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru, sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Tetapi satu hal patut untuk dicatat bahwa sampai saat ini masih belum terdapat sebuah konvensi ekstradisi yang berlaku secara universal. Oleh karena itu mungkin akan timbul anggapan bahwa perjanjian-perjanjian ekstradisi bilateral dan multilateral tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Anggapan ini meskipun mengandung nilai kebenaran, tetapi tidak seluruhnya benar, karena banyak perjanjian-perjanjian ekstradisi yang memiliki kesamaan-kesamaan dalam pengaturan mengenai berbagai pokok masalah. Bahkan pokok-pokok masalah yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terdapat pula didalam perundang-undangan ekstradisi.
Dasar-dasar yang sama ini diikuti terus oleh negara-negara baik dalam merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang sama ini telah diterima dan diakui sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi hanya diatur ekstradisi secara pasif dan tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai cara mengajukan permohonan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia kepada negara lain.
Mengenai jenis-jenis kejahatan yang pelakunya dapat diserahkan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 memakai metode enumeratif dengan memperinci setiap kejahatan yang pelakunya dapat diserahkan dalam suatu daftar yang dilampirkan pada Undang-Undang tersebut.
Suatu perjanjian ekstradisi harus mencantumkan secara spesifik tindak pidana apa saja yang pelakunya dapat diekstradisi. Tindak pidana yang di luar perjanjian ekstradisi, pelakunya tidak dapat diekstradisi. Hal inilah yang menjadi kesukaran dalam pelaksanaan ekstradisi. Terlebih, perkembangan kategori baru tindak pidana tidak dapat dipungkiri.
Dimuatnya azas-azas umum ekstradisi dalam Undang-Undang tersebut merupakan suatu kemajuan karena bagaimanapun juga azas-azas umum tersebut dimaksudkan untuk menjamin perlindungan hak-hak azasi orang-orang yang diekstradisikan (extraditable person).
Bagaimanapun juga dengan adanya ketentuan-ketentuan ekstradisi dalam Undang-Undang nasional maka cukuplah landasan hukum bagi pemerintah untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara lain dalam rangka kerjasama internasional di bidang pemberantasan kejahatan.
Sehubungan dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai oleh umat manusia, maka fasilitas di bidang transportasi dan komunikasi yang semakin meningkat tidak hanya digunkan oleh penduduk dunia yang baik, tetapi digunakan pula oleh para pelaku kejahatan yang dengan cepat ingin mendapat keuntungan. Seorang yang melakukan kejahatan dengan cepat dapat menghindarkan penuntutan atau pemidanaan dengan jalan melarikan diri ke negara lain.
Sebagai suatu contoh dapat dikemukakan kasus "Earl Ray alias Sneyd Case", seorang yang dituduh membunuh Dr. Martin Luther King, Jr. la menembak Dr King di Memhis, tenessee, amerika Serikat pada tanggal 14 April 1968 dan dalam beberapa jam Ray-sneyd berusaha melarikan diri dari Tenessee dan akhirnya ditangkap di London, Inggris pada tanggal 8 juni 1968. agar Ray-Sneyd dapat dipidana di negaranya Amerika Serikat, maka ia hams diekstradisikan. Untuk itu perlu ada permohonan dari pemerintah Amerika Serikat kepada Pemerintah Inggris.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh umat manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti pula oleh perkembangan di bidang sosial yang antara lain mewujudkan diri dalam bentuk kejahatan yang berdimensi internasional sehingga pemberantasannya pun dewasa ini merupakan masalah yang memerlukan kerjasama internasional.

F. Metode Penulisan
1. Bentuk Penelitian
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui metode penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research) yang berhubungan dengan penulisan ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan ekstradisi.
2. Alat Pengumpulan Data
Mated skripsi ini diambildari data-data sekunder yang dimaksud yaitu :
a. Bahan hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Malaysia, Undang-Undang nomor 10 Tahun 1976 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Philipina, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Thailand, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia.
b. Bahan hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku tentang ekstradisi dan peraturannya, Jurnal-jurnal, majalah dan surat kabar serta media internet seperti www.goggle.com, www.legalitas.org., www.kompas.com.
c. Bahan hukum tertier
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan ganbaran yang utuh dan sistematis mengenai isi dari skripsi ini maka isi dan kerangka skripsi ini disusun secara sistematiika sebagai berikut:
Bab I : Didalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang yang memberikan alasan mengapa penulis memilih permasalahan yang tercakup dalam skripsi ini. Dalam bab ini juga dikemukakan tujuan dari penulisan yang dimaksud sebagai suatu sasaran yang hendak dicapai dari skripsi ini, disamping itu dikemukakan juga metode penulisan yang kemudian diakhiri dengan sistematika dari penulisan skripsi ini secara keseluruhan.
Bab II : Didalam bab ini penulis menguraikan tentang pengertian dan ruang lingkup ekstradisi, sejarah dan perkembangan ekstradisi, beberapa syarat ekstradisi, serta azas-azas dalam ekstradisi.
Bab III : Dalam bab ini dikemukakan tentang perjanjian internasional tentang ekstradisi, perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, hak dan kewajiban negara dalam menyerahkan orang yang diminta, dan penyerahan orang yang diekstradisi berdasarkan kesediaan secara timbal-balik.
Bab IV : Bab ini merupakan bagian yang menganalisa bagaimana pelaksanaan ekstradisi sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang kejahatan yang dapat diekstradisi, pelaksanaan ekstradisi bagi pelaku kejahatan pada negara-negara, kedudukan terhadap orang yand diekstradisi dalam hukum internasional, dan dampak ekstradisi terhadap hubungan negara-negara.
Bab V : Bab ini merupakan bagian penutup dari skripsi ini. Didalamnya terdapat kesimpulan dari tujuan penulisan skripsi ini dan diakhiri dengan saran-saran penulis setelah menguraikan permasalahan yang timbul sesuai dengan judul skripsi.

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:13:00

SKRIPSI KEDUDUKAN DAN PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENYELENGGARAAN KAWASAN TERTIB DI KOTA X

(KODE ILMU-HKM-0056) : SKRIPSI KEDUDUKAN DAN PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENYELENGGARAAN KAWASAN TERTIB DI KOTA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Di era sekarang ini sangat gencar diperbincangkan tentang Otonomi Daerah, yaitu pemberian peluang yang seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam segala bidang.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia di dalam Pasal 18, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Agar mampu menjalankan perannya, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Perihal otonomi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Jika di dalam UU No. 22 Tahun 1999 lebih menitikberatkan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi, maka dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Seperti tersebut dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 32 Tahun 2004, menyatakan : "Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Prinsip otonomi seluas-luasnya yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Sebagai realisasi atas undang-undang pemerintahan daerah, maka pemerintah daerah meresponnya dengan cara membuat berbagai regulasi atau peraturan untuk mendukung pelaksanaan otonomi di daerahnya. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah merupakan salah satu penyangga (stick holder) atas pelaksanaan otonomi daerah. Pada prakteknya tidak ada artinya suatu regulasi dibuat tanpa didukung oleh pelaksanaan yang baik. Untuk mewujudkan pelaksanaan undang-undang dan peraturan daerah yang telah dibuat, maka pemerintah daerah khususnya, memerlukan suatu perangkat pelaksanaan baik berupa organisasi maupun sumber daya manusia.
Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam terminologi otonomi tersebut memungkinkan dibuatnya berbagai perangkat-perangkat berupa aparatur daerah yang berfungsi sebagai pendukung dari pelaksanaan pemerintahan di daerahnya. Salah satu aparatur yang bertugas sebagai pendukung dari pelaksanaan pemerintahan daerah adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Satuan ini merupakan perangkat pemerintah daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan dan sebagai garda atau barisan terdepan dalam bidang ketenteraman dan ketertiban umum, seperti yang disebutkan pada Pasal 148 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 :
"Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja".
Kota X sebagai salah satu daerah otonom di provinsi Jawa Tengah juga tidak mau ketinggalan dengan daerah lain, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan luas wilayah 44,040 Km2 dengan penduduk sekitar 553.458 jiwa pada malam hari dan lebih dari 1.650.000 jiwa pada siang hari dengan tingkat kepadatan penduduk 12.567 jiwa/Km2 serta pertumbuhan ekonomi sebesar 3,14% (Solopos,17 Februari 2007). Pemerintah Kota X benar-benar berusaha menjadi suatu daerah otonom yang mandiri dimana salah satunya ditandai dengan pembangunan di segala sektor, baik infrastruktur maupun suprastrukturnya dengan menggunakan seluruh potensi yang dimiliki. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketentraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya. Untuk mewujudkan kondisi daerah yang aman, tentram dan tertib, sehingga akan dapat mendorong perkembangan perekonomian dan investasi yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka dipandang perlu ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan kawasan tertib.
Salah satu upaya pemerintahan Kota X untuk mewujudkan hal diatas adalah membentuk suatu perangkat daerah yang bertugas membantu pemerintah daerah dalam pembinaan umum masyarakat, ketentraman, ketertiban daerah, dan penegakan peraturan daerah serta operasional ketentraman dan ketertiban di Kota X agar pembangunan benar-benar terlaksana dengan baik. Perangkat daerah yang dimaksud adalah Satuan Polisi Pamong Praja.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memilih judul : "KEDUDUKAN DAN PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENYELENGGARAAN KAWASAN TERTIB DI KOTA X".

B. Perumusan Masalah
Untuk lebih memperjelas agar permasalahan yang ada nantinya dapat dibahas dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penting sekali bagi penulis untuk merumuskan permasalah yang akan dibahas.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian yang dirumuskan penulis adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan dan peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X?
2. Bagaimana mekanisme dan hasil kerja dari Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X?
3. Hambatan-hambatan apa sajakah yang ditemui Satuan Polisi Pamong Praja X dalam pelaksanaan tugasnya?

C. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang hendak dilakukan harus memiliki tujuan yang jelas. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan arah bagi pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan maksud dilaksanakannya kegiatan tersebut. Demikian juga dengan penulisan hukum ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui kedudukan dan peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X.
b. Untuk mengetahui mekanisme dan hasil kerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Tujuan subjektif
a. Untuk memperoleh data-data yang digunakan penulis dalam menyusun penulisan hukum (skripsi) sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum dalam Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan wacana, ilmu hukum serta pemahaman penulis tentang kedudukan dan peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X.
c. Untuk melatih kemampuan dan ketrampilan penulis agar siap terjun di dalam masyarakat.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian akan lebih bermanfaat apabila mempunyai data yang akurat dan dapat menambah wawasan pembaca, oleh karena itu, penulis merumuskan manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum tata negara terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah.
b. Untuk memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai kedudukan dan peranan Satuan Polisi Pamong Praja Kota X dalam
penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan tambahan untuk dapat dibaca dan dipelajari khususnya oleh mahasiswa fakultas hukum.
2. Manfaat praktis
a. Untuk lebih mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.
b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor yang penting dalam penelitian disamping untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian juga agar mempermudah pengembangan data guna kelancaran penyusunan penulisan hukum.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data sampai data dengan analisis data dapat diperinci sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris atau non doctrinal yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan tentang sesuatu hal seperti adanya.
Penelitian deskriptif menurut Soerjono Soekanto adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1986 : 10).
2. Lokasi penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
3. Jenis data
a) Data primer
Data primer merupakan data atau fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama atau melalui penelitian lapangan. Data primer ini berupa penjelasan maupun keterangan dari wawancara dengan Kepala Seksi Perencanaan dan Pengendalian, Kepala Seksi Pembinaan dan Ketertiban Umum Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan data atau fakta atau keterangan yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan pustaka seperti, buku-buku literatur, peraturan perundangan dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Sumber data
a) Data primer
Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung di lapangan, yaitu melalui wawancara dengan Kepala Seksi Perencanaan dan Pengendalian, Kepala Seksi Pembinaan dan Ketertiban Umum Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
b) Data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini merupakan data yang secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer. Sumber data ini diperoleh dari kepustakaan. Termasuk dalam sumber data ini adalah peraturan perundang-undangan, dokumen, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian.
Data sekunder dalam dalam penelitian ini terdiri dari :
(1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota X, Keputusan Walikota No. 34 Tahun 2001 Tentang Pedoman Uraian Tugas Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota X dan Peraturan Walikota X Nomor 11.c Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib.
(2) Bahan Hukum Sekunder
Adalah keterangan-keterangan yang bersifat mendukung data primer, yaitu sumber data yang secara tidak langsung memberi atau menunjang adanya sumber data primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku literatur hukum tata negara dan hukum pemerintahan daerah, surat kabar dan sebagainya.
(3) Bahan Hukum Tersier
Adalah keterangan yang bersifat mendukung data primer dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus dan ensiklopedi.
5. Teknik pengumpulan data
a) Studi Lapangan
Merupakan penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap obyek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data primer, dalam hal ini dengan metode wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu (Burhan Ashofa, 1996 : 95). Dalam penelitian ini wawancara dilakukan terhadap Kepala Seksi Perencanaan dan Pengendalian, Kepala Seksi Pembinaan dan Ketertiban Umum Satuan Polisi Pamong Praja Kota X.
b) Studi Kepustakaan
Merupakan cara pengumpulan data untuk memperoleh data dan keterangan yang diperlukan sebagai landasan berpikir yang dilakukan dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, dokumen, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2002 : 103). Penelitian ini menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analysis), yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap, sehingga data yang terkumpul akan berhubungan dengan satu sama lain dan benar-benar data yang mendukung penyusunan laporan penelitian (HB. Sutopo, 2002 : 35).
Tiga tahap tersebut adalah :
a) Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data (kasar) yang ada dalam fieldnote. Pada saat pengumpulan data berlangsung, data reduction berupa membuat singkatan, coding, memusatkan tema, membuat batas-batas permasalahan, dan menulis memo. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus dari tahap awal sampai akhir penulisan laporan penelitian.
b) Penyajian Data
Sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan yang meliputi berbagai jenis matrik, gambar, tabel, dan sebagainya.
c) Menarik Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan. (HB. Sutopo, 2002 : 37).
Dengan memperhatikan gambar di atas, maka prosesnya dapat dilihat bahwa pada waktu pengumpulan data peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data. Artinya, data yang berupa fieldnote atau data yang diperoleh dari lapangan yang terdiri dari bagain deskripsi dan refleksinya adalah data yang dikumpulkan, kemudian peneliti menyusun pengertian singkatnya dengan memahami arti segala peristiwanya yang disebut reduksi data.
Kemudian penyusunan sajian data yang berupa cerita sistematis dengan parabor (matrik, gambar, dan sebagainya) yang diperlukan sebagai pendukung sajian data. Reduksi data dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan unit data di sejumlah data yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, maka peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dengan verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data.
Apabila kesimpulan dirasa kurang mantap karena terdapat kekurangan data reduksi dan sajian, maka peneliti dapat menggali dalam fieldnote. Bila ternyata dalam fieldnote tidak diperoleh data pendukung, peneliti wajib kembali melakukan pengumpulan data khusus. Dalam hal ini tampak bahwa penelitian kualitatif menggunakan "proses siklus".

F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh dalam penulisan hukum ini, maka penulis membagi dalam empat bab yaitu Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Pembahasan dan Penutup ditambah dengan Daftar Pustaka dan Lampiran.
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terdiri dari dua hal, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi tentang tinjauan umum mengenai pemerintahan daerah yang meliputi , tinjauan tentang pemerintah daerah, tinjauan tentang otonomi daerah dan tinjauan tentang polisi pamong praja yang meliputi pengertian polisi pamong praja, susunan organisasi satuan polisi pamong praja serta tugas dan fungsi satuan polisi pamong praja dan tinjauan umum tentang kawasan tertib.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan membahas lima hal pokok. Yang pertama mengenai sejarah Satuan Polisi Pamong Praja. Yang ke dua mengenai kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja dalam sistem pemerintah daerah kota X. Yang ke tiga mengenai. peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X. Yang ke empat mengenai mekanisme kerja dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota X. Dan yang ke lima mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan kawasan tertib di Kota X dan upaya untuk mengatasinya
BAB IV : PENUTUP
Bab ini terbagi dalam dua bagian yaitu kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:12:00

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP MASYARAKAT MISKIN (STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT X)

(KODE ILMU-HKM-0055) : SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP MASYARAKAT MISKIN (STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT X)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea empat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai tujuan negara tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan yang berkesinambungan yang merupakan salah satu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dan menyeluruh. Kebutuhan dasar manusia berupa kebutuhan fisik yaitu : pangan, sandang dan papan yang memang sangat penting untuk menunjang kehidupan masyarakat sebagai makhluk hidup.
Penyelenggaran pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber dayanya, harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada penyembuhan penderita secara berangsur-angsur berkembang kearah yang keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh. Upaya kesehatan menjadi kebijakan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam keselamatan hidup yang makmur.
Salah satu tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat adalah "untuk memajukan kesejahteraan umum". Negara Indonesia dalam hal ini pemerintah Indonesia berupaya semaksimal mungkin untuk mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang sejahtera. Sejahtera dapat berarti tercukupi semua kebutuhan hidupnya terutama kebutuhan dasar berupa kebutuhan fisik yaitu : pangan, sandang dan papan yang memang sangat penting untuk menunjang kehidupan masyarakat sebagai makhluk hidup.
Seiring perkembangan jaman, kebutuhan masyarakat pun terus berkembang. Dewasa ini masyarakat mulai memasukkan kebutuhan-kebutuhan baru sebagai kebutuhan dasar yaitu diantaranya adalah kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Sebab masyarakat mulai menyadari akan arti pentingnya kesehatan, apalagi sekarang banyak bermunculan jenis penyakit baru yang mengancam keselamatan nyawa manusia. Selain itu masyarakat juga mulai merasakan nilai kesehatan karena mahalnya biaya perawatan kesehatan yang seringkali sulit dijangkau oleh masyarakat terutama masyarakat miskin.
Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan pelayanan kesehatan diantaranya adalah dengan membuat regulasi yang salah satunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Selain itu dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan, pemerintah mulai menggalakkan program-program yang diarahkan kepada masyarakat kurang mampu sehingga semua masyarakat dapat menikmati pelayanan kesehatan, misalnya dengan pengadaan Kartu Sehat (KS).
Dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberi dasar bagi pembangunan kesehatan di perlukan perangkat hukum kesehatan yang dinamis. Perangkat hukum tersebut hendaknya dapat menjangkau perkembangan yang makin kompleks yang akan terjadi dalam kurun waktu yang mendatang. Untuk itu perlu penyempurnaan dan pensistematisasian perangkat hukum di bidang kesehatan.
Setiap individu menginginkan memperoleh kehidupan yang sehat secara optimal dan menyeluruh dalam kehidupannya. RSUD X merupakan salah satu rumah sakit pemerintah yang menjalankan pelayanan kesehatan di X. Rumah sakit ini ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan kesehatan terhadap pemegang kartu sehat, yang dikhususkan bagi masyarakat miskin atau masyarakat yang tidak mampu. Pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepada RSUD X sebagai rumah sakit pelaksana pelayanan kesehatan kartu sehat yang baik di X.
Keberadan kartu sehat bagi keluarga miskin (Gakin) yang menjamin biaya pelayanan kesehatan gratis mendapat sambutan hangat dari masyarakat terbukti dengan antusiasme masyarakat mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu sehat. Harapan masyarakat tentunya agar mereka dapat menikmati pelayanan kesehatan yang layak. Namun yang kemudian muncul persoalan besar dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat pengguna kartu sehat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, yang sekaligus juga melatar belakangi penulisan untuk menuangkan dalam sebuah penelitian hukum dengan judul : "KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN (Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Daerah X)".

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, karena dengan perumusan masalah seorang peneliti telah mengidentifikasi persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, terarah dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang hendak diteliti dan dibahas dalam penelitian ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian kartu sehat (KS) kepada masyarakat?
2. Bagaimana pelayanan kesehatan kepada pemegang kartu sehat (KS) di Rumah Sakit Umum Daerah X?

C. Tujuan Penelitian
Dilakukannya suatu penelitian adalah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, begitu pula dengan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk mengetahui pelaksanaan pelayanan pemberian kartu sehat (KS) kepada masyarakat.
b) Untuk mengetahui pelayanan kesehatan kepada pemegang kartu sehat (KS) di RSUD X.
2. Tujuan Subyektif
a) Untuk memperluas wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap teori-teori mata kuliah yang telah diperoleh penulis serta sinkronisasinya dengan pelaksanaan teori-teori tersebut di lapangan (prakteknya).
b) Untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan jelas sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum, sebagai persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian selain mempunyai tujuan yang jelas, juga diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya hukum administrasi negara di Indonesia, serta dapat menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a) Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
b) Memberikan masukan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

E. Metode Penelitian
Metode yang bersifat ilmiah diperlukan dalam melakukan penelitian ilmiah yang bertujuan untuk mencari data mengenai suatu masalah. Metode yang bersifat ilmiah adalah suatu metode penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti sehingga data-data yang dikumpulkan dapat menjawab permasalahan yang teliti. Istilah "metodologi" berasal dari kata "metode" yang berarti "jalan ke", namun demikian menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto, 1986 : 5).
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penulisan hukum ini termasuk jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif, menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Maksudnya adalah mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984 : 10).
2. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis melakukan penelitian dengan mengambil lokasi di Rumah Sakit Umum Daerah X. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut adalah :
a) Lokasi tersebut dekat dengan domisili penulis, sehingga memudahkan penulis untuk melaksanakan penelitian.
b) Lokasi penelitian tersebut terdapat pasien yang mempunyai hak atas kartu sehat, yang akan mendapatkan hak dan kewajiban karena mempunyai kartu sehat tersebut.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini meliputi :
a) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama atau melalui penelitian di lapangan. Data primer yang diperoleh dengan cara wawancara dengan pihak RSUD X yang berkompeten untuk memberikan keterangan yang berhubungan dengan perlindungan terhadap pasien pemegang kartu sehat.
b) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka atau sumber data sekunder. Data ini berupa keterangan dari bahan-bahan kepustakaan dari beberapa buku-buku referensi, artikel-artikel dari perundang-undangan, laporan, teori-teori, media massa seperti koran, internet dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
4. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat data diperoleh. Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :
a) Sumber data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini mencakup para pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti yang diperoleh di lokasi penelitian yaitu di RSUD X.
b) Sumber data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah berkas-berkas terhadap pasien pemegang kartu sehat menyangkut perlindungan pasien pemegang kartu sehat. Sumber data sekunder lainnya berasal dari artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian ilmiah, dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-teori, media massa seperti koran, dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
5. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai upaya untuk mengumpulkan data-data dari berbagai sumber data di atas, penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang meliputi :
a) Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan dengan dua orang pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Moleong, 2000 : 135). Wawancara yang dimaksud di atas dilakukan penulis dengan beberapa pihak RSUD X yang secara langsung terlibat dalam proses pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien pemegang kartu sehat.
b) Studi kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data dengan mencari data-data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, yaitu undang-undang yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan studi dokumen sebagai bukti perbuatan sudah terjadi, bahan hukum sekunder, yang meliputi bahan-bahan kepustakaan dari beberapa buku-buku referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian ilmiah, dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan teori-teori, media massa seperti koran, internet dan bahan-bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Studi kepustakaan dan studi dokumen dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi pustaka dan dokumen hukum sumber data, identifikasi dan inventarisasi bahan hukum yang diperlukan.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan langkah yang harus dilakukan setelah data-data terkumpul, sehingga dalam penelitian teknik analisis data merupakan hal yang sangat penting agar data-data yang sudah terkumpul yang diperoleh dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dapat memberikan jawaban dari permasalahan yang diteliti. Dalam proses analisis terdapat 3 (tiga) komponen utama, yaitu :
a) Reduksi data
Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian.
b) Sajian data
Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel sebagai pendukung narasinya.
c) Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut perlu diverifikasi agar mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.
Model analisis interaktif ini menunjukkan, reduksi dan sajian data disusun pada waktu peneliti sudah memperoleh unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data (HB. Sutopo, 2002 : 96).

F. Sistematika Skripsi
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdiri dari beberapa sub-sub bab, yaitu :
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Skripsi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab yang kedua ini memuat beberapa sub bab, yaitu :
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Administrasi Negara
2. Tinjauan Umum tentang Kebijakan Pemerintah
3. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia
4. Tinjauan Umum tentang Masyarakat Miskin
5. Tinjauan Umum tentang UU RI No 23 Tahun 1992
6. Tinjauan Umum tentang Kartu Sehat
B. Kerangka Pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab yang ketiga ini penulis akan mencoba untuk menyajikan pembahasan berdasarkan rumusan masalah :
a) Pelaksanaan pemberian kartu sehat (KS) kepada masyarakat.
b) Pelayanan kesehatan kepada pemegang kartu sehat (KS) di RSUD X.
BAB IV PENUTUP
Pada bab yang terakhir ini berisi :
A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:10:00

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)

(KODE ILMU-HKM-0054) : SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Semakin berkembangnya zaman dan teknologi, memunculkan kejahatan yang semakin kompleks, yang lebih sistematis dan berjejaring termasuk salah satunya adalah kejahatan perdagangan orang yang lebih dikenal dengan trafficking. Perdagangan orang yang terjadi merupakan suatu hal yang sebenarnya telah ada pada masa dulu namun merupakan bentuk perbudakan yang baru dengan modus yang berbeda-beda pula. Kejahatan trafficking tersebut melintasi batas-batas geografis tidak hanya antar wilayah satu negara tetapi juga antar negara sehingga menimbulkan permasalahan internasional. Hal semacam ini membuat sulitnya penanganan atau pemberantasan terhadap kejahatan trafficking. Perkembangan ini harus diperhatikan oleh bangsa-bangsa agar dapat terus mengikuti dan mencegah serta menangani masalah perbudakan modern ini.
Perdagangan orang (trafficking) sebenarnya mempunyai makna lebih luas yang tidak hanya terbatas pada perempuan dan anak-anak saja. Trafficking dapat menimpa semua orang yang tidak dibatasi oleh jenis kelamin maupun usia. Namun ada perhatian yang lebih dikhususkan pada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan dalam pembicaraan trafficking. Isu trafficking merupakan isu yang sensitif yang secara tidak langsung berhadapan dengan nilai-nilai budaya setempat serta isu diskriminasi yang sudah berakar cukup kuat sejak berabad-abad. Namun dalam penulisan ini lebih memfokuskan kepada women trafficking (perdagangan perempuan), yaitu perempuan dewasa. Faktor budaya patrilinial yang kemudian mengkondisikan perempuan dalam ketidakadilan gender baik itu bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotipe dan kekerasan (Erna Dyah Kusumawati, 2005:1459-1460).
Selain itu sebagai korban women trafficking, perempuan dewasa terkadang mempunyai andil terjadinya kejahatan tersebut, karena ada persetujuan dari korban itu sendiri dengan berbagai alasan salah satunya karena faktor ekonomi, tingginya angka kemiskinan membuat seseorang cepat tergiur akan suatu tawaran pekerjaan tanpa mempedulikan kebenaran dan akibatnya setelah itu.
Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), antara dua dan empat juta perempuan dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Pada tahun 2000, di seluruh dunia diperkirakan antara 700.000 (tujuh ratus ribu) sampai 2 juta kaum perempuan dan anak-anak merupakan korban trafficking. Dari jumlah tersebut sebanyak 200.000 (dua ratus ribu) sampai 225.000 (dua ratus dua puluh lima ribu) diantaranya terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 2003, jumlah ini mengalami peningkatan seperti yang dilaporkan oleh Bureau of Public Affairs, US Departement of SATE yaitu bahwa tiap tahun sebanyak 800.000 (delapan ratus ribu) sampai 900.000 (Sembilan ratus ribu) manusia telah diperdagangkan dengan mengabaikan batas-batas internasional untuk tujuan memasok pasar perdagangan seks internasional dan buruh. Sangat sulit untuk mendapatkan angka jumlah korban secara pasti dalam hal ini (http://forum, hukum-umm. info/index. php?topic=1 90.0).
Kaum perempuan merupakan korban yang terbesar dari perdagangan haram ini. Pergerakan manusia menjangkau perbatasan secara ilegal dan tersembunyi ialah fenomena global yang serius. Perdagangan orang bukan hanya kejahatan transnasional, tetapi juga pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan perbudakan bentuk baru (http: //forum.hukum-umm.info/index.php?topic=190.0). Perdagangan orang secara ilegal terutama para perempuan ini berkembang menjadi persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan. Di negara-negara Asia Tenggara para perempuan diperlakukan sewenang-wenang tanpa mempedulikan faktor manusiawi yang bersentuhan dengan harkat dan martabatnya. Para perempuan dibujuk, dipaksa dan diperdagangkan untuk industri seks dan dunia hiburan lainnya, terdapat juga yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau pabrik dengan jam kerja tak terbatas dan upah minimum. Praktek-praktek semacam ini tergolong pelanggaran terhadap pemajuan, pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan manusia dan hukum (http: //forum.hukum-umm.info/index.php?topic=190.0).
Walaupun tidak tersedia data statistik yang canggih tentang kasus-kasus perdagangan perempuan yang terjadi secara nasional, kejahatan ini telah menimpa banyak perempuan Indonesia, khususnya mereka yang sedang mencari kerja. Sebagai gambaran, Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Malaysia melaporkan telah menerima pengaduan 2.451 kasus pada tahun 2001, 2.155 kasus pada tahun 2002, 2.112 kasus pada tahun 2003, dan 2.158 kasus pada tahun 2004. Mayoritas besar korban dalam kasus ini adalah perempuan Indonesia (baik dewasa maupun anak-anak). Indonesia memiliki sekitar 200 ribu pekerja seks, satu juta pekerja rumah tangga, dan satu juta orang TKW (Rosenberg dalam Anis Hamim dan Fatimana Agustinanto, 2006:261).
Persoalan women trafficking kadang masih dipandang sebelah mata oleh aparat penegak hukum, aparat pemerintah dan anggota masyarakata hal tersebut tercermin dari penggunaan standar moralitas yang biasa memandang kasus women trafficking. Implikasi dari kondisi tersebut mengerucut pada ketidakadilan dan pengabaian hak-hak korban women trafficking selain itu juga berimplikasi terjadinya kriminalisasi terhadap korban, sehingga kondisi yang dialami korban adalah menjadi "pelaku" atas penderitaan yang dialaminya. Untuk menjamin kedudukan korban maka diabaikannya unsur persetujuan/conset dari korban women trafficking (R.Valentina Sagala, 2006:294).
Angka persentase yang sangat berarti telah dimunculkan melalui berbagai survei, sebagaimana dibahas dan diketahui bahwa masalah trafficking merupakan suatu isu internasional yang telah menyita perhatian publik baik domestik maupun internasional, karena korban kejahatan ini telah banyak yang diketahui berjatuhan, dan dari waktu ke waktu cenderung mengalami peningkatan. Pada konteks nasional, persoalan trafficking di Indonesia sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18122/3/Chapter%20II.pdf).
Salah satu upaya untuk mengakomodasi perlindungan terhadap korban women trafficking adalah perlu dibuatnya aturan hukum untuk menjamin kedudukan korban sebagai pihak yang paling dirugikan dalam hal ini. Sebagai kejahatan transnasional maka dibutuhkan aturan yang berskala internasional maupun nasional yang dapat mengatur mengenai kejahatan women trafficking ini. Di Indonesia sendiri pengaturan yang mengacu mengenai korban women trafficking dapat ditemui beberapa aturan hukum, dari aturan hukum yang bersifat umum sampai aturan yang bersifat khusus yang lebih spesifik mengatur mengenai women trafficking yaitu Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak.
Berbicara mengenai suatu kejahatan maka tidak terlepas dari korban, dimana korban merupakan pihak yang paling menderita suatu kerugian akibat terjadinya kejahatan. Konsep keadilan yang sekarang berkembang lebih mengacu kepada keadilan restoratif lebih mengutamakan pemulihan terhadap kondisi korban, yang sesuai dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, "Daad-Dader Strafrecht” kepada paradigma baru, " Daad-Dader-Victim Strafrecht ”.
Berdasarkan hal tersebut, maka Penulis tertarik untuk mengambil judul "KAJIAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN (WOMEN TRAFFICKING)".

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia?
2. Bagaimanakah kelemahan dan kelebihan dari pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh Penulis agar dapat menyajikan data yang akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia.
b. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia .
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk dapat meraih gelar Kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas X.
b. Untuk memperluas wawasan dan memperdalam pengetahuan Penulis di bidang Hukum Pidana khususnya terkait perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).

D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian akan sangat berguna bila hasilnya memberikan manfaat, tidak hanya bagi Penulis, tetapi juga bermanfaat bagi setiap orang yang menggunakannya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, terutama dalam bagian Hukum Pidana pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum pidana tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, pedoman, atau landasan teori hukum terhadap penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistemis dan dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh dalam bangku kuliah.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum bagi setiap pihak yang terkait seperti pemerintah, praktisi hukum, dan akademisi.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan maupun pola pikir kritis dan dinamis bagi Penulis serta semua pihak yang menggunakannya dalam penerapan ilmu hukum dalam kehidupan.

E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2006: 28).
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan judul dan rumusan masalah, penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44).
Penelitian normatif mencakup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum,
b. Penelitian terhadap sistematika hukum,
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.
d. Penelitian sejrah hukum,
e. Penelitian perbandingan hukum (Soerjono Soekanto, 2006:51).
Dalam penelitian hukum normatif ini penulis cenderung kepada penelitian terhadap asas-asas hukum yaitu penelitian untuk menemukan asas-asas hukum yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis (balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/metode-penelitian-hukum/). Dimana hukum positif tertulisnya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan korban perdagangan perempuan.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif atau terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 22)
Oleh sebab itu, dalam laporan penelitian ini Penulis memberikan gambaran atau pemaparan tentang perlindungan hukum terhadap korban perdagangan perempuan (women trafficking).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (Statute Approach), pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan perbandingan (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Pendekatan yang dilakukan Penulis adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Dalam hal ini menggunakan pendekatan terhadap aturan hukum meliputi Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
4. Jenis Data
Jenis data yang Penulis pergunakan dalam penulisan hukum ini berupa data sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam penulisan hukum ini yang meliputi:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan;
2) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM);
3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
4) Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
b. Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literature-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data sekunder. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai data penunjang di dalam penelitian ini (Johnny Ibrahim, 2006: 393).
Setelah isu hukum ditetapkan, Penulis melakukan penelusuran mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu hukum yang dihadapi. Dalam hal penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan isu tersebut yaitu aturan hukum di Indonesia yang meliputi Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Serta Keppres Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak.
6. Pengolahan Hasil dan Analisis Data
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393). Setelah diperoleh data yang akan diteliti, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data dilakukan dengan mengelompokkan dan mengkategorisasikan, kemudian proses pengorganisasian dan pengelompokkan data (Lexi J.Moleong, 2009:280-281). Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking di Indonesia serta kelemahan dan kelebihan pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking tersebut.

F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum bertujuan untuk memberikan gambaran secara keseluruhan tentang isi dari penelitian sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum dalam penelitian ini meliputi :
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai tinjauan tentang korban dan perdagangan orang atau trafficking.
BAB III : Pembahasan Dan Hasil Penelitian
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu pengaturan perlindungan hukum terhadap korban women trafficking di Indonesia dan kelemahan dan kelebihan pengaturan women trafficking di Indonesia.
BAB IV : Penutup
Pada bab ini Penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat Penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
Daftar Pustaka

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:08:00

SKRIPSI EKSISTENSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN HAK TERDAKWA UNTUK MELAKUKAN PEMBELAAN

(KODE ILMU-HKM-0053) : SKRIPSI EKSISTENSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN HAK TERDAKWA UNTUK MELAKUKAN PEMBELAAN




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah dicapai atas berkat rahmat dan ridho dari Tuhan Yang Maha Esa dan melalui perjuangan seluruh rakyat Indonesia harus diisi dengan usaha-usaha pembangunan disegala bidang baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan di bidang hukum. Pembangunan nasional disini tidak hanya mengejar kebutuhan lahiriah ataupun kepuasan batiniah saja, tetapi juga diperlukan keseimbangan dan keselarasan antar keduanya sehingga tercapai masyarakat adil dan makmur seperti yang dicita-citakan bangsa Indonesia.
Pembangunan di bidang hukum sendiri tak dapat dipisahkan sebagai bagian dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam pelaksanaannya hukum berfungsi sebagai social control dan social engineering. Sebagai sarana social control, fungsi hukum adalah untuk menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur. Jadi di sini hukum berfungsi sebagai sarana pengadilan tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum menjaga jangan sampai suatu tingkah laku menganggu ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan bersama. Sebagai sarana social engineering, fungsi hukum dalam suasana dimana hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat guna mencapai social planning yang dicita-citakan dalam kehidupan bersama. Social planning tersebut telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur material dan spiritual dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Harun M. Husein, 1994 : 1).
Dalam membicarakan pembangunan hukum, termasuk di dalamnya adalah penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana (Integrated Criminal Justice System). Untuk itu perlu semakin dimantapkan peran dan kedudukan penegakan hukum supaya terwujud peningkatan kemampuan dan kewibawaannya. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan pencegahan maupun usaha pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum.
Peningkatan kemampuan penegak hukum ini penting karena kebanyakan para penegak hukum Indonesia sudah dibiasakan dididik sebagai calon penerap hukum bukan sebagai calon ahli hukum yang dapat memperbaruhi hukum. Seringkali dijumpai berbagai produk hukum seperti undang-undang yang gagal dalam menjerat pelaku kejahatan karena sifatnya yang memiliki celah dan ini merupakan tantangan bagi penegak hukum untuk terus meningkatkan moral dan kredibilitasnya, mengabdi pada hukum sehingga keadilan dapat terwujud.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala hak warga yang sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menutut Undang-Undang Dasar". Oleh karena itu, peranan setiap warga negara sangat berpengaruh dan diperlukan dalam penegakan hukum.
Berkaitan dengan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dapat diartikan bahwa dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 melalui beberapa pasal yang mengatur tentang HAM, salah satunya adalah Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Dalam pasal ini terkandung Azas Persamaan Kedudukan di Dalam Hukum. Pasal 27 ayat (1) ini diimplementasikan dalam proses peradilan pidana sebagai Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence) diatur bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan atau di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Tujuan dari azas ini adalah untuk memberi batasan seseorang baik tersangka atau terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Tindakan sewenang-wenang ini berupa upaya paksa dari penegak hukum yang dalam hal ini memungkinkan melanggar HAM tersangka atau terdakwa, dilakukan dengan kekerasan (violence) dan penyiksaan (torture).
Pembangunan di bidang hukum di Indonesia selalu mendapat perhatian yang cukup serius mengingat bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) dan bukan merupakan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Maka sebagai konsekuensi logis dari ketentuan yang dimaksud, akan terlihat bahwa asas kesadaran hukum merupakan salah satu asas yang perlu diprioritaskan dalam pembangunan nasional baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Tertib hukum adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum yang sesuai dengan falsafah negara Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Hukum dengan tegas telah mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah, dan hukum mempunyai sifat untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan para warga masyarakat. Dengan demikian hukum mempunyai sifat memaksa dan mengikat, walaupun unsur paksaan bukanlah merupakan unsur yang terpenting dalam hukum, sebab tidak semua perbuatan atau larangan dapat dipaksakan. Dalam hal ini, memaksakan diartikan sebagai suatu perintah yang ada sanksinya apabila tidak ditaati, dan sanksi tersebut berwujud sebagai suatu penderitaan yang dapat memberikan penjeraan bagi si pelanggar hukum.
Asas kesadaran hukum berarti menyadarkan setiap warga negara untuk selalu taat pada aturan hukum, di samping itu diwajibkan pula bagi negara beserta aparatnya untuk selalu menegakkan dan menjamin jalannya maupun proses kepastian hukum. Segala perbuatan yang dilakukan baik oleh negara, pemerintah, maupun masyarakat harus berpedoman pada peraturan yang mengaturnya atau sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Peranan aparat pemerintah terutama instansi yang menangani langsung tentang masalah hukum perlu ditingkatkan pola kerjanya secara terus menerus, sehingga akan mendapatkan hasil guna dengan tingkat yang maksimal. Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, pembangunan di bidang hukum pada dasarnya mewujudkan keadilan bagi masyarakat yang mencakup segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum merupakan suatu norma/kaidah yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang menjamin hak dan kewajiban perorangan maupun masyarakat. Dengan adanya hukum dimaksudkan untuk menciptakan keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Memelihara keselarasan hidup di dalam masyarakat memerlukan berbagai macam aturan sebagai pedoman hubungan kepentingan perorangan maupun kepentingan dalam masyarakat. Akan tetapi tidak sedikit hubungan kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang berhubungan atau dalam lingkup hukum pidana. Oleh karena itu diperlukan suatu hukum acara pidana yang menjadi saluran untuk menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana (Bambang Poernomo, 1988: 1-3). Negara Indonesia, dalam menjalankan kehidupan bernegara, memerlukan adanya hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, sehingga segala bentuk kejahatan dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan adanya hukum dapat menghindarkan pelanggaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun penegak hukum itu sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang dapat dipergunakan oleh negara Indonesia dalam mengatur tatanan kehidupan dalam masyarakat.
Kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Negara Indonesia salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981), terdapat dalam Pasal 2 KUHAP, yang berbunyi : "Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan".
Hukum Acara Pidana merupakan hukum yang memuat peraturan-peraturan untuk melaksanakan hukum pidana, karena hukum acara pidana mempunyai fungsi sebagai alat untuk menyelesaikan segala kepentingan yang berhubungan dengan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan.
Seberat apapun pelanggaran yang dilakukannya, seorang terdakwa adalah seorang manusia yang tetap harus dihargai hak-haknya, sehingga sudah seharusnya ia dilindungi dari perlakuan sewenang-wenang yang mengatasnamakan penegakan hukum. Aparat penegak hukum tidak diperbolehkan melakukan pelanggaran hak secara sewenang-wenang. Aparat penegak hukum harus menjalankan penegakan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tetap menghargai hak asasi tersangka atau terdakwa. Aparat penegak hukum adalah salah satu organ Negara yang juga mempunyai kewajiban untuk melindungi hak warga negara.
Hukum yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaaan mencerminkan norma-norma yang menghormati martabat manusia dan mengakui hak asasi manusia. Norma-norma yang mengandung nilai luhur menjunjung tinggi martabat manusia dan menjadi hak asasi manusia berkembang terus sesuai dengan tuntunan hati nurani manusia yang terhimpun dalam ikatan perkumpulan masyarakat yang bertindak berdasarkan kepentingan sosial bersifat dualistis (Bambang Purnomo, 1988: 61).
Negara juga telah menjamin hal tersebut dalam undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 27 dinyatakan bahwa warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Jaminan perlindungan dan pemerintahan ini dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan di dalam KUHAP, khususnya Pasal 54 sampai Pasal 57 yang mengatur tentang Hak-Hak Tersangka atau Terdakwa untuk mendapatkan Penasehat Hukum. Bantuan hukum yang diberikan pada terdakwa atau tersangka pada hakekatnya adalah membela peraturan hukum dan juga perlindungan yang diberikan agar terdakwa atau tersangka terlindungi haknya. Bantuan hukum bagi terdakwa atau tersangka bukanlah semata-mata membela kepentingan terdakwa atau tersangka untuk bebas dari segala tuntutan.
Tujuan pembelaan dalam perkara pidana pada hakekatnya adalah membela peraturan hukum, jangan sampai peraturan hukum tersebut salah atau tidak adil diterapkan dalam suatu perkara. Dengan demikian tujuan pembelaan dalam perkara pidana di setiap tingkatan proses beracara mengandung makna sebagai pemberian bantuan hukum kepada aparat pelaksana atau penegak hukum dalam membuat atau memutuskan suatu keputusan yang adil dan benar menurut peraturan hukum yang berlaku. Jadi, tugas pembela bukan membabi buta mati-matian membela kesalahan tersangka atau terdakwa, akan tetapi adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dalam masyarakat (Riduan Syahrani, 1983:26).
Peradilan In Absentia adalah contoh praktek hukum yang potensial melahirkan kesewenang-wenangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Meski bukan pelanggaran atas Non Derogable Right, praktek In Absentia akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Hak-hak tersangka atau terdakwa menjadi terhempas dan hilang. Dan semuanya itu merupakan hilangnya indepedensi penegak hukum dan adanya kelompok kepentingan yang mengintervensi kekuasaan yudikatif. Di sinilah muncul dilema untuk memilih praktek In Absentia yang menghilangkan hak-hak tersangka atau terdakwa, atau untuk melindungi hak-hak asasi tersangka atau terdakwa.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan skripsi dengan judul
"EKSISTENSI PERADILAN IN ABSENTIA DALAM SISTEM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA DAN RELEVANSINYA DENGAN HAK TERDAKWA UNTUK MELAKUKAN PEMBELAAN".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia ?
2. Bagaimanakah relevansi peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan hak terdakwa untuk melakukan pembelaan ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk mengetahui eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.
b) Memaparkan mengenai peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana berkaitan dengan hak-hak terdakwa untuk melakukan pembelaan.
2. Tujuan Subjektif
a) Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum sebagai persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
b) Memperluas pengetahuan dan pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek, terutama di bidang hukum acara pidana dan hukum pidana berkaitan dengan eksistensi dan pelaksanaan peradilan In Absentia.

D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a) Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
b) Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
c) Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum X serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a) Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.

E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Pendekatan
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa jenis pendekatan, yaitu pendekatan Undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93). Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan Undang-undang (statute approach).
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1982:10). Di dalam penelitian deskriptif, kegiatan tidak hanya terbatas pada pengumpulan data dan penggunannya, tetapi yang lebih penting adalah analisis dan interprestasi atas data yang telah didapat agar diketahui maksudnya.
Tujuan penulis menggunakan sifat deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran secara sistematis hal-hal faktual yang terjadi secara akurat mengenai eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia
4. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas. Data Sekunder dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan yang mengikat, seperti peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:146). Dalam penelitian hukum ini, bahan hukum primernya terdiri dari :
1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
4) Undang-Undang No 1 Tahun 2002 tentang Terorisme
5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
b. Bahan Hukum Sekunder yang utama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum selain kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang terkait dengan topik penelitian hukum ini. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam petunjuk ke arah manapeneliti melangkah. (Peter Mahmud Marzuki, 2008:155).
c. Bahan Hukum Tersier atau bahan-bahan hukum non hukum atau penunjang yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya : bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini dan Kamus Hukum.
5. Sumber Hukum
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapat diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan serta peraturan pelaksanaan yang memuat tentang pengaturan peradilan In Absentia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan "content analysis" (Soerjono Soekanto, 1986: 21). Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah content analysis atau kajian isi.
Pengertian kajian isi menurut Weber adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Pengertian kajian isi menurut Krippendroff adalah teknik penelitian yang diamanfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksnya (Krippendroff dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Ciri-ciri content analysis atau kajian isi menurut Guba dan Lincoln yaitu proses mengikuti aturan, proses sistematis, kajian isi merupakan proses yang diarahkan untuk menggeneralisasikan, kajian isi mempersoalkan isi yang termanifestasikan, kajian isi menekankan analisis secara kuantitatif, namun hal itu dapat pula dilakukan bersama analisis kualitatif (Guba dan Lincoln dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220).

F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatau uraian mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci disusun dalam pembaban, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis. Tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan.
Dalam kerangka ini, penulis akan memberikan uraian tentang hal-hal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti permasalahan yang akan diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode penelitian berupa jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini yaitu : mengenai tinjauan umum tentang hukum acara pidana, tinjauan umum peradilan In Absentia, dan tinjauan umum tentang hak terdakwa melakukan pembelaan
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan mengenai eksistensi peradilan In Absentia dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia dan kesesuaian peradilan In Absentia dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan perlindungan hak-hak terdakwa untuk melakukan pembelaan
BAB IV: PENUTUP
Bab ini dikemukakan tentang simpulan dari hasil penelitian dan juga saran yang relevan dari peneliti.
DAFTAR PUSTAKA

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:06:00

SKRIPSI ANALISIS YURIDIS HUBUNGAN DIPLOMATIK ORGANISASI INTERNASIONAL DAN NEGARA MENURUT SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

(KODE ILMU-HKM-0052) : SKRIPSI ANALISIS YURIDIS HUBUNGAN DIPLOMATIK ORGANISASI INTERNASIONAL DAN NEGARA MENURUT SUMBER HUKUM INTERNASIONAL




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan hidup di dunia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang memberikan pengertian bahwa manusia memang tidak dapat hidup sendiri. Walaupun manusia sebenarnya dilahirkan seorang diri tetapi dalam kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain. Dalam suatu komunitas kelompok manusia, dibutuhkan interaksi sesama manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Interaksi manusia pada masa kini semakin berkembang dengan adanya wadah yang pasti untuk interaksi tersebut. Manusia telah mengelompokkan diri mereka masing masing sesuai dengan kriteria yang dirasa relevan. Seperti yang dapat dilihat dalam bentuk dasar, dengan adanya kesamaan mengenai tempat dan wilayah, manusia mengelompokkan diri mereka kedalam kesatuan yang berbentuk sebuah negara. Selain itu masih banyak lagi pengelompokan individu yang cakupannya bisa lebih luas maupun lebih sempit dari negara.
Untuk membuat hubungan yang baik di antara sesama negara, dalam hukum internasional, negara mulai mengadakan hubungan kerjasama dengan negara lain. Dari pengalaman dan sejarah di dunia, sifat dari hubungan antar subyek dari hukum internasional yang tidak hanya mencakup ruang lingkup negara saja selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan. Fluktuasi hubungan itu dapat dijaga dan dipelihara sampai saat ini melalui diplomasi (Edi Suryono & Moenir Arisoendha, 1996 : 13) .
Sebelum hukum internasional modern dicetuskan, wakil dari berbagai negara yang biasa disebut sebagai para diplomat dianggap sebagai orang suci yang tidak dapat diganggu gugat. Hal ini diatur dalam aturan agama dan bukan aturan hukum. Suatu negara dapat saling mengirimkan utusan diplomatiknya pada negara lain dalam naungan aturan agama.
Sebelum abad ke 17, utusan diplomatik masih bersifat sementara, jadi utusan tersebut dikirim apabila ada perundingan, dan setelah perundingan itu selesai maka utusan tersebut dipulangkan kembali ke negaranya (Edi Suryono, 1992 : 10) .Sejak abad ke 16 dan 17 masyarakat telah mengenal misi diplomatik dalam arti yang sangat umum. Tetapi setelah abad ke 17, misi diplomatik yang dikenal sekarang yang disebut misi diplomatik temporer baru mulai muncul. Hak, kewajiban dan keistimewaan dari misi diplomatik mulai berkembang di abad ke 18 dan pada awal abad ke 19 baru tercapai kesepakatan bersama mengenai hubungan diplomatik. Hal ini ditandai dengan berlangsungnya konferensi Vienna tahun 1815 yang menyebabkan perlunya kodifikasi baru yang lebih luas dan perumusan mengenai hukum mengenai utusan diplomatik (J. G. Starke, 2004 : 564) .
Sementara itu, semakin berkembangnya hubungan interaksi manusia telah melahirkan perkembangan baru dibidang hubungan internasional. Negara yang telah ada menggabungkan diri mereka melalui penggolongan klasifikasi tertentu dalam wadah suatu organisasi internasional. Dalam organisasi internasional, dikenal beberapa macam penggolongan kesamaan yang mendasarinya seperti organisasi internasional publik yang didasarkan hubungan negara yang disebut organisasi internasional publik, organisasi internasional privat maupun universal. Ada juga organisasi internasional yang berdasarkan prinsip regional dan sub-regional (Sumaryo Suryokusumo, 1997 : 37) .
Perkembangan sekarang menyebutkan bahwa perwakilan diplomatik di tunjuk dan dilakukan atas nama kepala negara untuk mewakili negaranya di negara lain (Boer Mauna, 2003 : 482) . Hal tersebut sama juga seperti dalam prakteknya di Indonesia seperti yang termuat di dalam pasal 13 ayat (1) amandemen undang-undang dasar 1945. Pasal tersebut menunjukkan bahwa kewenangan menunjuk perwakilan diplomatik ada di tangan kepala negara dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada kenyataannya sekarang, organisasi internasional telah diakui sebagai subyek hukum internasional yang setara dengan subyek hukum internasional yang lainnya di mata hukum internasional.
Yang dimaksud dengan subyek hukum internasional adalah semua yang menurut ketentuan hukum diakui mempunyai kemampuan untuk bertindak. Hukum internasional mengenal subyek seperti negara, organisasi internasional dan kesatuan-kesatuan lainnya. Karena itu kemampuan untuk bertindak pada hakekatnya merupakan personalitas dari subjek hukum internasional tersebut. Tiap organisasi internasional memiliki personalitas hukum sendiri dalam hukum internasional. Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban organisasi internasional di mata hukum internasional. Dengan demikian subjek hukum yang ada dibawah sistem hukum internasional merupakan personalitas hukum yang mampu melaksanakan hak dan kewajiban tersebut (Sumaryo Suryokusumo, 1997 : 45) .
Pengakuan organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional sudah banyak diterima oleh wewenang hukum di dunia antara lain oleh International Court of Justice yang biasa dikenal di Indonesia dengan istilah Mahkamah Internasional. International Court of Justice yang di pelopori oleh kasus Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations Case (ICJ Reports, 1949 : 178-179) . Dalam kasus ini International Court of Justice telah menyatakan bahwa United Nations (Perserikatan Bangsa Bangsa) merupakan subyek internasional dan mampu untuk melaksanakan hak dan kewajiban internasional dan karena itu badan tersebut mempunyai kapasitas untuk mempertahankan haknya dalam rangka mengajukan tuntutan internasional (Sumaryo Suryokusumo, 1997 : 46) .
International Court of Justice juga menekankan lagi anggapan organisasi internasional sebagai subyek hukum dengan International Court of Justice Advisory Opinion in Interpretation of the Agreement of 25 March 1951 Between WHO and Egypt. Anggapan ini dikeluarkan oleh International Court of Justice pada tahun 1980. Dalam kasus itu International Court of Justice menyatakan bahwa organisasi internasional adalah subjek hukum internasional yang dengan sendirinya terikat oleh kewajiban-kewajiban yang terletak padanya dibawah aturan-aturan hukum internasional, konstitusinya maupun persetujuan internasional dimana organisasi tersebut sebagai pihak.
Dalam hal hubungannya dengan negara, organisasi internasional dapat memberikan juga perwakilan sebagai representasinya di sebuah negara. Hubungan itu ditandai dengan adanya perjanjian antara organisasi internasional yang bersangkutan dengan sebuah negara. Perwakilan tersebut dapat juga dikategorikan perwakilan diplomatik oleh hukum internasional dengan ketentuan tertentu yang diatur dengan perjanjian terlebih dahulu.
Semakin banyaknya organisasi internasional yang berkembang di dunia internasional menyebabkan perlunya pengaturan yang baku mengenai hubungannya dengan negara. Hal ini terutama menyangkut hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara. Seperti yang diketahui bahwa hukum internasional telah mengatur mengenai hubungan diplomatik antar negara dalam Vienna Conventions on Diplomatic Relations 1961. Semakin banyaknya permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara seperti kasus yang baru-baru ini terjadi antara European Union dengan Turki juga turut mendasari perlunya aturan yang baku mengenai hubungan tersebut.
Hukum internasional belum mengatur secara tersendiri mengenai hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara. Selama ini hubungan diplomatik antara organisasi internasional diatur secara perjanjian tersendiri oleh organisasi internasional maupun negara yang bersangkutan dan belum ada ketentuan hukum internasional yang mengatur mengenai hubungan diplomatik ini secara umum yang dapat digunakan oleh semua hubungan diplomatik yang menyangkut organisasi internasional dengan negara.
Sebenarnya PBB telah membuat referensi mengenai kekebalan dan keistimewaan dari perwakilan organisasi internasional pada tahun 1945, meskipun demikian, referensi tersebut sampai saat ini belum dibahas untuk dibuat konvensinya. Referensi tersebut dimuat dalam United States International Organizations Immunity Act yang dibuat pada tanggal 29 Desember 1945. (International Organizations Immunity Act : 1945)
Pada masa itu peraturan mengenai hubungan organisasi internasional dengan negara dianggap bukan subyek yang mendesak untuk dibahas. PBB menganggap lebih penting mengenai masalah sosial dan politik internasional seperti masalah humaniter dan kepentingan lainnya. Oleh karena itu sampai sekarangpun belum ada pembahasan yang resmi mengenai masalah ini (www.state.gov : 2007).
Belum adanya pembahasan ini telah disebutkan oleh PBB melalui International Law Commision of United Nations (ILC). Dalam daftar pembahasan mengenai peraturan-peraturan hukum internasional, International Law Commision menyebutkan bahwa belum ada pembahasan mengenai status, privileges and immunities of international organizations, their offcials and experts. Pembahasan yang sedang dilakukan saat ini hanya meliputi :
1. Responsibility of international organizations
2. Expulsion of aliens
3. Shared natural resources
4. Obligations to extradite or prosecute
5. Reservation to treaties
6. Effects of armed conflict on treaties
Belum adanya pembahasan mengenai aturan hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara karena masih adanya pertentangan di kalangan PBB khususnya di International Law Commision mengenai definisi serta immunities and previleges yang harus diberikan pada perwakilan organisasi internasional di sebuah negara (www.untreaty.un.org : 2007). Sementara itu permasalahan mengenai diplomatic relations between states and international organizations semakin mencuat seiring perkembangan organisasi internasional yang pesat.
Berdasarkan paparan di atas, melalui serangkaian pencarian data dan penelitian, penulis akan mencoba untuk melakukan studi tinjauan yuridis mengenai hubungan diplomatik antara organisasi internasional yang ditinjau dari sumber hukum internasional yang relevan dengan hal tersebut. Penulis mencari sumber hukum internasional yang paling kuat yang dapat digunakan untuk mendasari hubungan internasional antara organisasi internasional dengan negara. Oleh karena itu peneliti telah mengambil judul penelitian guna penulisan hukum yang berjudul : ANALISIS YURIDIS HUBUNGAN DIPLOMATIK ORGANISASI INTERNASIONAL DAN NEGARA MENURUT SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil yang diharapkan.
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah disebutkan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah sumber hukum internasional mengatur mengenai hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara?
2. Bagaimanakah perbandingan hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik organisasi internasional dan perwakilan diplomatik dari suatu negara ?

C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian bertujuan untuk dapat mengetahui metode dan kombinasi metode penelitian yang paling baik, mengetahui dan dapat digunakan dalam masing-masing penelitian (Sunarjati Hartono, 1994 : 11). Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui peraturan hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antara organisasi internasional dan negara yang relevan dan digunakan oleh organisasi internasional.
b. Untuk mengetahui bagaimana hukum internasional mengatur kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik organisasi internasional pada sebuah negara apabila dibandingkan dengan perwakilan diplomatik negara.
2. Tujuan Subyektif
a. Menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap masalah hubungan diplomatik organisasi internasional dan negara.
b. Melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan hukum internasional pada umumnya serta khususnya dalam ilmu hukum diplomatik yang terkait dengan hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan Negara. Selain itu, juga dapat menambah kepustakaan dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat semakin pesatnya perkembangan organisasi internasional dalam hukum internasional terutama mengenai hubungannya dengan Negara.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk lebih mengembangkan daya pikir dan analisis yang akam membentuk daya pikir dinamis, sekaligus untuk mengukur sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan membari masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.
c. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan yang timbul dari hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara.

E. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data yang lengkap sehingga dapat menunjang penulisan hukum yang sesuai dengan judul diatas, maka penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam jenis penelitian normatif. Sedangkan apabila ditinjau dari metodenya, penelitian ini termasiuk dalam penelitian kualitatif. Yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan cara pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar, serta informasi verbal atau normatif verbal atau normatif dan bukan bentuk angka-angka (Soerjono Soekanto, 1994 : 10).
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini dipilih penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1994 : 10). Maksud dari pengertian tersebut adalah bahwa penulis ingin menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara penggambaran yang seteliti-telitinya untuk mendekati obyek penelitian maupun permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya untuk selanjutnya dilakukan analisis mengenai obyek tersebut dan juga bermaksud mempertegas hipotesis-hipotesis agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama maupun di dalam menyusun teori-teori baru.
3. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan Penulis dalam penelitian ini adalah mengutamakan jenis data sekunder, Data sekunder diperoleh dari bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan oleh penulis adalah sumber data sekunder yang meliputi :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu norma ataupun kaidah dasar dan peraruran perundang-undangan serta konvensi-konvensi internasional yang memiliki kekuatan mengikat secara yuridis seperti Vienna Convention on The Law of Treaties, Vienna Convention on Diplomatic Relations, the Charter of United Nations dan lain sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang meliputi hasil karya dari kalangan hukum, artikel-artikel, hasil hasil penelitian yang terkait, laporan laporan yang berkaitan dengan pemasalahan yang akan dikaji oleh peneliti.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhaap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, ensiklopedia dan lain sebagainya.
5. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka (Library Research). Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat catatan dari buku-buku, peraturan Perundang-Undangan, dokumen serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis logis, sistematis, dan yuridis. Adapun yang dimaksud dengan analisis logis, sistematis dan yuridis adalah sebagai berikut :
a. Logis
Yang dimaksud dengan logis adalah merupakan perwujudan dari pemikiran yang rasional (deduktif dan induktif) terhadap hasil penelitian yang diperoleh termasuk didalamnya menggunakan interpretasi terhadap hukum-hukum yang mengatur mengenai hubungan diplomatik organisasi internasional dengan negara.
b. Sistematis
Yang dimaksud dengan sistematis adalah bahwa rangkaian penelitian ini merupakan rangkaian hal-hal yang tidak terlepas dalam hubungannnya dengan suatu sistem, yaitu dengan adanyan bagian yang saling berhubungan dan bergantung untuk mencapai tujuan tertentu.
c. Yuridis
Yang dimaksud dengan yuridis adalah bahwa penulis ingin menyajikan dan mengkaitkan seta menganalisis hasil penelitian yang berupa aturan-aturan hukum internasional dalam hal ini adalah yang berhubungan dengan hubungan diplomatik antara organisasi internasional dengan negara.
7. Sistematika
Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah dengan membagi menjadi bab-bab, yaitu sebagai berikut :
Halaman Judul
Halaman Pengesahan
Halaman Motto dan Persembahan
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang permasalahan dan perumusan masalah. Bab ini juga membahas mengenai tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan tinjauan mengenai hukum diplomatik yang meliputi pengertian dan perkembangan hukum diplomatik, tinjauan mengenai organisasi internasional yang meliputi pengertian, klasifikasi dan unsur penting dari organisasi internasional serta tinjauan mengenai sumber hukum internasional. Dalam bab ini juga dipaparkan kerangka pemikiran dari permasalahan yang dibahas.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pemaparan hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yaitu mengenai Analisis Yuridis Hubungan Diplomatik Organisasi Internasional Dengan Negara Menurut Sumber Hukum Internasional
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir dari penelitian dan pembahasan yang terbagi dalam dua bagian yaitu kesimpulan dan saran yang dilatarbelakangi oleh hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Posted by: Admin Indeks Prestasi Updated at: 08:04:00